You are on page 1of 24

Tentang

Bunuh Diri & Euthanasia


Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Masailul Fiqh

STAI DR. KHEZ. MUTTAQIEN


PURWAKARTA
2008/2009
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, makalah yang berjudul “Bunuh Diri dan Euthanasia” ini


telah selesai kami susun untuk dapat digunakan sebagai salah satu tugas mata
pelajaran Masailul Fiqh.

Makalah ini dibuat agar pengetahuan kami menjadi lebih bertambah dan
mampu menerapkan pengetahuan tersebut di dalam lingkungan masyarakat.

Akhirnya kami berharap dari kegiatan ini dapat bermanfaat khususnya


bagi kami dan teman-teman semua. Agar lebih memotivasi untuk meningkatkan
kualitas pendidikan di bidang Masailul Fiqh.

Kami menyadari bahwa penyusunan tugas ini masih jauh dari


kesempurnaan untuk itu kami mohon saran dari semua pihak agar berikutnya
lebih sempurna. Semoga bermanfaat…

Plered, Desember 2008

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
BAB II BUNUH DIRI ..................................................................................... 2
A. Pengertian ................................................................................. 2
B. Pandangan Agama Tentang Bunuh Diri..................................... 3
BAB III EUTHANASIA .................................................................................... 12
A. Euthanasia ................................................................................. 12
B. Unsur-Unsur Euthanasia ........................................................... 13
C. Beberapa Aspek Euthanasia...................................................... 13
D. Batas-Batas Tanggung Jawab Ilmuan dan Praktisi Ilmu ............ 15
BAB IV PENUTUP ......................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus


kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia
dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari berbagai
siklus kehidupan di atas, kematian merupakan salah satu yang masih
mengandung misteri yang sangat besar. Proses pembuahan yang rumit mulai
dapat dikenali dan dipelajari, bahkan akhir akhir ini sudah dapat dilakukan proses
pembuahan buatan, yang meniru proses alamiah, dan terjadilah inseminasi
buatan, yang tidak menimbulkan masalah etika pada dunia hewan, tetapi
menjadi sangat kompleks dalam dunia manusia. Cloning merupakan proses
pembuahan buatan yang menimbulkan kontradiksi yang sangat kompleks.
Berbagai macam penyulit dalam kurun waktu kehidupan di dunia dalam bentuk
berbagai penyakit juga dapat dikenali satu demi satu, dan sebagian besar
penyakit infeksi sudah dapat disembuhkan, sebagian besar penyakit non
infeksipun sudah dapat dikendalikan, walaupun belum dapat disembuhkan.
Semua upaya tersebut di atas, yang dikerjakan oleh manusia mempunyai hakekat
untuk memperoleh jalan keluar dalam mengatasi kesulitan ataupun gangguan
dalam proses pembuahan, kelahiran dan kehidupan itu sendiri yang akhirnya
adalah menunda proses akhir dari seluruh rangkaian kehidupan di dunia, yaitu
kematian.
Sampai saat ini kematian merupakan misteri yang paling besar, dan ilmu
pengetahuan belum berhasil menguaknya. Satu satunya jawaban tersedia di
dalam ajaran agama. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan di dunia
ini, merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada seorangpun yang berhak untuk
menunda sedetikpun waktu kematiannya, termasuk mempercepat waktu
kematiannya.

1
BAB II
BUNUH DIRI

A. Pengertian
Bunuh diri adalah tindakan mencabut nyawa diri sendiri dengan
menggunakan segala macam cara. Motif bunuh diri ada banyak macamnya.
Biasanya pelaku bunuh diri dilanda keputusasaan dan depresi karena cobaan
hidup dan tekanan lingkungan. Adapula yang bunuh diri karena kekurangsehatan
akal alias tidak waras. Beberapa agama melarang dan mengutuk tindakan bunuh
diri.
Apa sesungguhnya pemicu keinginan mengakhiri hidup sendiri itu?
Ternyata semua kasus ”horor” tersebut dilandasi pada mood atau suasana hati
seseorang. Dr. Ghanshyam Pandey beserta timnya dari University of Illinois,
Chicago, menemukan bahwa aktivitas enzim di dalam pikiran manusia bisa
mempengaruhi mood yang memicu keinginan mengakhiri nyawa sendiri. Pandey
mengetahui fakta tersebut setelah melakukan eksperimen terhadap otak 34
remaja yang 17 di antaranya meninggal akibat bunuh diri. Ditemukan bahwa
tingkat aktivitas protein kinase C (PKC) pada otak pelaku bunuh diri lebih rendah
dibandingmereka yang meninggal bukan karena bunuh diri. Temuan yang
dipublikasikan di jurnal Archives of General Psychiatry menyatakan bahwa PKC
merupakan komponen yang berperan dalam komunikasi sel, terhubung erat
dengan gangguan mood seperti depresi di masa lalu.
Pandey dan timnya sangat tertarik untuk mengatahui kaitan lain antara
PKC dengan kasus bunuh diri di kalangan remaja belasan tahun. Dari 17 remaja
yang meninggal akibat bunuh diri, sembilan di antaranya memiliki sejarah
gangguan mental.
Delapan yang lain tidak mempunyai riwayat gangguan psikis namun dua
di antaranya mempunyai sejarah kecanduan alkohol dan obat terlarang. Aktivitas
PKC pada otak para remaja tersebut jumlahnya sangat kecil dibanding dengan

2
remaja yang meninggal bukan karena bunuh diri. Dari sini disimpulkan bahwa
kondisi abnormal PKC bisa menjelaskan mengapa sebagian remaja memiliki
keinginan bunuh diri.

B. Pandangan Agama Tentang Bunuh Diri


1. Agama Kristian Awal
Agama Kristian Awal tertarik kepada kesyahidan yang merupakan
suatu tindakan yang dibenarkan oleh agama mereka. Kematian Jesus juga
dianggap sebagai sejenis bunuh diri oleh sesetengah orang, umpamanya
Tertullian. Adanya tujuh kes bunuh diri dalam Wasiat Lama. Dalam kitab
Matthew 27:3, pembunuhan diri Judas Iscariot yang mengkhianati Jesus
mungkin merupakan suatu tanda sesal atau sekurang-kurangnya suatu
pengakuan kebersalahannya.
Kumpulan penyokong bunuh diri yang paling terkenal ialah kumpulan
Donatis yang mempercayai bahawa melalui membunuh diri, mereka boleh
mencapai kesyahidan dan naik ke syurga. Mereka melompat dari cenuram,
membakar diri dalam bilangan-bilangan besar, serta menghentikan
pengembara-pengembara dan menawarkan wang atau mengugut mereka
dengan kematian untuk menggalakkan mereka membunuh orang yang
dikatakan syahid Donatis. Mereka itu akhirnya diisytiharkan sebagai
pembidaah.
Bagaimanapun ketika agama Kristian menjadi agama utama Empayar
Rom, pandangan-pandangannya terhadap bunuh diri beransur-ansur
berubah. Pada abad ke-5, St. Augustine menulis sebuah buku yang berjudul
Kota Tuhan (The City of God) dan di dalamnya, beliau membuat kutukan
pertama dalam agama Kristian terhadap bunuh diri. Justifikasi untuk
kutukannya ialah tafsiran baru bagi rukun, "Jangan membunuh", dengan
alasan-alasannya yang lain berasaskan "Phaedra" oleh Plato. Walaupun ini
hanya merupakan tentangan kemanusiaan, sesetengah orang Kristian

3
kesudahannya menindas orang-orang yang membunuh diri, menghina
mayat-mayat mereka (dengan kekadangnya mengebumikan mayat mereka
di simpang jalan dengan sebatang pancang menembusi mayat mereka),
memfitnah mereka, serta menyeksa keluarga-keluarga mereka.
Pada abad ke-6, bunuh diri menjadi suatu dosa keagamaan serta
jenayah sekular dan pada tahun 533, sesiapa yang membunuh diri kerana
dituduh melakukan jenayah tidak dibenarkan upacara pengebumian Kristian
yang merupakan keperluan untuk naik ke syurga. Kemudian pada tahun 693,
sebarang percubaan untuk membunuh diri juga menjadi jenayah gereja yang
dihukum dengan pengucilan, diikuti oleh tindakan-tindakan sivil.
Banyak orang Kristian mempercayai tentang kesucian nyawa
manusia, suatu prinsip yang secara umum mengatakan bahwa semua nyawa
manusia adalah suci — suatu ciptaan Tuhan yang mengagumkan dan
sungguh mengajaibkan — dan setiap usaha harus diambil untuk
menyelamatkan dan mengekalkannya jika mungkin.
Tidaklah sehingga kira-kira seribu tahun selepas St. Augustine
bahawa orang-orang Kristian sekali lagi menyoal tentang bunuh diri.
Walaupun mereka masih mempercayai bahawa bunuh diri umumnya adalah
salah, orang-orang Kristian yang liberal berpendapat bahawa orang-orang
yang memilih untuk membunuh diri berasa terlalu sedih dan Tuhan Kristian
yang penuh dengan kasih sayang akan mengampunkan perbuatan mereka.

2. Katolisisme Modern
Dalam agama Katolisisme, kematian melalui bunuh diri dianggap
sebagai suatu dosa besar. Alasan utama Kristian adalah bahawa hayat
seseorang dimiliki Tuhan dan oleh itu, pemusnahan nyawa disamakan
dengan perbuatan untuk menguasai apa yang sebenarnya dipunyai Tuhan.
Bagaimanapun, alasan ini ditentang oleh David Hume yang berpendapat
bahawa jika membunuh ketika seorang masih semula jadinya hidup adalah

4
salah, ia haruslah salah juga untuk menyelamatkan nyawa seseorang yang
akan semula jadinya mati, kerana ini juga kelihatan menentang kehendak
Tuhan. Walaupun demikian, perbezaan antara pendapat-pendapat ini
mungkin dapat dirapatkan berdasarkan doktrin Katolik tentang cara-cara
luar biasa: Gereja Katolik mengajar bahawa tidak adanya sebarang
kewajipan moral bagi sesiapa memilih kaedah-kaedah luar biasa untuk
menyelamatkan orang-orang yang menghadapi kematian yang mungkin.
Perkara 2281 dalam Soal Jawab mengatakan:
2281: Bunuh diri menentang kecenderungan semula jadi manusia
untuk memelihara dan mengekalkan hidupnya. Ia menentang kasih sayang
kepada diri sendiri. Ia juga menyinggung kasih sayang jiran kerana ia
memutuskan pertalian perpaduan secara tidak adil dengan keluarga,
negara, dan masyarakat-masyarakat lain yang terus kita punyai kewajipan.
Bunuh diri adalah bertentangan dengan kasih sayang kepada Tuhan hidup.
Soal Jawab Gereja Katolik 1997 menunjukkan bahawa bunuh diri
mungkin tidak selalunya dilakukan dengan kesedaran yang penuh – dan oleh
itu tidak seratus peratus dianggap salah dari segi moral: "Gangguan psikologi
yang teruk, sesakan jiwa, atau ketakutan terhadap kesusahan, penderitaan,
atau penyeksaan, boleh mengurangkan kebertanggungjawapan seseorang
yang membunuh diri."
Konteks yang penting tentang pengutukan bunuh diri Gereja Katolik
ialah desakan mutlak Gereja terhadap kesucian hidup. Adalah dari segi ini,
dan memandangkan bahawa perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang
berfikir selepas pertimbangan jelas bahawa Gereja menganggap bunuh diri
sebagai salah satu daripada dosa yang paling besar dan dengan itu
mengakibatkan risiko penglaknatan abadi.
Seriusnya pendirian Gereja terdiri daripada dua alasan:
1. Bunuh diri ialah penolakan kasih sayang Tuhan kepada manusia, dan
kasih sayang manusia kepada Tuhan.

5
2. Bunuh diri mengakibatkan perpecahan komuniti-komuniti kawan, orang-
orang yang disayangi, dan masyarakat umumnya.

3. Agama Protestan Modern


Orang-orang Kristian Konservatif (mazhab-mazhab Evangelisme,
Karismatik, dan Pentekostalisme) sering memperdebatkan bahawa oleh
sebab bunuh diri melibatkan pembunuhan, jadi sesiapa yang melakukannya
akan turun ke neraka. Beberapa tokoh Bible telah membunuh diri, dengan
yang paling terkenal ialah Judas Iscariot yang menggantung diri selepas
mengkhianati Christ. Sedangkan bunuh diri diperlakukan dengan cara yang
negatif dalam kitab Bible, tidak adanya sebarang ayat yang tersurat di
dalamnya yang mengatakan secara langsung bahawa bunuh diri akan
mengakibatkan nerhaka. Oleh itu, terdapat kepercayaan yang semakin
bertumbuh bahawa orang-orang Kristian yang membunuh diri masih akan
diberikan Syurga.
Walau bagaimanapun, walaupun orang-orang Kristian masih
mempercayai bahawa bunuh diri adalah salah pada umumnya, mereka
masih menganggap bahawa orang-orang membunuh diri hanya kerana
mereka berasa terlalu sedih dan oleh itu, mempercayai bahawa Tuhan
Kristian yang penuh dengan kasih sayang akan mengampunkan perbuatan
mereka itu.

4. Agama Yahudi
Agama Yahudi, secara tradisi dan berdasarkan penekanannya
terhadap kesucian nyawa, memandangkan bunuh diri sebagai salah satu
dosa yang paling serius. Bunuh diri sentiasa dilarang oleh undang-undang
Yahudi dan tidak mempunyai sebarang kecualian. Ia tidak diperlihatkan
sebagai satu pilihan yang dapat diterima walau jika keadaannya memaksa
seseorang melakukan kesalahan besar yang jalan keluar tunggal ialah untuk

6
membunuh diri bagi mengelakkan perbuatan tersebut. Membantu dalam
bunuh diri dan meminta bantuan tersebut (dan dengan itu, mencipta
subahat untuk perbuatan dosa) juga dilarang, dan merupakan pencabulan
Leviticus 19:14, "Jangan kamu meletakkan kesentuhan di hadapan orang
buta." Rabai-rabai Yahudi mentafsirkan ayat ini sebagai melarang sebarang
jenis halangan terhadap ajaran yang betul seperti memujuk orang lain
mempercayai doktrin yang palsu (dari segi teologi), dan memberi nasihat
kewangan yang buruk (dari segi ekonomi) atau dalam kes ini, halangan
terhadap kesusilaan dan jasmani (sila lihat Talmud Bavli (B.) Pesah.im 22b; B.
Mo'ed Katan 5a, 17a; B. Bava Mezia 75b. and B. Nedarim 42b).
Larangan terhadap bunuh diri tidak tersurat dalam Talmud. Karya
Semahot (Evel Rabbati) 2:1–5 yang ditulis selepas kitab Talmud bertindak
sebagai asas untuk kebanyakan undang-undang Yahudi tentang bunuh diri,
bersama-sama Genesis Rabbah 34:13 yang berdasarkan larangannya pada
Genesis 9:5: "Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan
menuntut." (Cf. Undang-undang mengenai pembunuhan M.T. 2:3; karya
Talmud Babylonia, Undang-undang Mahkamah (Sanhedrin) 18:6; S.A. Yoreh
De'ah (Kod Undang-undang Yahudi) 345:1ff)
Menurut falsafah Chassidisme Yahudi, sesuatu roh turun ke dunia ini
untuk melakukan misinya yang tidak dapat dilaksanakan di "dunia-dunia
rohaniah". Ini ialah tafsiran mereka untuk kenyataan Talmud: "Satu saat di
Dunia Yang Akan Datang (yang bermaksud kedua-dua hidup selepas mati
serta dunia Zaman Messiah) adalah lebih seronok daripada seluruh hayat di
dunia ini. Tetapi satu perbuatan yang baik di dunia ini adalah lebih penting
daripada seluruh kehidupan abadi di Dunia Yang Akan Datang" (Etika Bapa
Kita, Mishna). Menurut mazhab Chassidisme Chabad, walaupun makhluk-
makhluk rohani (para roh dan malaikat yang tinggal di dunia-dunia rohaniah)
tahu akan kewujudan Tuhan, mereka tidak dapat mencapai IntipatiNya.
Semasa mematuhi Rukun-rukun Torah, tubuh dan roh seseorang mencapai

7
Intipati Tuhan (kerana Torah mewakili kehendak Tuhan yang secocok dengan
intipatiNya) dan menyucikan kedua-dua tubuh dan roh seseorang, serta juga
dunia fizikal ini. Penyucian dunia fizikal melalui pelaksanaan Rukun-rukun
akhirnya akan mewujudkan Zaman Messiah yang merupakan matlamat dan
tujuan Penciptaan. Oleh itu, kehidupan di dalam dunia fizikal memberi roh
seseorang suatu peluang yang unik dan sesiapa yang tidak memanfaatkan
diri dengan peluang ini dianggap sebagai telah melakukan suatu dosa yang
paling besar.
Jawatankuasa Undang-undang dan Piawai Yahudi, badan
cendekiawan undang-undang Yahudi dalam mazhab Agama Yahudi
Konservatif, telah menerbitkan sebuah teshuva tentang bunuh diri serta
bunuh diri dibantu di dalam terbitannya, Agama Yahudi Konservatif, Jilid L,
No. 4, pada musim panas 1998. Ia menegaskan larangan dan menumpukan
perhatian kepada arah aliran orang-orang Amerika Syarikat dan Eropah yang
semakin bertumbuh untuk mencari bantuan bagi membunuh diri. Teshuva
memerhatikan bahawa sedangkan banyak orang jatuh sakit, seringnya
dengan penyakit-penyakit yang membawa maut, kebanyakan mereka tidak
cuba membunuh diri. Jawatankuasa itu mempercayai bahawa kita
diwajibkan menentukan sebab-sebab mengapa sesetengah orang mencari
bantuan untuk membunuh diri supaya dapat memperbaiki keadaan-keadaan
tersebut.
Kesimpulan agama Yahudi Konservatif adalah seperti yang berikut:
"... mereka yang membunuh diri dan mereka yang membantu orang-orang
lain berbuat demikian bertindak atas berbagai-bagai niat. Sesetengah alasan
adalah tidak mulia dan melibatkan umpamanya, keinginan anak-anak untuk
melihat ibu atau bapa mereka mati dengan segera supaya tidak
menghabiskan harta pusaka secara boros untuk penjagaan kesihatan yang
'sia-sia', atau keinginan syarikat-syarikat insuran untuk mengurangkan

8
dengan sebanyak yang mungkin pembelanjaan wang ke atas pesakit-pesakit
yang tidak dapat dirawat."
Kertas kerja itu mengatakan bahawa respons yang wajar untuk sakit
bukannya bunuh diri, tetapi kawalan sakit yang lebih baik atau pemberian
lebih banyak ubat sakit. Kertas itu menegaskan bahawa banyak doktor
senjaga mengekalkan pesakit-pesakit dalam keadaan sakit dengan enggan
memberikan ubat sakit yang mencukupi atas berbagai-bagai alasan; ada
yang berbuat demikian kerana kejahilan, ada yang hendak mengelakkan
ketagihan drug yang mungkin, dan yang lain atas sikap ketabahan yang
salah. Agama Yahudi Konservatif berpendapat bahawa bentuk-bentuk
pemikiran seumpama ini adalah "aneh" dan kejam dan dengan adanya ubat-
ubat masa kini, tidak terdapat sebarang alasan yang munasabah bagi sesiapa
untuk menderita seksa yang tidak henti-henti.
Kertas kerja itu kemudian menyelidikkan punca psikologi terhadap
rasa putus asa setengah pesakit dan menegaskan:
"Pakar-pakar perubatan dan orang-orang lain yang diminta untuk membantu
dalam penamatan hayat harus menyedari bahawa orang-orang yang berfikir-
fikir hendak membunuh diri seringnya hidup sendirian tanpa sesiapa yang
menunjukkan sebarang minat terhadap kewujudan mereka yang berterusan.
Daripada membantu pesakit dalam bunuh diri, respons yang wajar untuk
keadaan-keadaan sebegini adalah untuk memberi pesakit itu sekumpulan
orang yang menegaskan secara jelas dan berulang kali minat mereka
terhadap kewujudan berterusan pesakit tersebut... Permintaan-permintaan
untuk mati harus dinilai dari segi tahap sokongan sosial yang diterima oleh
pesakit kerana permintaan-permintaan sebegini seringnya ditarik balik oleh
pesakit sebaik sahaja ada orang yang menunjukkan minat akan
kewujudannya. Dalam zaman individualisme serta rumah-rumah tangga
yang berpecah belah dan berselerak, dan di persekitaran antiseptik hospital-
hospital yang orang-orang hampir mati mendapati diri ditinggalkan, rukun

9
mitzvah untuk melawat pesakit-pesakit (bikkur Holim) menjadi lebih penting
bagi mengekalkan keinginan pesakit untuk terus hidup."

5. Buddhisme
Menurut agama Buddha, perbuatan-perbuatan seseorang pada hayat
terdahulu mempunyai pengaruh yang kuat ke atas apa yang dialaminya pada
hayat kini; perbuatan-perbuatan kini pula mempengaruhi pengalaman-
pengalaman masa depan, menurut doktrin karma. Perbuatan sengaja akal,
badan, atau pertuturam menghasilkan reaksi. Reaksi atau akibat ialah sebab
untuk keadaan dan perbezaan yang kita alami di dalam dunia.
Agama Buddha mengajar bahawa semua orang mengalami banyak
kederitaan (dukkha) yang berasal terutamanya daripada perbuatan-
perbuatan negatif dahulu, atau hanya kerana kita masih di dalam samsara,
iaitu kitaran kelahiran dan kematian. Lagi satu alasan untuk kederitaan yang
dialami manusia ialah ketakkekalan dan ilusi (maya). Oleh sebab setiap
benda atau perkara sentiasa dalam keadaan ketakkekalan atau fluks,
manusia mengalami ketakpuasan hati terhadap peristiwa-peristiwa yang tak
tetap dan cepat berlalu dalam kehidupan. Untuk melepaskan diri daripada
samsara, seseorang hanya harus menyedari sifat benarnya melalui makrifat
detik kini; ini ialah Nirwana.
Bagi penganut-penganut agama Buddha, ajaran pertama ialah untuk
menahan diri daripada tidak memusnahkan nyawa, termasuk nyawa sendiri.
Bunuh diri dianggap sebagai suatu bentuk tindakan yang negatif. Walaupun
pandangan demikian, suatu ideologi kuno Asia yang serupa dengan seppuku
(hara-kiri) terus mempengaruhi penganut-penganut agama Buddha yang
tertindas supaya memilih bunuh diri maruah.

10
6. Hinduisme
Dalam Hinduisme, membunuh diri dianggap sebagai sama sahaja
dosanya dengan membunuh orang lain. Kitab-kitab umumnya mengatakan
bahwa kematian melalui bunuh diri (dan sebarang kematian ganas)
mengakibatkan seseorang menjadi hantu. Bagaimanapun, agama Hindu
menganggap bahawa membunuh diri melalui puasa di bawah berbagai-bagai
keadaan yang tertentu dapat diterima. Amalan ini yang dikenali sebagai
Sallekhana memerlukan terlalu banyak masa dan daya fikiran sehingga
tindakan tersebut tidak lagi merupakan suatu tindakan mengikut gerak hati.
Amalan tersebut juga memberikan masa untuk seseorang menyelesaikan
semua urusan duniawinya, berfikir-fikir tentang kehidupan, serta mendekati
diri dengan Tuhan.

7. Islam
Islam, serupa dengan agama-agama Nabi Ibrahim yang lain,
memperlihatkan bunuh diri sebagai suatu dosa yang amat menjejaskan
perjalanan rohaniah seseorang. Bagi mereka yang dahulu percaya, tetapi
akhirnya menolak kepercayaan mereka kepada Allah, hakikatnya kelihatan
jelas negatif.
Sepatah ayat dalam bab keempat Al-Quran, An-Nisaa berkata: "Dan
janganlah kamu bunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu." (4:29) Larangan terhadap bunuh diri juga dicatat dalam
kenyataan-kenyataan hadis yang tulen. Umpamanya, "Orang yang mencekik
dirinya sendiri hingga mati akan mencekiknya juga dalam neraka, dan orang
yang menikam dirinya juga akan menikam dirinya di dalam neraka dan orang
yang melemparkan dirinya dari tempat tinggi untuk membunuh diri, maka
akan selalu dia melemparkan dirinya di dalam neraka

11
BAB III
EUTHANASIA

A. Euthanasia
Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan
kematian ke dalam tiga jenis, yaitu:
1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses alamiah.
2. Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar.
3. Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak
dengan pertolongan dokter.
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus,
terhormat atau gracefully and with dignity, dan thanatos yang berarti mati. Jadi
secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Jadi
sebenarnya secara harafiah, euthanasia tidak bisa diartikan sebagai suatu
pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang. Menurut Philo (50-20
SM) euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis penulis
Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceasarum mengatakan bahwa
euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita’(dikutip dari 5). Sejak abad 19
terminologi euthanasia dipakai untuk penghindaran rasa sakit dan peringanan
pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan
dokter.
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti,
yaitu:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan,
buat yang beriman dengan nama Allah di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan
memberikan obat penenang.

12
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
B. Dari Pengertian Pengertian di Atas Maka Euthanasia Mengandung Unsur
Unsur Sebagai Berikut:
1. Berbuat sesuatu atau tidfak berbuat sesuatu.
2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang
hidup pasien
3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan.
4. Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya.
5. Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.
Dari berbagai penggolongan euthanasia, yang paling praktis dan mudah
dimengerti adalah:
a. Euthanasia pasif, di mana tenaga medis tidak lagi memberikan atau
melanjutkan bantuan medik.
b. Euthanasia aktif, baik secara langsung maupun tidak langsung, di mana
dokter dengan sengaja melakukan tindakan untuk mengakhiri hidup
pasien.

C. Beberapa Aspek Euthanasia


1. Aspek Hukum
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari
dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan
dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja
menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter
selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa
melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli
apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau
keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan
sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui

13
pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi
seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan
bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita
tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang
terdapat dalam KUHP Pidana.
2. Aspek Hak Asasi
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan
sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang
untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak
asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang
cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya
dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak
langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai
untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas
lagi dari segala penderitaan yang hebat.
3. Aspek Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan
keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau
pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir
tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun
pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan
haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang
dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu
kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan,
keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.
4. Aspek Agama
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada
seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau
memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama

14
secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter
bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan
yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia,
walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam
keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak
berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada
seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan
tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan
pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan
memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis
bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan
berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di
tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang
berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai
upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya
medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan.
Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal
hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang
ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung
pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang
cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk
menopangnya.

D. Batas-batas Tanggung Jawab Ilmuwan dan Praktisi Ilmu


Mengapa manusia harus berilmu karena manusia pada dasarnya ingin
mewujudkan “makna” hidupnya baik yang menyangkut material, imaterial
maupun suasana batinnya, karena segala macam upaya dilakukan untuk
mendapatkan ilmu.

15
Ilmu yang oleh banyak orang dikatakan bebas nilai, seringkali harus
berhadapan dengan kenyataan hidup dalam konteks relasi sosial. Karenanya
kemudian timbul istilah etika ilmu pengetahuan, walaupun etika itu sendiri tidak
termasuk dalam kawasan ilmu. Hal-hal seperti ini akan sangat jelas terasa pada
ilmu-ilmu yang secara langsung dan segera berhubungan dengan kebutuhan
manusia, seperti ilmu biologi, kedokteran dan lainnya yang dekat dengan
kebutuhan “primer” manusia.
Menghadapi realita semacam itu maka sangat terasa untuk memasukkan
dimensi etis dalam pengembangan ilmu maupun penerapan ilmu dalam
kehidupan keseharian. Sebagai contoh teknologi transgenik, cloning merupakan
isu yang banyak menyita perhatian umat manusia karena menyangkut secara
langsung kehidupannya. Ketika ditemukan teknologi operasi plastik untuk
merubah bentuk bagian-bagian tubuh serta teknologi sejenisnya, perdebatan
diantara pihak yang pro maupun kontra nampak nyata terletak pada perdebatan
dimensi etika dan bukan pada ilmu/teknologinya itu sendiri. Hal ini
menunjukkan bahwa dimensi etika tidak dapat dipisahkan dengan ilmu itu
sendiri. Walaupun dilain pihak ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dan
tidak perlu dicegah perkembangannya. Apalagi ilmu yang menyangkut langsung
kepada keputusan tentang hidup matinya manusia yaitu Euthanasia dapat
dipastikan menjadi bahan perdebatan yang tidak saja menyangkut dimensi etis,
tetapi telah melibatkan dimensi-dimensi lain yang masing-masing memiliki
standar/ukuran kebenaran.
Bila kembali pada kebenaran yang menjadi pijakan dalam pengembangan
ilmu, serta realitas adanya berbagai macam ilmu, maka setiap ilmu harus dinilai
dengan standarnya sendiri. Selanjutnya dalam rangka situasi sosial yang ada
maka penilaian tersebut akan dengan sendirinya bersifat relatif.
Dalam euthanasia, setidaknya terdapat empat macam ilmu yang terlibat
didalamnya yaitu hukum, hak asasi, biologi/kedokteran dan agama, yang pasti
masing-masing memiliki standar kebenaran yang berbeda. Pertanyaannya tentu

16
bagaimana proses keputusan euthanasia harus diambil untuk dapat
dilaksanakan tanpa melanggar kebenaran masing-masing, untuk itu tidak ada
jalan lain, selain mengikuti kebenaran relatif.
Etika, sering lebih terasa digunakan sebagai pijakan oleh praktisi ilmu,
dibanding pihak yang mengembangkan ilmu itu sendiri. Profesi-profesi seperti
ahli hukum, dokter dan sebagainya merupakan praktisi ilmu yang sering dituntut
secara kuat etikanya dalam menerapkan ilmunya. Pertanyaannya adalah etika
yang mana yang harus digunakan oleh seorang praktisi ilmu. Lebih lanjut apabila
beberapa ilmu harus berperan secara bersama-sama, maka etika yang harus
digunakan tentu diutamakan etika yang berlaku bagi masyarakat pengguna ilmu
tersebut.
Ilmu yang seharusnya menjadikan hidup lebih mudah, lebih nikmat, lebih
efisien dan sebagainya, seringkali justru membelenggu hakekat sebagai manusia,
bahkan dapat secara nyata menghancurkan kehidupan. Kekecewaan Einstein
terhadap penggunaan hukum fisika modern dalam kasus Hiroshima ; kemajuan
teknologi industri di satu pihak dan polusi yang ditimbulkannya merupakan
contoh bahwa kemajuan ilmu memiliki dua sisi yang saling kontradiktif.
Demikian pula penemuan-penemuan dibidang kedokteran seringkali sangat
mudah dilihat sisi positif dan negatifnya, seperti penggunaan bahan dalam
anestesi, teknik-teknik pembedahan, fertilitas, euthanasia dan sebagainya.
Kenyataan tersebut menunjukkan semakin jelas bahwa ilmu bersifat bebas nilai.
Disinilah pentingnya norma dan etika dalam penggunaan ilmu, yang hendaknya
menjadi konsensus bagi umat manusia. Klaim-klaim hukum terhadap tindakan
dokter dalam euthanasia merupakan bentuk lain dari sisi negatif dalam
penerapan ilmu, yang terkadang sama sekali tidak terbayangkan oleh dokter
yang bersangkutan.
Jadi perkembangan ilmu yang kemudian diujudkan dalam tindakan
berkembang dalam kebudayaan manusia serta sekaligus mempengaruhi
kebudayaan manusia melalui dua sisi tersebut, pada gilirannya tentu dapat

17
berupa manfaat dan atau bencana. Demikian pula euthanasia dapat hadir
diantara manfaat dan bencana

18
BAB IV
PENUTUP

Membunuh bisa dilakukan secara legal. Itulah euthanasia, pembuhuhan


legal yang sampai kini masih jadi kontroversi. Pembunuhan legal ini pun ada
beragam jenisnya.
Secara umum, kematian adalah suatu topik yang sangat ditakuti oleh
publik. Hal demikian tidak terjadi di dalam dunia kedokteran atau kesehatan.
Dalam konteks kesehatan modern, kematian tidaklah selalu menjadi sesuatu
yang datang secara tiba-tiba. Kematian dapat dilegalisir menjadi sesuatu yang
definit dan dapat dipastikan tanggal kejadiannya. Bunuh diri dan euthanasia
memungkinkan hal tersebut terjadi.
Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara
tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan
untuk meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya.
Ada empat metode euthanasia:
Euthanasia sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara sadar
menginginkan kematian.
Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu untuk
menyetujui karena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental. Sebagai
contoh dari kasus ini adalah menghentikan bantuan makanan dan minuman
untuk pasien yang berada di dalam keadaan vegetatif (koma).
Euthanasia tidak sukarela: ini terjadi ketika pasien yang sedang sekarat dapat
ditanyakan persetujuan, namun hal ini tidak dilakukan. Kasus serupa dapat
terjadi ketika permintaan untuk melanjutkan perawatan ditolak.
Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk
euthanasia. Hal ini terjadi ketika seorang individu diberikan informasi dan
wacana untuk membunuh dirinya sendiri. Pihak ketiga dapat dilibatkan,
namun tidak harus hadir dalam aksi bunuh diri tersebut. Jika dokter terlibat

19
dalam euthanasia tipe ini, biasanya disebut sebagai ‘bunuh diri atas
pertolongan dokter’. Di Amerika Serikat, kasus ini pernah dilakukan oleh dr.
Jack Kevorkian.
Kesimpulan:
1. Euthanasia belum mempunyai kesamaan sudut pandang antara hak azasi
manusia, hukum, ilmu pengetahuan dan agama.
2. Euthanasia tidak bisa dipandang hanya dari satu sudut pandang saja.
3. Euthanasia tidak bisa disamakan dengan pembunuhan berencana.
4. Euthanasia bisa merupakan kebenaran pada salah satu aspek, tetapi
belum tentu merupakan kebenaran, bahkan pelanggaran kebenaran
pada aspek lainnya.

20
DAFTAR PUSTAKA

http://www.kapanlagi.com
http://id.wikipedia.org
http://www.sinarharapan.co.id
http://ms.wikipedia.org
http://netsains.com
http://id.wikipedia.org
http://tumoutou.net

21

You might also like