You are on page 1of 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Dalam Pasal 1 Ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, menyatakan bahwa: Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.1 Dari pengertian guru di atas, guru sebagai pendidik profesional yang memiliki tugas-tugas utama dan salah satunya adalah tugas menilai dan mengevaluasi, maka dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007 seperti yang dikutip oleh Direktorat Pembinaan SMA, disebutkan bahwa salah satu prinsip penilaian dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah beracuan kriteria.2 Hal ini berarti bahwa penilaian didasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, satuan pendidikan harus menetapkan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) setiap mata pelajaran sebagai dasar dalam menilai pencapaian kompetensi peserta didik. Penetapan kriteria ketuntasan minimal belajar merupakan tahapan awal pelaksanaan penilaian proses pembelajaran dan penilaian hasil belajar. Konsep awal KKM sangat baik jika sekolah atau guru betul-betul obyektif. Tetapi banyak ditemukan di lapangan penerapan dan penetapan nilai KKM belum berjalan dengan maksimal. Sebagain contoh ditemukan ada beberapa guru yang belum memahami cara penetapan nilai KKM, sehingga KKM yang mereka tetapkan adalah hasil dari perkiraan saja atau berdasarkan dari pengalaman mereka mengajar selama ini. Selain masalah di atas, banyak anggapan dari guru atau sekolah bahwa semakin tinggi nilai KKM yang mereka tetapkan, maka harga diri sekolah akan
,Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, (Jakarta: 2005), h. 2 2 Direktorat Pembina SMA, Juknis Penetapan Nilai KKM, (Jakarta: Depdiknas RI, 2010), h. 22
1

semakin meningkat, sehingga sekolah memaksa kepada guru untuk meningkatkan nilai KKM mereka. Hal ini diperparah dengan ditetapkannya nilai raport sebagai salah satu syarat kelulusan peserta didik selain hasil Ujian Nasional. Lagi-lagi sekolah memaksakan untuk menaikan nilai KKM. Dengan demikian KKM bukan lagi ditentukan oleh 3 aspek, yaitu; intake peserta didik, kompleksitas materi pelajaran dan daya dukung sarana dan prasarana sekolah, akan tetapi ditentukan oleh prestise atau harga diri sebuah sekolah. KKM bukan lagi sekedar patokan untuk mengukur obyektifitas peserta didik tetapi semata-mata untuk meningkatkan poin akreditasi sekolah. KKM bukan lagi alat ukur keberhasilan sekolah tetapi sebuah alat dongkrak untuk mengangkat nilai dalam persiapan Ujian Nasional. Sehingga sekolah dengan kelulusan 100% adalah sekolah yang berhasil mendidik dari segi kuantitas bukan dari segi kualitas. Masalah-malah di atas berkaitan dengan penetapan nilai KKM. Begitu juga dalam penerapan nilai KKM yang sudah ditetapkan guru banyak menimbulkan masalah di lapangan. Ketika peserta didik di bawah nilai KKM maka peserta didik diperkenankan remedial. Tetapi jika peserta didik belum juga mencapai nilai KKM sampai batas yang ditentukan gurunya, maka ada beberapa kemungkinan, yakni; Pertama, guru membiarkan nilai peserta didik apa adanya. Kedua, guru memberikan tugas yang lain (seperti membuat makalah, membeli buku, dll). Ketiga, guru menaikan nilai peserta didik hingga mencapai nilai KKM. Dengan demikian nilai KKM sudah tidak dapat mempengaruhi keberhasilan belajar peserta didik. Belum lagi jika melihat rentang kecerdasan peserta didik. Tidak mungkin dalam suatu kelas peserta didik yang pintar semua atau tidak mungkin peserta didik yang tidak pintar semua. Maka ada peserta didik yang pintar ada peserta didik yang sedang dan ada peserta didik yang kurang. Jika seandainya sekolah atau guru sudah menetapkan nilai KKMnya 75, maka 75 adalah untuk standar peserta didik yang kecerdasannya minimal. Kemudian bagaimana dengan peserta didik yang kecerdasannya sedang apakah pantas nilainya harus sama dengan yang kecerdasannyan minimal. Kemudian bagaimana dengan yang pintar, kemudian

yang pintar sekali, kemudian ada yang jenius. Sehingga sering kita melihat nilainilai peserta didik bertaburan angka-angka 80an, 90an bahkan ada nilai 100. Tidak ada yang salah dari penilaian tersebut selama nilai tersebut Obyektif. Namun ketika sekolah dengan kebijakan mematok KKM 80, maka syarat peserta didik naik kelas harus mendapatkan nilai minimal 80 dalam raportnya. Dengan nilai tersebut, bisa jadi bukan dari hasil jerih payahnya. Akan tetapi didapatkan dari nilai kasih sayang gurunya. Melihat kondisi di atas, maka nilai KKM yang sudah ditetapkan oleh guru atau sekolah tidak bisa dijadikan tolak ukur bahwa sekolah berhasil atau tidak dalam meningkatkan prestasi belajar. Karena tidak ada yang bisa menjamin KKM yang tinggi menunjukkan prestasi peserta didik juga bagus. Bisa jadi sekolah dengan KKM rendah justru memilki peserta didik peserta didik yang memilki prestasi tinggi. Dari latar belakang masalah di atas, maka penulis memiliki tanda tanya besar, sehingga penulis tertarik untuk meneliti tentang: KINERJA GURU DALAM MENETAPKAN NILAI KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL (KKM) DAN MENERAPKANNYA.

B. Perumusan Masalah Perumusan masalah pada penelitian ini adalah: bagaimana kinerja guru dalam menetapkan nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dan

menerapkannya?

C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi-kondisi yang nyata di lapangan tentang hal-hal berikut: 1. Proses penetapan nilai KKM oleh guru. 2. Penerapan nilai KKM yang telah ditetapkan oleh guru dalam proses pemberian nilai terhadap peserta didik. 3. Anggapan guru tentang KKM.

You might also like