You are on page 1of 13

ASAS LEGALITAS

Disusun guna memenuhi tugas


Dosen Pengampu :




KONSENTRASI HUKUM ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
LEGALITAS HUKUM PIDANA ISLAM
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas pada mata kuliah Qowaid al-Ahkam
Dosen Pengampu : Prof. DR. KH. Rahmat Syafei, M.Ag









Oleh
Encep Abdul Rojak
NIM.: 2.212.1.4.023

KONSENTRASI HUKUM ISLAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2013
HUKUM PIDANA ISLAM
Ahkam
M.Ag
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
1

ASAS LEGALITAS HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pendahuluan
Puji syukur atas Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga makalah yang berjudul Asas Legalitas Hukum Pidana Islam ini
dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada
Rasulullah SAW. yang telah menyampaikan risalah-Nya untuk umat manusia,
yang dijadikan pedoman dalam kehidupan ini, baik yang menyangkut ibadah
maupun muamalah, termasuk hukum pidana Islam.
Hukum pidana tidak lain membahas tentang hukum sebab akibat, yang
memiliki efek jera bagi para pelakunya. Hukum pidana ini termasuk kepada
hukum publik, karena dalam penyelesaiannya membutuhkan orang ketiga. Tidak
bisa diselesaikan perkara pidana ini tanpa bantuan Negara/pengadilan. Apabila
diselesaikan secara pribadi, termasuk kepada kategori main hakim sendiri.
Umat Islam dunia selaiaknya menggunakan hukum yang bersumber dari
al-Quran dan al-Hadis, karena keduanya merupakan pedoman hidup, dan semua
aspek hukum sudah terkandung di dalamnya. Seperti hukuman tentang hudud,
qishash, dan tazir. Semua hukuman ini sudah tercantum di dalam al-Quran dan
al-Hadis, hanya saja dari ketiga sisi tersebut ada perbedaan teknis dalam
penerapannya. Misalkan kalau hudud balasan perbuatan sudah ditetapkan oleh
Allah SWT., sedangkan tazir dikembalikan kepada Negara/pihak yang
berwenang. Hal ini memberikan ruang kepada manusia untuk berfikir dan melihat
lebih jauh akan pentingnya hukuman itu sendiri.
Sanksi bisa diaplikasikan kepada para pelaku kejahatan apabila terpenuhi
syaratnya, yaitu legalitas. Asas legalitas bermaksud membatasi berlakunya hukum
itu sendiri. Ketika pelanggaran sudah terjadi, tetapi hukumnya belum ditetapkan,
maka orang tersebut tidak dapat dikenai sanksi atau pidana karena tidak termasuk
kepada pelanggaran hukum. Begitu juga dalam hukum Islam, berlaku asas
legalitas dalam penerapan hukumnya. Oleh karenanya, dalam makalah ini akan
dibahas tentang asas legalitas dalam hukum pidana Islam.

2

PEMBAHASAN
A. Pengertian Asas Legalitas
Kata asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar atau prinsip,
sedangkan kata legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex (kata benda) yang
berarti undang-undang, atau dari kata jadian legalis yang berarti sah atau sesuai
dengan ketentuan undang-undang. Dengan demikian legalitas adalah "keabsahan
sesuatu menurut undang undang".
1
Dalam kaitannya dengan hukum pidana Islam,
asas legalitas berarti keabsahan mengaplikasikan hukuman atas melampaui batas
(hudud) yang dapat merugikan orang lain, yang bersumber dari al-Quran dan al-
Hadis.
Dengan demukian arti legalitas adalah keabsahan sesuatu menurut
undang-undang. Secara historis asas legalitas pertama kali digagas oleh Anselm
van Voirbacht dan penerapannya di Indonesia dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (1)
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi suatu perbuatan
tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan
pidana.
Adapun istilah legalitas dalam syari'at Islam tidak ditentukan secara jelas
sebagaimana yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum positif. Kendati
demikian, bukan berarti syari'at Islam tidak mengenal asas legalitas. Bagi pihak
yang menyatakan hukum pidana Islam tidak mengenal asas legalitas, hanyalah
mereka yang tidak meneliti secara detail berbagai ayat yang secara substansional
menunjukkan adanya asas legalitas.
2

Asas legalitas biasanya tercermin dari ungkapan dalam bahasa latin:
Nullum Deliktum Nulla Poena Sine Pravia Lege Poenali (tiada delik tiada
hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu). Asas ini merupakan suatu
jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang
dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi dari penyalahgunaan
kekuasaan atau kesewenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu

1
Subekti dan Tjitrosudibyo, Kamus Hukum, (Jakarta: pradnya Paramita, 1969), h, 63
2
Abdul Qodir Awdah, Al-Tasyri al-Jinai al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wadhi,
Juz I, (Beirut: Dr al-Kitab al-Araby,t.t.), h. 118
3

dengan informasi yang boleh dan yang dilarang. Setiap orang harus diberi
peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan illegal dan hukumanya. Jadi,
berdasarkan asas ini, tiada suatu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh
hakim jika belum dinyatakan sejara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama
perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat menjatuhkan pidana hanya terhadap
orang yang melakukan perbuatan setelah dinyatakan sebelumnya sebagai tindak
pidana. Begitu pun dengan hukum Islam, berlaku asas legalitas ini, berdasarkan
hukum yang sudah tercantum dalam al-Quran dan al-Hadis.
B. Landasan Kaidah Asas Legalitas Dalam Pidana Islam
Asas legalitas dalam hukum Islam bukan berdasarkan pada akal manusia,
tetapi dari ketentuan Allah SWT.. Sedangkan asas legalitas secara jelas dianut
dalam hukum Islam, terbukti adanya beberapa ayat yang menunjukkan asas
legalitas tersebut. Allah SWT. tidak akan menjatuhkan hukuman pada manusia
dan tidak akan meminta pertanggungjawaban manusia sebelum adanya penjelasan
dan pemberitahuan dari Rasul-Nya.
3
Demikian juga kewajiban yang harus
diemban oleh umat manusia adalah kewajiban yang sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki, yaitu taklifi yang sanggup di kerjakan. Dasar hukum asas legalitas
dalam Islam antara lain:
Al-Qur'an surat Al-Isra: 15
... $ $. /` Lm ]6
Artinya: ... dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus
seorang Rasul.

Al-Qur'an surat Al-Qashash: 59
$ %. 7/ 7=` )9# Lm ]7 $& #=G = $F# ...
Artinya: Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia
mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami
kepada mereka; ...

Ayat al-Quran yang lainnya yang berbicara tentang asas legalitas yaitu QS
al-Nisa: 16, QS al-Anam:19, QS al-Baqarah:286, dan QS al-Anfal:38.

3
Ibid. h. 117
4

Semua ayat al-Quran ini berbicara tentang asas legalitas. Kekuatan lafadz-
lafadz ini termasuk lafadz yang qathi, yang berarti wajib untuk diamalkan.
Yang mengandung arti bahwa tidak ada pidana sebelum ada bayan yang
disampaikan Allah SWT. melalui Rasul-Nya.
4
Selain itu, manusia juga
ditanggungi sesuai dengan kekuatannya, yang berarti disini berlaku hukum
rukhsah bagi mereka yang berada di bawah kemampuannya.
C. Kaidah-Kaidah Asas Legalitas
Dalam nyatanya, menurut penulis terdapat beberapa asas legalitas dalam
penerapan hukum pidana Islam, yaitu sebagai berikut:

5

Artinya: Perbuatan orang yang sudah baligh tidak dapat dijerat hukum
sebelum disebutkannya nash.

Kaidah ini menjelaskan bahwa perbuatan manusia yang sudah ditaklif, tidak
mungkin digolongkan kepada perbuatan melanggar hukum atau haram sebelum
ada nash yang membatasinya/mengharamkannya.

Artinya: asal dari segala sesuatu dan perbuatan adalah mubah
Dalam pembahasan hukum pidana Islam ini, asal dari segala sesuatu dan
perbuatan itu adalah murni mubah atau boleh untuk dilakukan, sebelum adanya
illat atau aturan yang melarangnya.
Kedua kaidah ini menunjukkan tentang asas legalitas bahwa sebelum adanya
aturan (dalam Islam adalah nash yang mengatur, karena sumber hukum berasal
dari Allah SWT. langsung, bukan hasil pemikiran manusia) yang mengaturnya,
maka tidak ada tanggungan yang berlaku di sana, karena nash belum mengatur.
Apabila nash sudah mengaturnya, maka terjadi pertanggungan bagi orang yang
mengerjakannya.
,

6


4
Ibid. h. 118
5
Ibid. h. 115
5

Kaidah ini menjelaskan akan syarat dari orang yang bisa terkena tanggungan
hukum, yaitu apabila orang itu mampu memahami dalil mukallaf yang menjadi
ahlinya, yang berarti memahami nash yang menjadi aturan dalam hidup ini dan
menjadi hukum Islam yang berlaku. Karena orang yang tidak bisa memahami
dalil nash yang menjadi landasan hukum, maka kemungkinan besar orang tersebut
tidak akan dapat mentaati aturan yang sudah dibentuk. Dan syara tidak
membebani kecuali atas dasar kemampuannya untuk mentaatinya. Dengan adanya
asas ini, seseorang bisa diperhatikan apakah dia termasuk orang yang dapat
dihukum atau tidak.
D. Penerapan Asas Legalitas
Kaidah umum sebelumnya sudah menjelaskan bahwa Tidak ada pidana
tanpa ada Nash. Prinsip legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejahatan-
kejahatan hudud. Pelanggarannya dihukum dengan sanksi hukum yang pasti.
Prinsip tersebut juga diterapkan bagi kejahatan qishash dan diyat dengan
diletakanya prosedur khusus dan sanksi yang sesuai. Jadi, tidak diragukan bahwa
prinsip ini berlaku sepenuhnya bagi kedua katagori diatas.
Menurut Nagaty Sanad, professor hukum pidana dari mesir, asas legalitas
dalam Islam yang berlaku bagi kejahatan tazir adalah yang paling fleksibel,
dibandingkan dengan kedua katagori sebelumnya. Untuk menerapkan asas
legalitas ini, dalam hukum pidana Islam terdapat keseimbangan. Hukum Islam
menjalankan asas legalitas, tetapi juga melindungi kepentingan masyarakat. Ia
menyeimbangkan hak-hak individu, keluarga, dan masyarakat melalui
katagorisasi kejahatan dan sanksinya.
Kemudian jika berpegang pada asas legalitas seperti yang dikemukakan pada
pembahasan di atas, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikenai tuntutan atau
pertanggung jawaban pidana. Dengan demikian nas-nas dalam syari'at Islam
belum berlaku sebelum di undangkan dan diketahui oleh orang banyak. Ketentuan
ini memberi pengertian hukum pidana Islam baru berlaku setelah adanya nas yang
mengundangkan.

6
Ibid. h. 116
6

Dalam penerapannya, kaidah ini melahirkan furu yaitu:
7

1. -=' -= - `- -,-=` -,= `
Pidana berlaku untuk pidana hudud, yang mana dalam bahasannya
terdapat 7 bagian hudud, yaitu:
- '-' -' - _-' -
- --' -=' -
- -' ' -
Dalam setiap tindak pidana ini, semua sudah tercantum dalam hukuman
hudud dalam al-Quran. Seperti zina, tercantum dalam QS al-Nur: 2
#9# #9# #$#_$ . n $] $$ $#_ ...
Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera...

Nash ini berbicara tentang had seseorang yang melakukan pidana zina,
dengan hukuman didera sebanyak 100 kali. Begitu pula dengan hukuman
yang sudah tercantum dalam al-Quran, seperti Qadzaf terdapat dalam QS
al-Nur:4, Syarib al-Khamr; QS Al-Maidah:9, al-Saraqah; QS al-
Maidah:38, Jarimah al-Harabah; QS al-Maidah:33, jarimah al-Riddah;
QS Ali Imran:85 dan QS al-Baqarah:217, jarimah al-Bagy; QS al-
Hujurat:09. Kesemuanya ini merupakan jarimah yang dalam aplikasinya
harus ada nash sebagai dasar legalitasnya. Dalam al-Quran sudah sangat
jelas sekali penjelasan tentang jarimah ini semua, sehingga tidak tidak
perlu mencari landasan lain dalam menghukumi pelanggarnya.
8

2. ,-' '--' -= - `- -,-=` -,= `
Tindak pidana yang dikenai dengan qishash dan diyat, merupkan
tingkatan kedua dari hudud. Hukuman yang termasuk kepada qishash
adalah membunuh dengan sengaja (--' .--'), menghilangkan bagian

7
Ibid. h. 118
8
Ibid. h. 121
7

tubuh dengan sengaja (--= ` `-), dan menyakiti dengan sengaja
(--= =').
9

Adapun tindakan pidana yang dikenai hukuman diyat pada dasarnya
tindak pidana qishash tetapi mendapatkan maaf dari korban atau keluarga
korban dengan alasan yang syari, sehingga berlaku hukuman diyat. Yang
termasuk kepada orang yang bisa memaafkan adalah keluarga, tetapi wali
tidak bisa memberikan maaf karena tidak berhak.
10
Macam-macamnya
yaitu: pembunuhan yang menyerupai sengaja, pembunuhan yang tidak
disengaja, menghilangkan bagian tubuh tidak sengaja, dan menyakiti
tanpa disengaja. Kesemuanya ini berlaku hukum diyat atau denda.
Sebagai contoh QS al-Baqarah:178
$' %!# #`# =G. `3= `$)9# =F)9# t:# t:$/ 69#
79$/ \{# \{$/ ` `&! z& "` $6?$ `9$/
'#& 9) m*/ 79 #)B 3/ m G# /
79 `&# ># '9&
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan
orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka
Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya,
hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi
ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang
melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.

3. ,'-' -= - `- -,-=` -,= `
Tindakan jarimah sangat berlaku untuk tindakan jarimah hudud dan diyat
atau qishash. Begitu pun berlaku juga untuk tindak tazir. Hal ini
mengalami perluasan makna, karena dalam mencari kemaslahatan umum

9
Ibid. h. 121
10
Ibid. h. 125
8

harus diperhatikan juga pada tindakan yang ringan dan jarang terjadi,
tergantung seberapa besar tindak pidana itu.
Dalam masalah tindak pidana tazir memiliki kajian yang sangat luas,
karena pidana ini tidak memiliki hukuman yang tetap dan tertentu bagi
setiap tindakan pidananya. Hukuman tazir dikembalikan kepada hakim
untuk menentukannya, hukuman apa yang seimbang dan laik untuk
pelanggar tersebut.
11
Dalam hal kaidah khusus yang berkaitan dengan
pidana tazir, para ulama mencegah adanya kaidah yang khusus tentang
jarimah tazir ini. Karena tazir pada dasarnya perbuatan yang tergolong
kepada maksiat, dan tidak ada didalamnya batasan yang terukur
(hudud).
12

4. Hukum pidana Islam tidak mengenal sistem berlaku surut yang dalam
perkembangannya melahirkan kaidah.
13
:
,=` -'-=' _,--'
Tidak berlaku surut pada pidana Islam
Artinya sebelum adanya nash yang melarang perbuatan maka tindakan
mukallaf tidak bisa dianggap sebagai suatu jarimah. Namun dalam
praktiknya ada beberapa jarimah yang diterapkan berlaku surut artinya
perbuatan itu dianggap jarimah walaupun belum ada nash yang
melarangnya. Alasan diterapakan pengecualiaan berlaku surut, karena
pada jarimah-jarimah yang berat dan sangat berbahaya apabila tidak
diterapkan maka akan menimbulkan kekacauan dan kehebohan dikalangan
umat muslim.
Selain itu asas ini melarang berlakunya hukum ke belakang, kepada
perbuatan yang belum ada aturan atau nash-nya. Hukum pidana harus
berjalan kedepan. Pelanggaran terhadap asas ini mengakibatkan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Contoh dari pelaksanaan asas ini
adalah pelanggaran praktik yang berlaku di antara bangsa Arab Pra-Islam.

11
Ibid. h. 126
12
Ibid. h. 344
13
Ibid. h. 262
9

Sebagai contoh, di zaman pra-Islam, seorang anak diizinkan menikahi istri
dari ayahnya. Islam melarang praktek ini, tetapi ayat Al-Quran secara
khusus mengecualikan setiap perkawinan seperti itu yang dilakukan
sebelum pernyataan dilarang, sebagaimana QS Surat al-Nisa ayat 22
#s3? $ x3 2$/# $9# ) $ % #= ...
Artinya: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini
ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau...

E. Asas Praduga tak Bersalah
Suatu konsekuen yang tidak bisa dihindarkan dari asas legalitas adalah
asas praduga tak bersalah (principle of lawfulness/presumption of innocence).
Menurut asas ini semua perbuatan dianggap boleh kecuali dinyatakan sebaliknya
oleh suatu nash hukum
14
. Selanjutnya setiap orang dianggap tidak bersalah untuk
suatu perbuatan jahat, kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa
ada keraguan. Jika di suatu keraguan yang beralasan muncul, seorang tertuduh
harus dibebaskan. Konsep tersebut telah dilembagakan dalam hukum Islam jauh
mengenalnya sebelum hukum-hukum pidana positif.
Berkaitan erat dengan asas praduga tak bersalah adalah batalnya hukuman
karena adanya keraguan (doubt). Hadits nabi menyatakan secara jelas
menyatakan: Hindarkan hudud dalam keadaan ragu lebih baik salah dalam
membebaskan daripada salah menghukum. Menurut ketentuan ini, putusan
untuk menjatuhkan hukuman harus dilakukan dengan keyakinan, tanpa adanya
keraguan
15
.
Dalam kejahatan kejahatan hudud, keraguan
16
membawa pembebasan
terdakwa dan pembatalan hukuman hadd. Akan tetapi, ketika pembatalan

14
Sebaliknya dalam kaitan ibadah khusus, seperti shalat atau puasa, semua perbuatan
dilarang, kecuali yang diperintahkan.
15
Subhat ialah ma yusbihu sabit wa laisa bisabit, berarti bertentangan antara unsur formil
dan materiilnya atau segala hal yang tetap dianggap tidak tetap. Abdul Qodir Awdah, Al-Tasyri
al-Jinai,. h. 254.
16
Mazhab Syfii mengklasifikasikan subhat dalam 3 kategori: (1) subhat yang berkaitan
dengan obyek; (2) Subhat yang disebabkan oleh pelakunya; (3) Keraguan formal (muncul karena
tidak sepakatnya para fuqaha untuk suatu masalah). Sementara mazhab Hanafimengklassifikasikan
keraguan ini kedalam: (1) Keraguan yang melekat dalam perbuatan itu; (2) Keraguan yang melekat
10

hukuman had ini, hakim (jika diperlukan) masih memiliki otoritas untuk
menjatuhkan hukuman ta'zir kepada terdakwa.
17

Para sarjana muslim sepakat pada prinsip diatas untuk kejahatan kejahatan
hudud dan qisas, namun mereka berbeda pada penerapannya untuk kejahatan
kejahatan ta'zir. Pandangan mayoritas adalah bahwa aplikasi prinsip ini tidak
meliputi kejahatan kejahatan ta'zir. Akan tetapi, sebagian sarjana memegang
pendapat jenis kejahatan yang terakhir mesti tidak dikecualikan, atas dasar bahwa,
tidak ada sesuatupun dalam jiwa syari'at menghalagi keberlakuannya.
18
Menurut
mereka, ketentuan ini dibuat dengan tujuan untuk menjamin keadilan dan
melindungi kepentingan terdakwa, baik dakwaan itu untuk kejahatan had, qisas
dan ta'zir.
19

F. Asas Material
Asas material hukum pidana Islam menyatakan bahwa tindak pidana ialah
segala yang dilarang oleh hukum, baik dalam bentuk tindakan yang dilarang
maupun tidak melakukan tindakan yang diperintahkan, yang diancam hukum (had
atau tazir).
Berdasarkan atas asas material ini, sanksi hukum pidana Islam mengenal
dua macam: hudud dan tazir. Hudud adalah sanksi hukum yang kadarnya telah
ditetapkan secara jelas berdasarkan teks atau nash, baik al-Quran maupun hadits.
Sementara tazir adalah sanksi hukum yang ketetapannya tidak ditentukan, atau
tidak jelas ketentuannya, baik dalam al-Quran maupun hadits. Oleh karena itu,
dalam pelaksanaan asas material ini lahirlah kaidah hukum pidana yang berbunyi :

Artinya : Hindarkanlah pelaksanaan hudud jika ada kesamaran atau


syubhat.

pada tempatnya; dan (3) Keraguan yang melekat pada perjanjiannya. Lihat Abdul Qodir Awdah,
Al-Tasyri al-Jinai al-Islami,I. h. 258-261.
17
Abdullah Ahmad an-Naim, Dekonstruksi Syariah, alih bahasa, Ahmad Syuedi,
(Yogyakarta: LKIS,2001), h. 200.
18
M. Salim al-Awa, The Basis of Islamic Penal Legalism, dalam M. Cherif Bassioni,
The Islamic criminal Justice System ( London: Oceana Publications, Inc. 1982), h. 143-147.
19
Ibid.
11

Asas material pun mengenal asas pemaafan dan asas taubat. Asas
pemaafan dan taubat menyatakan bahwa orang yang melakukan tindak pidana,
baik atas jiwa, anggota badan maupun harta, dapat dimaafkan oleh pihak yang
dirugikan apabila yang bersangkutan bertobat. Bentuk tobat dapat mengambil
bentuk pembayaran denda yang disebut diyat, kafarat, atau bentuk lain, yakni
langsung bertaubat kepada Allah SWT. Oleh karena itu, lahirlah kaidah yang
menyatakan bahwa: Orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak
berdosa.
G. Asas Moralitas
Ada beberapa asas moral hukum pidana Islam :
(1) Asas Adamul Udzri yang menyatakan bahwa seseorang tidak diterima
pernyataannya bahwa ia tidak tahu hukum.
(2) Asas Raful Qalam yang menyatakan bahwa sanksi atas suatu tindak
pidana dapat dihapuskan karena alasan-alasan tertentu, yaitu karena
pelakunya di bawah umur, orang yang tertidur dan orang gila.
(3) Asas al-Khatha wa Nis-yan yang secara harfiah berarti kesalahan dan
kelupaan. Asas ini menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dituntut
pertanggungan jawab atas tindakan pidananya jika ia dalam melakukan
tindakannya itu karena kesalahan atau karena kelupaan. Asas ini
didasarkan atas surat al-Baqarah: 286.
(4) Asas Suquth al-Uqubah yang secara harfiah berarti gugurnya hukuman.
Asas ini menyatakan bahwa sanksi hukum dapat gugur karena dua hal:
pertama, karena pelaku dalam melaksanakan tindakannya melaksanakan
tugas; kedua, karena terpaksa. Pelaksanaan tugas dimaksud adalah
seperti: petugas eksekusi qishash (algojo), dokter yang melakukan
operasi atau pembedahan, dsb. Keadaan terpaksa yang dapat
menghapuskan sanksi hukum seperti: membunuh orang dengan alasan
membela diri, dsb.
12

DAFTAR PUSTAKA
Al-Awa, M. Salim. 1982. The Basis of Islamic Penal Legalism, dalam M. Cherif
Bassioni, The Islamic criminal Justice System. London: Oceana Publications
An-Naim, Abdullah Ahmad. 2001. Dekonstruksi Syariah, alih bahasa. Ahmad Syuedi.
Yogyakarta: LKIS
Awdah, Abdul Qodir. Al-Tasyri al-Jinai al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wadhi,
Juz I. Beirut: Dr al-Kitab al-Araby
Djazuli, H. A. 1997. Fiqh Jinayah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Hanafi, Ahmad. 1967. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Munajat, Makhrus. 2009. Fikih Jinayah (Hukum Pidana Islam). Jakarta: Pesantren
Nawesea Press
Santoso, Topo. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani
Press
Subekti dan Tjitrosudibyo. 1969. Kamus Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita
Zahrah, Muhammad Abu. 1998. Al-Jarimah wa al-Uqubah fi Fiqh al-Islam. Al-
Qahirah: Dr al-Fikr

You might also like