You are on page 1of 7

A.

Organisasi Sebagai Sistem Organisasi dapat menjalankan aktivitas secara baik dikarenakan unsur-unsur

pendukung bekerja secara terpadu. Konsep organisasi sebagai suatu sistem yang berkaitan dengan sistem yang lebih besar menjalankan peranan balikan. Dengan demikian organisasi bergantung pada lingkungan tidak hanya untuk masukan tetapi juga untuk penerimaan keluaran, Dalam hal ini organisasi harus bisa mengembangkan berbagai strategi untuk menyesuaikan dengan perkembangan lingkungan. Semua organisasi memperoleh sumberdaya dari lingkungan yang lebih luas, demikian sebaliknya organisasi memberikan produksi dan jasa yang menjadi tuntutan lingkungannya. Dalam konteks teori sistem, organisasi adalah satu elemen dari sejumlah elemen yang berinteraksi secara interdeoensi, aliran masukan dan keluaran adalah dasar dari titik awal dalam menjelaskan organisasi. Organisasi memperoleh masukan dari sistem yang lebih besar yaitu lingkungan, kemudian mengubah masukan menjadi bentuk/perilaku yang berbeda dari sebelumnya. Pendekatan sistem memandang organisasi sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan. Perubahan yang terjadi dalam satu unsur akan mempengaruhi dan bahkan menyebabkan perubahan pada unsur atau bagian yang lain. Saling berhubungan dan ketergantungan antara bagianbagian yang terpisah di dalam organisasi akan menjadi lebih produktif dibandingkan jika bertindak sendiri-sendiri (Stoner, J.A.F. dan Freeman, R.E. 1992). Pandangan sistem terhadap tugas seseorang yang diambil dalam satu bagian organisasi akan memperngaruhi bagian lainnya, ini berarti apabila berbagai elemen tersebut berinteraksi, maka akan membentuk suatu kesatuan yang menyeluruh. Sebagai suatu sistem, organisasi cenderung lebih bersifat terbuka, karena komponen-komponen sistem organisasi berinteraksi dengan lingkungan. Seistem terbuka pada hakekatnya merupakn proses transformasi dari masukan yang menghasilkan keluaran, transformasi merupakan proses pendayagunaan input yang berupa sumber-daya fisik, informasi, kebutuhan pelanggan, teknologi, dan manajemen. Sedangkan keluaran dari organisasi merupakan masukan bagi lingkungannya. Organisasi sebagai sistem terbuka dapat digambarkan sebagai berikut.

LINGKUNGAN SISTEM
Masukan
SDM Teknologi Informasi Kebut. Pelanggan Modal

Transformasi
Kegiatan Manajemen Struktur Organisasi Desain Pekerjaan Kinerja Individu

Keluaran
Produk dan Jasa Hasil Keuangan Informasi Kepuasan Hasil manusiawi

Pengguna Keluaran

Balikan Internal

Balikan Eksternal

Gambar : Organisasi sebagai Sistem (open system) diadaptasi dari Koontz, H dan Weihrich, H. (1990); Robbins, S.P & Coulter M. (1999). Sebagai suatu sistem yang terbuka, maka setiap organisasi mempunyai beberapa karakteristik yaitu; masukan, proses transformasi, keluaran, batas wilayah (boundary), umpan balik, keterbukaan, dan adaptasi. Setiap organisasi memanfaatkan berbagai macam energi dari lingkungan berupa sumber daya manusia, teknologi, informasi, kebutuhan pelanggan, dan modal. Kesemua energi tersebut diperlukan untuk menggiatkan dan menghidupkan organisasi. Dengan menggunakan berbagai macam proses transformasi, maka organisasi merubah energi menjadi suatu hasil produksi, baik yang berupa produk dan jasa, hasil keuangan informasi, kepuasan, hasil manusiawi. Keluaran yang dihasilkan oleh organisasi dapat digunakan berupa produk dan jasa, hasil keuangan, informasi, kepuasan, hasil manusiawi selanjutnya sebagi umpan balik dan di proses lebih lanjut. Suatu sistem organisasi selalu mempunyai lingkungan yang disebut dengan batas wilayah (boundry). Penggunaan batas wilayah dimaksudkan untuk memberikan kejelasan mengenai bidang yang termasuk suatu sistem dan yang tidak termasuk suatu sistem. Setiap organisasi memasukkan energi dari lingkungan dan memberikan keluaran pada lingkungan, dan informasi (kualitas) keluaran dari suatu

organisasi bermanfaat bagi suatu organisasi untuk menyesuaikan produksi dan layanan sehingga daoat diterima lingkungannya. Dengan demikian, suatu organisasi pada dasarnya merupakan suatu sistem yang terbuka, karena setiap organisasi selalu melakukan interaksi dan transaksi dengan lingkungan. Adaptasi atau penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi sebagai akibat perkembangan iptek, dan meningkatnya kebutuhan pelanggan ataupun tuntutan masyarakat terhadap kualitas barang dan pelayanan yang semakin bail. Organisasi yang tidak tanggap terhadap perubahan niscaya akan mengalami kegagalan dalam merealisasikan tujuan. Untuk mencapai prestasi, organisasi harus mengembangkan kapasitas secara berkesinambungan (continuos) untuk mengantisipasi perubahan yang terus berlangsung sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan skenario yang diciptakan oleh kompetitor baru. Sebagaimana dikemukakan oleh Stephen p. Robbins (2001) bahwa organisasi yang sukses di abad ke 21 akan bersifat luwes, mudah belajar dan menanggapi dengan cepat perubahaan yang terjadi. Organisasi klasik pada masa Henry Fayol, Mary Parker Follets dan manajemen ilmiah tulisan dari Frederick W. Taylor, Henry Grantt, dan Harington Emerson sudah berlalu. Pimpinan pada masa sekarang menghadapi lingkungan yang cepat berubah dengan percepatan (acceleration) yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kompetitor baru bermunculan dengan program inovasi yang tiada henti sehingga menggeser peran organisasi yang lambat beradaptasi. Karena itu, organisasi membutuhkan kemampuan untuk secara terus menerus belajar dan beradaptasi untuk mencapai sukses jangka panjang dalam lingkungan yang dinamis. Organisasi yang belajar (learning organization) adalah organisasi yang telah mengembangkan kemampuan untuk terus menerus menyesuaikan diri dan berubah. Melakukan pembelajaran berarti menetapkan strategi inovasi, perbaikan berkelanjutan, komitmen terhadap tugas dan tujuan organisasi. Organisasi belajar dicirikan adanya keterbukaan, pertumbuhan, dan pengambilan resiko. Jika menemui hambatan atau kekeliruan, maka organisasi segera melakukan perubahan terhadap target dan sasaran, melakukan kebijakan untuk resolusi jangka pendek, serta koordinasi terhadap unit-unit yang menentukan. Dikemukan oleh Robbins, S.P. (2001) bahwa organisasi pembelajar ( learning organization) mempunyai karakteristik dasar sebagai berikut: (1) anggota organisasi mengesampingkan cara pikir lama, (2) belajar untuk saling terbuka, (3) memahami cara kerja organisasi, (4) menyusun perencanaan, visi yang dapat disepakati dan dipahami semua anggota, (5) bersinegi untuk melakukan aksi dalam rangka pencapaian visi organisasi. Satu hal yang perlu ditambahkan pada karakteristik

dasar organisasi pembelajar adalah bekerja secara sistemik karena keputusan dan tindakan-tindakan yang diambil dalam satu bagian organisasi akan mempengaruhi bagian lainnya. Dalam aktivitas kerjasama untuk mencapai tujuan, individu selalu berinteraksi dengan individu lainnya baik secara kolektif maupun secara sendiri-sendiri. Perilaku yang ditunjukkan oleh individu merupakan pencerminan watak, temperamen, ciri-ciri, pembawaan, cita-cita, keinginan dan harapan yang kemudian membentuk perilaku organisasi (Siagian, 1986). Perilaku yang ditunjukkan oleh individu sebagai anggota organisasi pada mulanya berorientasi pada diri sendiri, karena itu orientasi dimaksud tidak boleh dibiarkan tanpa kendali dan harus diarahlan pada orientasi kelompok. Perilaku yang ditampilkan individu merupakan gambaran kinerjanya dan akan berpengaruh pada kinerja organisasi secara keseluruhan. Sebagaimana diungkapkan oleh Gibson, J.L., Donnelly, J.H, dan Ivancevich, J.M (1996), kinerja adalah perilaku yang ditunjukan oleh individu dalam mengerjakan suatu tugas yang dibebankan. Sementara Smith (1982) berpendapat bahwa kinerja berhubungan dengan tiga aspek pokok yaitu; perilaku, hasil, dan efektivitas organisasi. Aspek perilaku menunjuk pada usaha-usaha yang dilakukan dalam upaya mencapai tujuan tertentu, dan perilaku individu memberikan hasil terhadap kerja. Sedangkan aspek hasil menunjuk pada efektivitas perilaku, dan efektivitas organisasi menunjuk pada hgasil kerja organiasi yang menekankan pada proses. Dari aspek psikologis, kinerja dapat dikatakan sebagai tingkah laku kerja seseorang yang pada akhirnya menghasilkan sesuatu yang menjadi tujuan dari pekerjaan. B. Konflik Sebagai Bagian Perilaku Organisasi Manajemen yang berorientasi pada perilaku timbul karena para manajer meyakini bahwa dengan pendekatan klasik tidak dapat dicapai efisiensi produksi dan keserasian kerja yang sempurna. Para manajer menemui kesulitan dan penuh keraguan karena manusia tidak selalu mengikuti pola tingkah laku yang rasional dan dapat diduga. Ada upaya lebih lanjut untuk melihat sisi manusia ( human side) agar organisasi klasik dengan wawasan sosiologi dan psikologi. Periode peralihan yang lebih berorientasi pada manusia kemudian dikenal dengan pendekatan perilaku sebagai ciri utama teori neo klasik. Gerakan hubungan antar manusia berkembang dari usaha-usaha awal untuk secara sistematik menemukan faktor-faktor sosial dan psikologis yang akan menciptakan antar manusia yang efektif.. Penelituan Elton Mayo tentang perilaku manusia dalam bermacam-macam situasi kerja menemukan bahwa, hubungan antar manusia di antara anggota

kelompok terpilih maupun dengan peneliti (supervisor) lebih penting dalam menentukan produktivitas daripada perubahan-perubahan kondisi kerja. Perhatian simpatik dari peneliti (pengawas) terhadap kelompok kerja telah mendorong peningkatan motivasi kerja. Dalam penelitian Elton Mayo yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan produktivitas organisasi adalag moral kerja karyawan, dinamika kelompok, supervisi yang demokratis, dan hubungan antar karyawan. Penekanan kebutuhan-kebutuhan sosial dalam aliran perilaku manusia melengkapi pendekatan klasik sebagai usaha untuk meningkatkan produktivitas. Aliran hubungan manusiawi (perilaku manusia atau neo klasik) mengutarakan bahwa perhatian terhadap karyawan akan memberikan manfaat bagi keduannya yaitu kelompok dan organisasi. Konsep manajemen klasik seolah-olah lebih memusatkan perhatian pada organisasi bukan pada manusia, sedangkan konsep manajemen neo klasik (hubungan manusiawi) lebih memperhatikan orang-orang dan bukan organisasi. Perkembangan aliran perilaku organisasi ditandai dengan pandangan dan pendapat baru perilaku manusia dan sistem sosial sebagai berikut; (1) unsur manusia adalah faktor kunci penentu sukses atau kegagalan pencapaian tujuan organisasi, (2) organisasi harus menciptakan iklim yang kondusif yang memungkinkan karyawan dapat memenuhi kebutuhan, (3) komitmen dapat dikembangkan melalui partisipasi dan keterlibatan para karyawan, (4) pekerjaan setiap karyawan harus disusun yang memungkinkan dapat mencapai kepuasaan diri dari pekerjaan yang dilakukan, (5) pelaksanaan evaluasi didasarkan pada menit sistem sehingga memenuhi rasa keadilan dan memuaskan semua pihak. Aliran ilmu perilaku memberikan sumbangan bagi pemahaman tentang motivasi perorangan, perilaku kelompok, hubungan antar pribadi di tempat kerja, dan arti pentingnya pekerjaan bagi manusia. Ilmuwan perilaku memberikan pandanganpandangan baru dalam bidang kepemimpinan, manajemen konflik, cara menggunakan kekuasaan, perubahan dalam organisasi, dan komunikasi. Owens. R.G. (1991: 13) membedakan istilah hubungan manusia dengan perilaku organisasi. Dikatakannya, hubungan manusia sangat luas pengertiannya yaitu sebagai hubungan manusia secara formal dalam organisasi formal, dan hubungan manusia secara informal dalam organisasi informal. Sedangkan perilaku organisasi adalah suatu disiplin ilmu yang berusaha menerangkan, mengerti, dan meramalkan perilaku manusia di dalam lingkungan organisasi formal. Secara lebih detail, Gibson, et. Al. (1996:6) menjelaskan bahwa perilaku organisasi adalah studi yang mempelajari persepsi individu, nilai-nilai, kapasitas, dan tindakan-tindakan saat bekerja dalam kelompok dan dalam organisasi secara keseluruhan dan menganalisis akibat lingkungan eksternal terhadap organisasi dan sumberdaya, misi, tujuan dan

strategi. Hal yang sama dikemukan oleh Robbins, S.P. (1996) bahwa, perilaku organisasi mengkaji dampak perorangan, kelompok, dan struktur pada perilaku dalam organisasi dengan maksud menerapkan pengetauan untuk memperbaiki keefektifan organisasi. Efektivitas setiap organisasi dipengaruhi oleh perilaku manusia sebagai sumberdaya yang penting bagi organisasi. Sedangkan setiap manusia mempunyai perbedaan-perbedaan latar belakang etnis, kemampuan belajar, sikap, persepsi, dan tingkat aspirasi. Perbedaan-perbedaan yang dimiliki individu sebagai anggota organisasi dapat dipandang sebagai suatu kelemahan sekaligus dapat menjadi kekuatan yang dapat menggerakkan perubahan organisasi apabila diarahkan dan dibina untuk pencapaian sasaran-sasaran organisasi. Efektivitas pencapaian tujuan organisasi sangat bergantung pada kerja individu di dalam kelompok, karena norma kelompok dapat mengubah kebutuhan dan motivasi individu, dapat mempengaruhi perilaku individu dalam satu kondisi organisasi. Kelompok terbentuk karena desain organisasi dan karena inisiatif individu dalam organisasi. Kelompok yang dibentuk berdasarkan keputusan pimpinan organisasi disebut sebagai organisasi formal. Sedangkan kelompok yang dibentuk atas inisiatif karyawan dikarenakan adanya kesamaan bidang minat dan persahabatan disebut kelompok informal. Meskipun bukan bagian dari struktur organisasi, kelompok informal dapat berpengaruh terhadap kinerja organisasi dan individual. Akibat yang ditimbulkan dapat positif dan ngatif bergantung pada tujuan masing-masing anggota organisasi. Kelompok berinteraksi dengan kelompok lainnya, dan masing-masing kelompok mengembangkan seperangkat karakteristik yang unik termasuk struktur, keterpaduan, norma-norma dan kultur. Konsekuensinya, kelompok akan bekerjasama atau bersaing dengan kelompok lain. Dalam persaingan antar kelompok berpotensi munculnya konflik. Mengingat konflik yang ditimbulkan dapat berdampak positif/fungsional dan berpengaruh negatif, maka manajemen konflik merupakan aspek penting dalam perilaku organisasi. Dengan demikian, perilaku organisasi tidak sekedar mengkaji seperangkat perilaku individu da kelompok yang berinteraksi dalam menjalankan aktivitas organisasi, akan tetapi juga mempelajari sifat kelompok, konflik antar individu/kelompok, persepsi individu terhadap tugas, teman sejawat terutama persepsi terhadap pimpinan. C. Konsepsi-konsepsi Tentang Konflik Persepsi seseorang terhadap konflik dilatar belakangi oleh pengalaman dalam mengelola organisasi, tingkat pendidikan, dan pengaruh lingkungan sosial. Konflik pada awalnya dianggap sebagai suatu penyimpangan terhadap norma dan nilai-nilai

yang

berlaku

di

masyarakat

maupun

aturan

organisasi, terhadap

namun

dengan

meningkatnya perubahan.

pengetahuan

maka

pandangan

konflik

mengalami

Aldag, R.J. dan Stearns, T.M. (1987: 415); Robbins, S.P. (1990) membagi transisi pemikiran tentang konflik kedalam tiga fase yaitu, pandangan tradisional (traditional view of conflict), pandangan interaksionis/pluralis (interactionism/pluralistic view of conflict ). Pandangan tradisional terjadi pada dasawarsa 1930 sampai tahun 1940 an. Pada masa itu, konflik dipersepsi sebagai peristiwa yang negatif dan identik dengan kekacauan, desruktif, dan dapat merugikan kelangsungan organisasi, karena itu harus dicegah dan bila perlu ditiadakan. Pandangan tradisional konsisten terhadap sikap-sikap yang dominan mengenai perilaku kelompok sehingga konflik mempunyai konotasi negatif (disfungsional) sebagai dampak dari komunikasi yang buruk, kurangnya kepercayaan diantara anggota, dan pimpinan tidak tanggap terhadap aspirasi dan kebutuhan para karyawan. Pendekatan hubungan manusia berpendapat bahwa konflik merupakan peristiwa yang normal dalam interaksi antar individu atau kelompok di dalam organisasi. Konflik sebagai kejadian yang tidak dapat dihindari dan keberadaan konflik dapat memacu dinamika organisasi. Pandangan hubungan manusia mendominasi teori konflik pada dasawarsa 1940-an sampai tahun 1970-an. Pandangan interaksionis atau pluralis berusaha menstimuli dan menciptakan konflik apabila diketahui kelompok bersifat statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap perubahaan dan inovasi. Komtribusi dari pendekatan interksionis adalah mendorong pemimpin untuk mempertahankan suatu tingkat konflik yang optimal yang dapat menciptakan inovasi, tanggap terhadap perubahan, kreatif dan cepat beradaptasi, dan kritis terhadap kegiatan intern organisasi.

You might also like