KONSENTRASI HUKUM ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI LEGALITAS HUKUM PIDANA ISLAM MAKALAH Disusun guna memenuhi tugas pada mata kuliah Qowaid al-Ahkam Dosen Pengampu : Prof. DR. KH. Rahmat Syafei, M.Ag
Oleh Encep Abdul Rojak NIM.: 2.212.1.4.023
KONSENTRASI HUKUM ISLAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2013 HUKUM PIDANA ISLAM Ahkam M.Ag UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI 1
ASAS LEGALITAS HUKUM PIDANA ISLAM A. Pendahuluan Puji syukur atas Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan hidayah- Nya sehingga makalah yang berjudul Asas Legalitas Hukum Pidana Islam ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah SAW. yang telah menyampaikan risalah-Nya untuk umat manusia, yang dijadikan pedoman dalam kehidupan ini, baik yang menyangkut ibadah maupun muamalah, termasuk hukum pidana Islam. Hukum pidana tidak lain membahas tentang hukum sebab akibat, yang memiliki efek jera bagi para pelakunya. Hukum pidana ini termasuk kepada hukum publik, karena dalam penyelesaiannya membutuhkan orang ketiga. Tidak bisa diselesaikan perkara pidana ini tanpa bantuan Negara/pengadilan. Apabila diselesaikan secara pribadi, termasuk kepada kategori main hakim sendiri. Umat Islam dunia selaiaknya menggunakan hukum yang bersumber dari al-Quran dan al-Hadis, karena keduanya merupakan pedoman hidup, dan semua aspek hukum sudah terkandung di dalamnya. Seperti hukuman tentang hudud, qishash, dan tazir. Semua hukuman ini sudah tercantum di dalam al-Quran dan al-Hadis, hanya saja dari ketiga sisi tersebut ada perbedaan teknis dalam penerapannya. Misalkan kalau hudud balasan perbuatan sudah ditetapkan oleh Allah SWT., sedangkan tazir dikembalikan kepada Negara/pihak yang berwenang. Hal ini memberikan ruang kepada manusia untuk berfikir dan melihat lebih jauh akan pentingnya hukuman itu sendiri. Sanksi bisa diaplikasikan kepada para pelaku kejahatan apabila terpenuhi syaratnya, yaitu legalitas. Asas legalitas bermaksud membatasi berlakunya hukum itu sendiri. Ketika pelanggaran sudah terjadi, tetapi hukumnya belum ditetapkan, maka orang tersebut tidak dapat dikenai sanksi atau pidana karena tidak termasuk kepada pelanggaran hukum. Begitu juga dalam hukum Islam, berlaku asas legalitas dalam penerapan hukumnya. Oleh karenanya, dalam makalah ini akan dibahas tentang asas legalitas dalam hukum pidana Islam.
2
PEMBAHASAN A. Pengertian Asas Legalitas Kata asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar atau prinsip, sedangkan kata legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex (kata benda) yang berarti undang-undang, atau dari kata jadian legalis yang berarti sah atau sesuai dengan ketentuan undang-undang. Dengan demikian legalitas adalah "keabsahan sesuatu menurut undang undang". 1 Dalam kaitannya dengan hukum pidana Islam, asas legalitas berarti keabsahan mengaplikasikan hukuman atas melampaui batas (hudud) yang dapat merugikan orang lain, yang bersumber dari al-Quran dan al- Hadis. Dengan demukian arti legalitas adalah keabsahan sesuatu menurut undang-undang. Secara historis asas legalitas pertama kali digagas oleh Anselm van Voirbacht dan penerapannya di Indonesia dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana. Adapun istilah legalitas dalam syari'at Islam tidak ditentukan secara jelas sebagaimana yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum positif. Kendati demikian, bukan berarti syari'at Islam tidak mengenal asas legalitas. Bagi pihak yang menyatakan hukum pidana Islam tidak mengenal asas legalitas, hanyalah mereka yang tidak meneliti secara detail berbagai ayat yang secara substansional menunjukkan adanya asas legalitas. 2
Asas legalitas biasanya tercermin dari ungkapan dalam bahasa latin: Nullum Deliktum Nulla Poena Sine Pravia Lege Poenali (tiada delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu). Asas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu
1 Subekti dan Tjitrosudibyo, Kamus Hukum, (Jakarta: pradnya Paramita, 1969), h, 63 2 Abdul Qodir Awdah, Al-Tasyri al-Jinai al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wadhi, Juz I, (Beirut: Dr al-Kitab al-Araby,t.t.), h. 118 3
dengan informasi yang boleh dan yang dilarang. Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan illegal dan hukumanya. Jadi, berdasarkan asas ini, tiada suatu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan sejara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat menjatuhkan pidana hanya terhadap orang yang melakukan perbuatan setelah dinyatakan sebelumnya sebagai tindak pidana. Begitu pun dengan hukum Islam, berlaku asas legalitas ini, berdasarkan hukum yang sudah tercantum dalam al-Quran dan al-Hadis. B. Landasan Kaidah Asas Legalitas Dalam Pidana Islam Asas legalitas dalam hukum Islam bukan berdasarkan pada akal manusia, tetapi dari ketentuan Allah SWT.. Sedangkan asas legalitas secara jelas dianut dalam hukum Islam, terbukti adanya beberapa ayat yang menunjukkan asas legalitas tersebut. Allah SWT. tidak akan menjatuhkan hukuman pada manusia dan tidak akan meminta pertanggungjawaban manusia sebelum adanya penjelasan dan pemberitahuan dari Rasul-Nya. 3 Demikian juga kewajiban yang harus diemban oleh umat manusia adalah kewajiban yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, yaitu taklifi yang sanggup di kerjakan. Dasar hukum asas legalitas dalam Islam antara lain: Al-Qur'an surat Al-Isra: 15 ... $ $. /` Lm ]6 Artinya: ... dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.
Al-Qur'an surat Al-Qashash: 59 $ %. 7/ 7=` )9# Lm ]7 $& #=G = $F# ... Artinya: Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; ...
Ayat al-Quran yang lainnya yang berbicara tentang asas legalitas yaitu QS al-Nisa: 16, QS al-Anam:19, QS al-Baqarah:286, dan QS al-Anfal:38.
3 Ibid. h. 117 4
Semua ayat al-Quran ini berbicara tentang asas legalitas. Kekuatan lafadz- lafadz ini termasuk lafadz yang qathi, yang berarti wajib untuk diamalkan. Yang mengandung arti bahwa tidak ada pidana sebelum ada bayan yang disampaikan Allah SWT. melalui Rasul-Nya. 4 Selain itu, manusia juga ditanggungi sesuai dengan kekuatannya, yang berarti disini berlaku hukum rukhsah bagi mereka yang berada di bawah kemampuannya. C. Kaidah-Kaidah Asas Legalitas Dalam nyatanya, menurut penulis terdapat beberapa asas legalitas dalam penerapan hukum pidana Islam, yaitu sebagai berikut:
5
Artinya: Perbuatan orang yang sudah baligh tidak dapat dijerat hukum sebelum disebutkannya nash.
Kaidah ini menjelaskan bahwa perbuatan manusia yang sudah ditaklif, tidak mungkin digolongkan kepada perbuatan melanggar hukum atau haram sebelum ada nash yang membatasinya/mengharamkannya.
Artinya: asal dari segala sesuatu dan perbuatan adalah mubah Dalam pembahasan hukum pidana Islam ini, asal dari segala sesuatu dan perbuatan itu adalah murni mubah atau boleh untuk dilakukan, sebelum adanya illat atau aturan yang melarangnya. Kedua kaidah ini menunjukkan tentang asas legalitas bahwa sebelum adanya aturan (dalam Islam adalah nash yang mengatur, karena sumber hukum berasal dari Allah SWT. langsung, bukan hasil pemikiran manusia) yang mengaturnya, maka tidak ada tanggungan yang berlaku di sana, karena nash belum mengatur. Apabila nash sudah mengaturnya, maka terjadi pertanggungan bagi orang yang mengerjakannya. ,
6
4 Ibid. h. 118 5 Ibid. h. 115 5
Kaidah ini menjelaskan akan syarat dari orang yang bisa terkena tanggungan hukum, yaitu apabila orang itu mampu memahami dalil mukallaf yang menjadi ahlinya, yang berarti memahami nash yang menjadi aturan dalam hidup ini dan menjadi hukum Islam yang berlaku. Karena orang yang tidak bisa memahami dalil nash yang menjadi landasan hukum, maka kemungkinan besar orang tersebut tidak akan dapat mentaati aturan yang sudah dibentuk. Dan syara tidak membebani kecuali atas dasar kemampuannya untuk mentaatinya. Dengan adanya asas ini, seseorang bisa diperhatikan apakah dia termasuk orang yang dapat dihukum atau tidak. D. Penerapan Asas Legalitas Kaidah umum sebelumnya sudah menjelaskan bahwa Tidak ada pidana tanpa ada Nash. Prinsip legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejahatan- kejahatan hudud. Pelanggarannya dihukum dengan sanksi hukum yang pasti. Prinsip tersebut juga diterapkan bagi kejahatan qishash dan diyat dengan diletakanya prosedur khusus dan sanksi yang sesuai. Jadi, tidak diragukan bahwa prinsip ini berlaku sepenuhnya bagi kedua katagori diatas. Menurut Nagaty Sanad, professor hukum pidana dari mesir, asas legalitas dalam Islam yang berlaku bagi kejahatan tazir adalah yang paling fleksibel, dibandingkan dengan kedua katagori sebelumnya. Untuk menerapkan asas legalitas ini, dalam hukum pidana Islam terdapat keseimbangan. Hukum Islam menjalankan asas legalitas, tetapi juga melindungi kepentingan masyarakat. Ia menyeimbangkan hak-hak individu, keluarga, dan masyarakat melalui katagorisasi kejahatan dan sanksinya. Kemudian jika berpegang pada asas legalitas seperti yang dikemukakan pada pembahasan di atas, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikenai tuntutan atau pertanggung jawaban pidana. Dengan demikian nas-nas dalam syari'at Islam belum berlaku sebelum di undangkan dan diketahui oleh orang banyak. Ketentuan ini memberi pengertian hukum pidana Islam baru berlaku setelah adanya nas yang mengundangkan.
6 Ibid. h. 116 6
Dalam penerapannya, kaidah ini melahirkan furu yaitu: 7
1. -=' -= - `- -,-=` -,= ` Pidana berlaku untuk pidana hudud, yang mana dalam bahasannya terdapat 7 bagian hudud, yaitu: - '-' -' - _-' - - --' -=' - - -' ' - Dalam setiap tindak pidana ini, semua sudah tercantum dalam hukuman hudud dalam al-Quran. Seperti zina, tercantum dalam QS al-Nur: 2 #9# #9# #$#_$ . n $] $$ $#_ ... Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera...
Nash ini berbicara tentang had seseorang yang melakukan pidana zina, dengan hukuman didera sebanyak 100 kali. Begitu pula dengan hukuman yang sudah tercantum dalam al-Quran, seperti Qadzaf terdapat dalam QS al-Nur:4, Syarib al-Khamr; QS Al-Maidah:9, al-Saraqah; QS al- Maidah:38, Jarimah al-Harabah; QS al-Maidah:33, jarimah al-Riddah; QS Ali Imran:85 dan QS al-Baqarah:217, jarimah al-Bagy; QS al- Hujurat:09. Kesemuanya ini merupakan jarimah yang dalam aplikasinya harus ada nash sebagai dasar legalitasnya. Dalam al-Quran sudah sangat jelas sekali penjelasan tentang jarimah ini semua, sehingga tidak tidak perlu mencari landasan lain dalam menghukumi pelanggarnya. 8
2. ,-' '--' -= - `- -,-=` -,= ` Tindak pidana yang dikenai dengan qishash dan diyat, merupkan tingkatan kedua dari hudud. Hukuman yang termasuk kepada qishash adalah membunuh dengan sengaja (--' .--'), menghilangkan bagian
7 Ibid. h. 118 8 Ibid. h. 121 7
tubuh dengan sengaja (--= ` `-), dan menyakiti dengan sengaja (--= ='). 9
Adapun tindakan pidana yang dikenai hukuman diyat pada dasarnya tindak pidana qishash tetapi mendapatkan maaf dari korban atau keluarga korban dengan alasan yang syari, sehingga berlaku hukuman diyat. Yang termasuk kepada orang yang bisa memaafkan adalah keluarga, tetapi wali tidak bisa memberikan maaf karena tidak berhak. 10 Macam-macamnya yaitu: pembunuhan yang menyerupai sengaja, pembunuhan yang tidak disengaja, menghilangkan bagian tubuh tidak sengaja, dan menyakiti tanpa disengaja. Kesemuanya ini berlaku hukum diyat atau denda. Sebagai contoh QS al-Baqarah:178 $' %!# #`# =G. `3= `$)9# =F)9# t:# t:$/ 69# 79$/ \{# \{$/ ` `&! z& "` $6?$ `9$/ '#& 9) m*/ 79 #)B 3/ m G# / 79 `&# ># '9& Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.
3. ,'-' -= - `- -,-=` -,= ` Tindakan jarimah sangat berlaku untuk tindakan jarimah hudud dan diyat atau qishash. Begitu pun berlaku juga untuk tindak tazir. Hal ini mengalami perluasan makna, karena dalam mencari kemaslahatan umum
9 Ibid. h. 121 10 Ibid. h. 125 8
harus diperhatikan juga pada tindakan yang ringan dan jarang terjadi, tergantung seberapa besar tindak pidana itu. Dalam masalah tindak pidana tazir memiliki kajian yang sangat luas, karena pidana ini tidak memiliki hukuman yang tetap dan tertentu bagi setiap tindakan pidananya. Hukuman tazir dikembalikan kepada hakim untuk menentukannya, hukuman apa yang seimbang dan laik untuk pelanggar tersebut. 11 Dalam hal kaidah khusus yang berkaitan dengan pidana tazir, para ulama mencegah adanya kaidah yang khusus tentang jarimah tazir ini. Karena tazir pada dasarnya perbuatan yang tergolong kepada maksiat, dan tidak ada didalamnya batasan yang terukur (hudud). 12
4. Hukum pidana Islam tidak mengenal sistem berlaku surut yang dalam perkembangannya melahirkan kaidah. 13 : ,=` -'-=' _,--' Tidak berlaku surut pada pidana Islam Artinya sebelum adanya nash yang melarang perbuatan maka tindakan mukallaf tidak bisa dianggap sebagai suatu jarimah. Namun dalam praktiknya ada beberapa jarimah yang diterapkan berlaku surut artinya perbuatan itu dianggap jarimah walaupun belum ada nash yang melarangnya. Alasan diterapakan pengecualiaan berlaku surut, karena pada jarimah-jarimah yang berat dan sangat berbahaya apabila tidak diterapkan maka akan menimbulkan kekacauan dan kehebohan dikalangan umat muslim. Selain itu asas ini melarang berlakunya hukum ke belakang, kepada perbuatan yang belum ada aturan atau nash-nya. Hukum pidana harus berjalan kedepan. Pelanggaran terhadap asas ini mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Contoh dari pelaksanaan asas ini adalah pelanggaran praktik yang berlaku di antara bangsa Arab Pra-Islam.
11 Ibid. h. 126 12 Ibid. h. 344 13 Ibid. h. 262 9
Sebagai contoh, di zaman pra-Islam, seorang anak diizinkan menikahi istri dari ayahnya. Islam melarang praktek ini, tetapi ayat Al-Quran secara khusus mengecualikan setiap perkawinan seperti itu yang dilakukan sebelum pernyataan dilarang, sebagaimana QS Surat al-Nisa ayat 22 #s3? $ x3 2$/# $9# ) $ % #= ... Artinya: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau...
E. Asas Praduga tak Bersalah Suatu konsekuen yang tidak bisa dihindarkan dari asas legalitas adalah asas praduga tak bersalah (principle of lawfulness/presumption of innocence). Menurut asas ini semua perbuatan dianggap boleh kecuali dinyatakan sebaliknya oleh suatu nash hukum 14 . Selanjutnya setiap orang dianggap tidak bersalah untuk suatu perbuatan jahat, kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa ada keraguan. Jika di suatu keraguan yang beralasan muncul, seorang tertuduh harus dibebaskan. Konsep tersebut telah dilembagakan dalam hukum Islam jauh mengenalnya sebelum hukum-hukum pidana positif. Berkaitan erat dengan asas praduga tak bersalah adalah batalnya hukuman karena adanya keraguan (doubt). Hadits nabi menyatakan secara jelas menyatakan: Hindarkan hudud dalam keadaan ragu lebih baik salah dalam membebaskan daripada salah menghukum. Menurut ketentuan ini, putusan untuk menjatuhkan hukuman harus dilakukan dengan keyakinan, tanpa adanya keraguan 15 . Dalam kejahatan kejahatan hudud, keraguan 16 membawa pembebasan terdakwa dan pembatalan hukuman hadd. Akan tetapi, ketika pembatalan
14 Sebaliknya dalam kaitan ibadah khusus, seperti shalat atau puasa, semua perbuatan dilarang, kecuali yang diperintahkan. 15 Subhat ialah ma yusbihu sabit wa laisa bisabit, berarti bertentangan antara unsur formil dan materiilnya atau segala hal yang tetap dianggap tidak tetap. Abdul Qodir Awdah, Al-Tasyri al-Jinai,. h. 254. 16 Mazhab Syfii mengklasifikasikan subhat dalam 3 kategori: (1) subhat yang berkaitan dengan obyek; (2) Subhat yang disebabkan oleh pelakunya; (3) Keraguan formal (muncul karena tidak sepakatnya para fuqaha untuk suatu masalah). Sementara mazhab Hanafimengklassifikasikan keraguan ini kedalam: (1) Keraguan yang melekat dalam perbuatan itu; (2) Keraguan yang melekat 10
hukuman had ini, hakim (jika diperlukan) masih memiliki otoritas untuk menjatuhkan hukuman ta'zir kepada terdakwa. 17
Para sarjana muslim sepakat pada prinsip diatas untuk kejahatan kejahatan hudud dan qisas, namun mereka berbeda pada penerapannya untuk kejahatan kejahatan ta'zir. Pandangan mayoritas adalah bahwa aplikasi prinsip ini tidak meliputi kejahatan kejahatan ta'zir. Akan tetapi, sebagian sarjana memegang pendapat jenis kejahatan yang terakhir mesti tidak dikecualikan, atas dasar bahwa, tidak ada sesuatupun dalam jiwa syari'at menghalagi keberlakuannya. 18 Menurut mereka, ketentuan ini dibuat dengan tujuan untuk menjamin keadilan dan melindungi kepentingan terdakwa, baik dakwaan itu untuk kejahatan had, qisas dan ta'zir. 19
F. Asas Material Asas material hukum pidana Islam menyatakan bahwa tindak pidana ialah segala yang dilarang oleh hukum, baik dalam bentuk tindakan yang dilarang maupun tidak melakukan tindakan yang diperintahkan, yang diancam hukum (had atau tazir). Berdasarkan atas asas material ini, sanksi hukum pidana Islam mengenal dua macam: hudud dan tazir. Hudud adalah sanksi hukum yang kadarnya telah ditetapkan secara jelas berdasarkan teks atau nash, baik al-Quran maupun hadits. Sementara tazir adalah sanksi hukum yang ketetapannya tidak ditentukan, atau tidak jelas ketentuannya, baik dalam al-Quran maupun hadits. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan asas material ini lahirlah kaidah hukum pidana yang berbunyi :
Artinya : Hindarkanlah pelaksanaan hudud jika ada kesamaran atau
syubhat.
pada tempatnya; dan (3) Keraguan yang melekat pada perjanjiannya. Lihat Abdul Qodir Awdah, Al-Tasyri al-Jinai al-Islami,I. h. 258-261. 17 Abdullah Ahmad an-Naim, Dekonstruksi Syariah, alih bahasa, Ahmad Syuedi, (Yogyakarta: LKIS,2001), h. 200. 18 M. Salim al-Awa, The Basis of Islamic Penal Legalism, dalam M. Cherif Bassioni, The Islamic criminal Justice System ( London: Oceana Publications, Inc. 1982), h. 143-147. 19 Ibid. 11
Asas material pun mengenal asas pemaafan dan asas taubat. Asas pemaafan dan taubat menyatakan bahwa orang yang melakukan tindak pidana, baik atas jiwa, anggota badan maupun harta, dapat dimaafkan oleh pihak yang dirugikan apabila yang bersangkutan bertobat. Bentuk tobat dapat mengambil bentuk pembayaran denda yang disebut diyat, kafarat, atau bentuk lain, yakni langsung bertaubat kepada Allah SWT. Oleh karena itu, lahirlah kaidah yang menyatakan bahwa: Orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak berdosa. G. Asas Moralitas Ada beberapa asas moral hukum pidana Islam : (1) Asas Adamul Udzri yang menyatakan bahwa seseorang tidak diterima pernyataannya bahwa ia tidak tahu hukum. (2) Asas Raful Qalam yang menyatakan bahwa sanksi atas suatu tindak pidana dapat dihapuskan karena alasan-alasan tertentu, yaitu karena pelakunya di bawah umur, orang yang tertidur dan orang gila. (3) Asas al-Khatha wa Nis-yan yang secara harfiah berarti kesalahan dan kelupaan. Asas ini menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dituntut pertanggungan jawab atas tindakan pidananya jika ia dalam melakukan tindakannya itu karena kesalahan atau karena kelupaan. Asas ini didasarkan atas surat al-Baqarah: 286. (4) Asas Suquth al-Uqubah yang secara harfiah berarti gugurnya hukuman. Asas ini menyatakan bahwa sanksi hukum dapat gugur karena dua hal: pertama, karena pelaku dalam melaksanakan tindakannya melaksanakan tugas; kedua, karena terpaksa. Pelaksanaan tugas dimaksud adalah seperti: petugas eksekusi qishash (algojo), dokter yang melakukan operasi atau pembedahan, dsb. Keadaan terpaksa yang dapat menghapuskan sanksi hukum seperti: membunuh orang dengan alasan membela diri, dsb. 12
DAFTAR PUSTAKA Al-Awa, M. Salim. 1982. The Basis of Islamic Penal Legalism, dalam M. Cherif Bassioni, The Islamic criminal Justice System. London: Oceana Publications An-Naim, Abdullah Ahmad. 2001. Dekonstruksi Syariah, alih bahasa. Ahmad Syuedi. Yogyakarta: LKIS Awdah, Abdul Qodir. Al-Tasyri al-Jinai al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wadhi, Juz I. Beirut: Dr al-Kitab al-Araby Djazuli, H. A. 1997. Fiqh Jinayah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Hanafi, Ahmad. 1967. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang Munajat, Makhrus. 2009. Fikih Jinayah (Hukum Pidana Islam). Jakarta: Pesantren Nawesea Press Santoso, Topo. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani Press Subekti dan Tjitrosudibyo. 1969. Kamus Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita Zahrah, Muhammad Abu. 1998. Al-Jarimah wa al-Uqubah fi Fiqh al-Islam. Al- Qahirah: Dr al-Fikr