You are on page 1of 11

MASALAH KASUS KORUPSI DI INDONESIA

Indonesia merupakan negara yang menjalankan pemerintahannya berdasarkan hukum. Sebagai negara hukum semua peraturan maupun pelayanan harus didasarkan pada undangundang atau berdasarkan pada legalitas, namun hal tersebut dapat membatasi kewenangan pemerintah. Akibat hal tersebut, banyak persoalan kemasyarakatan yang tidak dapat terlayani secara wajar. Sehingga dalam hal-hal tertentu pemerintah dapat melakukan tindakan secara bebas, yakni kewenangan yang sah untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan kepentingan umum. Kebebasan pemerintah dalam melakukan tindakan merupakan upaya bagi pemerintah agar mudah mengambil kebijakan-kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakatnya. Namun, dalam praktiknya, kebebasan tersebut sering disalahgunakan oleh pemerintah dalam urusanurusan tertentu. Di negara Indonesia ini, kebebasan yang diberikan kepada pemerintah sering disalah artikan oleh pemerintah itu sendiri. Bahkan mereka menjalankan pemerintahan jauh di luar konsep negara Indonesia, yaitu sebagai negara hukum yang berlandaskan Undang-Undang. Sebagai negara hukum, semua yang dilakukan pemerintah telah diatur dalam Undang-undang, yakni sebagai berikut: pertama, prinsip kedaulatan rakyat (pasal 1 ayat 2); kedua, pemerintahan berdasarkan konstitusi (penjelasan UUD 1945); ketiga, jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (pasal 27, 28, 29, 31); keempat, pembagian kekuasaan (pasal 2, 4, 16, 19); kelima, pengawasan peradilan (pasal 24); keenam, partisipasi warga negara (pasal 28); dan ketujuh, sistem perekonomian (pasal 33). Dengan adanya kebebasan tersebut memang membuat pemerintah semakin bebas, termasuk bebas dalam hal korupsi. Contoh kecilnya saja adalah kasus Nunun Nurbaeti yaitu tersangka kasus suap cek pelawat untuk sejumlah anggota DPR. Kasus ini seperti sinetron yang memiliki episode yang panjang. Kasus ini mulai terungkap semenjak adanya gonjang-ganjing tentang pemilihan Gubernur senior Bank Indonesia. Nunun sempat buron selama kurang lebih delapan bulan. Ia kemudian ditangkap kepolisian internasional pada 10 Desember 2011 di Thailand dan dipulangkan ke Indonesia.

Kaburnya Nunun dikategorikan sebagai kasus besar yang diharuskan dituntaskan KPK. Ketua KPK terpilih Abraham Samad menjanjikan akan menangkap Nunun dalam masa jabatannya. Namun, Nunun dapat ditangkap oleh pimpinan KPK lama, yang akan mengakhiri masa tugasnya seminggu lagi. Setelah tertangkapnya Nunun Nurbaeti, anehnya lagi tersebar berita bahwa Nunun Nurbaeti mengaku lupa ingatan. Selain lupa ingatan, Nunun Nurbaeti juga mengaku tidak pernah bertemu dengan saksi-saksi kasus tersebut yakni Hamka Yandhu maupun Arie Malangjudo. Kasus ini seperti sinetron, dimana lakonnya tiba-tiba lupa ingatan dan dengan bebasnya ia pergi keluar negeri. Kasus-kasus korupsi di Indonesia seperti telah diatur skenarionya, hal itu dapat dilihat dari keterkaitan antara kasus satu dan kasus yang lainnya. Praktik-praktik Korupsi merupakan akibat kurang mengertinya pemerintah dengan Sepuluh Prinsip Tata Pemerintahan Yang Baik, yaitu; Partisipasi, Penegakkan Hukum, Transparansi, Kesetaraan, Daya Tanggap, Wawasan Kedepan, Akuntabilitas, Pengawasan, Efisiensi Dan Efektifitas, Profesionalis.Pada tahun 2005, menurut data Political Economic And Risk Consultansy, Indonesia menempati urutan pertama sebagai Negara terkorup di Asia. Jika dilihat dalam kenyataan sehari-hari korupsi hampir terjadi disetiap lingkungan, disetiap tingkatan dan aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari mengurus mendirikan bangunan, proyek pengadaan di instansi pemerintah sampai proses penegakkan hukum. Dalam survai tahunannya mengenai persepsi korupsi, Transparency International memeringkatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di bumi ini. Korupsi memasuki segalanya. Bahkan anak sekolah dan orang akan pergi haji jadi sasarannya. Masih teringat betul dalam benak kita, kasus yang terjadi pada tahun 2004 ketika bank dunia telah meminta pemerintah Indonesia untuk melunasi dana pinjaman sebesar 10 juta dolar yang diberikan untuk pembelian buku pelajaran sekolah, sebagian dana ternyata telah dikorupsi. Begitu juga dengan kasus yang menimpa Said Agil Munawar, menteri agama dari 1999-2004, dia dipenjara selama lima tahun karena dituduh ikut berperan dalam penyelewengan dana haji rakyat Indonesia. Belum lagi beroperasinya praktek suap menyuap, dan money laundre yang terjadi saat ini. Tanpa disadari, korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar oleh masyarakat umum. Seperti memberikan hadiah kepada pejabat/pagawai negeri atau keluarganya
2

sebagai imbal jasa sebuah pelayanan. Kebiasaan itu dipandang lumrah dilakukan sebagai bagian dari budaya ketimuran. Kebiasaan koruptif ini lama-lama akan menjadi bibit-bibit korupsi yang nyata. Salah satu persoalan besar dalam memerangi korupsi di Indonesia adalah bahwa rakyat Indonesia sendiri bersikap fleksibel terhadap korupsi. Survei-survei memperlihatkan bahwa rakyat Indonesia cenderung mendefinisikan korupsi dari segi kuantitas, yang berarti bahwa baru akan disebut korupsi jika yang diambil secara tidak semestinya itu adalah uang berjumlah besar. Ini nampaknya hampir sama dengan apa yang dikatakan oleh Karl Gunnar Myrdal. Karl mengatakan, Indonesia adalah merupakan sosok Negara yang soft state, Negara yang lunak, yaitu Negara yang pemerintahan dan warganya tidak memiliki ketegaran moral yang jelas, khususnya moral sosial-politik. Kita umumnya mengidap kelembekan (leniency), sikap serba memudahkan (easy going), sehingga tidak memiliki kepekaan cukup terhadap masalah penyelewengan dan kejehatan seperti korupsi, lebih-lebih korupsi dalam bentuk conflict of interest. Maka usaha menegakkan standar moral merupakan salah satu urgensi bangsa kita. (Gunnar Myrdal: 1898) Hal ini terbukti dengan tidak tuntasnya beberapa kasus korupsi yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Bagaimana dengan kasus century, korupsi pajak oleh Gayus Tambunan? Mungkin itu sebagian dari ribuan, atau jutaan, bahkan sampai miliyaran kasus yang tiba-tiba lenyap begitu saja, bak tertelan bumi. Korupsi sebagai budaya Lengsernya pak harto beserta orde barunya telah meninggalakan warisan yang memudahkan sekaligus menyulitkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Telah kita ketahui bersama, dalam bidang pembangunan fisik adalah prestasi yang sangat luar biasa. Bangsa Indonesia memperoleh kemudahan relatif dalam kehidupannya. Tetapi disisi lain, kemudahan relatif itu juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan yang merusak, seperti tersedianya dana untuk dikorupsi dan digunakan secara tidak benar. Di masa bung Karno dan orde lamanya korupsi juga mungkin terjadi, tetapi dampak perusakannya tidak terlalu besar. Di masa pak harto efek perusakan korupsi mulai berlipat ganda.

Dari masa bung Karno, sampai pada pak Harto, dan sampai pada masa pak Bambang sekarang ini, korupsi semakin berlipat-lipat ganda. Akhir-akhir ini kasus korupsi semakin menjadi-jadi, tidak sedikit para politisi, pejabat publik, aparat keadilan, penegak hukum semua terjerat kasus korupsi. Korupsi seolah telah menjadi budaya bangsa kita, ada yang aneh jika tidak dijalankan. Beroperasinya praktek suap menyuap, money laundre, membuat rakyat semakin banyak kehilangan kepercayaan kepada para politisi, pejabat publik, aparat kedilan, dan penegak hukum. Ketidakadilan dalam prosese-proses penegakkan hukum oleh aparat-aparat yang bersangkutan juga membuat nama baik keadilan dimata rakyat Indonesia menjadi kabur. Pendidikan, ruang baru korupsi Korupsi kembali terjadi, setelah beberapa tahun yang lalu kasus besar korupsi (pajak) belum sempat terungkap, dan sekarang dengan warna yang berbeda korupsi menghiasi dindingdingin Indonesia. Belum lama ini muncul kasus korupsi proyek wisma atlit hambalang yang dilakukan oleh para penjahat senayan, kasus ini menambah buruk citra Indonesia dalam pemberantasan korupsi. KPK sebagai badan yang menangani kasus korupsi di Indonesia dituntun oleh banyak pihak untuk melakukan lebih dalam pemberantasan korupsi.

Setelah begitu banyak ruang yang telah dijajiki oleh kasus korupsi, nampaknya kasus korupsi mulai menginginkan ruang yang baru, kali ini korupsi mulai merambah dunia pendidikan. KPK pun menemukan kasus yang lain beberapa waktu lalu. Kasus proyek pengadaan sarana dan prasarana di 16 universitas negeri senilai Rp 600 miliar yang mengguncangkan dunia pendidikan khususnya perguruan tinggi. Kasus ini telah membuktikan bahwa korupsi telah kembali memasuki sendi-sendi pendidikan bangsa Indonesia. Setelah pada tahun 2004 silam terjadi korupsi dana pengandaan buku pelajaran sekolah. Hebatnya yang bermain dalam kasus ini adalah aktor yang sama dalam kasus Hambalang. Dari data yang diperoleh KPK menyebutkan, ke-16 universitas negeri itu adalah Universitas Sumatera Utara, Universitas Brawijaya, Universitas Udayana, Universitas Jambi, Universitas Negeri Jakarta, ITS Surabaya, Universitas Jendral Sudirman, Universitas Sriwijaya, universitas Tadulako, Universitas Nusa Cendana, universitas Pattimura, Universitas Negeri

Papua, Universitas Sebelas Maret, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Universitas Negeri Malang, dan IPB Bogor. Nampaknya perkembangan korupsi semakin pesat, menjalar kemana-mana. Adakah yang salah dalam proses penegakkan hukum? Atau-kah murni dari kesalahan sumber daya manusia Indonesia yang terlalu rakus? Nampaknya apa yang dikatakan Karl benar, lemahnya standar moral bangsa kita inilah yang menyebabkan kita sekarang mengalami berbagai bentuk conflict of interest. Kaum elitis pemerintah juga sudah tak mampu menjaga tanggungjawabnya sebagai wakil rakyat, karena mereka sendiri pun sibuk menutupi auratnya dengan proyek-proyek bernilai tebaran kertas warna-warni (korupsi). Melemahnya kesadaran arah dan tujuan hidup bernegara yang menggejala saat ini berdampak sangat negatif kepada usaha penegakkan hukum dan keadilan. Karena beroperasinya praktek suap menyuap, money laundre, membuat rakyat semakin banyak kehilangan kepercayaan kepada para penegak hukum. Ketidakadilan dalam proseseproses penegakkan hukum oleh aparat-aparat yang bersangkutan telah mencoret nama baik keadilan dimata rakyat Indonesia. Keadilan yang jujur tak berpihak menjadi idaman rakyat Indonesia yang saat ini kelihatan mustahil diterapkan di negeri ini. Penerapan Good Governance di Indonesia Good governance dapat diartikan sebagai tata pemerintahan yang baik. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata governance ialah kepemimpinan, pengelolaan, dan pemeliharaan. BAPPENAS melalui Tim Pengembangan Kebijakan Nasional menyatakan bahwa istilah good governance merupakan suatu konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis, dan efektif sesuai dengan cita-cita terbentuknya suatu masyarakat madani (Soeharyo 2011). Menurut Lembaga Administrasi Negara (LAN) menyimpulkan ada sembilan aspek fundamental dalam mewujudkan good governance yaitu partisipasi, penegakan hukum, transparansi, responsif, konsensus, kesetaraan dan keadilan, efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas dan visi strategis (Rangkuti 2007).

Partisipasi artinya membuka ruang kepada masyarakat dalam membuat suatu kebijakan. Namun, keterlibatan masyarakat harus diimbangi dengan penegakan hukum. Jika tidak ada penegakan hukum, keterlibatan masyarakat justru akan membuat ricuh. Dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus diketahui oleh masyarakat. Inilah yang disebut transparansi. Responsif ialah sikap pemerintah yang cepat dan tanggap dalam menangani persoalan masyarakat. Konsensus memiliki arti bahwa pengambilan keputusan harus sesuai dengan kesepakatan bersama. Pemerintah juga harus memberikan pelayanan yang setara dan adil kepada masyarakat. Efektivitas dan efisiensi artinya pembangunan untuk kepentingan masyarakat dapat dijangkau oleh semua kalangan sosial dan dengan biaya yang rasional. Akuntabel artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus dipertanggungjawabkan. Bangsa juga harus peka terhadap perubahan zaman. Hal tersebut melandasi pentingnya visi strategis. Aspek-aspek tersebut harus dilaksanakan agar good governance dapat diterapkan di Indonesia. Selain itu, beberapa langkah yang untuk menerapkan good governance ialah : penguatan fungsi dan peran Lembaga Perwakilan, Kemandirian Lembaga Perwakilan, Aparatur Pemerintah yang profesional dan penuh integritas, masyarakat madani yang kuat dan partisipatif, serta penguatan upaya otonomi daerah. Penerapan good governance di Indonesia harus dengan strategi yang baik dan dilakukan secara bertahap. Tahapan tersebut harus sesuai dengan kapasitas pemerintah, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar. Hal lain yang dapat dilakukan untuk menerapkan good governance di Indonesia adalah melalui penyelenggaraan pelayanan publik (Daniri 2011). Menurut Daniri (2011), pelayanan publik ialah wadah interaksi antara pemerintah dengan masyarakat sehingga perbaikan pelayanan publik akan menumbuhkan rasa kepercayaan masyarakat. Pelayanan publik yang baik juga dapat menunjukkan nilai-nilai yang mencirikan praktek good governance yaitu pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi serta berorientasi pada kepentingan publik.

Penyebab Korupsi di Indonesia Korupsi telah lama terjadi di Indonesia. Praktik-praktik seperti penyalahgunaan wewenang, penyuapan, pemberian uang pelicin, pungutan liar, pemberian imbalan atas dasar kolusi dan nepotisme serta penggunaan uang negara untuk kepentingan pribadi, oleh masyarakat diartikan sebagai suatu perbuatan korupsi dan dianggap sebagai hal yang lazim terjadi di negara ini. Ironisnya, walaupun usaha-usaha pemberantasannya sudah dilakukan lebih dari empat dekade, praktik-praktik korupsi tersebut tetap berlangsung. Bahkan ada kecenderungan modus operandinya lebih canggih dan terorganisir sehingga makin mempersulit penanggulangannya. Bibit Samad Riyanto dalam Hasdianto, membeberkan lima hal yang dianggap berpotensi menjadi penyebab tindakan korupsi. Satu adalah sistem politik. Ditandai dengan munculnya aturan perundang-undangan, seperti perda, dan peraturan lain. Mereka atau pelaku dapat berlindung dengan aturan tersebut. Kedua adalah intensitas moral seseorang atau kelompok. Ketiga adalah remunisasi, atau pendapatan (penghasilan) minim. Namun tidak lantas yang memiliki pendapatan tidak melakukan korupsi, jadi kembali lagi ke moral tadi, jelas Bibit. Keempat, pengawasan baik bersifat internal-eksternal, dan kelimanya adalah budaya taat aturan. Ini yang paling penting adalah budaya sadar akan aturan hukum. Dengan sadar hukum, maka masyarakat akan mengerti konskuensi dari apa yang ia lakukan. ( Hasdianto,2010) Pada buku Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional (SPKN) yang diterbitkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada tahun 1999, telah diidentifikasikan bahwa faktor-faktor penyebab korupsi di Indonesia terdiri atas 4 (empat) aspek, yaitu : aspek perilaku individu, aspek organisasi, aspek masyarakat, dan aspek peraturan perundang-undangan. Aspek perilaku individu ialah faktor-faktor internal yang mendorong seseorang melakukan korupsi seperti adanya sifat tamak, moral yang kurang kuat menghadapi godaan, penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, kebutuhan hidup yang mendesak, gaya hidup konsumtif, malas atau tidak mau bekerja keras, serta tidak diamalkannya ajaran-ajaran agama secara benar. Aspek organisasi ialah kurang adanya keteladanan dari pimpinan, kultur organisasi yang tidak benar, sistem akuntabilitas yang tidak memadai, kelemahan sistem pengendalian
7

manajemen, manajemen cenderung menutupi perbuatan korupsi yang terjadi dalam organisasi. Aspek masyarakat berkaitan dengan lingkungan masyarakat di mana individu dan organisasi tersebut berada, seperti nilai-nilai yang berlaku yang kondusif untuk terjadinya korupsi, kurangnya kesadaran bahwa yang paling dirugikan dari terjadinya praktik korupsi adalah masyarakat dan mereka sendiri terlibat dalam praktik korupsi, serta pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila masyarakat ikut berperan aktif. Selain itu adanya penyalah artian pengertian-pengertian dalam budaya bangsa Indonesia. Aspek peraturan perundang-undangan yaitu terbitnya peraturan perundang-undangan yang bersifat monopolistik yang hanya menguntungkan kerabat dan atau kroni penguasa negara, kualitas peraturan perundang-undangan yang kurang memadai, judicial review yang kurang efektif, penjatuhan sanksi yang terlalu ringan, penerapan sanksi tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan. Erry R.Hardjapamekas dalam Hasdianto juga menyebutkan bahwa tingginya kasus korupsi di negeri ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya: (1) Kurang keteladanan dan kepemimpinan elite bangsa, (2) Rendahnya gaji Pegawai Negeri Sipil, (3) Lemahnya komitmen dan konsistensi penegakan hukum dan peraturan perundangan, (4) Rendahnya integritas dan profesionalisme, (5) Mekanisme pengawasan internal di semua lembaga perbankan, keuangan, dan birokrasi belum mapan, (6) Kondisi lingkungan kerja, tugas jabatan, dan lingkungan masyarakat, dan (7) Lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, moral dan etika (Hasdianto,2010). Cara Mengatasi Korupsi di Indonesia Korupsi tidak dapat dibiarkan begitu saja jika suatu negara ingin mencapai tujuannya karena jika dibiarkan terus menerus, maka akan terbiasa dan menjadi subur serta akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesutu yang sebenarnya bukan menjadi hak mereka. Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab. Beberapa upaya penanggulangan korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan. Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi sebagai berikut : membenarkan transaksi yang
8

dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah pembayaran tertentu, membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat, melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi, mengurangi dorongan untuk korupsi dengan jalan meningkatkan ancaman, korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi. Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan tindakan yang semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka untuk kesempatan korupsi harus segera ditutup, begitu halnya dengan struktur organisasi haruslah membantu kearah pencegahan korupsi, misalnya tanggung jawab pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan melekat, dengan tidak lupa meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku-pelakunya. Selanjutnya, Myrdal (dalam Lubis, 1987) memberi saran penaggulangan korupsi, yaitu menyederhanakan dan mempertegas pengaturan dan prosedur untuk keputusan-keputusan administratif yang menyangkut orang perorangan dan perusahaan, kegiatan pengawasan yang lebih keras, mengurangi kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan, menaikkan gaji pegawai yang rendah, memperbaiki kedudukan sosial ekonomi agar lebih terjamin, memperkuat satuan-satuan pengamanan termasuk polisi, mengambil keputusan yang cepat mengenai hukum pidana dan hukum atas pejabat-pejabat yang korupsi, dan menindaklanjuti orang-orang yang menyogok pejabat-pejabat. Persoalan korupsi beraneka ragam cara melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya pun bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi deduktif saja, melainkan perlu ditinaju dari segi induktifnya yaitu mulai melihat masalah praktisnya (practical problems), juga harus dilihat apa yang menyebabkan timbulnya korupsi. Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut: adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung
9

jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, menanamkan aspirasi nasional yang positif dengan cara mengutamakan kepentingan nasional, para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi, adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi, reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah melalui penyederhanaan jumlah departemen serta jawatan dibawahnya, adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan achievement dan bukan berdasarkan sistem ascription, adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah, menciptakan aparatur pemerintah yang jujur, sistem budget dikelola oleh pejabatpejabat yang mempunyai tanggung jawab dan etis tinggi, dan menerapkan sistem kontrol yang efisien, herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi. Marmosudjono (Kompas, 1989) mengatakan bahwa dalam menanggulangi korupsi, perlu sanksi malu bagi koruptor, yaitu dengan menayangkan wajah para koruptor di televisi karena menurutnya masuk penjara tidak dianggap sebagai hal yang memalukan lagi. Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya penanggulangan korupsi adalah melalui upaya preventif dan represif. Upaya preventif dapat dilakukan dengan cara membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara, mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya, menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara, bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan, menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan, dan menumbuhkan sense of belongingness dikalangan pejabat dan pegawai sehingga mereka merasa peruasahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat
10

yang terbaik, upaya represif dapat dilakukan dengan cara penayangan wajah koruptor di televisi dan herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.

11

You might also like