You are on page 1of 31

PRESTASI BELAJAR, KEBIASAAN BELAJAR, DAN MOTIF BERPRESTASI A. Prestasi Belajar 1.

Pengertian Belajar dan Prestasi Belajar Menurut Kimble (dalam Gunarsa, 1981) belajar merupakan suatu proses perubahan sikap yang relative menetap, yang terjadi sebagai akibat latihan dengan penguatan. Wisnusubrata Hendrojuwono (1987) mengatakan bahwa proses belajar ditandai dengan adanya per-ubahan perilaku, kemudian secara bertahap dapat menjadi kebiasaan. Sedangkan menurut Herman Hudoyo (1979) belajar merupakan suatu proses untuk mendapatkan pengetahuan atau pengalaman sehingga mengubah tingkah laku manusia dan tingkah laku itu relatif menetap. Lebih lanjut Veron dan Donald (dalam Mahrita, 1991) menyimpulkan bahwa belajar itu adalah perubahan tingkah laku ke arah yang lebih konstruktif. Dalam hubungan belajar ini Good dan Brophy (1990) berpendapat bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku melalui pengalaman. Perubaha itu dalam kerangka pemahaman, sikap, pengetahuan, informasi, kemampuan dan keterampilan melalui pengalaman yang relative menetap. Dari berbagai pengertian tentang belajar di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang ditandai dengan adanya perubahan pada kognisi, afeksi maupun perilaku yang relatif menetap. Dari hasil proses belajar akan diperoleh suatu hasil yang dapat dievaluasi. Hasil evaluasi dari proses belajar ini disebut dengan prestasi belajar yang biasanya dinyatakan dalam bentuk laporan tertentu misalnya nilai rapor atau nilai judisium. Cagne (dalam Soetarlinah Sukadji, 1988) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan prestasi belajar adalah tingkat kemampuan actual yang dapat diukur, baik berupa penguasaan ilmu pengetahuan, sikap maupun keterampilan tertentu yang dicapai seseorang sebagai hasil dari apa yang dipelajari seorang anak didik di sekolah. Lebih lanjut dijelaskan bahwa keberhasilan anak didik, adalah gambaran hasil dari proses belajar yang merupakan kristalisasi dari berbagai komponen yang saling terkait dan saling berpengaruh.

12

Mouly (1967) mengatakan prestasi belajar adalah keberhasilan objektif yang dicapai seorang siswa sebagai akibat dari proses belajar. Prestasi belajar dipengaruhi berbagai factor yang saling terkait. Sedangkan menurut Sunarwan (1991) prestasi belajar merupakan evaluasi hasil dari suatu poses belajar atas sejumlah materi pelajaran. Evaluasi atas proses belajar pada kurun waktu tertentu ini didasarkan suatu system penilaian tertentu, yang biasanya dinyatakan dalam bentuk laporan tertentu misalnya pada nilai rapor. Dalam evaluasi tersebut terkandung penilaian ataupun pengukuran terhadap sejumlah tingkat kemampuan aktual yang berupa keberhasilan dalam penguasaan terhadap sejumlah ilmu pengetahuan, dan juga perubahan atas sikap dan keterampilan sebagai akibat langsung dari proses belajar tersebut. Bloom (1956), mengatakan bahwa prestasi belajar merupakan hasil perubahan tingkah laku yang meliputi kemampuan daya pikir (kognisi), kemampuan perasaan (afeksi) dan keterampilan (psikomotor). Ketiga ranah itu tidak dipisahkan meskipun secara konseptual dapat dibedakan menurut ciricirinya. Hubungan ketiga ranah itu secara interaktif dapat digambarkan seperti di bawah ini.

Kognitif

Afektif

Psikomotorik

Gambar 2. Hubungan Interaktif antar Ranah Hasil atau prestasi belajar dapat dilihat melalui perubahan tingkat kemampuan aktual yang meliputi kemajuan pada penguasaan ilmu pengetahuan,

13

perubahan sikap dan keterampilan yang dicapai mahasiswa sebagai hasil dari apa yang dipelajari di kampus. Dalam teori taksonomi yang dikemukakan Bloom (1956) dikatakan, bahwa melalui proses belajar akan terjadi perubahan kemampuan daya pikir (kognisi) dalam bidang studi yang meliputi enam tingkat, yaitu : a. Pengetahuan, yaitu dapat mengenal, mengingat dan memproduksi bahan pengetahuan atau pelajaran yang pernah diberikan; b. Pemahaman, yaitu memahami materi atau gagasan yang diberikan. Mahasiswa mengetahui apa yang disampaikan dan dapat menggunakan materi atau gagasan yang diberikan tanpa perlu menghubungkannya dengan materi lain atau melihat implikasinya; c. Penerapan, yaitu menggunakan hal-hal yang abstrak dalam situasi yang khusus dan konkrit; d. Analisis, yaitu menguraikan suatu materi atau bahan yang diberikan, menjadi unsur-unsur atau bagian-bagian, sehingga kedudukan atau hubungan antar unsur atau bagian yang diungkapkan menjadi jelas; e. Sintesis, yaitu menghimpun atau menyusun unsur-unsur atau bagian-bagian sehingga membentuk keseluruhan, proses bekerja dengan bahan-bahan, unsurunsur, dan menyusun atau menggabungkannya menjadi pola atau struktur tertentu; f. Evaluasi, yaitu memberikan pertimbangan mengenai nilai dari bahan-bahan dan metode-metode untuk tujuan tertentu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah proses perubahan perilaku yang ditandai dengan adanya perubahan pada kognisi, afeksi maupun psikomotorik yang relatif menetap. Sedangkan prestasi belajar adalah hasil belajar yang dapat diukur baik intelektual, pengetahuan, sikap maupun keterampilannya. 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Setiap orang pada dasarnya mempunyai keinginan untuk menunjukkan kompetensi dengan menaklukan lingkungannya. Motivasi belajar merupakan

14

dorongan internal ke tingkah laku yang membawanya ke arah kemampuan dan penguasaan (Morgan, 1986). Worrel dan Stilwell (1991) mengatakan faktor-faktor kognitif di dalam motivasi di sini mencakup enam keterampilan kompetensi diri yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan mahasiswa. Keterampilan kompetensi itu berupa keterampilan untuk mengevaluasi diri sehubungan dengan pelaksanaan tugas mulai tugas anak didik, harapan sukses, keberhasilan tugas, locus of control, penguatan diri untuk mencapai tujuan. Sumadi (1993) mengatakan ada beberapa faktor yang berpengaruh dalam proses pencapaian prestasi belajar. Sebagai suatu proses maka ada tiga aspek yang saling terkait yang menentukan tingkat prestasi belajar seseorang. Adapun ketiga aspek tersebut adalah aspek masukan (input), asapek proses (process) dan aspek keluaran (output) atau disebut juga dengan hasil. Aspek pertama - masukan atau input - adalah berisi potensi psikofisik yang dimiliki anak didik atau mahasiswa. Aspek fisik tersebut meliputi kesehatan badan, pancaindera dan organ-organ tubuh lainnya yang mendukung proses belajar, sedangkan aspek psikis meliputi daya inteligensi, minat, bakat, emosi dan aspek-aspek kepribadian lainnya. Kedua - aspek proses - adalah semua aspek yang mempengaruhi proses belajar baik secara langsung maupun tidak langsung seperti aspek sekolah, yang meliputi staf pengajar, kurikulum, gedung dan fasilitas belajar lainnya yang mendukung keberhasilan belajar, seperti perpustakaan, alat-alat laboratorium, dan aspek penunjang lainnya. Aspek luar sekolah seperti orangtua dan kondisi rumah tangga juga keadaan ekonomi, sosial dan politik. Aspek ketiga adalah keluaran atau output yaitu sasaran pendidikan yang ingin dicapai, misalnya tujuan pendidikan. Juga termasuk hasil yang sudah dicapai misalnya kuantitas dan kualitas alumni, prestasi sekolah yang telah dicapai. Semua aspek keluaran ini juga akan ikut mempengaruhi prestasi belajar seorang anak didik. Cagne (dalam Soetarlinah Sukadji, 1988) mengatakan bahwa prestasi belajar ditentukan oleh aspek internal dan aspek eksternal. Keterangan dari masing-masing faktor adalah sebagai berikut :

15

a. Aspek internal meliputi kemampuan-kemampuan yang dimiliki individu yang diperlukan dalam proses belajar yang terdiri dari aspek fisik dan aspek psikis. Faktor psikologis antara lain faktor intelektual, bakat dan minat, motif berprestasi, kebiasaan belajar dan lain sebagainya. Sedangkan aspek fisik meliputi pancaindera, kelengkapan fisik serta kesehatan individu. b. Aspek eksternal meliputi lingkungan keluarga dan masyarakat serta lingkungan sekolah. Aspek lingkungan keluarga dan masyarakat meliputi cara pola asuh, kondisi sosial ekonomi keluarga, dan kondisi sosisal dan nilai-nilai di masyarakat. Sedangkan aspek lingkungan sekolah meliputi kondisi potensi para pengajar, kelengkapan sekolah, sarana dan prasarana dalam belajar, termasuk kurikulum dan sistem pendidikan yang diererpakan. Banyak ahli yang memberikan pendapat mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dan beberapa penelitian telah dilakukan. Herzberg (dalam Siagian, 1995) pelopor teori motivasi - higiene, menyimpulkan hasil penelitiannya tentang apakah sesungguhnya yang diinginkan seseorang dari kegiatannya. Ia berkeyakinan bahwa hubungan seseorang dengan kegiatnnya sangat mendasar dan karena itu sikap seseorang terhadap kegiatan itu sangat mungkin menentukan keberhasilan atau kegegalannya. Dalam hubungan ini Child (1977) menyarankan agar faktor internal dan faktor ekternal dapat mendukung motivasi belajar. Selanjutnya dalam rangka mendukung motivasi faktor eksternal adalah dengan jalan memberikan intensitas stimulus. Berilah stimulus-stimulus yang baru dan aktual serta yang beragam. Lebih lanjut ia menyarankan, dalam kaitan ini, adalah upayakan stimulus yang berwarna, bergerak, dan berikanlah stimulus tersebut secara berkala. Sejalan dengan itu apabila proses belajar-mengajar ingin berhasil, pendidik harus memotivsasi anak didiknya, yang perlu ditekankan adalah faktorfaktor yang menimbulkan rasa puas, yaitu dengan mengutamakan faktor-faktor motivasional yang sifatnya intrinsik. Penelitian Toto Kuwato, dkk. (1990) menemukan bahwa inteligensi, motif berprestasi, jenis kelamin dan asal sekolah (asal SLTA) berkorelasi dengan prestasi belajar mahasiswa. Ditemukan bahwa indeks prestasi mahawiswa wanita lebih tinggi dibanding pria.

16

3. Pengukuran Prestasi Belajar Pengukuran pendidikan mencakup beberapa bidang. Kalau kita menggunakan taksonomi psikologi belajar yang banyak digunakan orang, pengukuran mencakup bidang kognitif, bidang afektif, dan bidang psikomotor. Biasanya bidang kognitif pengukurannya melalui uji tes. Bidang afektif diukur melalui kuesioner, wawancara, dan mungkin juga melalui pengamatan, sedangkan bidang psikomotor diukur melalui perbuatan dan pengamatan (Dali S. Naga, 1992). Dalam penelitian ini prestasi belajar diukur dengan indeks prestasi kumulatif (IPK), yaitu indeks prestasi rata-rata yang dicapai seorang mahasiswa sekurang-kurangnya dalam 3 semester. Di STIA-LAN, seperti juga di perguruan tinggi lainnya IPK dihitung dengan rumus. Jumlah Mutu Jumlah Ssatuan Kredit Semester (SKS) Jumlah mutu ialah SKS x Bobot Nilai Bobot nilai sama dengan indeks (koefisien nilai) yang berskala 0 - 4 yang dilambangkan dengan huruf yaitu : A = 4; B = 3; C = 2; D = 1; E = 0. Para mahasiswa diwajibkan sekurang-kurangnya mencapai nilai C atau 2,00. Mahasiswa yang IPK-nya kurang dari 2,00 tidak diperkenankan mengikuti ujian akhir kesarjanaan. Untuk keperluan penelitian ini, IPK mahasiswa selain dimintakan kepada para mahasiswa yang menjadi responden untuk menuliskannya pada instrumen penelitian, juga dilakukan pengecekan silang kepada data base nilai di komputer STIA-LAN. Manakala terdapat perbedaan IPK antara yang dtuliskan sendiri oleh mahasiswa dengan yang terdapat pada data base nilai pada komputer, yang diambil adalah IPK menurut nilai pada data base itu. B. kebiasaan Belajar 1. Pengertian Kebiasaan Belajar

17

Secara umum kebiasaan belajar dapat diartikan sebagai suatu perilaku (action) seseorang dalam belajar, yang diakibatkan suatu latihan tertentu maka dia cenderung untuk selalu mengulang materi yang pernah dipelajari untuk lebih memahami dan mengerti materi pelajaran tersebut. Kebiasaan belajar ini merupakan suatu perilaku otomatis atau suatu kebiasaan yang sangat positif pengaruhnya untuk mempelajari sesuatu materi pelajaran. Lebih lanjut Winarno (1982) mengatakan bahwa berhasil tidaknya seseorang dalam belajar ditentukan oleh mantap tidaknya cara-cara dia mempelajari sesuatu. Belajar secara aktif dapat dicapai melalui kebiasaan belajar yang positif. Kebiasaan belajar merupakan cara yang sangat baik untuk mehami suatu materi pelajaran. Sedangkan Mouly (1967), mengatakan bahwa kebiasaan belajar merupakan hal yang penting dalam menentukan efektif tidaknya usaha belajaa yang dilakukan. The Lian Gie (1988) mengatakan bahwa agar seseorang dapat belajar dengan baik, dia harus mengetahui lebih dulu metode atau teknik, kemahiran atau cara-cara berfikir dan berperilaku yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi sesuatu perilaku yang otomatis dalam belajar. Kebiasaan belajar merupakan suatu usaha dari seseorang untuk membentuk sendiri kebiasaan itu. Kebiasaan belajar yang baik akan timbul jika seseorang berniat dan termotivasi untuk melakukannya sehingga dapat mencapai prestasi belajar yang baik. Dalam kebiasaan belajar terkandung perilaku belajar yang dilakukan berulang-ulang secara teratur setiap hari. Jadi kebiasaan belajar merupakan tingkah laku yang terbentuk karena dilakukan berulang-ulang dengan mengikuti cara atau pola tertentu. Sikap dan kebiasaan di sekolah maupun di rumah akan menentukan tingkat prestasi belajar seorang mahasiswa. Reilly dan Lewis ( 1983) mencoba membedakan faktor yang mendorong timbulnya kebiasaan belajar dari teori belajar behavioristik dan teori kognitif. Kebiasaan belajar berdasarkan sudut pandang behavioristik, belajar selalu mengikuti proses hubungan antara stimulus dengan respons (S-R). Dengan demikian teori belajara ini dirasakan hanya melihat proses belajar dari sudut permukaan atau sesuatu yang nampak hanya dari perubahan tingkah laku semata. Sementara kelompok kognitif menganggap belajar adalah perubaha

18

persepsi dan pemahaman dalam diri seseorang, jadi tidak harus selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku. Galloway (1976) menambahkan bahwa belajar merupakan proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi dan faktor-faktor lain. Jadi proses belajar mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Menurut Piaget (dalam Good dan brophy, 1990) ada empat periode perkembangan berpikir individu yaitu : a. b. c. d. tahap sensori motor saat lahir hingga usia 18 bulan. tahap pra-operasional usia 18 bulan hingga usia 7 tahun. tahap operasi konkrit usia 7 tahun sampai 12 tahun. tahap operasi formal usia 12 tahun hingga seterusnya. Dengan demikian diperkirakan bahwa konsep perkembangan dan proporsi. Belakangan muncul pendapat dari Good (1990) tentang masih adanya tingkat berpikir yang lebih tinggi dari operasi formal yang disebut tingkat operasi dialektik atau tingkat penemuan yang ciri khasnya kesanggupan memecahkan masalah. Hooper dan Defrain (dalam Good, 1990) berpendapat bahwa sangat penting upaya pendidik dan orangtua untuk slelalu menyesuaikan perkembangan berpikir siswa dengan perkembangan prinsip belajarnya melalui intervensi yang sistematis yaitu dengan cara: a. b. c. d. Harus mementingkan proses daripada hanya semata-mata melihat produk pemikiran siswa; Berilah kesempatan bereksplorasi demi mengembangkan kemampuan kognitif , khususnya pada tingakat-tingkat dini; Berilah kesempatan untuk memperdebatkan mengenai pandanagan yang bertentangan; Doronglah siswa uhntuk belajar menemukan darpada mendapatkan tanggapan pasif. Menurut Bruner (dalam Toeti Soekamto, 1993) perkembangan kognitif seseorang ditentukan oleh bagaimana caranya individu melihat lingkungannya. Cara ini dapat terjadi melalui tiga tahap, yaitu :

19

Tahap pertama adalah tahap enaktif yaitu individu melakukan aktivitasaktivitas dalam usahanya memahami lingkungan. Tahap kedua adalah ikonik, dalam hal ini ia melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi. Tahap terkhir adalah tahap simbolik, dalam hubungan ini ia mempunyai gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika. Selanjutnya dikatakan bahwa semakin dewasa seseorang semakin dominan sistem simbolnya, meskipun hal ini tidak berarti bahwa orang dewasa tidak lagi memakai sistem ikonik atau enaktif. Proses belajar yang didasarkan atas dasar prinsip perkembangan berpikir berarti telah tercipta lingkungan belajar yang menguntungkan bagi anak didik karena di dalamnya terdapat dialog dan keterlibatan penuh antara anak didik dengan guru. Dalam dialog ini, pendidik telah melibatkan dirinya dalam dunia anak didik serta mampu mengahyati secara bersama kejadian-kejadian bermakna dalam mempelajari sesuatu materi. Situasi belajar yang demikian ini biasanya ditandai dengan adanya persiapan kondisi lingkungan yang efektif untuk tercapainya belajar menemukan (Conny Semiawan, 1981). Selanjutnya dijelaskan oleh Bloom (dalam Conny Semiawan, 1981) pembentukan sikap belajar banyak dipengaruhi oleh pengalaman belajar; (1) bidang kognitif; (2) bidang afektif, dan (3) bidang psikomotorik. Bidang kognirif mencakup pengetahuan, pemahaman, analisis, sintesis, dan kepekaan terhadap suatu fenomena atau nilai, mendapat kepuasan dan terlibat ke dalamnya, penghargaan, pernytaan, yaitu penyatuan sistem nilai. Bidang psikomotorik mencakup peniruan, penggunaan, ketelitian dalam memperoleh kecakapan, penyambungan yaitu koordinasi dari seri tindankan dan naturalisasi. Dengan demikiian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kebiasaan belajar di sini adalah cara-cara yang paling sering dilakukan oleh mahasiswa seperti dalam mengikuti pelajaran, mengkaji ulang pelajaran, membaca buku pelajaran dan lain sebagainya. Dan kebiasaan belajar adalah suatu sikap yang ditunjukkan para mahasiswa dalam belajar yang berdisiplin, dan termotivasi untuk berprestasi. 2. Faktor-faktor yang Membentuk Kebiasaan Belajar

20

Menurut The Liang Gie (1988) kebiasaan belajar yang baik ini hanya meungkin dimikili dan dikuasai seorang anak didik apabila sejak awal telah dibiasakan belajar menrurut cara-cara yang tepat. Untuk itu diperlukan sikap mental tertentu yang sekurangya meliputi empat segi yaitu (a) mempunyai tujuan khusus di dalam usaha belajarnya, (b) menaruh minat pada sertiap mata pelajaran, (c) percaya pada diri sendiri, (d) memiliki keuletan. Menyiapkan diri dengan sikap mental serta perilaku yang tepat harus didukung oleh usaha belajar yang baik dengan demikian prestasi belajarpun diharapkan akan semakin baik. Menurut Fermilye (dalam Winkel, 1991) kebiasaan belajar yang baik merupakan alat yang sangat penting dalam menentukan efektif tidaknya usaha mencapai prestasi belajar. Ditambahkannya bahwa kebiasaan belajar yang baik ditandai oleh ciri-ciri tertentu yaitu: (1) penggunaan waktu luang; (2) mengutamakan pengertian dan pemahaman; (3) sering ke perpustakaan; (4) mengulang pelajaran secara teratur; (5) bergairah dalam belajar; (6) senang berdiskusi; (7) rajin mengajukan pertanyaan. Dengan demikain dapat diasumsikan bahwa kebiasaan belajar yang baik ini hanya mungkin dimiliki dan dikuasai apabila sejak awal telah dibiasakan belajar menurut cara-cara yang tapat. Sikap ataupun kebaiasaan balajar termasuk salah satu aspek daripada karakteristik psikologis yang digolongkan dalam kemampuan intelektual. Menurut Don Binsted (dalam Mahrita, 1991) kebiasaan belajar akan menyebabkan keterampilan seseorang dalam belajar yang meliputi : a. sebagainya; b. c. Keterampilan psikomotor meliputi keterampilan-keterampilan gerak secara fisik, terutama dengan tangan; Keterampilan antar pribadi meliputi keterampilan yang berkaitan dengan interaksi terhadap orang lain, seperti keterampilan verbal, nonverbal dan lain-lain. Argyris dan Schon (dalam Mahrita, 1991) menyatakan bahwa kebiasaan belajar menyebabkan suatu keterampilan pada pengetahuan tertentu yang Keterampilan prosedural/metodologikal yang meliputi keterampilan belajar, keterampilan menyusun model pemecahan masalah dan

21

merupakan dimensi kemampuan seseorang yang dapat digunakan secra efektif dalam situasi dari suatu kegiatan. Keterampilan juga merupakan suatu pengetahuan yang dapat dipelajari yaitu merupakan pengetahuan yang bersangkut-paut dengan mengetahui bagaiman cara dan bagaimana seharusnya untuk dapat melakukan sesuatu dengan benar. Membentuk kebiasaan belajar merupkan suatu aspek pembentukan sikap dan tingkah laku belajar secara tepat. Keberhasilan membetuk sikap dan kebiasaan belajar yang baik, sangat tergantung pada kemauan mahasiswa sendiri. Tanpa sikap dan kebaisaan belajar yang baik suatu pengetahuan berupa pengertian maupun fakta-fakta akan segera terlupakan kalau belum tertanam dengan baik dalam ingatan. Suatu kecakapan belum dapat dikuasai sepenuhnya dan belum dapat diterapkan apabila belum melekat teguh dalam pikirannya. Menurut Winkel (1991) kebiasaan belajar bukanlah kecakapan atau kemampuan yang dibawa sejak lahir tetapi timbul karena adanya hal yang mendorong seseorang untuk belajar. Dorongan-dorongan tersebut adalah : a. b. c. d. e. f. Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas; Adanya sifat kreatif pada manusia dan keinginan untuk selalu maju; Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, dan teman-teman; Adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengna usaha yang baru, baik dengan koperasi maupun kompetisi; Adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman bila menguasi pelajaran; Adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir dari belajar. Selanjutnya Winkel (1991) mengatakan bahwa aktivitas belajar dapat berkembang menjadi kebiasaan belajar apabila dibiasakan sejak usia muda. Belajar masa anak-anak dengan mahasiswa (dewasa) pada dasarnya berbeda karena dalam belajar, anak-anak harus dibimbing oleh orang dewasa (pendidik), sedangkan pada mahasiswa cita-cita ditentukan oleh dirinya sendiri. Menurutnya keefektifan proses belajar ditentukan oleh a) bagaimana kebiasaan belajar yang dilakukan dan b) bagaimana kualitas belajar yang dilakukan. Kebiasaan belajar

22

yang dilakukan oleh mahasiswa di luar perkuliahan, dan dilakukan secara benar akan meningkatkan keefektifan proses belajar dan menunjang pencapaian prestasi belajar di sekolah. Terjadinya proses belajar di luar perkuliahan sangat tergantung pada kesadaran masing-masing individu untuk melakukan kebiasaan belajar yang baik. Beberapa aspek utama dalam melaksanakan kebiasaan belajar yang baik yaitu: a. Ulangan dan Latihan Faktor utama yang menentukan kemampuan untuk mempelajari suatu pelajaran adalah faktor ulangan dan latihan yang berkesinambungan. Ulangan dan latihan ini perlu dilakukan oleh seorang mahasiswa, baik mahasiswa yang cerdas maupun mahasiswa yang kurang cerdas, karena dengan ulangan dan latihan pengertian-pengertian dan fakta-fakta akan lebih mudah dikuasi. Hal ini sesuai dengan hukum latihan yang dikemukakan Thorndike (dalam Sumadi, 1993) bahwa hubungan atau koneksi dari pemahaman beberapa konsep akan bertambah kuat kalau ada pengulangan atau latihan yang terus dan sebaliknya. Hubungan atau koneksi akan menjadi bertambah lemah atau terlupakan kalau latihan atau pengulangan dihentikan. b. Penyempurnaan Informasi yang Akan Diserap Informasi yang biasa diperoleh di sekolah adalah berupa catatan atau menginventarisasi informasi yang akan dipelajari; di samping mengulang, aspek kelengkapan dan kesempuarnaan informasi yang akan dipelajari juga berpengaruh terhadap hasil belajar. Untuk mencapai prestasi belajar yang maksimum, sangat mutlak siswa memperoleh informasi pelajaran yang lengkap dan akurat. Sering kegagalan dalam belajar dialami seorang siswa bukan karena kemampunnya yang kurang, namun karena kesalan informasi yang diperoleh dalam belajar. Oleh karena itu, keberhasilan proses belajar sangat ditentukan kelengkapan dan kesempurnaan informasi yang biasanya berupa catatan yang dibuat di perkuliahan. Sehubungan dengan itu, seorang mahasiswa harus mengikuti pelajaran di perkuliahan dengan tertib dan penuh perhatian serta berusaha mencatat dengan baik semua bahan pelajaran yang diberikan oleh pengajar. Catatan yang baik hanya dapat dimiliki oleh

23

mahasiswa yag mempunyai kecakapan mencatat bahan pelajaran dengan efisien, apalagi kalau pengajarnya tidak mampu menyajikan inti bahan yang akan diajarkan dengan sempurna. Mencatat bahan pelajaran adalah satu seni dan memerlukan kemampuan untuk dapat menggabungkan kecakapan mendengarkan uraian dengan cermat, menagkap uraian itu dengan baik, dan mengolahnya di dalam pikiran. Kemampuan mencatat ini dapat dimiliki oleh setiap mahasiswa jika ia mau memperhatikan dan melakukan beberapa kebiasaan yang baik dalam mengikuti pelajaran. Kebiasaan-kebiasaan tersebut antara lain, mengikuti pelajaran atau perkuliahan serta memusatkan perhatian pada pelajaran atau perkuliahan yang diberikan oleh pengajar, dan sebelumnya telah membaca bahan yang akan diterimanya dari perkuliahan. c. Ketepatan Mengatur Waktu Belajar Salah satu masalah yang sering dihadapi mahasiswa ialah kesukaran dalam mengatur waktu belajar. Walaupun mereka mempunyai waktu yang cukup banyak untuk belajar namun mereka kurang dapat memanfaatkan waktunya untuk berbagai keperluan. Mereka tidak menyelidiki waktu-waktu yang terbaik bagi merka sendiri untuk belajar dan tidak mempunyai rencana belajar yang tepat. Padahal perlu disadari bahwa waktu sangat berharga bagi seorang mahaasiwa, karen cara belajar apapun yang digunakan tetap membutuhkan waktu yang cukup. Oleh karena itu, sangatlah waktunya sebaik-baiknya untuk bijaksana jika seorang keperluan yang mahasiswa menghemat waktu, dan untuk itu perlu merencanakan penggunaan bermacam-macam bermanfaat. Berbagai segi dan kemungkinan dalam mengatur penggunaan waktu perlu dipelajari dengan sebaik-baiknya oleh seorang mahasiswa agar dapat berhasil denga baik. Sebenarnya waktu di luar kuliah lebih banyak daripada waktu kuliah, oleh karena itu pemanfaatan waktu di luar kuliah untuk belajar lebih terbuka. Waktu belajar yang digunakan di dalam perkuliahan sudah diatur dalam bentuk jadwal pelajaran yang sama untuk semua mahasiswa. Dalam hubungan ini mahasiswa harus dapat membagi waktu antara waktu istirahat dan mengulang pelajaran. Mahasiswa juga harus membiasakan diri untuk bisa memprioritaskan pelajaran, manakah yang mendapat porsi lebih banyak dan manakah yang sedikit. Seperti misalnya

24

pelajaran matematika, mahasiswa harus terbiasa untuk tidak hanya menghafal rumus tetapi juga melatih menggunakan rumus dalam bentuk latihan soal. Beberapa ahli juga memberikan tanggapan tentang kebiasaan belajar yang berkaitan dengan masalah pengulangan dalam belajar tersebut. Sumadi (1993) mengatakan bahwa makin sering suatu pelajaran diulangi maka makin dikuasailah pelajaran tersebut dan hal ini sesuai dengan hukum latihan. Jadi prinsip utama belajar adalah mengulang-ulang. Akan tetapi sebelum melakukan pengulangan terlebih dahulu mahasiswa harus memahami pelajaran itu. Pengulangan dimaksudkan agar pemahaman lebih mendalam dan tah lama. Pengulangan hendaknya dilakukan secara terus-menerus, teratur dan perlu ada jarak antara kegiatan-kegiatan ulangan. Selain itu perlu mencari berbagai variasi untuk menghindari rasa bosan dalam belajar. Ternyata belajar 10 x 2 lebih baik daripada belajar 2 x 10. Maksudnya adalah lebih banyak mengulang bahan pelajaran dengan jumlah yang sedikit lebih baik daripada mengulang sekaligus dengan bahan pelajaran dalam jumlah yang besar. Hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ebbinghaus (dalam Sumadi, 1993), diperoleh hasil bahwa ternyata waktu belajar yang dibagi-bagi dalam bagian-bagian tertentu, memberikah hasil yang lebih baik dibanding waktu belajar yang dilakukan sekaligus dalam satu waktu. Menurut Winkel (1991), untuk meningkatkan keefektifan proses belajar mengajar di kelas, para mahasiswa harus memiliki kebiasaan yang baik dalam mengikuti pelajaran. Menurut The Liang Gie (1988), kebiasaan belajar yang baik biasanya ditandai dengan (1) keteraturan dalam belajar; (2) disiplin belajar; (3) konstrasi; dan (4) yang terakhir yang ikut mempengaruhi adalah bagaiman tanggapan mahasiswa atas pendidikan yang diterma (orientasi studi). Dari uraian di muka dapat disimpulkan menjadi 4 prinsip kebiasaan belajar, yaitu : a. Prinsip Keteraturan Hanya dengan belajar secara teratur akan diperoleh hasil yang baik. Prinsip keteraturan meliputi mengikuti pelajaran secara teratur, mendengarkan perkuliahan, menyusun catatan secara teratur, dan membaca buku-buku pelajaran. Bila sifat keteraturan ini telah benar-benar dihayati akan menjadi

25

kebiasaan dalam belajarnya. Sifat ini akan mempengaruhi pula jalan pikiran mahasiswa. Pikiran yang teratur merupakan model bagi seseorang dalam menutut ilmu, karena ilmu adalah hasil dari proses pemikiran yang dilakukan secara sistematis. b. Prinsip Disiplin Belajar scara teratur hanya mungkin dijalankan jika mahasiswa memiliki disiplin yakni mentaati rencana yang sudah diatur sebelumnya. Godaangodaan yang bertujuan menangguhkan usaha belajar dapat dihindari jika mahasiswa tersebut memiliki disiplin diri. c. Prinsip konsetrasi Seseorang tidak mungkin berhasil memahami bahan-bahan pelajaran yang sedang dipelajarinya jika upaya itu dilakukan tanpa konsentrasi. Konsentrasi adalah pemusatan pikiran terhadap suatu hal dengan mengesampingkan semua hal lainnya yang tidak berhubungan. Dalam belajar, lingkungan yang kondusif dan keterlibatan yang penuh antara anak didik dan guru amat mempengaruhi pemusatan pemikiran. Oleh karen itu, konsentrasi berarti pemusatan pikiran terhadap suatu mata pelajaran dengan apa yang sedang dipelajari. Tidak semua mahasiswa memiliki kemampuan konsentrasi yang sama terhadap sesuatu. d. Orientasi studi Orientasi studi seorang mahasiswa juga mempengaruhi kebiasaan belajarnya. Seorang mahasiswa yang mengartikan bahwa pendidikan kurang memberikan arti bagi hidupnya di masa depan akan menyebabkan kebiasaan belajarnya yang jelek. Orientasi studi yang positif akan menaikkan kuantitas dan kualitas kebiasaan belajarnya. Dari bahasan di muka tentang kebiasaan belajar dan faktor-faktor yang membentuk kebiasaan belajar dapat disimpilkan bahwa pada dasarnya kebiasaan belajar mencakup 4 prinsip, yaitu prinsip keteraturan, disiplin, konsentrasi dan orientasi studi. Dalam penelitian ini keempat prinsip kebiasaan belajar di atas dijadikan dasar penelitian. Keempat prinsip tersebut dijadikan indikator penyusunan instrumen penelitian tentang kebiasaan belajar.

26

3. Pengukuran Kebiasaan Belajar Pengukuran kebiasaan belajar dalam penelitian ini dilakukan dengan angket kebiasaan balajar yang dijabarkan dari keempat indikator seperti disebutkan di atas. Angket terdiri atas 30 pertanyaan berskala 1 - 4. Dengan skala tersebut kemungkinan skor yang diperoleh seorang responden adalah yang tertinggi 30 x 4, sedangkan yang terendah 30 x 1. Makin tinggi skor yang diperoleh responden makin baik kebiasaan belajarnya, dan makin rendah skor yang diperoleh maik buruk pula kebiasaan belajarnya. 4. Hubungan antara Kebiasaan Belajar dengan Prestasi Belajar Seperti diterangkan beberapa ahli di atas bahwa kebiasaan belajar memberikan pengaruh terhadap tingkat prestasi belajar seseorang. Penelitian dari Lyle dan Donald (dalam Togap P. Simanjuntak, 1994) menemukan bahwa ada hubugan antara kebiasaan belajar (study habits) dan sikap terhadap pelajaran dengan prestasi belajar. Teori menunjukkan bahwa keberhasilan mahasiswa dalam proses belajar juga dipengaruhi kualitas belajar yang dilakukan. Seseorang yang biasa belajar secara teratur akan lebih berhasil jika dibandingkan deang orang lain yang belajarnya tidak teratur. Seorang mahasiswa yang mampu berkonsentrasi untuk waktu lama di saat mendalami suatu mata pelajaran akan lebih berhasil dalam mata pelajaran tersebut dibandingkan dengan orang lain yang hanya mampu berkonsentrasi sebentar saja. Penelitian Callahan (dalam Fuad Abdurahman, 1991) juga menunjukkan bahwa kebiasaan belajar berkorelasi positif dengan prestasi belajar seseorang dan sikap belajar yang terus berlangsung (lasting attitude) terhadap proses belajar mempunyai korelasi yang positif terhadap prestasi belajar seorang mahasiswa. Penelitain hart (dalam Mahrita, 1991) menunjukkan hasil bahwa ada korelasi antar sikap belajar dengan prestasi belajar, mahasiswa yang bersikap positif dan selalu mengulang, bahan pelajaran prestasi matematikanya juga baik. Sedangkan penelitian Tutuhatunewa (dalam Theresia, 1987) di beberapa sekolah di Ambon menemukan adanya korelasi positif antara kebiasaan belajar dan presatasi belajar para mahasiswa. Selanjutnya dinyatakan juga bahwa kebaisaan belajar mahasiswa yang baik menyebabkan prestasi belajarnya menjadi

27

lebih baik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebiasan belajar mempengaruhi prestasi belajar. Dari berbagai uraian teoritik dan dari hasil penelitian beberapa ahli, dapat diasumsikan bahwa kebiasaan belajar sesorang menentukan tingkat prestasi belajar para anak didik. Penelitain Togap P. Simanjuntak (1994) tentang hubungan antara intelegensi di atas rata-rata dengan prestasi belajar matematika, menemukan 37 orang dari 200 orang murid SMA bernilai kurag dari 40 dari skala nilai 0 - 100. Ia menunjuk kemungkinan kepada faktor lain seperti kebiasaan belajar yang kurang baik dan minat yang kurang menyebabkan nilainya rendah. Jadi dengan inteligensi rata-rata saja, anak didik yang mempunyai kebiasaan belajar baik, dapat berprestasi dengan baik. Hingga saat ini belum ada temuan penelitian yang menyatakan bahwa anak didik yang kebiasaan belajarnya baik prestasi belajarnya buruk.

C. Motif Berprestasi 1. Pengertian Motif dan Motivasi Sebelum membahas motif berprestasi akan diuraikan dahulu pengertian tentang motif dan motivasi. Motif adalah salah satu aspek penting yang harus dipahami untuk dapat mengerti mengenai tingkah laku manusia, karena motif meliputi sebab atau alasan mengapa seseorang bertingkah laku tertentu, beberapa ahli telah mencoba memberikan batas tentang motif. Sumadi (1993) mengatakan bahwa motif adalah keadaan dalam diri individu yang mendorong individu untuk melakukan aktivitas tertentu guna mencpai suatu tujuannya telah ditentukan oleh dirinya. Bimo walgito (1982) berpendapat bahwa motif adalah suatu kekuatan yang terdapat dalam diri organisme yang menyebabkan organisme itu bertindak, dan biasanya dorongan tindakan ini ditujukan untuk suatu tujuan tertentu. Morgan (1986) mendefinisikan motivasi sebagai tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya tingkah laku ke arah suatu tujuan tertentu.

28

Dalam kaitan ini apabila seseorang mempunyai motivasi maka ia akan memperlihatkan minat, mempunyai perhatian, dan keinginan melakukan suatu kegiatan. Selain itu, bila ia belajar akan memberikan waktu untuk pelajaran itu, serta berusaha menyelesaikannya (Worrel dan Steilwell, 1981). Penganut toeri dorongan (drive theorities) seperti Freud, Dennis Morgan dan kawan-kawan, berpendapat bahwa tingkah laku seseorang didorong ke arah suatu tujuan tertentu karena adanya suatu kebutuhan, kebutuhan ini menyebabkan adanya dorongan internal yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang menuju ke arah tercapainya suatu tujuan. Tercapainya tujuan tersebut akan menyebabkan menurunnya intensitas dorongan. Dennis Coon (1983) menggambarkan hubungan kebutuhan dengan motivasi sebagai berikut :
kebutuhan

dorongan

tingkah laku

tujuan

pengurangan/penambahan kebutuhan

Gambar 3 : Hubungan Kebutuah dengan Motivasi Morgan (1986) mengatakan bahwa dorongan-dorongan merupakan sesuatu yang dapat dipelajari dan berasal dari pengalaman-pengalaman di masa lalu, sehingga berbeda untuk setiap orang. Selanjutnya ia berpendapat bahwa teori dorongan mungkin lebih tepat diberlakukan pada beberapa motif biologis seperti lapar, haus, dan seks. Menurut Bimo Walgito (1982) bahwa motif itu pada dasarnya dapat dibedakan atas dua bagian yaitu : a. b. Motif biogenetis adalah motif yang didasari oleh tuntutan yang bersifat biologis seperti makan, minum, kawin dan sebagainya. Motif sosiogenetis adalah motif yang didasari oleh tuntutan yang bersifat sosial seperti sebagainya. keinginan berteman, bergaul, disukai dan berkumpul dan

29

Atkinson dan Reitman (dalam Sri Mulyani Martaniah, 1982) mengartikan motif sebagai suatu disposisi laten yang mendorong dan meng-arahkan individu untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan. Tujuan tersebut dapat berupa prestasi, afiliasi ataupun kekuasaan. Dari berbagai pendapat di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan motif adalah suatu dorongan yang ada dalam diri individu yang bersifat disposisi laten yang mendorong individu untuk bertindak sesuatu, untuk mencapai pemenuhan dari kepentingan dan tujuannya. Menurut beberapa ahli, pengertian motivasi sedikit berbeda dengan motif. Menurut Atkinson dan Reitmen (Sri Mulyani Martaniah, 1982) mengatakan bahwa motif selalu berhubungan erat dengan motivasi. Atkinson (1985) berpendapat bahwa motivasi adalah sesuatu kondisi aktif dalam diri individu yang terjadi sewaktu motif berhubungan dengan suatu pengharapan, dan bahwa tindakan yang akan dilakukan adalah suatu usaha untuk mencapai tujuan motifnya. Winkel (1991) berpendapat bahwa motivasi adalah sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat tertentu, bila kebutuhan untuk mencapai tujua dirasakan/dihayati. Sedangkan McClelland (1967) berpendapat bahwa timbulnya motivasi adalah ditujukan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang timbul sebagai akibat adanya hasil interksi antara motif dalam diri seorang dengan faktor-faktor lain. Tolman (dalam Atkinson, 1985) menjelaskan maslah interaksi melalui konsep cognitive expectancy. Dikatakan bahwa motif tertentu akan diarahkan dan muncul menjadi suatu aktivitas bila terdapat suatu tanda (atau disebut cues) dari situasi yang dihadapi, yang dapat dinilai apabila aktivitas itu dilaksanakan maka akan tercapati suatu kepuasan tertentu. Lebih lanjut Atkinson berpendapat bahwa suatu aktivitas tertentu dapat menyebabkan terpuaskannya beberapa motif sekaligus, ataupun ada juga pada beberapa aktivitas yang sama terpuaskannya hanya satu jenis motif. Aktivitas itu berupa tindakan atau tingkah laku. Dari berbagai pendapat di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan motivasi adalah motif dalam diri individu pada kondisi aktif karena berhubungan dengan suatu rangsang atau harapan. Sedangkan

30

motif adalah kondisi dalam diri individu yang dapat mendorongya untuk bertindak atau bertingkah laku. 2. Pengertian Motif Berprestasi Kurt Lewin (dalam Sri Mulyani Martaniah, 1982) meneliti masalah motif berprestasi yang dia sebut dengan istilah deermining need, namun yang berhasil menyebarluaskan konsep motif berprestasi dan mengembangkan metode pengukurannya adalah McClelland. McClelland (1967) menyatakan bahwa pemahaman tentang motivasi akan semakin mendalam apabila disadari bahwa setiap orang mempunyai tiga jenis kebutuhan, yaitu Need for Achievement (NAch.) atau motif berprestasi; Need for Power (N-Aff.) atau motif berafiliasi. McClelland (1967) mengatakan bahwa motif berprestasi adalah suatu motif yang ada dalam diri seseorang yang mendorong orang tersebut untuk berusaha mencapai suatu kesuksesan atau keberhasilan dalam suatu kompetisi dengan suatu standard atau ukuran keunggulan. Ukuran keunggulan ini dapat dengan acuan prestasi orang lain, akan tetapi juga dapat dengan membandingkan prestaai yang dibuat sebelumnya. Lebih jauh McClelland menggambarkan bahwa orang yang mempunyai motif berprestasi tinggi, mempunyai sikap yang positif terhadap sutau situasi yang mengacu ke arah preastai. Orang yang mempunyai motif berprestasi tinggi akan dapat lebih berprestasi dalam studi. Dalam hubungan ini ia dapat berpacu dengan ukuran keunggulan. Dan biasanya hasil yang dicapainya diinternalisasikan dalam dirinya yang kelak ditujukan untuk mencapai prestasi yang lebih baik. Oleh sebab itu, orang yang mempunyai motif berprestasi tinggi selalu menginginkan segera evaluasi dari tindakannya. Apabila kegagalan yang diperolehnya, maka dia akan segera mempelajari akibat-akibat yang mungkin menjadi penyebab terjadinya kegagalan, serta mencari cara-cara mengatasinya yang lebih baik melalui belajar ataupun latihan. Sedangkan apabila kesuksesan telah dicapai, maka ia biasanya, selalu mencari cara-cara atau metode baru untuk mengushakan bagaimana keberhasilan di masa lalu dapat lebih diperbaiki lagi, baik dari segi kualitas mauapuan efisiennya. Oleh karen itu dikatakan bahwa ciri seseorang yang mempunyai motif berprestasi tinggi selalu menghargai ketepatan waktu.

31

Atkinson (1985) menganggap bahwa motif berprestasi adalah suatu disposisi kepribadian yang selalu berusaha untuk mencapai sesuatu kesuksesan. Dalam motif berprestasi terdapat dua tendensi yaitu (a) tendensi mendekati keberhasilan dan (b) tendensi menghindari kegagalan. Atkinson menambahkan bahwa pada orang yang tinggi motif berprestasinya dalam mencapai suatu hasil lebih bertendensi untuk mencapai keberhasilan, sehingga cenderung lebih senang bekerja pada tugas yang tingkat kesulitannya sedang. Orang yang rendah motif berpresatsinya dalam mengerjakan tugas, lebih bertendensi menghindari kegagalan melakauakan sesuatu tindakan dalam situasi yang memaksa atau pada taraf kesukaran yang rendah. Jika mereka dihadapkan pada tugas yang lebih sukar atau lebih mudah, motif berprestasinya akan lebih rendah. Dalam bekerja mereka lebih bertendensi bagaimana menghindari kegagalan yang didasari rasa kecemasan atau was-was karena takut gagal, sehingga cenderung memilih tugas yang sulit atau yang sangat mudah. 3. Beberapa Konsep dan Teori Motif Berprestasi. Para ahli telah mecoba memberikan definisi dan juga melakukan penelitian mengenai motif berprestasi. McClelland (1967) memberikan definisi tentang motif berprestasi, yaitu suatu motif yang ada dalam diri seseorang yang mendorong orang tersebut untuk berusaha mencapai suatu kesuksesan atau keberhasilan dalam suatu kompetisi dengan suatu standar atau ukuran keunggulan. Ukuran keunggulan ini dapat membandingkan dengan ukuran prestasi orang lain, membandingkan dengan prestasi yang dibuat atau diraihnya sebelumnya. McClelland menggamabarkan bahwa orang yang mempunyai motif berprestasi yang tinggi, mempunyai sikap yang postif terhadap suatu situasi yang mengacu ke arah prestasi. Orang yang mempunyai motif berprestasi yang tinggi akan dapat lebih berprestasi, karena ia berpacu mencapai hasil dengan-ukuran keunggulan. Menurut Heckhausen (dalam Fuad Abdurahman, 1991) kondisia seperti itu terjadi akibat pada motif berprestasi terdapat kekuatan yang saling bertentangan yaitu ketakutan akan kegagalan, dan harapan akan sukses. Dalam penelitiannya terbukti bahwa subjek yang telah memperoleh latihan dan mendapat sukses,

32

adalah mereka yang sebelumnya mempunyai ketakutan akan gagal lebih tinggi dibanding mereka yang mempunyai harapan akan sukses. Dalam kaitan ini Heckhausen (dalam Fuad Abdurahman, 1991) juga mengembangkan teori motif berprestasi ini ke arah kemampuan koginitif. Dia mengatakan bahwa motif berprestasi adalah suatu usaha untuk meningkatkan atau mempertahankan kecakapan pribadi stinggi mungkin dalam segala aktivitas, dan suatu yaitu : a. b. c. Yang berhubungan dengan tugas, yaitu menilai berdasarkan kesempurnan hasil; Yang berhubungan dengan keunggulan diri sendiri, yaitu membandingkan keberhasilan dengan prestasi sendiri; Yang berhubungan dengan keunggulan atas orang lain, yaitu membandingkan keberhasilan diri sendiri dengan keberhasilan orang lain. Heckhausen dan Kukla (dalam Fuad Abdurahman, 1991) mengatakan bahwa orang yang mempunyai motif berprestasi tinggi, menganggap sebagai kesuksesan adalah dikarenakan kemampuan yang tinggi dan usaha yang keras. Sedangkan pada orang lain yang mempunyai motif berprestasi yang rendah menganggap bahwa kegagalan adalah disebabkan kemampuan yang rendah, bukan karena usaha yang kurang. 4. Ciri-ciri Individu yang Mempunyai Motif Berprestasi Tinggi Berikut ini akan dipaparkan pendapat para ahli, mengenai sifat-sifat dari individu yang mempunyai motif berprestasi yang tinggi. Dari hasil-hasil penelitiannya, mereka mencoba merumuskan tentang ciri-ciri dan sifat orang yang mempunyai motif berprestasi yang tinggi. Heckhausen (dalam Fuad Abduraman, 1991) juga telah mencoba memberikan gambaran dari sifat-sifat ataupun ciri-ciri dari individu yang mempunyai motif berprestasi tinggi yatiu : a. Lebih senang dan mempunyai kepercayaan apabila menghadapi tugas yang berhubungan dengan prestasi; ukuran keunggulan digunakan sebagai pembanding. Selanjutnya Heckhausen membedakan ukuran keunggulan menjadi tiga kelompok bagian,

33

b.

Lebih mementingkan masa depan, pandang terhadap penghargaan akan masa depan lebih penting daripada pemuasan diri masa skarang. Jadi mereka mampu menunda dorongan diri saat ini demi masa depan yang lebih baik.

c. d. e.

Cenderung memilih tugas yang taraf kesukarannya sedang; Lebih tangguh mengerjakan tugas, serta lebih senang bekerja sama dengan seseorang berdasarkan kemampuan dan prestasi; Berusaha untuk mempersiapkan diri agar lebih mampu mencapai sesuatu yang diinginkan. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang mempuayi motivasi

yang tinggi, justru akan menurun motivasinya apabila selalu memperoleh keberhasilan dalam melaksanakan tugas. Sebaliknya apabila mereka kadangkadang mengalami kegagalan, maka hal ini justru akan dapat meningkatkan motivasinya kembali (Gage dan Berliner, 1979). Pusat Teknologi Pengembangan (PTP), ITB Bandung (1990), mengatakan bahwa motif berprestasi adalah suatu keinginan dalam diri seseoang yang ditujukan untuk berprestasi lebih baik.keinginan ini ditandai dengan beberapa perbuatan antara lain adalah : a. b. dikerjakan; c. Senantiasa berusaha mencari pekerjaan yang resikonya dirasakannya akan dapat diatasinya sendiri. 5. Pengukuran Motif Berprestasi Pengukuran motif berprestasi yang sudah banyak dikenal adalah dengan teknik TAT (Thematic Apperception Test). Murray (dalam Mahrita, 1991) menyusun tes ini berdasar atas anggapan dasar bahwa motivasi adalah hasil dari ide-ide yang bertujuan kepada pemuasan suatu harapan atau kebutuhan. Mortivasi merupakan sumber informasi yang dapat dipercaya mengenai motif. Terdapat hubungan antara motivasi dan persepsi dengan rangsangan dari luar yang berasal dari lingkungan yang dipisahkan dengan hasil fantasi. Selanjutnya hubungan Berusaha melakukan sesuatu secara kreatif dan inovatif saat menentukan standar prestasi kerjanya; Selalu berusaha mendapatkan umpan balik atas apa yang

34

tersebut ditimbulkan dalam bentuk yang disebut appersepsi. Dalam appersepsi terkandung unsure-unsur motivasi. Jadi appersepsi dapat menjadi sumber informasi tentang motivasi apabila orang dapat menginterpretasikan dengan benar. TAT terdiri atas suatu seni gambar yang berarti ganda (ambigous) seperti ilustrasi cerita dalam majalah, kepada peserta tes diminta mengarang cerita tentang masing-masing gamabar dengan menjelaskan; 1) apa yang terjadi dalam gambar, 2) ke arah apa adegan yang digambarkan, 3) apa yang dirasakan atau dipikirkan orang-orang dalam gamabar, dan 4) apa yang akan terjadi di akhir cerita. Tes yang lain untuk mengukur motif berprestasi adalah tes yang disusun Albert Mehrabian (dalam Mahrita, 1991). Mehrabian mengukur ciri-ciri kepribadian orang yang mempunyai motif berprestasi tinggi dengan cara menyusun skala pengukuran yang mempunyai rentangan negatif dan positif masing-masing empat skala. Ciri-ciri orang yang mempunyai motif berprestasi tinggi menjadi acuan untuk menyusun kisi-kisi dan butir-butir pertanyaan. Delam penelitain ini, pengukuran motif berprestasi dilakukan dengan menggunakan tes motif berprestasi yang diadopsi dari tes yang disusun oleh Siti Rahayu Haditono, yang penulis modifikasi redaksinya sesuai kebutuhan, tes berupa tes ceritera, yang terdiri atas 40 item. Tes yang dijdawab benar atau sesuai dengan standar keunggulan masingmasing seperti tesebut di atas diberi skor 1. dan yang dijawab salah diberi skor 0. kemungkinan skor tinggi yang dapat dicapai responden adalah 40 x 1, sedangkan kemungkinan skor terendahnya adalah 40 x 0. Makin tinggi skor yang dicapai makin tinggi pula motif berprestasi seseorang, sebaliknya makin rendah skor yang dicapai makin rendah pula motif berprestasi seseorang. 6. Hubungan antara Motif Berprestasi dengan Prestasi Belajar. Menurut Winterbottom (dalam Sri Mulyani Martaniah, 1982) bahwa anakanak dengan motif berprestasi yang tinggi, ternyata lebih mampu berdiri sendiri dan menguasi kecakapan-kecakapan tertentu. McClelland dan Winter (1976) menemukan bahwa dengan adanya beberapa latihan peningkatan motif berprestasi menyebabkan naiknya prestasi dari individu. McClelland (1976) mengatakan bahwa ukuran kesenangan yang tinggi bukan dari berhasil tidaknya serta

35

bagaimana usaha yang diberikan dalam mencapai suatu kesuksesan. Apabila mereka memberikan banyak usaha dan tenaga untuk mencpai kesuksesan, maka tingkat kepuasannya menjadi sangat tinggi. Motif berprestasi dapat ditingkatkan melalui latihan-latihan khusus. Orang yang tinggi motif berprestasinya biasanya mempunyai persiapan diri yang lebih baik dan apabila dalam konteks belajar, mereka mempsiapkan diri dalam belajar. Dengan kata lain mereka mempunyai kebiasaan belajar yang lebih baik. Penelitian Koentjoro (1990) menemukan bahwa ada pengaruh pelatihan motif berprestasi terhadap penaikan indeks prestasi para mahasiswa di Yogyakarta. Dari keseluruhan uraian tentang motif berprestasi, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya motif berprestasi adalah suatu usaha untuk meningkatkan atau mempertahankan prestasi setinggi mungkin dalam segala aktivitas, dan suatu ukuran keunggulan digunakan sebagai pembanding. .

DAFTAR PUSTAKA Achmad Husaeni, 1988. Pidato Sambutan Wisuda Sarjana STIA-LAN RI, Jakarta. Anastasi, A, 1961. Psycological Testing, The Mcmillan Company: New York. Aris Ananta, 1987. Landasan Ekonometrika, PT. Gramedia, Jakarta. Atkinson, J.W., 1958, Motives in Fantasy, Action, and Society. D. Van Nostran Co, Inc Princeton : New Jersey Atkinson, J.W. & Reitman. P., 1958. Performance as a Function Of Motive Strength and Expectancy of Goal Attainment. Dalam J.W. Atkinson (ed) Motives in Fantasy Action and Society. D. Van Nostrand Co Inc. Princeton : New York. Atwi Suparman, 1994, Pidato Laporan Ketua STIA-LAN, Wisuda Sarjana XXVIII, Jakarta. Bambang Tri Cahyono, 1983. Teori dan Praktek Kewiraswastaan (Tinjauan Psikologi Industri), Liberty : Yogyakarta.

36

Benedictus Labre, 1994, Pengaruh Persepsi Siswa tentang Interaksi dalam Keluarga, Lingkungan Sekolah dan Tingkat Aspirasi terhadap Sikap Siswa tentang Disiplin Skolah, Tesis, Universitas Indonesia, tidak diterbitkan, Jakarta. Bimo Walgito, 1982, Bimbingan dan Konseling di Perguruan Tinggi, Yayasan Penerbit Fak. Psikologi, Cet. I, Yogyakarta. Bintoro Tjokroamidjojo, 1992. Perencanaan Pembangunan. C.V., H. Masagung, Jakarta. Bloom, B.S., et. el., 1956, Taxonomy of Educational Objectivies, Handbook I, Cognitive Domain, David Mekay, New York. Borg, Walter R., and Gall Meredith Damien, 1979, Educational Research An Introduction, Longman Inc., New York. Brower, M.A., 1970. Kepribadian dan Perubahannya, PT. Gramedia, Jakarta. Bruner J., J.J. Goodnow & G.A. Austin, 1967, A Study of Thinking, Science Edition, Inc., New York. Buchari Zainun, 1989. Pengembangan Kualits Aparatur Negara, Pidato Wisuda VII Sarjana STIA-LAN RI. Bandung. Child, Dennis, 1977, Psychology and the Teacher, 2nd ed, Holt, Rinehart, Winston. Cole, A.H., 1959. Bussiness Enterprise in its Social Setting. Harvard University Press: Massachusetts. Cole, L., 1959. Psychology of Adolescence. 5th ad. Rinehart & Winston, Inc: New York. Conny Semiawan, 1990. Prinsip dan Teknik Pengukuran dan Penilaian di dalam Dunia Pendidikan, Mutiara Sumber Widya, Jakata. Coon, Dennis, 1983, Introduction to Psychology; Exploration and Application, 3rd ed, st. Paul, West Publ. Co. Costa, P.T., Jr., and R.R. McCrae, 1984. Personality and Vocational Interests in an Adult Sample. Journal of Aplied Psychology. 69 (3). 390 400. Crow, R.O., and Crow, 1973. General Psychology. Adams & Co: New Jersey. Dali S. Naga (1992), Pengantar Teori Skor pada Pengukuran Pendidikan , Penerbit Gunadarma, Jakarta.

37

Eddy Soewardi Kartawidjaja, 1992, Mengukur Sikap Sosial, Pegangan untuk peneliti dn Praktisi, Bumi Aksara, Jakarta. Edwards Allen L., Techniques of Attitude Scale Constructional, Appleton Century Crofts, Inc, New York, 1957. Eysenck, H.J., adn G.D. wilson (ed.) 1976. A Textbook of Human Psychology. MTP Press Ltd. : England. Fuad Abdurrahman, 1991, Prediksi Prestasi Belajar MIPA Berdasarkan Kondisi Kognitif Awal. Motivasi Berprestasi, dan Sikap, Disertasi FPS-IKIP Jakarta. Galloway, Charles, 1976. Psychology for Learning and Teaching, New York, Mc Graw-Hill Book Co. Gibson J.F. and J.M. Donnely, 1973. Organizational X Structure Proses Behaviour, Bussiness Publishing Inc., USA. Gilmer, B. VH, 1970, Psychology. Harper International. New York. Goble, Frank G., 1991, Mazhab Ketiga Psikologi Humanistik, Abraham Maslow. Penerbit Kanisius, Jakarta. Good, Thomas L., and Jere E. Brophy, 1990. Educational Psychology, Longman, New York. H.A.R. Tilaar, 1990, Pendidikan dalam Pembangunan Nasional Menyongsong Abad XXI, Balai Pustaka, Jakarta. Herman Hudoyo, 1979, Pengembangan Kurikulum Matematika Pelaksanaannya di Depan Kelas, Usaha Nasional, Surabaya. dan

Hunter, J.E., & Hunter, R.F., 1984. Validity and Utility of Alternative Predictors. Psychology Bulletin. No. 72-98. Kerlinger, Fred N., 1990, Asas-asas Penelitian Behavioral. (Alih Bahasa Landung R. Simatupang, Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Kimble, DC., 1974. Adulthood and Aging. John Wiley & Sons, Inc : New York Kuntjoro, 1990, Pengaruh Achievement Motivation Traning dna Jenis Kegiatan Mahasiswa terhadap Peningkatan Indeks Prestasi Mahasiswa, Laporang Penelitian, Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta.

38

Mahrita, 1991, Hubungan antara Keterampilan Belajar dengan Kemandirian Belajar serta Motivasi Berprestasi dan Jangka Waktu tertentu : Penelitian ini di UPBJJ-UT Banjarmasin, Desertasi, FPS-IKIP, Jakarta. Marvin, P., 1971. Developing Decision for Action. Don Jones Irwin, Inc. : Illionis. Marzuki Usman, 1997, Membangun Visi Kewiraan Aparatur Pemerintah di Daerah menyongsong Era perdagangan Bebas, makalah Seminar Reenginering Leadership for Organizational Motivation, tidak diterbitkan, LAN, Jakarta Masrun, 1979, Reliabilitas dan cara-cara Menentukannya, Fakultas Psikologi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. --------, 1979, Analisis Item, Fakultas Psikologi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. McClelland, D.C., 1961. The Achieving Society. Vakil & Sons Private Ltd. : Bombay. McCord, J., 1979. Some Child Rearing Antencendents of Criminal Behaviour in Adultmen. Journal of Personality and Social Psychology. Vol 37. p 14771486. Miftah Toha, 1993, Peningkatan Sumber Daya Manusia Aparatur Negara, Majalah Manajemen Administrasi Negara No. II/Februari, Jakarta. Monks. F.J. : Knoers, A.M.P. & Haditono, S.R., 1982. Psikologi Perkembangan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Morgan, Cliford T., er.al., 1986. Introduction to Psychology, Mc Graw-Hill Book Company, New York. Mouly, George J., 1967, Psychology for Effective Teaching, 2nd ed, Holt Rinehart Winston, Florida. Pandji Anaraga, 1992. Psikologi Kerja, Rineka Cipta, Jakarta. Pedhazur, E.J., 1973. Multiple Regression in Behaviour Research, CBS Collage Publishing, New York. Phophan, James., 1973. Educational Statistic, Harper & Row Publisher, New York.

39

Prasetya Irawan, Suciati, Wardhani, 1994, Teori Belajar, Motivasi, dan Keterampilan Mengajar, PAU, Ditjen Dikti Depdikbud, Jakarta. Reilly, Robert R. & Lewis, Erneet, 1983. Educational Psychology Application for Classroom Learning and Instruction, New York, Mc. Millan Publ. Co., Inc. Rodgers, R.C. & Maranto, C.L., 1989. Causal Model of Publishing Productivity in Psychology, Journal of Applied Psychology. Vol 74. 636 649. Roepke, J., 1978. Roepke, J., 1978. Kewiraswastaan Prisma (9), 66 - 82. dan Perkembangan Ekonomi Indonesia,

Sharma, J.L., Entrepreneurial Performance in Role Perspective. Abhinav Publications : New Delhi. Singgih D. Gunarsa & Y.S. Gunarsa Y.S., 1978. Psikologi Remaja dan Permasalahannya, BPK Gunung Mulia : Jakarta. Siti Rahayu Haditono, 1975. Diktat Psikologi Anak. Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada : Yogyakarta. ----------------------------, 1979. The Achievement Motivation, Parents Educational Level and Child Rearing, Practice in Four Occupational Groups, Desertasi UGM. Yogyakarta. Soenarwan, 1991, Pengaruh Pengajaran Modul dan Klasikal terhadap Prestasi Belajar Matematika dan IPS Ditinjau dari Inteligensi Siswa dan Need for Achievement Gur, Laporan Penelitian, Majalah Analisis Pendidikan, Depdikbud, Jakarta. Soetarlinah Sukadji, 1988, Keluarga dan Keberhasilan Pendidikan, Urusan Produksi dan Distribusi Alat Tes, FPUI, Depok. Sondang P. Siagian, 1995, Pengembangan Sumber Daya Insani, Gunung Agung, Jakarta. Sri Edi Swasono (ed.), 1976, Enterpreneurship Indonesia, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Jakarta. Sri Mulyani Martaniah, 1979, Teknik Konseling, Penataran B & P untuk Dosendosen UGM, Yogyakarta. Sugiyono, 1993, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung.

40

Suharsimi Arikunto, 1992. Prosedur Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta. Sumadi Suryabrata, 1993, Psikologi Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Suparman Sumahami Jaya, 1980, Membina Sikap Mental Wira Swasta, Gunung Jati Jakarta. The Liang Gie, 1988, Cara Belajar yang Efisien, Pusat Kemajuan Studi Yogyakarta. Theresia Maria Haningki Tirta, 1987, Hubungan antar Sikap dan Kebiasaan Belajar Matematika dengan Prestasi Belajar Matematika di Sekolah Dasar, Tesis, FPMIPA, IKIP, Malang. Toeti Soekamto, Udin Saripudin Winataputra, 1994, Teori Belajar dan Modelmodel Pembelajaran, PAU Ditjen Dikti Depdikbud, Jakarta. Togap P. Simanjuntak, 1994, Hubungan antara Minat terhadap Matematika dengan Prestasi Matematika Siswa SMA Laki-laki dan Perempuan dengan Inteligensi di atas Rata-rata, Tesis, Universitas Indonesia, tidak diterbitkan Jakarta. Toto Kuwoto, 1990, Penelitian tentang Prestasi Mahasiswa Fakultas Psikologi UGM, Tahun Angkatan dan Jenis Kelamin dan Asal Jurusan di SMA dalam Beberapa Mata Kuliah, Penelitian, Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta. Winarno Surachmad, 1982, Cara Belajar Terbaik di Universitas, Tarsito, Bandung. Winkel W.S., 1991, Psikologi Pengajaran, PT. Gramedia, Jakarta. Wisnu Subrata Hendrojuwono, 1987, Pengantar Psikologi Belajar, Depdikbud, Jakarta. Witherington, C.H., 1986, Psikologi Pendidikan, (Alih Bahasa Muchtar Buchari), Bina Aksara, Jakarta. Worrel, Yudith & Stilwell, William E., 1991, Psychology for Theacher and Students, McGraw-Hill Book Co., New York.

41

42

You might also like