You are on page 1of 8

BAB I PENDAHULUAN

Pada tahun 1981, klasifikasi internasional kejang epilepsi (ICES) direvisi dikategorikan kejang parsial berdasarkan apakah kesadaran dipertahankan dan menurut gejala motor yang terkait. Kejang parsial sederhana ditandai dengan kesadaran baik , sedangkan kejang parsial kompleks ditandai dengan penurunan kesadaran.1 Secara umum, kejang dapat diklasifikasikan sebagai umum atau fokal. Istilah kejang parsial kompleks awalnya didefinisikan oleh Liga Internasional Melawan Epilepsi (ILAE) pada tahun 1981. Di sisi lain, kejang juga dapat dijelaskan sesuai dengan pendekatan semiologik murni yang menggunakan gejala pasien sendiri. Jadi, kejang diklasifikasikan semata mata atas dasar jenis gejala dominan mereka (motorik, sensorik, dan lain lain). Pendekatan ini bergantung pada data klinis saja dan menggarisbawahi pentingnya mendapatkan riwayat yang akurat.2 Kejang, di dan dari dirinya sendiri, bukan merupakan diagnosis epilepsi. Menyadari kejang adalah langkah pertama dalam pemeriksaan untuk diagnosis kemungkinan epilepsi. Kejang parsial kompleks yang paling sering adalah manifestasi dari epilepsi lobus temporal, tetapi istilah ini sangat luas untuk didefinisikan (yaitu, karena setiap kejang fokal dengan penurunan kesadaran) secara spesifik.2

Page 1

BAB II ISI

DEFINISI Kejang parsial kompleks memproduksi afektif, kognitif, dan gangguan otonom yang telah lama menarik perhatian ahli saraf. Asosiasi kejang parsial kompleks dengan aktivasi temporolimbik telah dipopulerkan dengan istilah seperti epilepsi lobus temporal dan serangan psikomotor.1 Kejang parsial kompleks dimulai focally dalam otak dan menyebabkan penurunan kesadaran. Definisi ini didasarkan pada kedua klinis dan data elektroensefalografik (EEG).2

Jika kejang lobus temporal menyebar ke kedua daerah temporal, maka manifestasi dari peningkatan kejang, dengan jeda dalam kegiatan yang sedang berlangsung, kebingungan, kehilangan memori sementara dan fragmentaris otomatis perilaku seperti robot. Jenis kejang ini disebut kejang parsial kompleks. Ini adalah jenis kejang paling umum pada orang deawasa.4

Page 2

EPIDEMIOLOGI Prevalensi epilepsi adalah sekitar 0,5 1 kasus per 100 orang. Kejang parsial kompleks terjadi pada sekitar 35% dari orang orang dengan epilepsi. Kejang parsial lebih sering terjadi di Negara Negara dimana cysticercosis masih lazim. Insiden kejang parsial pada orang muda lebih dari 60 tahun adalah 2o kasus per 100.000 orang pertahun.2

ETIOLOGI Dalam sebagian besar kasus, etiologi kejang parsial kompleks tidak diketahui (yaitu, kriptogenik). Penyebab potensial sebagai berikut:2 Sclerosis hippocampal (lobus temporal tengah) Neoplasma Malformasi kortikal Malformasi vaskular Stroke Infeksi sistem saraf pusat (SSP) Cedera otak hipoksia iskemik Trauma kepala Kondisi yang diwariskan

PATOFISIOLOGI Emisi photon tunggal computed tomography (SPECT) studi menunjukkan iktal hipoperfusi dari frontal bilateral dan korteks parietal dan hiperperfusi dari mediodorsal thalamus dan rostral batang otak. Efek iktal pada struktur tersebut akibat dari penyebaran pelepasan epilepsi atau mekanisme transsynaptic yang dapat mengatasi gangguan kesadaran selama kejang parsial kompleks.2

Page 3

Pada kebanyakan pasien, kejang parsial kompleks mendasari perwakilan epilepsi lobus temporal. Seiring waktu, pasien dengan epilepsi lobus temporal telah meningkatkan rangsangan saraf dalam lobus temporal tengah. Studi patologis menyarankan perubahan fokus yang mencakup hilangnya neuron, reorganisasi, neurogenesis, dan reseptor neurotransmitter diubah.2

GAMBARAN KLINIS Manifestasi kejang parsial kompleks beragam. Otomatisasi adalah manifestasi yang dapat lebih dihandalkan pada kejang parsial kompleks pada masa anak anak. Anak anak yang berhenti atau menatap gangguan kejang mungkin mengalami aura yang diabaikan. Penurunan kesadaran iktal sangat sulit untuk dinilai pada anak anak dan tetapi harus menduga pada bayi tanpa bukti konklusif.1 Gerakan oroalimentari, seperti menghisap dan gerakan berulang ulang sederhana terlihat pada bayi. Otomatisasi semakin kompleks, termasuk perilaku motorik stereotip dan fenomena psikosensori (Dj vu atau halusinasi kompleks) sebelumnya jarang dijelaskan pada bagian akhir dekade pertama.1

PEMERIKSAAN EEG. Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan

elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada waktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang penting untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa alasan sebagai berikut:5 1. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi pasien dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil pemeriksaan EEG akan membantu dalam membuat diagnosis, mengklarifikasikan jenis serangan kejang yang benar dan mengenali sindrom epilepsi.

Page 4

2. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola epileptiform pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung diagnosis epilepsi. Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti 3-Hz spike-wave complexes adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi yang spesifik. 3. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat menjelaskan manifestasi klinis daripadaaura maupun jenis serangan kejang. Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini selalu dilakukan dengan cermat.

PEMERIKSAAN NEUROIMAGING Magnetic resonance imaging (MRI) sangat penting untuk mengevaluasi pasien dengan kejang parsial. Berdasarkan spesifitas dan sensitivitas tinggi, evaluasi MRI dapat

mengidentifikasi dengan benar substrat patologis dengan banyak gangguan perkembangan, termasuk lesi displastik. Hal ini dapat mendeteksi kelainan patologis pada sekitar 80% anak dengan kejang parsial yang berat. MRI mengungkapkan insiden yang lebih tinggi dari sclerosis hipoccampal (HS) pada pasien muda dengan kejang parsial asal lobus temporal dari sebelumnya diyakini.

PENGOBATAN Pengobatan kejang parsial kompleks mungkin melibatkan terapi farmakologis dan, dalam kasus tertentu, operasi epilepsi. Pertimbangan khusu berlaku untuk wanita dengan potensial subur.3 Terapi antikonvulsan Tidak ada jawaban yang jelas untuk pertanyaan apakah atau tidak untuk mengobati setelah kejang tunggal. Resiko kejang berulang tidak berubah apakah obat antiepilepsi yang dimulai setelah kejang pertama atau kedua. Perhatian terhadap kelainan elektroensefalografik (EEG), selain diskusi dengan pasien dan keluarga, harus menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan. Sebaliknya, pengobatan dengan obat antiepilepsi harus selalu dimulai setelah
Page 5

diagnosis epilepsi ditegakkan. Semua obat antiepilepsi saat ini (AED), kecuali ethosuximide, dapat digunakan dalam pengobatan kejang parsial kompleks. Pemilihan AED harus dipandu oleh prinsip prinsip umum tertentu. Toleransi terbaik AED harus dipilih untuk pasien atas dasar efek samping dan interaksi obat. Monoterapi awalnya selalu disukai daripada politerapi untuk menobati kejang. Dosis tinggi agen tunggal mungkin diperlukan untuk mencapai kontrol kejang sebelum menambahkan agen kedua.3 Efek Samping Pengobatan Efek samping yang umum dengan semua obat antiepilepsi. Semua AED merupakan sistem saraf pusat depresan, dan karena itu dapat menyebabkan sedasi, pusing, dan perubahan kognisi. Efek samping ini lebih sering terjadi pada AED yang lama. Obat obat tertentu dapat memberikan efek samping yang menguntungkan (misalnya topiramate dan penurunan berat badan) sedangkan obat lain dapat dipilih semata mata atas dasar rute ekskresi (misalnya, levetiracetam dan ekskresi ginjal). Beberapa efek samping dapat mengobati komorbiditas (misalnya, gabapentin dan sindrom nyeri tertentu). AED tertentu memiliki toksisitas tertentu (misalnya, gagal hati atau penekanan sumsum tulang) yang memerlukan pemantauan darah secara periodik. Pasien juga harus dididik tentang bagaimana mengenali tanda tanda reaksi obat yang merugikan. Terapi AED dapat dilanjutkan dalam menghadapi peningkatan ringan kadar transaminase dan depresi darah ringan.3 Pengobatan Bedah Epilepsi Operasi epilepsi diindikasikan untuk pasien yang memiliki frekuensi, menonaktifkan kejang meskipun percobaan yang memadai dari 2 atau lebih antikonvulsan. Video EEG harus digunakan sebelum rujukan bedah untuk memenuhi syarat kejadian, menilai keparahan, dan bantuan dalam lokalisasi.3 Prosedur bedah termasuk temporal lobektomi, reseksi ekstratemporal, corpus callosotomi, penempatan stimulator saraf vagus, hemisferektomi, dan beberapa transeksi subpial. Tingkat keberhasilan untuk lobektomi temporal relatif sama dari pusat ke pusat, dengan sekitar 60 sampai 80% anak menjadi bebas kejang. Kasus ekstratemporal mencapai 40 sampai 60% tingkat keberhasilan. Komplikasi terjadi pada sekitar 5 sampai 10% dan sebanding dengan pengalaman dewasa. Operasi pada awal mengarah ke hasil psikososial dan meningkatkan kualitas hidup.1,3
Page 6

Temporal lobektomi

Hemisferektomi

PROGNOSIS Tingkat kematian pada individu dengan epilepsi adalah 2 3 kali pada populasi umum. Sebagian besar kematian disebabkan oleh penyakit yang mendasari (misalnya, epilepsi) dan sisanya akibat kecelakaan, kematian mendadak yang tak terduga dalam epilepsi, dan bunuh diri. Kematian yang tak terduga dalam epilepsi tidak memiliki penyebab yang jelas. Hal ini terjadi pada 1 dari 2.500 orang dengan epilepsi ringan dan 1 dari 250 orang dengan epilepsi yang berat. Kematian mendadak yang tak terduga dalam epilepsi paling umum diantara orang orang dengan kejang yang sering. Individu dengan epilepsi berada pada peningkatan resiko untuk trauma, luka bakar, dan aspirasi.2

Page 7

DAFTAR PUSTAKA

Pellock John M, MD and Duchowny M, MD in Maria Bernard L, MD, MBA. Partial seizures. In : Current Management in Child Neurology 3rd Edition. Medical University of South Carolina. 2005. Pages : 99 104.

Carrol E, DO. Complex Partial Seizures. In : Emedicine.Medscape.com. 2012. Pages : 1 5 Carrol E, DO. Complex Partial Seizures Treatment and Management. In : Emedicine.Medscape.com. 2012. Pages : 1 5 Fisher Robert S, MD, Ph.D. Understanding Partial Seizures. In : Epilepsy Therapy Project. Maslah Saul MD Professor of Neurology, Stanford. Pages : 1 2 Sunaryo Utoyo. Diagnosis Epilepsi. Dalam : Jurnal Ilmiah Kedokteran. Bagian Neurologi FK Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, RSUD Dr. MOH SALEH. 2001. Hal : 1 17

Page 8

You might also like