You are on page 1of 12

Nama NPM Semester Mata Kuliah Dosen Pengajar Hari, Tanggal

: Erma Ratnasari : 306.10.24.051 : VI (Enam) : Pengantar Bioteknologi : Dra. Hj. Erny Rahma Diyani, M. Pd : Selasa, 7 Mei 2013

Contoh Terapi Gen yang Berhasil 1. Terapi Gen Bagi Penderita Penyakit Jantung Bawaan Sebuah penelitian baru membuktikan bahwa KCNQ1 adalah gen utama yang menyandi fungsi jantung. Mutasi yang terjadi pada gen tersebut akan menyebabkan penyakit jantung bawaan pada ratusan ribu anak dan akan menimbulkan gangguan rhytm atau irama jantung dengan penderitaan seumur hidup. Kondisi ini pada akhirnya bisa menyebabkan gagal jantung atau Cardiac suddent dan kematian. Penyakit jantung bawaan ini, dalam ilmu kedokteran disebut LQTS (Long QT Syndrome) karena mengalami perlambatan pacu jantung yang diserta dengan pemanjangan jarak QT interval pada Elektrokardigrafi Jantung. Penyakit ini, juga mempunyai ciricirinya berupa sinkop (keadaan dimana terdapat kelemahan menyeluruh pada otot-otot tubuh sehingga tidak mampu mempertahankan sikap tegak yang disertai dengan hilangnnya kesadaran). Pada jantung normal, iramanya harus teratur, berdiri sendiri, dan otonom. Pengatur Jantung berdenyut secara otomatis ini dinamakan pacu jantung (Pace macker). Pacu jantung utama adalah di nodus sinus. Bradikardia atau perlambatan denyut jantung dapat terjadi oleh kerusakan dipusat pacu jantung utama yang di sebab oleh gangguan fungsi sinus atau gangguan rangsang jantung.

Dalam penelitan tersebut, pasien yang menderita kelainan jantung bawaan, ditemukan adanya mutasi genetik pada semua penderita. Tepatnya pada gen KCNQ1 dengan lokasi mutant-nya pada residue 313, dan ternyata residue I313K ini merupakan pusat dari kanal Potassium yang tentunya merupakan molekul utama yang sangat dibutuhkan untuk kontraksi otot-otot jantung. Jadi dengan terjadinya mutasi tersebut penderita penyakit ini akan mengalami gangguan kontraksi otot jantung. Pengujian selanjutnya, pada sel-sel otot jantung secara invitro dengan menggunakan metode Patch Clamping Electrophysiology, Confocal imaging, dan analisa sequencing DNA pada pasien-pasien penderita penyakit herediter ini, membuktikan bahwa terdapat perbedaan bermakna penurunan fungsi sel-sel mutant KCNQ1-I313K bila dibandingkan dengan sel-sel normal. Untuk membuktikan lebih jauh lagi, kami melanjutkan penelitian ini dengan mengganti asam amino pembentuk mutant tersebut dengan menggunakan metode mutagenesis secara invitro. Caranya dengan merubah susunan asam amino residu I313 berdasarkan muatan listrik dari asam amino tersebut menjadi I313V (Valine) bersifat netral, I313G (Glycine) netral dan molekul kecil, I313K (Lysine) bermuatan positif, dan I313E (Glutamide) bermuatan listrik negatif. Hasilnya menggambarkan bahwa asam amino netral yang tidak bermuatan listrik hasilnya sama dengan sel normal, tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik jika dibandingkan dengan sel-sel normal. Namun sebaliknya jika dibandingkan dengan fungsi sel-sel yang mengandung muatan listrik positif ataupun negatif akan menyebabkan gangguan fungsi sel yang sangat menurun bahkan sel-sel tersebut tidak berfungsi lagi. Hal yang manakjubkan terjadi pada sel-sel yang mengandung I313G asam amino dengan ukuran kecil, dan tidak bermuatan listrik/netral, memperlihatkan fenomena sebaiknya, bahkan mengalami kelebihan fungsi. Sehigga dalam ilmu peyakit jantung, fenomena ini dapat menyebabkan penyakit yang berlawanan dari LQTS diatas, yaitu Short QT syndrome (SQTS) dengan pemendekan QT interval Elekrokadiografi jantung.

2. Terapi Gen Melawan Penurunan Terkait Penuaan Sebuah studi baru melakukan induksi sel untuk mengekspresikan telomerase, sebuah enzim yang secara metaforis memperlambat jam biologis ternyata berhasil. Penelitian ini memberikan bukti prinsipil kalau pendekatan yang mudah dan aman ini dapat secara efektif memperpanjang umur sehat. Sejumlah studi telah menunjukkan kalau mungkin memperpanjang usia rata-rata individu dari banyak spesies, termasuk mamalia, dengan bertindak pada gen tertentu. Hingga kini, walau begitu, ini artinya harus mengubah gen hewan tersebut sejak tahap janin pendekatan yang tidak praktis bagi manusia. Para peneliti dari Pusat Penelitian Kanker Nasional Spanyol (CNIO) dipimpin oleh direktur Mario Blasco, menunjukkan kalau rentang usia tikus dapat diperpanjang dengan memberikan perawatan pada usia dewasa langsung pada gen hewan tersebut. Dan mereka melakukannya dengan terapi gen, sebuah strategi yang sebelumnya belum pernah dilakukan untuk melawan penuaan. Terapi ini ditemukan aman dan efektif pada tikus. Hasilnya baru saja diterbitkan dalam jurnal EMBO Molecular Medicine. Tim CNIO, bekerja sama dengan Eduard Ayuso dan Fatima Bosch dari Pusat Bioteknologi Hewan dan Terapi Gen di Universitat Auto?noma de Barcelona (UAB), merawat tikus dewasa (usia satu tahun) dan tua (usia dua tahun) dengan terapi gen yang mengirimkan efek meremajakan pada kedua kasus, menurut para peneliti. Tikus yang dirawat pada usia satu tahun hidup 24% lebih lama secara rata-rata dan yang dirawat pada usia dua tahun lebih lama 13%. Terapi ini, lebih lanjut, menghasilkan perbaikan pada kesehatan hewan ini, menghambat penyakit terkait penuaan untuk muncul seperti osteoporosis dan resistensi insulin dan mencapai pembacaan yang lebih baik pada indikator penuaan seperti koordinasi syaraf otot. Terapi gen ini terdiri dari memperlakukan hewan dengan virus yang dimodifikasi DNA nya, gen virus diganti dengan enzim telomerase, yang berperan kunci pada penuaan. Telomerase memperbaiki ujung ekstrim dari kromosom yang disebut telomere, dan dengan ini memperlambat sel dan karenanya jam biologis tubuh. Ketika hewan terinfeksi, virus ini bertindak sebagai kendaraan untuk memasok gen telomerase ke dalam sel.

Studi ini menunjukkan kalau mungkin mengembangkan sebuah terapi gen anti penuaan berbasis telomerase tanpa meningkatkan insiden kanker, kata para peneliti. Organisme menua menumpuk kerusakan dalam DNA mereka karena pemendekan telomerase, studi ini menemukan kalau sebuah terapi gen berbasis produksi telomerase dapat memperbaiki atau memperlambat kerusakan jenis ini, tambah mereka.

3. Terapi Gen Untuk Menyembuhkan Sindroma Down Terapi sindroma Down hingga saat ini hanya dilakukan terhadap gejala yang telah muncul. Terapi konvensional semacam itu tidak akan pernah mengatasi penderitaan pasien sindroma Down secara tuntas. Ketidakimbangan gen dan ekspresinya akibat triplikasi kromosom 21 akan terus berlangsung sepanjang hidup pasien. Ketidakimbangan tersebut akan menyebabkan kekacauan fungsi produk-produk gen yang sensitif yang kemudian muncul dalam ujud fenotipik khas sindroma Down. Harapan ditaruh ke teknologi terbaru yang dikenal dengan terapi gen. Terapi gen merupakan pengobatan atau pencegahan penyakit melalui transfer bahan genetik ke tubuh pasien. Dengan demikian melalui terapi gen bukan gejala yang diobati tetapi penyebab munculnya gejala penyakit tersebut. Studi klinis terapi gen pertama kali dilakukan pada tahun 1990. Kontroversi terhadap terapi gen menjadi mengemuka ketika terjadi peristiwa kematian pasien setelah menjalani terapi gen pada bulan September 1999 di University of Pennsylvania, AS. Terlepas dari kegagalan tersebut, terapi gen merupakan sistem terapi baru yang menjanjikan banyak harapan. Beberapa pelajaran dan kegagalan-kegagalan yang diperoleh selama dekade pertama serta pesatnya perkembangan bidang tersebut saat ini membuka kemungkinan teknologi tersebut akan merevolusi dunia kedokteran di dekade mendatang. Seluruh uji klinis transfer gen hanya dilakukan terhadap sel-sel somatik bukan ke sperma atau ovum yang jika dilakukan pasti akan menimbulkan kecaman dan pelanggaran etika yang dianut saat ini. Transfer gen ke sel somatik dapat dilakukan melalui dua metode yaitu ex vivo atau in vitro. Melalui pendekatan ex vivo, sel diambil dari tubuh pasien, direkayasa secara genetik dan dimasukkan kembali ke tubuh pasien. Keunggulan metode ini adalah transfer gen menjadi lebih efisien dan sel terekayasa mampu membelah dengan baik dan menghasilkan produk sasaran. Kelemahannya, yaitu memunculkan immunogenisitas sel pada pasien-pasien yang peka, biaya lebih mahal dan sel terekayasa sulit dikontrol.

Seluruh uji klinis terapi gen saat ini menggunakan teknik in vivo, yaitu transfer langsung gen target ke tubuh pasien dengan menggunakan pengemban (vektor). Pengemban yang paling sering dipakai untuk mengantarkan gen asing ke tubuh pasien adalah Adenovirus. Selain itu dikembangkan juga pengembanpengemban lain yaitu Retrovirus, Lentivirus, Adeno-associated virus, DNA telanjang (naked DNA), lipida kationik dan partikel DNA terkondensasi. Uji-uji klinis terapi gen yang saat ini sedang berjalan dilakukan terhadap penderita kanker, penyakit monogenik turunan, penyakit infeksi, penyakit kardiovaskular, arthritis reumatoid, serta Cubital Tunnel Syndrome. Sebagaimana telah diuraikan di depan, sindroma Down disebabkan ketidakimbangan gen akibat kesalahan penggandaan pada kromosom 21. Kajian sangat intensif saat ini sedang dikerjakan di banyak lembaga riset terkemuka di dunia. Dalam beberapa tahun mendatang diharapkan dasar molekuler sindroma Down akan tersingkap. Dengan tersingkapnya hal itu maka pendekatan terapi gen untuk mengatasi penyakit tersebut dapat dikembangkan, misalnya dengan mengubah gen-gen yang ekspresinya menyebabkan kerusakan, atau membuat gen-gen tertentu lebih resisten terhadap ketidakimbangan gen yang terdapat dalam sel. Dengan berhasil dipetakannya kromosom 21 maka harapan kesana semakin terbuka lebar. 4. Terapi Gen dalam Penyembuhan Mata Buta Peneliti di Universitas Pennsylvania, AS berhasil melakukan koreksi terhadap gen yang dapat menyebabkan kebutaan. Demikian laporan terbaru dari The New England Journal of Medicine. Mereka memanfaatkan virus yang secara genetika telah direkayasa untuk memperkenalkan versi gen bernama RPE65 kepada 6 orang penderita penyakit retina mata. Empat pasien mengalami kemajuan dalam penglihatan. Percobaan sebelumnya dengan teknik sama pada anjing yang mengalami kebutaan juga berjalan sukses. Juga tersiar kabar kesuksesan seorang gadis buta di Amerika yang kini bisa melihat kembali setelah menjalani terapi gen. Hanya dengan menyuntikkan sebuah gen ke dalam mata, penderita buta turunan bisa kembali melihat tanpa harus menunggu donor mata. Terapi gen yang dikembangkan peneliti di Philadelphia diketahui bisa memulihkan penglihatan yang semakin memburuk akibat penyakit turunan langka yang disebut Leber Congenital Amaurosis atau LCA.

Penyakit ini membuat penderitanya akan mengalami kebutaan pada umur sekitar 40 tahun. Pada kasus Lebers congenital amaurosis virus yang membawa gen yang telah diperbaiki dapat disuntikkan langsung ke retina yang kemudian lansung menginfeksi sel retina. Suntikan langsung juga dipergunakan dalam uji terapi gen pada pasien penderita Parkinsons serta pada pasien yang menderita muscular dystrophy.

Masalah lain terapi gen terletak pada vector pembawa gen yakni si virus. Kadang-kadang virus ini memprovokasi reaksi kekebalan yang kuat --- yang telah membawa kematian pada Jesse Gelsinger, pemuda AS umur 18 tahun, yang memiliki gen rusak yang mencegah organ hatinya memproduksi enzim yang mampu menghancurkan ammonia. Pada 1999 ia merupakan orang pertama yang dupublikasikan meninggal sebagai akibat uji klinis dari terapi gen. Katherine High dari Howard Hughes Medical Institute di Maryland, AS dan salah satu direktur dalam proyek riset itu, optimis keberhasilan itu masih dapat diperluas. Ia mengharapkan penelitian itu akan mampu mengoreksi 10 kerusakan genetik yang dapat mengakibatkan seseorang menderita penyakit Lebers, seperti beberapa bentuk dari retinitis pigmentosa, nama sekelompok kondisi genetik mata. Dia mengatakan bahwa LCA menyebabkan kemampuan retina mata berkurang seiring bertambahnya usia, dan terapi gen yang diberikan sejak kecil bisa mencegah penurunan kemampuan tersebut. Studi yang dimuat dalam Lancet Medical Journal ini menurutnya bisa menjadi acuan untuk pengobatan penyakit retina lainnya. Penderita LCA mulai memiliki pandangan yang kabur pada usia anak-anak, dan tidak ada terapi yang yang bisa mencegah kaburnya penglihatan tersebut sebelum ada terapi gen ini. Berawal dari penelitian yang mencoba membuat virus tidak berbahaya yang disebut adeno-associated virus, yang berfungsi membawa DNA yang tepat langsung ke dalam mata. Namun teknik tersebut ternyata tidak membawa efek positif pada penderita LCA. Akhirnya, peneliti merancang teknik baru selama dua tahun dengan cara menyuntikkan gen terapetik (RPE65) ke dalam retina, dan terapi itu ternyata berhasil memulihkan penglihatan para penderita muda LCA umur delapan, semibilan, 10, dan 11 tahun.

Terapi pada penyakit seperti cystic fibrosis atau muscular dystrophy, yang melibatkan satu atau beberapa perubahan genetika turunan, uji klinisnya dilakukan dengan mengoreksi versi dari gen yang cacat pada pasien. Len Seymour, peneliti pada Universitas Oxford , menggunakan pendekatan DNA sebagai obat. Terapi gen diharapkan bisa menjadi salah satu perawatan yang efektif untuk menangani masalah penglihatan turunan pada anak. Studi melaporkan bahwa semua pasien memberikan respons yang baik terhadap perawatan ini. Perbaikan yang terukur termasuk setidaknya 100 kali lipat peningkatan respons cahaya pupil, ketika pupil mengecil saat ada cahaya.

Gambar: 1.4 (Retina mata) 5. Terapi Gen Untuk Melawan penyakit HIV Para peneliti melaporkan hasil yang menjanjikan dari percobaan klinis terbesar mengenai terapi gen bagi pasien HIV. Menurut Peneliti, walaupun menjanjikan, masih diperlukan lebih banyak lagi penelitian untuk menemukan penanganan baru yang efektif. Terapi gen dipertimbangkan sebagai alternatif terhadap penggunaan obat-obatan. Para peneliti berharap bisa melawan virus dengan memasukkan gen ke dalam tubuh pasien yang terinfeksi. Dalam studi baru tersebut, para peneliti fokus terhadap satu molekul yang berperan melawan virus AIDS. Para ilmuwan merekrut 74 orang yang positif HIV dan menyuntikkan molekul yang disebut dengan OZ1 atau placebo melalui urat nadi. Pasien

kemudian membuat siklus menggunakan dan tidak menggunakan obat mereka sehingga para peneliti bisa melihat apakah virus kembali terbentuk. 6. Terapi Gen dalam Penghasilan Enzim ADA Contoh terbaik adalah penghasilan enzim Adenosina Deaminase (ADA) pada bayi. Ashanthi De Silva ialah kanak-kanak pertama yang dirawat dengan terapi gen. Dia mengidap penyakit kedefisienan Adenosina Deaminase (ADA) yang disebabkan mutasi tubuhnya tidak mampu membina enzim ADA, enzim ini diperlukan untuk perkembangan sel T (mempertahankan sistem keimumnan), gen ADA terletak pada kromosom X. biasanya pengidap penyakit ini diberi suntikan enzim ADA atau pemindahan sumsum tulang, namun sistem ini memiliki kelemahan, yaitu suntikan enzim ADA tidak dapat memulihkan sistem keimunan penderita sedang pemindahan sumsum tulang perlu pendonor yang cocok. Teknologi DNA rekombinan memberi nafas baru untuk mengobati penyakit ini. Ashanti yang berumur 4 tahun pada tahun 1990 menerima terapi gen. Salinansalinan gen terklon untuk enzim ADA disisipkan ke dalam retro virus lemah (sebagai vektor). Retro virus ini dicampurkan dengan sel T Ashanthi, retrovirus kemudian menjangkiti sel T dan menyisipkan gen ADA ke dalam DNA sel T. setelah dilakukan penyaringan, sel T rekombinan tersebut diklonkan, sebagian sel T rekombinan tersebut disuntikkan ke Ashanti dan sebagian lagi disimpan dalam penyimpan gen (sebagai simpanan). Ashanti disuntik berulangkali, dan ternyata setelah 5 tahun didapati sel T Ashanthi menunjukkan kehadiran gen ADA, diprediksikan satu milyar sel telah diberikan pada Ashanthi. 7. Terapi Gen Pada Pengobatan Hemofili Penderita hemofilia adalah manusia yang factor VIII dalam darahnya jumlahnya sedikit. Jika orang normal memiliki jumlah factor VIII dalam darahnya sebanyak 100 unit, maka penderita hemofili ringan hanya memiliki sekitar 30 unit saja (6-30 persen), sedangkan penderita hemofili berat hanya memiliki factor VIII dalam darahnya kurang dari 5 unit atau 1 persen saja. Akibatnya penderita tidak memiliki kemampuan dalam

pemkuan darah. Terapi gen merupakan salah satu cara penyembuhan penyakit hemofili dengan memperbaiki kerusakan genetis, yaitu melalui penggantian gen yang tidak rusak dan berfungsi normal. Penyembuhan melalui terapi gen ini tidak dapat secara permanen dan masih harus dilakukan secara berkala. Menurut Moeslichan (2005), hingga saat ini terapi gen belum diterapkan pada penderita hemofili Indonesia. Ditambahkannya bahwa di luar negeri studi terapi gen terus dikembangkan. Bahkan percobaan kepada binatangpun telah dilakukan. Sebuah kasus terapi gen yang dilakukan pada seekor anjing yang mengidap hemofilia dapat sembuh dalam waktu 30 hari. Namun, serangan hemofilia kembali terjadi setelah itu. Pada manusia penderita hemofili, masa penyembuhan setelah terapi gen, memakan waktu dari satu hingga dua tahun. Prinsip-prinsip terapi gen adalah gen yang akan dipindahkan itu harus diletakkan ke dalam sel yang akan berfungsi normal dan efektif. Untuk hemofilia gen harus diletakkan ke dalam sel yang akan menghantarkan protein faktor VIII atau faktor IX ke dalam peredaran darah. Saat ditransfer, gen tersebut harus berfungsi dalam sel dalam jangka waktu yang lama, demikian pula sel baru yang disebut transduced cell, harus pula bertahan lama. Program terapi gen terbagi dalam dua jenis. Pertama, pemindahan gen dilakukan di dalam tubuh pasien (in vivo transfer). Kedua, pemindahan gen dilakukan di luar tubuh pasien (ex vivo transfer). Terapi gen in vivo transfer bersandarkan pada kemampuan sel-sel untuk menyerap DNA. Peneliti berharap dapat memetakan gen yang berfungsi normal sehingga memungkinkan sel-sel menerimanya sesegera mungkin, misalnya melalui penyuntikan. Sedangkan ex vivo transfer, gen yang berfungsi normal disisipkan ke dalam sel di dalam laboratorium. Kemudian sel yang telah ditransferkan ke gen baru tadi di letakkan ke dalam tubuh pasien. Sel penderita dapat digunakan untuk pemindahan gen ini. Tentu kedua cara ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan in vivo transfer adalah sangat sedikit membutuhkan manipulasi laboratorium dan dapat digunakan dalam skala besar. Sedangkan ex vivo lebih sarat dengan operasi pembedahan, seperti bagaimana mengangkat dan meletakkan kembali sel, karena meletakkan gen baru ke tubuh pasien tidaklah segampang menelan pil atau semudah menyuntikkannya ke dalam darah.

Risiko terapi gen adalah kemungkinan terjadinya viral vector yang akan beraksi layaknya virus dan akan menyebabkan infeksi. Namun demikian sejauh ini viral vector yang telah dilakukan investigasi tidak menyebabkan penyakit pada manusia. Penyembuhan penyakit hemofilia melalui terapi gen saat ini masih terus dilakukan. Percobaan terhadap anjing telah berhasil, demikian juga dengan manusia, percobaan terhadap dua penderita hemofilia pun telah dilakukan. 8. Terapi Gen Pada Pengobatan Thallasemia Thallasemia merupakan suatu penyakit darah bawaan yang menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), sel darah merah penderita mengandung sedikit hemoglobin dan sel darah putihnya meningkat jumlahnya (Supriyadi, dkk, 1992). Thallasemia merupakan penyakit keturunan yang paling banyak dijumpai di Indonesia dan Italia. 6 sampai 10% dari 100 orang Indonesia membawa gen penyakit ini. Jika dua orang yang sama-sama membawa gen ini menikah maka satu dari empat anak mereka akan menderita thallasemia berat. Kelainan gen ini akan mengakibatkan kekurangan salah satu unsur pembentuk hemoglobin (Hb), sehingga produksi Hb berkurang. Terdapat tiga jenis thallasemia yaitu : mayor, intermediate dan karier. Pada thallasemia mayor, Hb sama sekali tidak diproduksi. Akibatnya penderita akan mengalami anemia berat. Dalam hal ini jika penderita tidak diobati, maka bentuk tulang wajahnya akan berubah dan wama kulitnya menjadi hitam. Selama hidupnya penderta akan tergantung pada transfusi darah. Hal ini dapat berakibat fatal, karena efek samping dari transfuse darah yang terus menerus akan mengakibatkan kelebihan zat besi. Terapi gen merupakan harapan baru bagi penderita thallasemia di masa mendatang. Terapi dilakukan dengan menggantikan sel tunas yang rusak pada sumsum tulang penderita dengan sel tunas dari donor yang sehat. Hal ini sudah diujicobakan pada mencit.

9. Terapi Gen Pada Penyakit Lainnya Salah satunya, memanfaatkan terapi gen untuk menyembuhkan penyakit dengan mengubah atau menghilangkan gen-gen yang rusak, atau juga bisa dilakukan dengan memperkenalkan gen terapi yang dapat melawan penyakit tersebut. Beberapa penyakit, seperti Huntingtons disease, ALS (Lou Gehrigs disease), Immunological disorder : severe combined immunodeficiency syndrome (SCIDS), Muscular dystrophies serta cystic

fibrosis(kelainan genetis yang berpengaruh terhadap paru-paru dan sistem pencernaan) dan berbagai penyakit menurun lainnya disebabkan oleh kerusakan gen. Diharapkan dengan adanya rekayasa genetik, nantinya penyakit-penyakit tersebut akan dapat

disembuhkan.Namun meskipun beberapa hewan telah sukses menjalani terapi ini, terapi ini masih ilegal untuk dilakukan terhadap manusia. Keuntungan lain yang didapatkan, ada di dunia farmasi. Kini, hormon yang dibutuhkan oleh manusia, bisa diperbanyak menggunakan bakteri. Salah satu contoh nyatanya adalah insulin dan Human Growth Hormone (HGH). Dulu manusia mendapatkan hormon insulin (hormon yang sangat diperlukan, terutama oleh penderita Diabetes Mellitus) dengan mengekstrak bagian tertentu dari sapi atau domba (bahkan untuk HGH harus diambil dari bangkai manusia), sehingga harganya sangat mahal. Namun kini, hormon tersebut dapat didapatkan dengan mudah, karena jika DNA penghasil hormon tersebut dikaitkan pada DNA bakteri yang cepat membelah diri, maka insulin yang akan dihasilkanpun semakin banyak dan terus digandakan.

You might also like