You are on page 1of 51

LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM A.

Pengertian Lembaga Pendidikan Islam Dalam kamus Umum Bahasa Indonesia, kosakata lembaga memiliki empat arti, yaitu: 1. Asal mula (yang akan jadi sesuatu); benih (bakal binatang, manusia, dan tumbuhan; misalnya Adam, segumpal tanah yang dijadikan manusia pertama) 2. Bentuk (rupa, wujud) yang asli acuan 3. Ikatan (tentang mata cincin dan sebagainya) 4. Badan (organisasi) yang bermaksud melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau melakukan sesuatu usaha, misalnya bahasa Indonesia.

Dalam bahasa inggris, kata lembaga biasanya digunakan sebagai terjemahan dari kata institution, dan selanjutnya menjadi kata institusionalisasi atau institusionalization yang berarti pelembagaan. Dalam bahasa Arab kata lembaga biasanya merupakan terjemahan dari kata muassasah yang berarti foundation (dasar bangunan), establishment (mendirikan bangunan), firm (lembaga).

1. Macam-macam Lembaga Pendidikan Islam Di dalam al-quran dan al-hadis, secara eksplisit tidak disebutkan secara khusus mengenai adanya lembaga-lembaga pendidikan, sekolah atau madrasah. Yang disebutkan dalam al-quran dan al-hadis yaitu nama-nama tempat yang baik yang selanjutnya dapat digunakan untuk kegiatan pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya, seperti masjid, rumah, dan majelis. Lembaga-lembaga pendidikan selengkapnya dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Rumah (al-bait) Fungsi rumah sebagai tempat pendidikan sesungguhnya dapat dilihat dari dua aspek dengan penjelasannya. 1. Dari segi pendidikan informal, yakni pendidikan dilakukan oleh kedua orang tua terhadap putraputrinya. Pendidikan di rumah ini ditekankan pada pembinaan watak, karakter, kepribadian, dan keterampilan mengerjakan pekerjaan atau tugas keseharian yang bisa terjadi di rumah tangga. 2. Dari segi pendidikan nonformal, yakni pendidikan yang dilakukan di rumah yang bentuk materi pengajaran guru, metode pengajaran dan lainnya tidak dibakukan secara formal. Pendidikan nonformal dilakukn dirumah ini misalnya pendidikan yang berkaitan dengan penanaman kaidah, bimbingan menbaca dan menghafal al-quran, praktik beribadah,dan praktik akhlak mulia. 3. Masjid dan Suffah Dalam bahasa Indonesia, masjid diartikan rumah tempat bersembahyang bsgi orsng islam. Dalam perkembangan selanjutnya masjid berperan sebagai lembaga pendidikan islam, dan karenanya masjid dapat dkatakan sebagai madrasah yang berukuran besar yang pada masa permulaan sejarah islam dan masa-masa selanjutnya merupakan tempat menghimpun kekuatan umat islam baik dari segi fisik maupun mentalnya. Dengan demekian, masjid yaitu tempat melakukan shalat, madrasah, universitas, majelis

nasional, dan pusat-pusat pemberian ftwa serta penggemblengan para pejuag dan patriot-patriot bangsa dari zaman ke zaman. Berdasarkan uraian diatas tersebut diatas, terdapat dua peran utama yang dilakukan oleh masjid, dengan penjelasan sebagai berikut: Pertama, peran masjid sebagai lembaga pendidikan informal dan nonformal. Peran mesjid sebagai lembaga pendidikan informal dapat dapat dilihat dari segi fungsinya sebagai tempat ibadah shalat lima waktu, idul fitri, idul adha, berzikir dan berdoa. lembaga pendidikan nonformal dapat dilihat dari sejumlah kegiatan pendidikan dan pengajaran dalam bentuk halaqah (lingkaran studi) yang dipimpin oleh seorang ulama dengan materi utamanya tentang ilmu agama islam dengan berbagai cabangnya. Kedua, peran mesjid sebagai lembaga pendidikan social kemasyarakatan dan kepemimpinan. Pendidikan yang pertama kali dilakukan di zaman Rasulullah SAW juga mengambil tempat di mesjid. 1. Al-kuttab,Surau, dan TPA Menurut sejarah islam, orang pertama dari penduduk Mekkah yang belajar menulis adalah Sufyn bin Ummayah bin Abdus Syamsyi dan Abi Qais bin Abdi Manaf bin Zaehab bin Khalib, dan yang mengajarkannya kepada kedua orang ini Basyar bin Abdul Malik yang pernah belajar menulis dari penduduk Hirah. Menurut Ahmad Syalabi, bahwa tumbuhnya al-kuttab yang tugas pokoknya mengajarkan al-quran dan dasar-dasar agama islam berawal pada zaman permulaan islam, yaitu pada zaman pemerintahan khalifah Abu bakar. Selanjutnya di anatara guru al-kuttab ada yang kreatif dalam menciptakan metode yang menyerupai metode komprehensif sebagai standar pengajaran membaca dan menulis, yang mana metode ini paling baru dipakai dalam mengajar anak-anak yang baru mulai belajar membaca dan menulis. Keterangan tersebut diatas selain menunjukkan keberadaan al-kuttab di tengah-tengah masyarakat, juga memperlihatkan bahwa al-kuttab adalah lembaga pendidikan awal yang tergolong inovatif, kreatif, dinamis, demokratis dan egaliter. Di surau ini anak-anak diajarkan tentang membaca al-quran, praktik ibadah shalat, dasar-dasar agama, akhlak, dan akidah. Hal ini dimungkinkan, karena pada masa awal keberadaan surau di abad ke-18 M, keadaan peralatan transportasi masih amat terbatas, sehingga terpaksa dengan cara berjalan kaki. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya ada pula suarau yang kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan yang lebih besar dan tinggi lagi seperti hal pesantren sebagaimana yang dijumpai di jawa Barat. Berbagai lembaga pendidikan tersebut selanjutnya berubah namanya menjadi Taman Pendidikan Anak-anak (TPA) yang tersebar di dearah perkotaan maupun di pedesaan. 1. Madrasah Madrasah ialah isim masdar dari kata darasa yang berarti sekolah atau tempat untuk belajar. Madrasah sebagai lembaga pendidikan merupakan fenomena yang merata di seluruh Negara, baik pada Negaranegaraislam, maupun Negara lainnya yang di dalamnya terdapat komunitas masyarakat islam. Sebagai ahli sejarah berpendapat, bahwa madrasah sebagai lembaga pendidikan islam muncul dari penduduk Nisapur, tetapi tersiarnya melalui perdana Menteri Bani Saljuk yang bernama Nidzam al-muluk, melalui madrasah nidzamiah yang didirikannya pada tahun 1065M.

Menurut Abdul mujib dan Jusuf Mudzakir, bahwakehdirasab madrasah sebagai lembaga pendidikan setidaknya-tidaknya mempunyai empat latar belakang yaitu: 1. Sebagai manifestasi dan realisasi pembaruan system pendidikan islam 2. Sebagai usaha menyempurnakan terhadap system pendidikan pesantren kearah suatu system pendidikan yang tidak memungkinkan lulusannya untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum. 3. Adanya sikap mental pada sementara golongan umat islam, khususnya santri yang terpukau pada barat sebagai system pendidikan. 4. Sebagai upaya untuk menjembatani antara system pendidikan tradisomal yang dilakukan oleh pesnatren dan system pendidikan modern dari hasil akulturasi. Berdasarkan catatan singkat tersebut dapat dikemukakan beberapa hal yang melatarbelakangi lahirnya madrasah di Timur Tengah sebagai berikut. 1. Madarsah lahir sejalan dengan meningkatkan bidang kajian ilmu agama islam yang tidak mungkin lagi dijarkan dimasjid. 2. Madrasah lahir sebagai lembaga pendidikan yang mempelajari ilmu agama islam secara lebih luas dan memdalam dibandingkan dengan lembaga pendidikan al-kuttab yang mempelajari ilmu agama islam secara terbatas dan tidak mendalam. 3. Al-Zawiyah Kata zawiyah secara harfiah berasal dari kata inzawa,yanzawi, yang brrti mengambil tempat tertentu dari sudut masjid yang digunakan untuk Itikaf (diam) dan beribadah. Zawiyah merupakan tempat berlangsungnya pengajian-pengajian yang mempelajari dan membahas dalil-dalil naqliyah dan aqliyah yang berkaitan dengan aspek agama serta digunakan para kaum sufi sebgai tempat untuk halaqah berzikir dan takafur untuk menngkatkan dan merenungkan keagungan ALLAh SWT. Selain itu, Zawiyah sering pula digunakan untuk nama asrama atau pondok tempat beberapa tarekat tasawuf mengajarkan ajarannya kepada masyarakat yang berminat. Diantara tarekat yang menggunakan zawiyahsebagai tempatnkegiatannya adalah tareqat al-Qadiriyah, al-tijaniyah, al-Sanusiyah, al-Syadziliyah, dan al-Khulwitiyah. Berdasarkan informasi tersebut, dapat dikemukakan beberapa catatan sebagai berikut. 1. Eksitensi (keberadaan) zawiyah ialah sesuatu yang rel, bukan fiktif; sesuatu yang benr-benar ada dan telah melakukan perannya yang amat signifikan dalam berbagai bidang. 2. Zawiyahbukan hanya terdapat di kawasan Timur Tengah saja, melainkan juga di Eropa dan Barat, bahkan di Asia. 3. Zawiyah, bukan hnaya berperan sebagai pusat pendidikan dan pelatihan bagi para calon guru tasawuf/tarekat, melainkan juga telah berperan sebagai lembaga pendidkan agama, tempat tinggal para tamu. 4. Al-Ribath Secara harfiah, al-ribath artinya ikatan. Namun berbeda dengan kata al-aqad yang juga artinya ikatan. Alribath adalah ikatan yan mudah dibuka, seperti ikatan rambut seorang wnita. Berbagai aturan yang terdapat dalam al-ribath sebgaimana tersebut, banyak yang digunakan oleh lemabga pendidikan sekarang dengan sedikit modifikasi dan penyesuaian. Istilah, murid, mursyid, ibtidaiyah, mustawasithah, aliyah dan ijasah misalnya diambil dari istilah yang terdapat al-ribath.

1. Al-Maristan, dikenal sebagai lemaga ilmiah yang palingpenting dan sebagai penyembuhan dan pengobatan pada zaman emasan islam. Di anatara dokter yang paling terkenal kemampuan dan kemusyurannya di dunia islam dan di Negara Barat yaitu Mohammad bin Zakaria al-Razi. Ia pernah memimpin Maristan di Baghdad pada masa khalifah 1 Muktafa pada tahun 311 hijriyah. 2. Al-Qushur (istana) 3. Hawanit al-Waraqin (took buku), pada zaman Arab jahiliyah terdapat sejumlah pasar, seperti Ukadz, Majanah dan Dzul Majaz, dan di antara took-toko yang ada di pasar itu dijadikan tempat menjual buku pada zaman islam 4. Al-Shalunat al-Adabiyah (sanggar sastra), secara harfiah al-shalunat al-adabiyah dapat diartikan sebagai tempat untuk melkukan kegiatan pertunjukn pembacaan dan pengkajian sastra, atau sebagai sanggar atau teater budaya/ 5. Al-Badiyah, secara harfiah dapat diartikan sebagai tempat mengajarkan bahasa Arab asli, yakni bahasa Arab yang belum tercampur oleh pengaruh berbagai dialek bahasa asing. 6. Al-Maktabat (perpustakaan), dilihat dari segi fungsinya, perpustakaan tersebut dapat dibagi 3 yaitu. Perpustakaan umum, kedua perpustakaan untuk umum khusus dan ketiga perpustakaan khusus. 7. Sifat dan Karakter Lembaga Pendidikan Islam 8. Lembaga pendidikan islam bersifat holistic, terdiri dari lembaga pendidikan informal, nonformal dan formal. 9. Lembaga pendidikan islam bersifat dinamis dan inovatif 10. Lembaga pendidikan islam bersifat responsive dan fleksibel, yakni senantiasa menyesuaikan diri atau menjawab berbagai kebutuhan masyarakat. 11. Lembaga pendidikan islam bersifat terbuka, yakni dapat diakses atau digunakan seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai latar belakang keahlian, status social, ekonomi, budaya dll. 12. Lembaga pendidikan islam berbasis pada masyarakat. 13. Lembaga pendidikan islam bersifat religious.

http://unkonvensional.wordpress.com/2012/12/03/lembaga-pendidikan-islam/ (14 january 2013. 10:36)

Baitul Hikmah (Bahasa Arab: Bait al-Hikma) adalah perpustakaan dan pusat penterjemahan semasa era kerajaan Abbasiyyah di Baghdad, Iraq[1]. Ia dianggap sebagai pusat intelektual dan keilmuan semasa Zaman Kegemilangan Islam.

Manuskrip saintifik terawal berasal dari Era Abbasiyyah.

[sunting]Latar

belakang

Baghdad terkenal bukan sebagai pusat keilmuan semasa zaman Abbasiyyah. Sarjanasarjana zaman Abbasiyyah banyak menterjemah hasil kerja asing ke bahasa Arab dan Parsi. Kerajaan Abbasiyyah juga membina perpustakaan yang besar, dan menarik kedatangan sarjana dari Empayar Byzantine[2]. Pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid didirikan Baitul Hikmah yang kemudian disempurnakan oleh puteranya, Al-Makmun pada abad keempat. Baitul Hikmah berfungsi sebagai pusat ilmu dan perpustakaan. Di situ para sarjana sering berkumpul untuk menterjemah dan berdiskusi masalah ilmiah. Khalifah Harun Ar-Rasyid kemudian Al-Makmun secara aktif selalu ikut dalam pertemuan-pertemuan itu. Baitul Hikmah pada mulanya hanya berminat untuk menterjemah hasil kerja orang Parsi, bermula dari bahasa Pahlavi, kemudian Syriac dan seterusnya dari bahasa Greek. Oleh itu banyak terjemahan dilakukan dalam bidang astrologi, matematik, pertanian, perubatan dan falsafah. Rahsia membuat kertas yang mereka peroleh daripada banduan Cina semasa perang Talas (751) merancakkan lagi penghasilan buku dan pembinaan perpustakaan. Seterusnya konsep katalog perpustakaan diperkenalkan di Baitul Hikmah dan perpustakaan lain di mana buku-buku disusun mengikut genre khusus dan kategori. (14 january 2013. 10:39 )

Baitul Hikmah

Oleh: Jauhar

Ridloni

Marzuk

KEMAJUAN sebuah peradaban biasanya berbanding lurus dengan penguasaan ilmu pengetahuan. Mesir Kuno pada abad ke-5 sebelum Masehi, mampu memimpin dunia dengan penguasaan ilmu pengetahuan yang tidak dimiliki oleh bangsa lainnya. Di masa

ketika manusia masih masih primitif, Mesir telah mampu membangun irigasi secara teratur, menguasai ilmu seni pahat dengan lukisan dan patung-patung dewa yang mempesona, ilmu astronomi hingga arsitektur. Bahkan menurut sebagian sejarawan, huruf hyeroglif yang dipakai saat itu adalah sususan huruf pertama yang digunakan oleh manusia. Faktor seperti ini juga yang menjadi sebab gemilangnya peradaban peradaban setelahnya, seperti Yunani; Persia, Romawi hingga Islam.

Peradaban Islam mencapai puncak kejayaanya pada masa Dinasti Abbasiyah. Di masa ini, Islam menjadi kiblat peradaban dunia. Ketika Barat dan belahan dunia lainnya masih dirundung konflik dan penderitaan yang tidak kunjung berakhir, Baghdad telah menjelma menjadi kota paling metropiltan di dunia. Taman-taman indah menghiasi setiap sudut kota, lampu penerang bertebaran, bangunan-bangunan cantik dengan arsitektur mengagumkan berdiri di sekeliling kota.

Penyebabnya bukan karena luas wilayah kerajaan yang mencapai 2/3 dunia, tapi karena penguasaan ilmu pengetahuan yang tidak ada tandingannya.

Pada masa ini seniman, teknokrat, ilmuwan, pujangga, filsuf, dan saudagar berkontribusi terhadap perkembangan di bidangnya masing-masing. Ilmu agama, kesenian, industri, hukum, literatur, navigasi, filsafat, sains, sosiologi, dan teknik mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada masa ini juga lahir sebuah institusi keilmuan modern pertama di dunia yang menjadi cikal bakal perkembangan ilmu pengetahuan ini; Baitul Hikmah.

Nama Baitul Hikmah diambil dari kata ha-ka-ma- yang artinya bijaksana. Dari kata ini juga keluar isitlah Hakim (orang yang bijaksana). Hal ini bukan tanpa alasan, menurut Prof. Dr. Nazeer Ahmed, ini dikarenakan dalam Islam, seorang ilmuan bukan hanya orang yang melihat alam dari luar, tetapi dia adalah orang bijak ( man of wisdom) yang melihat alam dari dalam dan menyatukan antara ilmu pengetahuan yang dia dapat ke dalam pokok-pokok dasar segala sesuatu.

Jadi inti dari seorang ilmuan bukanlah terpaku pada pengetahuan untuk mencari ilmu pengetahuan, tetapi realisasi dari dasar-dasar pokok itu untuk menyerap ciptaan Tuhan dan keteraturan alam yang menunjukkan kebijaksanaan Tuhan.

Baitul Hikmah didirikan oleh Khalifah Harun Ar Rashid pada tahun 813 M dan terletak di jantung kota Bahgdad. Walaupun pada awalnya hanya sebuah perpustakaan, tetapi Baitul Hikmah bukanlah perpustakaan seperti yang kita kenal saat ini. Baitul Hikmah bahkan lebih menyerupai universitas. Di sini adalah tempat pertemuan para intelektual, pusat kajian dan diskusi, sanggar terjemah, laboratorium penelitian, dan tempat penerbitan buku.

Baitul Hikmah menjadi pusat pertemuan ilmu-ilmu pengetahuan dari Barat (Yunani) dan dari Timur (India, Persia dan China) yang selanjutnya dikembangkan oleh para cendekiawan Islam menjadi berbagai ilmu pengetahuan, seperti matematika, filsafat, astronomi, kedokteran, fisika bahkan juga metafisika.

Di tempat ini, buku-buku dari Barat dan Timur dikaji, didiskusikan, dikritisi, diterjemakan dan dan kemudian ditulis ulang.

Dari India misalnya, berhasil diterjemahkan buku-buku Kalilah dan Dimnah maupun berbagai cerita Fabel yang bersifat anonim. Berbagai dalil dan dasar matematika juga diperoleh dari terjemahan yang berasal dari India. Selain itu juga diterjemahkan bukubuku filsafat dari Yunani, terutama filsafat etika dan logika. Sedangkan karya-karya satra diambil dari Persia.

Kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya pada bidang ilmu eksakta saja, ilmu-ilmu Naqli seperti Tafsir, Teologi, Hadits, Fiqih, Ushul Fiqh dan lain-lain juga mengalami perkembangan signifikan. Perkembangan ini memunculkan tokoh-tokoh besar dalam sejarah ilmu pengetahuan, seperti; Al-Kindi, Al-Khwarizmi, Muhammad Jakfar bin Musa, Ahmad bin Musa, Abu Tammam, Al-Jahiz, Ibnu Malik At-Thai, Abul Faraj, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Misykawaih, hingga sejarawan besar Ibnu Khaldun sebagian ulama yang belajar di Baitul Hikmah. Mereka lah yang berpengaruh besar terhadap perkembagan ilmu pengetahuan selanjutnya, bukan hanya untuk Islam tapi juga Barat dan Eropa.

Setelah meninggalnya Harus Ar-Rashid, pemeliharan Baitul Hikmah kemudian dilanjutkan oleh penerusnya, Al-Mamun.

Tidak kalah dengan pendahulunya, di masa Al-Makmun, Baitul Hikmah terus mengalami kemajuan. Al-Makmun mengundang para ilmuwan di seluruh dunia Islam untuk berbagi ide, informasi, dan pengetahuan di perpustakaan ini. Ketertarikannya terhadap filsafat juga mendorongnya melakukan terjemah besar-besaran terhadap karya-karya dari Yunani.

Baitul Hikmah terus mengalami perkembangan di masa setelah Makmun, Al-Mutashim dan Al-Watsiq, namun mengalami kemerosotan di masa Al-Mutawakkil, dan kemudian musnah pada masa Al-Mustashim akibat serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan, cucu Genghis Khan, pada tahun 1258.

Namun Baitul Hikmah hancur diratakan dengan tanah, dan buku-bukunya dibuang sungai. Konon, warna air Sungai Tigris yang melalui Bagdad, berubah menjadi merah dan hitam selama seminggu. Merah dari darah para ilmuwan dan filsuf yang terbunuh, sedangkan hitam dari tinta buku-buku berharga koleksi Baitul Hikmah yang luntur setelah dibuang ke sungai itu.*

Penulis sedang kuliah di Al Azhar, Mesir. Aktif di Pusat Kajian Pemikiran dan Peradaban Islam, Nun Centre http://www.hidayatullah.com/read/24924/20/09/2012/baitul-hikmah-danperanannya-terhadap-peradaban-islam.html (14 January 2013. 10:42)

KUTTAB SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

PENDAHULUAN

Keberadaan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia yang katanya mayoritas Islam, masih dianggap sebelah mata. Bahkan banyak yang tidak mengerti bahwa Madrasah Ibtidaiyah, Tsnawiyah, dan Aliyah termasuk Lembaga Pendidikan Formal.

Untuk memajukan Lembaga Pendidikan Islam, penting sekali bagi kita untuk mempelajari bentuk-bentuk Lembaga Pendidikan Islam yang pernah ada. Mempelajari perkembangan Lembaga Pendidikan Islam, tentulah dimulai dari Lembaga Pendidikan Islam yang pertama kali ada, yaitu kuttab. Lembaga Pendidikan Islam yang sudah ada sejak zaman Rasulullah. Kuttab pertama kali ada di Arab. Bangsa Arab sendiri sebelum berkembangnya Islam terkenal dengan budaya jahiliah. Mayoritas masyarakat Arab buta huruf dan kurang tertarik mengembangkan pendidikan. Ketika Islam datang, hanya ada 17 orang Quraisy yang mengenal tulis baca.

PENGERTIAN KUTTAB Istilah kuttab telah dikenal di kalangan bangsa Arab pra-Islam; dan seperti

sebelumnnya kuttab menjalankan fungsi yang sama dalam Islam, yaitu sebagai lembaga pendidikan dasar terutama mengajarkan tulis-baca. Pada saat datangnya Islam hanya ada 17 orang Quraisy yang mengenal tulis-baca. Di tengah permusuhan suku Quraisy, tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Rasul saw bersama pengikutnya yang hanya sedikit. Ketika akhirnya mereka hijrah ke Madinah (622 M.) beberapa orang dari suku Aws dan Khazraj (dua suku utama Madinah) dapat menulis dan membaca.

Menuruti ajaran Islam, Rasulullah saw. memberikan perhatian khusus pada soal-soal pendidikan. Keterampilan tulis-baca yang merupakan materi utama pendidikan kuttabmenjadi semakin penting sejalan dengan berkembangnya komunitas Muslim Madinah.

Kebutuhan paling penting, tentunya, adalah mencatat wahyu yang diterima oleh Rasul saw. Tetapi tulis-baca ini juga dibutuhkan untuk memungkinkan komunikasi antara umat Islam dengan suku dari bangsa lain. Peletakan tulis-baca sebagai prioritas dapat kita lihat dengan peristiwa pembebasan beberapa tawanan Perang Badr (2/624) setelah mereka mengajarkan tulis-baca kepada sekelompok Muslim. Rasul saw juga

memerintahkan Al-Hakam bin Said untuk mengajar pada sebuah kuttab di Madinah. Ini menunjukkan bahwa pendidikan telah menjadi perhatian utama umat Islam sejak masa yang paling awal.

Pada mulanya, pendidikan kuttab berlangsung di rumah-rumah para guru (muallim, muaddib) atau di pekarangan sekitar masjid. Materi yang digunakan dalam pelajaran tulis-baca ini pada umumnya adalah puisi dan pepatah-pepatah Arab yang mengandung nilai-niiai tradisi yang baik. (Penggunaan Al-Quran sebagai teks dalam kuttab baru terjadi kemudian, ketika jumlah Muslim yang menguasai Al-Quran telah banyak, dan terutama setelah kegiatan kodifikasi pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan). Kebanyakan guru kuttab masa awal Islam adalah nonMuslim, sebab Muslim yang dapat membaca dan menulis yang jumlahnya masih sangat sedikit sibuk dengan pencatatan wahyu Al-Quran. Kuttab berasal dari akar kata taktib yang artinya mengajar menulis. Sementara katib atau kuttab berarti penulis. Institusi tersebut hanya berupa tempat belajar baca tulis bagi anak-anak.

Kuttab merupakan tempat belajar yang mula-mula lahir di dunia Islam. Pada awalnya kuttab berfungsi sebagai tempat memberikan pelajaran menulis dan membaca bagi anak-anak, Kuttab sebenarnya telah ada di negeri Arab sebelum datangnya agama Islam. Kuttab merupakan institusi pendidikan yang tertua dalam sejarah tarbiyah. Bisa diibaratkan sebagai sebuah pesantren di Jawa. Kondisinya masih sangat sederhana. Yang ada hanya seorang guru yang dikelilingi sejumlah murid. Di antara penduduk Mekah yang mula-mula belajar menulis huruf Arab di kuttab ini ialah Sufyan bin Umayyah bin Abdul Syams dan Abu Qais Abdul Manaf bin Zuhrah bin Kilab.Keduanya belajar dari Bisyr bin Abdul Malik yang mempelajarinya dari hirah. Kuttab dalam bentuk awalnya hanya berupa ruangan di rumah seorang guru. Keistimewaan lembaga tradisional pertama dalam Islam ini, meskipun masih sangat sederhana, tetapi memberikan kontribusi bagi umat hingga berdirinya sistem madrasah pada abad-abad berikutnya. Pendidikan jenis kuttab ini pada mulanya diadakan di rumah-rumah guru. (mualim, muaddib). Setelah Nabi Saw. dan para sahabat membangun masjid, barulah ada kuttab yang didirikan di samping masjid. Selain itu ada juga kuttab yang didirikan terpisah dari masjid. Masa belajar di Kuttab tidak ditentukan, bergantung kepada keadaan si anak. Anak yang cerdas dan rajin, akan lebih cepat menamatkan pelajarannya. Sebaliknya anak yang malas akan memakan waktu yang lama untuk menamatkan pelajarannya. Sistem pengajaran di kuttab ketika itu tidak berkelas. Para murid biasanya duduk bersila dan berkeliling menghadap guru.

Pada awal pemerintahan Islam di Madinah, pengajar baca tulis di kuttab kebanyakan non muslim, karena sedikit sekali kaum muslim yang bisa menulis. Rasulullah pernah membebaskan para tawanan perang dengan syarat mengajari 10 orang muslim membaca dan menulis. Pada awalnya pengajaran baca-tulis tidak dinukil langsung dari Al-Quran tetapi dari puisi dan syair bijaksana orang-orang Arab. Setelah banyak kaum muslimin yang pandai menulis dan membaca, maka pengajaran baca tulis di kuttab sumber nukil pun tidak lagi puisi dan syair tetapi Al-Quran.

JENIS-JENIS KUTTAB Pada mulanya kuttab (maktab) berfungsi sebagai tempat memberikan pelajaran menulis dan membaca bagi anak-anak, namun ketika ajaran Islam mulai berkembang, pelajaran ditekankan pada penghafalan Al-Quran. Menurut catatan sejarah, kuttab telah ada di negeri Arab sejak masa pra-Islam, walau belum begitu dikenal dan baru berkembang pesat setelah periode bani Ummayah, namun seiring dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam, jumlah pemeluk Islam pun semakin bertambah. Hal ini menuntut dikembangkannya kuttab yang ada untuk mengimbangi laju pendidikan yang begitu pesat. Pada perkembangan selanjutnya, selain kuttab-kuttab yang ada di masjid, terdapat pula kuttab-kuttab umum yang berbentuk madrasah, yakni telah

mempergunakan gedung sendiri dan mampu menampung ribuan murid. Kuttab jenis ini mulai berkembang karena adanya pengajaran khusus bagi anakanak keluarga kerajaan, para pembesar, dan pegawai Istana. Dan diantaranya yang

mengembangkan pengajaran secara khusus ini adalah Hajjaj bin Yusuf al-Saqafi (w.714) yang pada mulanya menjadi muaddib bagi anak-anak Sulayman bin Naim, Wazir Abd al-malik bin Marwan. Dua Jenis Kuttab Ahmad Syalabi adalah ilmuwan pertama yang menjelaskan terdapatnya dua jenis kuttabdalam sejarah pendidikan Islam. Perbedaan ini terutama didasarkan pada isi pengajaran (kurikulum), tenaga pengajar dan masa tumbuhnya. 1. Kuttab jenis pertama adalah kuttab yang berfungsi mengajarkan tulis-baca dengan teks dasar puisi-puisi Arab, dan dengan sebagian besar gurunya adalah non-Muslim (setidaknya pada masa Islam yang paling awal). 2. Kuttab jenis kedua adalah yang berfungsi sebagai tempat pengajaran Al-Quran dan dasar-dasar agama Islam. Di sinilah, menurut Syalabi, terjadinya kekeliruan pemahaman oleh beberapa ilmuwan terdahulu, dengan menganggap kedua

jenis kuttab ini adalah sama. Ia mengambil contoh tiga orang ilmuwan: Philip K. Hitti, Ahmad Amin, dan bahwa Ignaz Goldziher. Konsekuensinya dan memang cukup jelas.

Mempercayai

tulis-baca

Al-Quran

dasar-dasar

agama

diajarkan

pada kuttab yang sama sejak masa Islam yang paling dini akan menjurus pada kesimpulan bahwa anak-anak generasi awal Muslim mempelajari agamanya dari orangorang non-Muslim. Di sinilah signifikansi perbedaan kedua kuttab ini menjadi terlihat

jelas. Kuttab jenis kedua tidak ditemui pada masa paling awal, ketika kuttab jenis pertama sudah mulai berkembang. Pengajaran Al-Quran pada kuttab (sebagai teks) baru mulai setelah jumlah qurra dan huffazh (ahli bacaan dan penghafal Al- Quran)

telah banyak. Sebelumnya pengajaran agama anak-anak dilangsungkan di rumahrumah secara non-formal. Dengan semangat ilmiah yang tinggi, jumlah Muslim yang mengenal tulis-baca serta menguasai Al-Quran berkembang sangat cepat, dan ketergantungan pada guruguru non-Muslim berangsur hilang. Hal ini dilengkapi dengan kontak umat Islam dengan pusat-pusat kegiatan intelektual di luar Arabia sepanjang dan sesudah penaklukan. Hanya sekitar sepuluh tahun setelah wafatnya Rasulullah saw, pasukan Islam telah menguasai Syria, Irak, dan Mesir daerah-daerah yang menjadi pusat kegiatan intelektual saat itu. Peristiwa ini mendorong munculnya diversifikasi pengetahuan yang dikenal oleh umat Islam dan pada gilirannya mempengaruhi kurikulum kuttab. Perkembangan berikutnya menunjukkan bahwa tulis-baca, puisi, Al-Quran, gramatika bahasa Arab, dan aritmatika (berhitung dasar) menjadi bagian utama dari kurikulum pendidikan level ini Beberapa sumber Abad Pertengahan memberikan informasi yang saling berbeda tentang usia anak memasuki pendidikan kuttab. Barangkali ini dapat juga dianggap sebagai pertanda tidak adanya ketentuan yang baku. Ilmuwan Al-Andalus (Spanyol), Ibn Hazm (w. 456/1064) menganggap bahwa usia lima tahun adalah ideal untuk memulai pendidikan kuttab. Ibn Al-Jawzi (w. 597/1200) memberitakan bahwa ia memulai pendidikan kuttabnya pada usia enam tahun, tetapi banyak di antara teman sekelasnya yang lebih tua dari dia sendiri. Seorang ulama benama Ibn Al-Adim baru masuk kuttab pada usia tujuh tahun. Yang lain bahkan menunggu sampai berusia sepuluh tahun. Semua ini

menunjukkan tidak adanya keseragaman praktik tentang usia untuk memulai pendidikan kuttab. Perbedaan ini juga berlaku dalam penekanan materi pengajaran, sesuai dengan kebutuhan daerah tertentu dan pertimbangan para ulamanya. Berikut ini adalah catatan Ibn Khaldun (w. 808/1406) mengenai praktik pendidikan kuttab pada masanya, yang menunjukkan perbedaan tersebut pada empat daerah yang berbeda. Pertama, umat Islam Al-Maghrib (Maroko) sangat menekankan pengajaran Al-Quran. Anak-anak daerah ini tidak akan belajar sesuatu yang lain sebelum menguasai Al-Quran secara baik. Pendekatan mereka adalah pendekatan ontografi (mengenali satu bentuk kata dalam hubungannya dengan bunyi bacaan). Itulah sebabnya, menurut Ibn Khaldun, Muslim Maroko dapat menghafal Al-Quran lebih baik dari Muslim daerah mana pun. Kedua, Muslim Spanyol (Al-Andalus). Kuttab daerah ini mengutamakan menulis dan membaca. Al-Quran tidak diutamakan dibandingkan dengan puisi dan bahasa Arab, misalnya. Penekanan dapat membaca dan menyalin Al-Quran tanpa harus menghafalnya (seperti Muslim Maroko). Ketiga, daerah Ifriqiyah (Afrika Utara = Tunisia, sebagian Algazay, dan sebagian Libya). Di sini, begitu Ibn Khaldun, pendidikan dasar di kuttab mengutamakan Al-Quran dengan tekanan khusus pada variasi bacaan (qiraat); lalu dilkuti dengan seni kaligrafi dan hadis. Daerah keempat yang dibicarakan oleh Ibn Khaldun adalah daerah Timur (AlMasyriq = Timur Tengah, Iran, Asia Tengah, dan Semenanjung India) yang menurut pengakuannya tidak ia ketahui secara jelas dibandingkan tiga daerah yang pertama. Secara umum daerah Timur ini menganut kurikulum campuran, dengan Al-

Quran sebagai inti; tetapi tidak memadukannya dengan keterampilan kaligrafi, sehingga tulisan tangan anak-anak Muslim dari Timur tidak begitu baik. Lepas dari perbedaan-perbedaan yang ada, kuttab berkembang pesat sejak masa awal dan dalam perjalanan sejarah peradaban Islam mengalami perkembangan yang menyesuaikan kepada berbagai latar belakang budaya. Dari lembaga dengan belasan murid pada awalnya, kuttab, di beberapa tempat, menjadi lembaga yang mengumpul ribuan murid, masih pada penghujung abad pertama Hijriyah. Kuttab pimpinan Abu Al-Qasim Al-Balkhi (w. 105/723) di Kufah diberitakan mempunyai 3.000 orang murid. Meluasnya lembaga ini, barangkali, dapat kita bayangkan dari laporan seorang pengembara, Ibn Hawqal (w. 367/977). Ketika ia mengunjungi Palermo, Sisilia, di sana terdapat sekitar 300 orang guru kuttab satu fakta yang mengindikasikan terdapatnya ratusan kuttab di kota ini. Palermo hanyalah sebuah kota kecil bila dibandingkan dengan Baghdad, Damaskus, Aleppo Istanbul, Jerussalem, Samarkand, atau Kairo. Pada Abad Pertengahan beberapa kuttab di Kairo menyediakan asrama dan akomodasi bagi murid-muridnya. Di daerah ini juga ada kuttab yang berafiliasi dengan satu lembaga; pendidikan tinggi yang secara tidak langsung tentunya membantu kelangsungan pendidikan murid-murid lulusannya ke level yang lebih tinggi.

Menurut Ahmad Syalabi terdapat dua jenis Kuttab dalam sejarah pendidikan Islam. Perbedaan jenis Kuttab ini dilihat dari isi pengajaran (kurikulum), tenaga pengajar dan masa tumbuhnya.

a.

Kuttab yang berfungsi mengajarkan baca tulis dengan teks dasar puisi-

puisi Arab. Sebagian besar gurunya adalah non-muslim. Kuttab jenis ini berkembang pada masa Islam awal. b. Kuttab yang berfungsi sebagai tempat pengajaran Al-Quran dan dasar-

dasar agama Islam. Perbedaan Kuttab menurut daerah a. Kuttab di Al-Maghrib (Maroko) Umat Islam di Maroko sangat menekankan pengajaran Al-Quran. Anak-anak daerah ini tidak akan belajar sesuatu yang lain sebelum menguasai Al-Quran secara baik. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ontografi (mengenali satu bentuk kata dalam hubungannya dengan bunyi bacaan). Itulah sebabnya, menurut Ibnu Khaldun, muslim Maroko dapat menghafal Al-Quran lebih baik dari muslim daerah mana pun. b. Kuttab di Spanyol (Al-Andalus) Kuttab daerah ini mengutamakan menulis dan membaca. Al-Quran tidak diutamakan dibanding dengan puisi dan bahasa Arab. Penekanan pada pelajaran menulis melahirkan ahli-ahli kaligrafi yang dapat membaca dan menyalin Al-Quran tanpa harus manghafalnya (seperti muslimMaroko) c. Kuttab di Ifriqiyah (Afrika Utara=Tunisia, sebagian Algazy, dan sebagian Libya) Kuttab di daerah ini menekankan pada variasi bacaan (qiraat) lalu diikuti kaligrafi dan hadits d. Kuttab di daerah timur (Al-Masyriq=Timur Tengah, Iran, Asia Tengah, dan Semenanjung India)

Secara umum, Kuttab di daerah ini menganut kurikulum campuran dengan AlQuran sebagai inti, tetapi tidak memadukannya dengan ketrampilan kaligrafi, sehingga tulisan tangan anak-anak muslim dari daerah timur tidak begitu baik.

SPI Pramadrasah:Rumah dan Kuttab a. Periode pra-madrasah merupakan periode permulaan tumbuh dan

lahirnya lembaga-lembaga pendidikan Islam. Pendidikan Islam pada tahap yang paling awal ini berlangsung secara informal di rumah-rumah. Rasulullah telah menjadikan rumah al-Arqam Ibn Abi al-Arqam sebagai tempat belajar dan tempat pertemuan pertama dengan para sahabatnya. Di rumah ini beliau menyampaikan dasar-dasar agama dan mengajarkan al-Qur`an kepada mereka. b. Di samping itu, Rasulullah juga telah menjadikan rumahnya di Mekkah

sebagai tempat berkumpul untuk belajar. Proses pendidikan Islam yang dilaksanakan secara informal ini kiranya masih berkaitan dan bersentuhan dengan upaya-upaya dalam rangka dawah islamiyyah c. Azyumardi Azra: pendidikan Islam pada awal pertumbuhannya

bersentuhan dengan upaya-upaya dakwah islamiyah. Hal ini terbukti dengan dijadikannya rumah al-Arqam sebagai pusat pendidikan Islam sekaligus pusat dakwah Islam. d. Melalui proses historis yang panjang, pendidikan Islam lambat-laun

memformalkan dirinya menjadi sebuah sistem pendidikan Islam yang berbeda dengan dakwah Islam. Muhammad Jamal: keduanya dapat dibedakan dari segi obyek formalnya. Obyek pendidikan Islam adalah subyek didik yang dididik

dalam keluarga, sekolah dan masyarakat, sedangkan obyek dakwah Islam adalah masyarakat yang menyimpang dari ajaran Islam, sehingga para rasul diutus untuk meluruskannya. e. Karena bersentuhan dengan dakwah, materi pendidikan Islam yang

disampaikan Rasulullah tidak terlepas dari hal-hal yang berkaitan dengan akidah Islam. f. g. Ayat-ayat Makiyyah kebanyakan berisi tentang akidah islamiyah Pada pekembangan berikutnya, pendidikan Islam mengalami transformasi

yang cukup berarti. Selain di rumah-rumah, pendidikan Islam juga dilaksanakan di kuttab-kuttab. h. Nakosteen: Kuttab adalah tempat belajar yang terletak di rumah guru di

mana para murid berkumpul untuk menerima pelajaran i. Stanton: Kuttab berarti tempat terbuka di luar rumah di mana guru

mengajak murid-muridnya ke lapangan di sekitar masjid atau taman umum. j. Syalabi: Kuttab dipandang sebagai lembaga pendidikan dasar tertua

yang ada sebelum Islam yang digunakan untuk belajar tulis-baca. k. ketika Islam datang, kuttab mengalami perluasan fungsi. Ia bukan hanya

untuk belajar tulis-baca, tapi juga untuk belajar al-Qur`an yang khusus bagi anakanak. l. Stanton membagi Kuttab ke dalam dua bagian, yaitu kuttab pendidikan

sekuler yang mengajarkan ilmu-ilmu non-agama; dan kuttab pendidikan agama yang mengajarkan al-Qur`an.

m.

Syalabi: Bangunan kuttab masih terbilang sangat sederhana. Ada yang

berukuran kecil dan sempit yang dapat menampung beberapa murid saja, dan ada pula yang berukuran besar dan cukup luas sehingga dapat menampung banyak murid. Kuttab terus berkembang seiring perkembangan Islam. Dari yang pada mulanya hanya memiliki belasan murid, pada penghujung abad Pertama Hijrah, sudah dapat ditemukan beberapa kuttab yang memiliki ribuan murid. Bahkan sampai abad Pertengahan, di Kairo terdapat beberapa kuttab yang menyediakan tempat tinggal bagi murid-muridnya, dan sebagian lagi

ada kuttab yang berafiliasi dengan lembaga pendidikan tinggi. n. Kurikulum kuttab tampak sederhana. Ia hanya mengajarkan tulis-baca,

hapalan al-Qur`an dan pokok-pokok ajaran Islam. Pada masa pemerintahan Umar Ibn al-Khattab, muncul ide pembaruan. Umar menginstruksikan agar anak-anak di kuttab juga diajarkan berenang, mengendarai kuda, memanah dan tatabahasa Arab. Instruksi Umar ini kiranya dapat dilaksanakan oleh para guru hanya pada beberapa kuttab yang memungkinkan. Berenang misalnya, hanya dapat dilaksanakan di kuttab-kuttab yang terletak di pinggir sungai seperti Irak dan Mesir. o. Sistem belajar di kuttab dapat dikatakan masih cenderung bersifat

individual. Menurut Makdisi, metode belajarnya tidak terlepas dari menghapal, mengulang, memahami,muzakarah dan mencatat. p. dengan metode ini, tradisi lisan (oral) telah berkembang sedemikian rupa

digunakan untuk menghapal al-Qur`an dan sebanyak mungkin materi-materi lain.

q.

Sistem belajar yang fokus pada upaya pengembangan tradisi lisan (oral)

ini, telah menjadikan surat-surat pendek dan syair-syair Arab sebagai materi utamanya. r. Kendala-kendala yang dihadapi lembaga kuttab untuk mengembangkan

tradisi tulis pada tahap awal ini adalah karena sastera al-Qur`an yang begitu tinggi, sehingga tidak dapat ditandingi; di samping bahasa Arab pada waktu itu belum mempunyai standar baku yang dapat digunakan sebagai patokan.

PERKEMBANGAN KUTTAB

1. Kuttab di Jaman Rasulullah Di Kuttab ini diajarkan baca tulis dengan teks dasar puisi-puisi Arab. Pengajaran Kuttab berlangsung di rumah para guru. Pasca muslimin hijrah ke Madinah, pendidikan model kuttab ini diberlakukan oleh Rasulullah dengan mengambil tempat di masjid dan rumah guru. Fungsi kuttab pun dibagi menjadi dua macam, pertama mengajarkan baca tulis dan kedua mengajar Al-Quran dan dasar-dasar agama Islam.

2. Kuttab di jaman Khulafaur rasyidin Seperti halnya pada zaman Rasulullah yang memusatkan pendidikan di kuttab, maka begitu pula yang terjadi pada zaman Abu Bakar Sidiq. Kuttab tetap dipertahankan

sebagai lembaga tempat belajar membaca dan menulis. Keberadaan kuttab seiring dengan pembangunan masjid, dan guru di Kuttab adalah para shahabat Rasulullah.

3. Kuttab di Zaman Umayyah Sistem Kuttab yang mengajarkan membaca, menulis Al-Quran dan agama Islam lainnya tetap dilanjutkan pada zaman Umayyah. Hanya saja tempatnya selain di masjid dan rumah guru juga diselenggarakan di istana. Kuttab di istana bertujuan mengajarkan anak-anak dari keluarga yang berada di istana Khalifah. Guru istana

dinamakan muaddib. Pendidikan istana mengajarkan Al-Quran, hadits, syair, riwayat hukama, menulis, membaca, dan adab sopan santun.

BAB V INSTITUSI PENDIDIKAN ISLAM PRA MADRASAH

Munculnya berbagai bentuk pendidikan Islam yang tersebar dan menjamur saat ini, tidak terlepas peran lembaga-lembaga pendidikan Islam pada masa kejayaan Islam (masa Rasulullah Saw, Al-Khulafa Al-Rashidin, Bani Ummayah, Bani Abbasiyah). Saat itu telah dikenal institusi pendidikan Islam, namun pelaksanaannya masih pada tempat yang sederhana. Lebih jauh lagi George Makdisi mengklasifikasikan institusi-institusi tersebut menjadi dua periode, yakni periode pra-madrasah dan periode pasca-madrasah. Periode pra-madrasah yaitu: 1. Kuttab

Lembaga pendidikan dasar tempat mengajarkan baca tulis untuk anakanak.

2.

Manazil al-Ulama (Rumah Kediaman para Ulama)

Kediaman para ulama dan ahli ilmu pengetahuan yang pernah digunakan sebagai forum kajian ilmiah, di antaranya adalah rumah Ibn Sina, al-Ghazali, Ali Ibn Muhammad al-Fasihi, Yaqub Ibn Kilis, Abu Sulayman al-Sijistani, dan masih banyak lagi.

3.

Masjid dan Jami

Ketika Rasulullah Saw, hijrah ke Madinah dengan semakin banyaknya pengikut Islam dan semakin kompleksnya masalah-masalah yang perlu dikaji, fungsi awal rumah sebagai wahana pendidikan dialihkan ke masjid-masjid seperti masjid Nabawi dan Quba, yang dijadikan pusat bagi segala aktifitas pendidikan, kemasyarakatan kenegaraan dan keagamaan. Hal ini karena masjid dianggap sebagai institusi pendidikan yang merupakan instrumen yang pertama dan efektif untuk membantu transisi masyarakat Arab pada waktu itu, dari masyarakat primitif menjadi masyarakat yang lebih maju.

4.

Qusur (Pendidikan Rendah di Istana)

Pada tahap ini Pendidikan dikenalkan pada anak-anak di lingkungan Istana. Metode pendidikan dasar ini dirancang oleh orang tua murid agar selaras dengan tujuannya dan sesuai dengan minat dan kemampuan anaknya.

5. Hawanit al-Waraqin Pada masa ini bermunculan toko-toko buku sebagai agen komersil dan sekaligus berfungsi sebagai center of learning. Ini berawal pada permulaan Daulah Abbasiyah, yang kemudian menyebar dengan cepat ke berbagai ibukota dan Negara-negara berbeda di negeri Islam. Para pemilik toko-toko (warraqun) ada yang telah dapat menulis kitab-kitab monumental dengan karya-karyanya, diantaranya Ibn al-Nadim (995 M) yang menulis kitab Fihrisat (Indent of Nadim), Ali bin Isa yang menulis bermacammacam kitab, dan Yaqut al-Hammi yang menulis Mujam al-Udaba, dan Mujam alBuldam.

6. Al-Salunat al-Adabiyyah (Majelis Sastra) Lembaga ini merupakan pengembangan dari majelis-majelis al-Khulafa alRashidin. Selain mengurus masalah-masalah pemerintahan, juga memberikan fatwa-fatwa agama melalui forum masjid ataupun diluar masjid. Forum ini mengalami kemajuan yang cukup pesat, karena sering diadakan semacam perlombaan syair dan perdebatan para fuqaha dan diskusi diantara para sarjana dari berbagai disiplin ilmu. Sehingga muncullah tokoh-tokoh yang aktif hadir dalam forum tersebut : a. Dari Kalangan Penyair: Abu Nuwas, Abu al-Itahiyah Dabal, Muslim Ibn al-Walid dan al-Abbas al-Ahnaf. b. Dari kalangan musisi, Ibrahim al-Mawali dan anaknya bernama Ishaq.

c. Dari kalangan ahli Gramatika: Abu Ubaidah, al-Ismail al-KisaI, Ibn-Siman, alWaiz dan al-Waraqid.

7. Maktabat (Perpustakaan) Perpustakaan ini bersifat umum dan yang paling terkenal dimasanya diantaranya perpustakaan Iskandariyah dan Bait al-Hikmah (House of wisdom) pada masa daulah Abbasiyah. Pada perkembangan selanjutnya perputakaan telah menjadi salah satu pusat pendidikan dan kebudayaan Islam. Perpustakaan dipakai juga oleh ilmuan sebagai pusat researces akademik.

8. Al-Badiyah (Daerah Pedalaman) Pada tahapan ini, banyak dari para pelajar yang sangat peduli akan orisinalitas kebahasaan mereka, dan memutuskan unutk pergi belajar bahasa ke badiyah (suku pedalaman/badui) bahkan banyak yang sampai menetap disana beberapa waktu demi pendalaman bahasa mereka.

9. Bimaristan dan Mustashfayat Bimaristan dan Mustashfayat atau dikenal dengan lembaga rumah sakit, pertama kali dibangun oleh Abu Zabal pada tahun 1825 M di Mesir. Dalam institusi ini, selain digunakan sebagai tempat penyembuhan orang sakit, juga di gunakan sebagai pusat pengajaran ilmu kesehatan. Institusi ini dikembangkan lagi pada masa pemerintahan Al-Walid Ibn Abd Malik pada tahun 1888 M dimana

institusi ini telah memainkan peranannya yang sangat besar dalam sejarah perkembangan pendidikan Islam.

BAB VI PENUTUP Kegiatan pendidikan pada masa pra-Islam berlangsung pada Kuttab-Kuttab dan pasar tradisional. Setelah datangnya Islam, berkembanglah lembaga-lembaga pendidikan Islam yang sangat mempengaruhi pendidikan di Arab. Dengan mempelajari Lembaga Pendidikan di masa lalu, diharapkan agar bermanfaat bagi perkembangan Lembaga Pendidikan Islam pada masa yang akan datang.

http://psikologip.blogspot.com/2011/12/kuttab-sebagai-lembaga-pendidikan-islam.html January 2013. 10:50) Al-qushur (istana)

(14

Istana tempat kediaman Khalifah, raja, sultan, da keluarganya, berfungsi sebagai pusat pengendali kegiatan pemerintahan, juga digunakan sebagai tempat bagi berlangsungnya kegiatan pendidikan bagi para putra Khalifah, raja, dan sultan. Mata pelajaran yang diberikan kepada para putra raja tersebut antara lain berkenaan dengan ilmu pengetahuan, peradaban, bahasa, sastra, keterampilan berpidato, sejarah kehidupan orang-orang para pahlawan dan orang-orang yang sukses, serta keterampilan dalam memanah, mengendarai kuda, dan berenang. Guru yang mengajar di istana di sebut Muaddib, yang menggambarkan seorang yang cakap dan berkepribadian utama http://kelompokidi123.blogspot.com/2012/12/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_10.html (14 January 2013. 10:53)

TAFSIR AL-MISBAH QS. AL-MUJADALAH AYAT 11

TAFSIR AL-MISBAH QS. AL-MUJADALAH AYAT 11 (Pemikiran M. Quraish Shihab, Tantang Ilmu Pengetahuan} A. Pendahuluan Al-Quran Al-Karim memperkenalkan dirinya dalam berbagi ciri dan sifat salah satu di antaranya bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah. Al-Qura.an diturunkan oleh Allah kepada Muhammad melalui malikat Jibril tidak sekaligus tetapi berangsur-angsur memakan waktu yang cukup lama yaitu waktu Muhammad diangkat menjadi Nabi sampai belau wafat. Yang berisi petunjuk dan ajaran tantang segala kehidupan. Al-Quran secara harfiah berarti bacaaan sempurna merupakan suatu nama pilihan Allahyang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis-baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi al-Quran alKarim bacaan sempurna lagi mulia.[1] M. Quraish Shihab adalah sosok seorang mufassir Indonesia cukup terkenal, beliau menafskan al-Qur.an supaya tetap menjadi petunjuk bagi umat manusia di dunia yang selalu aktual disetiap zaman dan tempat Al-Quran disampaikan kepada kita secara mutawatir, baik melalui tulisan atau bacaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dan terpelihara dari perubahan dan pergantian. Sebagaimana telah disebutkan bahwa sedikitpun tidak ada keraguan atas kebenaran dan kepastian isi Al-Quran itu, dengan kata lain Al-Quran itu benar-benar datang dari Allah. Oleh karena itu hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Quran merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia sepanjang masa. Banyak ayat-ayat yang menerangkan bahwa Al-Quran itu benar-benar datang dari Allah. B. Pembahasan 1. Biografi M. Quraish Shihab Kehadiran Quraish Shihab di Indonesia semakin memperkaya khasanah keilmuan Islam khususnya dibidang tafsir al-Quran. Quraish shihab di lahirkan di Rappang, Sidrap, Sulawesi Selatan, 16 Februari 1944 M.[2]Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab berasala dari keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya Prof. KH. Abdrahman Shihab di pandang sebagai tokoh pendidik yang memiliki reputasi baik dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Pendidikan formalnya di mulai dari sekolah dasar di Ujung Pandang, Shihab menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang dan melanjutkan di SMP di Ujung Pandang hingga kelas 2. Pada tahun 1956 ia berangkat ke Malang untuk melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Darul Hadits al-Faqihiyah. Khususnya di Jawa, ada cukup berkembang di lingkungan Pondok Pesantren Darul Hadits alFiqihiyah tempat Quraish Shihab Nyantri adalah ahlu al-sunah waal- Jamaah yang dalam paham Islam menganut paham Asyariyah dan Maturidiyah.[3] Pada tahun 1958 di berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyah al-Azhar. Setelah selesai Quraish Shihab melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar pada fakultas ushuludinjurusan Tafsir Hadits dan memperoleh gelar Lc (S-1) pada tahun 1967, kemudian pada tahun yang sama Quraish Shihab melanjutkan studinya dengan fakultas yang sama spesialisasi bidang tafsir al-Quran. Dan pada tahun 1969 meraih gelar MA dengan tesis berjudul al-Ijas al-Tasyri iy li alQuranul Karim.

Sekembalinya di Ujung Pandang Qurish Shihab di percayakan untuk menjadi wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan pada IAIN Alauddin Unjung Pandang , selain itu ia juga di serahi jabatan-jabatan lain baik di dalam kampus seperti koodinator perguruan tinggi swasta (Wilayah VII) Indonesia Timur, maupun di luar kampus seperti pembantu pimpinan kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang dia juga sempat melakukan penelitian antara lainPenerapan kerukuna hidup beragama di Indonesia Timur pada tahun (1975) dan Masalah Wakaf Sulawesi Selatan pada tahun 1978[4] Pada 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikannya di almamaternya yang lama, Universitas Al-Azhar. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doktor dalam bidang ilmu-ilmu Al-Quran. Dengan disertasi berjudul Nazhm Al-Durar li Al-Biqaiy, Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian dan Analisa terhadap Keotentikan KitabNazm ad-Durar Karya al-Biqai), ia berhasil meraih gelar doktor dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtat maa martabat al-syaraf al-ula). Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al-Quran di Program S1, S2 dan S3 sampai tahun 1998. Quraish Shihab bahkan dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian ia diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap Republik Djibouti yang berkedudukan di Kairo. Ia juga dipercaya untuk menduduki berbagai jabatan lain, antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, anggota Lajnah PentashihAl-Quran Departemen Agama, dan anggota Badan Pertimbangan PendidikanNasional. Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional, antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah, Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika: Indonesian journal for Islamic Studies, Ulumul Qur an, Mimbar Ulama, dan Refleksi jurnal Kajian Agama dan Filsafat.Di sela-sela segala kesibukannya itu, ia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri. Di samping kegiatan tersebut di atas, M.Quraish Shihab juga dikenal sebagai penulis dan penceramah yang handal, termasuk di media televisi. Ia diterima oleh semua lapisan masyarakat karena mampu menyampaikan pendapat dan gagasan dengan bahasa yang sederhana, dengan tetap lugas, rasional, serta moderat. [5] 2. Metode Penafsiran al-Quran a. Metode Ijmali (Global) Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan cara mengemukakan makna global.[6] Pengertian tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Quran secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca.

b.

c.
1) 2) 3)

d.

3.

Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam mushhaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa AL-Quran sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-Quran padahal yang didengarnya itu tafsirnya.[7] Metode Tahliliy (Analisis) Yang dimaksud dengan Metode Tahliliy (Analisis) ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat -ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Kalau kita lihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang terdapat dalam tafsir tahliliy yang jumlah sangat banyak, dapat dikemukakan bahwa paling tidak ada tujuh bentuk tafsir.[8] Yaitu: Al-Tafsir bi al-Matsur, Al-Tafsir bi al-Rayi, Al-Tafsir al-Fiqhi, Al-Tafsir al-Shufi, At-Tafsir al-Ilmi, dan Al-Tafsir al-Adabi alIjtimai. Metode Muqarin (Komparatif) Pengertian metode muqarin[9](komparatif) dapat dirangkum sebagai berikut : Membandingkan teks (nash)[10] ayat-ayat Al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama; Membandingkan ayat Al-Quran dengan Hadits[11] Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat bertentangan; Membandingkan berbagai pendapat ulama[12] tafsir dalam menafsirkan Al-Quran. Metode Mawdhuiy (Tematik) Yang dimaksud dengan metode mawdhuiy ialah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikahi secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah; baik argumen itu berasal dari Al-Quran dan Hadits, maupun pemikiran rasional.[13] penafsiran al-Quran Sura Al-Mujadala ayat 11 (al-Misbah) Terjemahnya: Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapanglapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Larangan berbisik yang diturunkan oleh ayat-ayat yang lalu merupakan salah satu tuntunan akhlak, guna membina hubungan harmonis antar sesama. Berbisik di tengah orang lain mengeruhkan hubungan melalui pembicaraan itu. Ayat di atas merupakan tuntunan akhlak yang menyangkut perbuatan dalam majlis untuk menjalin harmonisasi dalam satu majelis.Allah berfirman Hai orang-0rang yang beriman, apa bila dikatakan kepada kamu oleh siapa pun:berlapang-lapanglah[14]. Yaitu berupayalah dengan sungguh-sungguh walau dengan memaksakan diri untuk memberi tempat orang lain dalam majlis-majlisyakni satu tempat, baik tempat duduk maupun

bukan tempat duduk, apabila diminta kepada kamu agar melakukan itu maka lapangkanlah tempat untuk orang lain itu dengan suka rela. Jika kamu melakukan hal tersebut, niscaya Allah akan melapangkan segala sesuatu buat kamu dalam hidup ini. Dan apabila di katakan:Berdirilah kamu ketempat yang lain, atau untuk diduduk tempatmu buat orang yang lebih wajar, atau bangkitlah melakukan sesuatu seperti untuk shalat dan berjihad, maka berdiri dan bangkit-lah, Allah akan meninggikan orangorang yang beriman di antara kamuwahai yang memperkenankan tuntunan ini.dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajatkemudian di dunia dan di akhirat dan Allah terhadap apa-apa yang kamu kerjakan sekarang dan masa akan datang Maha Mengetahui.[15] Ada riwayat yang menyatakan bahwa ayat di atas turun pada hari Jumat. Ketika itu Rasul saw. berada di suatu tempat yang sempit, dan telah menjadi kebiasaan beliau memberi tempat khusus buat para sahabat yang terlibat dalam perang Badr, karena besarnya jasa mereka. Nah, ketika majlis tengah berlangsung, beberapa orang di antara sahabat-sahabat tersebut hadir, lalu mengucapkan salam kepada Nabi saw. Nabi pun menjawab, selanjutnya mengucapkan salam kepada hadirin, yang juga dijawab, namun mereka tidak memberi tempat. Para sahabat itu terus saja berdiri, maka Nabi saw. memerintahkan kepada sahabat-sahabatnya yang lain-yang tidak terlibat dalam perang Badr untuk mengambil tempat lain agar para sahabat yang berjasa itu duduk di dekat Nabi saw. perintah Nabi itu, mengecilkan hati mereka yang disuruh berdiri, dan ini digunakan oleh kaum munafikin untuk memecah belah dengan berkata katanya muhammad berlaku adil, tetapi ternyata tidak. Nabi mendengar keritik itu bersabda: Allah merahmati siapa yang memberi kelapangan bagi saudaranya. Kaum beriman menyambut tuntunan Nabi dan ayat di atas pun turun mengukuhkan perintah dan sabda Nabi itu. Kata tafassa dan ifsa terambil dari kata fasaa yakni lapang. Sedang kata unsyuz terambil dari kata nsyuzyankni tempat yang tinggi. Perintah tersebut pada mulanya berarti beralih ketempat yang lebih tinggi. Yang dimaksud di sini pindah ketempat lain untuk memberi kesempatan yang lebih wajar duduk atau berada di tempat wajar pindah itu, atau bangkit melakukan suatu aktifitas positif. Ada yang memahaminya berdirilah dari rumah Nabi, jangan berlama-lama di sana, karena boleh jadi ada kepentingan Nabi saw. Yang lain dari yang perlu segera dia hadapi. Kata majlis adalah bentuk jamak dari kata majlis. Pada mulanya berartitempat duduk. Dalam konteks ayat ini adalah tempat Nabi Muhammad saw. Membert tuntunan agama ketika itu. Tapi yang dimaksud di sini adalah tempat keberadaan secara mutlak, baik tempat duduk, tempat berdiri atau bahkan tempat berbaring. Karena tujuan perintah atau tuntunan ayat ini adalah memberi tempat yang wajar serta mengalah kepada orang-orang dihormati atau yang lemah. Seorang tua non-muslim sekalipun, jika anda-wahai yang muda-duduk di bus, atau kereta, sedang dia tidak mendapat tempat duduk, maka adalah wajar dan berdab jika anda berdiri untuk memberinya tempat duduk. Ayat di atas tidak menyebut secara tegas bahwa Allah akan meninggikanderajat orang berilmu. Tetapi menegaskan bahwa mereka memiliki derajat-derajat[16] yakni lebih tinggi sekedar beriman. Tidak disebutnya katameninggikan[17] itu, sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang didmilikinya itulah yang berperanan besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari faktor di luar ilmu itu.

Tentu saja yang di maksud dengan alladznat al-ilmu/yang diberi pengetahuan[18] adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Ini berarti ayat di atas membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar, yang pertama sekedar beriman dan beramal shaleh, dan yang kedua beriman dan beramal shaleh serta memiliki pengetahuan. Derajat kelompok kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal pengajarannya kepada pihak lain secara lisan, atau tulisan maupun dengan keteladanan. Ilmu yang di maksud ayat di atas bukan hanya ilmu agama tetapi ilmu apapun yang bermanfaat. Dalam QS. 35: ayat 27-28. Allah meguraikan sekian banyak mahluk Ilahi, dan fenomena alam, lalu ayat tersebut ditutup dengan menyatakan bahwa: yang takut dan kagum kepada Allah dari hamba-hambanya hanyalah ulama, ini menunjukkan bahwa ilmu dalam pandangan al-Quran bukan hanya ilmu agama. Di sisi lain juga menujukkan bahwa ilmu haruslah menghasilkan khasyyah[19]yahni rasa takut dan kagum kepada Allah, yang pada gilirannya mendorong yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya serta memanfaatkan untu kepentingan mahkluk, Rasul sering kali berdoa (aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat). 4. Hubungan al-Quran dengan ilmu pengetahuan al-Quran adalah kitab petunjuk demikian hasil yang kita peroleh dari mempelajari sejrah turunnya. Jika demikian apakah hubungan al-Quran dengan ilmu pengetahuan. a. Ciri khas ilmu pengetahuan Ciri khas nyata dari ilmu pengetahuan (science) yang tidak dapat diingkarimeskipun oleh para ilmuan adalah bahwa ia tidak mengenal kata kekal. Apa yang dianggap salah di masa silam mislanya dapat diakui kebenarannya di abad modern.[20] Persolan ilmiah silih berganti, bukan saja dalam lapangan pembhasan satu ilmu saja, tetapi juga dalam teori-teori setiap cabang ilmu pengetahuan. Dahulu persolan moral tidak mendapat perhatian ilmuwan, tetapi kini penggunaan senjata nuklir, misalnya tidak dapat dipisahkan dari pesolan tersebut; mereka tidak mengabaikan persolan moral dalam penggunaan senjata nuklir yang merupakan dari hasil kemajuan ilmu pengetahuan.[21] Teori bumi datar yang merupakan satu hukum aksioma disatu masa misalnya, dibatalkan oleh teori bumi bulat yang kemudian dibatalkan oleh teori lonjong seperti lonjongnya telur. Mungkin tidak sedikit orang yang yakin bahwa pertimbangan logila atau ilmiah terutama menurut ilmu pasti adalah benar sedangkan keadaannya belum tentu demikian.[22] b. Al-Quran di tengah perkembangan ilmu Sebelum berbicara tentang masalah tersebut, terlebih dahulu perlu diperjelas pengertian ilmu yang dimaksud dalam tulisan ini.Al-Quran menggunakan kata ilm dalam berbagai bentuk dan artinya sebanyak 854 kali.ara lain sebagai peroses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan (QS. 2:31 -32). Pembicaraan tentang ilmu mengantarkan kita kepada pembicaraan tentang sumbersumber ilmu di samping klasifikasi dan ragam disiplannya.[23] Berbeda dengan klasifikasi ilmu yang digunakan oleh para filosof muslim atau non-muslim pada masa-masa silam, atau klasifikasi belakangan ini di kenal seperti antara lain, ilmu-ilmu sosial, maka pemikiran Islam pada abad XX, khususnya setelah

1. 2.

c.

1. 2. 3. 4. 1.

2.

C.

seminar internasional pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977 M, pengklasifikasian ilmu menjadi dua kategori : Ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu ilahi yang tertera dalam al-Quran dan hadis serta segala yang yang dapat diambil dari keduanya. Ilmu yang dicari (acquired knowledge)termasuk sains ke alaman dan terapannya yang dapat berkembang secara kualitatif dan penggadaan, variasi terbatas dan pengalihan antar budaya selama tidak bertentangan dengan syariah sebagai sumber nilai.[24]. Dewasa ini diakaui oleh ahli-ahli sejarah dan filsafat sains bahwa sejumlah gejala yang dipilih untuk dikaji oleh komunitas ilmuwan sebenarnya di tentukan oleh pandangan terhadap realitas atau kebenaran yang telah diterima oleh komunitas tersebut. Dalam hal ini, satu-satunya yang menjadi tumpuan perhatian sains mutakhir adalah materi Alam.[25] Korelasi antara al-Quran dan ilmu pengetahuan Membahas hubungan antara al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dari banyak atau tidaknya cabang-cabagn ilmu pengetahuan yang dikandungnya, tetapi yang lebih utama adalah melihat: adalah al-Quran atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan dan mendorongnya, karena kemajuan ilmu pengetahuan tidaknya diukur melalui sumbangan yang diberikan kepada masyarakat atau kumpulan ide dan metode yang dikembaangkannya, tetapi sekumpulan syaratsyarat pesikologi dan sosial yang diwujudkan, sehingga mempunyai pengaruh (positif ataupu negatif) terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.[26] Dalam al-Quran ditemukan kata-kata ilmu dalam berbagai bentuknya yang terulang sebanyak 854 kali. Di samping itu banyak pula ayat-ayat al-Quran yang menganjurkan untuk menggunakan akal, pikiran, penalaran, dan sebagainya, sebagaimana yang dikemukakan oleh ayat-ayat yang menjelaskan hamatan ilmu pengetahuan. Antara lain[27]: Sujektivitas: (a) suka tidak suka (baca antara lain, QS 43:78; 7:79); (b) taqdid atau mengikuti tanpaalasan, (baca antara lain, QS 36:67; 2:170). Angan-angan dan dugaaanyang tak beralasan (baca antara lain, QS 10:36). Bergegas gegas dalam mengambil atau kesimpulan (baca antara lain, QS 21:37). Sikap angkuh (enggang untuk mencari atau menerima kebenaran) (baca antara lain, QS 7:146), Di sampin itu, terdapat tuntutan-tuntutan antara lain;[28] Jangan bersikap terhadap sesuatu tampa dasar pengetahuan (QS 17:36), dalam arti tidak menetapkan sesuatu kecuali benar-benar telah mengetahui duduk persoalan (baca antara lain, QS 36:17), atau menolaknya sebelum ada pengetahuan (baca antara lain QS 10:39). Jangan menilai sesuatu karena faktor ekstren apapun-walaupun dalam pribadi tokoh yang diagungkan seperti Nabi Muhammad s.a.w. Ayat macam inilah yang mewujudkan iklim ilmu pengetahuan dan yang telah melahirkan pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan Islam dalam berbagai disiplin ilmu. Korelasi kedua dapat ditemukan pada iyarat-isyarat ilmiah yang tersebar sekian banyak ayat al-Quran yang berbicara tentang alam raya dan fenomenanya. Penutup

Dalam menghadapkan pemikiran yang melandasi segenap segala usaha dalam lingkup ilmu pengetahuan atau sain serta berbagai konsepnya, pada jaran agama Islam, khususnya yang terkandung dalam al-Quran. Petunjuk ini membawa kita pada suatu kesimpulan bahwa sebagai hamba Allah yang diciptakan untuk hidup di bumi ini, manusia harus menguasai ilmu keakhiratan dan ilmu keduniaan yang diperlukan. Sebagai penguasa, manusia boleh memanfaatkan alam dan sekelilingnya bagi kelangsungan hidupnya. Namun tidak boleh merusaknya; iya bertanggungjawab atas pelestariannya. hubungan antara al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dari banyak atau tidaknya cabang-cabagn ilmu pengetahuan yang dikandungnya, tetapi yang lebih utama adalah melihat: adalah al-Quran atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan dan mendorongnya, karena kemajuan ilmu pengetahuan tidaknya diukur melalui sumbangan yang diberikan kepada masyarakat atau kumpulan ide dan metode yang dikembaangkannya, tetapi sekumpulan syarat-syarat pesikologi dan sosial yang diwujudkan http://bumipanritakitta.blogspot.com/2013/01/tafsir-al-misbah-qs-al-mujadalah-ayat-11.html (14 January 2013. 11:30) Fiqh Lingkungan Fiqh lingkungan (fiqh al-bi'ah) merupakan terobosan baru bagi upaya konservasi lingkungan hidup dengan perspektif keagamaan. Perspektif ini sekaligus menegaskan akan pentingnya pendekatan agama, termasuk produk hukumnya, dalam angka konservasi lingkungan sebagai tambahan bagi pendekatan disiplin ilmu lain yang telah ada. Selanjutnya kata "lingkungan", sebagi terjemahan dari kata al-bi'ah dalam tulisan ini dilekatkan dengan kata "fiqh" yang secara istilah berarti pengetahuan tentang hukumhukum syari'at Islam mengenai perbuatan-perbuatan manusia, yang mana pengetahuan tersebut diambil dari dali-dalil yang bersifat at-tafshiliyyah.[i] Oleh karenanya, fiqh lingkungan yang dimaksud adalah pengetahuan atau tuntutan syar'i yang concern terhadap masalah-masalah ekologi atau tuntutan syar'i yang dipakai untuk melakukan kritik terhadap prilaku manusia yang cenderung memperlakukan lingkungan secara destruktif dan eksploitatif. Fiqh lingkungan di sini juga sekaligus berarti panduan dan peraturan bagi keselamtan kosmos. Dengan kata lain, bahwafiqh al-bi'ah merupakan upaya untuk memecahkan masalah lingkungan melalui pendekatan teks agama. Menurut Atho, paling tidak ada empat alasan utama terkait siginifikansi munculnya pengembangan fiqh lingkungan, yakni: Pertama, kondisi obyektif krisis lingkungan yang makin parah baik di negara-negara muslim maupun di level global. Hal ini memerlukan partisipasi dari ajaran agama Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Salah satu partisipasi ini diwujudkan dengan rumusan fiqh lingkungan. Konsep ini telah dirumuskan oleh para ulama dan intelektual muslim dan perlu dikembangkan lagi ke konsep-konsep yang lebih operasional dan melalui pelembagaan formal. Perpaduan antara nilai ajaran Islam dengan kearifan-kearifan formal sosial budaya dan hukum tentunya akan menguatkan. Dalam konteks umat Islam, hal ini akan memperkuat aspek jiwa dari sebuah hukum formal.

Kedua, umat Islam memerlukan kerangka pedoman komprehensif tentang pandangan dan cara melakukan partisipasi didalam masalah konservasi lingkungan. Fiqh klasik dipandang tidak memadai lagi dan belum mengakomodir dalam bentuk operasional panduan mengenai konservasi lingkungan dalam perspektif dan wawasan krisis lingkungan modern. Ketiga, fiqh lingkungan belum dianggap sebagai disiplin yang masuk ke ranah studi Islam. Akar-akar ontologis dan epistemologisnya masih diperdebatkan sehingga dianggap sebagai bagian dari ilmu lingkungan. Memang didalam fiqh muamalah terdapat tema-tema mengenai lingkungan seperti thaharah, ihya al-mawat, hukum berburu, hima, dan sebagainya, namun itu masih bersifat generik dan etis. Hal ini tentunya diperlukan penjelasan yang lebih operasional, kontekstual, dan berbobot ekologis. Keempat, fiqh lingkungan sebagai induk konservasi lingkungan berbasis ajara Islam perlu dimasukkan ke dalam program-program pendidikan. Hal ini sangat penting karena kesadaran mengenai konservasi lingkungan sangat efektif melalui strategi pendidikan dan kebudayaan. Dengan demikian, pengembangan fiqh lingkungan memperoleh dukungan kelembagaan Islam di samping dukungan-dukungan politik, dan atau ecothinker.[ii] Dengan pengembangan fiqh lingkungan tentunya sangat menarik untuk dicermati. Hal ini dikarenakan rumusan tersebut diharapkan mampu mengemban dua tujuan, yakni teoritis dan praktis. Sifat teoritis disini berupa gagasan-gagasan atau konstruksi-konstruksi utama, sedangkan sifat praktis yakni menghasilkan sejumlah panduan aplikatif-operasional bagi tindakan-tindakan konservasi lingkungan. Metode Fiqh Lingkungan Konsep fiqh lingkungan yang dirumuskan oleh para intelektual muslim mencerminkan dinamika fiqh terkait dengan adanya perubahan konteks dan situasi. Ada dua rumusan metode yang digunakan untuk membangun fiqh lingkungan, yakni mashlahah dan maqasid asy-syariah.Mashlahah secara etimologis adalah identik dengan kata manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Adapun secara definisi secara sederhana, mashlahah berarti mengambil manfaat dan menolak kemadharatan dalam rangka merawat tujuan-tujuan syara.[iii] Dalam ushul al-fiqh dikenal salah satu metodologi ijtihad, yakni mashlahah mursalah. Metode ini berinduk dari (pembagian) konsep mashlahah yang manakala ditilik dari perspektif syara' terhadap eksistensi mashlahah dan adanya keselarasan antara anggapan baik secara rasional dengan tujuan syara', mashlahah dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: mashlahah mu'tabarah, mashlahah mulghah, dan mashlahah mursalah. Pertama, mashlahah mu'tabarah, yaitu mashlahah yang berada dalam kalkulasi syara'. Dalam hal ini, dalil yang secara khusus menjadi dasar dari bentuk kemaslahatan ini, baik secara langsung ada indikator dalam syara' (munasib mu'atsir) atau pun secara tidak langsung ada indikatornya (munasib mulaim). Sepertimashlahah yang terkandung dalam pensyari'atan hukum qishash bagi pembunuhan sengaja, sebagai simbol pemeliharaan jiwa manusia. Adapun salah satu cara berhujjah dengan mashlahahini yaitu dengan jalan analogi (qiyas), bahkan sebagian ulama menyamakan antara mashlahah mu'tabarah dengan qiyas. Seperti pengharaman segala bentuk minuman yang memabukkan dengan cara di-qiyas-kan

pada minuman khamr yang telah di-nash-kan keharamannya oleh al-Qur'an. Maka, muatan mashlahah dalam pengharaman segala bentuk minuman memabukkan dapat diakui eksistensinya oleh syara' karena adanya kadar mashlahah yang sama dengan pelarangan jenis minuman khamr. Kedua, mashlahah mulghah, yaitu mashlahah yang keberadaannya tidak diakui oleh syara'. Jenis mashlahah ini bisaanya berhadapan secara kontradiktif dengan bunyi nash, baik al-Qur'an maupun hadis. Seperti kandungan mashlahah yang terdapat dalam hak seorang istri menjatuhkan talak kepada suami. Mashlahah ini didasarkan pada persamaan hak antara suami-istri sebagai pelaku transaksi pernikahan. Namun, mashlahah dalam masalah ini di tolak oleh syara'. Hal tersebut diisyaratkan oleh pernyataan nash, bahwa barangkali karena pertimbangan psikologis kemanusiaan, hak menjatuhkan talak hanya dimiliki seorang suami. Ketiga, mashlahah mursalah, yaitu kemashlahatan yang eksistensinya tidak didukung syara' dan tidak pula ditolak melalui dalil yang terperinci, namun cakupan makna nash terkandung dalam substansinya. Seperti pengumpulan dan pembukuan alQur'an menjadi satu mushhaf,sistem pemenjaraan bagi pelaku tindak pidana sebagai wujud pengewejantahan dari ketentuan hukuman pidana dalam Islam; pengadaan mata uang berikut sirkulasinya dalam sebuah mekanisme pasar, dan lain sebagainya. Contoh-contoh tersebut tidak ditemukan dalam nash ajaran agama secara tersurat, namun diakui keberadaannya oleh syara' karena memiliki implikasi yang cukup jelas untuk mengakomodir kemashlahatan umat atau kepentingan umum. Dalammashlahah jenis inilah terdapat banyak perbedaan pendapat di kalangan para ulama dan di sini pula kecakapan ijtihad sangat dibutuhkan.[iv] Menjaga lingkungan hidup (hifzh al-ba'ah) bisa merupakan mashlahah mu'tabarah dan bisa juga masuk dalam bingkai mashlahah mursalah. Al-Qur'an hanya menyinggung tentang prinsip-prinsip konservasi dan restorasi lingkungan, seperti: larangan pengrusakan, larangan berlebih-lebihan (israf) dalam pemanfaatannya. Prinsip-prinsip ini dinamakan mashlahah mu'tabarah. Namun, sejauh mana kadar berlebih-lebihan serta teknis operasional penjagaan sama sekali tidak dapat ditemukan dalam al-Qur'an. Kita harus berijtihad sendiri bagaimana tanah pinggir sungai supaya tidak terkena erosi. Mashlahah inilah yang dinamakan mashlahah mursalah. Kebutuhan akan menjaga lingkungan tetap niscaya untuk dijalankan karena lingkungan hidup merupakan penopang segala kehidupan ciptaan Tuhan. Konsep mashlahah berkaitan sangat erat dengan maqasid asy-syariah, karena dalam pengertian sederhana, mashlahah merupakan sarana untuk merawat maqasid asy-syariah.Contoh konkrit dari mashlahah ini adalah pemeliharaan atau perlindungan total terhadap lima kebutuhan primer (ushul al-khamsah), (1) perlindungan terhadap agama (hifzh al-din), (2) perlindungan jiwa (hifzh al-nafs), (3) perlindungan akal (hifzh al-'aql), (4) perlindungan keturunan (hifzh al-nasl), dan (5) perlindungan harta benda (hifzh al-mal). Kelima hal tersebut merupakan tujuan syariah (maqasid asy-syariah) yang harus dirawat. Menurut Qaradhawi, menjaga lingkungan sama dengan menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, dan menjaga harta. Rasionalitasnya adalah bahwa jika aspek-aspek jiwa, akal, keturunan dan harta rusak, maka eksistensi manusia didalam lingkungan menjadi ternoda.[v]Pentingnya menjaga lingkungan juga dikuatkan dengan argumen Abu-Sway yang menyatakan bahwa melindungi lingkungan merupakan tujuan

syariah tertinggi. Dengan demikian, bagi Abu-Sway, hifzh al-biah memiliki signifikasi tertinggi dan menaungi komponen maqasid al-khams. Secara gamblang, Abu-Sway menyatakan bahwa ...the destruction of the environment prevents the human being from fulfilling the concept of vicegerency on earth. Indeed, the very existence of humanity is at stake here.[vi] Argumen ini mempertegas prinsip maqasid asy-syariah dalamupaya global menanggulangi krisis lingkungan. http://najitama.blogspot.com/2012/03/fiqh-lingkungan.html (15 januari 2013. 10:22)

Masjid sebagai Pusat Kebudayaan Islam


Pada zaman rasulullah masjid tidak hanya digunakan sebagai tempat ibadah, tetapi juga digunakan sebagai tempat untuk mensucikan jiwa kaum muslimin, mengajar AlQuran dan Al hikmah, bermusyawarah tentang berbagai permasalahan umat hingga masalah upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Hal ini bertahan hingga 700 tahun sejak nabi mendirikan masjid yang pertama, fungsi masjid dijadikan sebagai simbol persatuan umat dan pusat peradaban serta peribadatan. Oleh karena itu pada zaman sekarang ini kita seharusnya mengembalikan fungsi masjid seperti pada zaman Rasulullah. Adapun beberapa potensi dari masjid yang bisa dikembangkan adalah sebagai berikut : Pusat Pendidikan dan Perekonomian Umat Masjid seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai tempat

Proses menuju ke arah pemberdayaan umat dimulai dengan pendidikan dan pemberian pelatihan-pelatihan. berlangsungnya proses pemberdayaan tersebut, bahkan sebagai pusat pembelajaran umat, baik dalam bentuk pengajian, pengkajian, seminar dan diskusi maupun pelatihanpelatihan keterampilan, dengan peserta minimal jamaah disekitarnya. Sehingga umat islam bisa lebih maju dan bersatu seperti zaman Rasulullah Muhammad SAW. Selain itu masjid bisa mengambil alih peran sebagai koperasi yang membawa dampak positif bagi umat di lingkungannya. Bila konsep koperasi digabungkan dengan konsep perdagangan ala pusat-pusat pembelanjaan yang diminati karena terjangkaunya harga barang, dan dikelola secara professional oleh dewan pengurus maka masjid akan dapat memakmurkan jamaahnya. Sehingga akhirnya jamaahnya pun akan memakmurkan masjidnya. Contoh sukses masjid sebagai pusat pendidikan dan perekonomian adalah

masjid Al-Azhar di Mesir. Masjid ini merupakan pendiri universitas Al-Azhar. Masjid ini mampu memberikan bea siswa bagi para pelajar dan mahasiswa, bahkan pengentasan kemiskinan merupakan salah satu program nyata masjid. Pusat Penjaringan Potensi Umat Masjid dengan jamaah yang selalu hadir hanya sekedar untuk menggugurkan kewajibannya terhadap Tuhan bisa saja mencapai puluhan, ratusan bahkan ribuan orang jumlahnya. Dari berbagai macam usia, beraneka profesi dan tingkat (strata) baik ekonomi maupun intelektual, bahkan sebagai tempat berlangsungnya akulturasi budaya secara santun. Dan apabila kita bisa menyatukan mereka semua maka umat islam pasti bisa lebih maju dan berkembang daripada sekarang, karena permasalahan umat islam sekarang adalah kurangnya persatuan umat. Pusat Ke-Pustakaan Perintah pertama Tuhan kepada Nabi Muhammad adalah "Membaca", dan sudah sepatutnya kaum muslim gemar membaca dalam pengertian konseptual maupun kontekstual. Maka dengan sendirinya hampir menjadi suatu keharusan bila masjid memiliki perpustakaan sendiri yang berisikan buku-buku tentang agama islam maupun ilmu pengetahuan. http://muhammaddony.blogspot.com/2011/11/masjid-sebagai-pusat-kebudayaan-islam.html (15 Januari 2013. 10:36)

Pada masa Nabi dan khulafa ar Rasyidin, masjid bukan hanya berfungsi sebagai tempat beribadah, namun juga pusat aktivitas ilmiah, kegiatan sosial dan diskusi untuk kepentingan umat muslim. Pada masa itu, masjid merupakan pusat dari peradaban Islam.

Pada massa awal terbentuknya masyarakat islam, sekelompok sarjana muslim meggunakan sebuah ruang khusus di masjid untuk kegiatan-kegiatan ilmiah mereka, seperti pengajaran, diskusi, penulisan, dan bahkan tempat deklarasi hasil-hasil penelitian ilmuwan yang hendak dibukukan. Dari masjid tradisi ilmiah berkembang dan berbagai jenis ilmu pengetahuan dikembangkan. Setelah masjid tidak lagi dapat menampung aktivitas-aktivitas ilmiah berbagai jenis ilmu

pengetahuan dan seni, mulailah dibangun lembaga pendidikan islam di luar komplek masjid dengan sebutan maktab. Kemudian sesuai dengan perkembangan dunia keilmuan yang begitu pesat, didirikanlah lembaga-lembaga pendidikan yang lainnya seperti majlis, bait al-hikmah, madrasah, observatorium, rumah sakit, dan zawiyah. Begitu signifikannya peran yang dimiliki masjid pada masa itu. Namun, bagaimana dengan masjid saat ini? Perbedaan yang sangat mencolok. Fungsi masjid tidak lagi seoptimal dimasa lalu, praktis saat ini, masjid hanya digunakan untuk kegiatan-kegiatan sakralnya saja seperti sholat, tadarusan dan sekali kali untuk resepsi pernikahan. Jika kita cermati pembangunan masjid, memang sungguh mengembirakan karena saat ini masjid-masjid yang ada begitu besar dan megah. Seolah-olah pengelola masjid berlombalomba untuk membagun masjid yang indah. Bahkan tidak sedikit masjid-masjid tersebut dijadikan tujuan pariwisata oleh masyarakat. Namun, jika hanya terbatas pada kemegahan masjid tanpa ada pengoptimalan fungsinya, bukankah sangat disayangkan. Masjid cenderung berperan sebagai tempat pembinaan ibadah ritual saja. fungsi-fungsi pendidikan dan sosialnya justru kurang mendapat prioritas. Hal tersebut terjadi mungkin karena pola pikir masyarakat saat ini umumnya, bahwa masjid merupakan tempat beribadah semata, bukan sebuah pusat kebudayaan. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar masyarakat kembali melihat masjid bukan hanya tempat ibadah belaka dan juga kembali memakmurkannya. Memang, ada beberapa masjid yang berinisiatif menambah fasilitas masjid dengan membagun perpustakaan di dalamnya. Namun, rupanya hal ini tidak begitu berhasil mendatangkan minat umat untuk sekedar membaca bahkan melakukan aktivitas ilmiah disana. Harus diakui, akan sulit mengembalikan fungsi masjid seperti masa lampau. Karena untuk sekedar menjalankan ritual keagamaan saja masjid cenderung sepi. Kita bisa lihat sendiri, masjid-masjid akan ramai dihari tertentu saja, seperti ketika sholat jumat atau mungkin hari raya. Seperti halnya saat ini, ramadhan kembali menghampiri umat Islam. Masjid-masjid kembali ramai di penuhi jamaah. Setiap orang, seolah berlomba-lomba untuk mendapatkan tempat paling depan untuk mejalankan kewajibannya, mungkin agar lebih dekat dengan Tuhan. Tapi sangat disayangkan, itupun bertahan tak lebih dari satu sampai dua minggu saja. Kemudian masjid kembali sepi, mungkin hanya diisi oleh beberapa shaf saja. Entah kenapa spirit religius umat begitu cepat pudarnya.

Mungkin kita bisa melihat masjid kembali ramai pada saat akhir ramadhan, menjelang hari raya. Jika sudah begini, bagaimana bisa mengoptimalkan fungsi lain masjid, jika fungsi utama masjid yakni sebagi tempat ibadah saja sudah tidak optimal lagi. Hal ini menjadi tanggung jawab seluruh umat Islam, mungkin yang harus memulai upaya untuk mengembalikan fungsi masjid yakni para pengelola masjid. Hal yang pertamakali dibeanahi mungkin management pengurus masjid. Jika kemampuan manajerial masjid sudah baik, maka bukan tidak mungkin akan menghasilkan program-program yang dapat kembali mengoptimalkan fungsi masjid. Misalnya saja melibatkan remaja dalam organisasi masjid. Hal tersebut bisa dilakukan denga cara memperbanyak kegiatan di mana minat, bakat, dan kemampuan positif yang dimiliki para remaja tetap dapat diakomodasi dan disalurkan. Tentu saja remaja menjadi penting karena, bagaimanapun, keadaan masjid pada puluhan tahun yang akan datang, salah satu tolok ukurnya adalah bagaimana kondisi remajanya pada masa sekarang. Hal lain yang patut di coba yakni seperti yang telah dilakukan oleh beberapa masjid saat ini, yakni membangun perpustakaan di masjid. Meski masjid-masjid yang sudah melakukan ini terbilang gagal, namun tak ada salahnya untuk kembali mencoba. Dengan cara, membuat koleksi buku lebih banyak dan variatif seperti dongen islam untuk anak-anak. Perpustakaan masjid sebaiknya tidak hanya ada di masjid-masjid besar, tapi juga masjid yang ada di perkampungan bahkan pedesaan. Bayangkan, jika setiap masjid di kampung dan desa mempunyai perpustakaan, tentu akan semakin mudah bagi masyarakat untuk mengakses bahan-bahan bacaan. Perpustakaan masjid akan menjadi sumber bacaan yang lebih merakyat karena tidak membutuhkan birokrasi yang rumit. Namun memang kenyataannya, praktek di lapangan sering berbeda dengan kondisi ideal yang diinginkan. Namun, mungkin yang terpenting saat ini para pengelola masjid kembali gencar mengajak masyarakat dan tidak lupa melibatkan remaja, untuk kembali melaukakn diskusi bersama di dalam masjid. Karena masjid merupakan tempat yang cukup strategis untuk menjadi titik penggerak kemajuan umat Islam dan membicarakan masalah-masalah agama, pendidikan, sosial, politik, dan berbagai masalah kehidupan dan negara di masjid. Dari masjid pulalah seharusnya kita bermula menyebarkan akhlak Islam dan memberantas kebodohan karena masjid merupakan tempat yang baik untuk kegiatan pendidikan dan

pembentukan moral. Selain itu masjid juga titik temu untuk mempersatukan kembali umat muslim. Semoga saja umat muslim kembali dapat memakmurkan, masjid dengan mengoptimalkan fungsinya. Selain itu, dapat menjalin kesatuan umat yang saat ini sedang tidak dalam kondisi yang baik. Karlia Zainul, Mahasiswi semester 2, Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

http://lpminstitut.com/dialogis/420-masjid-pusat-peradaban-islam (15 Januari 2013. 10:57)

Perbankan Syariah Dalam Pandangan Ulama Islam Majelis Ulama Indonesia (MUI),mengatakan bahwa praktik perbankan syariah merubah cara perhitungan bunga menjadi perhitungan bagi hasil pada perbankan di MUI juga memberikan komentar bahwa ladang perbankan syariah yang masih tersembunyi menjadi perhatian para banker pada perbankan syariah, yang mengkhawatirkan eksodus akun perbankan syariah menjadi lebih kepada produk perbankan konvensional. Umumnya, MUI di Indonesia sama dengan lembaga fatwa Islam yang sama di negara lain. Sebagai institusi, akan memainkan peran penting yang akan menghadapi pemerintah Indonesia yang sekuler dan ulama di Indonesia MUI didirikan pada tahun 1975 sebagai inisiatif pemerintah untuk mengkontrol aktivitas keislaman di Indonesia. Kemudian, Presiden Soeharto menginginkan MUI untuk tampil sebagai otoritas religi mengarahkan komoditas muslim. MUI dirancang menjadi otoritas nasional bagi Islam dengan empat peran : (1) untuk memberikan pelayanan aktivitas dan pengembangan lokasi (2) sebagai lembaga saran (3) mediator antara pemerintah dan ulama dan (4) berfungsi sebagai ajang diskusi para ulama. Berdasarkan pandangan para ulama mengutarakan bahwa perbankan syariah adalah bank yang menjalankan bisnis perbankan dengan menganut sistem syariah yang berbasis hukum Islam. Dalam hukum Islam dinyatakan bahwa riba itu haram, sehingga bisnis bank konvensional yang menerapkan sistem rente atau riba dengan perhitungan bunga berbunga, baik untuk produk simpanan maupun pinjamannya, tidak sesuai dengan hukum islam. Bank syariah tidak menerapkan sistem bunga tetapi menerapkan sistem bagi hasil, yaitu sistem pengelolaan dana dalam perekonomian Islam. Perhitungan bagi hasil didasarkan pada mufakat pihak bank bersama nasabah yang menginvestasikan

dananya di bank syariah. Besarnya hak nasabah terhadap banknya dalam perhitungan bagi hasil tersebut, di tetapkan dengan sebuah angka ratio atau besaran bagian yang disebut nisbah. Selama ini dunia perbankan kita didominasi oleh bank konvensional yang menganut sistem bunga, namun setelah munculnya beberapa bank syariah beberapa tahun terakhir ini, mungkin telah dianggap sebagai moment yang tepat bagi MUI untuk mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank haram. Nah, apakah setelah adanya fatwa MUI ini, kemudian mendorong nasabah bank konvensional untuk memindahkan simpanannya ke bank syariah tentunya ini menjadi hak dan keputusan pribadi masingmasing orang. Disinilah peran MUI sebagai pengawas operasional perbankan syariah dan pendorong pertumbuhan perbankan syariah. http://infoting.blogspot.com/2011/06/perbankan-syariah-dalam-pandangan-ulama.html (15 January 2013. 11:22) Pengertian dan Dasar Hukum Obligasi Syariah / Sukuk Menurut fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). Yaitu, fatwa No.32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi syariah. Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan pada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.[1] Sementara pendapatan investasi yang dibagikan emiten kepada pemegang obligasi syariah harus bersih dari unsur nonhalal. Mengenai bagi hasil (nisbah) antara emiten dan pemegang obligasi syariah, diatur bahwa nisbah keuntungan dalam obligasi syariah mudharabah ditentukan sesuai kesepakatan dengan ketentuan pada saat jatuh tempo, akan diperhitungkan secara keseluruhan. B. Sejarah Sukuk Sesungguhnya, sukuk / obligasi syariah ini bukan merupakan istilah yang baru dalam sejarah Islam. Istilah tersebut sudah dikenal sejak abad pertengahan, dimana umat Islam menggunakannya dalam konteks perdagangan internasional. Sukuk merupakan bentuk jamak dari kata sakk. Ia dipergunakan oleh para pedagang pada masa itu sebagai dokumen yang menunjukkan kewajiban finansial yang timbul dari usaha perdagangan dan aktivitas komersial lainnya. Namun demikian, sejumlah penulis

Barat yang memiliki concern terhadap sejarah Islam dan bangsa Arab, menyatakan bahwa sakk inilah yang menjadi akar kata cheque dalam bahasa latin, yang saat ini telah menjadi sesuatu yang lazim dipergunakan dalam transaksi dunia perbankan kontemporer. Dalam perkembangannya, the Islamic Jurispudence Council (IJC) kemudian mengeluarkan fatwa yang mendukung berkembangnya sukuk. Bahwa kombinasi asset tertentu dapat diwakili dalam bentuk instrument pembiayaan tertulis yang dapat dijual pada harga pasar dengan ketentuan bahwa komposisi kelompok asset yang diwakili oleh sukuk mayoritas terdiri dari asetyang tangiable. Hal tersebut mendorong Otoritas Moneter Bahrain (BMA Bahrain Monetary Agency) untuk meluncurkan sukuk salam berjangka waktu 91 hari dengan nilai 25 juta dolar AS pada tahun 2001. Kemudian Malaysia pada tahun yang sama meluncurkan global corporate Sukuk di pasar keuangan Islam internasional. Inilah sukuk global yang pertama kali muncul di pasar internasional. Di Indonesia Penerbitan obligasi syariah pertama di Indonesia dilakukan oleh PT Indosat Tbk berbarengan dengan penerbitan obligasi konvensional II Indosat pada tahun 2002. Nilai kedua obligasi yang akan diterbitkan adalah Rp1 triliun. Perinciannya, obligasi konvensional senilai Rp900 miliar dan obligasi syariah senilai Rp100 miliar dan berjangka waktu lima tahun. Dasar pertimbangan yang digunakan oleh Indosat dalam menerbitkan obligasi syariah senilai Rp100 miliar karena obligasi syariah ini baru pertama kali diterbitkan dan belum pernah ada sebelumnya. Secara umum, jenis obligasi di Indonesia adalah : Obligasi Rekap yaitu obligasi yang diterbitkan untuk rekapitulasi perbankan. Surat utang Negara ( SUN ) yaitu obligasi yang diterbitkan untuk membiayai defisit APBN. Obligasi Ritel yaitu sama dengan SUN, hanya saja nilai nominalnya diperkecil agar investor menengah kebawah dapat membelinya. Obligasi Sukuk yaitu surat berharga dengan prinsip syariah. Fatwa DSN No.32/DSN-MUI/IX/2002. Keberadaan sukuk sangat dibutuhkan oleh pemerintah maupun institusi bisnis. Bagi institusi bisnis sukuk dapat digunakan sebagai penyeimbang dari neraca keuangan, sedangkan bagi pemerintah adalah: 1. Memperluas basis sumber pembiayaan anggaran negara; memperkaya instrumen pembiayaan fiskal. memperluas dan mendiversifikasi basis investor SBN.

2.

Mendorong pertumbuhan dan pengembangan pasar keuangan syariah di dalam negeri; mengembangkan alternatif instrumen investasi. menciptakan benchmark di pasar keuangan syariah. 3. Mengoptimalkan pemanfaatan Barang Milik Negara dan mendorong tertib administrasi pengelolaan Barang Milik Negara. C. Prinsip Transaksi, Aplikasi dan Penerbitan Obligasi Syariah Prinsip utama dalam transaksi obligasi syariah pada prinsipnya sama dengan penerbitan obligasi konvensional pada umumnya. Hanya saja dalam obligasi syariah, tentunya harus mengacu kepada Al-Quran dan Hadist serta ilmu fiqh. Hal serupa juga terjadi dalam penerbitan saham yang berbasis pada Jakarta Islamic Index (JII) dan reksadana syariah serta perbankan syariah. Selain itu juga, untuk menerbitkan obligasi syariah harus memenuhu syarat sebagai berikut: 1. Jenis usaha yang dilakukan oleh emiten tidak bertentangan dengan syariah, sesuai dengan fatwa No. 20/DSN-MUI/IV/2001, tentang jenis usaha sesuai syariah. 2. Memiliki fundamental dan citra yang baik. 3. Jika keuntungan perusahaan sudah ada di komponen Jakarta Islamic Index( JII). Dalam penerbitan obligasi syariah, sebelum ditawarkan kepada investor harus melalui tahap-tahap sebagai berikut:[2] 1. Emiten melalui Underwriter menyerahkan proposal penerbitan obligasi syariah kepada DSN/MUI. 2. Pihak penerbit melakukan presentasi proposal di Badan pelaksana Harian DSN. 3. DSN mengadakan rapat dengan tim ahli DPS, dan hasil rapat menyatakan opini syarian terkait proposal yang diajukan. Setelah disetujui oleh DSN, maka proses penawarannya sebagai berikut : 1. Emiten menyerahkan dokumen yang diperlukan untuk penerbitan obligasi syariah kepada underwriter (wakil dari emiten). 2. Underwriter melakukan penawaran kepada investor. 3. Bila investor tertarik, maka akan menyerahkan dananya kepada emiten melalui Underwriter. 4. Emiten akan membayarkan bagi hasil dan pembayaran pokok kepada investor. Dokumen Penawaran Dalam hal pengawasan penerbitan obligasi syariah. Pengawasannya dilakukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), untuk produk pasar modal syariah, terdapat satu pengawas lain yang mengawasi aspek syariahnya, yaitu DSN.

Pengawasan aspek syariah berfokus pada penggunaan dana yang didapat dari penerbitan obligasi syariah. Apakah dana tersebut benar-benar digunakan untuk usahausaha yang telah dijanjikan dalam perjanjian antara emiten dengan pemegang obligasi atau tidak, serta halal atau tidaknya. Jika ternyata dana hasil penerbitan obligasi tersebut digunakan untuk hal-hal di luar usaha yang telah diperjanjiakan, maka itu termasuk pengingkaran perjanjian dan menyalahi tujuan. D. Jenis-Jenis Obligasi Syariah Obligasi syariah dapat diterbitkan dengan menggunakan prinsip mudharabah, musyarakah, ijarah, istisna, salam, dan murabahah. Tetapi diantara prinsip-prinsip instrumen obligasi ini yang paling banyak dipergunakan adalah obligasi dengan insturmen prinsip mudharabah dan ijarah.[3] 1. Obligasi Mudharabah Obligasi syariah mudharabah adalah obligasi syariah yang mengunakan akad mudahrabah. Akad mudharabah adalah akad kerjasama antara pemilik modal (shahibul maal/ investor) dengan pengelola (mudharib / emiten). Ikatan atau akad mudahrabah pada hakikatnya adalah ikatan penggabungan atau percampuran berupa hubungan kerjasama antara pemilik usaha dengan pemilik harta, dimana pemilik harta (shahibul maal) hanya menyediakan dana secara penuh (100%) dalam suatu kegiatan usaha dan tidak boleh secara aktif dalam pengelolaan usaha. Sedangkan pemilik usaha (mudharib / emiten) memberikan jasa, yaitu mengelola harta secara penuh dan mandiri (directionery) dalam bentuk aset pada kegiatan usaha tersebut. Dalam Fatwa No. 33 / DSN-MUI / X / 2002 tentang obligasi syariah mudharabah, dinyatakan antara lain bahwa:[4] 1. Obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah merupakan bagi ahsil, margin atau fee serta membayar dana obligasi pada saat obligasi jatuh tempo. 2. Obligasi syariah mudharabah adalah obligasi syariah yang berdasarkan akad mudarabah dengan memperhatikan substansi fatwa DSN-MUI No. 7 / DSN-MUI / IV / 2000 tentang Pembiayaan Mudharabah. 3. Obligasi mudharabah emiten bertindak sebagai mudharib (pengelola modal), sedangkan pemegang obligasi mudharabah bertindak sebagai shahibul maal (pemodal). 4. Jenis usaha emiten tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. 5. Nisbah keuntungan dinyatakan dalam akad. 6. Apabila emiten lalai atau melanggar perjanjian, emiten wajib menjamin pengambilan dana dan pemodal dapat meminta emiten membuat surat pengakuan utang. 7. Kepemilikan obligasi syariah dapat dipindahtangankan selama disepakati dalam akad.

Sebagai contoh Berlian Laju Tanker telah menerbitkan Obligasi Mudharabah senilai Rp 100 miliar. Dananya digunakan untuk membeli kapal tanker (66%) dengan tambahan modal kerja perusahaan (34%). Obligasi berjangka waktu 5 tahun yang dicatakan di BES ini memperoleh keuntungan dari bagi hasil berdasarkan pendapatan perseroan dari pengoperasian kapal tanker MT Gardini atau kapal lain yang beroperasi untuk melayani Pertamina, sehingga return-nya berubah setiap tahun sesuai pendapatan. 2. Obligasi Ijarah Obligasi Ijarah adalah obligasi syariah berdasarkan akad ijarah. Akad ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Artinya, pemilik harta memberikan hak untuk memanfaatkan objek yang ditransaksikan melalui penguasaan sementara atau peminjaman objek dengan manfaat tertentu dengan membayar imbalan kepada pemilik objek. Ijarah mirip dengan leasing, tetapi tidak sepenuhnya sama. Dalam akad ijarah disertai dengan adanya perpindahan manfaat tetapi tidak terjadi perpindahan kepemilikan. Ketentuan akad ijarah sebagai berikut : 1. Objeknya dapat berupa barang (harta fisik yang bergerak, tak bergerak, harta perdagangan) maupun berupa jasa. 2. Manfaat dari objek dan nilai manfaat tersebut diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak. 3. Ruang lingkup dan jangka waktu pemakaiannya harus dinyatakan secara spesifik. 4. Penyewa harus membagi hasil manfaat yang diperolehnya dalam bentuk imbalan atau sewa / upah. 5. Pemakai manfaat (penyewa) harus menjaga objek agar manfaat yang diberikan oleh objek tetap terjaga. 6. Pembeli sewa haruslah pemilik mutlak. Secara teknis, obligasi ijarah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1. Investor dapat bertindak sebagai penyewa (mustajir). Sedangkan emiten dapat bertindak sebagai wakil investor. Dan investor, dapat bertindak sebagai orang yang menyewakan (mujir). Dengan demikian, ada dua kali transaksi dalam hal ini; transaksi pertama terjadi antara investor dengan emiten, dimana investor mewakilkan dirinya kepada emiten dengan akad wakalah, untuk melakukan transaksi sewa menyewa dengan property owner dengan akad ijarah. Selanjutnya, transaksi terjadi antara emiten (sebagai wakil investor) dengan property owner (sebagai orang yang menyewakan) untuk melakukan transaksi sewa menyewa (ijarah). 2. Setelah investor memperoleh hak sewa, maka investor menyewakan kembali objek sewa tersebut kepada emiten. Atas dasar transaksi sewa menyewa tersebut, maka diterbitkanlah

surat berharga jangka panjang (obligasi syariah ijarah), dimana atas penerbitan obligasi tersebut, emiten waib membayar pendapatn kepada investor berupa fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Sebagai contoh transaksi obligasi ijarah adalah pemegang obligasi memberi dana kepada suatu perusahaan untuk menyewa sebuah ruangan guna keperluan ekspansi. Yang mempunyai hak manfaat atas sewa ruangan adalah pemegang obligasi, tetapi ia menyewakan / mengijarahkan kembali kepada perusahaan itu. Jadi perusahaan harus membayar kepada pemegang obligasi sejumlah dana obligasi yang dikeluarkan ditambah return sewa yang telah disepakati. Obligasi ijarah lebih diminati oleh investor, karena pendapatannya bersifat tetap. Terutama investor yang paradigmanya masih konvensional konservatif dan lebih menyukai fixed income. E. Prospek, Kendala dan Strategi Pengembangannya. Menyinggung soal prospek produk ekonomi berlabel syariah ini, khususnya obligasi syariah. Para pakar meramal akan ada permintaan yang kuat dari masyarakat akan produkproduk berlabel syariah yang lebih variatif di kemudian hari. Namun, tetap harus mengatasi kendala-kendala yang ada terlebih dahulu. Kendala dalam pengembangan obligasi syariah diantaranya sebagai berikut :[5] Belum banyak masyarakat yang paham tentang keberadaan obligasi syariah, apalagi sistem yang digunakannya. Masyarakat dalam menyimpan dananya cenderung didasarkan atas pertimbangan pragmatis. Hal ini yang menjadikan tren tingkat bunga yang cenderung bisa dipastikan di masa yang akan datang menjadikan investor lebih memilih obligasi konvensional daripada obligasi syariah. obligasi syariah sangat baru keberadaannya. Sedangkan usaha yang perlu dilakukan untuk menjawab kendala-kendala obligasi syariah adalah sebagai berikut : Langkah-langkah sosialisasi dilakukan untuk membangun pemahaman masyarakat akan keberadaan obligasi syariah di tengah-tentah masyarakat. Obligasi syariah tidak bisa hanya sekedar menunggu sampai adanya perubahan paradigma setidaknya obligasi syariah mampu menangkap kondisi yang ada sebagai peluang yang bisa digunakan untuk meningkatkan produktivitasnya. Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat, usaha untuk meningkatkan profesionalitas, kualitas, kapabilitas, dan efisiensi untuk selalu dilakukan oleh obligasi syariah. http://syirooz.blogspot.com/2012/03/obligasi-syariah.html (15 January 2013, 11:26)

Istana Khalifah sebagai Lembaga Pendidikan Timbulnya pendidikan rendah di istana untuk anak anak para pejabat, adalah berdasarkan pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat menyiapkan anak didik agar mampu melaksanakan tugas tugasnya kelak setelah ia dewasa. Atas dasar pemikiran tersebut, Kholifah dan keluarganya serta para pembesar istana lainya berusaha menyiapkan agar anak anaknya sejak kecil sudah di perkenalkan dengan lingkungan dan tugas tugas yang akan di embannya nanti. Oleh karena itu mereka memanggil guru-guru khusus untuk memberikan pendidikan kepada anak anak mereka. Pendidikan anak di istana berbeda dengan pendidikan anak anak di kuttab pada umumnya.Di istana orang tua murid (para pembesar di istana) adalah yang membuat rencana pelajaran dan tujuan yang di kehendaki oleh orang tuanya. Guru yang mengajar di istana itu di sebut muaddib. Kata muaddib berasal dari kata adab, yang berarti budi pekerti atau meriwayatkan.guru pendidikan anak di istana di sebut muaddib, karena berfungsi mendidikkan budi pekerti dan mewariskan kecerdasan dan pengetahuan orang orang dahulu kepada anak-anak pejabat.[7] Rencana pelajaran untuk pendidikan di istana pada garis besarnya sama saja dengan rencana pelajaran pada kuttab-kuttab, hanya ditambah atau dikurangi menurut kehendak para pembesar yang bersangkutan, dan selaras dengan keinginan untuk menyiapkan anak tersebut secara khusus untuk tujuan-tujuan dan tanggung jawab yang akan dihadapinya dalam kehidupannya nanti. Pendidikan di istana, tidak hanya pengajaran tingkat rendah, tetapi lanjut pada pengajaran tingkat tinggi sebagaimana halaqah, masjid dan madrasah. Guru istana di namakan dengan muaddib. Tujuan pendidikan istana bukan saja mengajarkan ilmu pengetahua bahkan muaddib harus mendidik kecerdasan, hati dan jasmani anak sebagaimana ungkapan Abdul Malik ibn Marwan sebagai berikut: Ajarkan kepada anak- anak itu berkata benar sebagaimana kau ajarkan Al-Quran. Jauhkan anak-anak itu dari pergaulan orang-orang buruk budi, karena mereka amat jahat dan kurang adab. Jauhkan anak-anak itu dari pemalu karena pemalu itu merusak mereka. Gunting rambut mereka supaya tebal kuduknya. Beri makan mereka dengan daging supaya kuat tubuhnya. Ajarkan syair kepada mereka supaya mereka menjadi orang besar dan berani. Suruh mereka menyikat gigi dan minum air dengan menghirup perlahan-lahan bukan dengan bersuara,(seperti hewan). Kalau engkau hendak mengajarkan adab kepada mereka hendaklah dengan tertutup tiada di ketahui oleh seorang pun.[8] Contoh dari rencana pelajaran dan petunjuk-petunjuk yang dikemukakan oleh pembesar istana kepada pendidik anak-anaknya agar dijadikan sebagai pedoman. Adapun rencana pembelajaran di istana sebagai berikut: 1. Al-Quran (kitabulah) 2. Hadis-hadis yang termulia 3. Syair Syair yang terhormat

1.

2.

3.

4. Riwayat hukamah 5. Menulis membaca dan lain lain Petunjuk-petunjuk dan Nasehat pembesar istana kepada Muaddib. Berkata Amru Ibnu Utbah kepada pendidik putranya; Kerjamu yang pertama untuk memperbaiki putra-putriku ialah memperbaiki dirimu sendiri, karena mata mereka selalu terikat kepadamu. Apa yang kamu perbuat itulah yang baik menurut pandangan mereka, dan yang buruk ialah yang kamu tinggalkan. Ajarkanlah kepada mereka AlQuran, tetapi jagalah agar mereka tidak sampai merasa bosan, karena kalau sampai demikian Al-Quran itu akan ditinggalkannya, dan janganlah mereka dijauhkan dari Al-Quran, nanti mereka meninggalkan Al-Quran sama sekali. Riwayatkanlah kepada mereka hadis dan syair yang baik-baik. Jangan kamu bawa mereka berpindah dari suatu ilmu ( sesuatu pelajaran) kepada ilmu yang lain sebelum ilmu itu difahaminya betul-betul. Sebab ilmu yang bertimbun-timbun dalam otak sukar difahamkan. Ajarkanlah kepada mereka jalan orang-orang bijaksana. Jauhkan mereka dari berbicara dengan perempuan-perempuan. Janganlah engkau bersandar kepada kemaafanku, karena akupun telah menyerahkan sepenuhnya kepada kecakapanmu.[9] Harun Al-Rasyid telah mengajukan rencana pelajaran bagi putranya (Al Amin) dengan mengatakan sebagai berikut; Hai Ahmar! Sesungguhnya Amirul Muminin telah memberikan kepadamu buah hatinya, maka jadikanlah tanganmu terbuka kepadanya dan ketaatannya kepadamu wajib. Janganlah berdosa terhadapnya agar engkau selalu berada ditempat kedudukanmu yang telah ditentukan oleh Amirul Muminin. Bacakanlah kepadanya Al-Quran. Ceritakanlah kepadanya peristiwaperistiwa. Riwayatkan kepadanya syair-syair. Ajarkanlah kepadanya sunnah-sunnah Nabi Muhammad Saw. Tunjukkan kepadanya bagaimana menyusun perkataan dan memulainya. Laranglah dia ketawa kecuali pada waktunya. Biasakanlah dia menghormati orang-orang besar Bani Hasyim bila mereka mengunjunginya, dan meninggikan tempat duduk panglima-panglima tentara, bila mereka menghadiri majelisnya. Jangan dibiarkan waktu berlalu walaupun sesaat tanpa engkau ikhtiarkan sesuatu yang berfaedah baginya, tetapi dengan tidak menyusahkan hatinya, karena bila hatinya susah tumpullah otaknya. Janganlah engkau terlampau berlapang dada terhadapnya, karena dengan demikian dia akan malas bekerja dan terbiasa menganggur. Asuhlah dia dengan baik dan lemah lembut sedapat mungkin, akan tetapi kalau yang demikian tidak mempan terhadapnya maka pakailah kekuatan dan kekerasan terhadapnya.[10] Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya matamu. Aku serahkan kepada engkau untuk memberi adab kepadanya. Maka, tugas engkau adalah bertakwa kepada Allah dan menunaikan amanah. Wasiatku yang pertama kepada engkau supaya engkau ajarkan kepadanya kitabulah. Kemudian engkau riwayatkan kepadanya syair syair yang baik. Sesudah itu engkau ajarkan riwayat kaum Arab dan syair mereka yang baik. Perlihatkan kepadanya sebagian yang halal dan yang haram serta pidato pidato dan riwayat peperangan.

http://mezazainul.blogspot.com/2012/03/rumah-ulama-dan-istana-khalifah-sebagai.html Januari 2013. 15:43) asuransi syarih

(16

Kebanyakan ulama (jumhur) memakai metodologi konvensional dalam mencari landasan syariah (al-asas al-syariyyah) dari suatu pokok masalah (subject matter). Dalam hal ini subject matter-nya adalah lembaga asuransi. Al-Quran tidak menyebutkan secara tegas ayat yang menjelaskan tentang praktek asuransi seperti yang ada pada saat ini. Hal ini terindikasi dengan tidak munculnya istilah asuransi atau al-tamin secara nyata dalam al-Quran. Walaupun begitu al-Quran masih mengakomodir ayatayat yang mempunyai muatan nilai-nilai dasar yang ada dalam praktek asuransi, seperti nilai dasar tolong-menolong, kerja sama, atau semangat untuk melakukan proteksi terhadap peristiwa kerugian (peril) di masa mendatang. Di antara ayat-ayat al-Quran yang mempunyai muatan nilai-nilai yang ada dalam praktek asuransi adalah: QS al-Maidah [5]: 2. Ayat ini memuat perintah (amr) tolong-menolong antar sesama manusia. Dalam bisnis asuransi, nilai ini terlihat dalam praktek kerelaan anggota (nasabah) perusahaan asuransi untuk menyisihkan dananya agar digunakan sebagai dana sosial (tabarru). Dana sosial ini berbentuk rekening tabarru pada berusahaan asuransi dan difungsikan untuk menolong salah satu anggota (nasabah) yang sedang mengalami musibah (peril). QS. al-Baqarah [2]: 182. Dalam ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa kemudahan adalah sesuatu yang dikehendaki oleh-Nya, dan sebaliknya kesukaran adalah sesuatu yang tidak dikehendaki oleh-Nya. Maka dari itu, manusia dituntun oleh Allah Swt. agar dalam setiap langkah kehidupannya selalu dalam bingkai kemudahan dan tidak mempersulit diri sendiri. Dalam konteks bisnis asuransi, ayat tersebut dapat difahami bahwa dengan adanya lembaga asuransi, seseorang dapat memudahkan untuk menyiapkan dan merencanakan kehidupan-nya di masa mendatang dan dapat melindungi kepentingan ekonominya dari sebuah kerugian yang tidak disengaja.

QS al-Baqarah [2]: 261. Allah Swt. menegaskan bahwa orang yang rela menafkahkan hartanya akan dibalas oleh-Nya dengan melipar gandakan pahalanya. Sebuah anjuran normatif untuk saling berderma dan melakukan kegiatan sosial yang diridhai oleh Allah Swt. Praktek asuransi penuh dengan muatan-muatan nilai sosial, seperi halnya dengan pembayaran premi ke rekening tabarru adalah salah satu wujud dari penafkahan harta di jalan Allah Swt. karena pembayaran tersebut diniatkan untuk saling bantu-membantu anggota perkumpulan asuransi jika mengalami musibah (peril) di kemudian hari. QS. Surat Yusuf [12]: 46-49. Pada ayat ini mengandung semangat untuk melakukan proteksi terhadap segala sesuatu peristiwa yang akan menimpa di masa datang. Baik peristiwa tersebut dalam bentuk, kecelakaan, kebakaran,terganggunya kesehatan, kecurian, ataupun kematian. Pada peristiwa di atas disebutkan bahwa Nabi Yusuf telah melakukan proteksi (pengamanan) atau perlindungan dari tujuh tahun masa paceklik dengan melakukan saving (penabungan) selama tujuh tahun yang lalu. Pelajaran yang dapat diambil dari ayat di atas untuk diterapkan pada praktek asuransi adalah dengan melakukan pembayaran premi asuransi berarti kita secara tidak langsung telah ikut serta mengamalkan prilaku proteksi tersebut seperti yang telah dilakukan oleh Nabi Yusuf. Karena prinsip dasar dari bisnis asuransi adalah proteksi (perlindungan) terhadap kejadian yang membawa kerugian ekonomi.

http://www.pkes.org/faqs/58-asuransi-syariah-faq/67-pandangan-al-quran-mengenai-asuransisyariah.html ( 16 January 2013. 16:55)

You might also like