You are on page 1of 2

Monday, 11 January 2010 Para pejabat medis di Korea Selatan mengatakan, wanita umur 77 tahun yang mengalami mati

otak, telah meninggal dunia, setelah lebih dari 200 hari ditanggalkan dari alat bantu hidup. Ini adalah kasus pertama euthanasia secara hukum. Tim dokter di RS Severance di Seoul mengatakan, wanita yang hanya dipanggil Kim itu, dinyatakan tutup usia Ahad sore, 202 hari setelah sebuah perintah pengadilan memaksa para dokter untuk mencabutnya dari respirator. Dia terus bernafas sendiri sejak bulan Juni tahun lalu, dan terus menerima nutrisi. Mahkamah Agung Korea Selatan Juni lalu menegakkan keputusan peradilan lebih rendah, yang membenarkan tim dokter menanggalkan alat bantu hidup bagi seorang pasien yang berada dalam keadaan koma permanen. Menurut peradilan, perawatan medis terus-menerus terhadap pasien seperti Kim berpotensi merusak harga dirinya sebagai manusia./VOA

Inmaculada Echevarria, 51 tahun, yang tinggal di Andalusia- Spanyol berhasil memenangkan haknya untuk melakukan euthanasia. Inmaculada sejak masih anak-anak menderita dystrophy otot, kelumpuhan otot yang bersifat progresif. Semakin hari, ia semakin lemah sehingga menjadi tergantung pada alat bantu pernapasan.

Akhir November 2006, Inmaculada meminta izin untuk memilih mati dengan kematian yang bermartabat dan tidak menyakitkan serta mendeskripsikan bahwa hidupnya kosong. "Saya tak bisa menjalani hidup seperti ini, terus bergantung pada orang lain. Saya menginginkan suntikan untuk menghentikan jantung saya," ujarnya. Permintaan tersebut berdasarkan ketentuan hukum tentang hak pasien di Spanyol yang mengizinkan orang yang sakit untuk menolak pengobatan. Setelah permintaan tersebut dipenuhi oleh Komisi Konsultatif Andalusia, otoritas regional pemerintah daerah Andalusia menjamin akan menjalankan permintaan Inmaculada untuk mematikan alat bantu pernafasan yang selama ini membuatnya tetap hidup.

Sebuah asosiasi di Spanyol, Right to Die, menyambut baik keputusan itu dan menyebutnya sebagai keputusan yang "berani". Mereka berharap hal itu bisa menjadi teladan. Aurora Bau, anggota asosiasi tersebut mengatakan, "Kami telah menemukan kasus tentang penghentian penggunaan respirator pada pasien. Tapi ini adalah kali pertama dimana seseorang ingin keluar dari situasi itu dan menuntut haknya." Sementara Gereja dengan tegas menolak gerakan itu dan Uskup Besar Seville Carlos Amigos menyatakan bahwa dia menentang segala bentuk keputusan untuk mematikan, baik yang dilegalkan atau tidak.

Dalam bahasa Yunani, Eu artinya baik, sedangkan thanatos berarti mati atau meninggal. Pada

perkembangan selanjutnya, euthanasia diartikan sebagai tindakan mengakhiri hidup karena belas kasihan (mercy killing) dan membiarkan seseorang untuk mati (mercy death). Kasus euthanasia yang terkenal di Indonesia adalah kasus Ny Agian Isna Nauli Siregar.

Masih ingat Ny Agian yang karena lama tidak sadarkan diri dari sakitnya membuat sang suami minta agar RS menyuntik mati saja (euthanasia), tapi ditolak? Menurut dr Marius Widjajarta, apa yang dilakukan RS terhadap Ny Agian sudah masuk kategori euthanasia pasif. "Sebenarnya pihak RS sudah melaksanakan euthanasia pasif. Kalau orang yang tidak punya uang dan membuat suatu pernyataan tidak mau dirawat, itu sudah merupakan euthanasia pasif meskipun euthanasia dapat diancam hingga 12 tahun penjara," kata Marius dari Yayasan Konsumen Kesehatan Indonesia menjawab pertanyaan wartawan. Seperti diketahui, Ny Agian Isna Nauli (33) hingga kini dirawat di bagian stroke RSCM, Jakarta, setelah berbulan-bulan tidak sadarkan diri pasca melahirkan. Karena ketiadaan ongkos, suaminya (Hassan Kusuma) meminta RSCM menyuntik mati istrinya karena dirasa tidak ada harapan hidup normal kembali. Tapi RSCM menolak menyuntik mati Agian karena secara kedokteran tidak bisa dikatakan koma meskipun dia tidak bisa melakukan kontak. Dalam istilah kedokteran, pasien mengalami gangguan komplikasi, digolongkan sebagai stroke, sehingga tidak ada alasan untuk euthanasia. Selain itu, di Indonesia, euthanasia tidak dibenarkan dalam etika dokter juga dalam hukum "Jadi saya rasa, kalau pembiayaan kesehatan sudah ditanggung negara dengan disahkannya UU Sistem Jaminan Sosial, maka saya rasa kasus-kasus euthanasia tidak terulang lagi," sambung dr Marius. Bagaimana dengan permintaan euthanasia bukan alasan biaya, tapi karena tidak punya harapan hidup? "Karena itulah saya sudah menganjurkan pada pemerintah, profesi, ahli hukum, dan agama, kalau euthaniasi diatur lagi sesuai peraturan. Jangan seperti sekarang, boleh atau tidak boleh. Tetapi, harus ada jalan keluarnya bahwa pasien mempunyai hak untuk memilih," demikian dr Marius

You might also like