You are on page 1of 17

Hukum Humaniter adalah sebagian dari Hukum Perang yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang; berlainan dengan

hukum perang yang mengatur peperangan itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu, seperti mengenai senjata-senjata yang dilarang. Pada kesempatan lain, Prof Mochtar juga mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan hukum atau Konvensi Jenewa identik atau sinonim dengan hukum atau konvensi-konvensi humaniter; sedangkan Hukum Perang atau Konvensi-konvensi Den Haag mengatur tentang cara melakukan peperangan. Hukum internasional sebenarnya sudah sejak lama dikenal eksisitensinya, yaitu pada zaman Romawi Kuno. Orang-orang Romawi Kuno mengenal dua jenis hukum, yaitu Ius Ceville dan Ius Gentium, Ius Ceville adalah hukum nasional yang berlaku bagi masyarakat Romawi, dimanapun mereka berada, sedangkan Ius Gentium adalah hukum yang diterapkan bagi orang asing, yang bukan berkebangsaan Romawi. Dalam perkembangannya, Ius Gentium berubah menjadi Ius Inter Gentium yang lebih dikenal juga dengan Volkenrecth (Jerman), Droit de Gens (Perancis) dan kemudian juga dikenal sebagai Law of Nations (Inggris). (Kusumaatmadja, 1999 ; 4)

Sesungguhnya, hukum internasional modern mulai berkembang pesat pada abad XVI, yaitu sejak ditandatanganinya Perjanjian Westphalia 1648, yang mengakhiri perang 30 tahun (thirty years war) di Eropa. Sejak saat itulah, mulai muncul negara-negara yang bercirikan kebangsaan, kewilayahan atau territorial, kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat. Dalam kondisi semacam inilah sangat dimungkinkan tumbuh dan berkembangnya prinsip-prinsip dan kaidahkaidah hukum internasional. (Phartiana, 2003 ; 41) Perkembangan hukum internasional modern ini, juga dipengaruhi oleh karya-karya tokoh kenamaan Eropa, yang terbagi menjadi dua aliran utama, yaitu golongan Naturalis dan golongan Positivis. Menurut golongan Naturalis, prinsip-prinsip hukum dalam semua sistem hukum bukan berasal dari buatan manusia, tetapi berasal dari prinsip-prinsip yang berlaku secara universal, sepanjang masa dan yang dapat ditemui oleh akal sehat. Hukum harus dicari, dan bukan dibuat. Golongan Naturalis mendasarkan prinsip-prinsip atas dasar hukum alam yang bersumber dari ajaran Tuhan. Tokoh terkemuka dari golongan ini adalah Hugo de Groot atau Grotius, Fransisco de Vittoria, Fransisco Suarez dan Alberico Gentillis. (Mauna, 2003 ; 6)

Sementara itu, menurut golongan Positivis, hukum yang mengatur hubungan antar negara adalah prinsip-prinsip yang dibuat oleh negara-negara dan atas kemauan mereka sendiri. Dasar hukum internasional adalah kesepakatan bersama antara negara-negara yang diwujudkan dalam perjanjian-perjanjian dan kebiasaan-kebiasaan internasional. Seperti yang dinyatakan oleh JeanJacques Rousseau dalam bukunya Du Contract Social, La loi cest lexpression de la Volonte Generale, bahwa hukum adalah pernyataan kehendak bersama. Tokoh lain yang menganut aliran Positivis ini, antara lain Cornelius van Bynkershoek, Prof. Ricard Zouche dan Emerich de Vattel. Pada abad XIX, hukum internasional berkembang dengan cepat, karena adanya faktor-faktor penunjang, antara lain : 1. Setelah Kongres Wina 1815, negara-negara Eropa berjanji untuk selalu menggunakan prinsipprinsip hukum internasional dalam hubungannya satu sama lain. 2. Banyak dibuatnya perjanjian-perjanjian (law-making treaties) di bidang perang, netralitas, peradilan dan arbitrase. 3. Berkembangnya perundingan-perundingan multilateral yang juga melahirkan ketentuanketentuan hukum baru. Di abad XX, hukum internasional mengalami perkembangan yang sangat pesat, karena dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut: 1. Banyaknya negara-negara baru yang lahir sebagai akibat dekolonisasi dan meningkatnya hubungan antar negara. 2. Kemajuan pesat teknologi dan ilmu pengetahuan yang mengharuskan dibuatnya ketentuanketentuan baru yang mengatur kerjasama antar negara di berbagai bidang. 3. Banyaknya perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat, baik bersifat bilateral, regional maupun bersifat global. 4. Bermunculannya organisasi-organisasi internasional, seperti Perserikatan Bangsa Bangsa dan berbagai organ subsidernya, serta Badan-badan Khusus dalam kerangka Perserikatan BangsaBangsa yang menyiapkan ketentuan-ketentuan baru dalam berbagai bidang.

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER Menurut Arlina hukum humaniter memiliki sejarah yang panjang, hukum ini sama tuanya dengan perang itu sendiri dan perang sama tuanya dengan kehidupan manusia di bumi. Dalam

rentang waktu yang sangat panjang telah banyak dilakukan upaya-upaya untuk memanusiakan perang. Selama masa tersebut terdapat usaha-usaha untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang dari kekejaman perang dan perlakuan semena-mena dari pihak-pihak yang terlibat dalam perang. Upaya-upaya tersebut oleh Arlina dibagi dalam beberapa tahapan, yaitu: 1. Zaman kuno Pada masa ini para pimpinan militer memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil musuh dan pada waktu penghentian permusuhan, pihak-pihak yang bersengketa biasanya sepakat memperlakukan tawanan dengan baik. Sebelum perang dimulai, maka pihak musuh akan diberi peringatan terlebih dahulu. Untuk menghindari luka yang berlebihan maka ujung panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah ada yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Gencatan senjata semacam ini sangat dihormati. Dalam berbagai peradaban besar selama tahun 3000-1500 SM, upaya-upaya tersebut berjalan terus. Hal ini dikemukakan Pictet sebagai berikut: Pada Bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah merupakan lembaga yang terorganisir Kebudayaan Mesir Kuno, adanya perintah untuk memberikan makanan, minuman, pakaian dan perlindungan kepada musuh, juga perintah untuk merawat yang sakit dan menguburkan yang mati Kebudayaan bangsa Hittite, perang dilakukan dengan cara-cara yang manusiawi Di India, para satria dilarang membunuh musuh yang cacat, menyerah dan yang luka harus dipulangkan ke rumah mereka setelah diobati. Senjata yang beracun dilarang, penyitaan hak milik musuh dan syarat-syarat penahanan para tawanan perang telah diatur. Dari beberapa uaraian diatas, maka dapat diketahui bahwa perang selalu ada dan sulit dihindari, oleh karena perang sulit untuk dihindari masyarakat bangsa-bangsa pada zaman kuno berusaha untuk memanusiakan perang, sehingga tidak menimbulkan penderitaan yang tidak perlu bagi manusia. 2. Abad Pertengahan Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam, dan prinsip kesatriaan. Ajaran agama Kristen memberikan sumbangan terhadap konsep perang yang adil atau just war. Ajaran Islam memandang bahwa perang adalah sarana pembelaan diri dan menghapuskan kemungkaran. Prinsip kesatriaan mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan larangan penggunaan senjata-senjata tertentu. 3. Zaman Modern

Latar belakang HHI ini terkait erat dengan sejarah Palang Merah. Ide yang dituangkan oleh Jean Henry Dunand dalam bukunya Kenangan dari Solferino melahirkan Komite yang kemudian menjadi komite Palang Merah Internasional. Atas Prakarsa komite tersebut pemerintah Swiss mengadakan konferensi diplomatik pada tahun 1864 di Jenewa yang menghasilkan perjanjian internasional yang dikenal dengan Konvensi Jenewa 1864. Konvensi ini berisi tentang perlindungan terhadap anggota angkatan perang yang luka atau sakit tanpa membedakan agama dan bangsa. Pada waktu yang hampir bersamaan di Amerika Serikat Presiden Amerika Serikat Lincoln meminta Lieber, seorang pakar imigran Jerman untuk menyusun aturan berperang. Hasilnya adalah Instructions for Government of Armies of the United States atau disebut dengan Lieber Code, yang dipublikasikan pada tahun 1963. Kode Lieber ini memuat aturan-aturan rinci pada semua tahapan perang di darat, tindakan perang yang benar, perlakuan terhadap kelompok orangorang tertentu seperti tawanan perang yang luka dan sebagainya. Konvensi Jenewa 1864 terus dikembangkan dan dilengkapi sehingga menjadi empat konvensi pada tanggal 12 Agustus 1949 diterima oleh masyarakat internasional sebagai Konvensikonvensi Jenewa 1949 atau Konvensi Palang Merah. Pasca Perang Dunia (PD) II terjadi perubahan tatanan dalam peperangan yang cenderung lebih banyak menimbulkan korban di pihak penduduk sipil dan lebih bersifat non internasional. Untuk mengakomodasikan keadaan tersebut maka disepakati Protokol Tambahan I dan II dari Konvensi Jenewa 1949 pada tahun 1977 yang dikenal dengan Protokol Tambahan I dan II 1977. Tidak seperti masa-masa sebelumya, dimana aturan perang terjadi melalui proses hukum kebiasaan, maka pada masa ini hukum humaniter internasional dikembangkan melalui traktat-traktat umum yang ditandatangani oleh negara-negara Hukum Den Haag atau The Hague Laws adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan serangkaian ketentuan Hukum Humaniter yang mengatur mengenai alat (sarana) dan cara (metoda) berperang. Disebut dengan The Hague Laws, karena pembentukan ketentuan-ketentuan tersebut dihasilkan di kota Den Haag, Belanda. Dalam mempelajari Hukum Humaniter, penyebutan the Hague Laws dapat mempermudah membedakannya dengan the Geneva Laws yakni ketentuan-ketentuan yang dihasilkan di kota Geneva, Swiss; atau dengan kata lain memudahkan membedakan pembentukan ketentuan mengenai alat dan cara berperang (means and methods of warfare), dan ketentuan mengenai perlindungan para korban perang (protection of war victims), walaupun pembedaan demikian tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Hukum Den Haag terdiri dari serangkaian ketentuan yang dihasilkan dari The First Hague Peace Conference (Konferensi Perdamaian I) yang diadakan mulai tanggal 20 Mei 1899 hingga 29 Juli 1899; dan ketentuan-ketentuan yang dihasilkan dari The Second Hague Peace Conference (Konferensi Perdamaian II) tahun 1907. The First Hague Peace Conference tahun 1899 menghasilkan tiga konvensi (perjanjian internasional) dan tiga deklarasi (pernyataan) pada tanggal 29 Juli 1899. Adapun tiga konvensi tersebut adalah :

1.Konvensi I tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional secara Damai [Full Text] 2. Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat; beserta Lampirannya [Introduction][Full Text][State Parties]. 3. Konvensi III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut [Introduction][Full Text][State Parties]. Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut : 1. Deklarasi tentang Larangan, untuk jangka waktu lima tahun, Peluncuran Proyektilproyektil dan Bahan Peledak dari Balon, dan Cara-cara serupa lainnya.[Introduction][Full Text][State Parties][State Signatories] 2. Deklarasi tentang Gas-gas yang mengakibatkan sesaknya pernafasan (gas cekik atau asphyxating gases).[Introduction][Full Text][State Parties] 3. Deklarasi tentang Peluru-peluru yang bersifat mengembang di dalam tubuh manusia (expanding bullets)[Introduction][Full Text][State Parties] The Second Hague Peace Conference pada tanggal 18 Oktober 1907, menghasilkan 13 konvensi dan sebuah deklarasi. Konvensi-konvensi tersebut adalah sebagai berikut : 1. Konvensi I tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional secara Damai. [Introduction][Full Text][State Parties] 2. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam menuntut Pembayaran Hutang yang berasal dari Kontrak. [Introduction][Full Text][State Parties] 3. Konvensi III tentang Permulaan Perang. [Introduction][Full Text][State Parties][State Signatories] 4. Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat, beserta Lampirannya. [Introduction][Full Text][State Parties][State Signatories] 5. Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam Perang di Darat. [Introduction][Full Text][State Parties][State Signatories] 6. Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan Perang. [Introduction][Full Text][State Parties][State Signatories] 7. Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang. [Introduction][Full Text][State Parties][State Signatories]

8. Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut. [Introduction][Full Text][State Parties][State Signatories] 9. Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut pada saat Perang. [Introduction][Full Text][State Parties][State Signatories] 10. Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut. [Introduction][Full Text][State Parties][State Signatories] 11. Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang di Laut. [Introduction][Full Text][State Parties][State Signatories] 12. Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan. [Introduction][Full Text][State Parties][State Signatories] 13. Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut. [Introduction][Full Text][State Parties][State Signatories] HUKUM DEN HAAG Hukum Den Haag merupakan ketentuan hukum humaniter yang mengatur mengenai cara an alat berperang. Membicarakan Hukum Den Haag berarti kita akan membicarakan hasil-hasil konferensi Perdamaian I yang diadakan pada tahun 1899 dan konferensi perdamaian II yang diadakan pada tahun 1907. 1. 1. Konvensi Den Haag 1899

Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag (18 Mei-29 Juli 1899). Konferensi ini merupakan prakarsa Tsar Nicolas II dari Russia yang berusaha mengulangi usaha pendahulunya Tsar Alexander I yang menemui kegagalan dalam mewujudkan suatu Konferensi Internasional di Brussel pada tahun 1874. Ide fundamental untuk menghidupkan lagi Konferensi Internasional yang gagal itu adalah Rencana Konsepsi Persekutuan Suci (Holy Alliance tanggal 26 September 1815 antara Austria, Prussia dan Russia. Seperti diketahui bahwa Quadruple Alliance yang ditandatangani oleh Austria, Prussia dan Inggris tanggal 20 November 1815 merupakan kelanjutan dari Kongres Wina september 1814Juni 1815 untuk mengevaluasi kembali keadaan di Eropa setelah Napoleon Bonaparte dikalahkan di Waterloo pada tanggal 18 Juni 1815. Untuk melaksanakan kehendak Tsar Nicolas II itu maka pada tahun 1898 menteri Luar Negeri Russia Count Mouravieff mengedarkan surat kepada semua kepala Perwakilan Negara-negara yang diakreditir di St. Petersburg berupa ajakan Tsar untuk berusaha mempertahankan perdamaian Dunia dan mengurangi persenjataan. Konferensi yang dimulai pada tanggal 20 Mei 1899 itu berlangsung selama 2 bulan menghasilkan tiga konvensi dan tiga deklarasi pada tanggal 29 Juli 1899. Adapun tiga konvensi yang dihasilkan adalah : 1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional

2. Konvensi II TENTANG Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat 3. Konvensi III tentang Adaptasi Azas-azas Konvensi Jenewa Tanggal 22 Agustus 1864 tentang hukum perang di laut. Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut: 1. Melarang penggunaan peluru-peluru dum-dum (peluru-peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutupi bagian dalam sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia). 2. Peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon, selama jangka lima tahun yang berakhir di tahun 1905 juga dilarang. 3. Penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan beracun dilarang. 1. 2. Konvensi Den Haag 1907 Konferensi perdamaian yang kedua diadakan pada tahun 1907. Konferensi ini secara umum gagal dan hanya menghasilkan beberapa keputusan. Namun, bertemunya negara-negara besar dalam konferensi ini menjadi model bagi upaya-upaya kerja sama internasional yang dilakukan di kemudian hari di abad ke-20. Konferensi yang kedua ini sebenarnya telah diserukan akan diadakan pada tahun 1904, atas saran Presiden Theodore Roosevelt, tetapi ditunda karena terjadinya perang antara Rusia dan Jepang. Konferensi Perdamaian Kedua tersebut kemudian diadakan dari tanggal 15 Juni sampai dengan 18 Oktober 1907 untuk memperluas isi Konvensi Den Haag yang semula, dengan mengubah beberapa bagian dan menambahkan sejumlah bagian lain, dengan fokus yang lebih besar pada perang laut. Pihak Inggris mencoba mengegolkan ketentuan mengenai pembatasan persenjataan, tetapi usaha ini digagalkan oleh sejumlah negara lain, dengan dipimpin oleh Jerman, karena Jerman khawatir bahwa itu merupakan usaha Inggris untuk menghentikan pertumbuhan armada Jerman. Jerman juga menolak usulan tentang arbitrase wajib. Namun, konferensi tersebut berhasil memperbesar mekanisme untuk arbitrase sukarela dan menetapkan sejumlah konvensi yang mengatur penagihan utang, aturan perang, dan hak serta kewajiban negara netral. Perjanjian Final ditandatangani pada tanggal 18 Oktober 1907 dan mulai berlaku pada tanggal 26 Januari 1910. Perjanjian ini terdiri dari tiga belas seksi, yang dua belas di antaranya diratifikasi dan berlaku: I. II. III. IV. V. VI. Penyelesaian Damai atas Sengketa Internasional Pembatasan Penggunaan Kekuatan untuk Penagihan Utang Kontrak Pembukaan Permusuhan Hukum dan Kebiasaan Perang Darat Hak dan Kewajiban Negara dan Orang Netral Bilamana Terjadi Perang Darat Status Kapal Dagang Musuh Ketika Pecah Permusuhan

VII.

Konversi Kapal Dagang Menjadi Kapal Perang

1. Penempatan Ranjau Kontak Bawah Laut Otomatis IX. X. XI. XII. Pemboman oleh Pasukan Angkatan Laut di Masa Perang Penyesuaian Prinsip-prinsip Konvensi Jenewa terhadap Perang Laut Pembatasan Tertentu Menyangkut Pelaksanaan Hak Menangkap dalam Perang Laut Pendirian Pengadilan Hadiah Internasional (Tidak diratifikasi)

1. Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang Laut Selain itu ditandatangani pula dua deklarasi: Deklarasi I. yang isinya memperluas isi Deklarasi II dari Konferensi 1899 untuk mencakup jenisjenis lain dari pesawat terbang. Deklarasi II. mengenai arbitrase wajib. Delegasi Brazil dipimpin oleh negarawan Ruy Barbosa, yang kontribusinya sangat penting bagi dipertahankannya prinsip kesetaraan hukum negara-negara. Delegasi Inggris beranggotakan antara lain 11th Lord Reay (Donald James Mackay), Sir Ernest Satow, dan Eyre Crowe. Delegasi Rusia dipimpin oleh Fyodor Martens. Protokol Jenewa untuk Konvensi Den Haag meskipun tidak dirundingkan di Den Haag, Prokol Jenewa untuk Konvensi Den Haag dianggap sebagai tambahan untuk Konvensi tersebut. Protokol yang ditandatangani pada tanggal 17 Juni 1925 dan mulai berlaku pada tanggal 8 Februari 1928 ini secara permanen melarang penggunaan segala bentuk cara perang kimia dan cara perang biologi. Protokol yang hanya mempunyai satu seksi ini berjudul Protokol Pelarangan atas Penggunaan Gas Pencekik, Gas Beracun, atau Gas-gas Lain dalam Perang dan atas Penggunaan Cara-Cara Berperang dengan Bakteri (Protocol for the Prohibition of the Use in War of Asphyxiating, Poisonous or Other Gases, and of Bacteriological Methods of Warfare). Protokol ini disusun karena semakin meningkatnya kegusaran publik terhadap perang kimia menyusul dipergunakannya gas mustard dan agen-agen serupa dalam Perang Dunia I dan karena adanya kekhawatiran bahwa senjata kimia dan senjata biologi bisa menimbulkan konsekuensikonsekuensi mengerikan dalam perang di kemudian hari. Hingga hari ini, protokol tersebut telah diperluas dengan Konvensi Senjata Biologi (Biological Weapons Convention) (1972) dan Konvensi Senjata Kimia (Chemical Weapons Convention) (1993). Dalam hubungannnya dengan ratifikasi Indonesia atas Konvensi-konvensi Deen Haag pada tahun 1907 itu maka F.Sugeng Istanto menjelaskan bahwa pada waktu berlangsungnya Konferensi itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda yang merupakan jajahan Kerajaan Belanda sehingga ratifikasi yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda dengan Undang-Undang

(Wet) tanggal 1 Juli 1909 dan keputusan Raja tanggal 22 Februari 1919 berlaku pula bagi Hindia Belanda. Ketika terjadi pengakuan kedaulatan oleh Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat pada tnaggal 27 Desember 1949, maka hak dan kewajiban Hindia Belanda beralih kepada Republik Indonesia Serikat melalui Persetujuan Peralihan yang merupakan Lampiran Induk Perjanjian KMB di Den Haag. Ketika susunan Negara mengalami perubahan dari Republik Indonesia Serikat menjadi Republik Indonesia Kesatuan, maka ketentuan peralihan UUDS 1950 telah menjadi jembatan penghubung tetap sahnya ratifikasi itu, demikian juga ketika UUD 1945 berlaku kembali melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1969, Pasal II Aturan Peralihan telah menampung hal-hal yang belum diatur oeh UUD 1945 termasuk Ratifikasi terhadap konvensi Den Haag tersebut.

HUKUM JENEWA Konvensi-konvensi Jenewa meliputi empat perjanjian (treaties) dan tiga protokol tambahan yang menetapkan standar dalam hukum internasional (international law) mengenai perlakuan kemanusiaan bagi korban perang. Istilah Konvensi Jenewa, dalam bentuk tunggal, mengacu pada persetujuan-persetujuan 1949, yang merupakan hasil perundingan yang dilakukan seusai Perang Dunia II. Persetujuan-persetujuan tersebut berupa diperbaharuinya ketentuan-ketentuan pada tiga perjanjian yang sudah ada dan diadopsinya perjanjian keempat. Rumusan keempat perjanjian 1949 tersebut ekstensif, yaitu berisi pasal-pasal yang menetapkan hak-hak dasar bagi orang yang tertangkap dalam konflik militer, pasal-pasal yang menetapkan perlindungan bagi korban luka, dan pasal-pasal yang menyikapi masalah perlindungan bagi orang sipil yang berada di dalam dan di sekitar kawasan perang. Keempat perjanjian 1949 tersebut telah diratifikasi, secara utuh ataupun dengan reservasi, oleh 194 negara. Konvensi-konvensi Jenewa tidak berkenaan dengan penggunaan senjata perang, karena permasalahan tersebut dicakup oleh Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907 dan Protokol Jenewa. Orang yang dilindungi berhak, dalam segala keadaan, untuk memperoleh penghormatan atas dirinya, martabatnya, hak-hak keluarganya, keyakinan dan ibadah keagamaannya, dan kebiasaan serta adat-istiadatnya. Mereka setiap saat diperlakukan secara manusiawi dan dilindungi, terutama terhadap segala bentuk kekerasan atau ancaman kekerasan dan terhadap penghinaan dan keingintahuan publik. Perempuan dilindungi secara istimewa terhadap setiap penyerangan atas martabatnya, terutama terhadap pemerkosaan, pelacuran paksa, atau setiap bentuk penyerangan tidak senonoh (indecent assault). Tanpa merugikan ketentuan-ketentuan mengenai keadaan kesehatan, usia, dan jenis kelamin, semua orang yang dilindungi diperlakukan dengan penghormatan yang sama oleh Peserta konflik yang menguasai mereka, tanpa pembeda-bedaan merugikan yang didasarkan pada, terutama, ras, agama, atau opini politik. Namun, Peserta konflik boleh mengambil langkah-langkah kontrol dan keamanan menyangkut orang-orang yang dilindungi sebagaimana yang mungkin diperlukan sebagai akibat dari perang yang

bersangkutan. (Pasal 27, Konvensi Jenewa Keempat)Bahwa Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa merupakan dua aturan pokok dalam Humaniter, sebagaiman dikemukakan oleh Jean Pictet bahwa : Humanitarian Law has two branches, one bearing the name of Geneva, and the other name of the Hague. Hukum Jenewa, yang mengatur mengenai perlindungan korban perang, terdiri atas beberapa perjanjian pokok. Perjanjian tersebut adalah keempat Konvensi Jenewa 1949, yang masing-masing adalah : I. Konvensi Jenewa Pertama (First Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat, 1864 (Geneva Konvention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field); II. Konvensi Jenewa Kedua (Second Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut, 1906 (Geneva Convention for the Amelioration of the condotion of the Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea); III. Konvensi Jenewa Ketiga (Third Geneva Convention), mengenai PerlakuanTawanan Perang, 1929 (Geneva Convention Relative to the Treatment of Prisoners of War); IV. Konvensi Jenewa Keempat (Fourth Geneva Convention), mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang, 1949 (Geneva Convention Relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War). Keempat konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut dalam tahun 1977 ditambahkan lagi dengan Protokol Tambahan 1977 yakni disebut dengan: 1. Protokol Additional to the Jeneva Covention of 12 August 1949, and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflict (Protocol I); dan 2. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to the Protection of Victims of Non International Armed Conlicts (Protocol II). Konvensi-konvensi dan persetujuan-persetujuannya Konvensi-konvensi Jenewa terdiri dari berbagai aturan yang berlaku pada masa konflik bersenjata, dengan tujuan melindungi orang yang tidak, atau sudah tidak lagi, ikut serta dalam permusuhan, antara lain: 1. 2. 3. 4. kombatan yang terluka atau sakit tawanan perang orang sipil personel dinas medis dan dinas keagamaan

Konvensi

Dalam ranah diplomasi, istilah konvensi mempunyai arti yang lain dari artinya yang biasa, yaitu pertemuan sejumlah orang. Dalam diplomasi, konvensi mempunyai arti perjanjian internasional atau traktat. Ketiga Konvensi Jenewa yang terdahulu direvisi dan diperluas pada tahun 1949, dan pada tahun itu juga ditambahkan Konvensi Jenewa yang keempat. Konvensi Jenewa Pertama (First Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat, 1864 Konvensi Jenewa Kedua (Second Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut, 1906 Konvensi Jenewa Ketiga (Third Geneva Convention), mengenai PerlakuanTawanan Perang, 1929 Konvensi Jenewa Keempat (Fourth Geneva Convention), mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang, 1949 Satu rangkaian konvensi yang terdiri dari empat konvensi ini secara keseluruhan disebut sebagai Konvensi-konvensi Jenewa 1949 atau, secara lebih sederhana, Konvensi Jenewa. Protokol Konvensi-konvensi Jenewa 1949 telah dimodifikasi dengan tiga protokol amandemen, yaitu: Protokol I (1977), mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional Protokol II (1977), mengenai Perlindungan Konflik Bersenjata Non-internasional Protokol III (2005), mengenai Adopsi Lambang Pembeda Tambahan Aplikasi Konvensi-konvensi Jenewa berlaku pada masa perang dan konflik bersenjata, yaitu bagi pemerintah yang telah meratifikasi ketentuan-ketentuan konvensi tersebut. Ketentuan rinci mengenai aplikabilitas Konvensi-konvensi Jenewa diuraikan dalam Pasal 2 dan 3 Ketentuan yang Sama. Masalah aplikabilitas ini telah menimbulkan sejumlah kontroversi. Ketika Konvensikonvensi Jenewa berlaku, maka pemerintah harus merelakan sebagian tertentu dari kedaulatan nasionalnya (national sovereignty) untuk dapat mematuhi hukum internasional. Konvensikonvensi Jenewa bisa saja tidak sepenuhnya selaras dengan konstitusi atau nilai-nilai budaya sebuah negara tertentu. Meskipun Konvensi-konvensi Jenewa menyediakan keuntungan bagi individu, tekanan politik bisa membuat pemerintah menjadi enggan untuk menerima tanggung jawab yang ditimbulkan oleh konvensi-konvensi tersebut. Pasal 2 Ketentuan yang Sama, mengenai Konflik Bersenjata Internasional

Pasal ini menyatakan bahwa Konvensi-konvensi Jenewa berlaku pada semua kasus konflik internasional di mana sekurang-kurangnya satu dari negara-negara yang berperang telah meratifikasi Konvensi-konvensi tersebut. Terutama: Konvensi-konvensi Jenewa berlaku pada semua kasus perang yang dideklarasikan (declared war) antara negara-negara penandatangan. Pengertian ini merupakan pengertian yang asli tentang aplikabilitas dan mendahului pengertian versi 1949. Konvensi-konvensi Jenewa berlaku pada semua kasus konflik bersenjata antara dua negara penandatangan atau lebih, pun tanpa adanya deklarasi perang. Pengertian ini ditambahkan pada tahun 1949 untuk mengakomodasi situasi-situasi yang mempunyai seluruh karakteristik perang walaupun tanpa deklarasi perang yang formal, misalnya aksi polisional (police action). Konvensi-konvensi Jenewa berlaku bagi negara penandatangan walaupun negara lawan bukan penandatangan, tetapi hanya jika negara lawan tersebut menerima dan menerapkan ketentuanketentuan Konvensi-konvensi ini. Pasal 1 Protokol I lebih lanjut mengklarifikasi bahwa konflik bersenjata melawan dominasi penjajah atau pendudukan asing juga berkualifikasi sebagai konflik internasional. Bila kriteria tentang konflik internasional terpenuhi, maka perlindungan yang disediakan oleh Konvensikonvensi tersebut dianggap berlaku sepenuhnya. Pasal 3 Ketentuan yang Sama, mengenai Konflik Bersenjata Non-internasional Pasal ini menyatakan bahwa aturan-aturan minimum tertentu tentang perang sebagaimana terdapat di dalamnya juga berlaku pada konflik bersenjata yang tidak berkarakter internasional tetapi berlangsung di dalam batas-batas wilayah sebuah negara. Aplikabilitas pasal ini bersandar pada penafsiran tentang istilah konflik bersenjata. Misalnya, pasal tersebut berlaku pada konflik antara pasukan Pemerintah dan pasukan pemberontak atau antara dua pasukan pemberontak atau pada konflik lain yang mempunyai seluruh karakteriastik perang tetapi berlangsung di dalam batas-batas wilayah sebuah negara. Sekelompok kecil individu yang melakukan penyerangan terhadap markas kepolisian tidak dianggap sebagai konflik bersenjata yang tunduk pada pasal ini, tetapi sebagai konflik bersenjata yang tunduk hanya pada hukum nasional negara yang bersangkutan. Dalam konflik bersenjata non-internasional, yang berlaku dari Konvensi-konvensi Jenewa bukanlah seluruh ketentuannya tetapi hanya ketentuan dalam jumlah terbatas sebagaimana terdapat dalam redaksi Pasal 3 dan, di samping itu, dalam redaksi Protokol II. Alasan pembatasan tersebut ialah bahwa banyak pasal dari Konvensi-konvensi Jenewa akan bertentangan dengan hak-hak Negara Berdaulat. Ringkasnya: 1. Orang yang tidak ambil bagian aktif dalam permusuhan diperlakukan secara manusiawi (termasuk anggota militer yang sudah tidak ambil bagian aktif lagi karena sakit, cedera, atau tertawan). 2. Korban luka dan korban sakit dikumpulkan dan dirawat serta diperlakukan dengan respek.

Penegakan: Kuasa Perlindungan

Istilah kuasa perlindungan (protecting power) mempunyai arti spesifik berdasarkan Konvensikonvensi ini. Kuasa perlindungan ialah sebuah negara yang tidak ikut serta dalam sebuah konflik bersenjata tetapi setuju untuk mengurus kepentingan sebuah negara lain yang menjadi peserta konflik tersebut. Kuasa perlindungan berfungsi sebagai mediator yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara pihak-pihak peserta konflik. Kuasa perlindungan juga berfungsi memantau implementasi Konvensi-konvensi ini, misalnya dengan cara mengunjungi kawasan konflik dan tawanan perang. Kuasa perlindungan harus bertindak sebagai pendamping (advocate) bagi tawanan, korban luka, dan orang sipil. Pelanggaran berat

Tidak semua pelanggaran atas Konvensi-konvensi Jenewa diperlakukan setara. Kejahatan yang paling serius disebut dengan istilah pelanggaran berat (grave breaches) dan secara hukum ditetapkan sebagai kejahatan perang (war crime). Pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa Kedua dan Ketiga antara lain adalah tindakan-tindakan berikut ini jika dilakukan terhadap orang yang dilindungi oleh konvensi tersebut: pembunuhan sengaja, penyiksaan, atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologi dengan sengaja menyebabkan penderitaan besar atau cedera serius terhadap jasmani atau kesehatan memaksa orang untuk berdinas di angkatan berrsenjata sebuah negara yang bermusuhan dengan sengaja mencabut hak atas pengadilan yang adil (right to a fair trial) dari seseorang Tindakan berikut ini juga dianggap sebagai pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa Keempat: penyanderaan penghancuran dan pengambilalihan properti secara ekstensif yang tidak dapat dibenarkan berdasarkan prinsip kepentingan militer dan dilaksanakan secara melawan hukum dan secara tanpa alasan. deportasi, pemindahan, atau pengurungan yang melawan hukum Negara yang menjadi peserta Konvensi-konvensi Jenewa harus memberlakukan dan menegakkan peraturan perundang-undangan yang menghukum setiap kejahatan tersebut. Negara-negara juga berkewajiban mencari orang yang diduga telah melakukan kejahatan tersebut, atau yang diduga telah memerintahkan dilakukannya kejahatan tersebut, serta mengadili orang tersebut, apapun kebangsaan orang tersebut dan di mana pun kejahatan tersebut dilakukan. Prinsip yurisdiksi universal ini juga berlaku bagi penegakan hukum atas pelanggaran berat. Untuk tujuan itulah

maka Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda) dan Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melakukan penuntutan atas berbagai pelanggaran yang diduga telah terjadi. Prinsip pembedaan (Distinction Principle) merupakan suatu asas penting dalam HHI, yaitu merupakan suatu asas atau prinsip yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata, ke dalam dua golongan yaitu: kombatan (combatant) dan penduduk sipil (civilian). Kombatan adalah golongan orang atau penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities), Penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut dalam permusuhan. Tujuan dari prinsip pembedan ini adalah: Untuk mengetahui mereka yang boleh turut serta dalam permusuhan, sehingga boleh dijadikan sasaran atau obyek kekerasan, dan mereka yang tidak boleh turut serta dalam permusuhan sehingga tidak boleh dijadikan sasaran dan obyek kekerasan serta mereka harus dilindungi. Menurut Jean Pictet, prinsip pembedan ini berasal dari asas umum yang dinamakan asas pembatasan ratione personae yang menyatakan The civilian population and individual civilians shall enjoy general protection against danger arising from military operation. Asas ini memerlukan penjabaran lebih jauh ke dalam sejumlah asas pelaksanaan (principal of aplication) yaitu: Pihak-pihak yang bersengketa setiap saat harus membedakan antara kombatan dan penduduk sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan obyek-obyek sipil; Penduduk sipil demikian pula orang sipil secar perorangan, tidak boleh dijadikan obyek serangan walaupun dalam hal reprisal (pembalasan); Tindakan maupun ancaman kekerasan dengan tujuan utamanya untuk menyebarkan teror terhadap penduduk sipil adalah dilarang; Pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahan yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau setidaknya untuk menekankan kerugian atau kerusakan yang tak disengaja menjadi sekecil mungkin; Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh. Uraian di atas menunjukkan bahwa meskipun prinsip pembedaan ini lebih ditujukan sebagai upaya untuk melindungi penduduk sipil pada saat perang, secara tidak langsung prinsip ini juga melindungi para kombatan dan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata. Secara normatif prinsip ini dapat mengeliminasi kemungkinan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh kombatan terhadap penduduk sipil. Hal ini berarti akan memperkecil kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap HHI, khususnya ketentuan mengenai kejahatan perang yang dilakukan secara sengaja oleh kombatan. PERKEMBANGAN PENGATURAN PRINSIP PEMBEDAAN A. KONVENSI DEN HAAG 1907 Secara implisit, ketentuan mengenai prinsip pembedaan terdapat dalam Konvensi den Haag IV (Konvensi mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat), khususnya mengenai lampiran

annex nya yang berjudul Hague Regulations Respecting Laws and Custom of War atau yang dikenal dengan Hague Regulations (HR). bagian I Bab I HR mengatur mengenai kualifikasi dari belligerent, adapun kualifikasi belligerent, yaitu: Dipimpin oleh seorang yang bertanggungjawab pada bawahannya Mempunyai tanda yang dapat dikenali dari jauh Membawa senjata secara terbuka Kegiatannya didasarkan pada hukum dan kebiasaan perang Hukum, hak dan kewajiban perang bukan hanya berlaku bagi tentara (army) saja, tetapi juga bagi milisi dan korps sukarelawan, sepanjang memenuhi persyaratan tersebut di atas. Pasal 2 HR mengatur mengenai levee en masse. Berdasarkan ketentuan pasal ini mereka dapat dimasukkan dalam kategori belligerent sepanjang memenuhi persyaratan levee en masse sebagai berikut: Penduduk dari wilayah yang belum diduduki Secara spontan mengangkat senjata atau melakukan perlawanan Tidak memiliki waktu untuk mengatur diri sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 Menghormati hukum dan kebiasaan perang Membawa senjata secara terbuka Levee en masse bersifat temporal, artinya jika penduduk yang bersangkutan akan melanjutkan perlawanannya maka mereka harus mengorganisir dirinya. Dalam hal tersebut, mereka dikategorikan sebagai milisi atau korps sukarela yang juga termasuk dalam golongan kombatan. Dengan demikian, menurut Konvensi Den Haag 1907, khususnya mengenai Haag Regulation (HR) yang dapat dikategorikan sebagai kombatan adalah. Armies (tentara); Militia dan volunteer Corps (milisi dan korps sukarela) dengan melihat Pasal 1; Levee en masse yaitu B. KONVENSI JENEWA 1949 Dalam Konvensi jenewa 1949 (I,II,III,IV) tidak menyebut masalah kombatan, melainkan hanya menentukan yang berhak mendapatkan perlindungan (Pasal 13 Konvensi I dan II); yang berhak mendapatkan perlakuan tawanan perang jika jatuh ke tangan musuh (Pasal 4 Konvensi III). Meskipun ketentuan dalam Pasal 13 Konvensi I dan II serta Pasal IV Konvensi IV tidak dengan tegas disebutkan adanya penggolongan kombatan dan penduduk sipil, namun ketentuan dalam pasal-pasal tersebut pada dasarnya dimaksudkan untuk diberlakukan bagi kombatan. Menurut Konvensi Jenewa 1949, mereka yang dapat dimasukkan dalam kategori kombatan adalah: Mereka yang memiliki pemimpin yang bertanggung jawab atas bawahannya; Mereka yang mengenakan tanda-tanda tertentu yang dapat dikenal dari jarak jauh; Mereka yang membawa senjata secara terbuka; C. PROTOKOL TAMBAHAN 1977 Dalam Protokol Tambahan Tahun 1977 ini istlah kombatan dinyatakan secara eksplisit, yaitu dalam Pasal 43 angka 2. Prinsip pembedaan dalam protokol ini diatur pada Bab II yang berjudul Combatant and Prisoner of war status.

Pasal 43 dengan tegas menentukan mereka yang digolongkan sebagai kombatan adalah mereka yang termasuk dalam pengertian armed force (angkatan bersenjata) suatu negara. Yang termasuk dalam pengertian angkatan bersenjata adalah mereka yang memiliki hak untuk berperang secara langsung dalam permusuhan. Mereka terdiri: Angkatan bersenjata yang terorganisir (organized armed force) Kelompok-kelompok atau unit-unit yang berada di bawah satu komando yang bertanggungjawab atas tingkah laku bawahannya kepada pihak yang bersangkutan. Ketentuan dalam Protokol yang secara tegas membedakan penduduk sipil dengan kombatan terdapat dalam Pasal 48. Pasal 48 ini merupakan basic rule dalam rangka memberikan perlindungan terhadap penduduk sipil pada saat terjadi konflik bersenjata. Protokol ini menegaskan bahwa dalam rangka menjamin penghormatan dan perlindungan terhadap penduduk sipil dan obyek-obyek sipil, maka pihak-pihak yang bersengketa setiap saat harus membedakan antara penduduk sipil dan kombatan dan juga antara obyek-obyek sipil dan militer, serta harus mengarahkan operasi mereka hanya terhadap sasaran-sasaran militer. Ketentuan lain tentang prinsip pembedaan terdapat dalam Pasal 44, yang menegaskan bahwa setiap kombatan yang jatuh ke dalam kekuasaan lawan harus diperlakukan atau memperoleh status sebagai tawanan perang. Pengaturan prinsip pembedaan dalam Protokol Tambahan tahun 1977 ini merupakan suatu perkembangan yang revolusioner, karena dalam protokol ini tidak lagi dibedakan antara regular troops dan irregular troops sebagaimana dalam konvensi Den Haag ataupun Konvensi Jenewa 1949.

Prinsip pembedaan (Distinction Principle) merupakan suatu asas penting dalam HHI, yaitu merupakan suatu asas atau prinsip yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata, ke dalam dua golongan yaitu: - kombatan (combatant) - dan penduduk sipil (civilian). Kombatan adalah golongan orang atau penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities), Penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut dalam permusuhan. Tujuan dari prinsip pembedan ini adalah: Untuk mengetahui mereka yang boleh turut serta dalam permusuhan, sehingga boleh dijadikan sasaran atau obyek kekerasan, dan mereka yang tidak boleh turut serta dalam permusuhan sehingga tidak boleh dijadikan sasaran dan obyek kekerasan serta mereka harus dilindungi.

Menurut Jean Pictet, prinsip pembedan ini berasal dari asas umum yang dinamakan asas pembatasan ratione personae yang menyatakan The civilian population and individual civilians shall enjoy general protection against danger arising from military operation. Asas ini memerlukan penjabaran lebih jauh ke dalam sejumlah asas pelaksanaan (principal of aplication) yaitu: Pihak-pihak yang bersengketa setiap saat harus membedakan antara kombatan dan penduduk sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan obyek-obyek sipil; Penduduk sipil demikian pula orang sipil secar perorangan, tidak boleh dijadikan obyek serangan walaupun dalam hal reprisal (pembalasan); Tindakan maupun ancaman kekerasan dengan tujuan utamanya untuk menyebarkan teror terhadap penduduk sipil adalah dilarang; Pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahan yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau setidaknya untuk menekankan kerugian atau kerusakan yang tak disengaja menjadi sekecil mungkin; Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh. Uraian di atas menunjukkan bahwa meskipun prinsip pembedaan ini lebih ditujukan sebagai upaya untuk melindungi penduduk sipil pada saat perang, secara tidak langsung prinsip ini juga melindungi para kombatan dan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata. Secara normatif prinsip ini dapat mengeliminasi kemungkinan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh kombatan terhadap penduduk sipil. Hal ini berarti akan memperkecil kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap HHI, khususnya ketentuan mengenai kejahatan perang yang dilakukan secara sengaja oleh kombatan.

You might also like