You are on page 1of 10

Waduk biasanya dibentuk dengan membangun dan melintasi sungai sehingga air bendungan berada dibelakang dam (Ryding

dan Rast, 1989). Biasanya waduk memiliki drainase, kedalaman rata-rata, kedalaman maksimum, luas beban perairan yang lebih besar dibanding danau, tetapi dengan waktu tinggal yang lebih pendek dibanding danau. (Straskraba dan Tundisi, 1999) yang menyatakan bahwa waduk dibuat dan diciptakan manusia untuk tujuan tertentu. Waduk telah memberikan keuntungan dan konstribusi yang sangat besar untuk manusia karena bisa dimanfaatakn untuk pembangkit tenaga listrik, irigasi, ekoturisme, pertanian irigasi dan air minum. Namun peruntukan yang paling banyak adalah sebagai sumber pembangkit tenaga listrik. Kondisi lingkungan waduk sangat dipengaruhi oleh dua faktor. Faktor pertama adalah faktor dari alam, yaitu semakin lama umur waduk akan mengalami pendangkalan karena sedimentasi. Pendangkalan tentu akan berpengaruh terhadap volume air, kandungan oksigen, plankton-plankton, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap biota perairan yang hidup. Faktor yang kedua adalah faktor manusia juga mendapat peran yang sangat penting terhadap memburuknya kondisi lingkugan waduk.

Karakteristik ekologi waduk, inflow dan outflow, volume harus dipertimbangkan dalam menentukan pengelolaan sumberdaya perikanan budidaya yang sesuai dengan kondisi suatu lingkungan (Buyukcapar et al. 2006). Badan air dicirikan oleh empat komponen utama, yaitu komponen hidrologi, komponen fisika, kimia, dan komponen biologi. Effendi, ( 2003) mengatakan air berasal dari dua sumber, yaitu air permukaan (surface water) dan air tanah (ground water). Air permukaan adalah air yang berasal dari sungai, danau, waduk, rawa dan badan air lain yang tidak mengalami infiltrasi ke bawah tanah. Kedalaman badan air

memberikan dampak terhadap peningkatan beban nutrient waduk. Kualitas perairan yang buruk sering terjadi pada waduk yang telah tua karena telah terjadi pembentukan sedimentasi di dasar perairan, dan genangan perairan yang relatif permanen seperti pada Waduk Malahyu dan juga waduk lain di Indonesia. Waduk Malahayu memiliki berbagai potensi pemanfaatan untuk masyarakat baik dibidang sosial ekonomi, tempat budidaya ikan, tempat pariwisata. Pemanfaatan ini harus berkelanjutan, untuk itu proses perubahan kearah penurunan kualitas badan air Waduk Malahayu harus dihindarkan dengan mendorong pemerintah untuk melakukan rehablitasi pengerukan sedimen dan pembilasan. Thornton et al. (1990) menyatakan pelepasan musiman nutrient dari tempat penyimpanan ke waduk (contoh sedimen) memberikan pengaruh terhadap status nutrient waduk terutama selama periode ketika input dari sumber eksternal minimal (Cooke et al. 1977 dalam Thornton et al. 1990). Pencemaran yang disebabkan oleh kegiatan manusia (Antropogenik) merupakan permasalahan lingkungan yang berpengaruh terhadap perairan waduk (Gambar 2). Pada ekosistem tergenang seperti danau atau waduk, unsur yang berperan terhadap penurunan kualitas perairan adalah phosphor yang mengakibatkan terjadinya peningkatan produktivitas perairan yang bersangkutan.

Status trofik suatu perairan mencerminkan tingkat kesuburan perairan sehingga berguna untuk pengelolaan. Status trofik dapat ditentukan berdasarkan beberapa parameter seperti nutrien (nitrat) dan (fosfat), klorofil-a dan kecerahan. Konsentrasi N dan P merupakan salah satu indikator kualitas air dengan hubungannya dengan kesuburan perairan. Kedua unsur ini sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan fitoplankton. Sumber N dan P dapat berasal dari luar dan dari

dalam badan air. Sumber yang berasal dari luar antara lain dari atmosfer ke permukaan air melalui hujan; jatuhan partikel kering (dry fallout); run off dari lahan pertanian, peternakan, hutan dari limbah domestik maupun limbah industri. Sumber yang berasal dari badan air sendiri antara lain dari proses dekomposisi nutrien pada sedimen, tumbuhan air serta fiksasi N udara bebas oleh mikroorganisme menjadi N organik (Ryding dan Rast, 1989).

Perairan waduk berdasarkan tingkat kesuburannya diklasifikasikan menjadi 3 yaitu oligotrofik, eutrofik dan mesotrofik menurut Colle, 1988 dalam Effendi, (2003). a. Perairan oligotrofik merupakan perairan yang tingkat kesuburannya rendah dengan beberapa ciri sebagai berikut: Sangat dalam, termoklin tinggi, hipolimnion, suhu epoliminion lebih dingin. Kandungan bahan organik yang tersuspensi dan didasar perairan kecil. Kandungan kalsium, fosfat, dan nitrat miskin, bahan humus sangat sedikit atau hampir tidak ada. Kandungan oksigen terlarut tinggi pada seluruh kedalaman dan umumnya terjadi sepanjang tahun; Tanaman air tingkat tinggi sangat sedikit. Kualitas (populasi) plankton terbatas. b. Perairan mesotrofik merupakan perairan yang tingkat kesuburanya sedang dengan beberapa ciri sebagai berikut: Umumnya dangkal, temperatur bervariasi. Kandungan humus tinggi. c. Perairan eutrofikasi merupakan perairan yang tingkat kesuburanya tinggi

dengan beberapa ciri sebagai berikut: Umumnya dangkal Kandungan oksigen terlarut sedikit bahkan hampir tidak ada pada lapisan hipolimnion . Keanekaragaman algae rendah, densitas tinggi, produtivitas tinggi sering didominasi oleh Cyanophiceae, sering terjadi peledakan pertumbuhan algae. Unsur hara tinggi, produktivitas hewan akuatik tinggi.

Fosfat Kadar fosfat yang tinggi dalam perairan melebihi kebutuhan normal organisme akan menyebabkan eutrofikasi yang memungkinkan plankton berkembang dalam jumlah melimpah kemudian akan mengalami kematian masal. Kematian masal plankton akan menurunkan oksigen terlarut secara drastis dan kondisi ini akan membahayakan biota yang dibudidayakan. Kadar fosfat perairan yang aman dan baik adalah 0,2-0,5 mg/l (Mayunar et al., 1995). Ortofosfat adalah bentuk fosfor yang secara langsung dimanfaatkan oleh tumbuhan akuatik. Sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis untuk membentuk Ortofosfat sebelum dimanfaatkan sebagai fosfor. Fosfor merupakan salah satu unsur penting dalam pertumbuhan dan metabolisme tubuh diatom. Fosfat dapat menjadi faktor pembatas, baik secara temporal maupun spasial (Raymont, 1980). Keberadaan fosfor di perairan alami biasanya relatif kecil, kadarnya lebih kecil daripada nitrogen, karena sumber fosfor yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan sumber nitrogen. Sumber fosfor alami yang terdapat di dalam air berasal dari pelapukan batuan mineral dan hasil dekomposisi organisme yang telah mati. Di alam biasanya fosfat berasal dari erosi batuan disebabkan perubahan

iklim, atau ekskresi manusia dan detergen serta pertanian atau penggunaan lahan (Golterman, 1973). Pada umumnya fosfat yang berada di perairan banyak terdapat dalam bentuk fosfat organik. Sumber utama fosfat anorganik terutama berasal dari penggunaan deterjen, alat pembersih untuk keperluan rumah tangga serta berasal dari industri pupuk pertanian. Sedangkan fosfat organik berasal dari makanan dan buangan rumah tangga. Semua fosfat mengalami proses perubahan biologis menjadi fosfat organik yang selanjutnya digunakan oleh tanaman untuk membuat energi. Fosfat sangat berguna untuk pertumbuhan organisme dan merupakan faktor yang menentukan produktivitas badan air. Fosfat yang terlarut dalam perairan pada keadaan normal biasanya terbentuk Ortofosfat yang ada diperairan dalam jumlah yang rendah. Menurut Sutamihardja (1978) dalam Prihadi (2005) kandungan fosfat terlarut dalam perairan alam umumnya tidak lebih dari 0,1 mg/L. Jika dalam suatu perairan terjadi masukkan bahan pencemar dalam jumlah yang tinggi dan mengakibatkan kandungan fosfatnya cukup tinggi dapat mengakibatkan terjadinya proses eutrofikasi atau keadan lewat subur yang mengakibatkan terjadinya pertumbuhan plankton yang tidak terkendali. Phosphor memiliki peran utama dalam mengendalikan produktivitas di perairan tawar (Linkes, 1972) dan merupakan elemen pertama pembatas di perairan. Rasio N:P bervariasi sebagai bahan dasar dalam struktur tubuh fitoplankton (Lytras, 2007). Unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen, melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (Ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat (Effendi, 2003). Total P adalah salah satu nutrien yang penting untuk mengetahui mengenai eutrofikasi. Fosfor sering digunakan sebagai kunci untuk menjelaskan kualitas

algae yang ada di danau. Soegiarto dan Birowo, (1976) menyatakan kandungan fosfat pada lapisan permukaan lebih rendah daripada lapisan bawahnya, sehingga kandungan fosfat yang tinggi di lapisan permukaan dapat dipakai sebagai indikasi terjadinya proses penaikan masa air. Fosfor merupakan unsur esensial bagi pembentukan protein dan metabolisme sel organisme dan fosfor terdapat dalam bentuk senyawa orthofosfat (P0430), metafosfat (P3O930)dan polifosfat (PiO430) serta dalam bentuk organik (Wardoyo, 1982). Kandungan fosfat yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton berada pada kisaran 0,27-5,51 ppm (Bruno et al.1979 dalam Widjaja et al.1994). Fosfat mempengaruhi komposisi fitoplankton, pada perairan yang memiliki nilai fosfat rendah (0,00-0,02 ppm) akan dijumpai dominasi diatom terhadap fitoplankton yang lain, dan pada perairan dengan nilai fosfat sedang (0,02-0,05 ppm) akan banyak dijumpai jenis Cholorohyceae, sedangkan pada perairan dengan nilai fosfat tinggi (>0,10 ppm) akan didominasi oleh Cyanophiceae (Moyle 1946 dalam Kaswadji, (1976). Menurut (Hans W., Paerl et al. 2010) Ledakan Cyanobacterial (Microcystis) mencerminkan ekosistem perairan tawar terjadi eutrofikasi, karena perairan telah menunjukan peningkatan N & P berlebihan. Upaya yang dilakukan dalam manajemen tradisional adalah mengontrol terjadinya ledakan dengan cara pengurangan input Phospor.

Plankton (Fitoplankton) Pertumbuhan fitoplankton berinteraksi dengan serapan unsur hara (Thomann, et al. 1987). Plankton adalah organisme renik yang bergerak melayang dalam air atau kalaupun mampu berenang, kemampuan berenangnya sangat lemah, pergerakannya selalu dipengaruhi oleh gerakan massa air. Pada dasamya

plankton dapat berupa tumbuhan (fitoplankton) dan juga berupa hewan (zooplankton). Komposisi jenis fitoplankton yang umum dijumpai diperairan tawar berasal dari kelas Bacillarophyceae, Chlorophyceae, Cyanophyceae, Crysophyceae, Cryptophyceae, Dinophyceae, Euglenophyceae, dan Xanthophyceae. Kelas Cyanophyceae dan Crysophyceae merupakan jenis fitoplankton dominan diperairan tawar yang tergenang (Ruttner, 1973). Fitoplankton dapat berperan sebagai salah satu parameter ekologi yang dapat menggambarkan kondisi kualitas perairan. Fitoplankton merupakan dasar produsen mata rantai makanan (Dawes, 1981). Kehadirannya disuatu perairan juga dapat menggambarkan status suatu perairan apakah berada dalam keadaan subur atau tidak. Kelimpahan fitoplankton di suatu perairan dipengaruhi oleh beberapa parameter lingkungan dan karakteristik fisiologisnya. Komposisi dan kelimpahan fitoplankton akan berubah pada berbagai tingkatan sebagai respon terhadap perubahan-perubahan kondisi lingkungan baik fisik, kimia, maupun biologi (Reynolds et al.,1984). Muatan unsur hara yang berlebihan dapat merangsang pertumbuhan fitoplankton dengan cepat dan berlimpah sehingga dapat mempengaruhi fluktuasi dan kelimpahan fitoplankton di perairan. Fitoplankton sebagai organisme autotrof menghasilkan oksigen yang akan dimanfaatkan oleh organisme lain, sehingga fitoplankton mempunyai peranan penting dalam menunjang produktivitas perairan. Keberadaan fitoplankton dapat dilihat berdasarkan kelimpahannya di perairan, yang dipengaruhi oleh parameter lingkungan perairan tersebut. Komposis dan kelimpahan fitoplankton akan berbeda di setiap lapisan kedalaman sebagai akibat dari perbedaan kondisi perairan pada masing-masing lapisan

tersebut. Kelimpahan fitoplankton dalam suatu perairan sangat mpengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan yang meliputi faktor fisika, kimia, dan biologi, yakni suhu, kekeruhan, kecerahan, Ph, gas terlarut, unsur hara serta dipengaruhi pula oleh adanya interaksi dengan organisme lain. Proses eutrofikasi pada sistem perairan menyebabkan terjadinya perubahan komposisi jenis fitoplankton. Kondisi ini mengakibatkan dominasi dari jenis tertentu dan tumbuh secara berlebihan (blooming). Blooming dapat menyebabkan komposisi fitoplankton berbeda di setiap kedalaman. Pada kondisi demikian fitoplankton yang terdapat pada masingmasing lapisan tersebut juga berbeda. Menurut Davis, (1955) pada suatu perairan pada lokasi tertentu sering didapat jumlah individu plankton yang berlimpah, sedangkan pada lokasi lainnya diperairan yang sama, jumlahnya sangat sedikit. Keadaan ini merupakan suatu petunjuk bahwa distribusi plankton di suatu perairan belum tentu homogen. Selajutnya dikatakan bahwa kelimpahan fitoplankton terbesar ada pada beberapa centi meter di bawah permukaan air.

DAFTAR PUSTAKA

Ilyas, S., Budihardjo. 1995. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Posisi Kunci dalam Pembangunan Perikanan. Prosiding Simposium Perikanan Indonesia I Tanggal 25 27 Agustus 1993. Jakarta. Kartamihardja, E.S. 1993. Perencanaan Pengelolaan Perikanan Terpadu di Waduk Kedungumbo, Jawa Tengah. Prosiding Simposium Perikanan Indonesia I Tanggal 25 27 Agustus 1993. Jakarta. Krismono dan A. Krismono. 1998. Mengapa Ikan dalam Keramba Jaring Apung di Danau dan di Waduk Mati. Warta Penelitian Perairan Indonesia. Vol. IV No. I. Jakarta. Krismono, 1995. Penataan Ruang Perairan Umum untuk Mendukung Agribisnis dan Agroindustri. Prosiding Simposium Perikanan Indonesia I Tanggal 25-27 Agustus 1995. Jakarta. Manurung, V.T. 1997. Status dan Prospek Budidaya Ikan dengan Keramba Jaring Apung di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol. XVI. No. I. Sarnita, A. 1986. Perairan Umum di Indonesia sebagai salah satu Sumberdaya Alam. Prosiding Seminar Perikanan Perairan Umum. Tanggal 1 September 1986. Jakarta. Widana, K., P. Martosubroto. 1986. Pengelolaan Perikanan Perairan Umum dan Masalahnya. Prosiding Seminar Perikanan Perairan Umum. Tanggal 1 September 1986. Jakarta. Connell, D.W. 2000. Besic Concepts of Environmental Chemistry. Lewis Publilshers. Boca Reton, New York. Guerrero, R. D. 2007. Eco-Friendly Fish Farm Management and Production of Safe Aquaculture Foods in the Phiiippines.

Landner, L. 1976. Eutrofication of Lakes Causes Effect and Means for Control, with Emphasis on Lakes Rehabilitation. WHO-Regional Office for Europe ICP/CEP 210. Stokholm, Sweden.

You might also like