You are on page 1of 40

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Kehidupan modern dewasa ini semakin membutuhkan SDM yang profesional sesuai dengan bidangnya masing-masing. Pada zaman modern sekarang ini kehidupan seseorang tidak mungkin akan aman, damai dan sejahtera kalau tidak memiliki suatu profesi tertentu yang mampu memberikan penghasilan yang dapat diandalkan menunjang kehidupan sehari-hari. Mengeksistensikan suatu profesi pada zaman modern sekarang ini semakin tidak mudah. Desa pakraman sesuai dengan bunyi Pustaka Mpu Kuturan itu seyogianya mengembangkan pembinaan SDM di tingkat desa pakraman melalui pendidikan nonformal dengan bersinergi dengan lembaga pendidikan formal. Dewasa ini di setiap desa pakraman sesungguhnya sudah banyak SDM yang memiliki suatu profesi tertentu. Mereka-mereka ini juga dapat didayagunakan oleh desa pakraman untuk membangkitkan potensi yang masih terpendam di setiap banjar. Persaingan zaman modern ini membutuhkan daya tahan moral dan mental yang semakin luhur dan tangguh dalam menghadapi dinamika zaman. Keberadaan Pura Kahyangan Tiga sebagai sarana sakral dewasa ini semakin dibutuhkan untuk menguatkan daya spiritualitas umat sebagai dasar penguatan moral dan mental menghadapi persaingan hidup zaman modern. Pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti untuk menguatkan dan meningkatkan daya kreativitas umat untuk menciptakan, memelihara dan meniadakan sesuatu yang perlu diciptakan, dipelihara dan ditiadakan. Pada masyarakat yang masih agraris sederhana dahulu umat mungkin tidak seperti sekarang kuantitasnya memuja Tuhan di Pura Kahyangan Tiga. Tantangan hidup pada masyarakat agraris dahulu tingkatannya tidak seberat sekarang. Karena itu memuja Tuhan di Pura Kahyangan Tiga tidak saja dilihat dari kuantitasnya tetapi perlu ditingkatkan kualitasnya. Fasilitas di setiap Pura Kahyangan Tiga perlu ditingkatkan agar mampu menampung berbagai pelaksanaan program dalam memajukan anggota krama menjadi SDM yang berkualitas.

[Type the company name] |Pura Desa Adat Buduk Kecamatan Mengwi

Ajaran Tri Guna sebagai salah satu konsep membangun moral dan mental SDM. Keberadaan Pura Kahyangan Tiga di Bali umumnya sudah mengandung arti untuk mengembangkan unsur-unsur Tri Guna dalam membangun sifat dan bakat umat. Pada umumnya Pura Desa dan Pura Puseh dibangun dalam suatu areal atau mandala yang sama. Sedangkan Pura Dalem dibangun dalam suatu areal atau mandala tersendiri. Umumnya dekat dengan kuburan. keberadaan Pura Dalem untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Siwa Rudra. Pemujaan Tuhan di Pura Dalem diarahkan untuk menguatkan kemampuan untuk mengendalikan sifat-sifat tamah agar tidak eksis membuat manusia malas, bebal tetapi rakus. Sifat rajah dapat dibina membuat manusia malas untuk berbuat yang adharma. Dengan malas berbuat adharma sifat tamas menjadi positif.

1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut: 1.2.1 1.2.2 1.2.3 Bagaimana perkembangan konsep Kahyangan Tiga di Bali? Bagaimana perwujudan Tri Hita Karana dari suatu desa? Bagaimana awal berdiri dan dibangunnya Pura Desa Buduk, kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung? 1.2.4 buduk ? 1.3. Tujuan 1.3.1. Tujuan Umum Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk memperdalam pengetahuan tentang konsep Kahyangan Tiga, terutama Pura Dalem di Desa Adat Buduk. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui perkembangan konsep Kahyangan Tiga di Bali. 2. Untuk mengetahui perkembangan Pura Dalem di Desa Buduk. Bagaimana hubungan konsep Kahyangan Tiga dengan desa adat

[Type the company name] |Pura Desa Adat Buduk Kecamatan Mengwi

3. Untuk mengetahui nama bangunan pelinggih serta fungsinya di Pura Dalem di Desa Buduk.

1.4. Manfaat Adapun manfaat dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut: 1.4.1. Manfaat bagi Mahasiswa Adapun manfaat bagi mahasiswa dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Sebagai suatu sarana edukasi dan media sosialisasi efektif terkait dengan keberadaan Pura Kahyangan Tiga di Bali. 2. Sebagai suatu acuan dalam mengetahui perkembangan Pura Dalem di Desa Buduk. 3. Sebagai sarana perwujudan kesadaran mahasiswa akan dampak buruk yang terjadi akibat dari tidak memerhatikan Pura Kahyangan Tiga.

1.4.2. Manfaat bagi Masyarakat Adapun manfaat bagi masyarakat dalam penyusunan makalh ini adalah sebagai berikut: 1. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat akan pengertian tentang Pura Dalem. 2. Sebagai suatu indicator untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk ikut serta dalam menjaga Pura Dalem. 3. Sebagai kaedah komplementer untuk melengkapi dan

menyempurnakan nilai-nilai masyarakat terkait dengan keberadaan Pura Dalem.

1.5.Metode Penulisan Metodelogi penelitian yang digunakan dalam pencarian data makalah ini adalah : 1.1.1 Metode Observasi

[Type the company name] |Pura Desa Adat Buduk Kecamatan Mengwi

Melakukan observasi sebagai langkah awal penelitian makalah, yang dilakukan di Pura Desa Buduk, kecamatan Mengwi, kabupaten Badung secara berkelompok. 1.1.2 Metode Wawancara Melakukan wawancara dengan bendesa adat serta pemangku Pura Desa Buduk. 1.1.3 Metode Literatur/Pustaka Mengambil beberapa teori dari kajian pustaka yang memiliki sangkut paut dengan isi makalah, sebagai dasar pembanding kebenaran antara teori dan fakta di lapangan.

1.6. Ruang Lingkup Adapun ruang lingkup dalam penyusunan makalah ini adalah kajian tentang upaya dalam mengetahui konsep Kahyangan Tiga, khususnya Pura Dalem di Desa adat Buduk. Secara spesifik, kajian-kajian tersebut meliputi perkembangan konsep Kahyangan tiga, perkembangan Pura Dalem di Desa Buduk dan fungsi dari Pura Dalem Tersebut.

[Type the company name] |Pura Desa Adat Buduk Kecamatan Mengwi

BAB II LANDASAN TEORI

2.1. Konsep Kahyangan Tiga Yang mengajarkan pendirian Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman adalah Mpu Kuturan kira-kira pada abad ke-11. Pada abad tersebut yang menjadi raja di Bali adalah Raja Udayana yang didampingi oleh permaisurinya dari Jawa bernama Mahendradatta dengan gelar Gunapriya Dharma Patni. Gagasan Mpu Kuturan mendirikan Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman itu diperkirakan muncul saat ada pesamuan besar di Pura Samuan Tiga sekarang yang terletak di Desa Bedulu Kabupaten Gianyar. Ada berbagai pendapat tentang pesamuan agung tersebut. Ada yang menyatakan bahwa pesamuan di Samuan Tiga itu untuk menyatukan sekte-sekte Hindu yang pecah belah pada saat itu. Tetapi banyak guru besar arkeologi yang menyatakan tidak menjumpai bukti-bukti yang mengandung nilai sejarah yang menyatakan bahwa zaman tersebut sekte-sekte Hindu yang ada pecah belah. Raja Udayana dan permaisurinya saja saat itu beda sekte keagamaannya. Raja Udayana menganut Buddha Mahayana, sedangkan permaisurinya menganut sekte Siwa Pasupata. Pesamuan tersebut nampaknya untuk menetapkan kebijaksanaan dalam meningkatkan daya spiritual masyarakat Bali untuk membangun kehidupan yang sejahtera lahir batin. Karena pendirian Kahyang Tiga di setiap desa pakraman itu untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Tri Murti sebagaimana dinyatakan dalam Pustaka Bhuana Kosa III. 76. Tuhanlah yang menciptakan (utpati), melindungi (sthiti) dan

mempralayakan (pralaya atau pralina) semua ciptaan-Nya. Kemahakuasaan Tuhan untuk melakukan Utpati, Sthiti dan Pralina ini disebut Tri Kona (dengan lambang Lukisan Segi Tiga, lambang siclus Utpati, Sthiti, Pralina). Dengan pemujaan Tuhan Siwa sebagai Tri Murti mengandung dua konsep pembinaan kehidupan spiritual, yaitu konsep Tri Kona dan Tri Guna.

[Type the company name] |Pura Desa Adat Buduk Kecamatan Mengwi

Dalam Bhagawata Purana dinyatakan ada tiga kelompok Maha Purana. Ada Satvika Purana dengan Ista Dewatanya Dewa Wisnu. Ada Rajasika Purana dengan Dewa Brahma sebagai Ista Dewatanya dan ada Tamasika Purana dengan Dewa Siwa sebagai Ista Dewatanya. Dengan demikian Tri Murti menurut Bhagawata Purana adalah Brahma, Wisnu dan Siwa sebagai Guna Awatara. Artinya Tuhan-lah yang menjadi sumber pengendali tertinggi tiga dasar sifat manusia yang disebut Tri Guna itu. Pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti di setiap desa pakraman di Bali sebagai media sakral untuk menerapkan konsep untuk menguatkan kehidupan spiritual. Penguatan kehidupan spiritual melalui penguatan sistem pemujaan pada Tuhan, agar umat hidupnya terarah dalam mengarungi dinamika kehidupan di dunia ini. Untuk mewujudkan empat tujuan hidup mencapai Dharma, Artha, Kama dan Moksha minimal ada dua konsep hidup yang harus dijadikan pegangan untuk mengarahkan dinamika hidup di tingkat desa pakraman. Dua konsep itu adalah Tri Kona dan Tri Guna. Dua konsep spiritual tersebut akan membina kehidupan di desa pakraman untuk menuntun umat mewujudkan empat tujuan hidup tersebut sesuai dengan tahapan hidup yang disebut Catur Asrama. Tri Kona sebagai kemahakuasaan Tuhan dijadikan sumber tuntunan tertinggi dalam melakukan tiga dinamika hidup tersebut. Artinya manusia hendaknya menjadikan konsep Tri Kona itu sebagai guide line dalam berperilaku mencipta (utpati), memelihara (sthiti) dan meniadakan (pralina) untuk menegakkan kehidupan yang benar, suci dan harmonis (Satyam, Siwam dan Sundharam). Ciri hidup yang baik dan benar itu adalah melakukan kreativitas untuk menciptakan sesuatu yang sepatutnya diciptakan. Hal inilah yang disebut Utpati atau Sthiti. Selanjutnya kreatif untuk memelihara sesuatu yang sepatutnya dipelihara atau Utpati. Dalam kehidupan ini ada hal-hal yang memang seyogianya ditiadakan agar dinamika hidup ini dengan laju menuju kehidupan yang Jana Hita dan Jagat Hita. Jana Hita artinya kebahagiaan secara individu dan Jagat Hita adalah kebahagiaan secara bersama-sama. Inilah yang seyogianya yang dikembangkan oleh umat di desa pakraman.

[Type the company name] |Pura Desa Adat Buduk Kecamatan Mengwi

Melaksanakan ajaran Tri Kona tersebut tidaklah semudah teorinya. Karena itu dalam melakukan upaya penciptaan agar upaya tersebut benar-benar berguna dalam kehidupan ini membutuhkan tuntunan spiritual dengan memuja Batara Brahmana di Pura Desa sebagai unsur Kahyangan Tiga di desa pakraman. Demikian juga untuk memelihara dan melindungi sesuatu yang baik dan benar yang sepatutnya dilindungi tidaklah mudah. Melakukan upaya Sthiti ini juga dibutuhkan daya spiritual dengan memuja Tuhan sebagai Batara Wisnu. Dalam hidup juga banyak adanya sesuatu yang menghalangi proses hidup menuju dharma. Untuk meniadakan sesuatu yang sepatutnya ditiadakan juga membutuhkan daya spiritual yang kuat. Untuk menguatkan daya spiritual untuk melakukan Pralina itulah Tuhan dipuja sebagai Rudra atau Batara Siwa. Dinamika hidup dengan landasan Tri Kona inilah yang dapat menciptakan suasana hidup yang dinamis, harmonis dan produktif dalam arti spiritual dan material secara berkesinambungan. Dari konsep Tri Kona ini sesungguhnya dapat dikembangkan menjadi berbagai kebijakan di desa pakraman. Betapa pun maju suatu zaman yakinlah dapat dikendalikan dengan konsep Tri Kona. Dengan konsep Tri Kona ini desa pakraman tidak akan pernah kehilangan jati dirinya sebagai lembaga umat Hindu khas Bali. Kemajuan zaman justru akan menguatkan jati diri kehidupan di desa pakraman. Karena itu pertahankanlah adat-istiadat. Adat-istiadat itu buatan manusia sebagai sarana menjalankan ajaran agama. Ibarat kendaraan yang memiliki batas waktu. Ada saatnya sarana itu baik karena masih baru, ada masa tuanya dan ada masanya berakhir. Ciptakan adat-istiadat yang tetap dibutuhkan zaman, adat-istiadat yang masih baik dan benar akan terus dipelihara dan dipertahankan. Sedangkan adat-istiadat yang sudah usang ketinggalan zaman hendaknya ditinggalkan secara suka rela. Kalau adat-istiadat yang sudah usang karena bertentangan dengan kebenaran dan kemanusiaan agar ditinggalkan dengan cara-cara yang baik dan benar juga. Pemujaan Tuhan di Pura Kahyangan Tiga di desa pakraman juga untuk membina tiga dasar sifat manusia yang disebut Tri Guna. Kalau komposisi

[Type the company name] |Pura Desa Adat Buduk Kecamatan Mengwi

Tri Guna tidak ideal maka dari Tri Guna itulah akan muncul sifat-sifat yang tidak sesuai dengan dharma. Dalam Wrehaspati Tattwa 21 dinyatakan bahwa Guna Sattwam dan Guna Rajah hendaknya seimbang menguasai Citta atau alam pikiran. Guna Sattwam menguatkan manusia untuk mengembangkan niat dan tekad mulia untuk berbuat baik berdasarkan dharma. Sedangkan Guna Rajah yang kuat seimbang dengan Guna Sattwam akan membangun kemampuan untuk mewujudkan niat dalam perbuatan nyata. Dalam sastra Hindu banyak sekali ajaran untuk membangun keseimbangan Guna Sattwam dan Guna Rajah. Pengamalan ajaran Hindu tersebutlah yang semestinya diprogramkan oleh desa pakraman dalam membina umat menjadi SDM yang baik.

2.2. Sejarah Kahyangan Tiga Yang mengajarkan pendirian Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman adalah Mpu Kuturan kira-kira pada abad ke-11. Pada abad tersebut yang menjadi raja di Bali adalah Raja Udayana yang didampingi oleh permaisurinya dari Jawa bernama Mahendradatta dengan gelar Gunapriya Dharma Patni. Gagasan Mpu Kuturan mendirikan Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman itu diperkirakan muncul saat ada pesamuan besar di Pura Samuan Tiga sekarang yang terletak di Desa Bedulu Kabupaten Gianyar. Ada berbagai pendapat tentang pesamuan agung tersebut. Ada yang menyatakan bahwa pesamuan di Samuan Tiga itu untuk menyatukan sekte-sekte Hindu yang pecah belah pada saat itu. Tetapi banyak guru besar arkeologi yang menyatakan tidak menjumpai bukti-bukti yang mengandung nilai sejarah yang menyatakan bahwa zaman tersebut sekte-sekte Hindu yang ada pecah belah. Raja Udayana dan permaisurinya saja saat itu beda sekte keagamaannya. Raja Udayana menganut Buddha Mahayana, sedangkan permaisurinya menganut sekte Siwa Pasupata. Pesamuan tersebut nampaknya untuk menetapkan kebijaksanaan dalam meningkatkan daya spiritual masyarakat Bali untuk membangun kehidupan yang sejahtera lahir batin. Karena

[Type the company name] |Pura Desa Adat Buduk Kecamatan Mengwi

pendirian Kahyang Tiga di setiap desa pakraman itu untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Tri Murti sebagaimana dinyatakan dalam Pustaka Bhuana Kosa III. 76. Tuhanlah yang menciptakan (utpati), melindungi (sthiti) dan

mempralayakan (pralaya atau pralina) semua ciptaan-Nya. Kemahakuasaan Tuhan untuk melakukan Utpati, Sthiti dan Pralina ini disebut Tri Kona (dengan lambang Lukisan Segi Tiga, lambang siclus Utpati, Sthiti, Pralina). Dengan pemujaan Tuhan Siwa sebagai Tri Murti mengandung dua konsep pembinaan kehidupan spiritual, yaitu konsep Tri Kona dan Tri Guna. Dalam Bhagawata Purana dinyatakan ada tiga kelompok Maha Purana. Ada Satvika Purana dengan Ista Dewatanya Dewa Wisnu. Ada Rajasika Purana dengan Dewa Brahma sebagai Ista Dewatanya dan ada Tamasika Purana dengan Dewa Siwa sebagai Ista Dewatanya. Dengan demikian Tri Murti menurut Bhagawata Purana adalah Brahma, Wisnu dan Siwa sebagai Guna Awatara. Artinya Tuhan-lah yang menjadi sumber pengendali tertinggi tiga dasar sifat manusia yang disebut Tri Guna itu.

2.3. Fungsi Kahyangan Tiga Untuk lebih mengetahui konsepsi Tri Murti yang telah disepakati sebagai dasar keagamaan di Bali, maka pada setiap desa adat didirikan Kahyangan tiga. Ketiga Kahyangan tersebut adalah: Tempat pemujaan Dewa Brahma dalam fungsinya sebagai pencipta alam semesta. Tempat pemujaan Dewa Wisnu dalam fungsinya sebagai pemelihara. Tempat memuja Dewa Siwa dalam wujud Dewi Durga dengan fungsi sebagai pemralina alam semesta.

a. Pura Desa

b. Pura Puseh

c. Pura Dalem

[Type the company name] |Pura Desa Adat Buduk Kecamatan Mengwi

Kahyangan

Tiga

yang

merupakan

unsur

parhyangan

dari

Tri

Hita

Karana,penempatannya pada desa adat diatur sebagai berikut: 1. Pura Desa biasanya dibangun di tengah-tengah pada salah satu sudut dari Caturpata atau perempatan agung. Pada sudut yang lain terdapat bale wantilan (bale desa) rumah pejabat desa, pasar dengan Pura Melanting. 2. Pura Puseh dibangun pada bagian arah selatan dari desa yang mengarah ke pantai karena itu, Pura Puseh sering disebut Pura Segara di Bali Utara. 3. Pura Dalem dibangun mengarah ke arah barat daya dari desa karena arah barat daya adalah arah mata angin yang dikuasai oleh Dewa Rudra yaitu aspek Siwa yang berfungsi mempralina segala yang hidup.

[Type the company name] |Pura Desa Adat Buduk Kecamatan Mengwi

10

BAB III PEMBAHASAN

3.1. Lokasi dan Batas-Batas Wilayah Desa Adat Buduk 3.1.1. Lokasi Desa Adat Buduk Desa Buduk adalah salah satu desa yang ada Kecamatan Mengwi. Berbatasan dengan beberapa desa diantaranya di sebelah Timur berbatasan dengan Desa Dalung, sebelah Selatan berbatasan dengan Tumbak Bayuh. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Cepaka dan di sebelah Utara berbatasan dengan kelurahan/kecamatan Abianbase.

3.1.2. Batas-Batas Wilayah Desa Adat Buduk Utara : Kelurahan Abian Base Timur : Desa Dalung Selatan : Tumbak Bayuh Barat : Desa Cepaka

3.2.SEJARAH PURA DESA BUDUK, KECAMATAN MENGWI Untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa dan Dewa-Dewi sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai peranannya di bangun tempat-tempat pemujaan. Tempat Ibadah atau tempat pemujaan adalah bangunan-bangunan suci yang dibangun di tempat suci atau tempat-tempat

[Type the company name] |Pura Desa Adat Buduk Kecamatan Mengwi

11

yang disucikan. Dalam berbagai bentuk dan fungsi pemujaannya, tempat ibadah disebut Pura dengan tingkatan-tingkat Utama, Madya dan Sederhana. Pura dalam berbagai bentuk dan fungsi pemujaannya terdiri dari beberapa bangunan yang ditata dalam suatu susunan komposisi pekarangan yang dibagi menjadi tiga zone : 1. Jeroan (Zona Utama) Merupakan tempat pelaksanaan pemujaan persembahyangan. 2. Jaba Tengah (Zona Tengah) Tempat persiapan dan pengiring upacara. 3. Jaba Sisi (Zona Depan) Tempat peralihan dari luar ke dalam Pura. Dalam bentuknya yang sederhana hanya ada Jeroan dan Jabaan. Berdasarkan sejarah umat Hindu di Bali keberadaan Pura Desa sebagai salah satu bagian dari Kahyangan Tiga adalah sudah ada sejak lama. Begitupun dengan Pura Desa Buduk yang terletak di desa Buduk, kecamatan Mengwi kabupaten Badung. Adalah Pura Desa yang diusung oleh masyarakat desa Buduk yang terdiri dari 9 (sembilan) banjar/lingkungan yaitu : 1) Br. Uma Gunung 2) Br. Uma Kepuh 3) Br. Uma Candi 4) Br. Uma Tegal 5) Br. Pasekan 6) Br. Tengah 7) Br. Kaja 8) Br. Tampak Kerep 9) Br. Bernasi

[Type the company name] |Pura Desa Adat Buduk Kecamatan Mengwi

12

[Type the document title]

[Pick the date]

Pura Desa Buduk adalah satu-satunya Pura Desa yang ada di kawasan Desa Buduk, dan memang berdasarkan kenyataan dan teori setiap Desa hanya memiliki satu Pura Desa dan Pura Puseh. Berbeda dengan Pura Dalem, seperti halnya di Desa Buduk yang memiliki 2 pura Dalem yaitu Pura Dalem Gede dan Pura Tunon dan 2 setra. Pura Desa Buduk berada di pusat desa Buduk. Dengan menggunakan patokan perempatan dan desa kita dapat menentukan letak pusat desa. Namun dalam hal ini, Pura Desa Buduk tidak terletak di perempatan desa namun di tempat yang dianggap suci di pinggir jalan utama Desa Buduk yang berbelahan dengan Pasar dan rumah warga. Pura Desa Buduk berada satu pekarangan dengan Pura Puseh, serta beberapa pura lain karena alasan tertentu.

3.2.1 TATA LETAK DAN DESKRIPSI BANGUNAN PURA DESA BUDUK Pura Desa Buduk terletak di desa Buduk, kecamatan Mengwi kabupaten Badung. Menghadap kaja-kangin dan berada tepat di pusat desa Buduk yang berada di dalam pekarangan yang dibatasi oleh tembok penyengker. Pura Desa ini bersebelahan dengan rumah penduduk dan berhadapan dengan pasar dan berada di pinggir jalan raya utama. Pada umumnya Pura Desa mempunyai tata letak di perempatan Desa dalam pekarangan yang dibatasi tembok penyengker, namun berbeda kenyataan dengan Pura Desa Buduk yang hanya berada di pinggir jalan raya utama dan berhadapan dengan pasar yang hanya diselati dengan gang kecil.

Gambar 2. Bale Kulkul (Sumber : Data Pribadi)

Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk

Page 13

[Type the document title]

[Pick the date]

Bangunan-bangunan dalam pura tersusun sedemikian pura seperti halnya Pura Desa pada umumnya yang meliputi pembagian wilayah Jaba Sisi,asa Jaba Tengah dan Jeroan. Begitupun pada Pura Desa Buduk yang dibagi menjadi tiga wilayah yaitu Jaba Sisi, Jaba Tengah dan Jeroan. Dari Jaba sisi dan jaba tengah pintu masuk menggunakan Candi Bentar, dari Jaba Tengah ke Jeroan pintu masuk menggunakan Kori Agung. Namun, Jaba Sisi pada Pura Desa Buduk tidak begitu terlihat karena ketinggian tanah pada Jaba Sisi ini sama dengan tinggi tanah daerah sekitarnya (rumah penduduk dan pasar). Pemandangan yang dapat menunjukkan daerah stersebut adalah Jaba Sisi Pura Buduk pun sangat minim. Seharusnya jaba sisi ini dirancang berbeda dengan kawasan sekitarnya karena merupakan areal peralihan.

Gambar 3. Bale Agung (Sumber : Data Pribadi)

Bagian Jaba Tengah Pura terdapat bale kul-kul di sudut Barat-Utara Pura. Bentuknya susunan tepas batur sari, dan atap penutup ruang kul-kul atau ketongan. Fungsinya untuk tempat kul-kul yang dibunyikan saat awal dan akhir dari rangkaian upacara. Bentuk-bentuk bale kul-kul ada yang sederhana, madya dan utama, sesuai dengan fungsi pura. Bale Kulkul yang terdapat di Pura Desa Buduk termasuk bale kulkul sederhana. Di wilayah barat Pura, sebelah utara-timur Jaba Tengah terdapat Bale Agung yang bersaka dua belas (saka roras). Bale Agung adalah salah satu ciri khas dan salah satu bangunan utama dari Pura Desa sehinggaa Pura Desa disebut juga sebagai Pura Bale Agung. Bangunan Bale Agung merupakan sebuah bangunan saka banyak sesuai dengan tingkatan pura tempat pemujaan yang berfungsi untuk penyajian sarana-sarana upacara
Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk Page 14

[Type the document title]

[Pick the date]

atau aktifitas serangkaian upacara. Bangunan Bale Agung Pura Desa Buduk letaknya di sisi Barat halaman atau sisi lain menghadap ke arah tempat pemujaan meru, gedong atau padmasana, pada wilayah Jaba Tengah Pura Desa Buduk. Pada umumnya atapnya terbuat dari alang-alang, begitupun pada Bale Agung di Pura Desa Buduk yang terbuat dari alang-alang serta bahan-bahan bangunan lainnya dari kelas khusus untuk bangunanbangunan pemujaan.

Gambar 4. Kori Agung (Sumber : Data Pribadi)

Memasuki daerah jeroan dimana daerah Jaba Tengah menuju Jeroan dibatasi dengan sebuah Kori Agung dibagian tengah dan 2 candi bentar di kanan dan kirinya. Jeroan merupakan bagian utama dari Pura Desa Buduk dimana jeroan ini adalah wilayah tempat berstananya para Dewa dan Dewi (Betara dan Betari). Untuk Pura Desa pada umumnya begitupula Pura Desa Buduk yang berstana adalah Dewa Brahma. Bangunan paling utama dalam Pura Desa atau Jeroan pada khususnya adalah bangunan Gedong Betara Desa. Selain Gedong Betara Desa, dalam halaman Jeroan juga terdapat bangunanbangunan suci lainnya, seperti pada Pura Desa Buduk terdapat Padma di bagian KajaKangin (utara-timur) Pura Desa. Tepat di sebelah Barat Padmasana terdapat Rong Tiga (Rong Telu) tempat berstananya leluhur, kemudian ke arah selatan terdapat dua pelinggih yaitu Kemulan Taksu dan Ratu Ngurah. Padmasana merupakan tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Padmasana yang terdapat di Pura Desa Buduk merupakan bentuk yang Lengkap yang disebut Padmasana. Mengidentifikasi bentuk Padmasana dapat kita lihat
Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk Page 15

[Type the document title]

[Pick the date]

dari bentuk bangunan padma yang serupa dengan candi yang dikembangkan lengkap dengan pepalihan. Padma tidak memakai atap bangunannya terdiri dari bagian-bagian kaki yang disebut tepas, badan, atau batur dan kepala yang disebut Sari. Padmasana dalam bentuk dan fungsi utamanya dilengkapi dengan bedawang nala.

Gambar 5. Gedong Betara Desa (Sumber : Data Pribadi)

Bangunan Gedong Betara Desa sebagai bangunan utama dalam sebuah Pura Desa di Pura Desa Buduk kecamatan Mengwi. Pada dasarnya Gedong bentuknya berupa serupa dengan Tugu, atapnya alang-alang/ijuk atau bahan-bahan penutup atap lainnya yang disesuaikan dengan bentuk dan fungsinya. Disini, fungsi Gedong adalah layaknya gedong Agung pada umumnya sebagai tempat berstana dari Betara Desa, untuk tempat pemujaan leluhur di sanggah atau pemerajan kawitan, Dadia atau Paibon. Dimana Gedong Betara Desa Pura Desa Buduk Mengwi bentuknya seperti Gedong Betara Desa pada umumnya dengan corak yang menyerupai corak candi, dengan tembok batu berhaias ornamen pepalihan. Tepat di depan Bangunan Gedong Betara Desa terdapat Bale Piyasan. Fungsinya untuk penyajian sarana-sarana upacara atau aktivitas serangkaian upacara. Bangunan Bale Piyasan pura Desa Buduk terbuka di tiga sisinya.
Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk Page 16

[Type the document title]

[Pick the date]

Gambar 6. Bale Piyasan (Sumber : Data Pribadi)

Gambar 7. Bale Pengaruman (Sumber : Data Pribadi)

Di sebelah Utara Gedong Betara Desa terdapat Bale Pengaruman yang bentuk mirip dengan Bale Piyasan dengan skala kecil yang menggunakan tiang jajar. Fungsinya menstanakan simbol-simbol dan sarana upacara. Letaknya pada umumnya berada di bagian samping depan di sisi halaman pelinggih utama.

Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk

Page 17

[Type the document title]

[Pick the date] Di sebelah Utara Bale Piyasan terdapat Bale Penyimpanan dengan bentuk seperti Gedong Simpen serupa dengan Gedong untuk pelinggih tempat pemujaan, yang bentuknya menyerupai Bangunan Bale. Bangunan Gedong Simpen Pura Desa Buduk berbentuk denah persegi panjang dengan sakenem (tiang enam) dan atap alangalang. Dalam areal Jeroan Pura Desa Buduk terdapat sebuah bangunan kecil Gedong Penyimpanan yang tidak

mempunyai dasar struktur bangunan tradisional Bali. Ukuran bangunan berkisar kurang lebih 1,5x1,5 m dengan bentuk bangunan yang tinggi (tiang tinggi) dan bangunan
Gambar 8. Bale Penyimpenan (Sumber : Data Pribadi)

intinya ada diatas dengan atap seng. Gedong simpen ini dibangun atas dasar kejadian kehilangan benda suci arca

yang terjadi dua tahun lalu, yaitu Arca Pura Dangka (salah satu pura yang bersebelahan/berada dalam satu areal dengan Pura Desa Buduk).

Gambar 9. Bale Piyasan (Sumber : Data Pribadi)

Terdapat pula sebuah bangunan bale di sebelah pojok Timur-Selatan wilayah Jeroan Pura Desa Buduk, yang menurut bentuk dan strukturnya bisa difungsikan sebagai Bale Gong. Mengingat keperluan Pura Desa sebagai tempat ibadah yang memerlukan kebutuhan gamelan sebagai pelengkap upacara.

Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk

Page 18

[Type the document title] 3.2.2 PURA DESA DAN PURA PUSEH

[Pick the date]

Seperti yang telah dijabarkan diatas, bahwa tata letak Pura Desa dan Pura Puseh dalam suatu Desa mempunyai 2 konsep. Yang Pertama Pura Desa dan Pura Puseh terletak berdekatan namun berada dalam wilayah yang berbeda/dibedakan. Yang kedua Pura Desa dan Pura Puseh berada salam satu areal pekarangan. Dalam hal ini Pura Desa dan Pura Puseh Desa Adat Buduk berada dalam satu areal pekarangan. Dengan satu Jaba Sisi, Jaba Tengah dan Jeroan sebagai areal Pura Desa, kemudian terdapat areal lain di bagian dalam Pura yang dijadikan sebagai daerah Pura Puseh.

Gambar 10. Meru Tumpang Sia bagian dari Pura Puseh (Sumber : Data Pribadi)

Menurut Mangku Pura Desa dan Puseh Desa Buduk yaitu Ni Luh Ngardi dalam Pura Puseh terdapat pura-pura lainnya yang terletak dalam satu areal dengan pura Puseh, diantaranya adalah : 1. Pura Dangka, yang berstana pada Pura Dangka adalah Dewa Dangka. 2. Pura Gaduh, yang berstana pada Pura Gaduh adalah Dewa Gaduh. 3. Pura Batu Ngaus, yang berstana pada Pura Batu Ngaus adalah Ratu Nyoman dan Ratu Ketut.
Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk Page 19

[Type the document title] 4. Pura Ulun Siwi, yang berstana pada Pura ini adalah Dewa Ulun Siwi.

[Pick the date]

Bangunan Pura Puseh pada areal ini adalah Bangunan Meru Tumpang Sia (atap sembilan), di sebelah utara Pura Puseh adalah Pura Dangka. Pura Gaduh terdapat di pojok selatan areal Pura. Di sebelah Utara Pura Gaduh terdapat pura Batu Ngaus. Dan yang paling utara adalah Pura Ulun Siwi.

3.3. Sejarah Pura Dalem Desa Adat Buduk Pura Dalem ini terletak di Banjar Pasekan, Desa Buduk, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Ada 3 bangunan utama pada keseluruhan bagian pura yaitu Pura Dalem (Jeroan, Jaba Tengah dan Jaba Sisi) dengan luasnya mencakup 10 are. Pura Prajapati dengan luas 0,5 are, dan terakhir adalah Pura Ratu Nyoman Sakti dengan luas yang sama dengan Pura Prajapati. Kata Dalem secara harafiah berarti jauh atau sulit dicapai. Disebut demikian karena dalam kenyataannya Dewa Siwa adalah sulit dicapai oleh manusia karena beliau adalah niskala, wyapi-wyapaka. Sakti dari Dewa Siwa adalah Dewi Durga, di mana kata Durga berarti jangan mendekat, sebagai wujud kroda dari Dewa Siwa yang berfungsi mempralina alam ciptaan Tuhan. Dalam seni arca Siwa diwujudkan dalam berbagai-bagai bentuk sesuai dengan fungsi yang dijalankan. Siwa sebagai Mahadewa, Siwa sebagai Maha Guru Siwa sebagai Mahakala dan saktinya adalah Dewi Durga. Siwa sebagai Mahadewa laksana atau cirinya adalah ardhacandrakapala yaitu lambang bulan sabit di bawah sebuah tengkorak yang disematkan pada mahkota, mata ketiga di dahi, upawita ular naga, tangannya empat masing-masing memegang cemara, aksamala, kamandalu dan trisula. Siwa sebagai guru atau di Bali disebut Batara Guru laksananya adalah kamandalu, Trisula, perutnya gendut berkumis dan berjanggut panjang. Sedangkan sebagai Mahakala rupanya menakutkan seperti: raksasa, bersenjatakan gada. Durga sebagai saktinya Siwa dilukiskan sebagai Mahisasuramardini ini. la berdiri di atas seekor lembu yang ditaklukkan. Lembu ini adalah penjelmaan raksasa (asura) yang menyerang Kahyangan dan dibasmi oleh Durga, Durga digambarkan bertangan 8,10 atau 12, masing-masing tangannya memegang senjata. Arca Durga yang terkenal dari Bali adalah Durgamahisasuramardini dari Pura Bukit Dharma Mesa Kutri Gianyar. Arca ini adalah arca perwujudan dari Gunapriya Darmapatni Ibunda dari Airlangga. Laksana dari arca ini adalah bertangan delapan tetapi yang tinggal utuh hanya enam buah, tangan

Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk

Page 20

[Type the document title]

[Pick the date]

kanan masing-masing memegang cakra, anak panah, kapak, sedang tangan kirinya masing - masing memegang kerang bersayap, busur dan tameng. Putra dari Dewa Siwa adalah Ganesa yang digambarkan berkepala gajah dengan empat buah tangan, yang masing-masing memegang mangkuk, patahan gading, aksamala (tasbih dengan 50, 81, atau 108 butir manik) dan kapak. Ganesa disembah sebagai Dewa penyelamat dari segala rintangan dan juga sebagai Dewa ilmu pengetahuan. Pada awalnya masyarakat Desa Buduk memiliki setra yang terletak di Selatan, banjar Makepuh Desa Buduk Kecamatan Mengwi. Kuburan tersebut terletak di Pura Dalem Wayah dan dibatasi oleh sungai. Suatu ketika masyarakat ingin menguburkan orang meninggal di kuburan tersebut. Namun, karaena masyarakat tidak mampu menyebrangi sungai tersebut, maka masyarakat lalu menguburkan jenazah tersebut di lokasi Pura Dalem sekarang. Dari perilaku masyarakat tersebut mka sejak saat itu dibuatlah Pura Dalem di tempat mereka menguburkan jenazah tersebut, yaitu letaknya di Banjar Pasekan sekarang ini. Sejak saat itu, Pura Dalem di Banjar Pasekan tersebut telah mengalami berbagai renovasi akibat keadaan lingkungan. Pada tahun 1948, masyarakat merenovasi ukiran yg berisikan nama Gedong beserta tanggal pembuatannya. Dilanjutkan dengan renovasi atap gedong pada tahun 2004. Di tahun 2009, masyarakat memperbaiki Pura Dalem secara keseluruhan seperti pelik sari dan gedong

Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk

Page 21

[Type the document title] 3.3.1 Pura Dalem Desa Adat Buduk

[Pick the date]

a. Lokasi Pura Dalem

Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk

Page 22

[Type the document title] b. Fungsi Spesifik Pura Dalem

[Pick the date]

Berdasarkan fungsi yang telah diketahui masyarakat secara umum tentang Pura Dalem itu sendiri yaitu untuk nunas ica dan pengobatan. Untuk wantilan yang berada di depan pura tersebut awalnya digunakan untuk menyelenggarakan tabuh rah dan pementasan-pementasan sejalannya upacara. Tetapi akhir-akhir ini di gunakan untuk tajen jika ada upacara. Pura yang termasuk kelompok Kahyangan Tiga, masingmasing mempunyai hari piodalan (hari ulang tahun) tersendiri. Hari ulang tahun dari suatu pura ditentukan melalui hari diresmikan pura tersebut. Hari peresmian biasanya dipilih hari yang baik sesuai dengan petunjuk dari pendeta dan selanjutnya ditetapkan sebagai hari piodalan. Kata piodalan adalah berasal dari kata wedal yang artinya lahir mendapat awalan pa dan akhiran an yang berarti tempat lahir atau kelahiran. Waktu pelaksanaan hari piodalan pada tiap-tiap pura berbeda-beda, ada setiap enam bulan atau 210 hari, tetapi ada pula yang dilaksanakan setiap tahun. Upacara piodalan dari pura digolongkan pada upacara dewa yajnya yang merupakan salah satu dari lima jenis upacara atau Panca Yajnya. Yajnya berasal dari kata jaj yang artinya sembahyang. Dari akar kata ini lalu menjadi kata yadnya yang berarti persembahan kepada Hyang Widi dan manifestasinya. Pelaksanaan upacara di Pura Kahyangan Tiga dilakukan secara berkala pada hari-hari tertentu, seperti upacara tiap bulan sekali yang disebut rerainan yang jatuh harinya sesuai dengan hari piodalan dan juga setiap hari Purnama dan tilem. Upacara yang diadakan berkala setiap 210 hari disebut hari piodalan dengan upacara yang lebih besar dari rerainan. Jenis upacara berkala yang lebih besar adalah karya ngusaba, karya mamungkah dan lain-lainnya. Pada umumnya tiap-tiap pura Kahyangan Tiga mempunyai kekayaan khusus yang disebut laba pura atau kalau di Jawa pada jaman Hindu disebut tanah perdikan dari suatu Candi. Laba Pura biasanya dalam bentuk tanah yang luasnya tergantung pada kemampuan dari desa adat. Hasil dari penggarapan tanah dimanfaatkan untuk kepentingan biaya upacara rerainan, piodalan dan juga untuk biaya memperbaiki kerusakan dari bangunan-bangunan yang ada di dalam pura. Kelompok orang yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan suatu pura disebut: Krama pura. Untuk menunjukkan rasa baktinya kepada Hyang Widi dan Batara Batari, ketika upacara piodalan masyarakat menghaturkan sesajen yang disebut banten piodalan dan banten perseorangan dari anggota krama pura. Banten piodalan dapat dibedakan atas beberapa jenis seperti banten sor, catur dan lainnya. Jenis bebanten mana yang akan dilaksanakan tergantung pada kemampuan dari para krama pura. Selain menghaturkan
Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk Page 23

[Type the document title]

[Pick the date]

sesajen ketika upacara piodalan berlangsung, diiringi pula dengan gamelan dan tari tarian suci keagamaan. Jenis tarian yang dipentaskan adalah; tari Sanghyang, pendet, berbagai jenis baris. Tujuan dari pementasan tarian ini adalah untuk menyambut kedatangan kekuatan suci di mana pada saat ini masyarakat akan mengadakan kontak dan mohon keselamatan bagi warganya. Karena itu sering dikatakan, munculnya jenis-jenis tarian di Bali pada mulanya adalah diabdikan untuk kepentingan agama dan baru kemudian berkembang menjadi seni kemasyarakatan yang ditandai munculnya kreasi- kreasi baru dalam seni taxi di Bali. Upacara piodalan dan jenis-jenis upacara berkala di Pura Kahyangan Tiga diantarkan oleh seorang Pendeta tetapi upacara kecil yang disebut rerainan diantarkan (diselesaikan) oleh seorang pemangku dari pura itu sendiri. Untuk desa-desa kuna upacara diselesaikan oleh seorang jero Gede atau semacam pemangku. Ketika pendeta memuja, para krama pura sudah siap di halaman dalam untuk melaksanakan pemujaan. Setelah selesai memuja maka pendeta menuntun jalannya

persembahyangan hingga selesai. Pemakaian puja atau stawa oleh pendeta pada masing-masing pura dari Kahyangan Tiga adalah berbeda-beda seperti di Pura Desa memakai puja Brahma stawa, di Pura Puseh memakai Wisnu Stawa dan di Pura Dalem mempergunakan Durga Stawa. Puja atau stawa yang dipergunakan oleh pendeta di Pura Dalem disebut Durga stawa dan di sini akan disampaikan kutipannya sebagai berikut : 1. Om Giri - putri deva-devi, lokasraya mahadewi Uma Gangga Saraswati Gayatri Vaisnawi Dewi. 2. Catur Divya mahasakti, catur asrama Batari Siva jagat pati devi, Durga Masayrira dewi. 3. Sarva jagat pranamyanam jagad vighna vimurcanam Durga bhucara moksanam sarva duhka vimoksanam. 4. Anugraha amerta bhumi vighna dosa vinasanam sarva papa vinasanam sarva pataka nasanam. 5. Om Deva-devi maha jnanam suddha vighna bhv esvari sarva jagat pratisthanam sarva devanugrahakam. Terjemahan 1. Hyang Widi Dewa-Dewi, Giri Putri yang melindungi dunia Dewi

Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk

Page 24

[Type the document title] Uma, Gangga, Saraswati, Gayatri, dan sakti Dewa Wisnu.

[Pick the date]

2. Empat kekuatan Maha sakti dan Batari dipuja dalam empat lingkungan hidup Sakti dari Dewa Siwa, penguasa dunia, Durga yang berbadan Dewi. 3. Dia dihormati oleh seluruh dunia dunia, Dewi mempunyai Durga kekuatan

menghilangkan

rintangan

mendatangkan

keselamatan dari gangguan para danawa yang membawa kebebasan dari rintangan dan kesalahan. 4. Dia memberi karunia, air kehidupan untuk dunia, menghancurkan segala rintangan dan dosa-dosa. 5. Dewi dari Dewa sebagai kebebasan yang maha besar, Dewi dari dunia yang menghilangkan penderitaan. Menolong seluruh dunia, dan menyatu dengan dewa-dewa yang lain serta memberi karunia.

c. Susunan Ruang Beserta Pelinggih yang Menempati Susunan ruang bangunan-bangunan pelinggih tempat pemujaannya berdasarkan konsep Tri Mandala. Pura sebagai tempat pemujaan, pekarangan Pura dobatasi tembok penyengker, halaman Pura ruang diantara bangunan-bangunan, pelinggih, bangunan-bangunan pemujaan. Susunan ruang pekarangan pura dengan tata nilai kepala, badan, kaki atau utama, madia dan nista. Jeroan sebagai kepala, jaba tengah sebagai badan dan jaba sisi sebagai kaki. Dari luar Pura memasuki Pura ke jaba sisi sebagai ruang peralihan melalui candi bentar. Dari jaba sisi suasana sibuk persiapan menuju ke dalam. Dari jaba sisi memasuki jaba tengah melalui pintu masuk candi bentar atau Kori Agung. Di jaba tengah suasana sedang, aktifitas dan bangunanbangunan mengarah, menuju ketenangan. Dari jaba tengah memasuki jeroan melalui Kori Agung menaiki tangga tinggi kesan dan suasana menertibkan. Di jeroan suasana tenang khusus dan khidmat. Penataran ruang, bangunan dan hiasan-hiasan menjadikan suasana tenang yang mengantarkan persembahyangan dengan khidmat bangunan-bangunan besar, wantilan, bale kulkul dijaba sisi, bangunan-bangunan sedang, bale pengambuhan, bale petandingan di jaba tengah dan bangunan-bangunan pelinggih tempat pemujaan di Jeroan.

Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk

Page 25

[Type the document title]

[Pick the date]

Sesuai dengan besarnya pura tingkatan dan luas pekarangan Pura ada yang dibangun 3 halaman (jaba sisi, jaba tengah dan jeroan) ada pula 2 halaman dan satu halaman (jeroan) dengan halaman depan sebagai jabaan. Fungsi masing-masing ruang halaman disesuaikan dengan keadaan lokasi dan kegiatan upacara. Berikut Pelinggih yang terdapat pada Pura Dalem Desa Buduk beserta susunan ruang berdasarkan konsep Tri Mandala.

Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk

Page 26

[Type the document title] 1. Nista Mandala (Jaba Sisi)

[Pick the date]

Pada Nista Mandala atau Jaba Sisi terdapat candi bentar yang berada pada sisi kiri dan kanan. Dan juga Kori Agung

Nama Bangunan Bentuk Bangunan Fungsi Bangunan

: Candi Bentar : Candi : Pintu masuk

Gambar 1: Candi Bentar

Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk

Page 27

[Type the document title]

[Pick the date]

Nama Bangunan Bentuk Bangunan Fungsi Bangunan

: Candi Bentar : Candi : Pintu masuk

Gambar 2: Candi Bentar

Nama Bangunan Bentuk Bangunan Fungsi Bangunan

: Kori Agung : Candi Kurung : Pemisah jaba sisi dan jaba tengah

Gambar 3: Kori Agung

Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk

Page 28

[Type the document title]

[Pick the date]

Gambar 4: Pura

Nama Bangunan Bentuk Bangunan Fungsi Bangunan

: Pura : Pura :

Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk

Page 29

[Type the document title] 2. Madya Mandala (Jaba Tengah)


Nama Bangunan Bentuk Bangunan

[Pick the date]

: Pelinggih Ratu Biang : Bale Saka Pat

Fungsi Bangunan : Sebagai aling-aling (Pembatas ruang) Di dalamnya terdapat patung rangda.

Gambar 5: Ratu Biang

Nama Bangunan

: Bale Kulkul

Bentuk Bangunan : dibuat tinggi sebagai menara dengan kulkul atau kentongan yang bergantung di atasnya Fungsi Bangunan : Fungsi dari kentongan berkaitan dengan pelaksanaan upacara seperti

ketika nedunang batara dan ketika nyimpen. Fungsi yang lain adalah sebagai tanda bahwa pertemuan antara krama pura akan segera dimulai yang membicarakan berbagai masalah tentang pura seperti : persiapan piodalan, rencana perbaikan pura dan lain-lainnya.

Gambar 6: Bale Kulkul

Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk

Page 30

[Type the document title]

[Pick the date]

Gambar 7: Bale Saka Kutus

Nama Bangunan Bentuk Bangunan Fungsi Bangunan

: Bale Saka Kutus : Bale :

Gambar 8: Bale Saka Pat

Nama Bangunan Bentuk Bangunan Fungsi Bangunan

: Bale Saka Pat : Bale :

Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk

Page 31

[Type the document title]

[Pick the date]

Gambar 9: Bale Saka Pat

Nama Bangunan Bentuk Bangunan Fungsi Bangunan

: Bale Saka Pat : Bale :

Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk

Page 32

[Type the document title] 3. Utama Mandala (Jeroan)


Nama Bangunan Bentuk Bangunan Fungsi Bangunan

[Pick the date]

: Gedong : Gedong :

Gambar 10: Gedong

Nama Bangunan Bentuk Bangunan Fungsi Bangunan

: : :

Gambar 11: Gedong Brahma

Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk

Page 33

[Type the document title]

[Pick the date]

Nama Bangunan Bentuk Bangunan Fungsi Bangunan

: : :

Gambar 12: Gedong Sridana

Nama Bangunan Bentuk Bangunan Fungsi Bangunan

: : :

Gambar 13: Pelik Sari Brahma

Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk

Page 34

[Type the document title]

[Pick the date]

Nama Bangunan Bentuk Bangunan Fungsi Bangunan

: : :

Gambar 14: Pelik Sari Sedana

Nama Bangunan Bentuk Bangunan Fungsi Bangunan

: : :

Gambar 15: Pelik Sari Utama

Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk

Page 35

[Type the document title]

[Pick the date]

Nama Bangunan Bentuk Bangunan Fungsi Bangunan

: Pawedan Pemangku : :

Gambar 16: Pawedan Pemangku

Gambar 17: Bale Piyasan

Nama Bangunan Bentuk Bangunan Fungsi Bangunan

: Bale Piyasan : Bale Saka :

Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk

Page 36

[Type the document title] 3.4 UPAYA DAN DAYA PELESTARIAN

[Pick the date]

Pura Desa Buduk kecamatan Mengwi kabupatan Badung merupakan pura yang sudah cukup lama berdiri sehingga diperlukan pemugaran beberapa bangunan pura. Demi kelestarian, keutuhan dan kenyaman para umatnya dalam beribadah. Dalam jangka waktu 10 tahun terakhir ini sudah dilakukan beberapa kali pemugaran pada Pura Desa ini. - Pada tahun 1999 dilakukan renovasi pada kori agung Pura Desa Buduk. - Pada tahun 2009 dilakukan renovasi pada Pura Desa, Puseh, Pura Dangka, Ngaus dan Ulun Siwi. - Pada Bulan Oktober 2010 dilakukan renovasi kembali yang juga secara menyeluruh. Gotong Royong dan aksi bersih di waktu-waktu tertentu sebelum odalan di Pura Desa Adat Buduk yang jatuh pada Redite Umanis Galungan

Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk

Page 37

[Type the document title] BAB IV PENUTUP 4.1. SIMPULAN

[Pick the date]

Dari pembahasan yang telah disampaikan diatas dapat disimpulkan hal hal sebagai berikut : a. Secara etimologi kata Kahyangan Tiga terdiri dari dua kata yaitu kahyangan dan tiga. Kahyangan berasal dari kata hyang yang berarti suci. Arti selengkapnya adalah tiga buah tempat suci. b. Fungsi Kahyangan Tiga adalah : Pura Desa :Tempat pemujaan Dewa Brahma dalam fungsinya sebagai pencipta alam semesta. Pura Puseh :Tempat pemujaan Dewa Wisnu dalam fungsinya sebagai pemelihara. Pura Dalem :Tempat memuja Dewa Siwa dalam wujud Dewi Durga dengan fungsi sebagai pemralina alam semesta. c. Penempatan Pura Kahyangan Tiga Pura Desa biasanya dibangun di tengah-tengah pada salah satu sudut dari Caturpata atau perempatan agung. Pada sudut yang lain terdapat bale wantilan (bale desa) rumah pejabat desa, pasar dengan Pura Melanting. Pura Puseh dibangun pada bagian arah selatan dari desa yang mengarah ke pantai karena itu, Pura Puseh sering disebut Pura Segara di Bali Utara.

Pura Dalem dibangun mengarah ke arah barat daya dari desa karena arah barat daya adalah arah mata angin yang dikuasai oleh Dewa Rudra yaitu aspek Siwa yang berfungsi mempralina segala yang hidup.

d. Desa Adat Buduk terletak di Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung. e. Desa Adat Buduk memiliki batas teritori sebagai berikut: Utara : Kelurahan Abian Base Timur : Desa Dalung Selatan : Tumbak Bayuh Barat : Desa Cepaka f. Berdasarkan pemaparan diatas mengenai kaiatan antara Tri Hita Karana, Kahyangan Tiga dan keberadaan Desa Buduk dan Pura Desa Buduk. Dapat disimpulkan bahwa, Tri Hita Karana merupakan dasar dan jiwa dari terbentuknya suatu desa, dalam hal ini Desa Buduk tanpa keberadaan konsep Tri Hita Karana
Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk Page 38

[Type the document title]

[Pick the date]

tidak akan mendapatkan jiwa sebagaimana yang harus dimiliki oleh sebuah Desa yang mempunyai hubungan yang baik antara tiga aspek kehidupan, yaitu dengan lingkungan, manusia dan Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Tri Hita Karana dalam Desa Buduk menciptakan sikap saling peduli satu sama lain dan mampu meningkatkan sikap gotong royong antar warga, serta sikap kebersamaan untuk menjaga lingkungan, saling berinteraksi dan selalu menyembah Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai bentuk manifestasinya. Pemujaan Tuhan melalui media tempat ibadah dapat dilakukan salah satunya di Pura Desa sebagai salah satu bagian dari Pura Kahyangan Tiga, sebagai tempat ibadah bagi umat Hindu menyembah Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai dewa Brahma (Utpeti/Sang Pencipta).

Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk

Page 39

[Type the document title] 4.2. SARAN

[Pick the date]

a. Pemerintah di Bali diharapkan lebih memperhatikan tradisi budaya dan Pura- pura kahyangan Tiga di desa- desa di Bali yang merupakan Pura yang diempon oleh desa adat. b. Masyarakat pada umumnya harus bisa menjaga dan melestarikan aset- aset budaya dan bangunan bangunan atau pelinggih yang ada di Pura Kahyangan Tiga di Desa adat, dengan cara mendokumentasikannya. Dokumentasinya dapat berupa buku yang nantinya dapat menjadi peninggalan dan dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat.

Arsitektur Tradisional Bali | Desa Adat Buduk

Page 40

You might also like