Professional Documents
Culture Documents
1.
Sebaik-baik orang diantara kalian adalah orang tidak meninggalkan akhiratnya untuk (kepentingan) dunianya; tidak pula (meninggalkan) dunianya untuk akhiratnya. Dia juga bukan beban atas orang lain. [HR. Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (4/221/no.1918), dan lainnya] Hadits ini maudhu (palsu), karena rawinya yang bernama Yaghnam bin bin Salim bin Qunbur Al-Bashriy. Dia adalah seorang pemalsu hadits seperti yang dinyatakan oleh Al-Bustiy dalam Al-Majruhin (3/145).
2.
Siapa yang memberikan kelonggaran (nafkah) kepada orang yang menjadi tanggungannya pada hari Asyura, maka Allah akan memberikan kelonggaran kepadanya selama setahun penuh. (HR. al-Baihaqi dalam asy-Syuabil Iman, 3/365; ath-Thabrani, dalam al-Mujam alAusath, no. 9302 dan dalam al-Mujam al-Kabir, no. 10007 dari Ibnu Uyainah ).
3.
Perbanyaklah dzikir, sehingga orang-orang berkata, engkau gila. [HR. Ahmad (3/68), Al-Hakim (1/499), dan Ibnu Asakir (6/29/2)] Hadits ini lemah karena diriwayatkan oleh Darraj Abu Samhi. Dia lemah riwayatnya yang berasal dari Abul Haitsam. Di-dhoif-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dhoifah (no. 517) (2/9). 4. Apabila khatib sudah naik mimbar, maka tidak ada lagi sholat dan tidak ada lagi ucapan. Hadits ini batil karena tidak ada asalnya sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh AlAlbaniy dalam Adh-Dhoifah (87). Namun, perlu diketahui bahwa jika adzan sudah selesai ketika khatib berada di atas mimbar siap untuk berkhutbah, maka seorang tidak boleh lagi berbicara dan melakukan aktivitas apapun selain shalat tahiyatul masjid agar seluruh jamaah memfokuskan diri untuk mendengarkan khutbah. 5. Bacalah Al-Quran dengan perasaan sedih, karena dia turun dengan kesedihan. [HR. Al-Khollal dalam Al-Amr Bil Maruf (20/2) dan Abu Said Al-Arobiy dalam Mujam-nya (124/1)]. Dalam sanad-nya terdapat rawi yang bernama Uwain bin Amr Al-Qoisiy, dia adalah seorang yang mungkarul hadits lagi majhul menurut Al-Bukhariy. Selain itu juga ada rawi yang bernama Ismail bin Saif. Dia adalah seorang yang biasa mencuri hadits dan meriwatkan hadits yang lemah dari orang-orang yang tsiqah. Tak heran jika Al-Albaniy menyatakan hadits ini dhoif jiddan (lemah sekali) dalam kitabnya Adh-Dhoifah (2523).
6. Hak seorang anak atas orang tuanya, orang tua memperbaiki nama anaknya, dan akhlaknya. [HR. Abu Muhammad As-Siroj Al-Qoriy dalam Al-Fawaid (5/32/1-kumpulan 98), dan lainnya]. Maka hadits ini palsu karena ada dua orang rawi: Muhammad Al-Fadhl, adalah seorang pendusta, dan Muhammad bin Isa adalah orangnya matruk (ditinggalkan). Karenanya Al-Albaniy mencantumkan hadits ini dalam Adh-Dhoifah (199) 7 Sesungguhnya manusia yang paling buruk kedudukannya, orang yang menghilangkan (menghancurkan) akhiratnya dengan dunia orang lain. [HR. Ath-Thoyalisiy dalam Al-Musnad (2398), dan Al-Baihaqiy dalam Syu'abul Iman (6938)] Hadits ini adalah hadits dhoif (lemah), karena rawi yang bernama Syahr bin Hausyab, seorang jelek hapalannya dan banyak me-mursal-kan hadits, 8. Seutama-utamanya makanan dunia dan akhirat adalah daging. [HR. Al-Uqoiliy dalam Adh-Dhu'afa' (1264)]. Hadits ini dihukumi dhoif jiddan oleh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy AlAtsariy dalam Adh-Dhoifah (2518), karena ada seorang rawi yang bernama Amr bin Bakr As Saksakiy. Hadits-haditsnya menyerupai hadits palsu. 10 Taubat dari dosa, engkau tidak kembali kepadanya selama-lamanya. [HR. Abul Qosim Al-Hurfiy dalam Asyr Majalis min Al-Amali (230), dan Al-Baihaqiy dalam Syuabul Iman (7036)] Hadits ini lemah karena dalam sanad-nya terdapat rawi yang bernama Ibrahim bin Muslim AlHijriy; dia adalah seorang yang layyinul hadits (lembek haditsnya). 11.
tetapi disini tidak mungkin untuk mencantumkan sebagai contoh, cukuplah salah satu contoh yang telah aku sebutkan. Adapun yang terpenting disini adalah hendaklah orang-orang yang menyelisihi hal ini mengetahui bahwa beramal dengan hadits dlaif dalam perkara keutamaan amal tidak mutlak menurut orang-orang yang berpendapat dengannya. Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata dalam Tabyanul Ujab, hal: 3-4 bahwa para ahli ilmu telah bermudah-mudah dalam membawakan hadits-hadits tentang keutamaan amal walaupun memiliki kelemahan selama tidak maudlu (=palsu). Seharusnya hal ini diberi syarat yaitu orang yang beramal dengannya menyakini bahwa hadits itu lemah dan tidak memasyhurkannya sehingga orang tidak beramal dengan hadits dlaif dan mensyariatkan apa yang tidak disyariatkan atau sebagian orang-orang jahil (=bodoh) menyangka bahwa hadits itu adalah shahih. Hal ini juga ditegaskan oleh Al-Ustadz Abu Muhammad bin Abdus Salam dan lain-lain. Hendaknya setiap orang khawatir jika termasuk dalam ancaman Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam:Barangsiapa menceritakan dariku satu hadits yang dianggap hadits itu dusta, maka dia termasuk seorang pendusta [Untuk lebih jelasnya lihat permasalahn ini pada kitab Syarh Shahih Muslim, juz: 1, bagian muqadimah. Imam An-Nawawi Ad-Damsiqi rahimahullah.] Maka bagaimana orang yang mengamalkannya?!. Tidak ada perbedaan antara mengamalkan suatu hadits dalam perkara hukum atau dalam perkara keutamaan amal, sebab semuanya adalah syariat. Inilah tiga syarat penting diperbolehkannya beramal dengan hadits-hadits dlaif dalam keutamaan amal; - Hadits itu tidak maudlu (=palsu). - Orang yang mengamalkannya mengetahui bahwa hadits itu adalah dlaif. - Tidak memasyhurkan untuk beramal dengannya. Akan tetapi sangat disayangkan kita menyaksikan kebanyakan ulama lebih-lebih orang awam meremehkan syarat-syarat ini. Mereka mengamalkan suatu hadits tanpa mengetahui kelemahannya, mereka tidak mengetahui apakah kelemahannya ringan atau sangat parah sehingga (hadits) tersebut tidak boleh diamalkan. Kemudian mereka memasyhurkannya sebagaimana halnya beramal dengan hadits shahih!. Oleh karena itu banyak ibadah-ibadah dikalangan kaum Muslimin yang tidak shahih dan memalingkan mereka dari ibadah-ibadah yang shahih yang diriwayatkan dengan sanad-sanad (=jalan, pent) yang shahih. Kemudian syarat-syarat tersebut menguatkan pendapat kami bahwa sebagian besar ulama tidak menginginkan makna yang kami anggap kuat tadi, sebab satupun diantara syarat-syarat itu tidak diterapkan sebagaimana yang tanpak. Menurutku (Syaikh Al-Albani), Al-Hafidz Ibnu Hajar cenderung kepada tidak boleh beramal dengan hadits dlaif berdasarkan ucapan beliau yang telah lewat bahwa tidak ada perbedaan antara mengamalkan suatu hadits dalam perkara hukum atau dalam keutamaan amal sebab semuanya adalah syariat. Inilah yang haq, karena hadits dlaif yang tidak ada penguatnya kemungkinan adalah maudlu (=palsu), bahkan umumnya palsu dan mungkar. Hal ini ditegaskan oleh sebagian ulama. Orang yang membawakan hadits dlaif termasuk dalam ucapan Nabi Shalallahu alaihi wa salam :yang dianggap hadits itu dusta, yaitu dengan menampakkan demikian. Oleh karena itu Al-Hafidz menambahkan dengan ucapannya:Maka bagaimana dengan orang yang mengamalkannya.
Hal ini dikuatkan dengan perkataan Ibnu Hibban bahwa setiap orang yang ragu terhadap apa yang dia riwayatkan, shahih atau tidak shahih, maka dia termasuk dalam hadits ini. Dan kita katakan seperti perkataan Al-Hafidz (Ibnu Hajar):Maka bagaimanakah dengan orang yang mengamalkannya. Inilah penjelas dari maksud ucapan Al-Hafidz Ibnu Hajar tersebut. Adapun jika ucapan beliau dimaksudkan kepada larangan memakai hadits maudlu (=palsu) dan tidak ada perbedaan antara perkara hukum dan keutamaan adalah sangat jauh dari konteks ucapan Al-Hafidz, sebab ucapan beliau adalah dalam pembahasan hadits dlaif, bukan maudlu sebagaimana hal itu tidak tersembunyi. Apa yang kami sebutkan tidak menafikan (=meniadakan) bahwa Al-Hafidz (Ibnu Hajar) menyebutkan syarat-syarat itu untuk mengamalkan hadits dlaif. Sebab kita katakan bahwa Al -Hafidz menyebutkan perkataan itu kepada orang-orang yang membolehkan memakai hadits dlaif dalam perkara keutamaan selama tidak maudlu (=palsu). Seakan-akan beliau berkata kepada mereka:Jika kalian berpendapat demikian, maka seharusnya kalian menerapkan syarat-syarat ini. Al-Hafidz tidaklah menyatakan dengan tegas bahwa dia menyetujui mereka dalam membolehkan (beramal dengan hadits-hadits yang dlaif) dengan syarat-syarat itu. Bahkan diakhir ucapan beliau menegaskan sebaliknya seperti yang telah kami terangkan. Kesimpulannya, bahwa beramal dengan hadits dlaif dalam perkara keutamaan amal tidak diperbolehkan sebab menyelisihi hukum asal dan tidak ada dalilnya. Orang yang membolehkannya harus memperhatikan syarat-syarat itu ketika mengamalkan hadits dlaif, Wallahu Muwaffiq. Demikian perkataan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. [Tamamul Minah Fii Taliq Fiqh Sunnah, hal: 34-38. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. Dinukil dari majalah Salafy edisi: XXIII/Ramadlan/1418H/1996, hal: 23-25.] .