You are on page 1of 21

BAB I PENDAHULUAN 1.1.

Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas , dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama ( KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah). Berdasarkan data penelitian yang dilakukan oleh James R Keane bagian departemen neurologi Pendidikan Kedokteran Universitas California Selatan, Los Angeles menganalisa 979 kasus multiple cranial neuropathy karsinoma nasofaring adalah penyabab no 6 akibat dari tumor yang dapat menyebabkan terjadinya multiple cranial nerve palsies. 1.2. Rumusan Masalah Dalam pembahasan materi, terdapat beberapa rumusan masalah yang dibahas dalam refferat ini, di antaranya: a. Apa yang dimaksud dengan Multiple Cranial Nerve Palsies? b. Bagaimana etiologi, patogenesis, dan gejala serta tanda dari Multiple Cranial Nerve Palsies dihubungkan dengan Karsinoma Nasofaring? c. Bagaimana langkah diagnostik serta diagnosis Multiple Cranial Nerve Palsies? d. Bagaimana penatalaksanaan pasien Multiple Cranial Nerve Palsies? e. Bagaimana prognosis Karsinoma Nasofaring?

BAB II ISI 2.1. Definisi Neuropati kranial multiple (multipl cranial neuropathies) atau yang lebih sering dikenal dengan kelemahan saraf kranial multiple (multiple cranial nerve palsies) adalah bentuk dari kelemahan yang melibatkan kerusakan lebih dari satu saraf kranial. 2.2. Epidemiologi Berdasarkan data penelitian yang dilakukan oleh James R Keane bagian departemen neurologi Pendidikan Kedokteran Universitas California Selatan, Los Angeles menganalisa 979 kasus multiple cranial neuropathy. Dari hasil tersebut didapatkan data pasien berdasarkan etiologi

Lebih jauh lagi, di Indonesia kanker ini menempati urutan keempat diantara keganasan yang terjadi di seluruh tubuh dan urutan pertama untuk seluruh keganasan di daerah kepala dan leher dengan prosentase 60%. Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7 kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia dan kelumpuhan saraf cranial yang terjadi akibat karsinoma nasifaring

ditemukan pada 25% penderita. Penyakit ini mengenai semua umur, terbanyak pad usia 40-60 tahun, perbandingan antara laku-laki dan perempuan 2:1. 2.3. Anatomi Nervus Cranialis Cranium disusun oleh disusun tulang-tulang (ossa craniales) ketebalan bervariasi bentuk tidak teratur & rumit sepasang/tunggal

Dihubungkan oleh sutura, articulus temporomandibularis Neurocranium = cranium cerebrale : membentuk cavum cranii, yang ditempati encephalon (otak)

Dikelompokan: Calvaria Disusun oleh Pars squamosa ossis temporalis dextra & sinistra Squama frontalis Os parietale dextra & sinistra Squama occipitalis

Basis cranii Basis Cranii interna

Tersusun oleh fossa yang membentuk seperti tangga Fossa cranialis anterior Ditempati lobus frontalis cerebri Dibentuk:

Pars orbitalis ossis frontalis Lamina cribrosa ossis ethmoidalis Ala parva (minor) ossis sphenoidalis Foramen caecum & Lamina cribrosa ossis ethmoidalis (cavitas nasi)

Fossa cranialis media

Ditempati lobus temporalis cerebri Dibentuk Foramen opticum Fissura orbitalis superior (Orbita) Foramen rotundum (fossa pterygopalatina)
4

Foramen spinosum Foramen ovale (fossa infratemporale) Foramen lacerum

Fossa cranialis posterior Terletak di posterior, paling dalam dan paling luas Ditempati cerebellum, pons & medulla oblongata

Basis Cranii eksterna

Nervus Cranialis terbentuk N. I masuk ke cerebrum di inferior lobus frontalis N. II masuk ke diencephalon, di inferior lobus frontalis N. III s/d XII masuk dan atau keluar Truncus Cerebri o o o o o o o o o o N. III keluar pada Fossa Interpeduncularis N. IV keluar pada Inferior Colliculus Inferior N. V keluar masuk pada pangkal Brachium Pontis

N. VI keluar pada batas Pons-MO, di superior Pyramis MO N. VII keluar masuk pada batas Pons-MO, dilateral N. VIII masuk pada batas Pons-MO, dilateral N. IX keluar masuk pada Sulcus Lat-Post MO N. X keluar masuk pada Sulcus Lat-Post MO

N. XI keluar pada Sulcus Lat-Post MO N. XII keluar pada Sulcus Lat-Ant MO

Tempat keluar dan masuknya nervus cranialis kedalam basis crania interna

N. I (N. Olfaktorius) o Masuk : Lamina Cribrosa Os Ethmoidale

N. II (N. Opticus) o Masuk : Canalis Opticus Foramen Opticum

N. III (N. Okulomotorius) o o Keluar Nukleus : : Fissura Orbitalis Superior Cavum Orbita

Nucleus motoris N. III (SM) otot-otot extrinsik Oculi (gerakan Oculi) Nucleus Edinger-Westphal (VM) otot intrinsik Oculi (miosis pupillae)

o Lintasan Orbita N. IV (N. Trochlearis) o o o Keluar Nucleus Lintasan

:N. III Sinus Cavernosus Fissura Orbitalis Sup masuk dlm Cav.

: Fissura Orbitalis Superior Cavum Orbita : Nucleus Motoris N. IV (SM) m. Obliquus Superior :

Nucleus Motoris (MES) N. IV Sinus Cavernosus Fissura Orbitalis Sup masuk Cav. orbita innervasi m. Obliq. Sup (SM) N. V (N. Trigeminus) o Masuk/keluar : N. V1 keluar pada Fissura Orbitalis Superior ke Cav.Orbita N. V2 keluar pada Foramen Rotundum N. V3 keluar dan masuk pada Foramen Ovale

N. VII (N. Facialis) o Masuk/keluar : Meatus Acusticus Internus Canalis Facialis For. Stylomastoideum

N. VIII (N. Vestibularis) o Masuk : dari Labyrinthus Ossis Temporalis MAI PAI

N.IX (N. Glossopharyngeus) dan N. X. (N. Vagus) Masuk/keluar : Foramen Jugulare (bersama N. X dan XI)

N. XI (N. Accessorius) o o o Keluar Lintasan : Foramen Jugulare (bersama N. IX dan X) : Untuk m. Trapezius + m. Sternocleidomastoideus

Cornu Ant Radix Inf. N. XI Canalis Vertebralis For. Occ. Magnum Fossa Cranii Post N. XI For. Jugularis m. Trapezius + m. Sternocleidomastoideus

N. XII (Hypoglosus) o Keluar : Canalis N. Hypoglossi

2.4. Patogenesis Multiple Cranial Nerve Palsies pada Carsinoma Nasofaring Kanker nasofaring merupakan kanker ganas yang terdapat di daerah nasofaring, yaitu bagian dari faring/tenggorokan yang terletak diantara antara belakang hidung sampai esofagus, lebih seringnya tumbuh di daerah Fossa Rusenmuller yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa. Kanker ini biasanya berasal dari epitel atau mukosa yang melapisi permukaan nasofaring (F. Dubrulle, 2007). Batas nasofaring: Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat subjektif karena tergantung dari palatum durum. Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri. Posterior : - vertebra cervicalis I dan II Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar Mukosa lanjutan dari mukosa atas

Lateral : - mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang Muara tuba eustachii Fossa rosenmulleri

Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang konka nasal inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas muara tuba eustachius terdapat penonjolan tulang yang disebut torus tubarius dan dibelakangnya terdapat suatu lekukan dari fossa Rosenmuller dan tepat diujung atas posteriornya terletak foramen laserum. Pada daerah fossa ini sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara tuba eustachius sehingga mengganggu ventilasi udara telinga tengah. Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring superior. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen jugularis, kanalis karotis dan kanalis hipoglossus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial.

Struktur penting yang ada di Nasopharing 1. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva 2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena cartilago tuba auditiva 3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena musculus levator veli palatini. 4. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius 5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan dari musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium faringeum tuba auditiva terutama ketika menguap atau menelan. 6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat predileksi Karsinoma Nasofaring. 7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid jika ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis. 8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.
10

9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing dan oropharing karena musculus sphincterpalatopharing 10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae pharingei Fungsi nasofaring : Sebagai jalan udara pada respirasi Jalan udara ke tuba eustachii Resonator Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung Faktor infeksi karsinoma nasofaring diduga disebabkan oleh: 1. Infeksi Virus Epstein-Barr Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan

selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang menginfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker. 2. Genetik Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen. Analisa genetik pada populasi endemik berhubungan

11

dengan HLA-A2, HLAB17 dan HLA-Bw26. Dimana orang dengan yang memiliki gen ini memiliki resiko dua kali lebih besar menderita karsinoma nasofaring. 3. Faktor lingkungan Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu pengkonsumsi alkohol dan perokok juga merupakan salah satu faktor yan diperkirakan menginisiasi terjadinya karsinoma nasofaring. Di mana alkohol dan asap rokok ditemukan mengadung formaldehyde yang diteliti merupakan faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.

12

Karsinoma Nasofaring merupakan munculnya keganasan berupa tumor yang berasal dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring. Tumbuhnya tumor akan dimulai pada salah satu dinding nasofaring yang kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan sekitarnya. Lokasi yang paling sering menjadi awal terbentuknya KNF adalah pada Fossa Rossenmuller. Karsinoma nasofaing telah diketahui dapat menyebabkan berbagai lesi neurologis, khususnya kelumpuhan saraf kranial. Tumor ini dapat menyebar secara intracranial dan ekstracranial sehingga menyebabkan paralisis saraf multiple. Perluasan keatas Tumor meluas ke intracranial menjalar sepanjang fossa medialis, disebut penjalaran petrosfenoid. Sindrome petrosfenoid terjadi bila seluruh saraf grup anterior yang terkena. Biasanya melalui foramen lasserum. Kemudian ke sinus kavernosus dan fossa kranii anterior media mengenai grup anterior saraf otak yaitu N II IV, yang sering terkena lebih dulu adalah N IV kemudian N. III Parese N VI Parese N V : keluhan berupa diplopia, bila penderita melirik ke arah sisi yang sakit : keluhan berupa hipestesi ( rasa tebal) pada pipi dan wajah

Parese NII : gejala klinik lanjut berupa ophtalmoplegi berupa gangguan penggerak mata terkena Perluasan keatas adalah gejala yang paling sering terjadi di Indonesia. Tanda-tanda lainnya adalah

Terjadi neuralgia trigeminal unilateral Oftalmoplegia unilateral Nyeri kepala yang hebat akibat penekanan tumor pada duramater

Perluasan kebelakang Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial melalui fossa posterior yang disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena adalah grup nervus posterior dari saraf otak, yaitu N IX-N XIIbeserta nervus simpatikus servikalis.

13

Tumor dapat mengenai otot dan menyebabkan kekakuan otot-otot rahang sehingga terjadi trismus. Sindrom retroparotidian atau sindrom Jugular Jackson mengenai N. IX, N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada a. N IX : keluhan menelan karena hemiparese otot konstriktor superior serta pengecapan

1/3 bagian belakang lidah b. N X : hiper/hipoanastesi pada mukosa pallatum molla, faring, laring dan gangguan

respirasi dan hipersalivasi c. N XI d. N XII : kelumpuhan otot-otot trapezeus dan sternokleidomastoideus : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah

Semua ini biasanya disertai dengan sindrom Horner akibat kelumpuhan n. simpatikus servikalis, berupa penyempitan fisura palpebralis, enoftalmus, dan miosis. Pada penderita KNF, sering ditemukan adanya tuli konduktif bersamaan dengan elevasi dan imobilitas dari palatum lunak serta adanya rasa nyeri pada wajah dan bagian lateral dari leher (akibat gangguan pada nervus trigeminal). Ketiga gejala ini jika ditemukan bersamaan, maka disebut Trotters Triad

14

2.5. Tanda dan Gejala Sindrom sinus cavernosus Sinus cavernosus dipasangkan saluran vena yang terletak pada kedua sisi tulang sphenoid dan sella turcica, lateral hipofisis. Mereka memperpanjang dari fisura orbital superior ke puncak tulang temporal petrosa. Kedua belah pihak dihubungkan dengan sinus cavernosus anterior dan posterior antar. Arteri karotis internal dengan pleksus simpatis pericarotid yang berjalan melalui sinus yaitu saraf oculomotor, troklearis, abducens, dan saraf trigeminal (1 dan 2 divisi) lateral pada dinding nya. Tanda-tanda umum dan gejala penyakit sinus cavernous termasuk ophthalmoplegia, chemosis, edema periorbital, proptosis, dan kehilangan sensoris wajah serta sindrom Horner dari keterlibatan sympathetics. Menurut seri Keane, sinus cavernosus adalah tempat yang paling sering terlibat saraf kranial multiple mewakili 25%. Penyebab umum dapat dibagi menjadi vaskuler, neoplastik, gangguan inflamasi, dan lain-lain..

Penyebab vaskular, aneurisma karotis, fistula sinus cavernosus, dan trombosis perlu dipertimbangkan. Jika cukup besar, aneurisma intracavernous dapat menekan dan merusak isi dari sinus cavernous, sering mengakibatkan ophthalmoplegia menyakitkan lamban. Aneurisma Intracavernous tidak memiliki risiko signifikan subarachnoid hemorrhage. Ketika pecah cenderung untuk tetap lokal dan dapat mengakibatkan pembentukan fistula kavernosa-karotis. Trombosis sinus cavernous biasanya hasil dari infeksi sinus paranasal, selulitis orbital, atau infeksi wajah (seperti furunkel). Aureus adalah organisme penyebab yang paling umum, namun, infeksi pneumokokus dan jamur juga harus dipertimbangkan, terutama pada individu immunocompromised dan penderita diabetes. Pada penderita diabetes, mucormycosis menjadi perhatiankhusus.

Tumor adalah penyebab paling umum dari sindrom sinus kavernosa. Ini mungkin penyakit metastatik, hasil perpanjangan tumor lokal (karsinoma nasofaring, adenoma hipofisis atau craniopharyngioma) atau tumor primer (meningioma, limfoma). Akhirnya, sindrom sinus cavernous dapat hasil dari setiap proses inflamasi granulomatosa seperti sarkoidosis, granulomatosis Wegener, atau poliarteritis nodosa. Gangguan inflamasi lain yang harus diperhatikan adalah Tolosa-Hunt syndrome. Ini adalah gangguan inflamasi granulomatosa
15

idiopatik yang biasanya menyajikan dengan ophthalmoplegia menyakitkan.Setelah lesi massa telah dikecualikan, itu adalah penyebab paling umum dari sindrom sinus cavernosus. Meskipun remisi spontan terjadi pada hingga sepertiga pasien, respon positif terhadap steroid universal sering dianggap sebagai kriteria diagnostik Cerebellopontin angle Batas-batas sudut cerebellopontine termasuk permukaan inferior dari belahan cerebellar, aspek lateral pons, dan permukaan superior ketiga dalam dari punggungan petrosa. Ini mencakup membujur dari Nervus cranialis V melalui Lesi nervus cranialis X. Cerebellopontine angle adalah selalu neoplasma, yang sebagian besar jinak.Schwannomas vestibular yang jauh tumor yang paling umum, yang timbul dari bagian vestibular saraf VIII dalam kanal auditori internal. Neoplasma yang kurang umum termasuk meningioma, epidermoids, dan metastasis jauh lebih sedikit umum dan kolesteatoma. Gejala awal biasanya progresif gangguan pendengaran sensorineural dan tinnitus. Masa membesar dan disfungsi saraf kranial terjadi kemudian disertai dengan disfungsi nervus cranial VII menyebabkan paresis neuron motorik bawah wajah tanpa hyperacusis. Disfungsi nervus V menyebabkan kehilangan sensori wajah adalah umum. SSP VI, IX dan X kurang umum terlibat, biasanya kemudian dalam kursus. Jika lesi terus berkembang, tekanan pada otak kecil atau hasil peduncles di ataksia ipsilateral dan inkoordinasi. Nistagmus dan tatapan kelumpuhan mungkin hasil dari kompresi pontine. Sindrom saraf kranial bagian bawah Sindrom rendah saraf kranial melibatkan SSP IX-XII secara sepihak dalam berbagai kombinasi. Saraf ini keluar dari tengkorak tepat di atas foramen magnum. IX-XI SSP keluar melalui foramen jugularis bersama dengan vena jugularis. CN XII keluar melalui saluran hypoglossal inferior. Gejala-gejala penyakit saraf kranial yang lebih rendah, termasuk disfagia, disfonia, dan disartria merupakan alasan umum untuk konsultasi neurologis.

Foramen jugular sindrom, atau sindrom Vernet, adalah prototipe rendah saraf kranial sindrom, yang ditandai dengan kelumpuhan ipsilateral SSP IX, X, dan XI. Sindrom ini disebabkan oleh lesi pada foramen jugularis atau di ruang retroparotid. Tumor glomus (paragangliomas) adalah penyebab umum dari sindrom foramen jugular. Mereka jinak, biasanya spontan, lambat tumbuh tumor kepala dan leher yang diperkirakan timbul dari jaringan paraganglionic didistribusikan
16

secara luas yang berasal dari sel-sel krista neural. Glomus tumor biasanya muncul dalam bola jugularis (jugulare glomus), telinga tengah (glomus tympanicum), dan ganglion nodose dari saraf vagus (glomus vagale). Meskipun tumbuh lambat, mereka mungkin mengikis melalui tulang dan meluas ke foramen jugular atau bahkan ke kanal hypoglossal. Lain lesi menghasut umum adalah schwannomas, meningioma, dan metastasis. Menyebabkan jarang termasuk abses retroparotid, chordomas, dan trombosis dari bola jugularis. Sindrom foramen jugular Istilah ini sering digunakan untuk mengacu pada kombinasi dari kelumpuhan mempengaruhi empat rendah saraf kranial, namun, beberapa sindrom eponymic lainnya pantas disebutkan.Collet-Sicard sindrom, atau sindrom ruang interkondilaris, terdiri dari sindrom foramen jugular (disfungsi SSP IX, X dan XI) dengan keterlibatan tambahan CN XII. Sindrom Villaret adalah Collet-Sicard ditambah penambahan keterlibatan simpatik (sindrom Horner). Hal ini juga disebut sebagai sindrom ruang retropharyngeal. Jika proses meluas ke ruang retroparotid, mungkin ada keterlibatan CN VII tambahan. Para etiologi yang sama pertimbangan berlaku untuk semua sindrom ini, karena itu, dari sudut pandang praktis, mengingat semua secara kolektif sebagai sindrom foramen jugular beralasan.Akhirnya, meskipun tidak secara teknis sebuah sindrom saraf kranial yang lebih rendah, sindrom petrosa apeks dapat berkembang untuk menyertakan saraf kranial yang lebih rendah.Atau dikenal sebagai sindrom Gradenigo, sindrom ini biasanya berhubungan dengan otitis media supuratif mempengaruhi puncak petrosa dari tulang temporal. Ini biasanya menyajikan dengan rasa sakit di distribusi saraf trigeminal dikombinasikan dengan cerebral abducens. Jika infeksi menyebar ke dasar tengkorak, maka fitur dari sindrom foramen jugular dapat hidup berdampingan. 2.6. Langkah Diagnostik Radiologi Tujuan utama dari neuroimaging rutin, terutama pada kasus meningitis kronis adalah untuk menyingkirkan proses alternatif seperti abses, tumor, atau fokus parameningeal infeksi. Serologi Pemeriksaan cairan serebropinal berfungsi sebagai sebuah bagian integral dalam evaluasi sebagaimana adanya pleositosis CSF lebih lanjut menunjukkan kemungkinan proses inflamasi meningeal, infeksi, atau neoplastik. Biopsi - Biopsi meningeal di pertimbangkan pada meningitis kronis, proses neoplastik atau curiga vaskulitis SSP
17

2.7. Diagnsis Banding Sindrom- sindrom yang dapat digunakan Location of lesion Superior orbital fissure Cranial nerves involved and clinical manifestations III, IV, V (1 divisi), VI; ophthalmoplegia, nyeri dan hypoestesia di divisi pertama dari V, exophtalmos, gangguan vegetatif III, IV, V, VI; ophthalmoplegia, exophthalmos V dan VI; neuralgia, gangguan sensorimotor, diplopia II, III, IV, V, VI; ophthalmoplegia, amaurosis, neuralgia trigeminal IX dan X, kehilangan refleks muntah IX, X, XI, disfagia, hilangnya refleks muntah, kelemahan otot sternokleidomastoid dan trapezius V, VII, VIII, IX sampai dengan XII; ketulian, vertigo, nystagmus, peningkatan tekanan intrakranial, gejala batang otak Eponym Rochon-Duvigneaud

Cavernous sinus

Foix-Jefferson

Apex of petrous temporal Petrosphenoidal region

Lannois-Lannois Jacod

Jugular foramen Jugular foramen

Avellis Vernet

Cerebellopontine sudut

NA

2.9. Terapi Pengelolaan beberapa kelumpuhan neuropati kranial bergantung pada diagnosis akurat dengan terapi spesifik ditujukan pada penyebab yang mendasari. Misalnya, jika penyebab infeksi ditemukan, terapi antimikroba yang sesuai ditunjukkan. Pada pasien dengan perkembangan yang cepat dari tanda dan gejala, terapi empirik tampaknya masuk akal. Pada pasien dengan meningitis parah dengan faktor risiko untuk TB, obat-obatan empiris antituberculous biasanya dianjurkan bahkan sebelum hasil laboratorium akhir karena gejala sisa neurologis yang serius dapat berkembang jika pasien tidak segera diobati. Demikian juga., Jika pasien memiliki risiko faktor untuk meningitis jamur, pengobatan dengan flukonazol harus

18

dipertimbangkan. Seringkali keputusan harus dibuat apakah perlu atau tidak untuk memulai penggunaan steroid. Dalam kasus vaskulitis atau penyakit rematologi lainnya, imunosupresan seperti siklofosfamid alternatif dapat dipertimbangkan, namun salah satu harus enggan untuk memulai seperti terapi agresif dalam tidak adanya diagnosis yang jelas.Dalam kasus ini, meningeal biopsi sebelum memulai terapi harus dipertimbangkan. Sedangkan pada kasus-kasus neoplasia seperti pada kasus carcinoma nasofaring pengobatan raioterapi merupaan pilihan utama karena umumnya sel-sel tumor ini bersifat radiosensitive. Jika tidak memungkinkan pilihan pengobatan lain seperti kemoterapi maupun tindakan pembedahan, 2.8. Prognosis 5-years survival rate dengan hanya diradioterapi: stadium I (85-95%) stadium II (70-80%) stadium III & stadium IV (24-80%)

Faktor yang memperburuk: stadium lanjut Usia > 40 tahun laki-laki ras Cina ada pembesaran kelenjar leher lumpuh saraf otak tulang tengkorak yang rusak metastasis jauh

19

BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan Indonesia kanker ini menempati urutan keempat diantara keganasan yang terjadi di seluruh tubuh dan urutan pertama untuk seluruh keganasan di daerah kepala dan leher dengan prosentase 60%. Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7 kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun di seluruh

Indonesia dan kelumpuhan saraf cranial yang terjadi akibat karsinoma nasifaring ditemukan pada 25% penderita. Karsinoma nasofaring diduga diakibatkan oleh faktor infeksi virus EpsteinBarr, genetic, dan faktor lingkungan. Gejala yang dapat ditemukan berupa kelainan hidung, pendengaran, sampai gangguan pada saraf kranial. Dimana pengobatan karsinoma nasofaring ini dapat dilakukan dengan radioterapi, kemoterapi, atau operasi. 3.2. Saran Setelah menegatahui faktor resiko maupun penyebab dari karsinoma nasofaring hendakanya kita mampu menjaga diri kita untuk terhindar dari penyakit ini. Dan segera memeriksakan diri ke sarana kesehatan apabila diduga mengalami gejala-gejala dari karsinoma nasofaring.

20

DAFTAR PUSTAKA

Adams and Victors. Principle of Neurology. 2005. E-book. Desen, Wan. Buku Ajar Onkologo Klinis Edisi II. 2008. FKUI: Jakarta. Frotscher, M dan M. Baehr. Diagnosis Topik Neurologis DUUS. 2010. Jakarta: EGC Keane, James R. Multiple Cranial Nerve Palsies Analysis of 979 Case. Arch Neurol/Vol.6. November 2005 www.medscape.com

21

You might also like