You are on page 1of 16

TERATOLOGI

22.29 Husna A Aziz No comments Pendahuluan Teratologi merupakan salah satu dari cabang embriologi yang khusus mengenai pertumbuhan struktur abnormal yang luar biasa. Teratologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang atau sebab-sebab terjadinya kelainan bentuk (malformasi) pada mudigah yang sedang berkembang. Terotologi atau teratologia berasal dari kata Yunani. Teratos = monster = bayi yang lahir cacat hebat dan logos = ilmu, biasanya pada bayi yang lahir abnormal disebut bayi monster (baby monster). Kelainan bentuk dapat berupa kelainan struktur, perilaku, faal dari metabolik yang terdapat pada waktu lahir dan biasa di istilahkan dengan malformasi kongenital, anomali kongenital atau cacat lahir. Secara alam keadaan cacat sulit untuk dipastikan apa penyebabnya yang khusus, mungkin sekali diakibatkan oleh gabungan atau kerjasama berbagai faktor dari genetik dan lingkungan. Penyebab teratogenesis disebut faktor-faktor teratogen dan kejadian cacat ini dapat dilakukan secara eksperimental yang disebut dengan eksperimental teratogen. Kelainan bentuk / malformasi yang sering juga ditemukan seperti sireno melus (anggota seperti ikan duyung, anggota belakang tidak ada, anggota depan pendek), phocomelia (anggota seperti anjing laut, tangan dan kaki seperti sirip untuk mendayung), polydactyly (berjari banyak), syndactyly (jari buntung, tidak berjari kaki dan tangan), ada ekor, dwarfisme (kerdil), crehorisme (cebol) dan gigantisme (raksasa). Era baru dalam teratologi dimulai setelah penggunaan talidomid, suatu obat hipnotik-sedatif, dalam klinik. Menurut Adam et al (2000), obat ini diperkenalkan pertama kali pada akhir tahun 1950-an di Jerman, dan terbukti relatif tidak toksik pada hewan coba dan manusia. Jadi, meskipun dosis terapi 100 mg, dosis sebesar 14.000 mg yang dimakan untuk bunuh diri tidak akan mengakibatkan kematian. Obat ini digunakan, antara lain, untuk meringankan mual-mual pada wanita hamil muda. Dalam tahun 1960, dilaporkan beberapa kasus fekomelia. Pada tahun berikutnya, kasus ini semakin banyak ditemukan. Fekomelia adalah suatu jenis cacat bawaan yang sangat langka berupa pendeknya atau tiadanya anggota badan. Penelusuran penyebab fekomelia pada kasus-kasus itu segera sampai pada penggunaan talidomid oleh ibu-ibu hamil, terutama antara minggu ketiga dan minggu ke delapan kehamilan. Segera obat ini dilarang beredar. Meskipun demikian, sekitar 1.000 bayi cacat telah lahir di beberapa negara. Karena parahnya cacat bawaan itu, dirancanglah prostese khusus dan diadakan program rehabilitasi khusus. Namun, efek tragis yang dramatis pada individu yang cacat dan trauma pada keluarga serta masyarakat yang demikian besar menyebabkan diambilnya semua tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya teratogenesis akibat ulah manusia itu. Salah satu tindakan ini adalah melakukan berbagai jenis uji pada sejumlah besar obat, zat tambahan makanan, pestisida, zat kimia dan bahan pencemar lingkungan seperti logam berat misalnya serta alkohol (Adam et al, 2002), dan rokok (Adam et al, 2003) untuk menentukan potensi teratogenisitasnya. Kejadian kelainan bentuk karena beberapa hal diantaranya : 1. Gangguan pertumbuhan ditengah jalan 2. Terhentinya pertumbuhan di tengah jalan 3. Kelebihan pertumbuhan 4. Salah arah diferensiasi

Gangguan pertumbuhan mengakibatkan mudigah yang tidak mempunyai ginjal, tidak punya anggota, tidak ada pigmen (albino). Pertumbuhan terhenti di tengah jalan mengakibatkan : cacat sumbing, ada celah pada langit-langit (palattum durum), uterus duplex, dwarfisme, hernia. Kelebihan pertumbuhan mengakibatkan : gigantisme, polydactyly, dan kembar. Differensiasi salah arah mengakibatkan : tumor, achondroplasia, mongolisme teratoma dan lain-lain. Makin tinggi kadar teratogen semakin parah tingkat teratogenitasnya. Bahan yang dapat menimbulkan teratogenesis secara eksperimental ialah cortison, insulin, progesteron, thalidomide, azathiopurine, salicylate. Cacat lahir yang tidak diketahui penyebabnya sekitar 40 60%. Cacat lahir yang disebabkan oleh genetik seperti kelainan kromosom dan gen-gen mutan sekitar 15 %. Cacat lahir yang disebabkan oleh faktor lingkungan sekitar 10%. Cacat lahir yang disebabkan oleh pengaruh gabungan faktor genetik dan lingkungan (keturunan multifaktorial) sekitar 20-25%. Pada manusia, angka kematian yang ditimbulkan diakibatkan adanya cacat lahir hampir terjadi di seluruh dunia, baik untuk orang Asia, Amerika, Afrika, Amerika Latin, Kaukasus dan penduduk asli Amerika (Sadler,1997). Cacat lahir merupakan angka tertinggi dalam menduduki tingkat kematian bayi di Amerika Serikat (tahun 1988). Beberapa jenis anomali, yaitu: 1. Malformasi Malformasi adalah kelainan yang terjadi selama pembentukan struktur yaitu pada saat organogenesis. Cacat-cacat ini bisa menyebabkan hilangnya sama sekali atau sebagian dari sebuah struktur atau perubahan-perubahan konfigurasi normal. Kejadian ini disebabkan oleh faktor genetik dan/atau lingkungan yang bekerja sendiri-sendiri atau bekerja sama. 2. Distrupsi Distrupsi adalah perubahan morfologi yang terjadi setelah pembentukan struktur organ. Disebabkan oleh proses pembentukan pembuluh darah yang menyebabkan atresia usus, cacatcacat yang ditimbulkan oleh pita amnion. 3. Deformasi Deformasi adalah kelainan bentuk yang disebabkan oleh gaya-gaya mekanik yang mencetak sebagian mudigah dalam jangka waktu yang lama. Deformasi sering mengenai sistem kerangka otot dan biasanya bisa pulih setelah lahir. 4. Sindrom Sindrom adalah sekelompok cacat yang terjadi secara bersamaan, mempunyai etiologi yang spesifik dan sama. Misalnya : heart defects (cacat jantung), anomali genital dan telinga, retarded growth (keterlambatan pertumbuhan, atresia choanal (atresia coona), anomali, vertebrat, anus, cardiac trakeoesofagus, renal, limb dan coloboma. Kejadian Baby Monster yang telah dilakukan penelitian oleh Goldstein dan Murphy terhadap 106 wanita hamil yang sedang menjalani pengobatan radiasi, dari bayi yang dilahirkan 38 mengalami cacat, 16 tidak cacat, sisanya idiot dengan kepala kecil-kecil. Penyebab terjadinya baby monster adalah : 1. Pembuahan sperma dan ovum yang abnormal 2. Kegagalan perjalanan sel telur dari ovarium ke rahim 3. Kegagalan fungsi hormon, terutama hormon yang mempengaruhi korpus luteum. 4. Kelainan bentuk fisik dari kandungan, seperti kesalahan posisi, perubahan bentuk akibat kandungan. 5. Infeksi kandungan 6. Infeksi pada janin

7. Toksisitas 8. Defisiensi zat gizi 9. Kelainan genetik 10. Kelainan non genetik Hasil penelitian oleh Gregg (1941), bahwa ibu yang hamil pada tri mester pertama menderita rubella maka bayi yang dilahirkan akan menyebabkan kelainan pada mata (congenital catarac), otak yang kecil (micropthalmus) bisu tuli (deaf mutism); kelainan jantung (cardiac defect), kepala kecil (micro cephaly) dan kelainan gigi (dental defect). Faktor-faktor yang menentukan kemampuan suatu agen untuk menimbulkan cacat lahir telah diketahui dengan pasti melalui penelitian dan pengamatan laboratorium yang disimpulkan dalam prinsip-prinsip teratologi. Prinsip-prinsip teratologi menurut Wilson (1959), adalah ; 1. Kerentanan terhadap teratogenesis tergantung pada genotip konseptus dan cara ibu yang penting dalam hal metabolisme obat, ketahan terhadap infeksi, dan proses-proses biokimiawi serta molekuler lainnya yang akan mempengaruhi perkembangan konseptus. 2. Kerentahan terhadap terogen berbeda-beda menurut stadium perkembangan saat paparan, masa yang paling sensitif untuk timbulkan cacat lahir adalah masa embriogenesis. Meskipun kebanyakan kelainan/cacat terjadi selama masa embriogenesis, cacat bisa juga terjadi sebelum atau sesudah masa ini, sehingga tidak ada satu masa yang benar-benar aman. 3. Manifestasi perkembangan abnormal tergantung pada dosis dan lamanya paparan terhadap suatu teratogen. 4. Teratogen bekerja dengan cara (mekanisme) yang spesifik pada sel-sel atau jaringanjaringan yang sedang berkembang untuk memulai proses embriogenesis yang abnormal. 5. Manifestasi perkembangan abnormal adalah kematian, malformasi, keterlambatan pertumbuhan dan gangguan fungsi. Secara experimental dapat di buat cacat / defect dengan mempergunakan salah satu teratogen (penyebab teratogenesis) dan mengontrol faktor yang lainnya. Teratogen bekerja lewat proses : 1. Mengubah kecepatan proliferasi sel. 2. Menghalangi sintesa enzim. 3. Mengubah permukaan sel sehingga terjadi agregasi secara tidak teratur. 4. Mengubah matrix yang mengganggu perpindahan sel-sel 5. Merusak organizer atau daya kompetisi yang berespon Mekanisme Kerja Teratogen Kerentanan terhadap teratogen berbeda-beda menurut stadium perkembangan saat paparan. Masa yang paling sensitif untuk menimbulkan cacat lahir pada manusia adalah masa kehamilan minggu ketiga hingga kedelapan. Masing-masing sistem organ mempunyai satu atau beberapa stadium kerentanan. Manifestasi perkembangan abnormal tergantung pada dosis dan lamanya paparan terhadap suatu teratogen. Teratogen bekerja dengan cara spesifik pada sel-sel dan jaringan ringan yang sedang berkembang untuk memulai patogenesis yang abnormal. Manifestasi perkembangan abnormal adalah kematian, malformasi, keterlambatan perkembangan, dan gangguan fungsi (Anonimus, 200311). Aksi suatu zat yang berakibat pada kecacatan selama kebuntingan berhubungan erat dengan perkembangan fetus. Perkembangan fetus dibagi menjadi blastogenesis, organogenesis, histogenesis dan pematangan fungsional ( Rang et al., 1999). Pada fase blastogenesis merupakan

proses utama dalam pembelahan sel sehingga zat teratogen dapat mengakibatkan kematian embrio dengan menghambat proses pembelahan sel. Pada organogenesis, terjadi proses pembentukan organ sehingga zat teratogen akan menyebabkan malformasi organ, jenis malformasi tergantung dari jenis teratogen. Histogenesis dan pematangan fungsional tergantung pada suplai nutrisi dan diatur berbagai sistem hormon (Kalant and Roschlau, 1989). Banyak zat-zat kimia terbukti bersifat teratogen pada hewan coba tetapi tidak pada manusia yang mungkin disebabkan manusia kurang rentan dan tingkat pajanan yang tinggi pada manusia. Efek teratogenik suatu zat kimia dapat muncul berupa tingkat kebuntingan yang rendah, jumlah anak per induk yang berkurang dan ketahanan hidup janin yang rendah (Frank, 1995). Perkembangan tidak normal dapat disebabkan oleh faktor genetik seperti mutasi dan aberasi serta faktor lingkungan baik yang berasal dari obat, radiasi, infeksi, defisiensi dan emosi. Banyak zat kimia mempengaruhi replikasi dan transkripsi asam nukleat atau translasi RNA. Teratogen tertentu dapat mempengaruhi pasokan energi yang digunakan untuk metabolisme dengan cara langsung mengurangi persediaan substrat dan analog seperti glukosa, asam amino dan vitamin. Kondisi hipoksia juga bersifat teratogen dengan mengurangi oksigen dalam proses metabolisme yang membutuhkan oksigen yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan osmolaritas. Ketidakseimbangan ini meyebabkan odema yang pada gilirannya dapat menyebabkan kelainan bentuk dan iskemia jaringan (Yatim, 1982; Poernomo, 1999). Kelainan teratogenik yang timbul ditentukan oleh tempat kerja (site of action) dan tahap kerja (stage of action) dari perkembangan organ yang dipengaruhi. Terdapat empat tingkatan aksi zat teratogen yaitu aksi primer yang terjadi pada kompartemen intraseluler (intracellular compartement) pada rangkaian interaksi antara inti dan sitoplasma pada produksi metabolit yang khas dari sel tersebut. Kedua, aksi primer terjadi karena kelainan dalam struktur dan fungsi dari permukaan sel (cell surface). Ketiga, terjadi karena ketidaknormalan pada matriks ekstraseluler (celluler matrix). Keempat, pada lingkungan janin (fetus environment) ketidaknormalan pada tingkat organisme atau dalam hubungan feto-maternal. Tahap kerja (Stage of Action) pada perkembangan organ tubuh, tahap ini merupakan tahap perkembangan organ selama embriogenesis berupa rangkaian tingkat yang berbeda-beda yang dikontrol dengan tepat. Pada tahap ini akan terbentuk susunan jaringan yang teratur dengan bentuk dan ukuran yang spesifik serta stadium pertumbuhan ini sangat peka terhadap faktor genetik maupun faktor lingkungan. Perubahan pada tiap tahap pertumbuhan mempunyai kepekaan terhadap teratogen yang berbeda. Perkembangan suatu organ meliputi kejadiankejadian yang dapat dibedakan menjadi : determinasi, proliferasi, organisasi seluler, migrasi dan kematian morfologik sel (Yatim, 1982). Faktor-faktor teratogen, Sampai saat ini faktor yang menyebabkan teratogenik adalah : A. Faktor Genetik Banyak cacat kongenital terutama pada manusia yang di turunkan, dan beberapa diantaranya jelas mengikuti pola Hukum Mendel. Pada banyak kasus, kelainan dapat langsung disebabkan oleh perubahan pada satu buah gen saja. Karena itu dinamakan mutasi gen tunggal yang dimaksud mutasi yaitu perubahan pada susunan mukletida gen. Beberapa kelainan yan disebabkan oleh faktor genetik yaitu : 1. Mutasi Mutasi menimbulkan alel cacat yang mungkin dominan atau resefif. Pada manusia jenis cacat yang disebabkan oleh mutasi gen tunggal diperkirakan mendekati 8% dari seluruh malformasi.

Gen-gen membentuk pasangan-pasangan disebut alel, ada alel cacat yang diturunkan bersama-sama dengan karakter jenis kelamin contohnya cacat karena mutasi adalah polydactily, syndactily, hemophylia, musculor dystrophy, albino 2. Aberasi Aberasi adalah kelainan kromosom bisa merupakan kelainan jumlah atau kelainan susunan. Aberasi merupakan penyebab penting malformasi kongenital dan abortus spontan. Diperkirakan bahwa 50 % dari semua konsepsi berakhir dengan abortus spontan dan bahwa 50 % dari abortus ini mempunyai kelainan kromosom berat. Jadi kira-kira 25% dari semua konsepsi mengalami kelainan/cacat kromosom utama. Contoh catat karena sindromo, seperti Sindroma Down, Sindroma Turner, Sindroma Klinefelter, Triploidi, Trisomi. B. Faktor Lingkungan Banyak faktor dapat berkaitan dengan deferensiasi dan pertumbuhan mudigah akan tetapi, hasilnya tidak harus berupa suatu kelainan nyata. Pada beberapa contoh bahan-bahan teratogenik sedemikian toksis sampai dapat mengenai sistem organ mudigah yang sangat penting, sehingga mengakibatkan kematian pada kasus lain pengaruh lingkungan dapat sedemikian ringannya sehingga mudigah dapat bertahan hidup, tetapi beberapa sistem organnya terganggu. Hal ini dapat mengakibatkan hambatan pertumbuhan atau gangguan fungsi baik sebagian ataupun total. Hingga awal 1940-an diduga bahwa cacat kongenital terutama disebabkan oleh faktor genetik. Setelah Gregg menemukan penyakit campak Jermantersebut yang menyerang seorang ibu selama awal kehamilan menyebabkan kelainan pada mudigah, tiba-tiba menjadi jelas bahwa kelainan kongenital juga dapat disebabkan oleh faktor lingkungan. Pengamatan oleh Lenz yang mengaitkan cacat pada tungkai dengan obat sedative, thalidomide pada turun 1961, memperjelas bahwa obat-batan dapat melintasi plasenta dan menimbulkan cacat lahir. Sejak saat itu banyak bahan-bahn diketahui sebagai terotogen. Tragedi Minamata Disease di Jepang (1972), disebabkan konsentrasi pencemaran senyawa merkuri di daerah Teluk Minamata sehingga terjadi akumulasi pada ikan dan binatang laut lainnya, kemudian melalui rantai makanan senyawa merkuri ini akan sampai dalam tubuh manusia, akhirnya mengakibatnya keracunan (Clarke, 75) Beberapa kelainan yang disebabkan oleh faktor lingkungan yaitu : A. Agen-Agen Infektif 1. Rubella (Campak Jerman) Gregg adalah orang Jerman pertama yang menduga bahwa campak Jerman yang menyerang wanita hamil pada awal kehamilan dapat menimbulkan kelainan-kelainan kongenital. Dapat di pastikan virus rubella mengakibatkan malformasi pada mata (katarak dan microflalmia), telinga bagian dalam (tuli kongenital karena kerusakan alat konti), jangkung (duktus arteriosus persisten) cacat otak, keterbelakangan mental, keterlambatan pertumbuhan pada rahim, kerusakan miokardium dan cacat-cacat vascular. Jenis cacat ditentukan oleh tingkat perkembangan mudigah pada saat terjadinya infeksi. 2. Sitomegalovirus Menyebabkan malformasi dan infeksi janin kronis yang berlangsung sampai lahir dengan gejala utama infeksi virus ini adalah mikrocephalus, perkapuran otak, kebutaan karioretinitis dan hepatosplenomegali. 3. Virus Herpes Simpleks Infeksi ini ditularkan pada saat kelahiran, dengan gejala utama microsefali, microftalmus, displasia retina, hepatomegali, splenomegali dan keterbelakangan jiwa. Ciri-ciri penyakit virus ini adalh reaksi-reaksi keradangan.

4. Varisela (Cacar Air) Kira-kira ada 20% kesempatan kelainan korgenital yang terjadi kalau ibu-ibu terinfeksi varisela pada trimester pertama kehamilan dengan gejala ; hipoplasia tungkai, keterbelakangan jiwa dan atrofi otot. 5. Toxoplasmosis Infeksi parasit protozoa toxoplasma gondii pada ibu yang didapatkan pada daging yang kurang matang. Binatang pemeliharaan (kucing) dan tanah yang tercemar oleh tinja, telah terbukti menimbulkan cacat kongenital, dengan gejala adalah hidrosefalus, keterbelakangan jiwa, khorioretinitis, mikroftalmos dan cacat mata lainnya. Penyakit ini biasanya tidak dikenali pada wanita-wanita hamil. 6. Virus Herpes Simpleks Infeksi ini ditularkan pada saat kelahiran, dengan gejala utama adalah microcephali, microfthalmus, displasia retina, hepatomegali, splenomegali dan keterbelakangan jiwa. 7. Varicela (cacar air) Kelainan kongenital yang terjadi kalau induk terinfeksi varicela adalah 20% pada kebuntingan awal, dengan gejala: hipoplasia tungkai, keterbelakangan jiwa, atrofi otot. 8. Infeksi Virus Lainnya dan Hipertermia Malformasi yang terjadi setelah ibu mengalami infeksi campak, hepatistis, parotitis, poliomielitis dan virus echo. Sebuah cacat yang disebabkan oleh agen-agen infektif adalah pirogenik dan hypertermia (peninggian temperatur tubuh). Penderita hipertermia yang sedang hamil pada saat lipatan-lipatan saraf sedang menutup dan selama masa embriogenesis maka akan lahir anak anensefali. 9. HIV Adanya sistem kekebalan yang berkeruang atau bahkan tidak ada akibat dari Virus ini adalah mikrocephali, keterbelakangan pertumbuhan. 10. Sifilis Merupakan penyakit kelamin yang harus diwaspadai dan pada janin menyebabakan kelaian jiwa serta tuli. B. Agen-agen fisik Efek teratogen dari pengaruh radiasi yang berasal sinar X adalah mikrocephali spina bifida, cacat ekstremitas, palatoskisis (cacat celah palatum) dan kebutaan. Pada janin manusia belum diketahui dosis aman maksimum, namun pada embrio mencit dapat terjadi kerusakan dengan dosis 5 rad. Pengaruh radiasi dengan dosis kecil pada mencit terbukti menyebabkan mutasi dan lebih lanjut terjadi kelainan kongenital pada generasi berikutnya. Wanita Jepang yang hamil pada saat bom atom Hirosima dan Nagasaki, terbukti 28% mengalami keguguran, 25% melahirkan anak yang mati, 25% mengalami kelainan susunan saraf pusat. C. Agen-agen kimiawi 1. Merkuri organik dan timah hitam Pengaruh bahan kimia yang secara tidak langsung dihirup melaui pernafasan tanpa disadari akan memicu timbulnya teratogenik. Mercury (Methylmercury), racunnya secara akut dapat menyebabkan pharyngitis, gastroentritis, vomiting, nephritis, hepatitus dan kolaps, sedangkan secara kronis dapat menyebabkan kerusakan hepar, neural dan teratogenesis. Lead, karena ukuran dan serbuannya yang secara bersamaan, lead dapat menggantikan calsium masuk dalam tulang. Sehingga keracunan Lead dapat menyebabkan nephrotoxicity, neurotoxicity dan hypertensi. Arsenic, jika terhisap perinhalasi dari makanan dan minuman yang tercemar dapat

menyebabkan vomiting, diarrhea dan kelainan jantung. Cadmium, cadmium yang tercampur metallothionein jika terikat zinc dan copper dalam tubuh dapat menggaggu level homeostasis. 2. Bahan makanan dan minuman Mengkonsumsi minuman yang berakohol pun dengan kadar tinggi akan berpengaruh pada janin yang dikandungnya. Alkohol akan menyebabkan sindrom alkohol janin, fisura palpebrae pendek, hiploplasia rahang atas, cacat jantung, keterbelakangan jiwa. Pada perokok berat bagi wanita hamil, nikotin yang terkandung dalam rokok menyebabkan kelainan berupa keterlambatan pertumbuhan, mikrocephali, kelainan perilaku dan gastroskisis. D. Hormon 1. Agen-agen androgenik Progestin sintetik sering digunakan selama proses kehamilan untuk mencegah abortus. Progestin etisteron dan non etisteron mempunyai kegiatan androgenik yang besar dan banyak menyebabkan kasus maskulinisasi alat kelamin pada mudigah wanita. Kelainan yang ditimbulkan yaitu pembesaran klitoris ada hubungan dengan dengan penyatuan lipatan labioskrotal. 2. Dietilstilbestrol Estrogen sintetik yang sering digunakan untuk mencegah abortus ini sudah digunakan sejak tahun 1940-an. Pada tahun 1971 obat ini digunakan untuk kontraindikasi, ketika dipastikan banyak wanita muda yang terkena karsinoma vagina dan serviks akibat adanya obat ini dalam uterusnya,Kelainan kongenital yang timbul pada embrio wanita yaitu pada tuba uteri, uterus dan vagina bagian atas. Pada mudigah pria dari induk yang terpapar obat ini adalah kelainan pada testis dan analisis sperma abnormal. Pada manusia akibat yang terjadi tidak sama antara wanita dan pria, pada pria tidak menunjukkan peningkatan resiko perkembangan karsinoma sistem kelamin. 3.Kortison Percoban telah berulang kali dilakukan pada keliinci dan mencit pada tingkat kehamilan tertentu dapat menyebabkan palatoskisis pada keturunannya, akan tetapi jumlah pada manusia masih belum dapat dipastikan. E. Defisiensi Nutrisi Terutama akibat kekurangan vitamin A (isotretionin) dapat menyebabakan hiplopasia mandibula, celah langit-langit, cacat jantung. Defisiensi asam valproat akan menyebabkan kelainan jantung dan cacat tubaneuralis.

Prinsip Prosedur Pengujian

Hewan
Tikus, kelinci, mencit dan hamster biasa dipakai sebagai hewan coba. Hewan-hewan ini mudah diperoleh, penanganannya mudah, jumlah anaknya cukup besar, dan masa kehamilannya pendek. Babi kadang-kadang juga digunakan karena secara filogenetik mirip dengan manusia; jenis makanan babi juga mirip dengan manusia, tidak seperti makanan kelinci. Penggunaan primata bukan manusia juga dianjurkan karena hubungan filogenetiknya dekat dengan manusia. Hewan lain, seperti anjing dan kucing, juga digunakan oleh beberapa peneliti. Sifat berbagai jenis hewan yang dipakai dalam teratologi mempunyai beberapa keuntungan dan kerugian. Namun, bila dipertimbangkan seluruhnya, kelinci dan primata bukan manusia memberikan lebih banyak manfaat (Schardein dkk., 1995).

Hewan coba harus muda, dewasa, dan sehat. Lebih disukai betina premigravida. Untuk tikus, sekurang-kurangnya 20 betina ditempatkan dalam setiap kelompok dosis; sedangkan untuk kelinci digunakan 12 betina per dosis (EPA, 1999). Untuk hewan besar, seperti anjing dan primata bukan manusia, digunakan jumlah yang lebih sedikit. Karena tekniknya sederhana, embrio anak ayam dipakai secara luas pada tahun 1960-an. Namun, sekarang diketahui bahwa model percobaan ini terlalu banyak memberikan hasil positif palsu karena tidak adanya plasenta serta kerentanannya terhadap faktor nonspesifik seperti pH, berat jenis, dan tekanan osmotik.

Pemberian Zat Kimia


Dosis sekurang-kurangnya diberikan tiga tingkat dosis. Dosis tertinggi harus menyebabkan gejala keracunan pada beberapa induk (dan atau janin), seperti berkurangnya berat badan. Dosis terendah harus tidak menampakkan efek buruk. Satu atau lebih dosis harus berada di antara kedua ekstrim itu. Selain itu, dibuat dua kelompok pembanding. Salah satu diberi pelarut atau larutan garam fisiologis, sedangkan yang lain diberi zat yang diketahui bersifat teratogen aktif. Kelompok ini akan memberikan informasi tentang insidens cacat spontan dan kepekaan hewan dalam kondisi percobaan. Selain pembanding ini, data dari studi yang lalu (historical control) juga berguna.

Cara dan Waktu


Zat yang diuji harus diberikan lewat jalur yang sama dengan jalur pajanan manusia. Zat tambahan makanan dan pencemar makanan sebaiknya dicampur dalam makanan hewan. Obat yang dimasukkan lewat mulut biasanya diberikan dengan sonde lambung. Waktu pemberian zat kimia sangat penting, seperti yang digambarkan pada percobaan Tuchman-Duplesis yang dikutip oleh Lu (1995), dengan 6-merkaptopurin yang mengakibatkan cacat saraf dan mata atau anomali kerangka tergantung dari saat pajanan. Namun, untuk penelitian teratologi rutin, zat kimia biasanya diberikan selama periode organogenesis, suatu periode paling rentan untuk embrio. Periode ini bervariasi untuk setiap jenis. Periode rentan untuk beberapa jenis hewan dan informasi yang berhubungan dengan itu tercakup dalam tabel 1. Tabel 1 Penelitian Teratogenesis pada Beberapa Hewan Tikus Mencit Hamster Usia induk pada awalnya 100-120 hari Periode pemberian dosis* hari ke 6-15 Seksio Caesaria* hari ke 20 60-90 hari 60-90 hari Kelinci Dewasa belum kawin

hari ke hari ke 56-15 10 hari ke hari ke 14 17

hari ke 6-18 hari ke 29 6-

ASA, 250 aminonikotinamid ASA, ASA, mg/kg 2,5 mg/kg 250 150 mg/kg mg/kg * Hari 0 adalah ketika sperma ditemukan dalam vagina atau, pada kelinci, hari terjadinya kopulasi atau inseminasi buatan. ASA, asam asetilsalisilat, teratogen potensial pada hewan coba tertentu meskipun hanya mampu menyebabkan perdarahan pada janin manusia dan hanya dalam dosis besar.

Pembanding positif

Pengamatan
Hewan Bunting. Hewan harus diperiksa setiap hari untuk melihat tanda-tanda nyata keracunan. Betina yang menunjukan tanda-tanda akan keguguran atau melahirkan prematur (seperti perdarahan vagina) harus dibunuh dan diperiksa. J a n i n. Janin biasanya diambil melalui pembedahan kira-kira sehari sebelum perkiraan hari kelahiran. Prosedur ini dimaksudkan untuk menghindari kanibalisme dan memungkinkan penghitungan tempat yang diresorpsi dan kematian janin. Kemudian dilakukan pengamatan berikutnya dan hasilnya dicatat, seperi:

Jumlah korpora lutea Jumlah implantasi Jumlah resorpsi Jumlah janin yang mati Jumlah janin yang hidup Jenis kelamin janin yang hidup Berat janin yang hidup Panjang (ujung kepala-telapak kaki) janin yang hidup Kelainan pada janin yang hidup

Pemeriksaan Rinci. Hal ini dilakukan untuk menentukan berbagai jenis kelainan. Setiap janin diperiksa cacat luarnya. Selain itu, sekitar dua pertiga sampel janin diambil secara acak, diwarnai dengan merah alizarin, dan diperiksa ada tidaknya kelainan rangka. Sisanya sepertiga diperiksa cacat viseranya setelah difiksasi dalam cairan Bouin dan diiris dengan silet. Pada hewan yang lebih besar, seperti anjing, babi, dan primata bukan manusia, struktur rangka bisa diperiksa dengan sinar-X, bukan dengan pewarnaan. Pengaruh Tertunda. Untuk toksikan yang diduga mempengaruhi sistem saraf pusat atau sistem genitourinaria janin, cukup banyak betina hamil yang dibiarkan melahirkan anaknya. Anak-anak ini dirawat oleh ibu biologiknya, sehingga memungkinkannya terpajan toksikan melalui air susu, atau oleh induk angkatnya. Pada kasus terakhir ini efek potensial pajanan pasca pascalahir dihilangkan. Uji neuromotor dan perilaku dapat digunakan untuk mendeteksi efek SSP. Hal ini mencakup sikap tubuh, kegiatan motorik, koordinasi, ketahanan, penglihatan, pendengaran, kemampuan belajar, respons terhadap lingkungan asing, perilaku kawin, dan tingkah laku maternal.

EVALUASI EFEK TERATOGEN

Katagori dan Makna relatif


Aberasi. Seperti telah diutarakan di atas, cacat morfologik meliputi struktur luar dan/ atau dalam. Selain itu, mungkin terdapat kelainan fungsional. Tidak semua jenis aberasi sama maknanya. Contohnya, adanya tulang rusuk tambahan dan kelainan pada penulangan sternum mungkin sedikit efeknya atau tidak tampak pada morfologi luar, aktivitas fungsional, atau kelangsungan hidup janin. Ini hanya dipandang sebagai penyimpangan. Cacat bentuk yang maknanya tak jelas mencakup ekor keriting, kaki lurus, malrotasi anggota badan atau cakar, wristdrop, lidah menonjol, atrium dan atau ventrikel yang besar, kelainan perkembangan pelvis ginjal, dan kulit yang transparan. Biasanya kelainan ini digolongkan sebagai anomali minor. Sebaliknya, malformasi mayor, seperti spina bifida atau hidrosefalus, akan mengganggu kelangsungan hidup, pertumbuhan, perkembangan, kesuburan dan panjang usia hewan. Dalam prakteknya, perbedaan antara kategori ini tidak selalu jelas. Karena itu faktorfaktor lain perlu dipertimbangkan. Resorpsi. Ini adalah manifestasi kematian hasil konsepsi. Meskipun tempat resorpsi dapat dikenali dengan pemeriksaan teliti pada rahim, penentuan jumlah resorpsi akan lebih baik dengan menghitung jumlah keseluruhan implantasi yang ditunjukan oleh jumlah korpora lutea, dikurangi dengan jumlah bayi yang hampir aterm. Jika ada peningkatan dalam jumlah resorpsi pada kelompok uji, mungkin diperlukan perubahan prosedur pengujian untuk membedakan embriotoksisitas dengan teratogenisitas, misalnya dengan menurunkan dosis untuk mengurangi toksisitas atau mempersingkat periode pajanan induk. Toksisitas Janin. Hal ini tampak dari berkurangnya berat badan janin yang tidak bertahan hidup. Jenis data ini sering digunakan sebagai bukti penyokong dalam menilai teratogenisitas toksikan tersebut. Bila diragukan pada kelinci, ketahanan hidup janin dapat ditentukan dengan menginkubasikannya selama 24 jam. Pada hewan pengerat sebaiknya pemeriksaan diulangi, tetapi induk dibiarkan melahirkan anaknya (tanpa seksio caesaria).

Sumber Kesalahan
1. Hewan yang digunakan mungkin memperlihatkan banyak cacat spontan atau resisten terhadap pengaruh teratogen. Kesalahan ini biasanya dapat dinilai dari respon hewan dalam kelompok pembanding negatif dan positif. 2. Cara penanganan hewan yang buruk juga dapat mengakibatkan meningkatnya insidens cacat. 3. Konsumsi makanan induk dapat dipengaruhi oleh toksikan. Hal ini dapat mempengaruhi berat badan induk dan secara tak langsung mempengaruhi janin. 4. Dosis yang berlebihan dapat mengakibatkan banyak resorpsi, tetapi dengan sedikit atau tanpa cacat. Sebaliknya, jika dosisnya terlalu kecil, mungkin tidak ada bukti teratogenisitas sama sekali. 5. Beberapa efek teratogen mungkin terabaikan bila pemeriksaan dilakukan secara sambil lalu.

Analisis Hasil

Dalam membandingkan kelompok coba dan kelompok pembanding, satuan yang tepat adalah jumlah anak yang lahir (litter) dan bukan janin individual, karena setiap induk merupakan satu satuan percobaan. Dengan kata lain, jumlah litter yang mengandung janin cacat, resorpsi atau janin yang mati adalah parameter yang digunakan dalam analisis statistik. Namun meningkatnya jumlah rata-rata janin yang cacat per litter merupakan bukti nyata adanya terotogenisitas. Jika hasil uji memperlihatkan hubungan antara dosis dan respons (insidens cacat), biasanya dapat disimpulkan bahwa zat tersebut bersifat teratogenik dalam kondisi percobaan tersebut. Bila insidens cacat tidak memberikan kesimpulan pasti, analisis data dari pembanding historis dapat amat berharga. Selain itu, analisis cermat terhadap data parameter lain pada janin dan induk kadang-kadang berguna.

Ekstrapolasi pada Manusia


Hasil uji teratogenik pada hewan coba tidak dapat begitu saja diekstrapolasikan pada manusia. Tiadanya model hewan yang cocok dibuktikan oleh kenyataan bahwa teratogen yang paling kuat bagi manusia, seperti talidomid, yang efektif pada dosis 0,5-1 mg/kg BB, tidak memperlihatkan efek teratogenik pada tikus dan mencit meskipun dengan dosis 4.000 mg/kg BB. Pada kelinci hanya diperoleh embriopati yang sedang saja. Sebaliknya, asam asetilsalisilat sudah lama diketahui aman untuk wanita hamil, tetapi zat ini bersifat teratogen kuat bagi tikus, mencit, dan hamster. Kenyataan bahwa banyak zat kimia terbukti bersifat teratogen pada hewan coba tetapi tidak pada manusia mungkin sebagian disebabkan oleh lebih rendahnya kerentanan manusia dan rendahnya tingkat pajanan pada manusia. Tetapi, ini juga dapat disebabkan oleh kurangnya penelitian epidemiologi. Perlu juga diingat bahwa efek teratogenik suatu zat kimia dapat muncul berupa rendahnya angka kehamilan, berkurangnya jumlah anak per induk, atau rendahnya ketahanan hidup janin. Karena itu dalam ekstrapolasi data hewan ke manusia, faktor ini harus pula diperhitungkan (Schardein dkk., 1995). Meskipun demikian, karena semua zat kimia yang teratogenik pada manusia menunjukkan juga keaktifannya pada hewan coba tertentu, maka patutlah dilakukan pengujian pada hewan yang tepat atas semua zat kimia yang mungkin berkontak dengan wanita usia subur. Jika suatu zat memberikan hasil positif, terutama bila positif juga pada lebih dari satu jenis hewan coba, zat ini sedapat mungkin dihindari oleh wanita usia subur. Dalam menilai efek teratogenik suatu zat kimia, harus diperhitungkan bukan hanya insidensnya, tetapi juga beratnya aberasi (Khera, 1991).

UJI IN VITRO
Meskipun belum rutin dilakukan, uji in vitro memberikan harapan sebagai prosedur penyaring dalam menentukan organ sasaran, atau dalam mempelajari cara kerja teratogen. Di bawah ini secara ringkas diterangkan beberapa uji in vitro. Beberapa rincian dan acuan diberikan oleh Saxen (1991).

Biakan Sel

Biakan sel dapat ditanam pada suspensi sebagai suatu lapisan tunggal, atau pada berbagai bahan penyangga. Efek teratogenik dapat dinilai dari berbagai parameter. Karena mudahnya, prosedur ini dapat digunakan sebagai uji prapenyaringan. Salah satu pengujian akhir adalah analisis protein yang disintesis oleh biakan sel, misalnya biakan sel embrio ayam. Untuk memastikan bahwa pengaruh bioaktivasi dan sawar plasenta telah dipertimbangkan, biakan sel dipajankan pada zat yang diuji dan metabolitnya diekstraksi dari cairan amnion mencit bunting yang telah diberi zat itu. Sel tumor tertentu pada biakan segera menempel pada lapisan permukaan khusus. Telah diketahui bahwa zat kimia yang bersifat teratogenik pada hewan biasanya menghambat lekatnya sel ini. Efek end point lainnya adalah berubahnya diferensiasi sel oleh teratogen. Perubahan ini dapat ditentukan secara biokimiawi dan morfologik.

Biakan Organ
Ginjal metanefron, gigi yang sedang berkembang, dan beberapa organ lainnya dapat digunakan dalam biakan organ. Metanefron didapat dari mesenkim metanefron embrio tikus hari ke-11 dan ditumbuhkan pada suatu penyaring berpori. Sebagai induktor, sumsum tulang embrionik direkatkan pada sisi sebaliknya penyaring. Indikator ini diambil kembali setelah 24 jam, saat telah terjadi induksi. Jaringan kemudian berdiferensiasi menjadi glomerulus, tubulus proksimal, dan tubulus distal. Beberapa zat kimia terbukti dapat mengurangi jumlah tubulus yang terbentuk. Biakan organ terlalu rumit untuk digunakan sebagai uji prapenyaringan. Namun, tampaknya berguna untuk mempelajari cara kerja dan tempat sasaran zat kimia yang dicurigai.

Biakan Hidra
Johnson dan Gebel (1992) menjelaskan prosedur yang menggunakan biakan Hidra attenuata dalam kondisi laboratorium. Pajanan zat kimia pada Hidra dewasa dan embrio buatan (terdiri atas sel yang diregresikan secara acak dari hidra yang dihancurkan) menyebabkan berbagai perubahan morfologik, bahkan menyebabkan kematian. Perbandingan kadar lethal pada embrio terhadap kadar letal pada yang dewasa telah ditentukan untuk beberapa zat kimia. Rasio ini menunjukkan korelasi yang baik dengan perbandingan dosis teratologik dan dosis toksik pada hewan pengerat dewasa. Prosedur ini tampaknya juga memberikan harapan sebagai uji prapenyaringan.

Daftar Pustaka
Author: epyfkh 15.03.2011 Ahmad M. M. and Sarva T. S. 1993. Effects of endosulfan and chlorpyrifos on the reproductive organs and sex hormones of neonatal rats. Pakistan Journal Of Zoology 25 (1).

Alvares A. P. 1992. Pharmacology and toxicology of carbamates. In : Clinical and Experimental Toxicology of Organophosphat and Carbamates. Ballantyne B. and T. C. Marrs (ed). Butterworth-Heinemann Ltd. Anonimus,20031, Peruraian Pestisida Organofosfor dalam Tanah Sawah. http:// www.bsp.deptan. go.id/pukpest/index.htm Anonimus, 20032,Evaluation of Some Pesticide Residues in Food. http://www. fetalexposure.org/INSECT.html Anonimus, 20033 . A Pesticide Information. Project of Cooperative Extension Offices of Cornell University, Michigan State University, Oregon State University, and University of California at Davis. Major support and funding was provided by the USDA/ Extension Service / National : http: //pmep.cce.cornell.edu/profiles/ extoxnet /carbaryldicrotophos/carbofuran-ext.html#30 Anonimus,20034, Acethylcholine. http://www.neurosci.pharm.utoledo.edu/MBC 3320/acetylcholine.htm Anonimus,20035, Development of lamination and wiring patterns in the retina of the chick embryo. Function of the enzymes acetylcholinesterase and butyrylcholinesterase during neurogenesis, cellular regulation and differentiation. http://neuro.bio.tudarmstadt.de/layer/layer.html Anonimus,20036, Quick Facts. http://www.abcbirds.org/pesticides/Profiles/ carbofuran.htm Anonimus,20037, Cholinesterase Inhibition. http://www.emory.edu/CHEMISTRY/ justice/seminar/ach_inactivation.htm Anonimus,20038, Stages in Chick Embryo Development. http://www.csun.edu /~vcbio001/chick.html Anonimus,20039, Chick development. http://www.uoguelph.ca/zoology/devobio/ 210labs/chickdevel3.html Anonimus,200310, Development and Preservation of Embryos. http://chickscope. beckman.uiuc.edu/resources/egg_to_chick/development.html Anonimus,200311, Teratology. http://www.teratology.org/jfs/teratologyindex.html Ballantyne B. and T. C. Marrs. 1992. Overview of the biological and clinical aspects of organophosphat and carbamates. In : Clinical and Experimental Toxicology of Organophosphat and Carbamates. Ballantyne B. and T. C. Marrs (ed). ButterworthHeinemann Ltd. Bigbee J. W., K. V. Sharma, J. J. Gupta and J. L. Dupree. 1999. Morphogenic role for acetylcholinesterase in axonal outgrowth during neural development. Environ. Health Perspect. 107 (S1). Brimijoin S. and C. Koenigsberger. 1999. Cholinesterases in neural development: new findings and toxicologic implications. Environ. Health Perspect. 107 (S1). Brodie C., Kentroti S. and Varnadakis A. 1991. Growth factors attenuate the cholinotoxic effects of ethanol during early neuroembryogenesis in the chick embryo. Int J Dev Neurosci; 9 (3). California Environmental Protection Agency, 2000. Carbofuran. Public Health Goals for Chemicals in Drinking Water. California Environmental Protection Agency. Carver F. M., Shibley I. A. Jr., Miles D. S., Pennington J. S. and Pennington S. N. 1999. Increased intracellular localization of brain GLUT-1 transporter in response to ethanol during chick embryogenesis. American Journal Of Physiology 277 (4 PART 1). Dajan, A. Pengantar Metode Statistik. Jilid II. LP3S. Jakarta.

Decuypere E., L. Rombauts, D. Vanmontfort and G. Verhoeven. 2004. Inhibin from embryo till adult hen. E-mail: eddy.decuypere@agr.kuleuven.ac.be Eldefrawi M. E. and Eldefrawi A. T. 1983. Neurotransmitter receptors as targets for pesticides. Journal of Environmental Science and Health 18(1). Faiman M. D., Chu F., Hart B. W. and Kitos P. A. 1991. Covalent binding of chick embryo proteins by the alkylthiocarbamate molinate. Toxicologist;11(1). Farege-Elawar M. 1991. Development of esterase activities in the chick embryo and chicken. Toxicologist 11(1). Faustman E. M., R. A. Ponce., M. R. Seeley and S. G. Whittaker. 1997. Experimental approach to evaluate mechanisms of developmental toxicity. In : Handbook of Developmental Toxicology . Hood, R. D. (ed). CRC Press, Inc. Corporate Blvd., N. W., Boca Raton, Florida. FAO and WHO, 2000. Thiodicarb. Pesticide residues in food. Toxicology evaluations. FAO and WHO working groups. Food and Agriculture Organization and World Health Organization. United Nation Organization. Frank, C. 1995. Toksikologi Dasar : Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko. ed. 2, Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 154-168. Funk K. A., Liu C. H., Wilson B. W. and Higgins R. J. 1994. Avian embryonic brain reaggregate culture system: Characterization for organophosphorus compound toxicity studies. Toxicol. Appl. Pharmacol 124 (1). Gilbert S., 1988. Developmental Biology. 2nd ed. Sinauer Associates. Hill E. F. 1992. Avian toxicology of anticholinesterases. In : Clinical and Experimental Toxicology of Organophosphat and Carbamates. Ballantyne B. and T. C. Marrs (ed). Butterworth-Heinemann Ltd. Hood, R. D. 1997. Handbook of Developmental Toxicology. CRC Press, Inc. Corporate Blvd., N. W., Boca Raton, Florida. Jin O. and Kitos P. 1996.Teratogenic synergy between a thiocarbamate herbicide and an organophosphorus insecticide. Faseb. J .10(3). Kalant, H., and Roschlau, W.H.E., 1989. Principles of Medical Pharmacology .ed. V, B.C. Dekker Inc, Toronto, Philadelphia, 645-691. Karnofsky D. A. 1964. The chick embryo in drug screening; survey of teratology effects observed in the 4-day chick embryo. In : Teratology Principles and Techniques. J. G Wilson and J. Warkany.The University of Chicago Press. Kumar K. B. S. and Devi K. S., 1992. Teratogenic effects of methyl parathion in developing chick embryos. Veterinary and Human Toxicology, 34(5). Launder J. M. and U. B Schambra. 1999. Morphogenetic roles of acetylcholine. Environ. Health Perspect. 107 (S1). Lassiter T. L., Hunter D. L. Chanda S. M., Das K., Haykal-Coates N., Marshall R. S., Barone S. Jr and Padilla S. 1999. Is the fetal brain protected from gestational exposure to chlorpyrifos?. Neurotoxicology 20(1). Loomis, T. A. 1978. Essentials of Toxicology. 3rd Ed. Lea and Febiger. Lotti M. 1992. Central neurotoxicity and behavioural effects of anticholinesterases. In : Clinical and Experimental Toxicology of Organophosphat and Carbamates. Ballantyne B. and T. C. Marrs (ed). Butterworth-Heinemann Ltd. Lu, F. C. 1995. Toksikologi Dasar. Penerbit Universitas Indonesia. Lubis, D. 1988. Efek Toksik Merkuri Pada Susunan Saraf Pusat Embrio Ayam. FKH Universitas Syiah Kuala Darussalam. Banda Aceh.

Luqman, E. M. 1996. Korelasi Antara Berat dan Panjang Testis dengan Jumlah Spermatozoa dalam Testis Mencit. Media Kedokteran Hewan 12(4). Martin A. H. and Moses G. C. 1993. Magnetic field effects on 5nucleotidase: acetylcholinesterase and alkaline phosphatase in developing chick embryos. Teratology 48(2). McCaskey T. A., Stemp A. R., Liska B. J. and Stadelman W. J. 1968. Residues in egg yolks and raw and cooked tissues from laying hens administered selected chlorinated hydro- carbon insecticides. Poultry Sci.; 47(2), Medina M. A. and Miller A. L. 1997. Effects of organophosphorus anticholinesterase compounds on brain glucose and energy metabolism. Govt Reports Announcements & Index (GRA&I), Meiniel R. 1977. Teratogenesis of axial abnormalities induced by an organophorphorus insecticide (parathion) in the avian embryo. Wilhelm Roux Arch. Dev. Biol. 181(1). Meyer A., F. J. Seidler, M. M. Cousins and T. A. Slotkin. 2003. Developmental neurotoxicity elicited by gestational exposure to chlorpyrifos: When is aenylyl cyclase a target?. Environ Health Perspect 111:1871-1876. Misawa M., Doull J., Kitos P. A. and Uyeki E. M. 1981. Teratogenic effects of cholinergic insecticides in chick embryos.. Diazinon treatment on acetylcholinesterase and choline acetyltransferase activities. Toxicol. Appl. Pharmacol. 57(1). Oehme F. W. 1992. Agricultural and veterinary toxicology of anticholinesterases. In : Clinical and Experimental Toxicology of Organophosphat and Carbamates. Ballantyne B. and T. C. Marrs (ed). Butterworth-Heinemann Ltd. OEHHA and University California, 1999. Toxicity Data for American Kestrel (Falco sparverius). OEHHA and University California. Pant, N., Prasad A. K., Srivastava S. C., Shankar R., Srivastava S. P. 1995. Effect of oral admnistration of carbofuran on male reproductive system of rat. Human Exp Toxicol 14 : 889894. Pennington S. N., Wiggins D. J. and Smith C. P. Jr. 1991. Loss of tissue glucose and glucose transporter protein in drug-induced fetal brain hypoplasia. Alcohol Clin Exp Res ;15(2). Plapp F. W. Jr. 1981. The Nature, Modes Of Action, And Toxicity Of Insecticides. Handbook of Pest Management in Agriculture Press. Poernomo, B. P. 1999. The Teratology Highlight. Post Graduate Programme Airlangga University. Poernomo, B. P., M. Mafruchati, Widjiati, E. M. Luqman dan E. D. Masithah. 2003. Diktat Ilmu Mudigah. FKH Unair. Ram R. N., Singh I. J. and Singh D. V. 2003. Carbofuran induced impairment in the hypothalamo-neurohypophyseal-gonadal complex in the teleost, Channa punctalus (Bloch). fish@gbput.ernet.in Rang, H.P., Dale, M.M., Ritter, J.M., 1999, Pharmacology .ed. IV, Churchill Livingstone, 168 Sadler. T.W., 2000. Embriologi Kedokteran Langman. edisi ke-7, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 101-143. Safitri, E. 2004. Teratogenesis dan prosedur pengujiannya. Makalah Teratologi. Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga. Santhoskumar P. and Shivanandapa T. 1994. Differential in vivo inhibition of the foetal and maternal brain acetylcholinesterase by bromophos in the rat. Neurotoxicology and Teratology 16 (3).

Santosa, C. M. 2002. Efek androgenik dan anabolik hormon testosteron pada anak ayam. Media Kedokteran Hewan. 18(2). Sawyer T. W., Weiss M. T. and Dickinson T. 1996. Effect of metabolism on the anticholinesterase activity of carbamate and organophosphate insecticides in neuron culture in vitro Toxicology. A Journal of Molecular and Cellular Toxicology 9 (3). Setiani, D. H. 2001. Otak Manusia dan Berfikir. Makalah Falsafah Sains. PPS IPB. E-mail: dewi_setiani@excite.com. Siegel, S. and N. J. Castellan Jr., 1988. Nonparametric Statistics for The Behavioral Science. McDrwaa-Hill Book Company. Slotkin, T. A. 1999. Developmental cholinotoxicants: nicotine and chlorpyrifos. Environ. Health Perspect. 107 (S1). Steel, R.G. B. dan J.H. Torrie, 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Penerbit PT. Gramedia Utama Pustaka Jakarta. Syahrum M. H., Kamaludin dan A. Tjokronegoro. 1994. Reproduksi dan Embriologi : Dari Satu Sel Menjadi Organisme. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Tyl R. W. 1992. Development and reproductive toxicity of anticholinesterases. In : Clinical and Experimental Toxicology of Organophosphat and Carbamates. Ballantyne B. and T. C. Marrs (ed). Butterworth-Heinemann Ltd. Walsh L. P. and D. M. Stocco. 2000. Effects of lindane on steroidogenesis and steroidogenic acute regulatory protein expression. Biology of Reproduction 63, 1024-1033. Weiss E. R., P. Maness and J. M. Launder. 1998. Why do neurotransmitters act like growth factors ?. Perspect. Dev. Neurobiol. 5 (4). Yatim, W., 1982. Reproduksi dan Embriologi. Tarsito. Bandung Yousef. M. I., Salem M. H., Ibrahim H. Z., Helmi S., Seehy M. A. and Bertheuseen K. 1995. Toxic effects of carbofuran and glyphosphate on semen characteristics ini rebbits. J. Environ Sci Health. B20(4)513-534. Zinkl J. G., Mack P. D., Mount M. E. and Shea P. J. 1984. Brain cholinesterase activity and brain and liver residues in wild birds of a forest sprayed with acephate. Environ Toxicol Chem; 3 (1)

You might also like