You are on page 1of 368

Cara Melakukan Pemeriksaan Trauma Oromaksilofasial dan Penanganan Kegawat-daruratan Trauma Oromaksilofasial

Melva Sirait 160121120001

Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Bedah Mulut Dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Abstrak : Trauma oromaksilofasial adalah trauma yang menyebabkan cedera pada jaringan lunak mulut, dentoalveolar, serta fraktur wajah. Cedera pada pada jaringan lunak dapat berupa abrasi, kontusio, laserasi dan luka bakar. Kasus trauma oromaksilofasial adalah kasus yang cukup banyak ditemukan di unit gawat darurat hampir sebagian besar rumah sakit. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa penyebab trauma oromaksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dan korban tersebut ternyata lebih banyak dialami oleh laki-laki. Terapi yang dilakukan pada penderita pun bervariasi mulai dari hanya pemberian obatobatan, penjahitan luka, pencabutan gigi, alveolektomi, serta reposisi dan fiksasi. Kelainan-kelainan seperti disebut di atas, mengharuskan kita untuk

melakukan pemeriksaan yang lebih lengkap, konsultasi kepada bagian lain yang terkait karena trauma maksilofasial dapat menjadi kasus yang kompleks dan mungkin diperlukan keterlibatan multispesialis dalam manajemennya.

Kata kunci: Trauma oromaksilofasial, pemeriksaan trauma, penanganan trauma

BAB I PENDAHULUAN

Trauma oromaksilofasial berhubungan dengan cedera apapun pada wajah atau rahang yang disebabkan oleh kekuatan fisik, benda asing atau luka bakar. Trauma oromaksilofasial termasuk cedera pada salah satu struktur tulang ataupun kulit dan jaringan lunak pada wajah. Setiap bagian dari wajah mungkin dapat terpengaruh. Gigi dapat lepas atau goyang. Mata dengan otot-ototnya, saraf dan pembuluh darahnya mungkin mengalami cedera sehingga dapat menyebabkan gangguan penglihatan, diplopia, pergeseran posisi dari bola mata dan juga seperti halnya rongga mata yang dapat retak oleh pukulan yang kuat. Kerusakan jaringan lunak seperti edema, kontusio, abrasi, laserasi dan avulsi. Rahang bawah (mandibula) dapat mengalami dislokasi. Meskipun dilengkapi oleh otot-otot yang kuat untuk mengunyah, rahang termasuk tidak stabil bila dibandingkan dengan tulang-tulang lainnya sehingga dengan mudah mengalami dislokasi dari sendi temporomandibular yang menempel ke tengkorak.1 Kelainan-kelainan seperti disebut di atas, mengharuskan kita untuk melakukan pemeriksaan yang lebih lengkap, konsultasi kepada bagian lain yang terkait karena trauma maksilofasial dapat menjadi kasus yang kompleks dan mungkin diperlukan keterlibatan multispesialis dalam manajemennya. Trauma oromaksilofasial merupakan salah satu tantangan terbesar untuk pelayanan kesehatan masyarakat di seluruh dunia karena insidennya yang tinggi. Dari penelitian dilaporkan bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama dari traumamaksilofacial. Selain itu penyebab lainnya yang tersering ialah kekerasan fisik, konsumsi alkohol yang dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan kecelakaan, serta trauma oromaksilofasial akibat olahraga.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi Trauma oromaksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya.2 Trauma pada jaringan oromaksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala yang terdiri dari : 1 1. Tulang hidung 2. Tulang arkus zigomatikus 3. Tulang mandibula 4. Tulang maksila 5. Tulang rongga mata 6. Gigi 7. Tulang alveolus 2.2 Etiologi 1,3,4,5,6 Penyebab trauma oromaksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama trauma oromaksilofasial yang dapat membawa kematian dan kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun.
a. Fisik

Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama fisik terjadinya trauma oromaksilofasial 1. Beberapa literatur mengungkapkan terdapat hubungan antara

posisi duduk pengemudi atau penggunaan sistem proteksi terhadap tingkat keparahan cedera oromaksilofasial pada pasien kecelakaan lalu lintas. Selain kecelakaan lalu lintas, etiologi fisik lainnya yang merupakan penyebab trauma oromaksilofasial yaitu jatuh ketika bermain, kecelakaan kerja atau industri, kecelakaan sewaktu berolahraga, gigitan binatang, perkelahian dan lain- lain. b. Kimia Trauma oromaksilofasial akibat bahan kimia biasanya mempunyai manifestasi klinis berupa luka bakar di sekitar mulut dan wajah. Zat kimia seperti kaporit, kalium perpangat, asam kromat, fenol dan fosfor putih dapat bersifat oksidatif, juga larutan basa seperti kalium hidroksida menyebabkan denaturasi protein. Asam sulfat merusak sel karena bersifat cepat menarik air. Gas yang dipakai dalam peperangan menimbulkan luka bakar dan menyebabkan anoksia sel bila berkontak dengan kulit atau mukosa. Trauma oromaksilofasial akibat bahan kimia dapat terjadi akibat kelengahan, pertengkaran, kecelakaan kerja, kecelakaan di industri, laboratorium dan juga akibat penggunaan gas beracun pada perang. c. Elektrik Kecelakaan yang disebabkan faktor elektrik terjadi karena arus listrik mengaliri tubuh, hal ini biasa terjadi pada kecelekaan kerja petugas listrik atau dapat juga akibat petir. Pada kecelakaan tersengat arus listrik didaerah kepala, penderita dapat pingsan lama dan mengalami henti nafas, dapat juga terjadi oedem otak. d. Termis Luka bakar yang terjadi pada wajah juga dikategorikan termasuk dalam trauma oromaksilofasial, yang dapat disebabkan oleh karena benda panas, gesekan, elektrik, radiasi, atau zat kimia. 1 Trauma oromaksilofasial akibat termis dapat terjadi akibat kelengahan seperti kebakaran rumah tangga akibat gas yang meledak dan lain lain. Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72%

kematian oleh trauma oromaksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (automobile).

Berikut ini tabel etiologi trauma oromaksilofasial. 7 Persentase (%) Dewasa Kecelakaan lalu lintas Penganiayaan Olah raga Jatuh Lain-lain 40-45 10-15 5-10 5 5-10

Anak-anak Kecelakaan lalu lintas Penganiayaan/berkelahi Olah raga(termasuk naik sepeda) Jatuh 10-15 5-10 50-65 5-10

2.3 Klasifikasi Trauma oromaksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian. 8,9 2.3.1 Trauma jaringan lunak wajah 7,8 Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari luar. Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan: 1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab Ekskoriasi Luka sayat, luka robek , luka bacok. Luka bakar

Luka tembak

2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan 3. Dikaitkan dengan unit estetik

Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer. (Gambar 1)

Gambar 1. (A) Laserasi yang menyilang garis Langer tidak menguntungkan mengakibatkan penyembuhan yang secara kosmetik jelek. B. Insisi fasial ditempatkan sejajar dengan garis Langer 9

2.3.2 Trauma jaringan keras wajah 7,8,10,11 Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari terminologinya (pengistilahan) : I. Tipe fraktur 1. Fraktur simpel Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi. Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasuk greenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi.

2. Fraktur kompoun Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak

Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.

3. Fraktur komunisi Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau remuk. Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.

4. Fraktur patologis keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang, seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.

II. Perluasan tulang yang terlibat 1. Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang. 2. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi ( lekuk )

III. Konfigurasi ( garis fraktur ) 1. Tranversal, bisa horizontal atau vertikal. 2. Oblique ( miring ) 3. Spiral (berputar) 4. Komunisi (remuk)

IV. Hubungan antar Fragmen 1. Displacement, disini fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat 2. Undisplacement, bisa terjadi berupa : Angulasi / bersudut

Distraksi Kontraksi Rotasi / berputar Impaksi / tertanam

Pada mandibula, berdasarkan lokasi anatomi fraktur dapat mengenai daerah : a. Dento alveolar b. Prosesus kondiloideus c. Prosesus koronoideus d. Angulus mandibula e. Ramus mandibula f. Korpus mandibula g. Midline / simfisis menti h. Lateral ke midline dalam regio insisivus

Gambar 2. Fraktur pada daerah mandibula A. Dento-alveolar B. Kondilar C. Koronoid D. Ramus E. Angulus F. Corpus G. Simfisis H. Parasimfisis.10

V. Khusus pada maksila fraktur dapat dibedakan : a. Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita) b. Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III c. Fraktur segmental maksila

Gambar 3. (A). I Le Fort I, II Le Fort II, III Le Fort III (pandangan anterior) (B). I Le Fort I, II Le Fort II, III Le Fort III (pandangan sagital) 11

10

BAB III PEMBAHASAN

Gambar 4. Urutan kejadian trauma oromaksilofasial 9

3.1. Pemeriksaan Primary Survey (ABCDE) 7,8 Pendekatan awal terhadap pasien trauma oromaksilofasial akut sedikit berbeda dengan cedera yang lain. Perhatian harus segera diarahkan terhadap saluran pernapasan, adekuasi dari ventilasi, dan kontrol perdarahan eksternal. Primary survey adalah penilaian terhadap keadaan penderita dan prioritas terapi berdasarkan jenis luka, tanda- tanda vital dan mekanisme cedera. Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali dan resusitasinya dilakukan saat itu juga.

11

Urutan Penanganan Penderita dalam Primary survey 7,8 A = Airway with C-Spine Protection

Pada kasus trauma oromaksilofasial, kita perlu dengan segera memperhatikan kelancaran jalan nafas, apakah disana ada obstruksi atau tidak. Usaha untuk membebaskan airway dilakukan dengan menjaga jalan nafas dan melindungi vertebra servikal. Harus dilakukan segala usaha untuk menjaga jalan napas dan memasang airway definitif bila diperlukan. Tidak kalah pentingnya adalah mengenali kemungkinan gangguan airway yang dapat terjadikemudian, dan ini hanya dapat dikenali dengan re-evaluasi berulang terhadap airway-ini. Resusitasi: 1. Airway harus dijaga dengan baik pada semua penderita. 2. Jaw trust atau chin-lift dapat dipakai 3. Membersihkan airway dari benda asing 4. Memasang naso-pharingeal airway (pasien sadar) atau oro-pharingeal airway (pada pasien tidak sadar) 5. Bila ada keraguan mengenai kemampuan menjaga airway, lebih baik memasang airway definitif (intubasi oro atau nasotracheal atau surgical crico-thyroidotomy). 6. Fiksasi leher dengan berbagai cara, setelah memasang airway.

Breathing / Ventilation / Oxygenation

Ini merupakan nilai keadaan oksigenasi dan ventilasi penderita.Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru,dinding dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus dievaluasi secara cepat. Luka yang mengakibatkan gangguan ventilasi berat adalah tension pneumothorax, flail chest dengan contusio paru, dan open pneumothorax. Resusitasi 1. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi 2. Ventilasi dengan alat bag-valve-mask 3. Menghilangkan tension pneumothoraks 4. Menutup open pneumothoraks

12

5. Memasang pulse oximeter

13

Circulation & Stop Bleeding

Tahap selanjutnya untuk dinilai adalah keadaan hemodinamik pasien. Cari sumber perdarahan, baik perdarahan eksternal maupun perdarahan internal. Suatu keadaan hipotensi pada penderita trauma harus dianggap sebagai hipovolemia, sampai terbukti sebaliknya. Tiga penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat memberikan

informasi keadaan hemodinamik pasien, yakni tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi. luka. Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan (direct pressure) pada Tourniquet sebaiknya jangan dipakai karena merusak jaringan dan

menyebabkan iskemia distal, sehingga tourniquet hanya dipakai bila ada amputasi traumatik. Resusitasi : 1. Perdarahan eksternal dihentikan dengan tekanan langsung pada tempat perdarahan. 2. Mengenal adanya perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah, serta konsultasi bedah. 3. Memasang 2 chateter i.v ukuran besar, ambil sampel darah untuk pemeriksaan darah rutin, analisis kimia, tes kehamilan, golongan darah, cross match dan analisis gas darah, berikan cairan kristaloid yang dihangatkan atau pemberian darah. 4. Memasang NG tube dan kateter urin jika tidak ada kontra indikasi.

Disability (Neurologic Status) Hal yang penting selanjutnya adalah penilaian terhadap keadaan

neurologis secara cepat. Parameternya adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil tanda-tanda lateralisasi, dan tingkat cedera spinal.

Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi dan atau penurunan perfusi ke otak yang disebabkan trauma langsung pada otak. Penurunan

14

kesadaran menuntut dilakukannya re-evaluasi terhadap keadaan oksigenasi, ventilasi, dan perfusi jaringan. Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh alkohol dan obat-obatan. Namun pada kebanyakan pasien dengan trauma oromaksilofasial, hipoksia atau hipovolemia adalah penyebab utamanya. Tingkat kesadaran dinilai dengan GCS (Glasgow Coma Scale) scoring. GCS merupakan suatu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan. Rangsangan yang diberikan berbagai hal dengan memperhatikan 3 reaksi yang terdiri dari reaksi membuka mata (Eye (E)), respon verbal (V) bicara dan gerakan motorik.

Gamabar 5 : Eye (respon membuka mata)8

Respon membuka mata ini merupakan respon awal ketika kita bertemu dengan pasien. Respon yang diharapkan ada pada pasien ialah bagaimana reflek membuka matanya. Apakah ia akan spontan membuka mata tanpa harus dipanggil namanya, disentuh atau diberikan cubitan. Untuk nilai dari respon ini kita nilai (4) atau respon spontan. Apabila mata terbuka dengan rangsang suara, seperti kita memanggil nama pasien, nilai respon E nya adalah nilai (3). Apabila pasien dapat membuka mata ketika kita beri rangsang nyeri, (misalkan dengan menekan kuku jari) maka nilai E pasien (2). Ketika tidak ada respon sama sekali, maka kita beri nilai E (1), tidak ada respon.

15

Tabel 1 : Verbal (respon verbal)8

Setelah reflek membuka mata kita kaji, maka penilaian selanjutnya ialah bagaimana kita menilai respon verbal pasien. Ketika pasien dapat mengetahui dimana dia berada, siapa dirinya, kalimat yang diucapkan baik, orientasi baik, maka kita nilai respon verbal dengan angka (5) . Apabila pasien bingung, berbicara mengacau (sering bertanya berulang-ulang) disorientasi tempat dan waktu, maka nilai respon verbal kita beri nilai (4) . Untuk nilai (3) kita beri ketika pasien berbicara tidak patut seperti berbicara dengan kata-kata kasar dan makian. Apabila pasien lebih banyak mengerang atau mengeluarkan suara tanpa arti, maka kita nilai respon verbal pasien (2). Ketika masih saja tidak ada respon, maka kita beri nilai verbal pasien (1).

Motor (respon motorik) Respon motorik ini harus dibedakan dengan penilaian kekuatan otot. Pemeriksaan ini hanya digunakan untuk mengetahui tingkat kesadaran pasien dengan memantau respon motorik pasien. Ketika pasien diperintahkan untuk melakukan apa yang kita inginkan, seperti memintanya untuk mengangkat tangan, atau ketika kita datang kemudian kita memberikan tangan kita untuk berjabat

16

tangan dengannya. Kita bisa melihat adakah atau tidak respon pasien untuk melakukan hal tersebut (menjabat tangan kita).

Tabel 2 : Motor (respon motorik)8

Gambar 6 : Respon motorik nilai 6 8

17

Apabila pasien mengikuti perintah yang kita berikan, maka kita nilai respon motorik pasien (6)

Gambar 7 : respon motorik nilai 5 8

Kita bisa memberikan sebuah stimulus berupa rangsangan nyeri di daerah N. Supraorbita dengan cara menggosokan kuku didaerah supraorbita groove dengan tekanan yang makin kuat sampai pasien memberikan respon. Ketika pasien mampu untuk melokalisir nyeri dengan cara menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri, maka kita memberikan nilai (5). Namun jika pasien hanya dapat menghindar terhadap stimulus nyeri maka kita beri nilai M (4).

Gambar 8 :Respon motorik nilai 3 8

Apabila pasien tidak dapat melokalisasi nyeri dari stimulus. Maka kita bisa berikan stimulus nyeri di daerah kukunya dengan tekanan ujung pulpen atau lainnya. Pasien akan memperlihatkan flexi siku yang bisa juga diikuti oleh flexi pergelangan tangan, untuk kondisi ini kita berikan M (3).

18

Gambar 9 : Respon motorik nilai 2 8

Sedangkan untuk memberikan nilai M (2) didapatkan respon pasien berupa extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri). Namun ketika pasien tidak ada respon apapun terhadap nyeri, maka untuk kondisi seperti ini kita nilai M (1). Penilaian GCS 8 1. Hasil pemeriksaan kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol (EMV) 2. Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4M6V5 dan terendah adalah 3 yaitu E1M1V1. 3. Menilai status kesadaran klien GCS 1415 GCS 913 GCS 38 <3 = cidera kepala ringan = cidera kepala sedang = cidera kepala berat = koma

Exposure/Environment/Body Temperature

Buka pakaian pasien untuk melakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Periksa hal-hal yang mungkin terlewat pada pemeriksaan sebelumnya, seperti darah yang keluar dari anus atau luka pada tubuh yang tertutup pakaian. Setelah pakaian dilepas, pasien harus segera diselimuti untuk mencegah hipotermi.

19

3.2 Pemeriksaan Secondary Survey 7,8 Secondary survey adalah pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe examination), termasuk pemeriksaan tanda vital. Secondary survey baru dilaksanakan setelah primary survey selesai, resusitasi sudah dilakukan, dan ABC pasien telah dipastikan membaik. Pada secondary survey ini, dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap, termasuk mencatat skor GCS bila belum dilaksanakan dalam primary survey. Prosedur khusus seperti pemeriksaan radiologis, pemeriksaan laboratorium juga dapat dikerjakan pada kesempatan ini. Pemeriksaan pada secondary survey meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik ekstra oral seperti kepala dan oromaksilofasial juga pemeriksaan intra oral yang meliputi status lokalis gigi dan jaringan pendukung sekitarnya.

3.2.1 Anamnesis Untuk menegakan diagnosis dan menentukan rencana perawatan, diperlukan informasi yang memadai tentang riwayat trauma. Namun, pada pasien yang mendapat cedera pada daerah kepala, biasanya sulit untuk diajak berkomunikasi. Pada situasi ini, riwayat trauma dapat diperoleh dari petugas unit gawat darurat, perawat, orang yang mendampingi yang pasien, atau siapapun yang melihat dengan jelas bagaimana trauma terjadi. 7 Keadaan tidak sadar (koma), syok, amnesia, dan intoksikasi merupakan hambatan yang sering terjadi dalam menjalin komunikasi dengan pasien. Penting untuk dicatat mengenai tanggal, waktu, tempat kejadian, dan peristiwa khusus. Apabila cedera disebabkan karena kecelakaan motor, perlu dicatat bagaimana kronologis kejadiannya, apakah korban bertindak sebagai pengemudi atau penumpang, apakah ia memakai helm atau tidak, bagaimana jenis helmnya full face atau half face, apakah ada riwayat pingsan, mual dan muntah, apakah ada perdarahan dari hidung, mulut dan telinga, apakah pasien telah mendapatkan pertolongan medis dan pemberian obat sebelumnya dan pertanyaan penting lainnya.

20

Riwayat trauma yang akurat sebaiknya diperoleh dari pasien, keluarga pasien dan orang yang menyertainya. Meliputi jawaban dari pertanyaanpertanyaan berikut (9): 1. WHO? Jawabannya meliputi nama pasien, umur, alamat, nomor telepon, dan data demografi lainnya. 2. HOW? Sebagai contoh, seorang pengendara sepeda motor sedang dalam pengaruh alkohol mengendarai motornya di cuaca hujan dan gelap gulita. Kemudian ia tergelincir di tikungan dan turunan curam dengan keadaan terguling sejauh 10 meter dengan kondisi wajah mengenai aspal. Motor dalam keadaan rusak parah. Jawaban kronologis tentang bagaimana kejadian terjadi mengindikasikan keparahan cedera jaringan dan kemungkinan daerah-daerah mana saja dari tubuh yang terkena trauma. 3. WHERE? Pertanyaan ini penting untuk mengetahui kemungkinan adanya

kontaminasi luka. Sebagai contoh apabila pasien jatuh di daerah yang berpasir maka penting untuk dilakukan debridemen sempurna sampai tidak ada sama sekali pasir yang tertinggal di dalam luka. 4. WHEN? Kapan trauma itu terjadi? Pertanyaan ini merupakan salah satu pertanyaan penting untuk menentukan apakah suatu luka masih dalam golden period. Jika ditemukan kasus avulsi gigi di dalam golden period maka prognosis untuk reposisi semakin baik.

Selain itu riwayat medis yang penting untuk diketahui adalah tentang riwayat alergi, ada tidaknya penyakit kelainan perdarahan, riwayat penyakit yang pernah diderita, tanggal imunisasi tetanus terakhir. Perlu dicatat juga ada tidaknya tanda-tanda kecanduan alkohol dan obat-obatan, karena tingkat kesadaran

21

dipengaruhi oleh obat-obatan tersebut. Informasi mengenai waktu makan dan minum yang terakhir sangat penting apabila akan dilakukan anestesi umum. 3.2.2 Pemeriksaan Fisik 2,3,6 I. Ekstra Oral a. Pemeriksaan Kepala Pemeriksaan ini meliputi seluruh kerangka kraniomaksilofasial dan jaringan lunak disekitarnya. Pasien harus dibersihkan dari semua darah dan benda asing secara hati-hati. Rangka kraniofasial terdiri dari pertautan dan penonjolan tulang, maka pemeriksaannya harus meliputi ada atau tidaknya step atau jarak, discontinuitas, pergeseran, dan hilangnya penonjolan. Harus dilakukan palpasi secara hati-hati terhadap kranium, sambungan daerah fronto-orbital, naso-orbital kompleks, artikulasi zygomatik, dan mandibula.

b. Pemeriksaan Wajah Bagian Tengah Evaluasi wajah bagian tengah dimulai dengan memperkirakan adanya mobilitas dari maksila sebagai struktur maksila itu sendiri atau hubungannya dengan zygoma atau tulang nasal. Untuk memeriksa adanya mobilitas maksila, kepala pasien harus distabilisasikan dengan cara menekan kening pasien cukup kuat dengan satu tangan. Dengan ibu jari dan telunjuk tangan lainnya mencengkram maksila pada satu sisi, dan digerakkan dengan tekanan yang stabil sehingga dapat diperoleh kepastian ada atau tidaknya dapatkan mobilitas maksila.

22

Gambar 10 : Pemeriksaan mobilitas maksila. Gambar sebelah kanan menunjukkan pemeriksaan bahwa cara ini juga dapat digunakan untuk evaluasi mobilitas tulang nasal.9

Cara melakukan pemeriksaan manual atau digital adalah dengan palpasi dimulai dari superior ke inferior. Pemeriksaan dimulai dari aspek medial dari cincin supraorbital secara bilateral. Tulang nasal dan saluran nasofrontalis dipalpasi secara bersamaan kanan dan kiri (bidigital). Palpasi diteruskan ke arah lateral menyilang cincin supraorbital menuju sutura zygomatikofrontalis. Jaringan lunak yang menutupinya digeser dan sutura dipalpasi apakah terjadi kelainan atau tidak. Cincin infraorbital dipalpasi dari medial ke lateral untuk mengevaluasi sutura zygomatikomaksilaris. Bagian-bagian yang mengalami nyeri tekan, dan baal juga dicatat, karena hal ini menunjukkan adanya fraktur atau cedera pada saraf. Arcus

zygomatikus dipalpasi bilateral dan diamati apakah terdapat tandatanda asimetri, dari aspek posterior atau superior. Vestibulum nasi juga diperiksa karena bisa terjadi pergeseran septum, dan adanya perdarahan atau cairan. Pemeriksaan mata secara lengkap sebaiknya dilakukan terlebih dahulu, karena trauma dapat mengakibatkan kehilangan penglihatan. Hampir 40% fraktur tengah wajah mengenai daerah mata. Pemeriksaan yang akurat sulit dilakukan pada pasien yang mengalami cedera

23

neurologis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan menggunakan hitungan jari, deteksi gerakan, atau penggunaan sinar. Hematoma aurikuler telinga harus segera didiagnosa dan dilakukan terapi. Mastoid harus diperiksa dari kemungkinan adanya ekimosis yang disertai dengan hemotimpanum dan otorrhea, karena merupakan indikasi terjadinya fraktur basis tulang kranial. Adanya laserasi dari daerah telinga bagian luar merupakan tanda waspada terhadap kemungkinan cedera pada kondilus mandibula. Kerusakan dan pergerakan tulang hidung harus dicatat. Adanya fraktur septum hidung dan hematoma dapat menyebabkan obstruksi hidung. Hematoma septum hidung harus didiagnosa dan dievakuasi segera untuk menghindari terjadinya nekrosis tulang rawan septum hidung yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan bentuk hidung. 3 Tiga saraf utama trigeminal harus diperiksa untuk

kemungkinan terjadinya anestesi atau parestesi. Saraf kranialis 3 ,4 ,5 ,6 ,7 dites untuk mengetahui apakah terjadi palsi. Dapatkah pasien mengangkat alis dan meretraksi sudut mulutnya, apakah bola mata bisa bergerak bebas, dan apakah pupil bereaksi terhadap sinar dan berakomodasi..

c. Pemeriksaan Mandibula Lokasi mandibula terhadap maksila dievaluasi apakah tetap digaris tengah, atau terjadi pergeseran ke lateral dan inferior. Pergerakan mandibula juga dievaluasi dengan jalan memerintahkan pasien melakukan gerakan-gerakan tertentu, dan apabila ada penyimpangan juga dicatat. Kisaran gerak dievaluasi pada semua arah dan jarak interinsisal dicatat. Apabila meatus akustikus eksternus penuh dengan darah dan cairan, jari telunjuk dapat dimasukkan dengan telapak mengarah ke bawah dan ke depan untuk melakukan palpasi endaural terhadap caput condilus pada saat istirahat dan bergerak. Pada

24

fraktur subcondilus tertentu, bisa dijumpai adanya nyeri tekan atau caput mandibula tidak terdeteksi. Tepi inferior dan posterior mandibula dipalpasi mulai dari prosesus kondilaris sampai ke simphisis mandibula. Sekali lagi nyeri tekan atau baal, dan kelainan kontinuitas harus dicatat. Fraktur mandibula dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi, yaitu kondilar, ramus, angle, body, simphisis, alveolar, dan daerah prossessus koronoid. Selain itu fraktur mandibula juga dapat diklasifikasikan berdasarkan tipe frakturnya, yaitu fraktur greenstick, simpel, kominuted, dan kompoun.

25

Gambar 11. Distribusi anatomik dari fraktur mandibula.2

Gambar 12 : Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan tipe frakturnya: Greenstick (A), Simple (B), Komminuted (C), Kompoun (D). 2

II. Intra Oral 3,7 Pemeriksaan ini meliputi evaluasi oklusi dan penghitungan gigi yang hilang. Adanya gigi yang terhisap dan tertelan dapat dilihat dengan melakukan radiografi pada dada dan perut. Gigi tiruan yang lepas juga dapat menyebabkan tersumbatnya jalan pernapasan. Adanya step dan pergeseran oklusi merupakan indikasi terjadinya fraktur dentoalveolar ataupun fraktur rahang. Gigitan terbuka lateral (open bite lateral) juga

26

dapat mengindikasikan adanya fraktur mandibula atau gangguan TMJ. Sedangkan gigitan terbuka anterior ( open bite anterior) mengindikasikan adanya fraktur Le Fort (I, II, ataupun III).

3.2.3 Pemeriksaan Radiografis Untuk diagnosis penderita yang mengalami trauma dentoalveolar hanya diperlukan radiograf oklusal dan periapikal saja. Detail dari cedera gigi (luksasi dan avulsi), dan sebagian besar fraktur prosessus alveolaris paling baik dirontgen dengan cara ini. Sedangkan untuk diagnosis penderita yang mengalami trauma maksilofasial harus dilakukan foto panoramik dan schedel AP-Lat segera, kemudian dapat dilakukan rontgen foto waters view dan jika memungkinkan dan pasien mampu dapat dilakukan CT-Scan 3 dimensi. Meskipun demikian, tidak dibenarkan untuk melakukan pembuatan radiografis untuk mengetahui adanya fraktur bila bukti klinis kurang mendukung.

3.2.4 Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan lab yang sering dilakukan pada kasus trauma

oromaksilofasial yaitu Hb, Leukosit, trombosit, BT CT, PT APTT, analisa gas darah, GDS, ureum, kreatinin, elektrolit, albumin serum, dan differential sel. Penatalaksanaan Fraktur Oromaksilofasial 2,3 1. Perawatan umum terhadap komplikasi yang menyertai 2. Penanganan Luka Jaringan Lunak Imobilisasi dan evaluasi bagian yang terluka untuk mengurangi rasa nyeri dan edema. Debridement : membersihkan luka, membuang jaringan nekrotik dan benda asing. Hemostasis Menghilangkan tegangan pada penutupan luka: undermining, jahitan subkutis Antibiotika

27

3. Pemeriksaan klinis yang teliti dan interpretasi foto rontgen yang tepat 4. Menentukan tipe dan macam fraktur 5. Mencegah dan merawat infeksi 6. Memberikan imobilisasi sementara 7. Memilih cara pemberian anastesi yang tepat 8. Melakukan Reduksi, Fiksasi dan Imobilisasi fraktur Reduksi: Mengembalikan fragmen pada posisi anatomisnya Terdiri dari open dan closed reduction Fiksasi: Mempertahankan fragmen yang telah direposisi tetap pada tempatnya untuk menghasilkan penyembuhan. Imobilisasi : Mempertahankan fiksasi, meniadakan rasa sakit, krepitasi dan funtio laesa.

28

BAB IV KESIMPULAN

Pendekatan awal terhadap pasien trauma oromaksilofasial akut sedikit berbeda dengan cedera yang lain. Perhatian harus segera diarahkan terhadap saluran pernapasan, adekuasi dari ventilasi, dan kontrol perdarahan eksternal. Pemeriksaan fisik baru bisa dilakukan apabila keadaan umum pasien stabil, pendarahan, serta jalan nafas telah di tangani. Pemeriksaan dilakukan secara akurat dan menyeluruh pada pasien ini. Rangkaian pemeriksaan primary survey dan secondary survey berupa anamnesis yang lengkap, pemeriksaan klinis ekstra oral dan intra oral. Pemeriksaan radiografis dan pemeriksaan laboraturium dilakukan untuk membantu klinisi menegakkan diagnosa dan rencana perawatan yang tepat pada penderita trauma oromaksilofasial. Pengetahuan tentang jenis trauma, anatomi oromaksilofasial, status kegawatdaruratan serta skala prioritas penanganan cedera oromaksilofasial mutlak dibutuhkan dalam penanganan kegawatdaruratan trauma oromaksilofasial.

29

DAFTAR PUSTAKA

1. Pedersen GW. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Penerjemah: Purwanto dan Basoeseno. EGC. Jakarta 2. Fonseca, RJ,et al. 2005. Oral and Maxillofacial Trauma. 3rd ed. St Louis: Elsevier Saunders 3. Marciani RD, Carlson ER, Braun TW. 2009. Oral and Maxillofacial Surgery Volume II. Ed. Ke-2. Saunders Elsevier. St. Louis 4. Yokoyoma T, Motozawa Y, Sasaki T, Hitosugi M. 2006. A Retrospective Anlisis of Oral and Maxillofacial Injuries in Motor Vehicle Accidents. J Oral Maxillofac Surg 64:1731-1735 5. Jong WD.1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerjemah. R.Sjamsuhidayat. EGC. Jakarta. 6. Andreasen JO. 1999. Munksgaard 7. Juliani KI, Frekuensi-distribusi trauma oromaksilofasial dan Essential of Traumatic Injuries to the Teeth.

penatalaksanaannya di Rumah Sakit Umum Tangerang dalam kurun waktu 1 Oktober 1992 -30 September 1993. http://www.digilib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-81816.pdf 8. Peterson Lj. 2003. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery.4 th ed. St Louis: Mosby. 9. http://en.wikipedia.org/wiki/Glasgow_Coma_Scale 10. Banks P. 1990. Fraktur mandibula ( Killeys Fractures of the mandible ). Alih bahasa Lilian Yuwono. Hipokrates. Jakarta 11. London PS. 1991. The anatomy of injury and its surgical implication. Butterworth-Heinemana Ltd. London

30

Penyembuhan Luka Jaringan Lunak Dan Saraf

Dian Maifara Putri 160121120007

Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Bedah Mulut Dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Abstrak : Luka adalah hilang atau rusaknya integritas jaringan tubuh, keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan.1 Penyembuhan luka dan jaringan saraf merupakan hal yang penting untuk mengetahui tahapan luka, faktor-faktor yang berpengaruh, dan komplikasi. Komplikasi dapat terjadi apabila tidak dilakukan terapi dengan adekuat.

Kata kunci: penyembuhan jaringan lunak, infeksi

31

BAB I PENDAHULUAN

Luka adalah hilang atau rusaknya suatu kesatuan atau komponen integritas jaringan tubuh, keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan.1 Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak ialah penyembuhan luka yang dapat dibagi dalam tiga fase yaitu fase inflamasi, proliferasi, dan remodeling atau penyudahan yang merupakan pembentukan kembali dari jaringan.1,2 Penyembuhan luka adalah proses kinetik dan metabolik yang kompleks yang mengikutsertakan berbagai sel dan jaringan dalam usaha menutup tubuh dari lingkungan luar dengan cara mengembalikan integritas jaringan. Maka pada setiap perlukaan, baik luka itu bersih maupun luka yang kotor dan terinfeksi, tubuh akan berusaha melakukan penyembuhan luka. Komplikasi yang sering ditimbulkan pada tahap penyembuhan luka dapat meliputi pembentukan kista implantasi, infeksi luka, nekrose atau gangren dari jaringan, pembentukan jaringan parut, pembentukan keloid yaitu berupa tonjolan jaringan parut, dan warna yang berbeda dari jaringan sekitarnya.1,2

32

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

JENIS-JENIS LUKA Luka terdiri dari: 2,3,4,5,7,8 1. Luka Tertutup

Gambar 1.Luka Memar 9

a. Luka memar ( contusio ) Terjadi akibat benturan dengan benda tumpul, biasanya terjadi di daerah permukaan tubuh, darah keluar dari pembuluh dan terkumpul di bawah kulit sehingga bisa terlihat dari luar berupa warna merah kebiruan b. Hematoma (darah yang terkumpul di jaringan) Prinsipnya sama dengan luka memar tetapi pembuluh darah yang rusak berada jauh di bawah permukaan kulit dan biasanya besar, sehingga yang terlihat adalah bengkak, biasanya besar dan kemerahan. 2. Luka terbuka yang disertai kehilangan jaringan maupun yang tidak disertai kehilangan jaringan a. Vulnus Abrasivum (luka lecet), terjadi karena gesekan antara suatu benda dengan permukaan jaringan lunak.

33

Gambar 2. Vulnus Abrasivum 9

Gambar 3. Kedalaman Luka Lecet 10

b. Vulnus Scissum ( luka sayat ), terjadi karena tersayat pisau atau benda tajam lainnya, pinggir luka tajam dan rata serta mempunyai dasar yang sempit.

Gambar 4. Luka Sayat 11

34

c. Vulnus Penetratum ( luka tembus ), adalah luka yang terjadi sampai menembus organ tubuh lain yang lebih dalam.

Gambar 5. Luka Tembus 11

d. Vulnus laceratum ( luka compang camping ), adalah luka yang disebabkan oleh benda tumpul yang bentuknya tidak teratur.

Gambar 6. Luka Laserasi 11

e. Vulnus Punctum ( luka tusuk ), luka yang terjadi karena tusukan bendabenda yang runcing.

35

Gambar 7. Luka Tusuk 11

Gambar 8. Penampang Luka Tusuk 12

Gambar 9. A. Luka laserasi, B. Luka Tusuk 12

f. Vulnus Sclopectorum ( luka tembak), luka yang disebabkan oleh tembakan senjata api

36

Gambar 10. Luka Tembak 13

g. Vulnus Mossum ( luka karena gigitan binatang).

Gambar 11. Luka Gigitan Binatang 11

h. Avulsi; yaitu hilangnya substansi jaringan lunak yang biasanya mengenai kulit, walaupun mukosa, otot, dan tulang juga bisa terkena. Avulsi biasanya menyertai luka-luka multipel pada wajah dan biasanya pada korban kecelakaan sepeda motor atau luka karena peralatan

industri/pertanian. Luka ini ditandai dengan kulit yang terlepas/ hilang sama sekali. 1,2,3

PENATALAKSANAAN LUKA Prioritas dalam penatalaksanaan luka adalah mengatasi perdarahan

(hemostasis); mengeluarkan benda asing yang dapat bertindak sebagai fokus infeksi; melepaskan jaringan yang mengalami devitalisasi; krusta yang tebal dan pus; menyediakan temperatur, kelembaban, dan pH yang optimal untuk sel-sel yang berperan dalam proses penyembuhan; meningkatkan pembentukan jaringan granulasi dan epitelialisasi; dan melindungi luka dari trauma yang lebih lanjut serta terhadap

37

masuknya mikroorganisme patogen. tujuannya adalah untuk melindungi individu dari kerusakan fisiologis lebih lanjut, untuk menyingkirkan penyebab aktual atau potensial yang memperlambat penyembuhan dan untuk menciptakan lingkungan lokal yang optimal untuk rekonstruksi dan epitelialisasi vaskular dan jaringan ikat.6 Luka harus dibersihkan dari kotoran atau debris. Pembersihan luka dapat dilakukan dengan bahan pembersih luka, sabun atau bila perlu dengan disikat. Biasanya dilakukan tindakan anestesi sebelumnya untuk mengurangi rasa sakit. Lalu dengan menggunakan larutan saline dilakukan irigasi untuk menghilangkan semua partikel yang tertinggal pada luka. Debridement dilakukan untuk menghilangkan jaringan yang mengalami devitalisasi agar didapat penutupan luka yang baik. Sebelum luka ditutup, hemostasis harus tercapai. Bila tidak, maka akan terjadi hematoma di dalam jaringan yang dapat membuka kembali luka yang telah ditutup. Pembuluh darah dapat diklem, diligatur atau dikauterisasi untuk mengurangi perdarahan yang terjadi akibat luka yang terbuka. 6 Setelah luka dibersihkan, dilakukan debridement dan hemostasis tercapai, luka ditutup dengan dijahit. Namun tidak semua luka membutuhkan penjahitan, luka kecil dapat dibiarkan dan dapat sembuh tanpa penjahitan. Bila penjahitan dianggap perlu, tujuan penjahitan adalah mengembalikan jaringan ke posisi semula, tergantung kedalaman dan posisi luka tersebut. Luka pada gingiva atau mukosa alveolar dapat ditutup dengan penjahitan 1 lapis, sedangkan luka pada lidah atau bibir yang

melibatkan otot harus dijahit lapisan otot terlebih dahulu dengan benang jahit yang dapat teresorbsi, dan luka yang lebih dalam membutuhkan penjahitan 3 lapis. Setelah penutupan luka, klinisi harus mempertimbangkan pemberian terapi suportif untuk mempercepat penyembuhan seperti pemberian antibiotik dan anti tetanus. Kecuali untuk luka superficial antibiotik tidak diindikasikan. 6

Protokol 1: Wound toilet dan debridement Gunakan satu dari 2 antiseptik di bawah ini untuk luka: Larutan Povidone iodine 10% dua kali sehari Cetrimide 15% + chlorhexidine gluconate 1,5%

38

1. Bersihkan luka dengan sabun dan air matang selama 10 menit, kemudian luka diirigasi dengan larutan salin 2. Debridement: membersihkan luka dari benda asing, jaringan mati dan rusak secara mekanis. Kemudian irigasi luka kembali. Jika analgetik lokal dibutuhkan gunakan lidokain 1% tanpa epinefrin. 3. Tutup luka dengan kasa steril dan kering. Ganti kasa minimal sekali sehari.

Protokol 2: Manajemen luka dengan tetanus 1. Luka biasanya terinfeksi tetanus jika telah lebih dari 6 jam sebelum pembersihan luka dan memperlihatkan tanda-tanda: tipe luka punctum, terdapat jaringan mati dalam jumlah signifikan, tanda klinis sepsis, kontaminasi bakteri tetanus, dan luka bakar. 2. Untuk pasien terkontaminasi tetanus, WHO merekomendasikan injeksi TT (Tetanus Toksoid) atau Td (vaksin tetanus dan diphteri) dan TIG (Immunoglobin tetanus) 3. Jika pemberian vaksin tetanus dan immunoglobin tetanus dalam satu waktu, maka harus diberikan dengan syringe yang berbeda dan lokasi pemberian yang berbeda pula.

Protokol 3: Antibiotik profilaksis dan antibiotik perawatan Antibiotik profilaksis Antibiotik profilaksis diindikasikan untuk luka yang mempunyai risiko tinggi untuk terinfeksi seperti luka yang terkontaminasi, vulnus penetratum, trauma abdominal, vulnus laseratum dengan ukuran lebih dari 5 cm, luka dengan banyak jaringan nekrotik, tempat yang berisiko tinggi seperti pada ekstremitas. Antibiotik profilaksis yang direkomendasikan adalah penisilin G dan

metronidazole dalam satu kali pemberian. Dosis dewasa 8-12 juta IU, dan anakanak 200.000 IU/kg BB dalam sekali pemberian.

39

Antibiotik perawatan Jika infeksi telah terjadi, berikan antibiotik secara intravena, diberikan Penisilin G dan metronidazole untuk 5-7 hari. Penisilin untuk dosis dewasa 1-5 MIU setiap 6 jam, dan berikan secara peroral 2 hari kemudian jika memungkinkan. Penisilin untuk dosis anak-anak 100 mg/kg BB setiap hari dibagi dalam beberapa dosis. Metronidazole dewasa 500 mg setiap 8 jam dan anak-anak 7,5 mg/kg setiap 8 jam secara intravena. 6

Langkah-langkah pengelolaan luka jaringan lunak terdiri atas: I. Pengelolaan vulnus secara umum 7: 1. Pembersihan luka (debridement) Adalah tindakan membersihkan daerah luka dari benda-benda asing yang mengkontaminasi luka, dan jaringan nekrotik yang terdapat pada luka. Debridement terbagi atas 4 metode 14: a. Surgery: merupakan cara tercepat jika jaringan nekrotik luas b. Enzimatic: enzim yang dapat mendegradasi jaringan nekrotik c. Autolisis: proses yang normal terjadi pada luka dan tidak melukai jaringan sehat di sekeliling luka d. Mekanikal: dengan cara membilas/irigasi luka Pembersihan luka dilakukan dengan cara: mencuci daerah luka untuk membersihkan debris atau benda asing yang tertinggal. Dilakukan dengan menggunakan sikat halus steril/ kapas steril dengan larutan garam fisiologis. Dilanjutkan dengan membuang sisa jaringan nekrotik sehingga didapat pinggiran jaringan yang linear. Pembuangan dilakukan seminimal mungkin, hanya jaringan non vital yang dieksisi. Persiapan wound toilet 15: Jangan memakai sabun atau alkohol Gunakan salin steril Irigasi dengan tujuan menghilangkan benda asing

40

Gunakan 50-100ml/cm salin dengan tekanan

Gambar 12: Enzymatic wound debridement 14

II.

Pengelolaan hematoma dan kontusio 1. Kompres dingin untuk mengurangi sakit dan perdarahan 2 Beri analgetik dan antiinflamasi

3. Instruksikan pada pasien keesokan harinya jika masih lebam dapat dikompres hangat sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah menyebabkan vaskularisasi aktif agar PMN bergerak untuk

memfagositosis sisa-sisa debris fibril atau leukosit dan trombosit yang mati. Tindakan ini dilakukan beberapa hari hingga sembuh.

Setelah semua tindakan di atas dilakukan, maka dapat diberikan terapi suportif: pencegahan luka dari infeksi 1. Spesifik dengan anti tetanus 2. Non spesifik dengan pemberian antibiotika

LUKA BAKAR I. Definisi Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh kontak dengan suhu tinggi seperti api, air panas, listrik, bahan kimia, dan radiasi. Jenis luka dapat beraneka ragam dan memiliki penanganan yang berbeda tergantung jenis jaringan yang

41

terkena luka bakar, tingkat keparahan, dan komplikasi yang terjadi akibat luka tersebut. Luka bakar dapat merusak jaringan otot,tulang, pembuluh darah dan jaringan epidermal yang mengakibatkan kerusakan yang berada di tempat yang lebih dalam dari akhir sistem persarafan. Seorang korban luka bakar dapat mengalami berbagai macam komplikasi yang fatal termasuk diantaranya kondisi shock, infeksi, ketidak seimbangan elektrolit ( inbalance elektrolit) dan masalah distress pernapasan. Selain komplikasi yang berbentuk fisik, luka bakar dapat juga menyebabkan distress emosional (trauma) dan psikologis yang berat dikarenakan cacat akibat luka bakar dan bekas luka (scar). 14

II.

Beratnya Luka Bakar Luka bakar biasanya dinyatakan dengan derajat yang ditentukan oleh

kedalaman luka bakar. Walaupun demikian beratnya luka bergantung pada dalam, luas dan daerah luka. Umur dan keadaan kesehatan penderita sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis.14

III. Derajat Luka Bakar

Gambar 13. Dalamnya luka bakar 15

1. Luka bakar derajat 1 hanya mengenai epidermis serta belum terbentuk lepuhan dan biasanya sembuh dalam 5-7 hari, misalnya tersengat matahari. Luka tampak sebagai eritema dengan keluhan rasa nyeri atau

hipersensitivitas setempat.

42

2. Luka bakar derajat 2 mencapai kedalaman dermis tetapi masih ada elemen epitel sehat yang tersisa. Elemen epitel tersebut misalnya sel epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya sisa sel epitel ini, luka dapat sembuh sendiri dalam 2 sampai 3 minggu. Gejala yang timbul adalah nyeri, gelembung, atau bula berisi cairan eksudat yang keluar dari pembuluh karena permeabilitas dindingnya meninggi. 3. Luka bakar derajat 3 meliputi seluruh kedalaman kulit dan mungkin subkutis, atau organ yang lebih dalam. Tidak ada lagi elemen epitel hidup yang tersisa yang memungkinkan penyembuhan dari dasar luka, karena itu untuk mendapatkan kesembuhan harus dilakukan cangkok kulit. Kulit tampak pucat abu-abu gelap atau hitam, dengan permukaan lebih rendah dari jaringan sekeliling masih sehat.14

IV. Luas Luka Bakar Luas luka bakar dinyatakan dalam persen (%) terhadap luas seluruh tubuh. Pada orang dewasa digunakan rumus 9, yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung, perut, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%, sisanya 1% adalah daerah genitalia. Rumus ini membantu untuk menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar bagi orang dewasa. Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relative permukaan kepala anak jauh lebih besar dan luas relative permukaan kaki lebih kecil.Karena perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda. Untuk anak, kepala dan leher 18%, badan depan dan belakang masin-masing 18 %, ekstremitas atas kanan dan kiri masing-masing 9 %, ekstremitas bawah kanan dan kiri masing-masing 14 %.14

43

Gambar 14. Luasnya luka bakar 16

V.

Klasifikasi Luka Bakar Menurut Keparahannya 1. Berat/Kritis bila : a. Derajat 2 dengan luas lebih dari 25 %. b. Derajat 3 dengan luas lebih dari 10 %, atau terdapat di muka, kaki dan tangan. c. Luka bakar disertai trauma jalan napas atau jaringan lunak luas, atau terdapat fraktur. d. Luka bakar akibat listrik. 2. Sedang bila : a. Derajat 2 dengan luas 15 - 25 %. b. Derajat 3 dengan luas kuarang 10 %, kecuali terdapat di muka, kaki dan tangan. 3. Ringan bila : a. Derajat 2 dengan luas kurang dari 15 %. b. Derajat 3 dengan kurang dari 2 %.2

44

VI. Penatalaksanaan Luka Bakar Prinsip penanganan luka bakar adalah penutupan lesi sesegera mungkin, pencegahan infeksi, mengurangi rasa sakit, pencegahan trauma mekanik pada kulit yang vital dan elemen didalamnya, dan pembatasan pembentukan jaringan parut.2 Upaya pertama saat terbakar adalah mematikan api misalnya dengan menyelimuti dan menutup bagian yang terbakar untuk menghentikan pasokan oksigen bagi api yang menyala. Korban dapat mengusahakanya dengan cepat menjatuhkan diri dan berguling dan mencegah meluasnya bagian pakaian yang terbakar. Kontak dengan bahan yang panas juga harus cepat diakhiri misalnya dengan mencelupkan bagian yang terbakar atau menceburkan diri ke air dingin, atau melepaskan baju yang tersiram air panas. Pertolongan pertama setelah sumber panas dipadamkan, terdiri dari merendam daerah luka bakar dalam air atau menyiraminya dengan air mengalir selama sekurang-kurangnya 15 menit. Pada luka bakar ringan, prinsip

penanganan utama adalah mendinginkan daerah yang terbakar dengan air, mencegah infeksi dan memberi kesempatan sisa-sisa sel epitel untuk berproliferasi dan menutup permukaan luka. Pada luka bakar berat, selain penanganan umum seperti pada luka bakar ringan, kalau perlu dilakukan resusitasi segera bila penderita menunjukkan gejala syok. Bila penderita menunjukkan gejala terbakarnya jalan napas, diberikan campuran udara lembab dan oksigen. Kalau terjadi oedem laring dipasang pipa endotrakea atau dibuat trakeostomi. Trakeostomi berfungsi untuk membebaskan jalan napas, mengurangi ruang mati dan memudahkan pembersihan jalan napas dari lender atau kotoran. Bila ada dugaan keracunan CO2, diberikan O2 murni. Perawatan lokal adalah mengoleskan luka dengan antiseptik. Kalau perlu penderita dimandikan dahulu. Selanjutnya diberikan pencegahan tetanus berupa ATS dan/atau toksoid. Analgesik diberikan bila penderita kesakitan. 17

45

VII. Volume Sirkulasi Penilaian volume sirkulasi sering sulit pada penderita luka bakar berat. Tekanan darah sukar diukur dan hasilnya tidak dapat dipercaya. Untuk mengetahui status sirkulasi dilakukan pengukuran produksi urine/jam dengan catatan tidak ada osmotic dieresis. Oleh karena itu penderita luka bakar berat harus dipasang kateter. Sebagai patokan mengetahui sirkulasi yang akurat ialah bila penderita diberi infus cairan dalam jumlah yang menghasilkan urine 1cc/Kg BB/ jam (untuk anak dengan BB 30 Kg) dan 30 50 cc / kg BB / jam (dewasa). Pada 24 jam pertama penderita luka bakar berat derajat II dan III memerlukan 2 4 cc cairan RL/ Kg BB/ % Luas luka bakar untuk

mempertahankan volume sirkulasi dan fungsi ginjal yang adequat. Pemberian cairan dilakukan sebagai berikut : dari volume terhitung diberikan 8 jam pertama setelah trauma, dari sisanya diberikan 16 jam berikutnya. Untuk mempertahankan produksi urine 1 cc/ Kg BB/jam pada anak-anak dan BB 30 Kg, perlu dihitung dengan cermat dan perlu ditambahkan cairan glukosa untuk maintenance. Perlu diketahui bahwa rumus penghitungan cairan tersebut merupakan perkiraan volume cairan yang diperlukan. Pemberian cairan disesuaikan dengan respon individual penderita, misalnya dinilai produksi urinenya, tanda-tanda vital dan keadaan umum.17

VIII. Luka Bakar Khusus 1. Luka Bakar Karena Bahan Kimia/Kimiawi Luka bakar dapat disebakan oleh asam, alkali dan hasil-hasil pengolahan minyak. Luka bakar alkali lebih berbahaya dari asam, sebab alkali lebih dalam merusak jaringan. Segeralah bersihkan bahan kimia tersebut dari luka bakar. Kerusakan jaringan akibat luka bakar bahan kimia dipengaruhi oleh lamanya kontak, konsentrasi bahan kimia dan jumlahnya. Segera lakukan irigasi dengan air sebanyak-banyaknya, bila mungkin gunakan penyemprot air. Lakukan tindakan ini dalam waktu 20 30 menit. Untuk luka bakar alkali, diperlukan

46

waktu yang lebih lama. Bila bahan kimia merupakan bubuk, sikatlah terlebih dahulu sebelum irigasi. Jangan memberikan bahan-bahan penetral (neutralizing agent) sebab reaksi kimia yang terjadi akibat pemberian bahan penetral dapat menimbulkan panas dan akan memperberat kerusakan yang terjadi. Untuk luka bakar pada mata, memerlukan irigasi terus menerus selama 8 jam pertama setelah luka bakar. Untuk irigasi ini dapat digunakan kanula kecil yang dipasang pada sulkus palpebra. 17

2.

Luka Bakar Listrik Luka bakar listrik terjadi karena tubuh terkena aliran listrik. Luka bakar

listrik sering menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih berat dari pada luka bakar yang terlihat pada permukaannya. Tubuh merupakan penghantar tenaga listrik, dan panas yang ditimbulkannya, menyebabkan luka bakar pada tubuh. Perbedaan kecepatan hilangnya panas dari tubuh superfasial dengan jaringan tubuh yang lebih dalam, menghasilkan keadaan dimana jaringan yang lebih

dalam akan bisa mengalami nekrosis, sedangkan kulit di atasnya relatif tampak normal. Penanganan harus segera dilakukan pada penderita dengan luka bakar listrik meliputi perhatian terhadap jalan nafas, pernafasan, pemasangan infus, ECG dan pemasangan kateter. Apabila urine berwarna gelap mungkin urine mengandung hemokhromogens, janganlah menunggu konfirmasi laboratorium untuk melakukan terapi terhadap mioglobunuria. Pemberian cairan harus ditingkatkan sedemikian rupa sehingga tercapai produksi urine sekurang-

kurangnya 100 cc/jam (pada dewasa). Bila urine belum tampak jernih, berikan segera 25 gr manitol dan tambahkan manitol 12,5 gr manitol pada tiap penambahan 1 liter cairan untuk mempertahankan diuresis sejumlah tersebut di atas. Bila terjadi asidosis metabolic, pertahankan perfusi sebaik mungkin dan berikan Natrium Bikarbonat untuk membuat urine menjadi alkalis dan meningkatkan kelarutan mioglobin dalam urine.17

47

BAB III PEMBAHASAN

MEKANISME PENYEMBUHAN LUKA Proses biokimia dan seluler kemudian terjadi dalam penyembuhan semua cedera jaringan lunak yang rusak ini. Proses fisiologis penyembuhan luka dapat dibagi dalam tiga fase yaitu : fase inflamasi, proliferasi, dan remodelling jaringan.1,2,4
Tabel 1.Fase Penyembuhan Luka 17

FASE INFLAMASI Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira hari kelima. Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan tubuh akan berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang putus (retraksi), dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melengket, dan bersama dengan fibrin yang terbentuk membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah. Sementara terjadi reaksi inflamasi, sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamin yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan, pengeluaran sel-sel radang, disertai vasodilatasi setempat yang

menyebabkan oedem dan pembengkakan.

48

Selain itu akan terjadi aktivitas seluler yang merupakan gerakan leukosit menembus dinding pembuluh darah menuju luka karena daya kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu mencerna bakteri dan kotoran luka. Limfosit, monosit yang kemudian muncul ikut menghancurkan dan memakan kotoran luka, pendapat lain mengatakan bahwa fase seluler ini disebabkan oleh aktivasi dari serum pada jaringan yang rusak. Serum tambahan itu menghasilkan faktorfaktor kemotaksis dan menyebabkan PMN lekosit (neutrofil) menempel pada

pembuluh darah (marginasi) dan migrasi melalui dinding pembuluh darah (diapedesis). Pada waktu kontak dengan benda asing netropil melepaskan lisosom yang dikandungnya (degranulasi). Lisosom tersebut merusak bakteri dan benda asing lainnya serta mengangkat jaringan nekrotik. Terdapat juga limfosit yang terdiri dari 2 kelompok yaitu limfosit B dan limfosit T. Limfosit B berguna untuk mengenali antigen, menghasilkan antibodi yang membantu mengingatkan sistem pertahanan tubuh untuk mengidentifikasi benda asing dan berinteraksi dengan faktor tambahan untuk melarutkan sel-sel asing. Sedangkan limfosit T terdiri dari kelompok yaitu T helper untuk merangsang sel B berdeferensiasi dan berproliferasi, serta sel T citotoksis untuk melarutkan sel-sel asing dan antigen.2,5

Gambar 15. Fase inflamasi 4

49

FASE PROLIFERASI Serat-serat fibrin diperoleh dari darah yang mengalami pembekuan yang menutup luka, berbentuk seperti anyaman. Fibroblas mulai terbentuk pada substansia dasar dan tropokolagen. Substansia dasar mengandung sejumlah mukopolisakaride yang berguna untuk melekatkan serat-serat kolagen. Fibroblas mengeluarkan fibronectin yaitu kandungan protein yang mempunyai fungsi membantu mempertahankan kestabilan fibrin, membantu mengamati benda asing, menggerakkan sistem pertahanan tubuh, bertindak sebagai faktor kemotaksis dari fibroblas, dan membantu makrophage.2 Fibrinolisis terjadi disebabkan oleh plasma yang dibawa oleh pembuluh darah kapiler yang baru. Fibroblas yang terdapat pada tropokolagen akan menghasilkan serat kolagen. Jaringan dengan cepat tumbuh menjadi kuat selama tahap fibroplastis, normalnya antara 2-3 minggu. Apabila tegangan pada luka terjadi pada awal tahap fibroplastis, maka terjadi penarikan di sepanjang garis utama dan luka. Akan tetapi bila terjadi pada akhir dan tahap ini akan menyebabkan lepasnya hubungan antara serat kolagen yang lama di sepanjang tepi luka dan terbentuk kolagen yang baru. Gambaran akhir pada tahap fibroplastis adalah kaku oleh karena banyaknya kolagen dan kemerahan oleh karena vaskularisasi.4,5

Gambar 16. Fase proliferasi 4

50

FASE REMODELING Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi, dan akhirnya pembentukan kembali jaringan yang baru. Fase ini dapat berlangsung berbulanbulan dan dinyatakan berakhir kalau semua tanda radang sudah lenyap. Tubuh berusaha menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan. Udem dan sel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, dan lembut serta mudah digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan maksimal pada luka.5 Lebih jelasnya pada tahap ini kolagen yang lama dihancurkan, diganti dengan kolagen yang baru guna meningkatkan ketahanan jaringan pada luka. Selama tahap ini kekuatan jaringan meningkat secara perlahan, tetapi tidak seperti pada tahap fibroplastis. Kekuatan jaringan tidak lebih dari 80-85% dibandingkan dengan jaringan yang normal dan hal ini tercapai kira-kira 3-6 bulan setelah penyembuhan. Karena serat kolagen sangat sedikit akibatnya terbentuk bekas luka yang lunak. Metabolisme menurun, sistem vaskularisasi berkurang sehingga kemerahan pada bekas luka juga berkurang. Elastin dan ligamen tidak kembali pada penyembuhan luka, sehingga menyebabkan hilangnya fleksibilitas pada daerah bekas luka.

51

JENIS-JENIS PENYEMBUHAN LUKA Jenis-jenis penyembuhan luka adalah :


1.

Penyembuhan secara primer Penyembuhan luka berlangsung dengan pembentukan jaringan granulasi yang minimal. Jenis penyembuhan ini terjadi pada luka sayat aseptik yang ditutup secara primer.

2. Penyembuhan secara sekunder Luka yang dalam proses penyembuhan terisi dengan jaringan granulasi,

selanjutnya terjadi kontraksi luka sehingga ukuran luka mengecil, dan akhirnya luka tertutup dengan pertumbuhan epitel dari pinggiran luka. Hal ini biasanya terjadi pada luka yang terbuka, karena infeksi, kehilangan jaringan yang agak luas, jahitan yang kurang rapat atau luka dengan suatu dead space. 3,5,6

3. Penyembuhan secara tertier Diartikan sebagai penyembuhan pada suatu luka yang sejak awal dibiarkan terbuka atau luka terbuka kembali setelah dijahit primer, yang pada beberapa hari kemudian (3-4 hari) dilakukan penjahitan untuk menutup kembali luka tersebut, jadi dilakukan bantuan tindakan bedah agar luka menjadi tertutup.3,5,6

52

Gambar 17. Penyembuhan primer (a), sekunder (b), dan tersier (c) 3

FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dan memperlambat penyembuhan luka, faktor tersebut dibagi dalam faktor dari pasien (intrinsik) seperti kondisi yang kurang menguntungkan pada tempat luka dan sejumlah kondisi medis yang dapat menyebabkan lingkungan sekitar yang buruk terhadap penyembuhan luka, serta faktor-faktor dari luar (ekstrinsik), seperti pengelolaan luka yang kurang tepat dan efek-efek terapi lainnya yang kurang menguntungkan. Faktor lokal yang berpengaruh terhadap penyembuhan luka : 1. Kurangnya suplai darah dan pengaruh hipoksia. Pada semua luka terdapat peradangan, membutuhkan banyak nutrisi dan pembuangan kotoran, jaringan nekrotik, racun dan bakteri. Untuk itu dibutuhkan suplai darah dari vena dan arteri yang cukup. Pada daerah dimana suplai darah tidak cukup akan menyebabkan kebutuhan sel-sel tidak terpenuhi. Oleh karena itu akan terjadi jaringan yang mati. Tepian luka yang sedang tumbuh merupakan suatu daerah yang aktivitas metaboliknya sangat tinggi, dalam hal ini hipoksia menghalangi mitosis dalam sel-sel epitel dan fibroblas yang bermigrasi, sintesa kolagen dan kemampuan makrofag untuk menghancurkan bakteri yang tercerna. 2. Turunnya temperatur. Aktivitas fagositik dan aktivitas mitosis secara khusus mudah terpengaruh terhadap penurunan temperatur pada tempat luka. Kira-kira

53

dibawah 28C aktivitas leukosit dapat turun sampai nol. 3. Mobilisasi, pergerakan yang terjadi pada luka merupakan trauma yang berulang pada luka tersebut, sehingga dapat mengakibatkan terhambatnya penyembuhan luka. 4. Infeksi, faktor yang penting dan sering menimbulkan masalah pada kasus penyembuhan di tempat praktek. Suatu kebijaksanaan adalah penggunaan antibakteri lokal untuk mengatasi infeksi pada jaringan yang terkontaminasi. 5. Jaringan nekrotik, krusta yang berlebihan dan benda asing. Adanya jaringan nekrotik dan krusta yang berlebihan di tempat luka dapat memperlambat penyembuhan dan meningkatkan resiko terjadi infeksi. Demikian juga adanya segala bentuk benda asing termasuk bahan jahitan dan drain luka. Oleh karena itu sangat penting untuk mengeluarkan kontaminan organik maupun anorganik secepat mungkin tetapi dengan trauma yang minimum terhadap jaringan utuh.

Faktor sistemik yang berpengaruh pada penyembuhan luka: 1. Malnutrisi. Dua bahan nutrisi yang menunjukkan secara langsung untuk penyembuhan adalah protein dan vitamin C. Protein berguna untuk mengefektifkan metabolisme penderita dan mengembalikan plasma protein. Dalam keadaan kekurangan protein akan mengakibatkan fibroblas tidak menjadi matang sehingga pembentukan serat kolagen hanya sedikit akibatnya penyembuhan menjadi terhambat. Vitamin C penting untuk mempertahankan ikatan antara sel-sel endotel pada kapiler. Kekurangan vitamin C menyebabkan fibroblas tidak matang atau berdiferensiasi, akibatnya terjadi hambatan pada pembentukan 2. Umur. Dengan bertambahnya umur daya regenerasi dari jaringan tubuh akan berkurang. Penyembuhan luka pada penderita yang masih muda berlangsung lebih cepat. 3. Penyakit sistemik, pasien dengan penyakit diabetes melitus, gangguan sistem imun, gangguan kardiovaskuler, infeksi kronis, anemia dan penyakit lain.1,4

54

Benda Asing Benda asing adalah segala sesuatu yang dianggap asing bukan anggota dari tubuh oleh sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme, termasuk bakteri, kotoran dan benang jahit. a. Bakteri dapat berkembang biak dan menyebabkan infeksi dimana akan mengeluarkan protein bakteri yang dapat merusak jaringan b. Benda asing yang bukan bakteri tetapi bertindak sebagai bakteri yang dapat meenyebabkan terjadinya infeksi. c. Benda asing sering berbentuk antigen yang memacu terjadinya peradangan kronis.

Jaringan Nekrotik Jaringan nekrotik, dengan adanya jaringan nekrotik akan menyebabkan masalah antara lain: a. Merupakan penghambat terbentuknya sel-sel reparasi. Tahap peradangan diperpanjang dimana sel darah putih mengangkut sisa-sisa jaringan nekrotik melaiui proses larutnya enzim dan paghositosis. b. Jaringan nekrotik sebagai tempat berlindungnya bakteri. Yang termasuk jaringan nekrotik adalah darah yang terkumpul pada luka (hematom) merupakan sumber makanan yang bagus bagi bakteri.

Iskemia Iskemia, adalah berkurangnya suplai darah berpengaruh terhadap tahap perbaikan luka. Iskemia dapat mengurangi pengiriman antibodi, sel darah putih, dan antibiotik yang sangat diperlukan, sehingga dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada luka. Iskemia menurunkan pengiriman oksigen dan zat makanan yang diperlukan untuk penyembuhan luka. Iskemia disebabkan oleh beberapa hal yaitu : a. Terlalu tegang atau tidak tepatnya lokasi penjahitan b. Bentuk flap yang kurang benar c. Tekanan dari luar dan dalam luka (hematom) d. Hipotensi

55

e. Penyakit pembuluh darah tepi f. Anemia

Ketegangan Jaringan Ketegangan jaringan, ketegangan dari luka dapat menghambat terjadinya penyembuhan. Penjahitan dengan benang yang terlalu kencang dapat menimbulkan ketegangan pada jaringan di daerah luka. Jaringan diliputi oleh benang yang

terlalu tegang sehingga menimbulkan iskemia. Jika benang diambil terlalu awal maka dapat terjadi pembukaan kembali dari luka sehingga dapat menimbulkan

kontraksi dari luka. Apabila terlalu lama benang tidak diambil maka akan mendatangkan ketegangan jaringan dan luka cenderung semakin terbuka selama tahap remodeling, sehingga akan meninggalkan tanda yang buruk.3,5,6

PENATALAKSANAAN LUKA YANG TIDAK TEPAT Gagal mengidentifikasi penyebab yang mendasari sebuah luka atau gagal untuk melakukan identifikasi masalah lokal di tempat luka, penggunaan antiseptik yang tidak bijaksana, penggunaan antibiotik topikal yang kurang tepat dan ramuan obat perawatan luka lainnya, serta teknik pembalutan dan penjahitan yang kurang hati-hati adalah penyebab terlambatnya penyembuhan luka yang dapat dihindari.

MEKANISME PENYEMBUHAN JARINGAN SARAF Proses penyembuhan jaringan saraf tergantung pada derajat keparahan dan keluasan luka. Pada luka yang menyebabkan terganggunya konduksi saraf, tanpa rusaknya akson (selubung myelin masih intak atau terdapat luka yang kecil) penyembuhan dari defisit fungsional berlangsung secara spontan dan umumnya lengkap dalam tiga - empat minggu. Apabila ada kerusakan akson (sel Schwann dan jaringan ikat masih intak) akan terjadi perubahan morfologis sebagai manifestasi dari degenerasi aksoplasma. Hal ini akan berpengaruh pada bagian distal dari lokasi luka dan sebagian bagian proksimal dari luka. Pada luka badan saraf, terjadi degenerasi pada semua akson di badan saraf yang terluka. Setelah sel saraf terluka, investing Schwann cells akan memulai beberapa perubahan yang disebut

56

degenerasi wallerian, di sepanjang akson distalis dan beberapa akson proksimalis. Selama 78 jam, akson yang terluka akan difagositosis oleh sel Schwann dan makrofag. Setelah debris dapat dibersihkan, sel Schwann akan menghubungkan bagian proksimal dan distal dari luka dengan cara membentuk suatu ikatan (Bungners band) yang akan menerima akson yang sudah regenerasi dari bagian proksimal. Sel Schwann juga dapat mengeluarkan beberapa faktor neurotropik untuk menunjang regenerasi sel saraf. Proses regenerasi sel saraf berlangsung sekitar 3 bulan dan ditandai dengan terbentuknya akson bermielin. Proses regenerasi dipengaruhi oleh faktor umur, tipe luka, nutrisi, dan saraf yang terlibat.1,4

KOMPLIKASI PENYEMBUHAN LUKA Infeksi Pada Luka Infeksi pada luka umumnya merupakan infeksi dari kontaminasi bakteri pada luka tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, infeksi dapat terjadi bila terdapat 1 x 105 bakteri dalam 1 gram jaringan. Selain itu, infeksi dapat terjadi akibat daya tahan tubuh host yang menurun atau derajat virulensi bakteri. Gejala klinis dari luka yang terinfeksi adalah eritema, peningkatan suhu, pembengkakan, rasa nyeri, dan umumnya disertai dengan terbentuknya pus dan bau. Tindakan yang tidak asepsis merupakan penyebab utama terjadinya luka yang terinfeksi. Infeksi luka dapat dikurangi dengan cara melakukan tindakan bedah yang benar, meliputi debridement, hemostasis yang adekuat, dan eliminasi dead space, serta menjaga luka tetap bersih.7

Dehiscence Dehiscence terjadi akibat tindakan hecting yang tidak optimal. Bagian yang mengalami dehiscence dapat ditutup lagi atau dibiarkan supaya terjadi penyembuhan sekunder, tergantung luas daerah dehiscence dan keputusan klinisi.

Jaringan parut Keloid memiliki faktor predileksi hubungan kekerabatan dan ras. Perlu dibedakan antara keloid dengan hyperthrophic scar. Keloid timbul beberapa bulan setelah luka sembuh, sedangkan hyperthropic scar timbul segera setelah luka

57

sembuh. Hal yang dapat dilakukan adalah menjaga jarak antarjahitan tidak terlalu rapat dan setelah dilakukan hecting, pasien dapat diberikan obat anti-keloid (salep kanakeloid atau injeksi kenacort 2x sebulan).4

58

BAB IV KESIMPULAN

Luka adalah terputusnya kontuinitas jaringan baik tanpa kehilangan jaringan atau disertai dengan kehilangan jaringan. Luka pada jaringan dapat disebabkan oleh peristiwa patologis atau trauma. Proses penyembuhan luka dapat dibagi menjadi tiga tahap dasar yaitu tahap inflamasi, tahap fibroblastis dan tahap remodeling. Faktor-faktor yang menghambat proses penyembuhan luka adalah adanya benda asing, adanya jaringan nekrotik, iskemia dan ketegangan jaringan, penyembuhan luka dipengaruhi oleh faktor lokal dan faktor sistemik. Komplikasi yang sering terjadi adalah infeksi, dehiscence, dan jaringan parut yang berlebihan.

59

DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Surgeon, Manual Untuk Peserta ATLS, 1997,hal.300 309. 2. Topazian R.G and Goldberg M.H, Oral and Maxillofacial infection, 4th ed, W.B Saunders Co, Philadelphia. 2002. Pp: 99-111 3. Feinberg, SE. Larsen, PE. 1991. Healing of Traumatic Injuries, in Fonseca RJ and Walker RV, Oral and Maxillofacial Trauma. Vol. I, W.B. London: Saunders Company. 4. Patient UK. Simple Wound Management and Suturing.

http://www.patient.co.uk 5. Frying, F. Enquist. 1998. The Principles of Wound Healing, in Loyal Davis, M.D, Cristhoper's Textbook of Surgery. 9th ed. Philadelphia: W.B.Saunders and Co. 6. Morison, JM. 2003. Manajemen Luka, EGC. hal 28-42. 7. Pederson W.G. 1996. Buku Ajar Bedah Mulut. Alih Bahasa Purwanto. Jakarta: EGC 8. Robins; Cotran; Kumar, Radang dan perbaikan, dalam Dasar Patologi Penyakit, edisi 5, tahun 1996, hal. 20- 65. 9. www.bayoesunaryo.wordpress.com, diunduh tanggal 22 Januari 2013 10. www.jellygamatluxornet.com , diunduh tanggal 22 Januari 2013 11. www.dc349.4shared.com , diunduh tanggal 22 Januari 2013 12. www.adam.com , diunduh tanggal 22 Januari 2013 13. www.skwawesome.com , diunduh tanggal 22 Januari 2013 14. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, 1998, hal.81-91, 105-107. 15. www.meddet.com , diunduh tanggal 22 Januari 2013 16. http://burn-victim-help-center.com, diunduh tanggal 22 Januari 2013 17. Arif Mansjoer, Suprohaita, dkk, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media Aesculapius, FK-UI, 2001, hal. 365-372.

60

61

Penanganan Perdarahan / Hemostasis dan Pengelolaan Nutrisi Penderita Trauma Oromaksilofasial

Alvin 160121120006

Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Bedah Mulut Dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Abstrak : Perdarahan pada penderita oromaksilofasial merupakan suatu jenis kegawatdaruratan yang dapat mengancam jiwa, maka dari itu diperlukan suatu penanganan perdarahan secepat mungkin. Penanganan perdarahan dapat dilakukan dengan membentuk mekanisme hemostasis natural, menggunakan panas , pengikatan dengan benang, meletakkan substansi vasokonstriktif. Pada penderita trauma oromaksilofasial juga diperlukan adanya pengelolaan nutrisi yang adekuat dikarenakan pada penderita trauma kemampuan penggunaan mulut penderita berkurang. Prosedur bedah mulut dan maksilofasial dapat

mengeliminasi permasalahan ini dengan suatu prosedur operasi,namun prosedur ini juga membatasi kemampuan mulut sementara waktu. Pada keadaan trauma (stress dan sepsis) tubuh mengalami rangkaian perubahan hormonal yang menambah laju metabolisme. Hal ini berakibat menurunnya daya tahan tubuh, terjadinya edema, dan terhambatnya penyembuhan luka gangguan motilitas usus, gangguan enzim dan metabolisme serta kelemahan otot. Oleh karena itu pasien dengan trauma oromaksilofasial memerlukan intervensi nutrisi dalam rawat inap di rumah sakit. Maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran penanganan perdarahan dan pengelolaan nutrisi penderita trauma oromaksilofasial .

Kata kunci : perdarahan, trauma, nutrisi

62

BAB I PENDAHULUAN

Manajemen pasien yang mengalami trauma jarang dijumpai pada pusat trauma mayor dimana sumber dayanya tidak terbatas, namun justru dijumpai pada perumahan yang terpencil, kantor, jalan raya, atau daerah-daerah lain dengan sumber daya yang terbatas yang biasanya tidak dapat menangani pasien dengan trauma yang kompleks dan frekuensi yang besar. Kunci penatalaksanaan pasien trauma biasanya melibatkan mobilisasi dari pasien-pasien tersebut dan penyaluran ke pusat trauma untuk penanganan lebih lanjut. Ketika trauma yang kompleks terjadi, pasien tersebut sering membutuhkan penanganan medis darurat atau kematian dapat terjadi 1. Pada mulanya dokter gigi dilibatkan pada perawatan trauma rahang karena mereka menguasai pengetahuan tentang gigi dan oklusi. Perawatan yang terdahulu hanya terdiri atas fiksasi gigi pada oklusi sentrik untuk mengurangi dan mengimobilisasi suatu rahang. Sekarang ini dasar pemikiran perawatan fraktur mandibula dan maksila masih tidak banyak berubah, hanya tekniknya yang berkembang pesat. Diagnosis didukung dengan adanya teknik radiografis yang berkembang dengan pesat. Fraktur-fraktur yang pada jaman dahulu tidak dapat dikenali sama sekali atau hanya bersifat dugaan sekarang ini bisa ditunjukkan sampai hal yang terkecil. Dengan tersedianya antibiotik dan peralatan yang khusus, membuat pendekatan per oral pada perawatan fraktur fasial menjadi aman dan layak dilakukan 2. Trauma yang terdapat pada regio maksilofasial memerlukan perhatian khusus. Trauma oromaksifasial dapat menimbulkan perdarahan, sehingga memerlukan tindakan di dalam ruang gawat darurat agar tidak menimbulkan kematian 3. Keadaan ini membutuhkan pertolongan segera yang dapat berupa pertolongan pertama sampai pada pertolongan selanjutnya secara baik di rumah

63

sakit. Tindakan tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwa mencegah dan membatasi cacat serta meringankan penderitaan dari penderita. Keadaan ini selain membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan yang baik dari penolong dan sarana yang memadai, juga dibutuhkan pengorganisasian yang sempurna. 3 Regio maksilofasial terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah wajah yang bagian atas, bila fraktur melibatkan sinus dan tulang frontal. Bagian kedua adalah daerah tengah wajah atau midface. Midface dibagi menjadi bagian atas dan bagian bawah. Midface yang bagian atas bila terdapat fraktur Le Fort II dan Le Fort III dan/atau fraktur tulang nasal, fraktur nasoetmoidal atau kompleks zygomatikomaksilari dan fraktur dasar orbita. Fraktur Le Fort I bila fraktur terdapat pada bagian bawah dari midface. Bagian yang ketiga dari regio maksilofasial adalah wajah bagian bawah, bila fraktur hanya terdapat pada mandibula. Insidensi trauma maksilofasial sering terjadi terutama yang berhubungan dengan kecelakaan kendaraan bermotor. 3 Kematian pada penderita dengan trauma oromaksilofasial salah satunya dapat disebabkan oleh perdarahan yang tidak cepat diatasi, sehingga memerlukan tindakan di dalam ruang gawat darurat agar tidak menimbulkan kematian 3. Distribusi umur pasien trauma menunjukkan bahwa pasien trauma berumur antara 17 dan 24 tahun, dengan jenis kelamin laki-laki yang paling dominan terluka pada kecelakaan motor dan oleh karena kekerasan (luka tembak, luka tusuk dan perkelahian). Kelompok utama yang kedua dari pasien trauma berumur antara 35 dan 44 tahun dan didominasi oleh laki-laki yang terluka karena kecelakaan motor. Kelompok ketiga tertinggi dari pasien trauma berumur antara 75 dan 85 tahun dan kebanyakan adalah wanita yang terluka karena jatuh atau oleh karena kecelakaan motor. Kelompok umur ini adalah kelompok yang paling sering dijumpai oleh spesialis bedah mulut untuk evaluasi dan pengobatan luka fasial 1. Berikut ini akan dibahas mengenai penanganan perdarahan/hemostasis dan pengelolaan nutrisi pada kegawatdaruratan trauma oromaksilofasial sebelum dilakukan penanganan definitif lebih lanjut. 1

64

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. PENANGANAN TRAUMA OROMAKSILOFASIAL Pada umumnya penderita dengan trauma oromaksilofasial terjadi bersamaan dengan trauma pada bagian tubuh yang lain (trauma multiple). Sehingga tahap-tahap penangannnya bersamaan dengan penanganan trauma yang lainnya. Adapun tahap-tahap penanganan trauma adalah sebagai berikut 4: 1. Penanganan yang dilakukan sebelum dibawa ke rumah sakit a. Mempertahankan jalan napas b. Menghentikan perdarahan eksternal c. Stabilisasi fraktur d. Stabilisasi tulang belakang e. Tranportasi cepat (Ambulatory) 2. Resusitasi dan pananganan primer a. ABC (Airway, Breathing, Circulation) b. Resusitasi cairan c. Pemantauan 3. Diagnosis dan penanganan sekunder a. Pemeriksaan fisik menyeluruh b. Radiografi c. Pemeriksaan Laboratorium d. Resusitasi dan pemantauan lanjut 4. Perawatan Definitif a. Pembedahan b. Perawatan non operatif c. Nutritional support 5. Rehabilitasi

65

B. TINJAUAN UMUM PERDARAHAN Perdarahan adalah keluarnya darah dari pembuluh darah kedalam ruang ekstravaskuler, karena hilangnya kontinuitas pembuluh darah. Berbagai macam perdarahan yang dibagi menurut pembuluh darah yang terluka, waktu perdarahan, lokasi perdarahan, dan penyebab perdarahan, yang akan diuraikan sebagai berikut1: 1. Menurut pembuluh darah yang terluka, perdarahan dapat dibagi menjadi: a. Perdarahan arteri, dengan ciri-ciri warna darah cerah terang karena mengandung oksigen dan perdarahan memancar dengan aliran yang terputus-putus sesuai dengan denyut jantung. b. Perdarahan vena, dengan ciri-ciri warna darah merah gelap karena mengandung karbondioksida dan darah yang keluar mengalir tetap. c. Perdarahan kapiler, dengan ciri-ciri warna darah antara darah arteri dan vena, dan darah merembes dari permukaan luka. 2. Menurut waktu terjadinya perdarahan, dibagi menjadi: a. Perdarahan primer jika terjadi pada waktu terputusnya pembuluh darah karena trauma; operasi. b. Perdarahan intermediate jika terjadi dalam 24 jam. c. Perdarahan sekunder jika terjadi setelah 24 jam. 3. Menurut lokasi perdarahan, maka dibagi menjadi: a. Perdarahan eksternal jika darah keluar dari kulit atau jaringan lunak dibawahnya. b. Perdarahan internal jika arah tidak keluar, tetapi masuk kejaringan sekitarnya. 4. Menurut penyebab terjadinya perdarahan maka dibagi menjadi: a. Perdarahan mekanik yaitu perdarahan terjadi akibat trauma mekanik atau kecelakaan b. Perdarahan spontan/biokemis yaitu perdarahan terjadi akibat kelainan atau gangguan mekanisme hemostasis, dapat terjadi karena kelainan

66

pembuluh

darah,

kelainan

trombosit

dan

kelainan

mekanisme

pembekuan darah.

C. HEMOSTASIS Hemostasis adalah proses penghentian perdarahan dari pembuluh darah yang mengalami kerusakan secara spontan. Gangguan faktor hemostasis akan mengakibatkan terjadinya perdarahan atau trombosis. Perdarahan yaitu darah keluar dari pembuluh darah. Trombosis yaitu darah membeku di pembuluh darah. Hemostasis dapat dibagi menjadi5: 1. Hemostasis primer, yang termasuk didalamanya adalah pembuluh darah dan trombosit. 2. Hemostasis sekunder, yang termasuk didalamanya adalah faktor

pembekuan dan anti pembekuan.

Pencegahan kehilangan darah yang banyak merupakan hal yang penting untuk menjaga kapasitas transpor oksigen pada pasien tersebut. Akan tetapi pengontrolan hemostasis penting dikarenakan oleh adanya alasan-alasan yang penting juga. Salah satunya adalah menurunnya visibilitas yang dikarenakan perdarahan yang tidak terkontrol. Masalah lainnya yang disebabkan oleh perdarahan adalah terbentuknya hematoma. Hematoma memberikan tekanan pada luka, mengurangi vaskularitas; hematoma tersebut meningkatkan tarikan pada tepi luka dan berfungsi sebagai media kultur, yang memungkinkan terjadinya infeksi pada luka 5. Evaluasi faal hemostasis dapat dilakukan melalui beberapa cara, yang akan diuraikan sebagai berikut: 1. Percobaan Pembendungan (Tes Rumpel Leede) Menguji ketahanan dinding kapiler darah dengan cara mengenakan

pembendungan kepada vena, sehingga tekanan darah di dalam kapiler meningkat. Dinding kapiler yang kurang kuat akan menyebabkan darah keluar dan merembes kedalam jaringan sekitarnya sehingga nampak titik merah kecil pada permukaan kulit, titik itu disebut petekia.

67

2.

Masa perdarahan Menilai kemampuan vaskuler dan trombosit untuk menghentikan

perdarahan. 3. Hitung jumlah trombosit Perdarahan tidak terjadi jumlah trombosit lebih dari 100.000/ul. Jumlah trombosit kurang dari 50.000/ul digolongkan trombositopenia berat dan perdarahan spontan akan terjadi jika jumlah trombosit kurang dari 20.000/ul. 4. Masa Protrombin Plasma (Protrombine Time/PT) Menguji pembekuan darah melalui jalur ekstrinsik dan jalur bersama yaitu faktor pembekuan VII, X, V, protrombin dan fibrinogen. 5. Masa tromboplastin parsial teraktivitas ( Activitated Parsial Tromboplastin Time/APTT) Menguji pembekuan darah melalui jalur intrinsik dan jalur bersama yaitu faktor pembekuan XII, prekalikren, kininogen, XI, IX, VIII, X, V, protrombin dan fibrinogen 6. Trombine Time (TT) Perubahan fibrinogen menjadi firbin 7. Pemeriksaan Penyaringan untuk Faktor XIII Digunakan untuk menilai kemampuan faktor XIII dalam menstabilkan fibrin.

Tabel 1. Tes Koagulasi

Jenis Tes

Nilai Normal

Kegunaan Mengamati fungsi vaskular dan platelet, deteksi penyakit willebrand

Waktu perdarahan 2-7 menit

Hitung platelet

150.000-400.000/mm Deteksi trombositosis , trombositopenia Lebih lama bila berkaitan dengan defisiensi faktor-faktor I,II,V,VII,X. Mungkin abnormal pada penyakit hati, defisiensi vitamin K,

Waktu protrombin 12-14 Detik

68

terapi warfarin sodium (Coumadin), Penggunaan aspirin, dan anti-radang nonsteroid lain. Paruh waktu tromboplastin 60-70 detik Lebih lama, bila ada defisiensi faktor pembekuan darah, kecuali VII Hemofilia

Tabel 2. Faktor Pembekuan Darah

Faktor I II Fibrinogen Protrombin

Peranan pada pembekuan darah Prekursor fibrin Proensim,diaktifkan oleh tromboplastin Diperlukan untuk merubah protrombin menjadi thrombin

Tes PT PT PTT

III Tromboplastin

IV V VI

Kalsium Proaccelerin Tidak lagi digunakan

Diperlukan pada semua tahap Diperlukan untuk pembentukan tromboplastin

PTT PT PTT

VII Proconvertin

Diperlukan untuk mengubah protrombin menjadi thrombin

PT

VIII Faktor antihemofilik (AHF) Diperlukan untuk pembentukan tromboplastin IX Komponen Plasma tromboplastin X Faktor Stuart Prower Diperlukan dalam pembentukan tromboplastin dan perubahan dari protrombin menjadi thrombin XI Anteseden tromboplastin plasma XII Faktor Hageman XIII Faktor stabilisasi fibrin PT : Waktu protrombin PTT : Paruh waktu tromboplastin Mengawali proses pembekuan darah in vitro Merubah fibrin menjadi polimer fibrin Diperlukan untuk pembentukan tromboplastin Diperlukan untuk pembentukan tromboplastin

PTT PTT

PTT

PTT

PTT PTT

69

D. PENANGGULANGAN PERDARAHAN KARENA TRAUMA Kehilangan darah akut dari sistem peredaran darah disebut juga sebagai hemoragi. Pada orang dewasa dengan berat badan yang ideal, volume darah normal (liter) adalah sebanyak 7% dari berat badan (kilogram). Maka dari itu, seorang laki-laki dengan berat badan 70 kg memiliki volume darah kurang lebih 5L. Pada individu yang menderita obesitas, volume darah tidak meningkat secara spesifik. Pada anak-anak, volume darah secara umum tinggi per satuan berat, 8% hingga 9% dari berat badan. Hemoragi dapat secara eksternal maupun internal ke dalam kavitas tubuh. Hemoragi eksternal biasanya dapat dikontrol dengan melakukan penekanan secara langsung ke luka yang ada. Tekanan yang digunakan untuk mengontrol perdarahan sebaiknya kuat dan kontinu. Ketika dressing yang digunakan menjadi basah, dressing tersebut sebaiknya jangan dilepaskan, tetapi sebaiknya dressing tambahan digunakan karena apabila dressing dilepaskan maka formasi clot yang telah terbentuk dapat terganggu dan menyebabkan perdarahan kembali. Tekanan yang kuat dapat diaplikasikan proksimal ke arah arteri mayor untuk mengontrol perdarahan. Akan tetapi, hal tersebut hanya direkomendasikan apabila penekanan langsung pada luka saja tidak efektif 1. Perban tekan, seperti air-pillow splints dan blood pressure cuff dapat juga digunakan. PASGs dan medical antishock trousers(MASTs), yang sebelumnya digunakan untuk meningkatkan tekanan darah pada kasus hipotensi yang parah, memberikan keadaan yang merugikan pada beberapa situasi karena menyebabkan luka vaskular. Sebagai spesialis bedah mulut dan maksilofasial, kita mengetahui adanya suplai vaskular yang banyak ke daerah muka dan leher. Aspek negatif dari suplai darah tersebut adalah hemoragi mayor dapat disebabkan oleh luka pada kulit kepala yang besar, fraktur nasal atau tengah wajah, dan luka tembus pada leher. Luka pada kulit kepala dapat menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah besar pada waktu yang singkat karena perembesan darah pada galea dan lapisan jaringan ikat yang renggang. Luka kulit kepala dapat dengan cepat diatasi dengan dijahit menggunakan 2.0 nonresobable atau staples tanpa memperhatikan kosmetik pasien. Tekanan langsung kemudian dapat dilakukan pada luka untuk

70

mengontrol hemoragi dan meminimalkan pembentukan hematoma. Ketika pasien sudah stabil, jahitan dapat dilepaskan dari luka dan penutupan lapisan luka secara kosmetik dapat dilakukan 1. Fraktur nasal dan tengah wajah dapat menyebabkan robeknya arteri ethmoidal. Kebanyakan hemoragi dari fraktur fasial dapat dikontrol dengan tekanan langsung atau packing. Perdarahan internal arteri maksilaris yang disebabkan fraktur dinding posterior maksila, yang dapat terjadi pada fraktur Le Fort I dan II, dapat dikontrol dengan tekanan dari gauze packing selama beberapa waktu. Epinephrine dan cairan trombin dapat juga ditambahkan pada gauze packing dan kepala dapat juga dinaikkan untuk mendapatkan hemostasis. Ketika pengontrolan langsung pembuluh darah diperlukan, visualisasi yang adekuat dari pembuluh darah diperlukan. Penjepitan tanpa melihat pembuluh darah dapat menyebabkan perdarahan dari pembuluh darah dan jaringan lunak, sekaligus dapat menyebabkan kemungkinan rusaknya nervus. Pada kasus yang langka, ligasi dari arteri karotis eksternal mungkin diperlukan. Akan tetapi, hal ini biasanya tidak efektif jika digunakan sendiri saja dikarenakan sirkulasi kolateral dari wajah. Embolisasi dari perdarahan dengan cara intervensi secara radiologi oleh radiologis ,jika tersedia, merupakan cara yang terbaik untuk mengatasi perdarahan yang tidak dapat dikontrol dengan menggunakan metode yang telah disebutkan di atas 1. Daerah internal yang potensial untuk tempat terjadinya perdarahan termasuk rongga dada, abdomen, retroperitoneum, dan ekskremitas. Pemeriksaan fisik dan radiografis sangat menolong dalam mengidentifikasi hemoragi ke dalam area tersebut. Hipovolemi yang terus menerus tanpa adanya perdarahan eksternal atau ke dalam rongga dada dapat menunjukkan adanya hemoragi abdominal atau hemoragi pada daerah fraktur. Fraktur pelvis dapat menyebabkan kehilangan darah sekitar 1000 ml sampai 2000 ml, fraktur femur 500 ml hingga 1000 ml, fraktur tibia 250 ml hingga 500 ml, dan tulang-tulang kecil lainnya 125 ml hingga 250 ml. Pengontrolan perdarahan internal tidak dilakukan pada saat survei primer, kecuali jika hemoragi tersebut menyebabkan keadaan yang merugikan pada sistem pulmonal dan kardiovaskular. Perdarahan internal dapat dikontrol dengan

71

menggunakan fiksasi sekunder dari fraktur, oklusi vaskular melalui mekanisme perlindungan, refraksi, pembentukan clot, dan operasi eksplorasi 1. Hemostasis luka dapat diperoleh dengan empat cara. Yang pertama adalah dengan membentuk mekanisme hemostasis natural. Hal ini biasanya diperoleh dengan mengunakan fabric sponge untuk memberikan tekanan pada pembuluh darah atau meletakkan hemostat pada pembuluh darah. Kedua metode tersebut menyebabkan stasis dari darah pada pembuluh darah, yang pada akhirnya menyebabkan koagulasi. Beberapa pembuluh darah kecil kebanyakan hanya

memerlukan tekanan selama 20 hingga 30 detik, dan pembuluh darah besar memerlukan 5 hingga 10 menit penekanan yang kontinu. Ahli bedah dan asisten sebaiknya mencolek bukan mengusap dengan spons untuk menghilangkan darah yang terekstravasasi. Mengusap dapat membuka kembali pembuluh darah yang telah tersumbat dengan beku darah 5. Cara kedua untuk memperoleh hemostasis adalah dengan menggunakan panas untuk menyebabkan ujung dari pembuluh darah yang terpotong sehingga bersatu (koagulasi termal). Panas biasanya diaplikasikan melalui tegangan listrik yang dipusatkan oleh ahli bedah pada pembuluh yang mengeluarkan darah dengan memegang pembuluh darah dengan instrumen metal, seperti hemostat, atau dengan menyentuh pembuluh darah dengan tip elektrokauter. Tiga kondisi harus dipenuhi untuk memenuhi persyaratan penggunaan koagulasi termal. Pertama, pasien harus berhubungan dengan tanah, sehingga arus listrik dapat memasuki tubuh. Kedua, tip cauter dan intrumen metal lainnya yang disentuh oleh tip kauter tidak boleh menyentuh pasien pada titik lainnya selain pada area pembuluh darah yang berdarah. Jika tidak, arus listrik dapat mengalir ke arah yang tidak diinginkan dan menyebabkan luka bakar. Syarat yang ketiga untuk koagulasi termal adalah pembuangan semua darah atau cairan yang terakumulasi di sekitar pembuluh darah yang akan dikauter. Cairan bertindak sebagai penghalang energi dan mencegah sejumlah besar panas mencapai pembuluh darah untuk menyebabkan penutupan 5. Cara ketiga untuk membantu terjadinya hemostasis bedah adalah dengan pengikatan dengan benang. Jika pembuluh darah besar telah terpotong, setiap

72

ujungnya dijepit dengan menggunakan hemostat. Ahli bedah kemudian mengikat pembuluh darah tersebut dengan benang non-resorbable. Jika pembuluh darah dapat dibebaskan dari jaringan ikat sekitarnya sebelum dipotong, dua hemostat dapat di letakkan pada pembuluh darah, dengan jarak yang cukup di anataranya untuk memotong pembuluh darah. Ketika pembuluh darah telah terputus, benang diikatkan pada setiap ujungnya dan hemostat dilepaskan 5. Cara keempat untuk mendapatkan hemostasis adalah dengan meletakkan substansi vasokonstriktif, seperti epinefrin, pada luka atau dengan pengaplikasian prokoagulan, seperti trombin atau kolagen, pada luka 5.

E. PENANGANAN SEBELUM KE RUMAH SAKIT Tujuan penanganan sebelum penderita dibawa ke rumah sakit yaitu menyelamatkan jiwa penderita sebelum mendapatkan penanganan yang lebih lanjut di rumah sakit 6.. Perawatan penderita cedera akut dengan faktur pada daerah wajah, pertama kali harus ditujukan pada penyelamatan jiwa dengan memperhatikan jalan nafas dan pernafasan, dan sirkulasi (Air ways, Breathing, Circulation), serta kontrol perdarahan 6.. Perdarahan pada penderita dengan trauma oromaksilofasial dapat terjadi secara internal maupun eksternal. Pada perdarahan internal hanya dapat diatasi di rumah sakit. Penanganan perdarahan di tempat kecelakaan diutamakan pada perdarahan eksternal. Cara mengatasinya dengan melakukan penekanan pada luka dan jika perdarahan masih berlangsung terus dilakukan pengikatan (ligasi). Perdarahan yang keluar dari hidung dapat diatasi dengan meletakan tampon di lubang hidung depan dan belakang 6.

73

Gambar 1. Penanganan Perdarahan Hidung6

Penanganan awal apabila terjadi perdarahan arteri adalah dengan penekanan. Penekanan diperoleh dari penekanan langsung dengan jari atau dengan kasa. Sering dengan hanya melakukan sudah bisa berhasil mengatasi perdarahan. Jika keluarnya darah sangat deras, misalnya terpotongnya arteri, maka diklem dengan hemostat. Melakukan klem pada daerah perdarahan dimulut sangat sukar dan melakukan pengikatan (ligasi) bahkan lebih sulit lagi. Untungnya hanya dengan melakukan klem saja sudah cukup diinduksi untuk membuat beku darah. Apabila tersedia,dapat digunakan elektrokoagulasi dari pembuluh yang diklem sehingga tidak perlu diikat Alternatif yang lain yang biasa digunakan hanya pada pembedahan adalah menggunakan klip hemostatik pada pembuluh darah. Sesudah mengontrol perdarahan Intra-operatif, maka dapat diputuskan untuk meneruskan atau menghentikan prosedur 4. Pemberian cairan intravena dapat diberikan jika transportasi diperkirakan memerlukan waktu lebih dari 30 menit, atau perdarahan berat melebihi 50 cc permenit. Pergunakan cairan hipertonik 4.

74

Gambar 2. Penjepitan pembuluh darah dengan arteri klem6

Faktor yang mempengaruhi keputusan ini adalah kondisi fisik dan mental pasien (tanda-tanda vital), perkiraan jumlah darah yang dikeluarkan dan waktu yang digunakan untuk mengontrol perdarahan. Seringkali trauma oromaksilofasial terjadi bersamaan dengan trauma pada bagian tubuh lain (trauma multiple), misalnya trauma mengenai cerebro kardiovaskuler, saraf, dada, dan anggota gerakan lainnya. Pada keadaan ini kita mendahulukan penanganan trauma yang paling mengancam jiwa 1. Untuk penderita dengan trauma oromaksilofasial pendekatan awal sedikit berbeda dengan cedera yang lain. Perhatian harus segera diarahkan terhadap saluran pernafasan dan kontrol perdarahan eksternal, sebelum melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, keadaan-keadaan itu harus ditangani lebih dahulu oleh karena mengancam jiwa penderita 1. Perdarahan dari fraktur oromaksilofasial dapat terjadi perdarahan pada rongga mulut, hidung, sinus paranasalis, nasofaring (dari basis cranii) atau perdarahan dari hidung (fraktur nasalis, fraktur maksila). Penanganan perdarahan eksternal pada trauma oromaksilo fasial sudah harus dilakukan saat sebelum tiba di rumah sakit. Jika belum dilakukan, hendaknya dilakukan bersamaan dengan penanganan jalan nafas. Penjepitan pembuluh darah secara acak harus dihindari karena dapat membahayakan pembuluh darah balik dan saraf 1.

75

F. SYOK HIPOVOLEMIK Syok adalah ketidakmampuan sirkulasi darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Perdarahan yang banyak bisa mengakibatkan syok hipovolemik. Perdarahan adalah sebab tersering dari syok pada trauma, dan hampir semua penderita multi-trauma ada syok. Syok hipovolemik adalah suatu kondisi medis yang timbul akibat penurunan sirkulasi volume darah, penyebab syok yang paling sering dan semua jenis syok memiliki komponen hipovolemik 1. Etiologi syok hipovolemik adalah kehilangan darah/perdarahan (trauma, perdarahan GIT, dan hematoma); kehilangan Plasma (luka bakar); kehilangan cairan dan elektrolit (muntah, diare, keringat, pancreatitis, dan asites) 1. Gejala syok hipovolemik antara lain adalah inadekuat perfusi organ, kehilangan darah 10-15%, perubahan tanda vital karena adanya mekanisme kompensasi, takikardia, ketolamin (+) dingin, ekstrimitas lembab dan keterlambatan capillary filling, urine output <0,5 ml/kg BB/jam1. Pemeriksaan laboratorium penunjang yang dilakukan untuk menetapkan diagnosis adalah pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan elektrolit (seperti Na, K, Cl, HCO3, BUN, kreatinin dan kadar glukosa), PT, APTT, analisa gas darah dan pemeriksaan urin rutin (pada pasien dengan trauma). Selain itu golongan darah dan cross matched juga perlu diperiksa1. Untuk cukup atau tidaknya aliran darah dapat diketahui dengan memperhatikan keadaan-keadaan seperti tensi yang menurun, denyut nadi yang melemah, nafas yang cepat, dan perabaan pada daerah akral dari ektremitas. Resusitasi cairan dapat diberikan sesuai dengan keadaan klinis1.
Tabel 3. Klasifikasi perdarahan1

KELAS I Kehilangan Darah (mL) % Kehilangan Darah < 15 % < 750

KELAS II 750-1500

KELAS III 1500-2000

KELAS IV > 2000

15-30%

> 40%

76

Nadi Tekanan Darah Tekanan Nadi Capilary Refill Respirasi Urine (ml/jam) Status Mental Resusitasi Cairan

N N

N N/(postural)

> 120 Menurun

> 140 Menurun

N 3o

Memanjang

Memanjang

Memanjang

N 30 cc/mnt

20-30 20-30 cc/mnt

> 30 5-15 cc/mnt

> 35 Tidak ada urine

Sedikit cemas

Cemas

Sangat cemas dan bingung

Bingung atau letargi Kristaloid & Darah

Kristaloid

Kristaloid

Kristaloid & Darah

Apabila darah belum tersedia pada kelas III dan IV sementara dapat diganti dengan tambahan 0,5 L (PP) dan 2,0 L (RL) untuk kelas III, 1,0 L (PP) dan 3,0 L (RL). Keberhasilan terapi dapat dilihat dari perbaikan gejala klinik tersebut di atas (kesadaran, denyut nadi, napas, muka, tangan/kaki, tensi dan urine). Menghentikan perdarahan mutlak harus dilakukan1. Pemberian pertolongan pertama dan resusitasi cairan yang tepat sangat membantu dalam mengembalikan perfusi jaringan yang adekuat. Pilihan tipe cairan yang digunakan adalah koloid dan kristaloid. Koloid sangat baik untuk ekspansi volume plasma, dan merupakan pilihan yang terbaik untuk peningkatan Cardiac Output dan volume O2. Namun koloid efek udema parunya kurang dan harga cairan ini mahal1. Kristaloid sangat baik untuk dehidrasi (kehilangan cairan ekstraseluler) atau perdarahan ringan. Selain itu juga dapat memberikan efek pada ekspansi cairan intravaskular tetapi menyebabkan ekspansi berlebihan pada cairan interstisiel. Kristaloid efektif, apabila tidak terdapat peningkatan permeabilitas kapiler dan harga cairan ini murah1.

77

Bagan 1. Resusitasi Cairan1

FLUID THERAPY
RESCUCITATION MAINTENANCE

COLLOID

CHRYSTALLOID

ELLECTROLYTES

NUTRITION

REPLACE ACUTE LOSS (HEMORRAGHE, GI LOSS)

1. REPLACE NORMAL LOSS ( IWL, URINE FAECAL ) 2. NUTRITION

Tujuan yang harus dipenuhi dalam pemberian cairan adalah menganti cairan yang hilang selama trauma atau pembedahan. Maksud utamanya adalah mengembalikan volume intravaskular dan mendapatkan perfusi jaringan yang adekuat, serta penggantian cairan yang hilang dilakukan melalui pipa lambung,drainase toraks, drainase peritonium, fistula usus, respirasi dsb. Penatalaksanaan pada perdarahan akut adalah sebagai berikut 1: 1. Pemasangan 2 jalur Infus I.V., dengan pemberian 1-2 liter kristaloid (NaCl 0,9% atau RL) atau Koloid (Dextran) secara I.V. dalam 30 60 menit, udema paru diperhatikan. Pada orang dewasa 23 liter RL selama 2030 menit untuk memulihkan tekanan darah, tekanan vena sentral, dan diuresis. 2. Pemberian WB atau PRC hingga HT> 30 % dengan 1-2 unit fresh frozen plasma (FFP) tiap 5 unit darah.

Sedangkan penatalaksanaan untuk kehilangan cairan gastrointestinal dapat diberikan 1-2 liter NaCl 0,9% dalam 3060 menit, dan memonitor tanda vital, kemudian pengecekan elektrolit dan dikoreksi bila terdapat kelainan lainnya 1.

78

Beberapa kriteria perfusi jaringan yang telah baik antara lain adalah nadi <100 x/menit; kesadaran sudah membaik; produktif urine 1-2cc/kgBB/jam; bagian-bagian akral yang terjadinya lembab sudah jadi kering; akral yang sianosis telah berubah menjadi merah; akral yang dingin telah jadi hangat. Pemberian transfusi darah tetap harus menjadi bahan pertimbangan berdasarkan keadaan umum penderita (kadar Hb dan Ht), jumlah perdarahan yang terjadi, sumber perdarahan telah teratasi atau belum, keadaan hemodinamik (tensi dan nadi), jumlah cairan kristaloid dan koloid yang telah diberikan, hasil serial pemeriksaan kadar Hb dan Ht, dan usia penderita1.

H. PENGELOLAAN NUTRISI PENDERITA TRAUMA OROMAKSILOFASIAL Diantara banyak fungsi rongga mulut adalah sebagai jalan masuk makanan menuju saluran cerna (gastrointerstinal tract). Kemampuan seseorang dalam mengkonsumsi makanan melalui oral dapat berubah dikarenakan neoplasia, infeksi, deformitas congenital, dan injuri (trauma). Prosedur bedah mulut dan maksilofasial dapat mengeliminasi permasalahan ini dengan suatu prosedur operasi,namun prosedur ini juga membatasi kemampuan mulut sementara waktu. Pada keadaan trauma (stress dan sepsis) tubuh mengalami rangkaian perubahan hormonal yang menambah laju metabolisme. Hal ini berakibat menurunnya daya tahan tubuh, terjadinya edema, dan terhambatnya penyembuhan luka gangguan motilitas usus, gangguan enzim dan metabolisme serta kelemahan otot. Oleh karena itu pasien dengan trauma oromaksilofasial memerlukan intervensi nutrisi dalam rawat inap di rumah sakit 7. Respon neuroendokrin, merupakan suatu refleks neurofisiologi yang dirangsang oleh proses trauma, meliputi susunan saraf pusat dan susunan saraf tepi, terutama jaras spinothalamicus dan formatioretikularis dengan pengolahan akhir timbul pada medula oblongata, thalamus dan hipothalamus. Kemudian respon eferen dimulai pada hipotalamus, hipofise dan SSO. Aktivitas SSO merangsang kenaikan simpatis dimana kadar katekolamin plasma meningkat 7.

79

Respon kardiovaskuler, meliputi peningkatan nadi (takikardia), kenaikan curah jantung (cardiac output), mobilisasi darah dari perifer serta vasokonstriksi perifer7. Respon metabolik mencakup kenaikan kadar glukosa dan asam lemak bebas (FFA) plasma serta rangsangan pengeluaran kortisol, katekolamin serta glukagon. Ketiga hormon ini berkombinasi untuk meningkatkan glukoneogenesis serta lipolosis untuk mobilisasi cadangan energi. Ada tiga fase respon metabolik trauma, yaitu7: 1. Phase Ebb Ditandai dengan terjadinya hipovolemi dengan rangsangan adrenal dan simpatis yang berlangsung sekitar 24 jam. Pada phase ini metabolisme tubuh akan menurun serta tubuh kehilangan sensitivitas terhadap sekitar. Kebutuhan kalori pada phase ini sekitar 5000 kkal. Kortisol tubuh akan meningkat dan demikian pula kadar gula darah. Sumber energi berasal dari glikogen dan trigliserida untuk menghasilkan glukosa dan asam lemak. Adanya penghambat simpatis terhadap pengeluaran insulin dari pankreas serta pengeluaran glukokortikoid menambah resistensi insulin di jaringan perifer. Fase ini akan memanjang bila terjadi perdarahan pasca bedah. 2. Phase Flow (Katabolisme) Ditandai oleh oksidasi protein otot untuk menghasilkan glukagon yang sangat penting untuk pembakaran di otak dan jaringan rusak yang sedang sembuh. Hormon pengatur stres antara lain: katekolamin, glukagon dan kortisol dalam plasma menurun. Kadar gula darah biasanya menurun < 200 mg % bila nutrisi tidak adekuat maka jaringan tubuh akan mulai dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan energi. Fase ini berlangsung sekitar 3 x 24 jam. 3. Phase Anabolisme atau Konvalesen Pada phase ini tubuh mulai melakukan pemulihan pada sel-sel yang mengalami kerusakan akibat katabolisme sehingga diperoleh kalori yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pada hari ke 7 10 bisa diberikan.

80

Lemak diperlukan untuk memenuhi kebutuhan asam lemak bebas dan menambah kalori dimana jumlah cairan dibatasi. Berikut adalah pasien pasien dengan kondisi yang memerlukan konsultasi, rujukan dan intervensi nutrisi7: 1. Setiap pasien yang mengalami trauma atau sakit dengan kondisi yang kritis, seperti luka bakar, fraktur dan infeksi HIV. 2. Setiap pasien dengan penyakit kronis sehingga asuhan nutrisi merupakan komponen penting dalam perawatannya. Pasien- pasien tersebut mencakup gagal ginjal baik akut maupun kronis, diabetes mellitus, dispilidemia, malnutrisi, penyakit arteri koronaria, penyakit hati, penyakit hipertensi yang baru didiagnosis, penyakit kanker dengan penurunan berat badan , malnutrisi, ataupun gangguan asupan nutrisi, penyakit paru obstruktif yang menahun ( PPOM ) dengan penurunan berat badan. 3. Setiap pasien yang memerlukan dukungan energi khusus, apakah parentel ataupun enteral 4. 5. Setiap pasien dengan anemia nutrisi Setiap pasien dengan deplesi simpanan protein yang bermakna ( misalnya albumin < 3,0) yang disertai defisiensi nutrisi 6. Setiap pasien dengan penurunan bert badan yang bermakna sebelum masuk rumah sakit 7. Setiap pasien yang dilaporkan pengunaan megadosis suplemen nutrient atau yang sama sekali menghindari konsumsi kelompok makanan tertentu dari dalam dietnya selama waktu yang lama ( > 1 bulan)

I.

KEBUTUHAN

NUTRISI

PADA

PASIEN

TRAUMA

OROMAKSILOFASIAL

Penentuan status gizi penderita penting untuk menentukan jumlah, lama, dan komposisi yang harus diberikan. Setidaknya penderita harus ditentukan

81

apakah termasuk malnutrisi ringan, sedang atau berat. Tahapan dalam menilai status gizi adalah sebagai berikut 7: 1. Anamnesa Penyakit kronis juga alkoholisme dapat berhubungan dengan malnutrisi energi dan protein juga disertai dengan devisiensi vitamin dan mineral. Operasi yang baru dilakukan seperti gastrectomy atau reseksi ileum dapat mempredisposisi malabsorpsi dan terjadi defisiensi vitamin ataupun mineral. Penyakit yang diderita misalnya pada hati dan ginjal seringkali berhubungan dengan defisiensi protein, vitamin dan trace elemen. 2. 3. Pemeriksaan klinis dan laboratorium Pemeriksaan fisik, meliputi: a. Kulit : Kualitas, tekstur, rash, folikel, hiperkeratosis, deformitas

dan kuku b. c. d. e. f. g. h. Rambut Mata Mulut : Kualitas, tekstur, kerontokan : Keratokonjunctivitis, rabun senja : Cheilosis, glossitis, atrofi mukosa, kelainan pada gigi

Abdomen : Hepatomegali Rectum : Warna feses

Neurologis : Neuropathy perifer Ekstrimitas : Ukuran otot, kekuatan otot, edema

82

Tabel 4. Klasifikasi Malnutrisi

Clinical and Laboratory Parameters Albumin (g/dL)


2

Extent of Malnutrition Mild 2.8 - 3.2 200 - 250 1200 - 2000 60 - 80 80 - 90 85 - 95 < 5%/month <7,5%/3 months < months Moderate 2.1-2.7 100-200 800-1200 30-60 70-80 75-85 < 2%/week < 5%/month < 10%/6 months < 10%/6 months 1 - 2/4 (weak) 0/0 (anergic) 7,5%/3 Severe <2.1 <100 <100 <40 <70 <75 > 2%/week

Transferrin (mg/dL)2 Total lympochyte count (cells/L)2 Creatinine/height Index (%)3 Ideal body weight (%) Usual body weight (%) Weight loss/unite time

Skin tests (No. reactive + No. placed) Normal antrophometric measurements Tricep skin fold (mm)4 Midarm circumference (cm)

4/4 (normal)

Male 12.5 29.3

Female 16.5 28.5

J. MENGHITUNG KEBUTUHAN NUTRISI Kebutuhan energi total dari seorang pasien dalam keseimbangan metabolik adalah sama dengan pemakaian energi total ( Total Energy Expenditure) yang meliputi kebutuhan basal, peningkatan kebutuhan energi yang disebabkan penyakit, energi yang terpakai selama proses asimilasi nutrien dan energi yang terpakai pada kerja fisik7.

83

Kebutuhan kalori basal didapat dengan penghitungan BMR berdasarkan persamaan Harris-Benedict. Menurut persamaan Harris Benedict laju metabolisme basal bisa dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut7:
HARRISBENEDICT METHOD FOR DETERMINING ENERGY REQIUREMENTS Pria BEE = 66.47 + [13.57 x weight (kg)] + [5.0 x height (cm) [6.67 x age (yrs) = _______kcals/day Wanita BEE = 665.1 + [9.56 x weight (kg)] + [1.85 x height (cm) [4.68 x age (yrs) = _______kcals/day

BEE juga dapat ditetapkan dengan menggunakan 12Lcal/lb untuk pria dan 11 kcal/lb untuk wanita, atau 5.4 kcal/kg untuk pria and 5.0 kcal/kg untuk wanita7. Untuk menghitung kebutuhan energi total, kebutuhan energi dasar ( Basal Energy Expenditure/BEE) harus dikaitkan dengan Activity Factor (AF) dan Injury Factor (IF)/stress factor (L. Morse, Maricopa Medical Center, Phoenix, AZ, 1993) 7.

ACTIVITY AND INJURY FACTOR Activity Factors (AF) 1.2 1.3 Injury Factors (IF) 1.0 1.2 1.1 1.2 1.1 1.2 1.13 1.15 1.13 1.2 1.4 1.3 1.5 Confined to bed Ambulatory Non-stressed on ventilator Congestive heart failure Minor surgery Fever, per 1o C Skeletal trauma Mild to moderate infection Major abdominal/thoracic surgery

84

1.35 1.55 1.4 1.6 1.4 1.6 1.5 1.5 1.8

Multiple trauma Closed head injury Stressed ventilator dependent Liver failure, cancer Sepsis

Jadi Total kalori yang dibutuhkan pasien = BEE x AF x IF

Contoh perhitungan : Seorang wanita, usia 30 tahun, berat badan 40 kg, tinggi badan 150 cm. penderita dirawat karena perdarahan epidural. BEE = 655,1 + (9,56 x 40) + (1,85 x 150) (4,68 x 30) = 1174,6 kcal/hari Activity Factor = 1,2 Injury Factor trauma kepala = 1,5 Total energi yang dibutuhkan = 1174,6 x 1,2 x 1,5 = 2114,28 kcal/hari

Terdapat pula cara estimasi kebutuhan kalori yang sederhana dengan menggunakan rumus 345 dari I.D Syttrar yaitu7: 1. 30 kkal/kg BB/hari : kebutuhan basal, mempertahankan berat badan, tidak disertai demam, pasca bedah ringan/sedang. 2. 3. 40 kkal/kg BB/hari : malnutrisi sedang, infeksi berat, sepsis. 50 kkal/kg BB/hari : luka bakar > 40%, malnutrisi berat, pasca bedah dengan penyulit.

Secara keseluruhan, respon fisiologis terhadap trauma merupakan peningkatan proses biokimia dan metabolik normal, sehingga biasanya terjadi peningkatan kebutuhan nutrisi yang cukup besar. Bila tidak mendapat dukungan nutrisi yang adekuat, pasien akan banyak kehilangan berat badan dan terjadi komplikasi yang seringkali fatal. Tujuan utama terapi dukungan nutrisi adalah menjaga agar penurunan berat badan seminimal mungkin dengan harapan dapat mencegah komplikasi dan mengurangi morbiditas maupun mortalitas7.

85

Kebutuhan energi/kalori total sehari dapat dihitung dari penjumlahan kebutuhan kalori basal (BMR), faktor stress, aktivitas fisik dan spesific dynamic action (SDA). Rumusan yang dugunakan adalah sebagai berikut 7:

KK = KKB + FS + AF + SDA KK KKB FS AF SDA = Kebutuhan kalori total = Kebutuhan kalori basal = Faktor stress = Aktivitas fisik = Spesific dynamic action

Faktor stress dinilai berdasarkan penilaian status gizi dan status metabolik. Untuk memudahkan, faktor stress dikategorikan dalam 3 kelompok, yaitu derajat stress ringan (10-30%); derajat stress sedang (31-50%); dan derajat stress berat (51%). Trauma digolongkan ke dalam stress sedang, sehingga besarnya faktor stress untuk trauma adalah 31-50%. Faktor stress trauma multipel adalah 50%. Apabila pasien harus di tempat tidur, aktivitas fisik hanya 10%; sedangkan bila tidak di tempat tidur, aktivitas fisik adalah 20%. SDA dari makanan tergantung jenis makanan yang diberikan. SDA nutrisi parenteral adalah 0% sedangkan SDA untuk formula enteral dan makanan peroral kira-kira 10-20%7. Pada trauma terjadi katabolisme protein yang relatif konstan yaitu 10-20% dari keluaran energi. Masukan protein untuk orang sehat (0,8-1 g/kgBB/hr) tidak mencukupi kebutuhan pasien yang mengalami trauma oleh karena adanya peningkatan protein turnover. Kebutuhan protein bagi pasien dengan trauma bila tidak terdapat gangguan ginjal dan hati adalah 1,5-2 g/kgBB/hr, dengan rasio kalori non-nitrogen : nitrogen = 100:17. Lemak berfungsi sebagai sumber energi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian emulsi lemak sebesar 30-40% dari kalori total merupakan jumlah yang optimal. Untuk mencegah terjadinya defisiensi asam lemak esensial, perlu diberikan asam lemak esensial sebanyak 4-8% dari kalori total sehari7.

86

Karbohidrat juga berfungsi sebagai sumber energi. Banyaknya karbohidrat yang diberikan adalah kebutuhan kalori total dikurangi yang berasal dari lemak. Pada pasien dengan trauma, karbohidrat merupakan 40% dari kalori total sehari7. Kebutuhan cairan adalah 1500 ml per m2 luas permukaan tubuh per hari, kemudian ditambahkan bila terdapat peningkatan insensible loss melalui keringat, diare, atau selang makanan. Garam fisiologis dan elektrolit intrasel harus diberikan dalam jumlah yang adekuat. Kadar kalium, fosfor dan magnesium dalam plasma dan seluruh tubuh perlu dipertahankan agar tetap normal supaya didapat respon yang diharapkan dengan pemberian dukungan nutrisi7. Oleh karena terjadi peningkatan metabolisme, maka kebutuhan vitamin B meningkat. Kebutuhan tiamin dan niasin berkaitan dengan masukan kalori. Pada trauma, terjadi peningkatan ekskresi seng (zinc) yang dianggap berasal dari katabolisme di jaringan otot. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya defisiensi seng, sehingga pasien trauma perlu mendapatkan suplementasi trace elemen ini7. Untuk dapat melakukan peran dan fungsinya dalam tubuh, zat-zat gizi mengalami proses metabolisme secara bertahap yaitu 7: 1. 2. 3. 4. 5. Pencernaan (digestion) Penyerapan (absorption) Perubahan (degradation) Penggunaan oleh organ / sel (utilisation) Pengeluaran zat sisa (excretion)

Masing-masing tahap metabolisme dilakukan oleh organ-organ yang berbeda, seperti tahap pencernaan dan penyerapan dilakukan oleh organ saluran cerna. Perubahan terutama dilakukan oleh hati; penggunaan oleh semua organ; pengeluaran zat sisa terutama oleh ginjal dan saluran cerna bagian bawah. Fungsi utama saluran cerna adalah pencernaan dan penyerapan dengan mensekresi enzim-enzim spesifik untuk masing-masing zat gizi. Saluran cerna bagian atas terutama mengabsorpsi zat-zat gizi utama; sedangkan saluran cerna bagian bawah terutama mengabsorpsi air, mineral dan beberapa vitamin. Hati merupakan organ yang penting pada proses degradasi zat-zat gizi karena merupakan organ utama

87

yang akan memetabolisme zat-zat gizi dan mensekresi enzim yang berperan dalam metabolisme karbohidrat, protein dan lemak serta bertanggung jawab terhadap 20% metabolisme basal. Hati mensintesis beberapa protein plasma yang penting dan garam empedu serta berperan dalam detoksikasi. Gangguan penyekit hati dapat dikelompokkan menjadi penyakit hati akut seperti pada hepatitis virus dan penyakit hati kronis seperti pada sirosis hati. Ginjal merupakan organ ekskresi yang paling besar dan juga sebagai organ pengatur keseimbangan cairan tubuh. Gangguan pada ginjal akan menyebabkan gangguan pada ekskresi sisa-sisa hasil metabolisme terutama metabolisme protein serta gangguan cairan dan elektrolit 7.

K.

PEMBERIAN

NUTRISI

PADA

PASIEN

TRAUMA

OROMAKSILOFASIAL Terapi nurisi enteral adalah terapi pemberian nutrisi melalui saluran cerna dengan menggunakan selang/kateter khusus, cara pemberian dapat melalui hidung-lambung (nasogastritic route) atau hidungusus (nasoduodenal atau naso jejunal route). Pemberian nutrisi juga bisa dilakukan dengan cara bolus atau cara infus lewat pompa infus enteral.

Keuntungan nutrisi enteral dibandingkan parenteral antara lain adalah sebagai berikut9: 1. Bersifat fisiologis Nutrisi enteral bersifat fisiologis, sebab makanan masuk ke dalam tubuh melalui saluran cerna yang normal, sehingga fungsi dan struktur alat cerna tetap dipertahankan. Sebaliknya, nutrisi parenteral total dapat menyebabkan atrofi mukosa usus halus dan pankreas terutama pada pemberian yang lama karena makanan masuk ke dalam hati melampaui alat cerna (by pass dari luar ke dalam hati). 2. Lebih efektif Nutrisi enteral lebih efektif. Ini terbukti dengan kenaikan berat badan yang cepat dan keseimbangan N yang cepat menjadi positif. Selain itu,

88

peningkatan imunitas tubuh akan cepat ditemukan pada pemberian nutrisi enteral. 3. Komplikasi kurang Komplikasi nutrisi enteral jauh lebih rendah bila dibandingkan nutrisi parenteral. Nutrisi parenteral selain membutuhkan pemantauan yang ketat, komplikasi-komplkasi berupa sepsis, trombosis, hematom, pneumothoraks serta gangguan metabolik berupa hipoglikemi atau hiperglikemi tak jarang ditemukan. 4. Kalori tinggi mudah dicapai Dengan nutrisi enteral kebutuhan kalori tinggi lebih dari 3000 kkal/hari dapat dengan mudah dipenuhi yang dengan parenteral amat sulit mencapainya tanpa komplikasi dan pengawasan yang ketat. Kalori tinggi ini diperlukan pada penderita dengan hipermetabolik seperti sepsis, trauma ganda, atau luka bakar. Selain itu, pemberian kalori tinggi dengan nutrisi parenteral sering menimbulkan perlemakan hati yang tidak dijumpai pada nutrisi enteral. 5. Tekniknya mudah Pemasangan sonde lambung dapat dengan mudah dilakukan oleh setiap dokter maupun perawat tanpa persyaratan sterilitas yang ketat. Sedangkan pemberian parenteral harus diberikan melalui vena besar yang letaknya profundal dengan sterilitas tinggi. Itupun hanya dapat dilakukan oleh dokter yang terlatih. 6. Biaya murah Rata-rata nutrisi enteral lebih murah 10-20 kali dari nutrisi parenteral.

Untuk menghindari intoleransi laktosa yang sering terjadi pada penderita malnutrisi sebaiknya suatu nutrisi enteral kurang atau tanpa mengandung laktosa, atau paling tinggi kandungan laktosanya hanya 0,5% dari total karbohidrat. Nutrisi enteral yang bebas dari bahan-bahan yang mengandung purin dan kolesterol. Syarat-syarat nutrisi enteral adalah9:

89

1.

Memiliki kepadatan kalori tnggi Karena nutrisi enteral harus diberikan melalui sonde kecil, maka ia harus berbentuk cair agar mudah melalui sonde. Agar dalam bentuk cair ini nutrisi enteral tetap memiliki kalori yang cukup, maka ia harus memiliki kepadatan kalori tinggi. Sehingga, dengan volume yang tidak terlalu besar, jumlah kalori sudah dapat tercapai. Kepadatan kalori yang ideal adalah 1 kkal/ml cairan.

2.

Kandungan nutrisinya seimbang Artinya, dalam jumlah minimal untuk kebutuhan sehari (2000 kkal) harus sudah mengandung semua komponen nutrisi esensial seperti protein, asam amino, lemak, vitamin, elektrolit dan elemen-elemen lain sesuai dengan jumlah kebutuhan.

3.

Memiliki osmolaritas yang sama dengan osmolaritas cairan tubuh Suatu nutrisi enteral yang memiliki osmolaritas yang tinggi mudah menimbulkan diare sebab cairan tubuh akan ditarik masuk ke dalam lumen usus. Oleh karena itu, osmolaritas yang ideal adalah 350-400 m Osmol, sesuai dengan osmolaritas cairan ekstraseluler.

4.

Mudah diabsorpsi Bahan-bahan baku suatu nutrisi enteral seharusnya terdiri atas komponenkomponen yang siap diabsorpsi atau paling tidak hanya sedikit memerlukan kegiatan pencernaan untuk dapat diabsorpsi. Dengan kata lain, molekulmolekulnya berukuran kecil.

5.

Tanpa atau kurang mengandung serat dan laktosa Suatu nutrisi enteral hendaknya memiliki sedikit atau tanpa mengandung serat agar efektif dan efisien. Nutrisi enteral yang banyak mengandung serat akan bersifat bulk yang pada gilirannya akan meningkatkan frekuensi defekasi.

90

Prosedur teknik pemberian nutrisi enteral / diet sonde akan diuraikan sebagai berikut9: 1. Pemilihan sonde Sebelum tahun 1980-an sonde yang tersedia umumnya terbuat dari polietilen, PVC atau lateks. Kekurangan dari sonde-sonde ini selain diameternya besar, sonde mudah menjadi kaku setelah zat pelemasnya habis (setelah 24 jam pemakaian), juga tidak tahan terhadap pengaruh cairan lambung maupun duodenum. Sonde yang menjadi kaku akan sangat mengganggu penderita karena selain terasa tidak enak juga dapat menimbulkan erosi atau perlukaan saluran napas atau saluran cerna. Saat ini sonde-sonde yang dipakai untuk nutrisi enteral terbuat dari silikon atau poliuretan yang selain diameternya kecil (2,5 mm), kelemasan dan kelenturannya bertahan lama serta tahan terhadap pengaruh cairan lambung dan cairan duodenum. 2. Teknik pemberian nutrisi enteral Teknik pemberian secara tetes merupakan yang paling aman. Pola lama yang memberikan secara bolus mengandung banyak komplikasi berupa muntah, regurgitasi sampai aspirasi ke dalam paru, terutama pada penderita yang kesadarannya menurun atau pada penderita yang berbaring. Guna mengurangi komplikasi-komplikasi di atas, sebaiknya penderita diposisikan setengah duduk selama pemberian nutrisi enteral. Untuk menjaga ketepatan dan ketetapan tetes cairan nutrisi enteral dapat digunakan portable pump. Guna menjaga toleransi penerimaan usus, kadar cairan nutrisi enteral sebaiknya dinaikkan secara bertahap. Dimulai dengan pengenceran pada hari pertama, kemudian pengenceran 2/3 pada hari kedua dan takaran penuh pada hari ketiga dan seterusnya, sambil mengawasi dan mengevaluasi keluhan maupun gejala-gejala yang timbul.

91

Kebutuhan metabolisme basal dapat dihitung dengan indeks BROCA, sebagai berikut9:

BMR = Indeks Stress (Tinggi Badan 100) x 20 Dimana indeks stress: Paska bedah Fraktur multipel Sepsis, tiap kenaikan 1 + 10% BMR + 25-30% BMR +10% BMR

Jadi, seorang dengan tinggi badan 165 cm tanpa stress memiliki BMR (165-100)x20 = 1300 kkal. Dengan menambah 10-20% dari kebutuhan BMR dapat diperoleh kebutuhan kalori pada saat aktivitas yang sangat terbatas. Sedangkan pada suatu keadaan katabolik yang tinggi diperlukan penambahan 30100% dari kebutuhan BMR9. Kemajuan atau kemunduran keadaan umum penderita dievaluasi setiap harinya termasuk keseimbangan cairan dan elektrolitnya bila ada fasilitas. Pengukuran berat badan atau lingkar lengan atas (LLA) setiap minggu merupakan parameter yang objektif. Selain itu, pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan, antara lain pemeriksaan darah (Hb, Ht, leukosit), serum (glukosa, ureum, protein total, albumin total), volume dan urin rutin. Indikasi pemberian nutrisi enteral adalah9: 1. Indikasi bedah, yakni pasca bedah: mulut, esofagus, lambung, saluran empedu, dan kolon. 2. Indikasi non bedah: anoreksia, depresi berat, trauma kepala/otak, luka bakar yang luas, sepsis, penderita kanker, malabsorpsi/maldigesti, fistula,

penderita dengan kebutuhan kalori ekstrim. Kontrandikasi pemberian nutrisi enteral apabila pasien muntah-muntah, ileus, perdarahan gastrointestinal yang akut, peritonitis, dan atoni paska bedah. Komplikasi nutrisi enteral, antara lain akan diuraikan sebagai berikut 9:

92

1.

Komplikasi mekanik Komplikasi mekanik berhubungan dengan sondenya sendiri yang dapat mengalami dislokasi atau penyumbatan.

2.

Komplikasi kimiawi Hal ini berhubungan dengan osmolaritas serta komposisi kimiawi cairan nutrisi enteral yang terlalu tinggi. Rasa mual sampai muntah dan kram perut atau diare merupakan gejala yang menonjol.

3.

Komplikasi bakteriologik Kontaminasi dengan bakteri gram negatif pada waktu penyediaan nutrisi enteral atau kantong plastiknya dapat menimbulkan syok septik.

4.

Komplikasi metabolik Dehidrasi hipertonik dapat terjadi bila komposisi nutrisi enteralnya memilki osmolaritas yang tinggi. Pemberian kadar secara bertahap dapat mengurangi komplikasi ini.

Nutrisi parenteral adalah pemberian nutrien melalui pembuluh darah vena. Cara pemberian dapat melalui vena perifer (nutrisi parenteral perifer) atau vena sentral (nutrisi parenteral total). Terapi nutrisi parenteral diberikan kepada setiap penderita yang akibat penyakitnya membutuhkan banyak asupan nutrisi tetapi penderita tersebut tidak mau makan, tidak cukup makan, tidak bisa makan dan tidak boleh makan. Secara umum dapat dikelompokkan berdasarkan keadaan kondisi saluran pencernaan (gastriontestinal tract), yaitu 9: 1. 2. 3. 4. Bila saluran cerna mengalami obstruksi Bila saluran cerna terlalu pendek Bila terdapat fistula pada saluran cerna. Bila saluran pencernaan tidak berfungsi.

Prinsip keseimbangan

pemberian tekanan

nutrisi

parenteral sehingga

adalah

mempertahankan interalumen tetap,

osmotik

volume

mempertahankan tekanan hidrostatik, dan mengatasi kehilangan plasma 9.

93

Tujuan Pemberian Nutrisi Parenteral adalah supaya mempertahankan volume dan perfusi sirkulasi darah, menjaga keseimbangan cairan-elektrolit dan asam basa, memelihara hemostatik metabolik umum, menyediakan intake bagi kebutuhan metabolisme secara parenteral9. Kondisi-kondisi yang membutuhkan nutrisi parenteral anatara lain, ileus obstruksi, peritonitis, fistula enterokutan, sindrom malabsorpsi berat, vomitus, diare berat, malnutrisi protein atau protein-kalori, dan keganasan9. Indikasi nutrisi parenteral adalah fungsi saluran cerna terganggu (tidak mampu mencerna atau menyerap makanan), NPO > 3-5 hari, dan suplemen terhadap nutrisi enteral. Sedangkan kontra indikasi nutrisi parenteral adalah9: 1. 2. Pasien pasca bedah, trauma dalam phase Ebb (24 jam pertama) Pasien yang masih mengalami hemodinamik krisis, seperti syok, defisit cairan ekstra seluler yang belum terkoreksi dan demam tinggi (hipertermi). 3. Pada pasien dengan penyakit terminal (keganasan) atau keadaan vegetatif (brain death). 4. Pasien yang mengalami gagal nafas (kecuali dibantu dengan bantuan nafas mekanik dengan ventilator). 5. Komplikasi teknis berkaitan udara. dengan pemasangan kateter seperti

pneumothoraks, emboli 6.

Komplikasi infeksi ditandai oleh demam seperti pada flebitis, infeksi pada tempat.

Adapun akses yang digunakan untuk nutrisi parenteral, yaitu 9: 1. Nutrisi Parenteral Perifer Larutan standar yang diberikan untuk nutrisi parenteral total melaui vena sentral memilki tekanan osmotik hampir 2000 mOsm/L. Sifat-sifat fisik dari larutan demikian mendorong terjadinya trombosis vena perifer, dan baru setelah dilakukan kateterisasi pada vena cava superior pemberian menjadi praktis dan aman untuk larutan hiperosmolar demikian bisa digunakan pada pasien bedah. Larutan nutrisi yang hanya sedikit hipertonik (antara 600 dan 900 m)sm/L) bisa disiapkan dengan mencampur proporsi sesuai dari asam

94

amino, dekstrosa dan emulsi lemak. Campuran nutrien ini memiliki desnitas kalori rendah dan memasok hanya 2500 kcal dalam 3 L larutan. Bila volume cairan besar, larutan-larutan demikian bisa diberikan melalui vena perifer untuk jangka pendek(kira-kira satu minggu). 2. Nutrisi Parenteral Sentral Perkembangan kateterisasi vena sentral telah memungkinkan pemberian larutan hipertonik dengan aman. Campuran glukosa, lemak dan asam amino diberikan melalui kateter vena sentral yang ujungnya berada dalam vena cava superior. Larutan yang digunakan untuk nutrisi via vena sentral (TPN) biasanya memiliki densitas 1 kcal/ml, dan kebutuhan akan air serta elektrolit diresepkan secara individual. Kunci keberhasilan dari cara ini terletak pada insersi serta perawatan kanul vena sentral.

95

Pendekatan yang digunakan pada pemberian nutrisi parenteral adalah 4 Tepat 1 Waspada9:

Tepat pasien Setiap pasien yang tidak cukup atau tidak mendapat intake oral seharusnya segera mendapat nutrisi parenteral (NPE). Dosis NPE total harus diberikan lebih lambat (mulai hari ketiga) karena beban metabolismenya besar. Hal ini berlaku pada pasien trauma, sepsis, paska bedah ekstensif, preeklampsia, eklampsi, dsb.

Tepat indikasi Dosis NPE parsial dapat diberikan sangat dini, yaitu 24 jam setelah trauma atau krisis kegawatan dapat diatasi. Periode 24 jam ini adalah masa ebb-phase, masa stabilisasi dimana kadar stres hormon masih tinggi. Sel-sel resisten insulin dan kadar gula meningkat. Makin berat kondisi pasien, makin lambat NPE total dapat dimulai. Sebelum keadaan tenang tercapai, NPE total hanya akan menambah stres bagi tubuh pasien. Fase tenang ini ditandai dengan menurunnya kadar kortisol, katekolamin dan glukagon.

Tepat obat/substrat Bahan nutrisi yang digunakan adalah karbohidrat, asam amino, emulsi lemak, mineral dan vitamin.

Tepat dosis Quebbeman (1982) menemukan pada pasien trauma berat dan sepsis yang mengalami katabolisme, resting energy expenditure berkisar 1000 kkal/m2/hari. Ini setara dengan 1700 kkal pada pasien 70 kg dengan luas tubuh 1,73 m2 atau kira-kira 25 kkal/hari. Agar imbang N tidak terlalu negatif, minimal diberikan 20 kkal/kg/hari. Dosis yang tepat harus diukur. Dosis kemudian dapat ditingkatkan bertahap dengan memperhatikan perubahan kadar gula darah, keadaan umum pasien, pemeriksaan kadar kalium dan natrium.

96

Untuk menghindari hiperglikemi, peningkatan glukosa 5% menuju 20% harus dilakukan secara bertahap start low, go slow. Beban glukosa merangsang pankreas mengeluarkan insulin. Jika larutan glukosa diselingi cairan lain maka besar kemungkinan kadar gula darah berfluktuasi karean overshoot insulin dari waktu ke waktu. Agar fluktuasi kadar gula darah bervariasi seminimal mungkin, larutan karbohidrat dibagi rata dalam 24 jam.

Waspada efek samping Berbeda dengan orang sehat yang dapat mengatur keseimbangan makan dan kebutuhannya sendiri, pasien dengan bantuan nutrisi khusus terpaksa menerima semua yang diberikan. Jika pilihan atau dosis tidak tepat, atau cara memberikan keliru, penyulit yang timbul akan menyebabkan morbiditas bahkan kematian. Penyulit yang sering dijumpai adalah hiperglikemi. Hiperglikemi umumnya terjadi jika pola start low, go slow tidak diikuti. Kelainan ini dapat disertai hyperosmolar state dan diuresis osmotik. Pada kasus yang ekstrim dapat terjadi koma. Tromboflebitis karena iritasi mudah diikuti radang. Osmolaritas plasma 300 mOsm. Makin tinggi osmolaritas, makin mudah terjadi tromboflebitis, bahkan tromboemboli. Vena perifer dapat menerima sampai 900 mOsm. Untuk cairan > 900-1000 mOsm jika perlu lebih dari 5 hari, seharusnya digunakan vena sentral (vena cava, subclavia, jugularis) dimana darah mengalir secara cepat sehingga kecepatan tetesan cairan NPE yang pekat tidak sempat merusak vena. Cairan 900-1000 mOsm untuk jangka pendek 3-5 hari masih dapat diberikan lewat vena tangan tapi jangan memberikan lewat vena kaki. Vena kaki mudah mengalami deep vein thrombosis dan tromboemboli. Osmolaritas dapat dikurangi dengan mencampur cairan menggunakan infus set bercabang 7,8,9.

Adapun komposisi yang ideal dari nutrisi parenteral adalah kombinasi antara karbohidrat (KH), protein, lemak, dan cairan dan elektrolit (vitamin, mineral). Semuanya akan diuraikan sebagai berikut 9: 1. Karbohidrat

97

Karbohidrat sebagai sumber kalori utama yang layaknya selalu tersedia 4060% dari total kalori (1 gr KH = 4kkal). Rekomendasi dari American Society for Parenteral & Enteral Nutrition (ASPEN, 1993) untuk pemberian karbihidrat dalam keadaan normal adalah 25 30 kcal/kg/hari. Karbohidrat tersimpan dalam tubuh dalam bentuk glikogen dihati dan otot. Sumber kalori karbihidrat dapat berupa dextrosa, fruktosa, maltosa, sorbitol dan xylitol. Glukosa/ dextrosa adalah sumber kalori yang paling fisiologis. Dosis maksimal bagi kebanyakan penderita adalah 6-7,5gr/kgbb/hari. Pemberian kalori dengan glukosa yang melebihi kebutuhan ternyata tidak bermanfaat, bahkan justru merugikan sebab akan menyebabkan kadar co2 dalam tubuh meningkat.

2.

Protein Protein diperlukan untuk regenerasi sel dan enzim, karena itu pemberiannya harus dilindungi oleh pemberian kalori yang cukup agar protein tidak digunakan sebagai sumber energi. Kebutuhan protein (asam amino) dapat dihitung secara tidak langsung dengan menghitung jumlah nitrogen yang dokonsumsi oleh tubuh. Menghitung nitrogen secara laboratorium relatif mahal biayanya. Secara kasar dapat diperkirakan dengan menghitung jumlah ureum dalam urine 24 jam, dengan rumus sebagai berikut a. Menghitung energi konsumsi Konsumsi nitrogen (mg/24 jam) = ureum urine (mmol) / 24jam x 28 + 4000 mg. Kebutuhan protein=konsumsi nitrogen x 6,25 b. Cara yang lebih mudah untuk menghitung kebutuhan asam amino adalah dengan memperkirakan besar kecilnya stress metabolik yang terjadi.

98

Perbandingan kebutuhan protein (AA) dan kalori perhari9: Protein (AA) Tanpa stress metabolik Dengan stress metabolik Contoh perhitungan kebutuhan protein. Misal berat badan pasien 60 kg dengan sepsis Dengan menggunakan tabel dengan stress metabolik Kebutuhan kalori Kebutuhan AA = 60 x 40 kcal = 2400 kcal/hari = 60 x 2 = 120 gr/hari 2 gr/kgbb/hari 40 kcal/kgbb/hari 1 gr/kgbb/hari Kalori 30 kcal/kgbb/hari

3.

Lemak Cairan emulsi lemak diberikan dalam nutrisi parental bertujuan untuk mencegah defisiensi asam lemak esensial dan sebagai sumber kalori. Untuk memenuhi kebutuhan kalori, cairan emulsi lemak diberikan 1-3 gr/kgbb atau dalam proporsi 25 40% dari kalori total perhari. Pemberian lebih dari 60% dari kalori total dapat menyebabkan ketoasidosis. Karena osmolaritasnya yang rendah, pemberian cairan emulsi lemak dapat diberikan pada nutrisi parental perifer.

4.

Cairan, Elektrolit, Trace Elements, dan Vitamin Dalam merencanakan komposisi carain untuk terapi nutrisi pareneral, harus selalu diperhatikan dan diperhitungkan akan kebutuhan terhadap elektrolit, trace element, dan vitamin baik yang larut dalam air maupun lemak. Kebutuhan ini terutama harus diberikan bila terapi nutrisi parenteral berlangsung lama. Besarnya kebutuhan disesuaikan dengan keadaan klinis penderita. Kebutuhan air dewasa : 30-50 ml/kgbb/hari Kebutuhan Natrium Kebutuhan Kalium : 2-4 mg/kgbb/hari atau 100-200 meg/hari : 1-2 mg/kgbb/hari atau 50-100 meg/hari

99

BAB III PEMBAHASAN

Hemoragi adalah penyebab utama keadaan hipovolemik pada pasien yang mengalami luka multisistem. Kebanyakan pasien tersebut memiliki beberapa tingkatan dari syok hipovolemik. Tingkatan tersebut dapat diukur melalui respon fisiologi terhadap hemoragi. Respon fisiologi ini dapat dikategorikan berdasarkan persentasi dari kehilangan akut darah. Respon tekanan darah awal terhadap kehilangan volume intravaskular tidak memiliki hubungan yang linear 1. Pada dewasa sehat kehilangan 15% volume darah pertama diklasifikasikan sebagai hemoragi kelas I. Gejala klinis minimal pada kelas I ini. Dalam kondisi yang tidak kompleks, peningkatan denyut nadi minimal dengan peningkatan kontraktilitas dari jantung dan peningkatan vasokonstriksi vena dan arteri dapat menjaga tekanan darah. Hemoragi kelas II diklasifikasikan sebagai kehilangan volume darah sebanyak 15-30%. Gejala klinis meliputi takikardia (denyut nadi >100 pada orang dewasa), takipneu, dan penurunan tekanan darah. Tekanan sistolik biasanya tidak berubah, tetapi tekanan diastol meningkat karena peningkatan dari katekolamin. Hemoragi kelas III diklasifikasikan sebagai kehilangan 30-40% volume darah. Biasanya hal ini diikuti dnegan takikardia, takipneu, perubahan status mental penderita, dan turunnya tekanan sistolik. Pada kasus yang tidak kompleks, kehilangan darah sebanyak ini secara konsisten menyebabkan tekanan darah sistolik menurun. Pada pasien yang lebih tua, dengan mekanisme kompensasi yang kurang efisien, penurunan tekanan darah dapat terjadi setelah kehilangan darah sebanyak 10-15%. Hemoragi kelas IV didefinisikan sebagai kehilangan darah sebanyak >40%, dan hal ini merupakan keadaan yang mengancam nyawa. Pasien dapat terkena serangan jantung bila kehilangan darah sebanyak ini. Gejala klinis meliputi takikardia, penurunan tekanan darah sistolik yang secara substansial, tekanan darah yang sangat sempit (tidak adanya tekanan darah diastol), kurangnya urine output, dan perubahan status mental pasien yang banyak. Perlu diperhatikan

100

bahwa tekanan darah pasien dapat turun tiba-tiba setelah pemeriksaan awal ketika mekanisme kompensasi mereka telah gagal karena kehilangan darah yang terusmenerus. Sulit dilakukan perubahan tekanan darah, karena pada kebanyakan kasus batas bawah dari tekanan ydarah pasien tidak diketahui. Sebagai contoh, pasien dengan hipertensi dapat menunjukkan tekanan sistol sebesar 120 mmHg dapat menunjukkan gejala kehilangan darah yang signifikan, sedangkan atlet muda yang sehat dapat memiliki tekanan sistol sebesar 90 mmHg 1. Salah satu indikator dari rendahnya perfusi jaringan pada pemerikssaan awal adalah perfusi kulit. Kompensasi fisiologi awal pada kehilangan volume intravaskular adalah vasokonstriksi pada pembuluh darah di kulit dan otot. Kapilerkapiler pada kulit adalah yang pertama kali berhenti bekerja sebagai respon terhadap hipovolemik yang dikarenakan stimulus dari sistem saraf simpatik dan kelenjar adrenal melalui pelepasan hormon epinefrin dan nor epinefrin. Pelepasan katekolamin menyebabkan keluarnya keringat dan kulit terasa dingin dan lembab pada saat palpasi. Ekskremitas bawah adalah yang pertama terkena, dengan tandatanda pertama dari hipovolemi adalah terasa dinginnya kaki dan regio patella. Capillary fill time dapat diukur dengan menggunakan blanch test, yang dimana memberikan ukuran kehilangan darah ke pembuluh kapiler. Dengan tes tersebut, tekanan diaplikasikan ke kuku-kuku jari, kuku ibu jari, atau emninesia hipothenar dari tangan untuk mengevakuasi darah dari daerah tersebut dan kemudian tekanan langsung dilepaskan. Waktu yang diperlukan untuk jarinagn kembali ke warna normalnya mengindikasikan waktu yang diperlukan untuk darah kembali ke pembuluh kapiler. Waktu kurang dari 2 detik biasanya ditemukan pada pasien normovolemik dan mengindikasikan aliran darah normal ke pembuluh kapiler 1. Hemoragi dapat secara ekternal maupun internal ke dalam kavitas tubuh. Hemoragi eksternal biasanya dapat dikontrol dengan melakukan penekanan secara langsung ke luka yang ada. Tekanan yang digunakan untuk mengontrol perdarahan sebaiknya kuat dan kontinu. Ketika dressing yang digunakan menjadi basah, dressing tersebut sebaiknya jangan dilepaskan, tetapi sebaiknya dressing tambahan digunakan karena apabila dressing dilepaskan maka formasi clot yang telah terbentuk dapat terganggu dan menyebabkan perdarahan kembali. Tekanan

101

yang kuat dapat diaplikasikan proksimal ke arah arteri mayor untuk mengontrol perdarahan. Akan tetapi, hal tersebut hanya direkomendasikan apabila penekanan langsung pada luka saja tidak efektif 1. Perban tekan, seperti air-pillow splints dan blood pressure cuff dapat juga digunakan. PASGs dan medical antishock trousers(MASTs), yang sebelumnya digunakan untuk meningkatkan tekanan darah pada kasus hipotensi yang parah, memberikan keadaan yang merugikan pada beberapa situasi karena menyebabkan luka vaskular. Sebagai spesialis bedah mulut dan maksilofasial, kita mengetahui adanya suplai vaskular yang banyak ke daerah muka dan leher. Aspek negatif dari suplai darah tersebut adalah hemoragi mayor dapat disebabkan oleh luka pada kulit kepala yang besar, fraktur nasal atau tengah wajah, dan luka tembus pada leher. Luka pada kulit kepala dapat menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah besar pada waktu yang singkat karena perembesan darah pada galea dan lapisan jaringan ikat yang renggang. Luka kulit kepala dapat dengan cepat diatasi dengan dijahit menggunakan 2.0 nonresobable atau staples tanpa memperhatikan kosmetik pasien. Tekanan langsung kemudian dapat dilakukan pada luka untuk mengontrol hemoragi dan meminimalkan pembentukan hematoma. Ketika pasien sudah stabil, jahitan dapat dilepaskan dari luka dan penutupan lapisan luka secara kosmetik dapat dilakukan 1. Pemberian pertolongan pertama dan resusitasi cairan yang tepat sangat membantu dalam mengembalikan perfusi jaringan yang adekuat. Pilihan tipe cairan yang digunakan adalah koloid dan kristaloid. Koloid sangat baik untuk ekspansi volume plasma, dan merupakan pilihan yang terbaik untuk peningkatan Cardiac Output dan volume O2. Namun koloid efek udema parunya kurang dan harga cairan ini mahal1. Tujuan yang harus dipenuhi dalam pemberian cairan adalah menganti cairan yang hilang selama trauma atau pembedahan. Maksud utamanya adalah mengembalikan volume intravaskular dan mendapatkan perfusi jaringan yang adekuat, serta penggantian cairan yang hilang dilakukan melalui pipa lambung,drainase toraks, drainase peritonium, fistula usus, respirasi dsb. Penatalaksanaan pada perdarahan akut adalah sebagai berikut 9:

102

3.

Pemasangan 2 jalur Infus I.V., dengan pemberian 1-2 liter kristaloid (NaCl 0,9% atau RL) atau Koloid (Dextran) secara I.V. dalam 30 60 menit, udema paru diperhatikan. Pada orang dewasa 23 liter RL selama 2030 menit untuk memulihkan tekanan darah, tekanan vena sentral, dan diuresis.

4.

Pemberian WB atau PRC hingga HT> 30 % dengan 1-2 unit fresh frozen plasma (FFP) tiap 5 unit darah.

Sedangkan penatalaksanaan untuk kehilangan cairan gastrointestinal dapat diberikan 1-2 liter NaCl 0,9% dalam 3060 menit, dan memonitor tanda vital, kemudian pengecekan elektrolit dan dikoreksi bila terdapat kelainan lainnya 1. Salah satu fungsi rongga mulut adalah sebagai jalan masuk makanan menuju saluran cerna (gastrointerstinal tract). Kemampuan seseorang dalam mengkonsumsi makanan melalui oral dapat berubah dikarenakan neoplasia, infeksi, deformitas congenital, dan injuri (trauma). Prosedur bedah mulut dan maksilofasial dapat mengeliminasi permasalahan ini dengan suatu prosedur operasi,namun prosedur ini juga membatasi kemampuan mulut sementara waktu. Pada keadaan trauma (stress dan sepsis) tubuh mengalami rangkaian perubahan hormonal yang menambah laju metabolisme. Hal ini berakibat menurunnya daya tahan tubuh, terjadinya edema, dan terhambatnya penyembuhan luka gangguan motilitas usus, gangguan enzim dan metabolisme serta kelemahan otot. Oleh karena itu pasien dengan trauma oromaksilofasial memerlukan intervensi nutrisi dalam rawat inap di rumah sakit 7. Penentuan status gizi penderita penting untuk jumlah lama dan komposisi yang harus diberikan. Setidaknya penderita harus ditentukan apakah termasuk malnutrisi ringan, sedang atau berat. Kebutuhan energi total dari seorang pasien dalam keseimbangan metabolik adalah sama dengan pemakaian energi total (Total Energy Expenditure) yang meliputi kebutuhan basal, peningkatan kebutuhan energi yang disebabkan penyakit, energi yang terpakai selama proses asimilasi nutrien dan energi yang terpakai pada kerja fisik. Kebutuhan kalori basal didapat dengan penghitungan BMR berdasarkan persamaan Harris-Benedict. Nutrisi parenteral adalah pemberian nutrien melalui pembuluh darah vena. Cara

103

pemberian dapat melalui vena perifer (nutrisi parenteral perifer) atau vena sentral (nutrisi parenteral total). Terapi nutrisi parenteral diberikan kepada setiap penderita yang akibat penyakitnya membutuhkan banyak asupan nutrisi tetapi penderita tersebut tidak mau makan, tidak cukup makan, tidak bisa makan dan tidak boleh makan. Tujuan pemberian nutrisi parenteral ini adalah untuk mempertahankan volume dan perfusi sirkulasi darah, menjaga keseimbangan cairan-elektrolit dan asam basa, memelihara hemostatik metabolik umum, dan menyediakan intake bagi kebutuhan metabolisme secara parenteral7,8,9.

104

BAB IV KESIMPULAN

Trauma oromaksilo fasial dapat menyebabkan kematian jika dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas dan perdarahan yang banyak. Sebelum melakukan perawatan fraktur perlu diperhatikan keadaan darurat medik yang harus ditangani lebih dulu. Untuk penderita dengan trauma oromaksilofasial perhatian harus segera diarahkan terhadap saluran pernafasan dan kontrol perdarahan eksternal, sebelum melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, keadaan-keadaan itu harus ditangani lebih dahulu oleh karena mengancam jiwa penderita. Perdarahan dari fraktur oromaksilofasial dapat terjadi perdarahan pada rongga mulut, hidung, sinus paranasalis, nasofaring (dari basis cranii) atau perdarahan dari hidung (fraktur nasalis, fraktur maksila). Perdarahan yang banyak bisa mengakibatkan syok hipovolemik. Perdarahan adalah sebab tersering dari syok pada trauma, dan hampir semua penderita multi-trauma ada syok. Pemberian pertolongan pertama dan resusitasi cairan yang tepat sangat membantu dalam mengembalikan perfusi jaringan yang adekuat. Perawatan pasien dengan trauma oromaksilofasial memerlukan terapi nutrisi yang benar. Pengukuran kebutuhan nutrisi pasien trauma bergantung dari rumus yang didasarkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi, dimana untuk menentukan jenis nutrisi yang akan diberikan kepada pasien tersebut diperlukan kerjasama dengan ahli gizi sehingga benar benar sesuai dengan kebutuhan gizi yang telah ditentukan sebelumya.Pemberian nutrisi untuk pasien rawat inap dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu peroral, enteral dan parenteral. Pemberian nutrisi yang adekuat akan membantu proses penyembuhan pasien.

105

DAFTAR PUSTAKA

1. Fonseca, R.J., dkk. 2005. Oral and Maxillofacial Trauma 3rd ed. Vol 1, W.B. Saunders Company. Philadelphia. 2. Pedersen, G.W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Alih Bahasa: drg. Purwanto, drg. Basoeseno, EGC. Jakarta. 3. Fonseca, R.J. Robert. V.W. 1997. Oral and Maxillofacial Trauma 2nd ed. Vol 1, W.B. Saunders Company. Philadelphia. 4. Raymond and Wolker, 1991, Oral and maxillofacial Trauma. Vol I, W.B. Saunders Company, Philadelphia, Co. 5. Hupp, J.R., Ellis III, E., Tucker, M.R. 2008. Contamporary Oral and Maxillofacial Surgery. 5th ed. Mosby Elsevier. St. Louis. 6. Hutchinson and Skinner, 1996, ABC of Major Trauma 2nd ed BMJ Publishing Group, London. 7. Andry Hartono,dr, Sp.GK,2006,Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit, edisi kedua; EGC,IKAPI. 8. Agus Purwadianto & Budi Sampurna. Kedaruratan Medik. 2000. Pedoman Penatalaksanaan Praktis. Edisi Revisi. 9. Roesli, Ruly,dkk, 1997, Dasar-dasar Terapi Nutrisi Parenteral pada Dewasa dan Anak; Kelompok Studi Terapi Cairan, Enteral, dan Parenteral, Bandung.

106

Fraktur Dentoalveolar

Sutami Wahyu Prasetya 160121120010

Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Bedah Mulut Dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung

Abstrak : Fraktur dentoalveolar adalah salah satu fraktur yang banyak kita jumpai di emergency room. Adapun penyebab fraktur dentoalveolar yang utama adalah kecelakaan lalu lintas, kecelakaan sewaktu berolahraga, kekerasan dalam rumah tangga dan lain sebagainya. Pada pasien anak juga sering kita jumpai fraktur dentoalveolar, dimana anak anak pada masa pertumbuhan dengan aktivitas bermain yang tinggi seperti terjatuh dari sepeda. Trauma secara langsung biasanya menyebabkan cedera pada insisivus sentral maksila karena posisinya yang relatif lebih ke depan. Insisivus yang protrusif dengan penutupan bibir yang tidak seimbang, seperti terlihat pada individu dengan maloklusi Kelas II divisi I atau sebagai akibat kebiasaan buruk menghisap jempol, merupakan faktor predisposisi trauma insisivus maksila. Cedera akan meningkat dua kali lebih sering pada anak dengan insisivus yang protrusif dibandingkan dengan seorang anak yang memiliki oklusi normal. Perawatan darurat merupakan perawatan yang penting dan harus dilakukan dengan segera karena menyangkut prognosa dari penderita. Perawatan darurat pada kasus truma gigi anterior meliputi pembersihan luka akibat trauma dengan menggunakan cairan antiseptik, merawat luka akibat trauma, dengan melakukan penjahitan dan penutupan luka dengan kain kassa, menghentikan perdarahan, menghilangkan rasa sakit, pencegahan terhadap infeksi.

Kata kunci: fraktur dentoalveolar, trauma, maloklusi, perawatan darurat

107

BAB I PENDAHULUAN

Trauma pada gigi dan jaringan pendukungnya sering tejadi pada pasien trauma. Keterlibatan trauma orofasial diperkirakan sekitar 15 % dari semua pasien emergensi, dan 2% dari kasus tersebut melibatkan trauma dentoalveolar. Cedera yang terjadi dapat hanya mengenai gigi dan struktur pendukungnya saja seperti pada seorang anak yang terjatuh, ataupun dapat juga berhubungan dengan cedera multisistim, seperti yang terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor. Cedera dentoalveolar biasanya terjadi karena seseorang terjatuh, kecelakaan di taman bermain, penganiayaan, kecelakaan sepeda, kecelakaan sepeda motor, dan kecelakaan olahraga. Cedera pada strktur dentoalveolar dapat diakibatkan oleh trauma secara langsung mengenai gigi atau trauma tidak langsung, biasanya akibat oklusi yang menutup dengan cepat dan kuat antara gigi-geligi mandibula ke gigi-geligi maksilla.1 Trauma secara langsung biasanya menyebabkan cedera pada incisivus central maksilla karena posisinya yang relatif lebih kedepan. Incisivus yang protrusif dengan penutupan bibir yang tidak seimbang, seperti terlihat pada individu dengan maloklusi kelas II divisi 1 atau sebagai akibat kebiasaan buruk menghisap jempol, merupakan faktor predisposisi trauma incisivus maksilla. Cedera pada gigi akan meningkat dua kali lebih sering pada anak-anak dengan gigi incisivus yang protrusif dibandingkan dengan seorang anak yang memiliki oklusi normal. Trauma tidak langsung pada gigi dan struktur pendukung biasanya sebagai akibat dari benturan yang mengenai dagu, atau gigi tidak dalam oklusi yang baik, benturan akan diteruskan ke oklusi gigi-geligi, menimbulkan kerusakan gigi-gigi posterior atau jaringan lunak anterior.1 Fraktur dentoalveolar dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan gigi. Dapat dalam bentuk retak tetapi pada umunya dalam bentuk fragmen alveolar yang sederhana. Fraktur dentoalvapaeolar pada umumnya terjadi bersamaan

108

dengan cidera mulut lainnya. Deteksi dan pengobatan dini dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan fungsi dari gigi tersebut. Sekitar 82% gigi yang

mengalami trauma adalah gigi-gigi maksiler. Fraktur gigi maksiler tersebut 64% adalah gigi incisivus sentral, 15% incisivus lateral, dan 3% caninus. Fraktur dentoalveolar pada umumnya terjadi pada kelompok usia anak, remaja, dan dewasa muda dengan rasio laki-laki terhadap perempuan 2-3 : 1. 2 Pemeriksaan klinis pada fraktur dentoalveolar meliputi kemungkinan adanya luka pada bibir dan umumnya terjadi edema dan echymosis. Pada pemeriksaan gigi dan alveolus kemungkinan terdapat laserasi, echymosis dari pada gingival dan perubahan bentuk dari pada alveolus. 3 Selain itu pada saat palpasi hati-hati pada saat memeriksa bibir. Pemeriksaan pada bibir berguna untuk mengetahui apakah ada benda asing atau gigi di dalam jaringan tersebut. Palpasi pada alveolus berfungsi untuk merasakan perubahan bentuk tulang-tulang, dan kadang-kadang terdapat krepitus.1

109

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. Etiologi Fraktur Dentoalveolar Trauma dentoalveolar dapat terjadi pada anak-anak, remaja, maupun dewasa. Pada kelompok anak-anak penyebab utama dari trauma ini adalah jatuh. Pada usia 1-3 tahun ketika anak belajar berjalan dan berlari insidennya meningkat yang diakibatkan oleh aktivitas yang tinggi dan kurangnya koordinasi anggota tubuh menyebabkan anak sering jatuh. Pada anak usia sekolah, taman bermain dan cidera akibat bersepeda merupakan penyebab tersering. Selama masa remaja, cidera olahraga merupakan kasus yang umum. Pada usia dewasa, cidera olahraga, kecelakaan sepeda motor, kecelakaan industri dan pertanian, dan kekerasan dalam rumah tangga merupakan penyebab potensial. Rasio laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Olahraga yang melibatkan kontak fisik merupakan penyebab umum fraktur dental, seperti sepakbola dan bola basket. Frekuensi fraktur dentoalveolar yang lebih tinggi ditemukan pada pasien dengan retardasi mental dan serebral palsi. Penyalahgunaan obat dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya frakturdental.2 Gigi insisivus maksiler yang menonjol keluar atau ketidakmampuan menutup gigi pada keadaan istirahat dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya fraktur. Benturan atau trauma, baik berupa pukulan langsung terhadap gigi atau berupa pukulan tidak langsung terhadap mandibula, dapat menyebabkan pecahnya tonjolan-tonjolan gigi, terutama gigi-gigi posterior. Selain itu, tekanan oklusal yang berlebihan terutama terhadap tumpatan yang luas dan tonjol-tonjolnya tak terdukung oleh dentin dapat pula menyebabkan fraktur. Keparahan fraktur bisa hanya sekedar retak saja, pecahnya prosesus, sampai lepasnya gigi yang tidak bisa diselamatkan lagi. Trauma langsung kebanyakan mengenai gigi anterior, dan karena arah pukulan mengenai permukaan labial, garis retakannya menyebar ke belakang dan biasanya horizontal atau oblique. Pada fraktur yang lain, tekanan

110

hampir selalu mengenai permukaan oklusal, sehingga frakturnya pada umumnya vertikal. Pukulan terhadap gigi anterior paling sering terjadi pada anak-anak dan apabila dibiarkan maka tubulus dentinnya akan terpapar pada flora normal mulut sehingga dapat menimbulkan infeksi dan inflamasi pulpa sehingga perlu dirawat. 1 Di pihak lain, gigi posterior yang fraktur karena tekanan oklusal yang besar biasanya karena mempunyai tumpatan yang luas. Pada gigi semacam ini, hanya sedikit tubulus dentin yang terbuka yang langsung berhubungan dengan pulpa karena telah terjadinya reaksi terhadap karies dan prosedur penambalannya berupa kalsifikasi tubulus dan penempatan dentin reaksioner di rongga pulpa. Dengan demikian jaringan pulpanya jarang sekali ikut terkena. Trauma terhadap gigi pada umumnya bukan merupakan keadaan yang mengancam nyawa, tetapi cidera maksilofasial lain yang berhubungan dengan trauma dental dapat mengganggu jalan napas. Fraktur biasanya terjadi pada gigi permanen, sedangkan gigi susu biasanya hanya mengalami perubahan letak. Morbiditas yang berhubungan dengan fraktur dental bisa seperti gagalnya pergantian gigi, perubahan warna gigi, abses, hilangnya ruang pada arkus dental, ankylosis, lepasnya gigi secara abnormal, dan resorpsi akar merupakan keadaan yang signifikan. Trauma dental sering berhubungan dengan laserasi intraoral. Ketika ada gigi yang pecah atau hilang dan pada saat yang bersamaan terdapat laserasi intraoral, maka harus diperhatikan bahwa bagian gigi yang hilang dapat tertanam di dalam robekan luka tersebut. 1 Trauma secara langsung biasanya menyebabkan cedera pada incisivus central maksilla karena posisinya yang relatif lebih kedepan. Incisivus yang protrusif dengan penutupan bibir yang tidak seimbang, seperti terlihat pada individu dengan maloklusi kelas II divisi 1 atau sebagai akibat kebiasaan buruk menghisap jempol, merupakan faktor predisposisi trauma incisivus maksilla. Cedera pada gigi akan meningkat dua kali lebih sering pada anak-anak dengan gigi incisivus yang protrusif dibandingkan dengan seorang anak yang memiliki oklusi normal. Trauama tidak langsung pada gigi dan struktur pendukung biasanya sebagai akibat dari benturan yang mengenai dagu, atau gigi tidak dalam

111

oklusi yang baik, benturan akan diteruskan ke oklusi gigi-geligi, menimbulkan kerusakan gigi-gigi posterior atau jaringan lunak anterior. 1 Cedera dentoalveolar ini paling banyak terjadi pada gigi sulung yang terjadi pada saat anak-anak mulai belajar berjalan hingga usia sekolah, yang berusia antara 2-4 tahun, sedangkan pada gigi permanen antara usia 7-10 tahun. Jumlah cedera dentoalveolar yang signifikan juga terjadi berhubungan dengan penatalaksanaan pasien yang tidak sadar atau pasien yang akan menjalani anestetikum umum. Lockhart dan Colleases melakukan survai terhadap 133 program pelatihan anestesi dan menemukan dari setiap 100 tindakan intubasi trachea terdapat 1 kejadian yang mengakibatkan trauma gigi anterior. 1

Gambar 1. Gambaran Klinis Fraktur Dento Alveolar

II. Klasifikasi Ada banyak cara untuk mengklasifikasikan fraktur dental. Klasifikasi Ellis merupakan salah satu yang sering digunakan dalam literatur kegawatdaruratan, tetapi banyak dokter gigi dan ahli bedah maksilofasial yang tidak menggunakan sistem ini. Metode klasifikasi yang paling mudah dimengerti adalah berdasarkan deskripsi cidera. Fraktur mahkota gigi dapat dibedakan menjadi kategori sederhana dan rumit. Fraktur mahkota sederhana melibatkan bagian enamel dan dentin. Yang termasuk fraktur mahkota sederhana adalah fraktur Ellis kelas I dan II. Fraktur Ellis kelas I Fraktur yang tergolong Ellis kelas I hanya melibatkan lapisan enamel gigi. Pada inspeksi tampak sebagai kepingan kecil dengan tepi

112

yang tidak beraturan (kasar). Keluhan yang biasanya muncul adalah rasa tidak nyaman akibat tepi fraktur yang kasar tersebut. Pasien pada umumnya tidak mengeluhkan sensitivitas terhadap temperatur atau udara. Fraktur ini pada umumnya tidak menyebabkan gangguan terhadap rongga pulpa. 1 Sistim WHO yang dimodifikasi oleh Andreasen melibatkan cedera pada gigi, struktur pendukungnya, gusi dan mukosa oral yang berdasarkan anatomi, terapi dan prognosanya. 1 Cedera jaringan keras gigi dan pulpa. 1. Crown Infraction (keretakan mahkota). Merupakan fraktur inkomplit atau retaknya enamel tanpa disertai kehilangan substansi gigi. 2. Uncomplicated crown fracture (fraktur mahkota tidak komplit) Merupakan fraktur yang terbatas pada enamel atau melibatkan enamel dan dentin tanpa disertai terbukanya pulpa. 3. Complicated crown fracture (fraktur mahkota komplit) Merupakan fraktur yang melibatkan enamel dan dentin disertai terbukanya pulpa. 4. Uncomplicated crown-root fracture (fraktur mahkota dan akar tidak komplit) Merupakan fraktur yang melibatkan enamel, dentin dan sementum tanpa disertai terbukanya pulpa. 5. Complicated crown-root fracture (fraktur mahkota dan akar komplit) Merupakan fraktur yang melibatkan enamel, dentin, dan sementum yang disertai dengan terbukanya pulpa. 6. Root fracture (fraktur akar) Merupakan fraktur yang melibatkan dentin, sementum dan pulpa.

113

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

Gambar 2. Cedera jaringan keras gigi dan pulpa.(1) Crown infraction. (2) dan (3) Uncomplicated crown fracture dengan atau tanpa melibatkan dentin. (4) Complicated crown fractured. (5) Uncomplicated crown root fractured. (6) Complicated crown root fracture. (7) Root Fracture. 1

Cedera jaringan periodontal. 1 1. Concussion (sensitif). Merupakan suatu cedera pada struktur pendukung gigi tanpa adanya kehilangan yang abnormal atau pergeseran gigi, tetapi ditandai dengan adanya reaksi sensitif terhadap perkusi. 2. Subluksasi (kegoyangan gigi). Cedera pada struktur pendukung gigi tanpa kehilangan yang abnormal tetapi tanpa pergeseran gigi. 3. Intrusif luxation (central dislocation). Pergeseran gigi ke dalam tulang alveolar tanpa disertai hancurnya atau fraktur soket alveolar. 4. Extrusif luxation (peripheral dislocation, partial avultion) Pergeseran sebagian gigi keluar dari soket alveolar. 5. Lateral luxation Pergeseran gigi dalam arah lateral yang disertai hancur atau fraktur soket alveolar.

114

6. Exarticulation (complete avultion) Pergeseran gigi yang komplit keluar dari soket alveolar.

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

Gambar 3. Cedera jaringan periodontal. (1)Concussion. (2)Subluksasi. (3)Intrusif luksatioin. (4)Extrusif luxation. (5) dan (6) Lateral luxation. (7)Retained root. (8)Exarticulation. 1

Cedera tulang pendukung. 1 1. Comminution alveolar socket. Fraktur atau remuknya soket alveolar mandibula atau maksila. Keadaan ini biasanya ditemukan bersama-sama dengan luksasi intrusi dan luksasi lateral. 2. Fracture of the alveolar socket wall (Fraktur dinding socket alveolar) Fraktur dinding alveolar soket yang ditahan oleh dinding soket fasial atau lingual. 3. Fracture of alveolar process (fraktur prosesus alveolaris). Fraktur prosesus alveolaris yang dapat atau tidak melibatkan soket alveolar. 4. Fraktur maksila atau mandibula.

115

Fraktur ini mengenai mandibula atau maksilla, dan dapat mengenai prosesus alveolaris atau mungkin juga dengan atau tidak mengenai soket alveolar gigi.

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

Gambar 4. Cedera tulang alveolar. (1)Comminution alveolar process. (2) dan (3)Fracture of the alveolar socket wall. (4) dan (5)fracture of the alveolar process. (6) dan (7)Fraktur mandibula atau maksila. 1

Cedera gingiva atau mukosa oral. 1 1. Laserasi gingiva atau mukosa Yaitu luka pada daerah mukosa yang biasanya disebabkan oleh sobekan benda tajam. 2. Kontusio gingiva atau mukosa oral. Yaitu luka memar yang biasanya disebabkan oleh pukulan dari benda tumpul dan menyebabkan perdarahan pada daerah submukosa tanpa disertai sobeknya daerah mukosa. 3. Abrasi gingiva atau mukosa oral. Yaitu luka daerah supefisial yang disebabkan karena gesekan atau goresan yang mengakibatkan daerah mukosa terlihat lecet dan permukaan yang berdarah.

116

Selain itu ada juga klasifikasi yang dibuat oleh Sanders, Brady dan Johnson yang relatif lebih sederhana berdasarkan pada diskripsi cedera, gambaran struktur gigi yang terlibat, tipe pergeseran dan arah fraktur akar dan mahkota. 3 Keretakan mahkota, yang dibagi lagi menjadi :3 1. Retak atau fraktur yang tidak lengkap dari email tanpa adanya kehilangan struktur gigi. 2. Dapat terjadi secara horizontal atau vertical. Fraktur mahkota 3 1. Fraktur mahkota yang hanya mengenai email 2. Fraktur mahkota yang mengenai email dan dentin. 3. Fraktur mahkota yang mengenai email, dentin dan pulpa. 4. Fraktur horizontal atau vertikal. 5. Fraktur secara oblique (mengenai sudut mesioincisal dan distoincisal)

Gambar 5, Gambaran Klinis Fraktur MAhkota Horizontal

Fraktur mahkota-akar.1,3 1. Tidak melibatkan pulpa. 2. Melibatkan pulpa. Fraktur akar horizontal 1 1. Mengenai sepertiga apikal.

117

2. Mengenai sepertiga tengah akar. 3. Mengenai sepertiga servikal. 4. Horizontal atau vertikal. Gigi sensitif (Concussion) 1 Yaitu trauma pada gigi dan jaringan pendukungnya mengakibatkan gigi sensitive terhadap perkusi, tetapai tanpa disertai adanya kegoyangan gigi dan perubahan letak dari gigi.

Kegoyangan gigi (Subluxation) Yaitu trauma terhadap gigi dan jaringan pendukungnya mengakibatkan gigi menjadi goyang, tetapi tanpa disertai adanya perubahan letak gigi. Perubahan letak gigi.1 1. Intrusi gigi (gigi masuk ke dalam soket, biasanya disertai dengan kompresi fraktur dari saku alveolar). 2. Ekstrusi gigi (gigi sebagian keluar dari soketnya dan memungkinkan tidak disertainya adanya fraktur tulang alveolar). 3. Perubahan letak gigi ke arah labial (kemungkinan disertai fraktur dinding alveolar). 4. Perubahan letak gigi ke arah lingual (kemungkinan disertai fraktur dinding lingual). 5. Perubahan letak gigi kea rah lateral (pergeseran gigi ke arah distal atau mesial, kemungkinan juga disertai fraktur dinding alveolar). Avulsi Gigi 1 Yaitu perubahan letak keseluruhan gigi keluar dari soketnya, dan kemungkinan bersamaan dengan fraktur dinding alveolar.

118

Gambar 6, Gigi Avulsi

III.

Pemeriksaan dan Menegakan Diagnosis

Cedera pada gigi-gigi dan struktur pendukungnya harus dipertimbangkan sebagai suatu keadaan darurat. Agar penatalaksanaannya tepat dan berhasil, dibutuhkan suatu penegakan diagnosa dan perawatan dalam waktu yang cepat. Riwayat mekanisme dan kejadian yang lengkap harus didapatkan dan langsung dilakukan pemeriksaan klinis dan radiografis untuk menjamin diagnosa dan perawatan yang tepat. 1,3 Langkah pertama dalam proses mendiagnosa yaitu mendapatkan riwayat kecelakaan yang akurat. Riwayat yang komprehensif harus didapatkan dari

pasien, orangtuanya atau orang yang mengetahui informasi yang berhubungan dengan pasiennya, dimana, kapan, dan bagaimana kejadiannya, terapi apa yang sudah diberikan sebelumnya. Anamnesis. 1 Yang dimaksud dengan anamnesis adalah riwayat terjadinya trauma. Anamnesis dapat dilakukan dengan menanyakan langsung kepada penderita atau pengantar. Dalam melakukan anamnesis, ada beberapa informasi yang harus diketahui antara lain sebagai berikut : a. Kapan Terjadinya Trauma.

119

Karena jarak antara kecelakaan dan perawatan sangat penting diketahui bukan hanya untuk menentukan jenis perawatan yang akan dilakukan tetapi berpengaruh juga terhadap prognosisnya. Seperti pada gigi yang mengalami avulsi, semakin cepat gigi tersebut di replantasi, maka prognosisnya akan semakin baik. Juga pada fraktur rahang yang proses penyembuhannya akan berpengaruh jika perawatannya ditunda. b. Dimana Tempat Trauma Terjadi. Hal ini penting karena mungkin saja penderita memerlukan suntikan anti tetanus karena luka akibat trauma tersebut terjadi di daerah yang kotor yang dengan mudah akan terkontaminasi dengan bakteri. Demikian juga pada kecelakaan mobil perlu diperhitungkan kemungkinan ada pecahan kaca pada bibir dan daerah muka. c. Bagaimana Trauma Terjadi. Informasi ini penting untuk mengetahui apakah trauma tersebut mengenai benda keras atau tumpul atau lunak. Karena trauma pada benda keras dapat mengakibatkan fraktur ahkota gigi, sedangkan trauma pada benda yang lunak atau tumpul seperti siku biasanya dapat mengakibatkan fraktur akar gigi dan luksasi. d. Perawatan yang Sudah Didapat. e. Riwayat Trauma pada Gigi f. Penyakit Sistemik yang Diderita. g. Keluhan Lain. h. Gangguan Pengunyahan. Pemeriksaan Klinis. 3 Pemeriksaan Fisik, Pemeriksaan terhadap keadaan umum penderita, meliputi pemeriksaan denyut nadi, pernafasan, tekanan darah, tingkat kesadaran dan suhu tubuh. Pemeriksaan Ekstra Oral Pada kasus trauma gigi anterior ini dapat dilakukan dengan cara visual dan palpasi. Palpasi pada wajah dilakukan untuk melihat diskontinuitas tulang rahang

120

yang menunjukkan adanya fraktur, gangguan pergerakan rahang, kelainan saraf serta hematoma. Pemeriksaan Intra Oral, Pemeriksaan ini penting untuk mendapatkan informasi agar dapat memberikan pertolongan pertama. Tindakan yang sebaiknya dilakukan pada pemeriksaan intra oral meliputi antara lain : (1) (2) (3) (4) Perkusi gigi Pencatatan kegoyangan abnormal dari gigi atau tulang alveolar. Pencatatan adanya perubahan warna gigi Pencatatan kerusakan jaringan lunak, seperti pada bibir, gusi, langitlangit dan lidah. (5) (6) (7) Pencatatan perubahan letak gigi Tes vitalitas dari gigi Pencatatan adanya kerusakan prosesus alveolaris, dengan cara palpasi prosesus alveolaris. Pemeriksaan Radiologis. 3 Kegunaan Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan ini diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosa kelainan akibat trauma gigi anterior yang tepat dan benar. Biasanya pemeriksaan radiologis dilakukan pada saat sebelum memulai perawatan dan pada saat kontrol sesudah perawatan sebagai evaluasi terhadap perawatan yang telah dilakukan. Pemeriksaan ini berguna untuk memberikan informasi, misalnya : 1. 2. 3. Untuk melihat arah garis fraktur Adanya fraktur akar Bagaimana tingkat keparahan dari gigi yang mengalami instrusi atau ekstrusi 4. 5. 6. 7. Adanya kelainan dari jaringan periodontal Tingkat perkembangan akar Ukuran kamar pulpa dan saluran akar Adanya fraktur rahang

121

8.

Melihat keadaan fragmen gigi dan jaringan lunak lain disekitar rongga mulut, seperti dasar mulut, bibir dan pipi.

Macam-macam foto rontgen yang digunakan Teknik foto rontgen yang biasa digunakan dalam melakukan pemeriksaan riologis pada kasus trauma gigi anterior adalah teknik intra oral ( foto periapikal dan foto oklusal), dan kadangkala diperlukan teknik ekstra oral (foto panoramik, foto lateral dan foto postero-anterior) jika dengan foto intra oral garis fraktur tidak terlihat.

Gambar 7. Foto panoramic, fraktur alveolar crest pada maksila dan fraktur 1/3 apikal akar gigi pada mandibula

122

BAB III Perawatan Trauma Pada Gigi Anterior 1

Setelah ananmnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan radiologis telah lengkap, maka diagnosis yang tepat juga dapat ditegakkan sehingga langkah perawatan terhadap kelainan akibat trauma pada gigi anterior dapat dilakukan dengan segera. Trauma pada gigi merupakan salah satu kasus darurat yang memerlukan penanggulangan yang cepat dan tepat, karena keadaan ini mempengaruhi prognosis yang akan datang. Maka pada prinsipnya perawatan trauma gigi anterior ini adalah perawatan untuk mencegah prognosis yang lebih buruk dan mengurangi rasa sakit akibat trauma. Perawatan trauma gigi anterior dapat dibagi menjadi 2 tahap, yaitu perawatan segera setelah terjadinya trauma (perawatan darurat) dan perawatan terhadap gigi anterior yang mengalami trauma (perawatan definitif). Perawatan Segera Setelah Terjadinya Trauma (Perawatan Darurat) Perawatan darurat merupakan perawatan yang penting dan harus dilakukan dengan segera karena menyangkut prognosa dari penderita. Perawatan darurat pada kasus trauma gigi anterior meliputi : a. Membersihkan luka akibat trauma dengan menggunakan cairan antiseptik b. Merawat luka akibat trauma, dengan melakukan penjahitan dan penutupan luka dengan kain kasa. c. Menghentikan perdarahan d. Menghilangkan rasa sakit e. Pencegahan terhadap infeksi
1

Perawatan Gigi pada Cedera Dentoalveolar (Perawatan Definitif).

123

Perawatan gigi anterior yang mengalami trauma pada prinsipnya adalah mengembalikan gigi yang mengalami trauma keposisi semula (reposisi) dan mempertahankannya hingga proses penyembuhan (fiksasi dan imobilisasi). Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan sebelum melakukan perawatan definitif pada kasus trauma gigi anterior, yaitu : keadaan umum pasien, umur pasien, trauma terjadi pada gigi sulung atau gigi tetap, lokasi dan luas daerah yang terkena trauma, keadaan dari tulang pendukung, keadaan jaringan periodontal serta gigi-geligi yang ada, Vitalitas gigi yang terkena trauma, apakah disertai dengan fraktur tulang alveolar. Pada dasarnya perawatan definitif trauma gigi anterior meliputi : a. Perawatan jaringan keras gigi, misalnya penambalan dengan resin komposit pada mahkota gigi yang terkena trauma, pembuatan mahkota jaket, dll. b. Perawatan jaringan pulpa, misalnya pada perawatan endodontik seperti pulp capping, pulpotomi, dll. c. Perawatan pada gigi yang goyang dan berubah letak, yaitu dengan melakukan reposisi dan fiksasi.

Yang dimaksud dengan fiksasi adalah suatu tindakan pemasangan alat yang digunakan untuk menstabilkan satu gigi atau lebih dengan mengikat atau menggabungkan gigi goyah atau berubah letak kegigi sebelahnya yang masih kokoh melalui kawat, band atau splin dari logam cor, plastik atau acrylik.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan fiksasi yang baik
1

,yaitu : Dapat dengan mudah dipasang didalam mulut tanpa melalui prosedur laboratorium yang lama.

1.

2. 3. 4. 5. 6.

Bersifat pasif pada tempatnya, tanpa menyebabkan tekanan pada gigi. Tindak berkontak dengan gusi dan tidak mengiritasi gusi. Tidak terdapat sangkutan pada saat oklusi yang normal. Dapat dengan mudah dibersihkan dan dipakai pada oral higiene yang baik. Pada saat dipakai tidak menyebabkan trauma pada gigi atau gusi.

124

7. 8. 9. 10.

Dapat memberikan jalan bagi perawatan endodontik. Dapat dengan mudah dikeluarkan. Memperhatikan nilai estetik yang baik. Harganya murah dan bahan-bahannya mudah diperoleh dipasaran.

Ada beberapa macam teknik fiksasi yang digunakan pada kasus trauma gigi anterior ini1,4, yaitu : 1. Interdental wiring fixation, yaitu fiksasi dengan pengikatan kawat interdental. Misalnya dengan metode Essig, Ernts, Eyelet (Ivy).

Gambar 8, Eyelet & Essig Method 1

2.

Arch bar wiring, yaitu pengikatan kawat dengan arch bar. Misalnya dengan metode Erich arch bar, Sauers arch bar, hauptmeyes arch bar, Circumferential arch bar.

3. 4.

Resin komposit splin dengan menggunakan etsa asam. Penggunaan alat Orthodontik bracket, misalnya pada gigi yang ekstrusi dan avulsi.

5. 6.

Metal cast splint, yaitu splin dengan menggunakan logam cor. Sectional acrylic splint, yaitu splin dengan menggunakan bahan dari akrilik.

125

Gambar 9, Fiksasi intermasiler: A. screw & wire, B. Gunning splint untuk rahang edentulous (Miloro et.al, 2004), C. Fiksasi intermaksiler dengan Erich bar & rubber elastic, d. fiksasi dengan Jalenko 1

Berikut ini akan diuraikan berbagai macam perawatan definitif trauma gigi anterior menurut beberapa pakar bedah mulut Fraktur Mahkota Pada fraktur mahkota yang mengenai email, dentin serta pulpa tanpa disertai kegoyangan gigi biasanya dilakukan penambalan pada gigi yang terkena fraktur dengan resin komposit sistem etsa dengan atau tanpa didahului perawatan endodontik. Tetapi bila disertai dengan kegoyangan gigi dilakukan juga reposisi gigi dan fiksasi gigi tersebut. Fraktur Mahkota Akar a. Jika fragmen mahkota masih berada ditempat dan tidak goyang, perawatan yang dilakukan sama dengan perawatan pada fraktur mahkota. maka
1,3

yaitu sebagai berikut :

126

b. Jika garis fraktur jauh kearah apikal dan gigi masih dapat direstorasi, maka dilakukan perawatan endodontik. c. Jika disertai dengan fraktur tulang alveolar, maka sebaiknya dilakukan ekstraksi gigi tersebut.

Fraktur Akar a. Jika garis fraktur sepertiga apikal prognosisnya sangat baik dan biasanya tidak diperlukan perawatan yang khusus. b. Jika garis fraktur berada sepertiga tengah akar, prognosisnya sangat baik terhadap pemulihan pertahanan jaringan pulpa dan penyembuhan dari fraktur akar tersebut. Dan dalam hal ini diperlukan tindakan reposisi dan fiksasi selama 2-3 bulan, karena pada periode ini biasanya telah terjadi proses kalsifikasi dari jaringan dan gigi kembali vital. c. Jika terjadi fraktur akar vertikal dilakukan tindakan ekstraksi gigi. Gigi Sensitif (Concussion) 1 Perawatan yang khusus pada gigi sensitif ini biasanya tidak ada, hanya diperlukan pemeriksaan yang rutin dan berlanjut untuk mengevaluasi kesehatan dari jaringan periodontal dan pulpa gigi tersebut dan jika perlu mengurangi kontak incisal untuk mengurangi trauma saat oklusi yang diterima gigi. Subluksasi Gigi 1 Gigi yang mengalami subluksasi sensitif terhada perkusi dan goyang. Perawatan yang diperlukan biasanya perawatan simptomatik yaitu dengan memberikan makanan yang lunak dan jika perlu menghilangkan kontak oklusal/incisal untuk mengurangi trauma saat oklusi yang diterima dari gigi. Dan apabila kegoyangan gigi sudah sangat ekstrim, dilakukan fiksasi pada gigi lawannya.

127

Perawatan Pada Gigi Yang Berubah Letak 1 1. Intrusi Gigi Pada apeks yang belum terbentuk sempurna, biasanya dibiarkan saja karena diharapkan pada saat pertumbuhan, gigi akan kembali pada posisi semula. Apabila akar sudah terbentuk sempurna, dilakukan reposisi dan immobilisasi selama 2-3 bulan, dan penggunaan alat orthodonti juda dapat membantu gigi yang mengalami instrusi dapat kembali keposisi semula.

2. Ekstrusi Gigi dan Luksasi Gigi ke lateral Pada gigi yang mengalami ekstrusi dan perubahan letak kearah lateral dilakukan perawatan reposisi gigi dengan tekanan jari, kemudian immobilisasi gigi selama 2-3 minggu.

Avulsi Gigi Pada gigi yang mengalami avulsi, dilakukan replantasi gigi dan stabilisasi gigi. Keberhasilan replantasi gigi pada gigi yang mengalami avulsi ini tergantung pada lamanya gigi berada diluar soket. Semakin cepat gigi tersebut direplantasi, maka prognosisnya semakin baik. Andreasen dan Hjorting-Hansen
1

mengemukakan bahwa 90% dari gigi yang direplantasi kurang dari 30 menit setelah terjadi avulsi gigi, tidak terdapat resorpsi akar pada gigi tersebut. Dan resorpsi akar terlihat pada 95% gigi yang direplantasi setelah lebih dari 2 jam mengalami avulsi. Sebelum melakukan replantasi, gigi tersebut direndam dahulu dalam larutan garam fisiologis hangat seperti cairan saline untuk mencegah kekeringan dari serat-serat periodontal. Kemudian gigi tersebut dikeringkan dan setelah saku gusi dibersihkan dari gumpalan darah replantasi dapat segera dilakukan. Setelah gigi direplantasi, gigi tersebut distabilisasi dengan splint sistem etsa asam atau splint akrilik selama 7-10 hari (pada gigi yang apeksnya sudah terbentuk sempurna) dan 3-4 minggu pada gigi yang apeknya belum terbentuk sempurna. Periode stabilisasi pada kasus cedera dentoalveolar dapat dilihat pada tabel 1. 3

128

Tabel 1. Periode stabilisasi pada cedera dentoalveolar. 3 Cedera Dentoalveolar Gigi yang mobile. Gigi yang berubah tempat Fraktur akar. Replantasi gigi (matur) Replantasi gigi (imatur) Durasi Imobilisasi 7 10 hari 2 3 minggu 2 4 bulan. 7 10 hari. 3 4 minggu.

Sumber : Ellis, 2003, Soft Tissue and Dentoalveolar Injuries.

Menurut Andreasen, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan replantasi gigi yang mengalami avulsi, 1 yaitu sebagai berikut : a. Gigi tersebut tidak mempunyai kelainan periodontal. b. Saku alveolar dapat menyediakan tempat bagi gigi yang direplantasi. c. Tidak ada pertimbangan untuk melakukan perawatan orthodontik, seperti gigi yang berjejal. d. Berapa lama gigi tersebut berada diluar saku alveolar. Gigi yang berada diluar saku gusi kurang dari 30 menit, merupakan indikasi replantasi yang baik, sedangkan jika gigi berada diluar saku alveolar lebih dari 2 jam kemungkinan besar akan terjadi komplikasi yaitu resorpsi dari akar gigi dan gigi menjadi non vital, kecuali sebelum direplantasi gigi tersebut dirawat endodontik terlebih dahulu. e. Tingkat perkembangan akar. Fraktur Tulang Alveolar 1 Fraktur tulang alveolar biasanya disertai dengan fraktur dari beberapa gigi sehingga dengan fraktur tulang alveolar ini juga dapat terjadi fraktur mahkota, fraktur akar dan trauma pada jaringan lunaknya.Maka perawatan yang dilakukan adalah mengembalikan bagian yang terkena fraktur keposisi semula dan kemudian dilakukan stabilisasi selama 4 minggu sampai terjadi proses penyembuhan tulang serta penjahitan gusi yang mengalami laserasi.Pada pasien yang mengalami

129

fraktur tulang alveolar yang parah dilakukan tindakan alveolektomi disertai ekstraksi gigi yang mengalami trauma.

Gambar 10. Foto panoramic, fraktur dentoalveolar pada maksila (panah). Displacement segmen alveolar dan mengakibatkan maloklusi 1

Letak Fraktur pada Daerah Edentulous. 5 Bentuk cedera pada daerah tidak bergigi ini tidak terlalu berarti. Jika mukosa mengalami perlukaan maka sebelum tindakan operatif harus diberikan antibiotik terlebih dahulu baru kemudian dilakukan debridemen, tulang alveolar yang lepas dan berukuran kecil dan tidak dapat dipertahankan dibuang dan dilakukan alveolektomi. Kemudian mukosa gingiva atau rongga mulut diperbaiki dengan cara melakukan penjahitan. Cedera jenis ini jika mengenai daerah edentulous maksilla dapat menyebabkan terjadinya fistula oro-nasal pada daerah premaksilla atau fistula oroantral di daerah premolar dan molar. Finger pressure dapat digunakan untuk menekan fragmen alveolar yang fraktur ke dalam posisinya yang tepat dan jika pasien menggunakan gigi tiruan dapat digunakan sebagai alat bantu memfiksasi.

130

Gambar11, Alat Bantu Fiksasi 4

Masalah jangka panjang yang dapat terjadi jika prosesus alveolaris yang lepas berukuran besar akan mengakibatkan kesulitan saat pembuatan gigi tiruan. Komplikasi ini memerlukan perawatan pendahuluan sebelum pembuatan protesa yaitu augmentasi ridge, pendalaman sulcus atau teknik implant. Letak Fraktur pada Procesus Alveolaris Bergigi. 5 Adanya segmen tulang alveolar yang fraktur dan terdapat gigi permanen pada fragmennya maka diperlukan tindakan reduksi dan imobilisasi, kecuali gigi pada fragmen tulang alveolaris memerlukan pencabutan segera. Perawatann ini dilakukan dengan anestesi lokal dibantu dengan sedasi, seperti diazepam oral atau intra venous. Prognosis fragmen fraktur dapat ditingkatkan dengan tindakan imobilisasi, kemudian gigi ditempatkan secara akurat pada posisinya dan juga membebaskan trauma oklusal dari gigi lawannya. Splinting harus dipertahankan selama 6 minggu, jika terdapat gigi pada garis fraktur maka harus dipertimbangkan perawatan lainnya seperti perawatan endodontik diperlukan jika pulpa mengalami nekrosis. Kadang-kadang pada fraktur dentoalveolar gigi pada fragmen fraktur tidak mendapat dukungan tulang alveolar terutama pada penderita usia tua, maka perlu dirujuk kepada ahli periodontologi dengan melakukan perawatan splinting metoda Von Weissenfluh. Fraktur dentoalveolar pada usia sangat muda dapat membaik tanpa memerlukan imobilisasi dan cukup dirawat dengan pemberian diet lunak. Tetapi bagaimanapun jika fragmen alveolar yang fraktur cukup besar maka tetap diindikasikan untuk pemasangan splint.

131

BAB IV KESIMPULAN

Cedera pada strktur dentoalveolar dapat diakibatkan oleh trauma secara langsung mengenai gigi atau trauma tidak langsung, biasanya akibat oklusi yang menutup dengan cepat dan kuat antara gigi-geligi mandibula ke gigi-geligi maksilla. Cedera dentoalveolar seringkali melibatkan regio anterior maksila Penyebab tersering cedera dentoalveolar adalah kecelakaan lalu lintas, olahraga, perkelahian dan domestic abuse.Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan klinis dan radiologis. Perawatan tergantung pada kasus dan seringkali melibatkan bidang kedokteran gigi lainnya. Tujuan perawatan cedera dentoalveolar adalah memperoleh kembali bentuk dan fungsi normal dari organ pengunyahan.

132

Daftar Pustaka

1. Powers, MP, 1991, Diagnosis and management of Dentoalveolar Injuries, In, Fonseca RJ, Oral and Maxillofacial Trauma, Volume 1, WB Saunders Company, Philladelphia. 2. Kaban, LB, 1990, Pediatric Oral and Maxillofacial Surgery, WB Saunders Company, Philladelphia. 3. Ellis, E III, 2003, Soft Tissue and Dentoalveolar Injuries, In, Peterson, Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, Third ed., Mosby Year Book Inc. St. Louis. 4. Schwenzer, N, and Steinhilber, 1982, Appliances for Immobilization, In, Kruger, E and Schilli, Oral and Maxillofacial Traumatology, Vol. 1, Quintessence Publishing Co. 5. Sowray, FH, 1994, Localized Injuries of the Teeth and Alveolar Process, In. Williams, J, Rowe and Williams Maxillofacial Injuries, Second Ed. Churchill Livingstone.

133

Fraktur Mandibula

Retno Widayanti 160121120003

Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Bedah Mulut Dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Abstrak : Mandibula merupakan bagian tulang yang paling rentan mengalami fraktur pada trauma fasialis. Hal ini dapat disebabkan karena posisinya yang menonjol dan merupakan sasaran pukulan dan benturan. Daerah mandibula yang lemah adalah daerah subkondilar, angulus mandibularis dan daerah mentalis. Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur mandibula.

Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan etiologi utama penyebab fraktur mandibula di dunia. Pada prinsipnya ada dua cara penatalaksanaan fraktur mandibula, yaitu cara tertutup atau disebut juga perawatan konservatif dan cara terbuka yang ditempuh dengan cara pembedahan. Pada teknik tertutup imobilisasi dan reduksi fraktur dicapai dengan penempatan peralatan fiksasi

maksilomandibular. Pada prosedur terbuka bagian yang mengalami fraktur di buka dengan pembedahan dan segmen fraktur direduksi serta difiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat/plat yang disebut dengan wire atau plate osteosynthesis. Kedua teknik ini tidak selalu dilakukan tersendiri tetapi kadangkadang diaplikasikan bersama atau disebut dengan prosedur kombinasi.

Kata Kunci : fraktur, mandibula, reduksi, fiksasi, Champy Line

134

BAB I PENDAHULUAN

Fraktur mandibula adalah putusnya kontinuitas tulang mandibula 1. Hilangnya kontinuitas pada rahang bawah (mandibula), dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan benar2. Mandibula adalah tulang rahang bawah pada manusia dan berfungsi sebagai tempat menempelnya gigi geligi3. Faktor etiologi utama terjadinya fraktur mandibula bervariasi berdasarkan lokasi geografis, namun kecelakaan kendaraan bermotor menjadi penyebab paling umum. Beberapa penyebab lain berupa kelainan patologis seperti keganasan pada mandibula, kecelakaan saat kerja dan kecelakaan akibat olahraga4, 2. Fraktur mandibula merupakan fraktur kedua tersering pada kerangka wajah, hal ini disebabkan kondisi mandibula yang terpisah dari kranium. Diagnosis fraktur mandibula dapat ditunjukkan dengan adanya : rasa sakit, pembengkaan, nyeri tekan, dan maloklusi5. Patahnya gigi, adanya gap, tidak ratanya gigi, tidak simetrisnya arcus dentalis, adanya laserasi intra oral, gigi yang longgar dan krepitasi menunujukkan kemungkinan adanya fraktur mandibula. Selain hal itu mungkin juga terjadi trismus (nyeri waktu rahang digerakkan) 4. Evaluasi radiografis pada mandibula mencakup foto polos, bila perlu dilakukan foto waters, CT Scan dan pemeriksaan panoreks4. Secara khusus penanganan fraktur mandibula dan tulang pada wajah (maksilofasial) mulai diperkenalkan olah Hipocrates (460-375 SM) dengan menggunakan panduan oklusi (hubungan yang ideal antara gigi bawah dan gigigigi rahang atas), sebagai dasar pemikiran dan diagnosis fraktur mandibula 4. Pada perkembangan selanjutnya oleh para klinisi menggunakan oklusi sebagai konsep dasar penanganan fraktur mandibula dan tulang wajah (maksilofasial) terutama dalam diagnostik dan penatalaksanaannya. Hal ini diikuti dengan perkembangan teknik fiksasi mulai dari penggunaan pengikat kepala ( head bandages), pengikat rahang atas dan bawah dengan kawat (intermaxilari fixation), serta fiksasi dan

135

imobilisasi fragmen fraktur dengan menggunakan plat tulang ( plate and screw)2,4,5. Pada semua manajemen fraktur, tujuan dari perawatannya adalah untuk mengembalikan fungsi dengan memastikan penyatuan dari segmen tulang dan mengembalikan kekuatan seperti sebelum cedera, mencegah terjadinya defek kontur yang dapat timbul, mencegah terjadinya infeksi. Restorasi fungsi mandibula sebagai bagian dari sistem stomatognati harus mencakup kemampuan untuk mastikasi yang baik, berbicara dengan normal dan menciptakan pergerakan artikulasi seperti sebelum terjadinya trauma.

136

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Mandibula Mandibula dibentuk oleh dua bagian simetris yang mengadakan fusi dalam tahun pertama kehidupan. Tulang ini terdiri dari korpus, yaitu suatu lengkungan tapal kuda dan sepasang ramus yang pipih dan lebar yang mengarah keatas pada bagian belakang dari korpus. Pada ujung dari masing-masing ramus didapatkan dua buah penonjolan disebut prosesus kondiloideus dan prosesus koronoideus. Prosessus kondiloideus terdiri dari kaput dan kolum. Permukaan luar dari korpus mandibula pada garis median, didapatkan tonjolan tulang halus yang disebut simfisis mentum yang merupakan tempat pertemuan embriologis dari dua buah tulang. Bagian korpus mandibula membentuk tonjolan disebut prosesus alveolaris yang mempunyai 16 buah lubang untuk tempat gigi. Bagian bawah korpus mandibula mempunyai tepi yang lengkung dan halus. Pada pertengahan korpus mandibula kurang lebih 1 inchi dari simfisis didapatkan foramen mentalis yang dilalui oleh vasa dan nervus mentalis. Permukaan dalam dari korpus mandibula cekung dan didapatkan linea milohiodea yang merupakan origo m. Milohioid. Angulus mandibula adalah pertemuan antara tepi belakang ramus mandibula dan tepi bawah korpus mandibula. Angulus mandibula terletak subkutan dan mudah diraba pada 2-3 jari dibawah lobulus aurikularis 10. Secara keseluruhan tulang mandibula ini berbentuk tapal kuda melebar di belakang, memipih dan meninggi pada bagian ramus kanan dan kiri sehingga membentuk pilar, ramus membentuk sudut 1200 terhadap korpus pada orang dewasa. Pada yang lebih muda sudutnya lebih besar dan ramusnya nampak lebih divergens.

137

Gambar 2.1 Anatomi mandibula10

Dari aspek fungsinya, merupakan gabungan tulang berbentuk L bekerja untuk mengunyah dengan dominasi (terkuat) m. Temporalis yang berinsersi disisi medial pada ujung prosesus koronoideus dan m. Masseter yang berinsersi pada sisi lateral angulus dan ramus mandibula. M. Pterigodeus medial berinsersi pada sisi medial bawah dari ramus dan angulus mandibula. M masseter bersama m temporalis merupakan kekuatan untuk menggerakkan mandibula dalam proses menutup mulut. M pterigoideus lateral berinsersi pada bagian depan kapsul sendi temporo-mandibular, diskus artikularis berperan untuk membuka mandibula. Fungsi m pterigoid sangat penting dalam proses penyembuhan pada fraktur intrakapsuler.

138

Gambar 2.2 Insersi Otot pada Mandibula4

Pada potongan melintang tulang mandibula dewasa level molar II berbentuk seperti U dengan komposisi korteks dalam dan korteks luar yang cukup kuat. Ditengahnya ditancapi oleh akar-akar geligi yang terbungkus oleh tulang kanselus yang membentuk sistem haversian (osteons) diantara dua korteks tersebut ditengahnya terdapat kanal mandibularis yang dilewati oleh syaraf dan pembuluh darah yang masuk dari foramen mandibularis dan keluar kedepan melalui foramen mentalis. Lebar kanalis mandibula tersebut sekitar 3 mm ( terbesar) dan ketebalan korteks sisi bukal yang tertipis sekitar 2.7mm sedang pada potongan level gigi kaninus kanalnya berdiameter sekitar 1mm dengan ketebalan korteks sekitar 2.53mm. Posisis jalur kanalis mandibula ini perlu diingat dan dihindari saat melakukan instrumentasi waktu reposisi dan memasang fiksasi interna pada fraktur mandibula11. Mandibula mendapat nutrisi dari arteri alveolaris inferior yang merupakan cabang pertama dari arteri maxillaris yang masuk melalui foramen mandibula bersama vena dan nervus alveolaris inferior berjalan dalam kanalis alveolaris.

139

Arteri alveolaris inferior memberi nutrisi ke gigi-gigi bawah serta gusi sekitarnya kemudian di foramen mentalis keluar sebagai a. Mentalis. Sebelum keluar dari foramen mentalis bercabang menuju incisivus dan berjalan sebelah anterior ke depan didalam tulang. Arteri mentalis beranastomosis dengan arteri facialis, arteri submentalis dan arteri labii inferior. Arteri submentalis dan arteri labii inferior merupakan cabang dari arteri facialis. Arteri mentalis memberi nutrisi ke dagu. Aliran darah balik dari mandibula melalui vena alveolaris inferior ke vena facialis posterior. Daerah dagu mengalirkan darah ke vena submentalis, yang selanjutnya mengalirkan darah ke vena facialis anterior. Vena facialis anterior dan vena facialis posterior bergabung menjadi vena fascialis communis yang mengalirkan darah ke vena jugularis interna12.

Gambar 2.3 Vaskularisasi mandibula12

Gambar 2.4 Inervasi mandibula12

140

2.2 DEFINISI FRAKTUR MANDIBULA Fraktur didefinisikan sebagai deformitas linear atau terjadinya

diskontinuitas tulang yang disebabkan oleh rudapaksa. Fraktur dapat terjadi akibat trauma atau karena proses patologis. Fraktur akibat trauma dapat terjadi akibat perkelahian, kecelakaan lalulintas, kecelakaan kerja, luka tembak, jatuh ataupun trauma saat pencabutan gigi. Fraktur patologis dapat terjadi karena kekuatan tulang berkurang akibat adanya kista, tumor jinak atau ganas rahang, osteogenesis imperfecta, osteomyelitis, osteomalacia, atrofi tulang secara menyeluruh atau osteoporosis nekrosis atau metabolic bone disease. Akibat adanya proses patologis tersebut, fraktur dapat terjadi secara spontan seperti waktu bicara, makan atau mengunyah13. Mandibula merupakan tulang yang kuat, tetapi pada beberapa tempat dijumpai adanya bagian yang lemah. Daerah korpus mandibula terutama terdiri dari tulang kortikal yang padat dengan sedikit substansi spongiosa sebagai tempat lewatnya pembuluh darah dan pembuluh limfe. Daerah yang tipis pada mandibula adalah angulus dan sub condylus sehingga bagian ini termasuk bagian yang lemah dari mandibula. Selain itu titik lemah juga didapatkan pada foramen mentale, angulus mandibula tempat gigi molar III terutama yang erupsinya sedikit, kolum kondilus mandibula terutama bila trauma dari depan langsung mengenai dagu maka gayanya akan diteruskan kearah belakang. Garis fraktur pada mandibula biasa terjadi pada area lemah dari mandibula tergantung mekanisme trauma yang terjadi. Garis fraktur subkondilar umumnya dibawah leher prosesus kondiloideus akibat perkelahian dan berbentuk hampir vertikal. Namun pada kecelakaan lalu lintas garis fraktur terjadi dekat dengan kaput kondilus, garis fraktur yang terjadi berbentuk oblique. Pada regio angulus garis fraktur umumnya dibawah atau dibelakang regio mlaor III kearah angulus mandibula. Pada fraktur corpus mandibula garis fraktur tidak selalu paralel dengan sumbu gigi, seringkali garis fraktur berbentuk oblique. Garis fraktur dimulai pada regio alveolar kaninus dan insisivus berjalan oblique ke arah midline. Pada fraktur mendibula, fragmen yang fraktur mengalami displaced

141

akibat tarikan otot-otot mastikasi, oleh karena itu maka reduksi dan fiksasi pada fraktur mendibula harus menggunakan splinting untuk melawan tarikan dari otototot mastikasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi displacement fraktur mandibula antara lain ; arah dan kekuatan trauma, arah dan sudut garis fraktur, ada atau tidaknya gigi pada fragmen, arah lepasnya otot dan luasnya kerusakan jaringan lunak. Pada daerah ramus mandibula jarang terjadi fraktur, karena daerah ini terfiksasi oleh m masseter pada bagian lateral, dan medial oleh m pterigoideus medialis. Demikian juga pada prosesus koronoideus yang terfiksasi oleh M. Masseter.

2.3 ETIOLOGI Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur mandibula. Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan etiologi utama penyebab fraktur mandibula di dunia4. Literatur menyebutkan bahwa 43% fraktur mandibula disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, 34% disebabkan oleh kekerasan, 7% kecelakaan kerja, 7% akibat terjatuh, 4% pada kecelakaan olahraga dan sisanya oleh bermacam-macam sebab lainnya. Fraktur pada fasial jauh lebih banyak terjadi pada mereka yang tidak menggunakan pelindung pada saat terjadinya kecelakaan14.

2.4 DISTRIBUSI ANATOMIS Lokasi fraktur mandibula terbanyak pada kondilus (29,1%), angulus (24,5%), simfisis dan parasimfisis (22%), korpus mandibula (16%), segmen dento alveolar (3,1%) ramus (1,7%), dan prosesus koronoideus (1,3%) 4. Fraktur yang terjadi pada korpus, kondilus dan angulus mandibula tidak banyak berbeda dalam insidensinya dan fraktur ramus serta processus koronoideus sangat jarang. Beberapa penelitian memperlihatkan etiologi pada lokasi fraktur. Fridrich dkk memperlihatkan bahwa fraktur akibat kecelakaan kendaraan bermotor biasanya pada regio kondilus. Pada kecelakaan pengendara kendaraan roda dua yang terkena adalah daerah simfisis. Pada

142

fraktur yang diakibatkan karena kekerasan biasanya di daerah sudut mandibula14,15.

Gambar 2.5 Distribusi anatomis fraktur mandibula 15

Mandibula yang mengalami atropi mempunyai kelemahan pada banyak tempat, tetapi tetap saja regio angulus mandibula dan mentalis yang paling sering menjadi fraktur. Area fraktur cenderung berbeda pada pasien edentulus, dimana fraktur korpus mandibula (43,5%), angulus (15,2%), simfisis mandibula (4,3%) 15.

Gambar 2.6 Distribusi fraktur mandibula pada pasien edentulus 15

Beberapa penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan antara frekuensi fraktur mandibula dengan daerah anatomi. Fraktur subkondilus banyak ditemukan pada anak-anak sedangkan fraktur angulus banyak ditemukan pada remaja dan dewasa muda16.

143

2.5 KLASIFIKASI Secara garis besar fraktur mandibula diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu berdasarkan jenis fraktur, berdasarkan daerah fraktur dan berdasarkan penyebab fraktur. Berdasarkan jenis fraktur16,17 a. Fraktur sederhana. Fraktur yang terjadi tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar dan tidak terjadi dislokasi atau displacement. Fraktur jenis ini disebut juga fraktur tertutup atau closed fracture. b. Fraktur greenstick. Fraktur yang tidak seluruh kontinuitas tulang terputus, tetapi hanya sebagian saja. Fraktur ini merupakan salah satu tipe fraktur yang sering terjadi pada anak-anak. Hal ini diakibatkan karena tulang anak-anak masih bersifat lentur, karena tulangnya belum sepenuhnya terkalsifikasi. c. Fraktur compound. Fraktur ini mempunyai hubungan antara tulang yang patah dengan permukaan luar wajah atau dengan rongga mulut. Hubungan ini dapat terjadi melalui kulit, jaringan mukosa dan membran periodontal. Fraktur jenis ini disebut juga fraktur terbuka atau open fracture. d. Fraktur cominutted. Fraktur dimana tulang terbagi menjadi beberapa bagian atau fragmen-fragmen kecil. Biasanya fraktur ini terjadi pada regio simfisis mandibula. e. Fraktur kompleks. Fraktur yang melukai jaringan lunak baik kulit, mukosa atau bagian yang berdekatan seperti otot, pembuluh darah dan syaraf. f. Teleskop atau fraktur impaksi. Fraktur tipe ini jarang terlihat pada mandibula, tetapi dapat terjadi dimana sisi fragmen terdorong kesisi yang berlawanan. g. Fraktur indirect dan direct. Fraktur direct terjadi langsung pada titik kontak dari trauma sedangkan indirect terjadi jauh dari sisi datangnya trauma.

144

h. Fraktur patologis. Fraktur yang terjadi pada fungsi normal atau trauma minimal pada tulang yang mengalami gangguan patologis, seperti kista atau metastasis tumor.

Gambar 2.7 Tipe fraktur: A. Fraktur sederhana; B. Fraktur compound; C. Fraktur comminuted; D. Fraktur impaksi pada subkondilus dekstra dan fraktur patologis pada angulus sinistra; E. Fraktur direct dan indirect15.

Gambar 2.8 Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan tipe frakturnya: Greenstick (A), Simple (B), Komminuted (C), Kompon (D)17

145

Fraktur mandibula juga dapat diklasifikasikan sebagai fraktur favorable atau unfavorable, masing-masing dari arah vertikal dan horisontal tergantung pada otot sekitarnya yang menahan atau memindahkan segment fraktur tersebut. Garis fraktur favorable horizontal menahan gaya tarikan ke atas, seperti tarikan otot masseter dan temporalis pada fragmen proksimal. Garis fraktur favorable vertikal menahan gaya tarikan medial pterygoid medial pada fragmen proksimal18.

Gambar 2.9 Unfavorable horizontal (kiri) dan favorable (kanan)15

Gambar 2.10 Favorable vertikal (kiri) dan unfavorable (kanan)15

146

Berdasarkan lokasi anatomis, fraktur mandibula dibagi atas15: 1. Fraktur dentoalveolar Fraktur yang hanya terjadi pada area penyangga gigi pada mandibula dan tidak mengganggu kontinuitas struktur tulang dibawahnya. 2. Fraktur simfisis Fraktur pada regio insisivus yang melalui prosessus alveolaris ke batas inferior mandibula dalam arah vertikal atau hampir vertikal. 3. Fraktur parasimfisis Fraktur yang terjadi antara prosesus alveolaris hingga ke batas inferior batas distal insisivus lateral hingga ke foramen mentalis. 4. Fraktur korpus Fraktur yang terjadi antara prosesus alveolaris hingga ke batas inferior regio antara foramen mentalis hingga ke sisi distal dari molar kedua. 5. Fraktur angulus Fraktur yang terjadi antara prosesus alveolaris hingga ke batas inferior distal molar kedua hingga ke sudut yang dibentuk oleh korpus dan ramus madibula. 6. Fraktur ramus Fraktur horizontal melalui batas anterior dan posterior ramus. 7. Fraktur prosesus kondiloideus Fraktur yang terjadi dari sigmoid notch ke batas posterior ramus mandibula sepanjang aspek superior dari ramus mandibula. 8. Fraktur prosessus koronoideur

Menurut Penyebab Terjadinya Fraktur 1. Fraktur traumatik Trauma langsung (direct),Trauma tersebut langsung mengenai anggota tubuh penderita. Trauma tidak langsung (indirect), Terjadi seperti pada penderita yang jatuh dengan tangan menumpu dan lengan atas-bawah lurus, berakibat fraktur kaput radii atau klavikula. Gaya tersebut dihantarkan melalui

147

tulang-tulang

anggota

gerak

atas

dapat

berupa

gaya

berputar,

pembengkokan (bending) atau kombinasi pembengkokan dengan kompresi yang berakibat fraktur butterfly, maupun kombinasi gaya berputar, pembengkokan dan kompresi seperti fraktur oblik dengan garis fraktur pendek. Fraktur juga dapat terjadi akibat tarikan otot seperti fraktur patela karena kontraksi quadrisep yang mendadak. 2. Fraktur fatik atau stress Trauma yang berulang dan kronis pada tulang yang mengakibatkan tulang menjadi lemah. Contohnya pada fraktur fibula pada olahragawan. 3. Fraktur patologis Pada tulang telah terjadi proses patologis yang mengakibatkan tulang tersebut rapuh dan lemah. Biasanya fraktur terjadi spontan

Menurut Hubungan dengan Jaringan Ikat Sekitarnya 1. Fraktur simple/tertutup, disebut juga fraktur tertutup, oleh karena kulit di sekeliling fraktur sehat dan tidak sobek. 2. Fraktur terbuka, kulit di sekitar fraktur sobek sehingga fragmen tulang berhubungan dengan dunia luar (bone expose) dan berpotensi untuk menjadi infeksi. Fraktur terbuka dapat berhubungan dengan ruangan di tubuh yang tidak steril seperti rongga mulut. 3. Fraktur komplikasi, fraktur tersebut berhubungan dengan kerusakan jaringan atau struktur lain seperti saraf, pembuluh darah, organ viscera atau sendi.

2.6 PEMERIKSAAN KLINIS Evaluasi trauma dilakukan secara menyeluruh, yaitu penanganan jalan nafas, pemeriksaan terhadap pergeseran segmen tulang, traksi manual atau traksi pada lidah dapat menghindarkan obstruksi jalan nafas. Jika perlu dapat dilakukan intubasi orotrakhea pada kasus darurat jalan nafas. Tanda dan gejala terjadinya fraktur adalah adanya maloklusi dihubungkan dengan riwayat trauma seperti terkena pukulan, kecelakaan atau terjatuh. Maloklusi dapat berupa gigitan silang, gigitan terbuka dan prematur kontak.

148

Rasa sakit bersifat akut dan dapat diperberat oleh gerakan ringan bagian yang terluka. Gerakan-gerakan ringan tersebut misalnya waktu berbicara, mengunyah atau waktu palpasi. Pergerakan abnormal dapat diketahui dengan pemeriksaan jari tangan atau palpasi bimanual. Bila digerakkan dengan jari tangan tiap fragmen fraktur akan bergerak sendiri. Pembengkakan atau oedema tampak pada daerah fraktur yang disebabkan oleh keluarnya darah dan serum ke jaringan sekitar14,18. Pemeriksaan pada rahang saat membuka dan menutup mulut dan memperhatikan deviasi rahang atau mobiliti yang terbatas. Retraksi pergerakan tulang merupakan kelainan sekunder yang dapat ditemukan pada fraktur zigomatikus yang mengalami displacement dan berdampak pada prossesus koronoideus mandibula17.

Gambar 2.11 Palpasi bimanual pada mandibula untuk membandingkan struktur anatomis18

Pemeriksaan intraoral memperlihatkan adanya laserasi atau hematoma. Sering menunjukkan terpisahnya gigi yang satu dengan yang lain dan terputusnya kontinuitas dataran oklusal pada bagian yang mengalami fraktur

149

Gambar 2.12 A. Haematom pada dasar mulut; B. Terputusnya kontinuitas dataran oklusal14

150

2.7 PEMERIKSAAN RADIOLOGIS Apabila pemeriksaan klinis sering dapat memberikan gambaran adanya fraktur mandibula, maka evaluasi radiologis diperlukan untuk mempertegas hal tersebut atau memberikan data yang lebih akurat. Evaluasi radiografis terhadap perluasan pergeseran segmen fraktur, secara umum relatif akurat kecuali kalau angulasi dan magnifikasi pemotretan tidak baik. Penentuan terjadinya pergeseran berperan sebagai petunjuk dalam menentukan terapi, tidak usah dirawat atau dilakukan reduksi terbuka16. Pemeriksaan radiologis yang dapat membantu untuk menegakkan diagnosa fraktur mandibula adalah14: a. Panoramik Panoramik menyediakan kemampuan untuk melihat seluruh mandibula dalam satu radiograf. Panoramik membutuhkan pasien tegak, dan tidak memiliki kemampuan melihat secara detail area TMJ, simfisis dan gigi / daerah proses alveolar.

b. Plain film, termasuk pandangan lateral-obliq, oklusal, posteroanterior, dan periapikal, dapat membantu. Pandangan lateral-obliq membantu mendiagnosis ramus, angel, fraktur pada corpus posterior. Bagian kondilus, bicuspid dan daerah simfisis seringkali tidak jelas. Tampilan oklusal mandibula menunjukkan perbedaan di posisi tengah dan lateral fraktur body. Tampilan Caldwell posteroanterior menunjukkan setiap

perpindahan medial ataulateral ramus, sudut, tubuh, atau fraktur simfisis.

c. CT scan juga dapat membantu: CT scan juga memungkinkan dokter untuk survei fraktur wajah daerah lain, termasuk tulang frontal, kompleks naso-ethmoid-

151

orbital, orbit, dan seluruh sistem horizontal dan vertical yang menopang kraniofasial. Rekonstruksi kerangka wajah sering membantu untuk konsep cedera. CT scan juga ideal untuk fraktur condylar, yang sulit untuk memvisualisasikan

Panoramik

Gambar 2.13 Pencitraan fraktur angulus kanan dan simphisis kiri mandibula pada panoramik foto13

Gambar 2.14 Gambaran radiologis fr mandibula dan alveolaris 18

152

Posteroanterior foto

Gambar 2.15 A. Pencitraan fraktur kondilus kiri pada Posteroanterior foto; B. Pencitraan fraktur korpus mandibula dan angulus kiri pada posteroanterior foto15

Lateral oblique foto

Gambar 2.16 Pencitraan fraktur korpus dan angulus kiri mandibula pada Lateral Oblique foto19

Reverse Towne

B Gambar 2.17 A. Pencitraan fraktur kondilus kiri;

B. Pencitraan fraktur korpus dan angulus mandibula kiri19

153

CT SCAN / (COMPUTERED TOMOGRAFI) SCAN

Gambar 2.18 A. Pencitraan fraktur kondilus kiri dengan perobahan letak fragmen kondilus proksimal pada CT scan potongan axial; B. Pencitraan fraktur comminuted ramus mandibula kiri pada CT scan potongan axial19

Gambar 2.19 A. Pencitraan fraktur ramus mandibula kiri pada CT scan direct coronal;

B. Pencitraan fraktur angulus kiri pada CT scan potongan sagital19


3D Imaging

Gambar 2.20 Pencitraan fraktur dengan 3 dimensi 19

154

2.8 TERAPI Adapun tujuan yang ingin didapatkan pada perawatan fraktur mandibula adalah18: 1) 2) 3) 4) 5) Mendapatkan oklusi yang stabil dalam fungsi dan estetik. Memperbaiki pembukaan interinsisal dan pergerakan mandibula. Menciptakan pembukaan mandibula yang maksimal. Meminimalisir deviasi mandibula Menghasilkan artikulasi yang bebas dari rasa sakit pada saat istirahat dan fungsi 6) Mencegah internal derangement pada TMJ sisi cedera atau sisi yang berlawanan. 7) Mencegah komplikasi jangka panjang pada gangguan pertumbuhan.

Prinsip dasar umum dalam perawatan fraktur mandibula ialah sebagai berikut. Evaluasi klinis secara keseluruhan dengan teliti, pemeriksaan klinis fraktur dilakukan secara benar, kerusakan gigi dievaluasi dan dirawat bersamaan dengan perawatan fraktur mandibula, mengembalikan oklusi merupakan tujuan dari perawatan fraktur mandibula. Apabila terjadi fraktur mulitple di wajah, fraktur mandibula lebih baik dilakukan perawatan terlebih dahulu dengan prinsip dari dalam keluar, dari bawah keatas. Waktu penggunaan fiksasi intermaksiler dapat bervariasi tergantung tipe, lokasi, jumlah dan derajat keparahan fraktur mandibula serta usia dan kesehatan pasien maupun metode yang akan digunakan untuk reduksi dan imobilisasi. Penggunaan antibiotik untuk kasus compound fractures, monitor pemberian nutrisi pasca operasi. Terapi fraktur mandibula secara garis besar dibagi menjadi dua bagian yaitu dengan metode closed reduction (reduksi tertutup) dan metode open reduction (reduksi terbuka) Metode reduksi tertutup adalah suatu tindakan reduksi tertutup tanpa melalui suatu tindakan pembukaan tulang untuk memudahkan lapang pandang secara pembedahan. Jenis-jenis reduksi tertutup diantaranya external appliance seperti head bandage, head gear, head frame plaster of paris, intermaxillary fixation seperti interdental wiring fixation dan splint fixation.

155

Gambar 2.21 Head bandage16

Tehnik yang digunakan pada terapi fraktur mandibula secara closed reduction adalah fiksasi intermaksiler. Fiksasi ini dipertahankan 3-4 minggu pada fraktur daerah condylus dan 4-6 minggu pada daerah lain dari mandibula.

Beberapa tehnik fiksasi intermaksilaris ; a. Tehnik Gilmer ; merupakan tehnik yang mudah dan efektif tetapi mempunyai kekurangan yaitu mulut tidak dapat dibuka untuk melihat daerah fraktur tanpa mengangkat kawat. Kawat tersebut dilingkarkan pada leher gigi, kemudian diputar searah jarum jam sampai tegang. Dilakukan pada gigi atas dan bawah sampai oklusi baik. Kemudian kedua kawat atas dan bawah digabungkan dan diputar dengan hubungan vertika maupun silang, untuk mencegah tergelincir ke anterior dan posterior

156

Gambar 2.22 Tehnik Gilmer 19

b. Tehnik eyelet (ivy loop) ; keuntungan tehnik ini bahan mudah didapat dan sedikit menimbulkan kerusakan jaringan periodontal serta rahang dapat dibuka dengan hanya mengangkat ikatan intermaksilaris. Kerugiannya kawat mudah putus waktu digunakan untuk fiksasi intermaksiler

Gambar 2.23 Tehnik eyelet / ivy loop15

c. Tehnik continous loop (stout wiring) ; terdiri dari formasi loop kawat kecil
yang mengelilingi arkus dentis bagian atas dan bawah, dan menggunakan karet sebagai traksi yang menghubungkannya d. Tehnik erich arch bar ; indikasi pemasangan arch bar antara lain gigi kurang/ tidak cukup untuk pemasangan cara lain, disertai fraktur maksila,

157

didapatkan fragmen dentoalveolar pada salah satu ujung rahang yang perlu direduksi sesuai dengan lengkungan rahang sebelum dipasang fiksasi intermaksilaris. Keuntungan penggunaan arch bar ialah mudah didapat, biaya murah, mudah adaptasi dan aplikasinya. Kerugiannya ialah menyebabkan keradangan pada ginggiva dan jaringan periodontal, tidak dapat digunakan pada penderita dengan edentulous luas. e. Tehnik Kazanjian ; dengan menggunakan kawat yang kuat untuk tempat karet dipasang mengelilingi bagian leher gigi. Tehnik ini untuk gigi yang hanya sendiri atau insufisiensi pada bagian dari pemasangan arch bar.

A Gambar 2.24 A. Essig wire; B. Interdental wiring15

Gambar 2.25 Tehnik Kazanjian 15

Indikasi untuk metode reduksi tertutup adalah:18 a) Fraktur menguntungkan tanpa adanya pergeseran tempat ( nondisplace favorable fracture)

158

b) Fraktur comunitted yang luas, karena jika menggunakan open reduction, dapat mengganggu vaskularisasi fragmen tulang yang kecil c) Fraktur pada mandibula edentulus (tidak bergigi), karena open reduction dapat mengganggu vaskularisasi d) Fraktur mandibula pada anak, penggunaan open reduction dapat

merusak benih gigi atau gigi yang sedang tumbuh e) f) Fraktur processus koronoidalis Fraktur kondilus

Keuntungan dari reposisi tertutup adalah lebih efisien, angka komplikasi lebih rendah dan waktu operasi yang lebih singkat. Tehnik ini dapat dikerjakan di tingkat poliklinis. Kerugiannya meliputi fiksasi yang lama, gangguan nutrisi karena adanya MMF, resiko ankilosis TMJ dan problem airway. Keuntungan dari ORIF antara lain ; mobilisasi lebih dini dan reaproksimasi fragmen tulang yang lebih baik. Kerugiannya adalah biaya lebih mahal dan diperlukan ruang operasi dan pembiusan untuk tindakannya. Dalam menangani fraktur mandibula umumnya digunakan lebih dari satu modalitas sebab terdapat banyak variasi biomekanik dan problem klinis untuk mencapai mobilitas fiksasi di regio fraktur. Ada 5 metode yang umum digunakan yaitu dengan biocortical transfacial compression plates pada bagian inferior dengan atau tanpa tension band plate, monocortical transoral miniplates pada bagian superior, paired miniplates, lag screws dan noncompression stabilization plates pada bagian inferior. Hasil yang didapatkan dari pemakaian monocortical osteosynthesis adalah tercapainya netralisasi kekuatan tensi dan kompresi serta rotasi pada garis fraktur sehingga diperoleh reduksi anatomis yang fisiologis, kompresi pada fragmen fraktur dan imobilisasi yang rigid serta perbaikan kekuatan self kompresi fisiologis. Pada angulus mandibula, plat paling baik diletakkan pada permukaan yang paling luas dan setinggi mungkin di daerah linea oblique eksterna. Pada regio anterior, diantara kedua foramen mentalis, disamping plat subapikal perlu juga ditambahkan plat lain di dekat batas bawah mandibula untuk menetralkan

159

kekuatan rotasi pada daerah simfisis tersebut. Pada daerah di belakang foramen mentalis sampai mendekati daerah angulus cukup digunakan satu plat yang dipasang tepat dibawah akar gigi dan diatas nervus alveolaris inferior. Penempatan plat didaerah sepanjang tension trajectory ternyata juga

menghasilkan suatu fiksasi yang paling stabil bila ditinjau dari prinsip biomekaniknya. Pada bagian mandibula yang bergigi, archbar sudah cukup berfungsi menetralkan kekuatan tension, sedangkan pada daerah angulus dan ramus mandibula fungis tersebut baru bisa didapatkan dengan menggunakan plat yang kecil. Fraktur pada daerah angulus mandibula merupakan problem khusus pada perawatan dengan menggunakan rigid internal fixation. Angulus merupakan bagian yang sulit dicapai lewat intraoral karena adanya otot-otot pengunyah dan otot-otot daerah suprahyoid. Batas inferior dari angulus sangat tipis dan tidak mungkin dilakukan suatu kompresi. Adanya gigi molar 3 menyebabkan fraktur mudah terjadi, distraksi dari kontak tulang menghambat reduksi dan vaskular dari sisi fraktur dan dapat menjadi sumber infeksi. Penggunaan rigid internal fixation untuk mencegah hilangnya kontrol segmen proksimal, delayed union dan malunion yang dapat terjadi bila digunakan terapi lain. Metode reduksi terbuka adalah suatu tindakan reduksi dengan cara pembedahan untuk memudahkan lapang pandang. Jenis-jenis dari metode terbuka contohnya interosseus wiring dan fiksasi dengan bone plate and screw. Indikasi reduksi terbuka adalah19 : Fraktur yang tidak menguntungkan pada sudut mandibula Fraktur ini diindikasikan untuk reduksi terbuka bila fragmen proksimal berubah tempat ke arah posterior atau median dan reduksi tidak dapat dipertahankan tanpa intraosseus wiring, skrew dan plat. Fraktur yang tidak menguntungkan pada bodi mandibula atau daerah para simpisis mandibula Otot mylohyoid, digastrikus, geniohyoid dan genioglosus dapat menyebabkan perpindahan fragmen lebih jauh. Ketika dilakukan

160

perawatan reduksi terbuka, fraktur parasimpisis cenderung membuka pada border inferior, dengan aspek dari segmen mandibula berputar ke arah median pada titik fiksasi. Dengan rotasi medial dari body

mandibula, cusp lingual seluruh premolar dan molar bergerak keluar dari kontak oklusal. Kalau konstriksi ini tidak diperbaiki, akan terjadi inefisiensi pengunyahan dan perubahan periodontal yang buruk .

Gambar 2.26 Fraktur menguntungkan dan tidak menguntungkan 19

Fraktur multipel pada tulang wajah Pada kasus ini perawatan reduksi terbuka dari segmen mandibula membuktikan perbaikan yang stabil

Fraktur setengah wajah dan fraktur kondilus bilateral Pada fraktur ini salah satu kondilus yang fraktur harus dirawat dengan reduksi terbuka untuk mempertahankan dimensi vertikal wajah. Kalau prosedur ini tidak menyelesaikan masalah tipe wiring apapun, seperti dari sutura frontozygomatikus ke daerah mandibula, cenderung gagal dan memaksa fraktur setengah wajah berhimpitan dengan kondilus yang menyebabkan profil wajah menjadi lebih pendek.

Fraktur edentolous mandibula dengan perpindahan yang hebat fragmen fraktur Pada fraktur ini reduksi terbuka dianggap bisa membuat kembali kontinuitas mandibula. Tehnik ini berguna terutama pada mandibula yang nonatropic pada saat tidak ada gigi tiruan, sehingga oklusinya tidak menjadi pertimbangan langsung. Pada situasi ini memberikan

161

plat

pada mandibula tanpa intermaxilary fixation merupakan Ketika mandibulamenjadi atropik secara

kemungkinan yang kuat.

ekstrim, harus dipertimbangkan status dari suplai darah ke tulang dan efek dari prosedur reduksi terbuka pada kompromi vaskularisasi. Pencangkokkan tulang harus dipeertimbangkan pada fraktur mandibula yang mengalami atropic secara ekstrim. Edontolous maksila dengan Fraktur mandibula Adanya fraktur mandibula dengan edentolous maxila merupakan

kesulitan untuk dilakukan intermaxilary fixation, maka harus dilakukan metode open reduction. Metode ini dengan fiksasi rigid dengan fraktur mandibula akan menggantikan kebutuhan intermaxilary fiksation. Jika diperlukan close reduction maka perlu adanya prostetik pada maxilla, dan dapat distabilkan dengan palatal screw atau circum zygomatic wires. Perawatan yang tertunda dan Interposisi jaringan lunak antara fragmen fraktur yang tidak kontak Ketika perawatan tertunda dan jaringan lunak ada diantara fragmen fraktur maka diperlukan metode open reduction. Alasan ditundanya perawatan karena adanya luka kepala atau adanya masalah medis yang serius, sehingga terjadi jaringan penghubung antara fragmen fraktur yang menghambat osteogenesis. Malunion Ketika hasil perawatan fraktur mandibula yang buruk, berbagai tipe osteotomi diperlukan untuk memperbaiki kekurangannya. Kondisi sistemik tertentu yang merupakan kontraindikasi

intermaxillary fixation Pada situasi dimana mandibula harus tetap bergerak, contohnya pada pasien yang mengalami kesulitan mengontrol akibat serangan yang tiba-tiba atau epilepsi, masalah psikiatrik dan neurologik, fungsi paru yang harus dikompromikan, dan kelainan gastrointestinal. Fraktur yang membutuhkan osteotomy/ Orthognathi Surgery

162

Fraktur yang membutuhkan bone graft.

Ada banyak metode perawatan fraktur mandibula dengan reduksi terbuka diantaranya12,20: Pendekatan Bedah Sebelum melakukan operasi pada fraktur mandibula, operator harus memperhatikan sudut mulut pada lapangan operasi untuk memonitor aktifitas nervous facialis dan untuk meyakinkan anestesiologist tidak membuat pasien paralisis dalam waktu yang lama. Faktor yang harus diperhatikan adalah isolasi fraktur, garis wajah dan posisi nervous. Pendekatan bedah sendiri antara lain (Gambar 3) : Pendekatan submandibular Pendekatan retromandibular Pendekatan preauricular

Gambar 2.27 Insisi submandibular dan preauricular19

Pendekatan Submandibular Pendekatan ini dikenalkan tahun 1934 oleh Risdon. Panjang incisi 4 cm sampai 5 cm, 2 cm dibawah angulus mandibularis. Incisi kulit harus diletakkan pada lipatan kulit untuk menghindari jaringan parut dan dibuat pada sudut yang tepat. Lemak subkutan dan superficial fascia dipisahkan untuk mencapai muskulus platymus. Lalu muskulus platymus dipotong untuk mencapai lapisan superficialis pada bagian dalam fascia cervicalis, cabang mandibula marginal dan nervus facialis terletak pada lapisan ini, sehingga sangat penting untuk diketahui.

163

Baik anterior atau posterior arteri facialis, seluruh cabangnya berinervasi pada depressor bibir bawah, bagian belakang batas inferior dari mandibula. Pemisahan ke tulang melewati fascia cervicalis yang dalam dengan menggunakan nerve stimulator. Pemotongan dilanjutkan antara fascia sampai kebatas inferior mandibula. Kelenjar submandibular dan capsulnya, akan menjadi bukti dan kutub paling bawah dari parotis dapat ditemukan. Pemotongan dilanjutkan pada muskulus masseter dan bagian atas nervus diretraksi. Setelah otot dilewati lalu dipisahkan pada batas inferior untuk melihat tulang. Otot, periosteum dan jaringan lunak dipisahkan untuk jalan melihat body, ramus, dan sisi fraktur. Jika pembuluh darah facialis tidak dapat ditarik sempurna dapat dipisahkan dan diikat. Submandibular nodus lympaticus dapat diidentifikasi berdekatan dengan pembuluh darah facial. Pembukaan dapat dikurangi dan penutupan dapat diperbaiki dengan penarikan pterygoid medialis dan ligament stylomandibular dari batas interior dan posterior. Pembukaan lebih jauh dapat dicapai dengan menarik sudut dan batas inferior dengan kawat atau forcep tulang. Kelenjar submandibularis dan kapsulnya biasanya berlokasi dibagian batas inferior dari mandibula. Kelenjar parotis biasanya di posterior ramus tetapi bisa terletak mengelilingi sudut inferior. Kapsul keduanya harus dipisahkan selama Sin loceles atau fistula

pemisahan. Kerusakan kelenjar dapat menyebabkan salivarius.

Pendekatan Retromandibular Hinds dan Birroti pertama kali menerangkan pendekatan lekatan retromandibular pada tahun 1967. Pada dasarnya pendekatan ini merupakan variasi dari pendekatan submandibular kecuali incisinya kurang lebih 3 cm, diatas incisi submandibular (Gambar 2.28)19. Incisinya juga digambarkan mengikuti sudut mandibula. Incisinya dibuat untuk memasuki parotis, masseter dan fascia cervicalis bagian dalam. Pemisahan lalu meluas ke anterior, melalui fascia cervicalis yang lebih dalam dengan menggunakan stimulus otot. Insisi ketulang melewati muskulus masseter biasanya diantara margin mandibular dan cabang buccal dari nervus facialis. Otot dan perios diinsisi melewati sudut termasuk

164

batas inferior. Jaringan lunak dan nervus kemudian ditarik ke superior. Incisi ini memperlihatkan akses superior dari ramus dan regio subkondilus mandibula.

Gambar 2.28 Insisi retromandibular19

Pendekatan Preauricular Insisi ini digunakan untuk melihat daerah TMJ dan dengan mudah diperluas melewati daerah temporal. Pada insisi ini ditemukan pembuluh darah temporalis superfisialis, yang dapat dihindari dengan menginsisi sepanjang cartilago preauricular. Insisi dibuat kira-kira sepanjang 2,5 - 3.5 cm pada daerah lipatan preauricular. Lipatan preauricular didapat dengan menekan telinga dan tragus ke depan. Insisi dibuat 45 pada zygoma dari arah superior telinga ke arah inferior perlekatan antara dagu dan telinga (Gambar 2.29).

Gambar 2.29 Macam-macam Insisi untuk daerah TMJ19

165

Akses Intra Oral Simpisis dan Parasimpisis Perawatan fraktur anterior mandibula dapat melalui incisi intraoral. Pertama dilakukan anestesi dengan lokal anestesi dan vasokonstriktor. Bibir ditarik dan dibuat insisi curvilinear tegak lurus permukaan mukosa. Musculus mentalis terlihat dan harus diinsisi tegak lurus dengan tulang meninggalkan flap dari perlekatan otot ke tulang untuk penutupan (Gambar 6).

Gambar 2.30 Akses Intra oral pada fraktur parasimpisis19

Pemotongan diteruskan ke arah subperiosteal untuk mengidentifikasikan mental neurovascular borde dibawah premolar kedua maka daerah fraktur terlihat. Setelah selesai perawatan fraktur muskulus mentalis dijahit dengan jahitan terputus. Mukosa lalu ditutup, dan penggunaan adhesif bandage pada dagu untuk mendukung musculus mentalis.

Body, Sudut dan Ramus Setelah dilakukan anestesi, dagu ditarik ka arah lateral. Mukosa diinsisi dengan pisau tegak lurus terhadap tulang untuk menjauhi nervus mentalis. Insisi dibuat kurang lebih 5 mm dari mukogingival junction untuk mendapatkan stabilitas jaringan ketika penutupan. Bagian proksimal dari insisi harus

disepanjang external oblique ridge, setinggi oklusal plane mandibula.

166

Internal fiksasi Untuk Pasien fraktur yang hanya mengalami fraktur yang sederhana serta masih terdapat gigi dan oklusi yang baik, tehnik close reduction dengan fiksasi maxillamandibular sudah cukup untuk treatment frakturnya. Untuk fraktur multipel dan fraktur dengan pergerakan yang berat maka diperlukan penggunaan internal fiksasi yang dikombinasikan dengan fiksasi maksilomandibular.

Gambar 2.31 Interosseus wiring15

Transosseus wiring fixation20 Metode tradisional untuk stabilisasi tulang setelah dilakukan open reduction dengan menggunakan kawat untuk mengikat dan mengimobilisasi tulang (Gambar 2.32). Bahan yang diperlukan adalah: periosteotome bone rongeur mallet, chisel, cutting wire bone forceps, pistol drill, key dan drill point stainless stell wire, 24 dan 30

Pembuatan lubang menggunakan bor berkecepatan rendah pada awalnya lalu kecepatan makin meningkat, sambil diberikan larutan normal salin. Setelah itu baru kawat bisa diinsersikan.

167

Gambar 2.32 Parameter pembuatan lubang dan pengikatan20

Hal yang harus diperhatikan pada penempatan penempatan lubang adalah : a. b. c. d. Jarak garis fraktur pada outer cortex Jarak ke batas bawah Jarak garis fraktur pada inner cortex Kedekatan lubang dengan kanalis mandibularis, foramen mentalis dan akar gigi e. f. Ukuran dari lubang Orientasi dari bidang fraktur ke panjang tulang

Teknik pemasukkan kawat pada fraktur : 1. Kawat langsung dimasukkan ke dalam lubang yang telah dibor 2. Kawat dimasukkan melewati hipodermic needle 3. Dengan membuat kawat seperti hairpin loop

Gambar 2.33 Teknik pemasukkan kawat20

168

Gambar 2.34 Pelindungan jaringan pada pembuatan lubang20

Gambar 2.34 Teknik simple wiring; B. Figure-of-eight wire; C. Transosseus circum-mandibular wire 15

Fiksasi dengan Bone Plate dan Screw Metode ini menggunakan bone plate dan bone screw untuk menyatukan fragmen fraktur, maka fragmen fraktur akan lebih stabil dan kaku selama penyembuhan. Walaupun menggunakan menggunakan fiksasi yang kaku

diperlukan adanya penyesuaian oklusi terlebih dahulu sebelum dilakukan fiksasi. Plate dipasang melintang melewati garis fraktur. Jenis plate yang

digunakan bermacam-macam ada yang yang lurus dengan beberapa lubang untuk dimasukkan screw (Gambar 11), ada juga yang membulat sehingga dapat dipasang pada margo inferior mandibula (Luhr Mandibular Plate) Gambar 2.3517.

169

Gambar 2.35 Luhr's Mandibular Plate17

Gambar 2.36 Penggunaan Plate dan Screw berdasarkan Champy Line 17

Gambar 2.37 A. Fraktur korpus mandibula; B. Fiksasi dengan plate dan screw15

Gambar 2.38 Plat & Lag Screw17

170

Gambar 2.39 Fiksasi Intermaksiler17

Kontraindikasi penggunaan MMF ; penderita epilepsy, gangguan jiwa dan gangguan fungsi paru. Tolak ukur keberhasilan operasi pemasangan plat mini maupun IOID wiring pada mandibula adalah oklusi yang baik, tidak trismus. Jangan tergesa melakukan fiksasi sebelum yakin oklusinya sudah sempurna. Posisi plat jangan terlalu tinggi karena sekrup akan menembus saraf/akar gigi. Permukaan tulang bersih dari jaringan ikat dan jaringan lunak sehingga plat betul-betul menempel pada tulang mandibula. Untuk penggunaan bor, sebaiknya arah matabor tangensial, stabil dan arah obeng juga sesuai dengan arah bor sebelumnya. Gunakan mata bor diameter 1.5mm dengan kecepatan rendah menembus 1 korteks dikukur kedalamannya kemudian dipasang sekrup yang panjangnya sesuai dengan tebal satu korteks.Pemasangan sekrup dimulai dari satu sisi terlebih dahulu kemudian menyebrang menyilang pada sisi plat satunya. Secara umum lamanya penggunaan IMF untuk orang dewasa dengan fraktur mandibula adalah 6-8 minggu. Namun, lamanya penggunaan IMF ini bukan tanpa konsekuensi. Sering pasien berlanjut untuk kehilangan berat badan

171

selama masa ini, mereka tidak mampu untuk kembali bekerja dan ada beberapa bukti yang menunjukkan adanya perubahan histologis pada TMJ. Juniper dan Awty mampu menunjukkan 80% fraktur mandibula yang dirawat dengan open reduction atau closed reduction dan IMF secara klinis menyatu dalam 4 minggu. Terlihat bahwa kasus pada tiap individu harus dievaluasi secara seksama, kebanyakan fraktur sederhana pada anak-anak menyatu dalam 2-3 minggu, pada orang dewasa 3-4 minggu dan pada pasien yang lebih tua 6-8 minggu. Situasi yang secara umum membutuhkan IMF yang lebih lama: fraktur comminuted, fraktur pada alkoholik, pasien dengan problem nutrisi, pasien cacat secara psikososial, fraktur yang terlambat dirawat, dan fraktur dengan pencabutan gigi pada garis fraktur16.

172

BAB III FRAKTUR KONDILUS MANDIBULA ( Fraktur TMJ )

Fraktur kondilus merupakan salah satu fraktur yang melibatkan sendi temporomandibula sehingga dapat menyebabkan gangguan sendi temporomandibula. Komplikasi yang sering terjadi akibat fraktur kondilus adalah ankylosis dan gangguan sendi temporomandibula 8,19,21,22,23. Penatalaksanaan fraktur kondilus memerlukan perhatian khusus dan dapat dilakukan dengan metode tertutup atau konservatif dan terbuka atau bedah 8,19,24.

Etiologi Data yang diambil dari etiologi terjadinya fraktur kondilus mandibula adalah sebagai berikut 8: Kecelakaan kendaraan bermotor : 43% Penyerangan/perkelahian : 34% Kecelakaan kerja : 7% Jatuh : 7% Kecelakaan olah raga : 4% Penyebab lainnya : 5% Persentase terjadinya fraktur kondilus mandibula dibandingkan dengan lokasi lainnya pada mandibula sebagai berikut 19: Body mandibula : 29% Kondilus mandibula : 26% Angle mandibula : 25% Simfisis mandibula : 17% Ramus mandibula : 4% Prosesus koronoideus : 1%

173

Diagnosa dan gejala klinis Jenis dan arah kekuatan trauma sangat membantu diagnosa. Obyek yang menyebabkan fraktur juga mempengaruhi jenis dan banyaknya fraktur, apabila obyeknya besar maka dapat menyebabkan fraktur lebih dari satu lokasi dan sebaliknya bila kecil akan menyebabkan satu jenis fraktur karena kekuatan impaknya hanya terkonsentrasi pada satu lokasi 19. Pengetahuan arah kekuatan impak dapat membantu klinisi mendiagnosa fraktur dengan tepat. Blow anterior yang langsung mengenai dagu dapt menghasilkan suatu fraktur kondilus bilateral, sedangkan blow ke arah parasimfisis dapat menyebabkan fraktur kondilus kontralateral atau angle mandibula. Seorang penderita dengan gigi-gigi yang terkunci pada saat terjadinya impak akan menyebabkan terjadinya suatu fraktur alveolar atau gigi 19.

Gambar 3.1. Gigitan terbuka pada fraktur kondilus25

Semua perubahan oklusi merupakan tanda adanya fraktur kondilus mandibula. Pada pemeriksaan klinis harus ditanyakan pada penderita apakah gigitannya terasa berbeda. Perubahan oklusi dapat dihasilkan dari fraktur gigi, fraktur alveolar, fraktur mandibula pada semua lokasi dan trauma pada sendi temporomandibula serta otot-otot pengunyahan. Kontak prematur gigi posterior atau gigitan terbuka anterior dapat disebabkan fraktur kondilus bilateral atau angle. Oklusi retrognatik biasanya berhubungan dengan fraktur kondilus atau angle dan oklusi prognatik dapat terjadi pada sangat menonjol pada fraktur sendi temporomandibula. Semua contoh tersebut hanya beberapa disharmoni oklusi multiple yang muncul akan tetapi setiap perubahan oklusi harus dipertimbangkan sebagai tanda awal suatu fraktur kondilus mandibula19. Setiap penderita dengan

174

fraktur kondilus mandibula mempunyai keterbatasan pembukaan. Meskipun demikian fraktur kondilus mandibula yang sesungguhnya atau berhubungan dengan fraktur fasial menghasilkan pergerakan mandibula abnormal. Deviasi pada saat pembukaan ke arah sisi fraktur kondilus mandibula merupakan contoh klasik tanda fraktur kondilus. Deviasi terjadi karena otot pterygoideus lateralis yang berfungsi pada sisi yang tidak terpengaruh tidak dinetralkan oleh otot pterygoideus lateralisnya yang tidak berfungsi sisi berlawanan, maka terjadilah suatu deviasi. Pergerakan mandibula lateral dapat dihambat oleh fraktur kondilus dan fraktur ramus dengan pergeseran tulang19.

Gambar3.2. Kiri: pergerakan normal mandibula. Kanan: pergerakan abnormal mandibula25

Gambar 3.3. Kiri: deviasi mandibula ke arah fraktur. Kanan: efek tarikan otot pada fraktur kondilus25

175

Pada pemeriksaan klinis sebaiknya memeriksa wajah dan mandibula dengan kontur yang abnormal, meskipun pada kontur fasial mungkin tertutupi pembengkakan. Gambaran wajah yang memanjang diakibatkan fraktur subkondilus, angle atau body, diikuti dengan mandibula bergeser ke bawah. Asimetri wajah sebaiknya diperhatikan klinisi terhadap kemungkinan fraktur kondilus mandibula. Pemeriksaan mendalam terhadap kehilangan gigi dan tulang pendukung dapat membantu diagnosa fraktur alveolar, body dan simfisis. Klinisi sebaiknya melakukan palpasi dengan menggunakan kedua tangannya, dengan cara meletakkan ibu jari pada gigi dan telunjuk pada batas bawah mandibula secara hati-hati dan perlahan-lahan memberikan tekanan diantara kedua tangan hingga dapat mendeteksi krepitasi fraktur19. Rasa sakit, kemerahan, pembengkakan dan panas yang terlokalisir merupakan tanda yang awal yang sempurna suatu trauma dan meningkatkan indeks kecurigaan adanya fraktur mandibula19.

Pemeriksaan Radiologis Penetapan diagnosis dari fraktur kondilus dapat ditegakkan dar pemeriksaan radiologis yang sering digunakan sebagai dasar penegakan diagnosis. Untuk melihat fraktur kondilus dapat dilakukan pemeriksaan radiolog dengan cara: panoramik, lateral oblique mandibula, townes view, posteroanterior mandibula dan transkranial mandibula. Teknik pencitraan yang lebih jauh adalah CT scan dan MRI digunakan untuk trauma yang lebih kompleks dari kondilus 26,27.

Klasifikasi Menurut De Riu (2001) klasifikasi fraktur kondilus disesuaikan dengan lokasi anatomi (intrakapsuler dan ekstrakapsuler) dan derajat dislokasi kepala artikuler. Klasifikasi fraktur kondilus menurut Lindahl (1977) didasarkan pada beberapa faktor, yaitu: (1) lokasi anatomis fraktur, (2) relasi segmen kondilus terhadap segmen mandibula, (3) relasi kepala kondilus terhadap fossa glenoideus.

176

Sistim klasifikasi ini memerlukan pencitraan radiografik yang diperoleh sekurangkurangnya dua gambar dari sudut yang tepat 26. 1. Ketinggian fraktur kondilus a. Kepala kondilus. Meskipun sangat sulit mendefinisikan dengan tepat kepala kondilus secara radiografik, akan tetapi sangat mudah untuk melihat penyempitan leher kondilus dan kepala kondilus bersandar di atasnya. Fraktur kondilus, melihat definisinya, merupakan fraktur intrakapsular karena kapsul melekat pada leher kondilus. Fraktur ini mungkin digolongkan sebagai fraktur vertikal. b. Leher kondilus. Leher kondilus merupakan daerah penyempitan tipis di bawah kepala kondilus. Fraktur ini merupakan fraktur

ekstrakapsular. c. Subkondilus. Regio ini terdapat di bawah leher kondilus dan memenjang dari titik terdalam sigmoid notch anterior hingga titik terdalam aspek konkaf poterior ramus mandibula. Berdasarkan lokasi fraktur maka fraktur ini sering disebut sebagai fraktur subkondilus tinggi atau rendah.

2. Relasi segmen kondilus terhadap fragmen mandibula a. Nondisplaced b. Deviated. Pada fraktur ini, fragmen tetap dalam kontak tanpa separasi atau overlap c. Displacement ke arah medial atau overlap lateral. Tarikan muskulus pterygoideus lateral menyebabkan fragmen bergeser ke arah medial d. Displacement ke arah anterior atau overlap posterior e.Tidak ada kontak antara fraktur segmen

3. Relasi antara kepala kondilus dan fossa glenoideus a. Nondisplaced. Kepala kondilus mempunyai relasi normal terhadap fossa glenoid

177

b. Displacement. Kepala kondilus tertinggal dalam fossa, tetapi ada gangguan sendi c. Dislokasi. Adanya tarikan muskulus pterygoideus lateralis

menyebabkan segmen kondilus terletak anteromedial.

Gambar 3.4 Klasifikasi menurut Lindahl19

Perawatan Perawatan fraktur kondilus mandibula masih kontroversial, terutama disebabkan banyaknya modalitas yang ditawarkan oleh berbagai macam literatur. Tujuan perawatan fraktur kondilus adalah mengembalikan fungsi sistim pengunyahan seperti asalnya, rekonstruksi tersebut melibatkan hubungan antara segmen fraktur, oklusi, keseimbangan maksilofasial. Perawatan fraktur kondilus dapat dilakukan dengan cara konservatif atau metode tertutup dan bedah atau metode terbuka 8,19,21,28.

Metode tertutup atau konservatif Fonseca (1997) menyatakan bahwa komplikasi selama perawatan konservatif sangat jarang terjadi. Indikasi perawatan fraktur kondilus dengan konservatif bila displacement yang terjadi minimal atau tidak ada atau bila garis fraktur terlalu tinggi sehingga sulit dilakukan stabilisasi secara bedah21. Perawatan fraktur kondilus dengan cara konservatif sangat sederhana. Pengawasan yang ketat wajib dilakukan untuk melihat ketidakstabilan oklusi, deviasi pad saat pembukaan, peningkatan rasa nyeri, evaluasi klinis dan radiografi. Immobilisasi melibatkan intermaxillary fixation (IMF) dengan menggunakan arch bar, eyelet

178

wires atau splint. Lamanya immobilisasi rata-rata sekitar 7 hingga 21 hari. Periode ini dapat meningkat atau menurun tergantung pada umur penderita, derajat pergeseran dan danya fraktur tambahan. Apabila intermaxillary fixation telah dilepas maka diikuti dengan penggunaan elastic guidance untuk mengarahkan mandibula pada posisi maximal intercuspation. Selanjutnya bila penderita telah mempunyai kemampuan fungsional kembali dan oklusi tetap stabil serta rasa sakit minimal maka elastic guidance dan arch bar dilepas19,8.

Gambar 3.5 Pemakaian arch bar dan splint pada fraktur kondilus19

Metode terbuka atau bedah Perawatan dengan metode terbuka diindikasikan bila 19,21,8,23: Displacement kondilus ke dalam fossa cranial media Oklusi yang adekuat tidak mungkin didapatkan dengan metode tertutup Dislokasi kondilus ekstrakapsular lateral Fraktur kondilus bilateral pada pasien tidak bergigi Fraktur kondilus bilateral atau unilateral bila splinting tidak direkomendasikan karena keadaan umum pasien atau karena fisioterapi tidak memungkinkan. Fraktur kondilus bilateral akibat fraktur wajah tengah comminuted Ankylosis kondilus mandibula akibat trauma dan tertunda perawatannya

179

Tiga teknik yang terpisah untuk fiksasi rigid pada perawatan fraktur kondilus dengan metode terbuka, yaitu: (1) sistim bikortikal Luhr dengan penggunaan plat vitallium, (2) sistim Arbeitgemeinschaff fur Osteosynthesefragen/sistim Association for the Study for Internal Fixation (AO/ASIF) dengan penggunaan stainless steel compression atau plat rekonstruksi dengan bicortical screws dan (3) Teknik Champy miniplate digunakan sepanjang line of ideal osteosynthesis memakai moncortical screws8. Pemakaian IMF dilakukan selama 3 minggu, ikatan diperkuat tiap minggu, setelah wires dilepas, dilakukan penilaian status sendi temporomandibula terutama jarak pembukaan, pergerakan mandibula dan gejala-gejala yang timbul selama sendi berfungsi. Apabila oklusi belum stabil maka penggunaan elastic guidance selama 2-3 minggu sangat dianjurkan agar adaptasi neuromuscular dapat tercapai. Apabila oklusi telah stabil maka elastic guidance dapat dilepas dan fisioterapi dilakukan dengan penempatan tongue-blade diantara insisif sentral untuk mencegah keterbatasan permanen ankylosis8,19.

Gambar 3.6. Pemakaian monocortical screws19

Kondilektomi merupakan salah satu teknik untuk membebaskan ankylosis dan tetap mempertahankan arsitektur sendi temporomandibula. Metode tersebut telah banyak menunjukkan keberhasilan dan jarang menimbulkan reankylosis.

180

Fiksasi intermaksiler diaplikasikan dalam periode yang pendek, diikuti dengan pengawasan yang ketat serta perawatan fisioterapi selama setahun19. Metode pendekatan yang sering digunakan untuk melakukan kondilektomi, yaitu pre auricular approach, endaural approach, inverted hockey stick approach, Risdon approach, post auricular approach8.

181

Gambar 3.7 Metode pendekatan bedah pada kondilektomi19

Gambar 3.8 Pre auricular approach26

Gambar 3.9 Post auricular dan Risdon approach26

Komplikasi Komplikasi fraktur kondilus mandibula selama perawatan jarang terjadi dan yang paling sering terjadi 19,21,22,8,24 :

Maloklusi Maloklusi yang sering terjadi setelah trauma kondilus dapat disebabkan karena perubahan dari pusat pertumbuhan kondilus dan penyatuan dari segmen fraktur pada posisi yang tidak seharusnya.

182

Ankylosis sendi temporomandibula Ankylosis dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat keterbatasan, lokasi perlekatan dan tipe jaringan yang terlibat. Faktor-faktor ini berpengaruh pada pendekatan penatalaksanaan yang akan dilakukan. Hasil akhir kelainan tersebut akan menyebabkan keterbatasan pergerakan mandibula sehingga terjadi gangguan bicara, kesehatan mulut dan nutrisi. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya ankylosis adalah umur pada saat terjadi injuri, tempat dan tipe fraktur, lamanya immobilisasi dan kerusakan diskus. Deviasi ke sisi fraktur dapat terjadi pada unilateral, sedangkan pada bilateral ankylosis menunjukkan adanya gigitan terbuka anterior dan hampir pembukaan mulut hampir tidak ada 19,21.

Gangguan pertumbuhan Beberapa factor yang mempengaruhi efek dari fraktur kondilus terhadap pertumbuhan kerangka wajah yaitu usia pasien, tingkat keparahan trauma, dan lamanya immobilisasi. Kartilago kondilar merupakan pusat utama pertumbuhan mandibula. Dimana cap kartilago memberikan tekanan sehingga mandibula tumbuh ke arah depan dan bawah. Gangguan seperti displacement mandibula dan aposisi tulang diregio kondilus dapat memyebabkan gangguan pertumbuhan mandibula, demikian pula dengan pembentukan jaringan parut fibrous di daerah cedera temporomandibular dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan

Gangguan sendi temporomandibula lainnya Internal derangement akibat fraktur kondilus dihasilakan dari trauma langsung pada sendi. Kerusakan yang terjadi pada fraktur kondilus dapat menimbulkan dearangement sekunder pada sendi kontralateral sehingga terjadi overloading pada sendi yang tidak terkena injuri, hypermobility dan kadangkadang disk displacement. Gejala komplikasi tersebut di atas sering disebut dengan condylar post fracture syndrome 19.

183

BAB IV PENYEMBUHAN TULANG DAN KOMPLIKASI PASCA PENYEMBUHAN

Tulang merupakan jaringan keras yang membentuk tubuh manusia. Berat tulang hanya sepersepuluh dari berat badan, namun demikian tulang sangatlah kuat, elastis serta mampu melakukan regenerasi bila mengalami trauma/fraktur 29.

3.1 Gambaran Histologis Struktur Tulang Karakteristik dari tulang mempunyai struktur yang bagian luarnya tersusun atas tulang kompak yang disebut kortek dan pada bagian dalam yang berbentuk seperti anyaman adalah tulang kanselus/spongious/trabecular. Pada Tulang yang mengandung lebih banyak substansi tulang spongios dibanding tulang kompak disebut cancellous, dimana tulang rahang termasuk dalam golongan tulang ini. Urutan lapis demi lapis struktur tulang dari luar ke dalam adalah: periosteum, substansia kompakta, substansia spongiosa, endosteum dan kavum medullare29. Tulang dilapisi oleh jaringan fibrous yang disebut periosteum, dimana pada lapisan dalam periosteum terdapat pembuluh darah, limfe, dan sel-sel osteoprogenitor yang mempunyai potensi osteogenik yang sangat berperan aktif pada penyembuhan fraktur tulang. Di bagian dalam tulang terdapat rongga medula/sumsum tulang, yang dibatasi oleh endosteum yang juga mengandung sel-sel osteoprogenitor. Unit fungsional tulang disebut juga sistem havers atau osteon yang terdiri atas kanal havers sentral yang dikelilingi oleh lapisan konsentris tulang/ lamela. Lamela tulang yang mengelilingi kanal havers mempunyai lakuna yang mengandung osteosit yang mengatur aktivitas selular tulang29.

184

Gambar 4. 1. Gambaran Histologis Jaringan Tulang29

3.2 Komposisi Tulang Komposisi tulang terdiri dari 8% air dan 92% benda padat yang tersusun atas unsur organik, anorganik dan sel-sel tulang. 1. Unsur organik Unsur organik yang merupakan matrik tulang tersusun dari 28% kolagen dan 5% nonkolagen protein. 2. Unsur selular Terdapat tiga jenis sel utama tulang yaitu : Osteoblas, osteosit dan osteoklas29 2.1 Osteoblas Osteoblas berfungsi dalam sintesa matrik tulang yang berperan dalam pertumbuhan, perbaikan dan remodelling tulang. Osteoblas berasal dari sel yang terdapat pada lapisan dalam periosteum atau dari diferensiasi sel-sel mesenkim. 2.2 Osteosit Osteosit yang berasal dari osteoblas yang terperangkap dalam matrik tulang yang mengalami mineralisasi. Sel ini berperanan dalam nutrisi tulang berupa transfer oksigen dan metabolit/ kalsium). 2.3 Osteoklas Osteoklas merupakan sel tulang yang berfungsi dalam resorbsi tulang. Sel ini mengandung enzim lisosim seperti asam

185

fosfat dan katepsin. Bila sel ini berkontak dengan permukaan tulang maka akan berpenetrasi ke dalam tulang dan mengeluarkan enzimnya sehingga terjadi resorbsi tulang. 3. Unsur anorganik Komposisi tulang secara kimiawi terdiri dari 67% bahan anorganik (Hydroxyapatite), dimana unsur utamanya berupa garam anorganik hidroksiapatit kristalin, Ca10(PO4)6(OH)2. Kristal tulang ini tersusun sejajar dengan sumbu serat kolagen.

3.3 Fungsi Tulang Tulang mempunyai dua fungsi utama yaitu: fungsi mekanis dan biokimia. Fungsi mekanis tulang meliputi: 1. Fungsi sebagai rangka 2. Persendian 3. Tempat perlekatan otot 4. Melindungi alat-alat tubuh penting. Sedangkan fungsi biokimiawinya sebagai tempat penimbunan kalsium dan fosfor dalam proses menjaga keseimbangan kadar mineral di dalam darah.

3.4 Penyembuhan Jaringan Keras Tulang Pada proses penyembuhan fraktur tulang terdapat fase penyembuhan primer dan sekunder, sebagai berikut : 1. Penyembuhan primer. 1.1 Penyembuhan pada celah (Gap Healing) Meskipun fiksasi stabil pada fragmen fraktur, biasanya reduksi anatomis yang sempurna jarang terjadi. Pada beberapa bagian segmen tulang dapat terjadi adanya celah yang kecil. Pada bagian ini akan terjadi proses penyembuhan dalam waktu beberapa hari setelah fraktur. Pembuluh darah dari periosteum, endosteum dan sistem havers akan menginvasi celah dan membawa sel-sel osteoblastik mesenkim yang akan mendeposit tulang pada fragmen fraktur tanpa

186

melalui pembentukan kalus. Bila fragmen fraktur kurang dari 0,3mm akan terbentuk langsung tulang lamelar. sedangkan celah antara 0,5 1,0 mm akan terisi oleh woven bone selanjutnya dalam ruang

trabekula akan terisi oleh tulang lamela. Dalam waktu 6 minggu tulang lamelar akan tersusun tegak lurus terhadap fragmen fraktur, kemudian proses remodeling akan merubah sejajar dengan sumbu tulang. 1.2 Penyembuhan kontak (contact healing) Penyembuhan kontak terjadi pada fragmen fraktur yang tidak terjadi kontak. Proses ini terjadi melalui regenerasi tulang dimana terjadi aktivitas osteoklas pada bagian fraktur yang menyediakan

tempat untuk pertumbuhan dan proliferasi osteoblas guna membentuk tulang baru. Rekonstruksi lengkap dari kortek tulang memerlukan waktu hingga 6 bulan.

Gambar 4.2. Penyembuhan primer 29

2. Penyembuhan sekunder 2.1 Tahap awal Pada fraktur tulang akan menimbulkan reaksi inflamasi disertai dengan pengaktifan sistem pertahanan tubuh yang menginduksi pelepasan sejumlah angiogenik vasoaktif sehingga terjadi vasodilatasi dan oedema dalam beberapa jam. Perdarahan pada pembuluh darah endosteum, periosteum dan sistem havers menyebabkan hematoma,

187

fragmen tulang mengalami deposit tulang oleh sel-sel osteoblas dari periosteum, sedangkan sumsum tulang akan mengalami degenerasi lemak. Hematoma yang terjadi mengandung eritrosit , fibrin, makrofag, limposit, PMN, mastosit dan platelet. Platelet akan berdegranulasi Zmelepaskan PDGF (Platelet Derived Growth Factor),

FGF(Fibroblastic Growth Factor)

yang bersifat kemoatraktan dan

mitogenik sehingga dalam waktu 8 - 12 jam akan terjadi proliferasi selular lapisan luar periosteum seperti osteoblas, fibroblas dan sel kondrogenik (gambar 3). Terjadi pembentukan kapiler yang bersama kolagen yang berasal dari fibroblas membentuk jaringan granulasi. Keadaan ini memicu aktivitas sel makrofag untuk membersihkan jaringan nekrotik15, 29,30.

Gambar 4.3. Pase awal stage fibroplastik pembentukan tulang15

2.2 Tahap kalus kartilogenus (soft callus) Pada hari ketiga sampai kelima jaringan granulasi akan

berkondensasi membentuk kalus yang terjadi baik internal maupun eksternal (gambar 3), fibroblas bermigrasi dan membentuk kolagen selanjutnya berdeferensiasi menjadi kondroblas yang membentuk kartilago, terjadi kalsifikasi kartilago yang menyebabkan kondroblas berubah menjadi kondrosit. Osteoblas bertambah banyak dan osteoklas mulai nampak. Kalus yang terbentuk akan menstabilkan ujung fragmen

188

fraktur sehingga menguatkan tulang. kalus kartilagenous terisi oleh pembuluh darah yang akan meningkatkan tekanan oksigen dan nutrisi yang akan memacu aktivitas osteoblast 15, 29,30.

Gambar 4.4. Pase akhir stage fibroplastik pembentukan tulang15

2.3 Tahap kalus tulang (hard callus) Proses ini terjadi dalam waktu 3 - 4 minggu. Osteoblas akan mendepositkan osteoid pada kartilago yang mengalami kalsifikasi,

kemudian osteoid mengalami kalsifikasi menjadi tulang yang tersusun acak (woven bone), selanjutnya berubah menjadi tulang lamela pada tahap remodeling29,30 . Terdapat beberapa jenis kalus tulang primer, yang dikelompokkan berdasarkan pada letak atau berdasarkan pada fungsi dan urutan pembentuknya: Anchoring Callus: Terbentuk jauh dari fragmen fraktur dan mendekati ke arah bridging callus, berfungsi untuk menjamin hubungan antara keseluruhan kalus dengan fragmen tulang. Sel-sel jaringan ikat pada daerah ini akan berdifrensiasi jadi osteoblas dan menghasilkan substansia spongiosa yang melekat erat dengan permukaan tulang. Sealing Callus: Berfungsi menutupi rongga sumsum yang terbuka dan berkembang dari bagian dalam kortek tulang, volumenya semakin meningkat mendekati garis fraktur membentuk lepeng tulang yang menutupi rongga sumsum. Terbentuk akibat proliferasi endosteum dan membentuk trabekula tulang yang susunannya tidak teratur.

189

Bridging Callus: Fungsinya sebagai jembatan dari kedua fragmen fraktur dan volumenya paling banyak jika dibandingkan dengan jenis kalus lainnya. Saat pembentukan anchoring callus, terjadi pula diferensiasi pada daerah bridding callus fibrokartilago, kartilago hialin, ossifikasi (pada saat substansia spongiosa anchoring callus telah mencapai kartilago) hingga membentuk tulang baru. Uniting callus: Terbentuk sepanjang garis fraktur dan berfungsi menyambungkan kedua fragmen fraktur, ossifikasi terjadi pada jaringan ikat diantara fragmen fraktur dan juga ossifikasi tersebut dapat terjadi secara langsung. 2.4 Tahap remodeling Osteoklas dan osteoblas merupakan sel yang sangat

berperanan dalam remodeling tulang. Dalam remodeling akan terjadi resorpsi tulang oleh osteoklas, selain akan dilepaskan protein morphogenetik tulang (BMP) yang bersifat mitogenetik yang

menginduksi diferensiasi sel-sel mesenkim menjadi osteoblas untuk pembentukan tulang sehingga kontur tulang kembali pulih29,30,15.

3.5 Tanda-Tanda Klinis Penyembuhan Fraktur 1. Gejala hematom menghilang 2. Tidak ada rasa nyeri 3. Fragmen tidak bergerak dan tidak ada krepitasi 4. Pada daerah fraktur kalus dapat diraba sebagai masa bulat dan padat 5. Secara fungsional organ telah dapat dipergunakan tetapi masih perlu dibatasi.

3.6 Gambaran Radiologis Penyembuhan Fraktur Pemeriksaan radiologis penting untuk diagnosa dan membantu dalam evaluasi perawatan, dan dilakukan sebelum perawatan, setelah reduksi dan fiksasi, serta minimal 1 kali setiap bula selama perawatan serta foto diambil minimal dari dua arah berbeda.

190

Gambaran radiologis proses penyembuhan: Secara klinis

terjadi

penyatuan fragmen fraktur dan secara histopatologis telah terbentuk penulangan namum secara radiologis belum tampak gambaran radioopak yang jelas. Gambaran rdioopak nampak jika telah terbentuk kalus sekunder. Pada tulang yang telah sembuh sempurna radiolusensi garis fraktur hilang dan diganti gambaran radioopak yang sulit dibedakan dengan radiopasiti pad jaringan tulang normal, nampak adanya trabekulasi sepanjang garis fraktur atau tempat penyatuan.

3.7 Biomekanik Mandibula Mandibula memiliki mobilitas dan gaya yang sangat banyak, sehingga dalam melakukan penanganan fraktur mandibula harus benar-benar diperhatikan biomekanik yang terjadi. Gerakan mandibula dipengaruhi oleh empat pasang otot yang disebut otot-otot pengunyah, yaitu otot masseter, temporalis, pterigoideus lateralis dan medialis. Otot digastricus bukan termasuk otot pengunyah tetapi mempunyai peranan yang penting dalam fungsi mandibula. Pada waktu membuka mulut, maka yang berkontraksi adalah m. Pterigoideus lateralis bagian inferior, disusul m pterigoideus lateralis bagian superior ( yang berinsersi pada kapsul sendi) saat mulut membuka lebih lebar. Sedangkan otot yang berperan untuk menutup mulut adalah m. Temporalis dan masseter dan diperkuat lagi oleh m. Pterigoideus medialis. Kekuatan dinamis dari otot pengunyah orang dewasa pada gigi seri 40kg, geraham 90kg, sedang kekuatan menggigit daerah incisivus 10kg, molar 15 kg. Konsep biomekanik pada perawatan fraktur mandibula perlu dipahami sebab keadaan statik dan dinamik dapat mempengarui proses penyembuhan fraktur. Tujuan dari semua terapi fraktur ialah mengembalikan bentuk dan fungsi seperti semula. Hal tersebut dapat dicapai dengan melakukan imobilisasi menggunakan fiksasi internal dan eksternal . Rahang bawah memiliki bentuk anatomis yang unik, berdasarkan arsitektur tulang, bentuk dan perlekatan ototnya mandibula dapat digambarkan sebagai sebuah struktur yang mengubah tekanan yang diterimanya menjadi suatu

191

bentuk daya tensi dan kompresi. Kekuatan kompresi dihasilkan sepanjang daerah basal mandibula sedangkan kekuatan tensi terdapat pada sepanjang daerah alveolar. Aksis tranversal imajiner yang terletak kira-kira sepanjang kanalis mandibula memisahkan prosesus alveolaris yang merupakan daerah tegangan atau disebut dengan tension area dari daerah basal mandibula yang merupakan daerah kompresi atau disebut dengan compression area. Pada waktu mandibula mengalami fraktur, prinsip perawatan dilakukan dengan mempertimbangkan kekuatan-kekuatan pada kedua sisi dari aksis imajiner tersebut, sehingga kedua kekuatan tegangan yang berlawanan tersebut harus dinetralisir untuk mendapatkan reduksi fungsional yang stabil.

Gambar 4.6 tension site (+) dan compression site (-) pada mandibula

Gambar. 4.7 tension line pada mandibula3

Hal ini dapat ditempuh dengan penggunaan plat dan tension bar system yang secara individual berbeda tergantung dari lokasi dan tipe frakturnya. Secara umum, pressure trajectory yang menghasilkan kekuatan kompresi pada mandibula kemudain terjadi distorsi misalnya di rahang yang fraktur dapat diperbaiki dengan pemasangan plat osteosintesis, sedangkan tension trajectory dengan menggunakan arch bar yang berfungsi sebagai tension band. Plat sudah cukup stabil untuk menetralkan shear dan torsional stress. Tension band berfungsi untuk mengurangi kekuatan yang membengkokkan yang terjadi di bagian alveolar atau kekuatan menahan yang menjauhi plat. (3,14,15,16)

192

Gambar 4.8 momentum gaya pada mandibula 11

Kekuatan torsional pada mandibula terdapat pada bagian symphisis mandibula, hal ini disebabkan karena banyaknya muskulus dasar mulut yang melekat pada bagian ini sehingga apabila terjadi fraktur pada bagian ini maka dapat timbul rotasi. Stabilisasi fragmen tulang yang fraktur di regio ini digunakan dua miniplate dengan jarak antar plat kurang lebih 5mm untuk menetralkan kekuatan rotasi pada daerah symphisis tersebut.(17) Selain menggunakan dua miniplate dapat juga digunakan SNT plate untuk fraktur di regio symphisis.

Komplikasi Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada penyembuhan tulang adalah15 : 1. Delayed union dan nonunion Delayed union adalah keterlambatan penyembuhan karena: Adanya interposisi diantara jaringan lunak diantara fragmen Fiksasi yang kurang baik Kurangnya reparatif vital dari tubuh karena gangguan sistemik Sedangkan pada nonunion tidak terjadinya penyembuhan atau tidak

bersambungnya ujung-ujung tulang yang fraktur kecuali dilakukan pembedahan untuk memperbaiki fraktur tersebut. Hal ini bisa disebabkan karena : Fragmen-fragmen tulang tidak ditahan dengan rigid Fraktur dibiarkan terlalu lama Alat Fiksasi terlalu cepat dibuka Adanya jaringan lunak, serat oto, jaringan fibrous diantara fragmen tulang

193

Gangguan sistemik atau penyakit kronis Delayed union dan nonunion dapat terjadi pada 3 % dari kasus fraktur.

2. Infeksi Infeksi dan osteomielitis merupakan komplikasi yang paling sering terjadi. Pada beberapa penelitian, tanpa penggunaan antibiotik dapat terjadi lebih dari 50% kasus fraktur. Dapat disebabkan oleh faktor sistemik seperti alkoholik dan tanpa penggunaan antibiotik, dan juga faktor lokal seperti reduksi dan fiksasi yang buruk, tindakan debridemen yang kurang sempurna dan sterilisasi yang kurang baik , pemberian obat-obatan yang kurang adekuat , pasien yang kurang koopertif, penyebaran infeksi dari jaringan sekitarnya.

Gambar 4.9. Fistula pada fraktur mandibula anterior setelah open reduction15

3. Malunion Malunion dapat dijelaskan sebagai penyatuan fraktur tulang dimana displacement tulang masih terlihat. Gangguan pada penyembuhan tulang (Malunion) terjadi karena kegagalan transformasi hematoma menjadi matrik osteogenik sehingga yang terbentuk jaringan fibrous

nonosteogenik, dapat juga disebabkan oleh : a. Reduksi Inadekuat Dapat disebabkan oleh distraksi fragmen fraktur oleh traksi otot atau oleh interposisi jaringan lunak antara fragmen fraktur. b. Fiksasi inadekuat

194

Seringkali mengakibatkan mobilitas dari fragmen fraktur sehingga terjadi delayed union . bila pergerakannya melebihi ambang batas fisiologis maka pembuluh darah kapiler akan terputus dan metabolisme penyembuhan tulang akan terganggu karena hilangnya suplai nutrisi. c. Infeksi Infeksi dapat menimbulkan osteomielitis baik yang mengakibatkan

periosteum dan jaringan lunak yang berdekatan tidak berfungsi sehingga terjadi pembentukan lapisan fibrous penyatuan tulang. d. Vaskularisasi Menurunnya vaskularisasi oleh karena trauma, usia, penyakit yang mengganggu aktivitas yang menghalangi

menimbulkan reduksi tekanan oksigen selular pada proses penyembuhan tulang. e. Faktor sistemik

Kekurangan vitamin C dan D mengakibatkan gangguan pada metabolisme kolagen dan proses mineralisasi tulang. 4. Injuri nervus Injuri pada nervus alveolaris inferior biasa terjadi pada fraktur korpus dan angulus mandibula. Kerusakan syaraf bisa disebabkan karena trauma yang hebat pada waktu kecelakaan atau terputusnya syaraf oleh fragmen tulang. 5. Gangguan pertumbuhan Gangguan pertumbuhan yang merupakan akibat dari trauma pada kondilus dapat diakibatkan oleh trauma langsung pada kondilus atau karena fibrosis atau scarring dari jaringan disekitarnya.

195

Gambar 4.10 Hipoplasia mandibula akibat fraktur kondilus bilateral15

6. Trismus karena adanya fibrosis atau disfungsi atropi dari otot-otot pengunyahan.

3.8 Lama Penyembuhan Tulang Proses penyembuhan tulang sampai terbentuknya tulang lamela

membutuhkan waktu hingga 6 minggu. Selanjutnya pada proses remodeling sampai terjadi rekonstruksi lengkap korteks tulang membutuhkan waktu 6 bulan31.

196

BAB V KESIMPULAN

Mandibula merupakan fraktur kedua yang palling sering terjadi pada tulang maksilofasial dikarenakan posisi dan bentuknya yang membusur. Lokasi dan pola dari fraktur dapat dibagi berdasarkan mekanisme dan arah dari trauma. Sebagai tambahan juga usia pasien, keberadaan gigi-geligi dan karakteer fisik. Lokasi fraktur mandibula terbanyak pada kondilus, angulus, simfisis dan parasimfisis, korpus mandibula, segmen dento alveolar, ramus, dan prossesus koronoideus. Restorasi fungsi mandibula sebagai bagian dari sistem stomatognati harus mencakup kemampuan untuk mastikasi yang baik, berbicara dengan normal dan menciptakan pergerakan artikulasi seperti sebelum terjadinya trauma. Hal ini dapat dicapai dengan pemilihan modalitas yang tepat, tehnik operasi yang benar terutama dalam pencapaian oklusi mandibula, serta perawatan pasca operasi dan rehabilitasi. Dalam tatalaksana fraktur mandibula perlu dipahami biomekanik mandibula sehingga dapat diperkirakan letak fiksasi yang benar dan didapatkan hasil yang memuaskan. Perawatan fraktur mandibula terdiri dari dua macam yaitu dengan menggunakan metode tertutup atau dengan menggunakan metode terbuka Harus diperhatikan indikasi dan kontra indikasi bila akan dilakukan perawatan fraktur mandibula dengan metode terbuka. Pemberian diet yang tepat dapat menjaga kesehatan pasien. Pengelolaan fraktur kondilus mandibula harus sesegera mungkin berdasarkan diagnosa yang akurat sehingga dapat mengurangi atau

menghilangkan komplikasi yang akan timbul

197

DAFTAR PUSTAKA

1. Ajmal S, Khan M. A, Jadoon H, Malik S. A. 2007. Management protocol of mandibular ractures at Pakistan Institute of Medical sciences, Islamabad, Pakistan. J Ayub Med Coll Abbottabad. Volume 19, issue 3. Available at http://www.ayubmed.edu.pk/JAMC/PAST/19-3/13%20Samira%20Ajmal.pdf last update 12 Desember 2010 2. Adams G. L, Boies L. R, Higler P. A, 1997. Boies Buku Ajar penyakit THT. Edisi 6. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta. 3. Snell R. S. 2006. Anatomi Klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi 6. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta. 4. Laub D, R.2009. Facial Trauma, Mandibular Fractures. Available at http://emedicine.medscape.com/article/1283150-overview Desember 2010 5. Soepardi E A, Iskandar N. 2006. Buku ajar ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Bab VII, hal 132-156. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta 6. Thapliyal C. G, Sinha C. R, Menon C. P, Chakranarayan S. L. C. A. 2007. Management of Mandibular Fractures. Available at last update 12

http://medind.nic.in/maa/t08/i3/maat08i3p218.pdf. last update 12 Desember 2010. 7. Sjamsuhidajat, Jong W D. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 8. Barrera J. E, Batuello T. G. 2010. Mandibular Angle Fractures: Treatment. Available at http://emedicine.medscape.com/article/868517-treatment. last update 21 Desember 2010 9. Sugiharto Mandibula Setyo, pada Hardjowasito Anak Widanto,1996. pemasangan Penanganan Arch-Bar., Fraktur Majalah

dengan

Kedokteran Unibraw; 12:39-41.

198

10. Wijayahadi R Yoga, Murtedjo Urip, et all. 2006. Trauma Maksilofasial Diagnosis dan Penatalaksanaannya, Surabaya, Divisi Ilmu Bedah Kepala & Leher SMF/Lab Ilmu Bedah RSDS/FK Unair Surabaya:25-26, 58-63, 71-71, 89-95, 98,100,125-132 11. Keith L Moore. 1996. Clinically Oriented Anatomy, 3rd , William-Wilkins hal:143-148 12. Okeson JP,1993, Functional anatomy and Biomechanics of the masticatory system, In management of temporomandibular disorder and occlusion , Okeson Jeffrey P, Mosby, St Louis 13-21 13. Pedlar, J and Frame J.W.2001. Oral and Maxillofacial Surgery. Edinburg: Churchill Livingstone. 14. Peterson, L.J. et al. 2004. Principles of Oral and Maxillofacial Surgery. 4th ed. St. Louis: Mosby. 15. Pedersen, G.W.1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut . Edisi 1. Philadelphia: W.B. Saunders Co. 16. Fonseca, R.J. et al.2005. Oral and Maxillofacial Trauma. 3rd ed. Vol. 2. St Louis: Elsevier. 17. Booth, P.W. et al.2007. Maxillofacial Surgery. 2nd ed. Vol. 2. St. Louis: Churchill Livingstone. 18. Fonseca , R.J., et all. 1997. Oral and Maxillofacial Trauma. Second ed. WB Saunders Co. Philadelphia 19. Peterson: et al. 1997. Oral and Maxillofacial Surgery. Third ed. Mosby Co. St Louis. 20. David DJ. 1995. Craniomaxillofacial Trauma. London. Churchill

Livingstone. Hal : 270-283. 21. Widell T. 2001. Fractures Mandible. Vol 2, eMedecine Journal. Hal: 1-16 22. Tucker, SR. 2002. Ankylosis of TMJ. Oral and Maxillofacial Surgery eJournal. Hal:1-3 23. Chaudhary A 2002. Temporomandibular Joint Syndrome.Vol 3. eMedecine Journal. Hal: 1-9.

199

24. Schultz RC. 1988. Facial Injuries. London. Year Book Publishers,Inc. Hal: 386-404. 25. Bramley, P. Norman, JE. 1990. A Textbook and Colour Atlas of the Temporomandibular Joint, Diseases, Disorders, Surgery. London. Wolfe Medical Publications Ltd. Hal: 26-51. 26. De Riu G., Gamba U., Anghinoni M., Sesenna E.2001. A comparison of open and closed treatment of condylar fractures: a change in philosophy . Int J Oral Maxillofac Surg.; 30: 384 389 27. Goldman KE. 2002. Fractures Mandible, Condylar and Subcondylar. Vol 2. Hal :1-13. 28. Nanci A., Whitson SW., Bianco P. 2003. Bone In Ten Cates Oral Histology. 6thed St. louis. Mosby. p. 111-44 29. Cross AR.,Lewis DD. Fracture Management Bone Healing and Grafting. Fundamental of Ortopedic Surgery. 30. Feinberg SE., Larsen PE.1991. Oral and Maxillofacial Trauma. Philadelphia. WB. Sounders Co.

200

Fraktur Maksila (Le fort I, II, III)

Nurwahida 160121120008

Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Bedah Mulut Dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung

Abstrak : Suatu trauma yang mengenai bagian tengah wajah, biasanya dapat menyebabkan jejas atau fraktur pada maksila dan tulang-tulang di sekitarnya. Pola fraktur yang terjadi pada maksila biasanya mengikuti area terlemah pada kompleks midfasial. Le Fort mengklasifikasi pola fraktur pada maksila menjadi fraktur Le Fort tipe I, II, dan III, tergantung pada organ-organ yang terlibat. Penanganan dan rehabilitasi pasien dengan trauma pada maksila meliputi pemahaman terhadap jenis, evaluasi, dan perawatan bedah pada wajah. Maksud dari penyusunan makalah ini adalah untuk menggambarkan mengenai tipe-tipe fraktur pada maksila, pemeriksaan, serta penanganannya agar diperoleh hasil pemulihan yang optimal.

Kata kunci: Fraktur, Le Fort, trauma, reduksi, fiksasi.

201

BAB I PENDAHULUAN

Fraktur maksila adalah suatu keadaan dimana hilangnya kontinuitas dari tulang maksila dengan tulang pendukung disekitarnya ataupun dengan bagian bagian dari tulang masksila itu sendiri. Fraktur ini termasuk yang serius karena menyangkut struktur penting lainnya yang berdekatan seperti rongga hidung, sinus maksilaris, rongga mata bahkan dapat melibatkan kerusakan di otak baik secara primer maupun sekunder dari penyebaran infeksi. Fraktur yang disebabkan trauma ini bisa terlokalisir atau muncul dalam kombinasi- kombinasi.1 Pada daerah maksila ini perdarahan disuplai oleh arteri palatina mayor bersama-sama dengan arteri alveolar superior dan posterior yang bermuara pada palatum durum dan mole. Pada regio anterior cabang terminal dari arteri naso palatinus keluar pada foramen insisivus dan mereka mensuplai mukoperiosteum dan palatum bagian anterior. Sedangkan persyarafan melalui divisi kedua dari nervus trigeminus. Nervus ini muncul dari foramen infra orbital dan kemudian berjalan untuk mensyarafi nasal lateral, labial superior dan regio palpebral inferior, termasuk juga mensyarafi labial dan gigi-gigi anterior.2 Fraktur pada daerah ini mempunyai gambaran yang unik dibandingkan dengan injury pada bagian tubuh yang lain seperti : 1. Melibatkan jalan nafas, yang harus dilakukan tindakan cepat dan langsung. 2. Menampilkan oklusi gigi, yang dapat membantu sebagai pedoman dalam mengembalikan perlekatan dan stabilisasi fraktur. 3. Terdapat suplai darah yang sangat bagus ke wajah, sehingga membantu dalam proses penyembuhan yang cepat.

202

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I.

ANATOMI MAKSILA Midfasial menghubungkan basis kranii dengan dataran oklusal. Ia

menyediakan pondasi kepada proyeksi fasial anterior sambil memberikan perlindungan kepada basis tengkorak dan berperan sebagai jangkar kepada ligamen fasial dan perlekatan otot. Tulang midfasial terdiri dari rangkaian penebalan vertikal, sagital dan horizontal yang menutupi sinus. 3

Gambar 1. Disartikulasi tulang midfasial menggambarkan anatomi maksila, zigoma, tulang nasal, dan septum nasal.4

Pada daerah maksila ini perdarahan disuplai oleh arteri palatina mayor bersama-sama dengan arteri alveolar superior dan posterior yang bermuara pada palatum durum dan mole. Pada regio anterior cabang terminal dari arteri naso palatinus keluar pada foramen insisivus dan mereka mensuplai mukoperiosteum dan palatum bagian anterior. Sedangkan persyarafan melalui divisi kedua dari nervus trigeminus. Nervus ini muncul dari foramen infraorbital dan kemudian berjalan untuk mensyarafi nasal lateral, labial superior dan regio palpebral inferior, termasuk juga mensyarafi labial dan gigi-gigi anterior.2 Kompleks midfasial dilengkapi oleh struktur dukungan vertikal untuk menahan tekanan dari bawah. Midfasial secara efektif menyerap, melawan dan mengusir tekanan infrasuperior melalui beberapa tahanan. Tetapi midfasial tidak

203

dilengkapi dengan kemampuan menahan tekanan dari lateral dan frontal. Struktur dukungan vertikal pada midfasial terdiri atas pilar nasomaksilaris (medial), zygomaticomaxillary (lateral) dan pterygomaxillary (posterior). Pilar

nasomaksilaris memanjang dari apertura piriformis dari kaninus dan anterior maksila melalui prossesus frontalis dari maksila dan naik ke cerukan lakrimal dan dinding medial orbita ke os frontalis. Pilar zygomticomaxillary memanjang tulang alveolaris di atas molar I maksila melalui korpus zygoma naik ke prossesus frontalis dari zygoma ke os frontalis. Pilar medial dan lateral memberikan tahanan anterior. Sisi posterior, pilar pterygoid mengubungkan maksila ke lempeng pterygoid dari os sphenoidalis dan memberikan stabilisasi kepada dataran vertikal dari midfasial. Pilar midfasial horizontal meliputi rima orbita superior dan anterior juga palatum durum. Lengkung zygoma menyediakan satu-satunya pilar sagital, memandang midfasial mudah untuk kolaps dan mudah bergeser pada segmen sentral.3 Dukungan superior pada pilar ini adalah arkus yang dibentuk oleh rima orbita superior dan inferior dan arkus zygomaticus. 2

Gambar 2. Pilar vertikal dan pilar horizontal, serta pilar sagital (S1).3

Gambar 2 menunjukan pilar vertikal terdiri dari pilar medial atau nasomaksilari (V1), pilar lateral atau zigomatikomaksilari (V2), dan pilar posterior atau pterygomaxillary (V3) yang berfungsi menahan tekanan kepada basis kranii. Pilar horizontal meluas sepanjang rima supraorbita (H1), rima infraorbita (H2) dan prossesus dentoalveolar dan palatum (H3), memberikan

204

dukungan struktural kepada fungsi dari mata, hidung dan mulut. Lengkung zygoma berfungsi sebagai satu-satunya pilar sagital (S1).3 Rekonstruksi defek struktur midfasial membutuhkan rekonstruksi dari pilar-pilar ini untuk mengembalikan pola tahanan normal pretrauma dan parameter biomekanikal yang penting untuk mempertahankan integritas struktur skeletal. Penebalan-penebalan tulang ini memberikan tempat untuk aplikasi pelat fiksasi guna memastikan dukungan dan penyembuhan yang maksimal. 3

II.

ETIOLOGI Penyebab fraktur dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu faktor

predisposisi dan faktor luar. A. Faktor predisposisi: Yang dimaksud dengan faktor predisposisi adalah faktor yang dapat menimbulkan fraktur selain dari faktor utama. Seperti penyakit yang berupa infeksi periapikal, kista, tumor, osteomielitis. Penyakit ini biasanya menyebabkan tulang menjadi rapuh ataupun melunak. Bila resorbsi tulang meluas akibat penyebaran penyakit ini maka dapat terjadi patah tulang spontan tanpa trauma. B. Faktor utama Faktor utama terjadinya fraktur pada tulang maksila adalah disebabkan oleh trauma baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Trauma dapat menyebabkan terjadinya fraktur secara langsungt maupun tidak langsung. 1. Trauma langsung adalah apabila fraktur terjadi pada bagian yang terkena trauma. 2. Trauma tidak langsung adalah apabila fraktur terjadi pada tempat yang jauh dari lokasi trauma.

III.

EPIDEMIOLOGI Penyebab utama dari fraktur maksila adalah kecelakaan lalu lintas (60%),

perkelahian (24%), jatuh (9%), kecelakaan kerja (4%), olah raga (2%), luka tembakan (2%). Tanpa termasuk fraktur nasal, wajah tengah terlibat pada 40%

205

dari seluruh kasus. Para ahli sepakat bahwa distribusi frekuensi fraktur Le Fort yaitu tipe II > tipe I > tipe III, dimana Le Fort I mencapai 30 %, Le Fort II mencapai 42%, dan Le Fort III mencapai 28% dari seluruh kasus Le Fort. Kejadian cedera bersamaan dengan trauma kepala (50%), cedera servikal (10%), cedera abdominal (15%), cedera skeletal (30%) ditemukan pada pasien dengan fraktur midfasial.3

IV.

KLASIFIKASI FRAKTUR MAKSILA Klasifikasi fraktur maksila dapat dibedakan menurut jenis frakturnya dan

lokasi dari fraktur pada daerah tulang maksila itu sendiri. 2 A. MENURUT JENISNYA. Fraktur maksila dapat dibedakan atas jenis- jenis atau bentuk dari fraktur itu sendiri.yaitu: 1. Single fracture : Fraktur yang memiliki satu garis fraktur saja atau disebut juga fraktur tunggal.

2. Multiple fracture : Fraktur yang melibatkan dua atau lebih garis fraktur pada tulang yang sama dan masing-masingnya saling tidak berhubungan. 3. Simple fracture : Fraktur yang tidak menyebabkan luka terbuka atau tidak berhubungan dengan lingkungan luar, yaitu melalui mukosa, jaringan periodontal atau kulit (closed fracture). 4. Compound fracture : Fraktur dengan luka terbuka yang melibatkan kulit, mukosa atau jaringan periodontal untuk berhubungan dengan dunia luar (opened fracture). 5. Comminuted fracture : Fraktur yang menyebabkan tulang hancur atau splintered. Tulang pada fraktur ini pecah menjadi fragmen-fragmen yang kecil. 6. Complicated fracture : Fraktur yang melibatkan jaringan lunak sekitarnya atau bagian sekitarnya ikut menjadi rusak, dan fraktur ini dapat terbuka atau tertutup. 7. Impacted fracture : Fraktur yang menyebabkan fragmen tulang yang satu tertekan masuk kesisi fragmen fraktur yang lainnya.

206

8. Incomplete fracture : Fraktur dimana tulang tidak patah sama sekali atau tidak putus, terjadi pada tulang yang kalsifikasinya belum sempurna, seperti tulang anak-anak. 9. Displaced fracture : Fraktur yang mengalami perubahan letak dari garis frakturnya sendiri 10. Distracted fracture : Fraktur yang mengalami dislokasi dari segmentsegment fraktur atau perubahan letak tanpa merusak jaringan sekitarnya.

Fraktur pada maksila dapat terjadi salah satu dari jenis fraktur diatas tetapi juga bisa berupa kombinasi dari bermacam macam fraktur serta dapat melibatkan fraktur pada tulang lainnya yang berdekatan dengan maksila. B. MENURUT LOKASINYA Sedangkan menurut lokasi terjadinya fraktur tersebut telah banyak klasifikasi dibuat olah para ahli seperti: 1. Menurut THOMA tahun 1969 Fraktur maksila dibagi atas 4 golongan yaitu: Fraktur prosesus alveolaris dan prosesus palatine Fraktur horizontal (Transverse maxillary fracture, Horizontal maxillary fracture, Guerin Fracture, Le fort I fracture) Fraktur trasversal yang menyangkut orbital, tulang zygoma dan tulang hidung. (Transverse facial fracture, Craniofacial

disjunction fracture) Fraktur pyramidal yang menyangkut tulang-tulang hidung dan maxilla. 2. Menurut GUSTAV O. KRUGER. Tahun 1984 Fraktur maksila dibagi atas 4 golongan yaitu : Fraktur Horizontal ( Le fort I ) Seluruh maksila terpisah dari dasar tengkorak, garis fraktur terdapat diatas palatum tetapi dibawah perlekatan prosesus zygomaticus. Fraktur ini dapat terjadi unilateral tetapi berbeda

207

dengan fraktur prosesus alveolaris karena pada fraktur alveolaris tidak disertai dengan perluasan kedaerah garis tengah palatum Fraktur Pyramidal ( Le fort II ) Garis fraktur melalui aspek fasial maksila, meluas kebagian atas tulang hidung dan tulang ethmoid biasanya sinus maksilaris ikut tersangkut, begitu juga tulang zigoma dapat terlibat Fraktur Tranversal (Le fort III) Garis fraktur meliputi daerah mata, daerah tulang hidung dan tulang ethmoid terus ke arcus zygomaticus, sehingga dinding samping tulang mata terpisah melalui sutura zygomaticofrontalis Fraktur Multiple Merupakan kombinasi dari ketiga macam fraktur diatas. 3. Menurut ARCHER Fraktur maksila cukup dibagi atas 2 golongan saja yaitu: Fraktur dimana sebagian tulang maksila ataupun seluruh tulang maksila beserta beberapa gigi terpisah dari badan tulang maksila ( Le fort I ) Fraktur dimana seluruh tulang maksila bagian atas terpisah dari tulang tulang dasar tengkorak sebagai suatu unit tunggal atau multiple. 4. Menurut LE FORT : Fraktur Le fort adalah fraktur bilateral horizontal dari rahang atas dan dibagi menjadi 3 jenis Le fort fraktur. Le fort I ( Fraktur Guerin, Transverse maxillary fracture, Floating maxilla, Horizon maxillary fracture ) Garis fraktur melintang melalui bagian atas dari prosesus alveolaris, melibatkan sebagian dari dinding sinus maksilaris, palatum dan bagian bawah dari prosesus pterygoideus dan tulang sphenoid Le fort II ( Pyramidal fracture )

208

Garis fraktur melalui tulang lakrimal, bagian bawah mata, melalui dasar mata berjalan terus kebagian bawah sesuai dengan dinding lateral dari maksila melalui pterygoid plate terus ke fossa pterygomaxilla. Berbentuk kerucut makanya disebut fraktur pyramid. Le fort III ( Transverse facial fracture, Craniofacial disjunction ) Garis fraktur melalui sutura zygomatiko frontal, maksilo frontal dan nasofrontal. Garis fraktur terus ketulang ethmoid dan

sphenoid, pada fraktur ini maksila hanya terikat oleh jaringan lunak terhadap tulang-tulang dasar tengkorak. 5. Menurut KILLEY. Pembagian fraktur rahang atas ini berdasarkan lokasinya menjadi 5 macam. Klas I : Fraktur pada kompleks zygomaticus

Klas II : Fraktur pada kompleks nasalis Klas III : Fraktur Le Fort I Klas IV : Fraktur Le Fort II Klas V : Fraktur Le Fort III

6. Menurut IVY dan CURTIS: Fraktur maksila hanya mengenai prosesus alveolaris. Fraktur pada muka mulai diatas akar gigi sampai palatum durum ( unilateral ) Fraktur terjadi horizontal dan bilateral yaitu diatas palatum dan dibawah orbita. Extensive comminuted fraktur, suatu fraktur yang terjadi dibagian atas maksila disertai dengan fraktur pada tulang nasalis dan tulangtulang lain disekitarnya. 7. Menurut CLARK: Fraktur pada prosesus alveolaris maksila

209

Punch type fracture disebabkan karena tembakan sehingga terjadi luka pada tulang yang bergerigi terjadi pada satu atau lebih tulang yang tipis.

Fraktur dimana setengah bagian dari tulang maksila dipisahkan dari cranium Seluruh tulang maksilla dipisahkan dari karnium disebut juga Floating Maksila karena maksila seperti terapung terlepas dari cranium. Pada fraktur seperti ini dapat berupa ; 1. Transverse fracture 2. Pyramidal fracture 3. Transverse facial fracture.

8. Menurut ERICH dan AUSTIN : Horizon fraktur, garis fraktur melintas secara horizontal pada kedua antrum dan cavum nasalis. Pyramidal fraktur, garis fraktur melintas pada kedua orbita dan hidung Transverse facial fracture, garis fraktur melintas pada kedua orbita dan bagian atas cavum nasalis. 9. Menurut MEAD : Membagi fraktur maksila berdasarkan lokasinya menjadi 3 macam: Partial fracture, yaitu fraktur dengan beberapa gigi pada tiap fragmen tulangnya Complete fracture. Partial or complete fracture pada kasus yang edentulous.

210

Dari beberapa pendapat para ahli tersebut dapatlah disimpulkan bahwa pada prinsipnya fraktur maksila dapat dibagi menjadi : 1. Fraktur pada prosesus alveolaris. Yaitu fraktu yang terjadi pada tulang maksila yang meliputi daerah alveolranya saja tanpa melibatkan tulang pendukung yang lain dan tanpa diikuti terputusnya hubungan tulang maksila dengan tulang nasal atau basis cranial. 2. Vertical fracture yaitu fraktur pada rahang atas yang meliputi palatum durum, sedangkan garis fraktur sendiri berjalan vertikal atau disebut juga fraktur Unilateral. 3. Fraktur Le Fort I Fraktur ini disebut juga Fraktur Guerin, Low Level Fracture, Tranverse Maksila Frakture, Horizontal Frakture, Floating Maksila. Dapat terlihat arah frontal dari maksila yang melibatkan struktur maksila dari plat pterygoid, nasal dan zygomatik. Tipe ini dapat melibatkan maksila secara tersendiri dan terpisah dari struktur lain dengan diikuti terputusnya sutura palatina atau fragment maksila.1 Fraktur Le Fort I merupakan hasil benturan yang terjadi diatas level gigi. Fraktur yang terjadi mulai dari batas lateral sinus pirimormis, berjalan sepanjang dinding antral lateral, belakang tuberositas maksilaris, dan melewati pteriogoid junction. Septum nasal dapat terjadi fraktur, dan kartilago nasal mungkin terkena. Karena tarikan baik dari otot pterigoid eksternal dan internal, maksila dapat berada pada posisi posterior dan inferior. Pada fraktur ini, biasanya tampak open bite klasik.2

211

Gambar 3. Fraktur le fort I. 1

4. Fraktur Le Fort II Fraktur piramidal/subzigomatik yang menyebabkan terpisahnya wajah tengah pusat dari kompleks orbitozigomatikus. 3 Fraktur Le Fort II terjadi akibat benturan yang didapat pada level tulang nasal. Fraktur terjadi sepanjang sutura nasofrontalis, melalui tulang lakrimalis, dan melewati garis infraorbita pada area sutura

zigomatikomaksilaris.2

.Gambar 4. Fraktur Le Fort II. 1

212

5. Fraktur Le Fort III Fraktur pada daerah ini disebut juga supra zygomatic fraktur, dihasilkan oleh suatu tekanan yang besar pada level superior yang dapat memisahkan naso orbital eithmoid komplek, zygomaticus dan maksila dari basis cranial atau disebut juga pamisahan craniofasial. 1 Sedangkan menurut Le fort fraktur ini disebut juga Transverse facial fracture, Craniofacial disjunction. Dimana garis fraktur melalui sutura zygomatiko frontal, maxillo frontal dan nasofrontal. Garis fraktur terus ke tulang ethmoid dan sphenoid. Pada fraktur ini maxilla hanya terikat oleh jaringan lunak terhadap tulang-tulang dasar tengkorak.

Gambar 5. Fraktur Le Fort III.1

V.

PEMERIKSAAN DAN GEJALA KLINIS

1. Pemeriksaan Awal / Primary Survey Evaluasi awal dan penatalaksanaan yang menyeluruh seringkali

menentukan apakah pasien mampu bertahan dari trauma mereka. Jejas pada kepala dan leher seringkali melibatkan jalan nafas dan pembuluh utama; oleh karena itu resusitasi ABC harus dilakukan secara ketat pada tahap awal pemeriksaan dan penatalaksanaan pasien dengan fraktur maksilofasial. Setiap

213

pasien yang datang dengan jejas trauma, perhatian pertama harus ditujukan langsung pada evaluasi menyeluruh. Selama pemeriksaan awal, jejas yang membahayakan hidup dan kondisi medis sistemik harus dievaluasi secara tepat. Pasien dengan jejas pada wajah sebaiknya diperkirakan memiliki jejas lain yang berhubungan, tergantung dari insidensi trauma. 5

A. Airway (Jalan Nafas) Yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing., fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea. Usaha untuk membebaskan airway, harus melindungi vertebra servikal. Hal ini dapat dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih, walaupun demikian penilaian ulang terhadap airway tetap harus dilakukan. Selama memeriksa dan memperbaiki airway, harus diperhatikan bahwa tidak bleh melakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher. Kecurigaan adanya kelainan vertebra servikalis didasarkan riwayat perlukaan. Dalam keadaan kecurigaan fraktur servikal fraktur servikal harus dipakai alat imobilisasi. Bila alat imobilisasi ini harus dibuka untuk sementara, maka untuk kepala harus dilakukan imobilisasi manual. Alat imobilisasi ini harus dipakai dipakai sampai kemungkinan fraktur servikal dapat disingkirkan.

B. Breathing (Pernafasan) Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Dada pasien harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan. Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin menggangu ventilasi.

214

C. Circulation (Sirkulasi) Perdarahan luar harus dikelola pada primary survey. Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada pada luka. Tourniquet sebaiknya jangan dipakai karena merusak jaringan dan menyebabkan iskemia.

D. Disability Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Banyak pasien yang mengalami injuri fasial mengalami hilang kesadaran. Kesemua pasien ini, walaupun hanya pingsan dalam waktu yang singkat, harus diperiksa secara keseluruhan dengan Skala Koma Glagow (GCS) dan dikonsulkan ke bagian bedah syaraf.

Tabel 1. Skala koma dari Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) untuk evaluasi cedera kepala.6 Skor 1 2 3 4 5 Mata (E) Respon (-) Terbuka karena rangsang sakit Terbuka bila diminta Terbuka spontan Verbal (V) Respon (-) Tidak dipahami Tidak tepat Bingung Bercakap-cakap Motorik (M) Respon (-) Ekstensi Fleksi Gerakan tidak spesifik Menunjukkan tempat yg sakit Bisa melakukan perintah

E. Exposure environmental control Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, sering dengan cara menggunting guna memeriksa dan evaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka

215

harus dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan intravena yang sudah dihangatkan. Langkah pertama yaitu memastikan pasien memiliki jalan nafas yang baik serta ventilasi yang adekuat. Tanda klinis, termasuk respirasi, nadi, dan tekanan darah sebaiknya diperiksa dan dicatat. Selama pemeriksaan awal, masalah lain yang dapat mengancam kehidupan, seperti perdarahan eksesif, sebaiknya diperiksa. Penanganan awal, seperti gigit tampon, sebaiknya dilakukan sesegera mungkin. Selanjutnya pemeriksaan status nerologis pasien dan evaluasi spina servikalis pasien. Benturan yang cukup berat yang dapat menyebabkan fraktur pada tulang wajah biasanya tersalurkan ke spina servikalis. Leher harus diimobilisasi sementara hingga jejas pada leher dikatakan baik .1 Perawatan terhadap jejas kepala dan leher biasanya dilakukan setelah didapat evaluasi menyeluruh, pemeriksaan, dan stabilisasi pasien. Bagaimanapun, beberapa perawatan awal seringkali penting untuk kestabilan pasien. Seringkali, fraktur pada tulang wajah yang berat dapat mengurangi kemampuan pasien dalam menjaga jalan nafas.1 Jejas pada daerah wajah tidak hanya melibatkan tulang wajah tapi juga jaringan lunak, seperti lidah atau daerah leher atas, atau dapat berhubungan dengan jejas seperti fraktur laring. Pada beberapa kasus, perlu dilakukan trakheostomi untuk memberikan jalan nafas yang adekuat. Pada pasien trauma dengan obstruksi jalan nafas atas komplit, krikotirotomi merupakan cara paling cepat untuk mengakses trakea.1 Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali dan resusitasinya harus dilakukan pada saat itu juga. Penyajian primary survey diatas adalah dalam bentuk berurutan sesuai dengan prioritas dan agar lebih jelas, namun dalam prakteknya hal-hal diatas sering dilakukan berbarengan. 7

2. Pemeriksaan Riwayat dan Klinis a. Pemeriksaan Riwayat Penyakit Setelah pasien stabil, dapatkan riwayat selengkap mungkin. Riwayat ini sebaiknya diperoleh dari pasien, tetapi karena kehilangan kesadaran atau status

216

nerologi, informasi harus diperoleh dari anggota lain yang mendampingi. Lima pertanyaan penting yang sebaiknya dipertimbangkan: 1. 2. 3. Bagaimana kejadiannya terjadi? Kapan kejadiannya terjadi? Apakah spesifikasi jejasnya, termasuk jenis benda yang berkontak, pertimbangan logistik? 4. 5. Apakah terjadi penurunan kesadaran? Gejala apa yang sekarang sedang dirasakan oleh pasien, termasuk nyeri, perubahan sensasi, perubahan visual, dan maloklusi?

Informasi lengkap, termasuk mengenai alergi, pengobatan, dan imunisasi tetanus terdahulu, kondisi medis, dll.1 Mendapatkan riwayat yang adekuat dari korban trauma adalah sulit, karena biasanya mereka tidak mampu memberi respon dengan baik. Keadaan tidak sadar (koma), syok, amnesia merupakan hambatan yang sering terjadi dalam menjalin komunikasi dengan pasien. Sumber terbaik yang dapat digunakan adalah keluarga dekat yang menemaninya, temannya, polisi atau pekerja pada unit gawat darurat. Tanggal, waktu, tempat kejadian dan peristiwa khusus dicatat. Apabila cedera disebabkan oleh kecelakaan mobil, apakah si korban yang menyetir, atau sebagai penumpang, apakah korban memakai sabuk pengaman? Apakah pasien merupakan korban tindak kejahatan dengan senjata tertentu? Apakah pasien jatuh/tidak sadar? Kondisi medis resiko tinggi, alergi dan tanggal imunisasi tetanus juga dicatat. Adanya tanda-tanda kecanduan alkohol dan obat-obatan, dicatat karena tingkat kesadaran dipengaruhi oleh obat-obatan tersebut. Informasi mengenai waktu makan dan minum yang terakhir sangat penting apabila akan dilakukan anestesi umum.6 b. Pemeriksaan Klinis Fraktur midfasial biasanya didiagnosa secara klinis dan dikuatkan dengan pemeriksaan radiologis. Sejumlah faktor bisa membuat pemeriksaan klinis menjadi sulit, termasuk kehadiran edema fasial, epistaksis, maksila yang tumpang tindih atau bahkan pasien yang tidak sadar atau tidak kooperatif. 3

217

1.

Pemeriksaan Ekstraoral

Pemeriksaan pada area fasial harus dilakukan dalam teknik yang terorganisir dan berkelanjutan. Wajah dan kranii harus diinspeksi secara hati-hati terhadap kemungkinan trauma termasuk laserasi, abrasi, kontusio, edema ataupun hematom dan kemungkinan cacat pada kontur. Area ekimosis harus dievaluasi secara hati-hati. Wajah dievaluasi terhadap kemungkinan terdapatnya laserasi dan depresi tulang yang jelas. Asimetri area wajah perlu dicatat, dan cairan yang keluar baik dari hidung maupun telinga diasumsikan sebagai cairan serebrospinal hingga terbukti bukan itu. Jika diduga terdapat cairan serebrospinal, hidung maupun telinga sebaiknya tidak ditutup tampon, karena dapat menyebabkan infeksi retrograde yang menyebabkan meningitis.2 Tulang wajah dipalpasi untuk mengetahui adanya diskontinuitas tulang. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan secara bimanual dan disiplin. Pertama kita lakukan pemeriksaan rima orbitalis, lalu berlanjut ke bawah untuk meliputi rima lateral dan infraorbitalis, dimana apabila terdapat edema yang cukup besar dapat membuat pemeriksaan menjadi sulit. Lengkung zigomatikus dipalpasi lalu ke tulang nasal. Pemeriksaan berakhir dengan pemeriksaan maksila dan mandibula. Evaluasi midfasial dimulai dengan penilaian mobiliti maksila, sendiri ataupun kombinasi dengan zygoma atau os nasal. Untuk menilai mobiliti pada maksila, kepala pasien harus distabilkan dengan menggunakan satu tangan menekan dahi. Dengan menggunakan jempol dan jari telunjuk dari tangan yang lain, memegang maksila, digoyang dengan hati-hati untuk melihat adanya mobiliti pada maksila. Fasial dan midfasial sebaiknya dipalpasi untuk melihat adanya gap pada dahi, rima orbita, nasal atau zygoma. 1 Pembukaan mandibula dievaluasi baik untuk fraktur lengkung zigoma maupun zigoma yang terdisposisi ke lateral, yang dapat mengobstruksi pergerakan prosesus koronoid ke depan. Vestibulum bukalis dipalpasi dengan jari telunjuk. Terdapatnya krepitasi dan pergeseran dinding antral lateral dan zigoma dapat mudah didapatkan dengan teknik ini. Oklusi dievaluasi, keadaan dan kualitas gigi perlu dicatat, faktor ini berpengaruh besar terhadap metode perawatan.2

218

Daerah ekimosis, terutama pada palatum, merupakan gambaran umum pada fraktur maksila. Faring diperiksa untuk laserasi atau perdarahan retrofaringeal. Pasien sebaiknya ditanya mengenai keluarnya cairan rasa metal dan asin, yang merupakan indikasi terdapatnya drainase cairan serebrospinal.

Gambar 6. Ekimosis subkonjungtival

Gambar 7. Ekimosis sirkumorbital bilateral (racoon eyes).8

Pada Le Fort II, tanda dan gejala yang dapat kita temukan adalah adanya oedem wajah dan terjadi retrusi mid fasial yang menyebabkan wajah terlihat datar. Keadaan ini disebut sebagai deformitas dish face atau pan face. Terjadi haemoragi subkonjunctiva dan diplopia. Kadang timbul parestesi daerah pipi karena trauma pada nervus infraorbita. Terdapat hematom pada sulcus bukalis rahang atas posterior, karena garis fraktur melewati tulang zygoma. Segmen maksila bergeser ke posterior dan inferior, hal ini akan menyebabkan kontak prematur gigi molar dan open bite anterior.7

219

Gambar 8. Openbite anterior.

2.

Pemeriksaan Intraoral Pemeriksaan intra oral dapat melihat keadaan oklusi, gigi geligi, stabilitas

alveolar ridge dan palatum serta jaringan lunak. Palpasi intra oral dengan jari pada maksila dapat memberikan informasi tentang integritas dinding nasomaksilaris, dinding sinus maksilaris anterior, dan dinding zigomatikomaksilaris. Selama pemeriksaan mata dan tulang orbita, dapat dilihat integritas dari lingkar orbita dan dasar orbita, penglihatan, pergerakan ektra ocular dan posisi bola mata, serta jarak intercanthal. Tidak seperti fraktur Le fort II, Le fort III berhubungan dengan adanya cedera pada zygomatikus. Perubahan penglihatan menandakan adanya gangguan pada persyarafan mata, masalah pada retina ataupun masalah neurologic lainnya. Gangguan pada pergerakan ekstraokular atau enopthalmos menandakan adanya suatu blow out pada dasar orbita. Peningkatan jarak interchantal menandakan adanya perubahan pada tulang frontomaksilaris atau tulang lacrimalis ataupun adanya avulsi dari ligamentum canthal medialis . Dalam hal kerusakan yang parah pada mata dan tulang orbita dapat dikonsultasikan kepada opthalmologis. Deformitas pada kontur tulang dapat tertutupi oleh pembengkakan, tetapi permeriksaan dapat menemukan adanya kehilangan kontinuitas tulang atau displacement. Gangguan pada oklusi dapat melokalisir adanya fraktur. Pergerakan abnormal pada tulang dapat didiagnosa dan jika terjadi maka akan diikuti oleh sakit dan krepitasi akibat dari ujung tulang yang keras bergesekan satu sama lain. Hilangnya fungsi pada rahang merupakan hal biasa sebagai akibat dari trismus atau sakit.7

220

Fraktur transversal pada Le Fort membuat muskulus pterygoid medial yang kuat menciptakan tarikan posteroinferior pada segmen yang bergerak menciptakan maloklusi klas III, kontak prematur pada molar dan anterior open bite.3

Gambar 9. Pemeriksaan mobiliti pada maksila.1

Gambar 9 menunjukan pemeriksaan mobiliti pada maksila. A. Dahi difiksasi dengan tangan kiri, maksila digoyang-goyangkan untuk menilai adanya mobiliti. B. Tangan kiri juga dapat diletakkan pada os nasal untuk menilai mobiliti pada os nasal.1

` Gambar 10. Metode palpasi wajah tengah pada fraktur Le Fort.5

Gambar 10 menunjukan metode palpasi wajah tengah pada fraktur Le Fort. Gigi anterior dipegang dan maksila dimanipulasi untuk memeriksa adanya pergerakan. Jika gerakan dapat dipalpasi pada jembatan nasal (A), maka terdapat adanya Le Fort II atau III. Jika gerakan terdeteksi juga pada zigoma (B), maka

221

terdapat fraktur III. Apabila tidak terdeteksi adanya gerakan pada daerah tersebut namun maksila mengapung, maka kemungkinan terjadi fraktur Le Fort I.5

Gambar 11. Saat melakukan pemeriksaan fraktur pada maksila, kepala distabilisasi lalu prosesus dentoalveolar dimanipulsi sehingga adanya pergerakan segmen fraktur dapat dideteksi.

Gambar 11 menunjukan saat melakukan pemeriksaan fraktur pada maksila, kepala distabilisasi lalu prosesus dentoalveolar dimanipulsi sehingga adanya pergerakan segmen fraktur dapat dideteksi. Pemeriksaan fraktur Le Fort II dan III dilakukan dengan cara satu tangan memegang puncak hidung sementara tangan lain memanipulasi maksila. Pergerakan pada sutura nasofrontal menunjukkan kemungkinan terdapatnya fraktur Le Fort II atau III. 4

Perbedaan klinis fraktur maksila: 1. Le fort I Manifestasi Klinis Le Fort I antara lain adalah: Seluruh rahang atas dapat digerakan dengan mudah. Kecuali apabila segmen fraktur mengalami impaksi kearah posterior. Terjadinya kontak premature dari gigi posterior karena tulang maksila turun dan menimbulkan open bite yang klasik. Palpasi tulang alveolar pada jaringan pendukung akan terasa nyeri Dapat dilihat dengan jelas pada foto roentgen dan sering adanya gambaran sinus yang berkabut serta gangguan kontinuitas yang bilateral dari dinding sinus maksila.6 2. Le fort II

222

Manifestasi klasik Le Fort II antara lain : Oedema periorbital secara bilateral, diikuti dengan ecchymosis yang memberikan kesan seperti raccoon sign (menyerupai kucing). Hipoesthesia dari nervus infra orbital juga ditemukan, kondisi ini muncul karena perkembangan odema yang sangat cepat. Suatu maloklusi dapat terjadi bersamaan dengan open bite. Suatu kelainan bentuk ini dapat dideteksi pada daerah rima infra orbital atau daerah sutura naso frontal. Cara pendeteksian ini dapat dengan mengandalkan genggaman pada gigi anterior maksila dan

menggerakannya arah anterior- posterior, sehingga frakmen yang pecah dari lantai orbita atau dinding media bisa terlihat dan ikut bergerak. Dari gambaran foto roentgen dapat terlihat pemisahan atau pergeseran pada sutura zygomaticomaksilaris serta terputusnya kontinuitas rima orbital inferior didekat sutura tersebut. 2,6 5. Le fort III Manifestasi klinis Le Fort III antara lain : Sering terlihat kebocoran cairan cerebrospinal akibat sobeknya meninge (selaput otak) Oedema yang hebat dan ecchymosis peri orbital terlihat bilateral karena terjadinya perdarahan subkonjungtiva dalam berbagai tingkat keparahan. Trauma telecantus dapat terasa seperti halnya juga ephypora. Ada baiknya temuan ini dikomfirmasikan dengan CT coronal dan sagital scan, hal ini berguna dalam rencana perawatan dan pertolongan nyawa pasien. Fraktur ini biasanya diikuti dengan fraktur zygoma, dan naso orbita eithmoid, luka yang dihasilkan pun berfariasi. Pada waktu dilakukan tes mobilitas dari maksila akan memperlihatkan pergerakan dari seluruh bagian atas wajah. 2,6

223

Gambar 12. Gambaran Klinis Fraktur Le Fort III

VI.

Pemeriksaan Radiologis Setelah dilakukan pemeriksaan klinis pada area fasial dan keadaan pasien

stabil, pemeriksaan radiologi harus dilakukan untuk memberikan tambahan informasi tentang trauma fasial. Evaluasi pada fraktur midfasial secara umum ditambahkan dengan gambaran radiografik, minimal foto Waters, scheidel anteroposterior, lateral dan foto submentovertex. Foto Townes sangat bermanfaat dalam menggambarkan lengkung zigomatikus dan rami mandibula. Lengkung zigoma paling bagus digambarkan pada foto submentovertex. Foto Waters memperlihatkan antrum hampir jelas. Foto lateral skull berguna dalam menggambarkan kehadiran cairan pada sinus paranasal dan udara intrakranial. Jika pasien tidak dapat tengkurap, dapat menggunakan reverse Waters (frontoosipital). Kekurangannya yaitu bertambahnya jarak antara tulang wajah ke film.2

Gambar 13. Waters view memperlihatkan gambaran fraktur Le Fort II yang membentuk segmen fraktur bentuk Piramid.8

224

Gambar 14. Foto waters lateral menunjukkan fraktur Le Fort II4

Scan yang diambil secara baik dan hasil tepat, dapat menjadi alat diagnostik radiologi tunggal, tanpa foto lain. CT scan juga menggambarkan terdapatnya edema dan kehadiran benda asing yang sering terlewat pada foto konvensional.

Gambar 15. CT scan axial menunjukkan fraktur Le Fort II

Gambar 16. Gambaran 3D fraktur Le Fort II.

VII.

PERAWATAN FRAKTUR

A. Tujuan perawatan Apabila stuktur wajah terkena trauma yang menyebabkan fraktur maksila maka tujuan utama perawatan meliputi: 1. Penyembuhan tulang yang cepat.

225

2. Pengembalian penglihatan yang normal dan sempurna. 3. Kembalinya fungsi hidung untuk bernafas dan penciuman. 4. Kembalinya ruang bicara yang sempurna. 5. Hasil yang baik secara estetik baik dari gigi dan wajah seperti yang diinginkan. Selama perawatan diusahakan meminimalkan hal-hal yang merugikan pasien, seperti pemberian nutrisi, mengurangi rasa sakit dan ketidaknyamanan pasien serta kerusakan yang minimal jika memungkinkan. 1

B. Prinsip perawatan Untuk mencapai hal ini maka prinsip bedah hendaknya mengikuti aturan berikut ini Prinsip perawatan fraktur maksila: 1. Debridement yaitu membersihkan sisi fraktur meticulous. 2. Reduction yaitu mensejajarkan ujung tulang yang patah. 3. Fixation yaitu menstabilkan fraktur tulang, setelah selesai prosedur diatas, baru-baru ini digunakan mini plat tulang dan scrub ( rigid internal fixation ). 4. Imobilisasi yaitu pengikatan Fraktur pada bagian sendi, dicapainya dengan wiring sendi secara bersamaan selama 4-6 minggu dengan penyebaran yang luas menggunakan fixasi interna yang kuat, bagaimanapun prosedur ini sangat cepat dalam membantu penyembuhan. 5. Rehabilitasion yaitu mengistirahatkan total dari region yang terkena trauma seperti perlekatan kembali secara prostetik dari gigi geligi yang hilang akibat trauma dan injury.

C. Metode perawatan Perawatan fraktur maksila dapat dilakukan dengan metode terbuka maupun metode tertutup tergantung dari berat dan ringannya kasus, namun untuk fraktur maksila yang meliputi le fort I, II, III atau yang diikuti kelainan oklusi harus dilakukan dengan metode terbuka.9,2,6

226

1.

Reduksi tertutup ( close red )

Metode ini dilakukan tanpa melakukan insisi untuk mereduksi kembali bagian tulang yang fraktur seperti pada frakmen fraktur ini bergerak, biasanya gigi geligi yang terdapat pada sekmen fraktur mengalami kegoyahan . Pada kasus ini dibutuhkan tekanan berulang (digital) untuk mereduksi tulang yang patah. Pada kasus fraktur unilateral maksila atau terpisahnya sisi kanan dan kiri palatum pada sutura palatine, maka digunakan alat Rowe Disimpaction forceps atau Hayton-Williams forcep untuk mereduksi kembali kedua sisi palatum tersebut. Arch bar dipasang pada lengkung maksila dan mandibula. Gigi yang goyah diikat dengan kawat (wiring) kearch bar maksila, sedangkan gigi yang terdapat pada segment yang tidak fraktur dilindungi dengan fiksasi intermaksila. Kemudian fiksasi dilanjutkan kedaerah fraktur yang telah direduksi tadi. Fiksasi dibiarkan selama 4 sampai 6 minggu didalam mulut pasient dan pasien diberikan diet lunak selama fiksasi. Indikasi dilakukannya metode tertutup pada fraktur maksila adalah: Dimana pada pemeriksaan klinis dan radiografis tidak memperlihatkan gambaran perobahan letak pada kedua segmen fraktur atau segmen frakturnya terletak pada variable yang stabil dari tekanan otot-otot mastikasi.( Undisplasment fracture ) Pada pasien yang edentulous (tidak bergigi) dan fraktur maksila secara radiology memperlihatkan perobahan letak yang minimal dan letak garis fraktur kemudian menjadi stabil oleh otot-otot pengunyahan. Maka union tulang pada fraktur ini dapat menjadi penghubung yang baik. Pasien dengan fraktur yang menimbulakan kerusakan pada otak dan tidak adanya rangsangan untuk bangun, maka metode terbuka untuk sementara merupakan kontra indikasi. 2 Reduksi terbuka (open red) Metode ini lebih baik untuk kasus fraktur maksila khususnya yang komplek. Dengan metode ini dapat dicapai immobilisasi fraktur yang sempurna

227

dan fiksasi yang kuat dan rigid. Metode ini dimulai dengan tahapan sebagai berikut: 1. Pembukaan flap dengan insisi vestibular secara bilateral. 2. Sisi fraktur disingkapkan dengan meretraksi flap tadi 3. Dilakukan pembersihan segment pada garis fraktur. 4. Dilakukan perlekatan kembali kontunuitas tulang yang terputus. 5. Fiksasi garis fraktur dengan wiring atau mini dan mikro plat serta bautnya. 6. Tutup daerah operasi dengan mengembalikan flap pada posisi awal dan dijahit 7. Fiksasi inter maksila selama 4 minngu (masa penyembuhan) 8. Pasien diberikan diet lunak selama fiksasi dengan kandungan gizi yang cukup. Indikasi dilakukannya metode fraktur terbuka adalah sebagai berikut: Apabila metode tertutup gagal dilakukan Fraktur dengan displacement yang kearah bawah dengan segala

komplikasinya seperti open bite klasik, elongasi fasial dana dish face. Fraktur fasial kompleks dan multiple seperti Le fort I, II, III . Fraktur dengan impaksi pada rahang bawah. Fraktur yang memerlukan pemasangan miniplate dengan skrup untuk reduksi dan stabilitas segment fraktur. Fraktur yang membutuhkan bone graft.

Mikroplate and screw osteosynthesis Pada abad ke dua puluh mulai diperkenalkannya pemakaian plat sederhana atau yang lebih dikenal dengan Mini plate and screw. Sistem kompensasi plat logam ini menggunakan lobang-lobang plat eksentrik dan skrup- skrup ( beberapa diantaranya ada yang menggunakan swa-ulir ) yang cocok untuk penatalaksanaan fraktur orofasial. Pada tahun tahun terakhir perkembangan plat dan skrup mengalami revolusi menjadi Mikro plate yang lebih ringan yang terbuat dari titanium dan lebih bisa diterima oleh tubuh. Hal ini di kembangkan karena bentuk

228

dan jenis fraktur maksila yang berfariasi dan sangat komplek sekali.Bentuk dan ukurannyapun disesuaikan dengan anatomi tulang fasial. Beberapa keuntungan pemakaian mikro plat ini adalah: 2,6 Kestabilan yang rigid pada fiksasi anatomi dari bagian bagian fraktur. Dapat meniadakan pemakaian IMF ( intermaksilari fiksasi ). Mempercepat penyembuhan dan memperpendek durasi perawatan.

Indikasi dilakukannya pemasangan mikro plate pada fraktur maksila adalah: Apabila fiksasi maksilo mandibula sulit dilakukan. Untuk perawatan kasus yang penyembuhannya lama dan pseudoartrosis. Fiksasi pada graft tulang. Fraktur kompleks dan multiple dari Le fort I, II, III. Fraktur maksila pada pasien edentulous dengan displasment

Aplikasi mikor plate dan skrup: Pemaparan perkutan atau peroral dan kemudian dilakukan reduksi fraktur. Lakukan adaptasi dan stabilisasi mikro plat dan pembuatan lobang untuk skrup pada tulang denga bur tulang. Lobang bur dicocokan sampai sesuai dengan besar srkupnya. Skrup dipasang menurut dataran lubang pada plate untuk mendapatkan kompresi. 1-3 skrup diinsersikan pada sisi fraktur

Fiksasi dan Imobilisasi fraktur maksila Ada beberapa macam alat untuk Immobilisasi fraktur maxilla yang mana pada dasarnya menggunakan prinsip berikut ini:6 A. Fiksasi Intramaksila dan Intermaksila. 1. Hanya rahang atas saja yang dipasangkan alat fiksasi misalnya, dengan memakai arch bar dari Erich. Contoh pada kasus fraktur sebagian kecil dari prosesus alveolaris rahang atas (Intramaksila). 2. Pemasangan alat fiksasi pada gigi-geligi di maksila dan mandibula, kemudian pada kedua rahang ini dipasang rubber elastic band melalui

229

kaitan atau hock pada acrh bar yang digunakan. Elastik hanya dipakai pada gigi-geligi yang tidak mengalami fraktur rahang (berguna untuk fraktur unilateral atau segmental ) sehingga tulang alveolar yang mengalami fraktur akan terdorong keatas oleh tekanan gigi-geligi dirahang atas dan rahang bawah (Intermaksila).

Gambar 17. Arch bar dan fiksasi intermaksilaris. 4

B. Fiksasi Internal Teknik ini ditemukan oleh Adam yang mana diindikasikan pada fraktur horizontal yang sederhana dengan tidak terlibatnya tulang orbita. Teknik ini menggunakan kawat suspensi (stainless steel ukuran 0.018 atau 0,2 inchi, 0,45 atau 0,5mm) yang dimasukan (diikatkan) pada titik tertentu di tulang bagian superior. Bagian yang paling sering digunakan adalah Apertura piriformis, Spina nasalis, tonjolan Malar, Arcur zygomatikus, Prosesus zygomatikus ossis frotalis dan pinggiran tulang infra orbita. kemudian kawat menelusuri daerah fasial terus kebawah dan kemudian dihubungkan (diikatkan) pada arch bar yang telah dipasang pada gigi-geligi rahang atas (terhadap maksila) disebut fiksasi kraniomaksila. Sedangkan pada ikatan atau perlekatan kawat terhadap mandibula disebut fiksasi kraniomandibula. Gigi-geligi rahang atas dan rahang bawah dalam keadaan fiksasi Intermaksila (Transosseous wiring fixation). Apabila mandibula utuh atau karena perawatan bisa stabil, maka fiksasi kraniomandibula lebih dianjurkan dibanding perawatan fiksasi kraniomaksila, karena perlekatan ini memberikan hasil terbaik untuk mempertahankan posisi komponen maksila yang mengalami fraktur.

230

C. Fiksasi eksternal 1. Pesawat Cranio-Maxilla. Dimana digunakan suatu alat Head Appliances yang dihubungkan dengan alat lain yang dipasang pada maksila. Head appliances yaitu suatu alat yang dipasang pada kepala yang berfungsi sebagai penahan untuk fiksasi fraktur maksila dengan tulang cranial. Alat ini ada beberapa macam yang biasa digunakan yaitu: Plaster of Paris head cap. Woodards appliance. Englands appliance. Bisnoffs head band. Crawford head frame. Crawford bloom head appliance

Pesawat Cranio Maxilla sendiri ada beberapa macam yaitu; a. Pesawat C-M yang menggunakan Kingsley splint yang dapat dihubungkan dengan berbagai macam splint yang diletakan pada gigi-gigi dirahang atas seperti: Wire splint Cast metal splint Band orthodontic Pada pasien edentulous digunakan modifikasi dari kingsley sendiri. b. Pesawat C-M yang menggunakan Steinmann pin, dimana pin ini dimasukan kedalam tulang alveolar rahang atas yang mengalami fraktur melalui pipi lalu pin ini dihubungkan kembali kealat head appliance. c. Pesawat C-M yang menggunakan cranio fasial wire. Ditemukan oleh Erich, dimama kawat dihubungkan dengan arch bar yang telah dipasang sebelumnya pada rahang atas ( gigi-geligi ), kawat ini menembus pipi lalu dihubungkan denga head appliance. Pemakaian alat ini diindikasikan pada fraktur dengan tidak adanya perubahan tempat dari rahang (fragmen) dan mandibula dapat bergerak untuk berbicara dan makan (makanan lunak).
231

2. Pesawat Cranio Mandibula. Pada metode ini gigi-geligi pada kedua rahang berada dalam keadaan oklusi dengan menggunakan Intermaksila wiring fixation dan eksternal traction. Pesawat ini pun ada beberapa macam yaitu : a. Pesawat C-mand dengan menggunakan Traction bandage (head bandage). Terdiri dari Barton bandage denagn elastic yang dilekatkan pada kedua sisi dengan menggunakan plaster. Ini untuk perawatan sementara dari fraktur rahang. b. Peasawat C-mand dengan menggunakan Steinmann-pin yang dimasukan kedalam corpus mandibula , dibagian luar dihubungkan dengan Frac-sure link vertical rod dikedua sisi. Frac-sure rods ini dihubungkan dengan head appliance c. Pesawat C-mand dengan half pin hamper sama dengan Steinmann pin, juga digunakan Frac-sure rods dipakai sebagai penghubung dengan head appliance. d. Pada kasus tidak bergigi digunakan Gunning splint yaitu suatu acrilik aplint yang digunakan sebagai alat fiksasi mandibula.

3. Pesawat Malar-Mandibula fixation. Pesawat ini ditemukan oleh Gross, yang mana dua buah pin dimasukan kedalam tulang pipi kiri dan kanan. Pin ini lalu dihubungkan dengan pin yang telah dipasang pada corpus mandibula melalui suatu batang penghubung (rods) atau rubber elastic band.

232

Gambar 18. Fiksasi kraniomaksilar.7

C. Tahapan perawatan pada fraktur Le Fort: 1. Perawatan Fraktur Le Fort I Perawatan fraktur maksila dapat dilakukan dengan metode terbuka maupun metode tertutup tergantung dari berat dan ringannya kasus, namun untuk fraktur maksila yang meliputi le fort I, II, III atau yang diikuti kelainan oklusi sebaiknya dilakukan dengan metode terbuka. 1,2 Aturannya, reduksi dini fraktur Le Fort I memberikan kesulitan minimal. Di atas 7 hingga 10 hari, perlu tenaga tambahan untuk melakukan reduksi sempurna. Fraktur dr pergeseran minimal direduksi di diimobilisasi secara ideal dengan reduksi terbuka dan immobilisasi diperoleh dengan penempatan plat yang tepat. Sebagai alternatif yang kurang ideal, melakukan fiksasi intermaksilari selama sebulan, biasanya cukup untuk terjadi penyembuhan. Pada kasus fraktur remuk yang parah, diperlukan perpanjangan periode fiksasi hingga 6 minggu. Fraktur impacted atau fraktur yang tidak mudah direduksi karena penyatuan dini oleh jaringan ikut (fibrous union) sebaiknya direduksi dengan menggunakan tang disimpaksi Rowe atau Hayton-Williams. Paruh dari tang Rowe ditempatkan sepanjang dasar hidung, dan sisi lainnya pada palatum keras (gambar). Digunakan secara sepasang atau sendiri. Untuk melindungi mukosa hidung dan

mukoperiosteum palatum, dapat ditempatkan ujung karet pada paruh tang. Gunakan gerakan menekan atau memutar, maksila ditarik ke depan dan ke bawah.2

233

Gambar 19. Penggunaan tang disimpaksi Rowe untuk mereduksi maksila.2,4

2. Perawatan Fraktur Le Fort II Reduksi tertutup yang dilakukan pada fraktur Le Fort II mudah dilakukan dengan tang disimpaksi Rowe. Fiksasi intermaksilari kemudian dilakukan untuk memperbaiki posisi anteroposterior fraktur. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mendapat stabilitas dan penyembuhan yang adekuat. Imobilisasi dilakukan minimal 4 minggu. Sebagai alternatif, dapat dilakukan reduksi terbuka. Pada fraktur Le Fort II dilakukan insisi pada sulkus bukalis, pembukaan tambahan ke superior sering dibutuhkan untuk akses yang cukup dari orbital rim. Hal ini dapat dicapai dengan insisi subsiliary atau transkonjunctiva. Perawatan dimulai dengan pemasangan IDW untuk mendapatkan oklusi. Pada umumnya segmen maksila pyramidal yang bebas distabilisasi ke tulang zygoma yang intak. Fiksasi dapat dilakukan dengan mini plate yang menjangkau penyangga zygomaticomaksilaris.7 Setelah dilakukan reduksi pada fraktur, terdapat variasi pilihan untuk imobilisasi. Minimal fiksasi tiga-titik atau mungkin empat-titik diperlukan. Hal ini dapat diperoleh dengan membuka regio sutura zigomatikomaksilaris baik dari rima inferior maupun intraoral, atau dapat juga menggunakan daerah sutura nasofrontal. Kombinasi yang diperlukan tergantung pada kebutuhan untuk

234

mengeksplor dasar orbita, atau rekonstruksi rima inferior, atau keduanya, dan rekonstruksi regio nasofrontal karena daerah ini sering kali terjadi keremukan. 2 Pilihan lain dari perawatan pada fraktur Le Fort II yaitu imobilisasi sutura nasofrontal. Dapat dilakukan dengan bilateral Lynch, open sky, atau insisi flap koronal, atau melalui laserasi yang sudah ada. Semua pendekatan ini dapat memberikan akses yang baik ke daerah sutura nasofrontalis. Penempatan plat pada daerah ini dapat memberikan kestabilan dan keamanan dalam arah superior posterior.

3. Perawatan Fraktur Le Fort III Fraktur Le Fort III secara esensial merupakan kombinasi fraktur zigoma bilateral dan fraktur pada kompleks nasal-orbital-ethmoid (NOE). Terdapatnya jejas yang remuk dan parah bervariasi, tetapi prinsip perawatannya identik dengan yang lain.2 Prinsip umum perawatan fraktur ini yaitu, reduksi dan imobilisasi zigomatikofrontal, zigomatikotemporal, dan sutura nasofrontal, serta reduksi yang tepat dari maksila ke wajah tengah inferior. Pada gilirannya, oklusi yang baik harus didapatkan untuk mendapatkan posisi anteroposterior dan lateral wajah tengah. 2 Dalam perawatan fraktur Le Fort III, kita menstabilisasi segmen tulang yang bergerak untuk stabilisasi mandibula dan tulang kranium. Awalnya, rahang atas harus dalam kondisi tidak terpendam (direposisi) dan MMF dilakukan. Insisi jaringan lunak dapat dilakukan di lokasi yang sama seperti untuk fraktur Le Fort II. Insisi alis lateral, lipatan glabela, atau flap kulit kepala bicoronal dapat digunakan untuk topangan tambahan pada tulang frontozigomatik. Flap bicoronal dapat diperpanjang untuk mencapai akses ke lengkung zigoma. Flap bicoronal harus dirancang hati-hati untuk menghindari cedera pada cabang saraf wajah. Ketika flap dibuat pada area lengkung orbita, perikranium dapat diinsisi tepat di atas lengkung untuk menjaga suplai darah dari daerah supraorbital dan supratroklearis ke flap. Pada daerah lateral, kita melakukan diseksi superfisial dari fasia temporalis. Dalam mencapai lengkung zigomatik, kita lakukan insisi fasia

235

temporalis di atasnya. Perluas bidang insisi ke dalam fasia sampai tulang zigoma yang fraktur. Patahan tulang kemudian dapat dikurangi dengan elevator kaku. Jika terpendam atau comminuted, fiksasi langsung mungkin diperlukan. Jangan gunakan flap bicoronal dalam situasi dimana flap membutuhkan suplai arteri temporal. Garis rambut yang terlalu mundur juga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk menggunakan tipe insisi lain. Sehubungan dengan tindakan fiksasi pada fraktur maksila, kurangi dan stabilkan setiap patahan tulang yang terlibat. Setelah ini dilakukan dan segmen fraktur terlihat, maka fiksasi dapat dilakukan. Fiksasi Miniplate saat ini merupakan tipe yang paling dapat diandalkan. Gunakan template lunak, pelat pembentuk kontur yang akurat dan monocortical serta sekrup self-tapping. Gunakan pelat yang menjangkau seluruh penopang utama. Pada fraktur Le Fort III sejati, fiksasi zygomaticofrontal bilateral mungkin sudah cukup. Namun, secara umum, tetap dibutuhkan fiksasi tambahan (misalnya, nasomaxillary, nasofrontal, lengkung inferior orbital, lengkung zigomatic). Gunakan sesedikit mungkin pelat untuk mencapai fiksasi; pelat berlebihan tidak diperlukan. Interoseus wiring dan suspension wiring digunakan pada fraktur Le Fort III, tetapi hasilnya tidak sebaik miniplate fiksasi karena vektor gaya untuk mempertahankan reduksi kurang akurat dan micromotion meningkat.

D. Perawatan Post Operasi Untuk meminimalisir edema paska operasi, lakukan pembalutan kassa dengan tekanan ringan, pada daerah operasi. Jika pembalut tetap kering, dapat diangkat setelah 2-5 hari. Apabila daerah fraktur terbuka terhadap lingkungan eksternal atau terdapat komunikasi dengan intra oral atau ruang nasal, maka perlu diberikan antibiotik profilaksis terhadap organisme gram-positif dan anaerob selama 5-10 hari. Setelah pembedahan, observasi pasien selama semalam terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan, masalah pada jalan nafas, dan muntah. Jika menggunakan fiksasi dengan kawat pada IMF, tempatkan pemotong kawat di

236

dekat pasien setiap saat pada awal periode post-operasi untuk mengeluarkan muntah. Lepas kawat atau rubber band apabila pasien mulai merasa mual. Sebelum pulang, instruksikan pasien mengenai cara melepas IMF apabila muntah. Selain itu, pasien diberi tahu untuk membatasi diet yaitu bubur atau cairan.10

E. Follow Up Lakukan evaluasi follow-up pada hari ke 5-7 (jahitan kulit dapat dilepas pada saat ini), minggu ke 2-4, lalu minggu ke 3-8 untuk melepas IMF. Follow-up jangka panjang mungkin dibutuhkan untuk memonitor terjadinya komplikasi postoperasi atau deformitas. Tujuan paling penting selama periode awal post-operasi yaitu memelihara imobilisasi. Tergantung pada umur dan kesehatan umum pasien, keparahan dan displacement fraktur, serta teknik perawatan yang digunakan, periode ini berkisar antara 4-8 minggu. Sehingga IMF perlu dirawat selama periode ini. Selama periode ini, tekankan pasien untuk memelihara kebersihan mulut dengan rajin menyikat gigi dan arch bar dan berkumur dengan saline atau mouthwash antiseptik setiap pagi dan malam serta setiap habis makan. Pada pemeriksaan post-operasi, lakukan tes stabilitas tulang wajah dengan mempalpasi geligi rahang atas pasien saat menggigit dan merelaksasi otot pengunyahan. Terdapatnya Pergerakan minimal mungkin masih dapat diterima, tapi mobilisasi berlebihan dapat mengindikasikan terjadinya penyembuhan yang buruk. Pengambilan foto post-operasi (misal, serial mandibula, Panorex dental views, facial series, CT scan) dapat membantu pada pasien yang dicurigai terjadi malunion. Apabila tulang wajah telah sembuh dengan baik dan didapat oklusi normal, IMF dapat dilepas. Mobiliti vertikal yang minimal pada midfasial dapat pulih seiring dengan waktu. Pergerakan yang berlebihan mengindikasikan terlalu dininya melepas arch bar atau terdapatnya masalah penyatuan tulang. Pada umumnya, MMF dapat dilepas lebih cepat pada fraktur yang diperbaiki dengan

237

fiksasi miniplate, dan lebih lama pada fraktur yang diperbaiki dengan kawat interosseus atau suspensi.10

238

BAB III KOMPLIKASI

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat fraktur maksila dan penyembuhannya biasanya tidak tampak hingga beberapa minggu hingga bulan setelah terjadinya trauma, tetapi potensi kemunculannya dapat diperkirakan selama evaluasi dan perawatan. Komplikasi yang mungkin terjadi sehubungan dengan fraktur maksila antara lain:4 1. Parestesi n. infraorbital 2. Enopthalmus 3. Infeksi 4. Alat terekspos 5. Deviasi septum 6. Obstruksi nasal 7. Perubahan penglihatan 8. Nonunion 9. Malunion atau maloklusi 10. Epiphora 11. Reaksi benda asing 12. Jaringan parut 13. Sinusitis Terjadinya obstruksi jalan nafas perioperatif dan postoperatif jarang terjadi pada fraktur maksila tunggal. Bagaimanapun, kondisi ini dapat terjadi sehubungan dengan ekstubasi, dengan hematom septum atau nasal packing, dan dengan edem berat jaringan lunak yang menghalangi pernafasan melalui jalan nafas nasal. Pasien dengan fiksasi intermaksilari dan gigi lengkap biasanya mengalami kesulitan pernafasan pada saat ini. Reintubasi, pembukaan jalan nafas nasofaringeal, dan pembukaan fikasi intermaksilari dapat efektif menghilangkan

239

gangguan jalan nafas. Faktur pada septum nasal yang tidak diperbaiki dapat menyebabkan terjadinya obstruksi jalan nafas postoperatif yang akan tetap ada hingga semua pembengkakan jaringan lunak hilang. 4 Sinusitis akut dapat terjadi akibat tindakan intubasi trakheal yang berkepanjangan. Sinusitis akut atau kronik dapat juga terjadi pada sinus ethmoid, sphenoid, frontal, dan maksila, karena fraktur dapat mengobstruksi duktus sinus atau ostia.4 Hemoragi post operatif dapat terjadi jika arteri dan vena tidak diligasi ketika memperbaiki laserasi, jika reduksi tulang inadekuat dapat menyebabkan perdarahan berlanjut, jika terjadi aneurisma, atau jika arteri sebagian terpotong. Laserasi sebaiknya diperiksa ulang sehingga hemoragi dapat dikontrol. Hematom yang ada, sebaiknya didrainase. Pada perdarahan tulang sebaiknya dilakukan reduksi ulang atau menggunakan bone wax. Hemoragi dari arteri utama harus segera ditangani, apabila sumbernya tidak dapat diidentifikasi, maka perlu dilakukan arteriografi dan embolisasi. fraktur maksila tersendiri.4 Karena kedekatan maksila dengan orbita, maka dapat terjadi komplikasi yang berhubungan dengan penglihatan. Kebutaan jarang terjadi sehubungan dengan fraktur midfasial dan paling sering terjadi pada pola fraktur yang melibatkan orbita, seringkali dengan mekanisme jejas yang lebih berat. Kebutaan postoperatif imediet dapat merupakan komplikasi reduksi pada fraktur Le Fort III (atau fraktur yang melibatkan orbita) dan terjadi akibat peningkatan hemoragi atau tekanan intraorbital, spasme arteri retinal, hemoragi retrobulbar, dan menekannya fragmen tulang pada nervus optikus. Fraktur pada dasar orbita yang tidak terdiagnosa atau ditangani dengan tidak adekuat (sendiri atau kombinasi dengan komponen zigoma) dapat menyebabkan terjadinya enopthalmus dan diplopia. 4 Komplikasi postoperatif lain yaitu salah penempatan segmen tulang atau alat fiksasi. Komplikasi ini dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan klinis (misal, maloklusi) atau pemeriksaan radiografi postoperatif. Perlu dilakukan prosedur pembedahan kedua untuk memperbaiki komplikasi tersebut. 4 Aneurisma dan pseudoaneurisma

merupakan komplikasi trauma pada maksilofasial tetapi jarang terjadi akibat

240

BAB IV KESIMPULAN

Dari penjabaran tentang fraktur maksila secara umum tadi dapatlah diambil kesimpulan bahwa: 1. Sebaiknya klinisi membuat diagnosa yang tepat dengan memperhatikan anamnesa, pemeriksaan klinis dan didukung dengan pemeriksaan radiology demi tercapainya perawatan yang tepat pula. 2. Perhatikan komplikasi yang menyertai fraktur maksila seperti Perdarahan yang hebat, Kehilangan kesadaran, Obstruksi jalan nafas dan Kebocoran cerebrospinal renorrhoe. 3. Pengenalan tanda- tanda khas terjadinya fraktur Le fort I, II, III seperti: Elongasi fasial, Dish face, Open bite klasik, Mobilitas seluruh rahang

atas atau setengah wajah yang menandakan lepasnya kontinuitas maksila dengan basis cranial. 4. Perawatan dilakukan sesegera mungkin untuk mensegah terjadinya komplikasi seperti infekasi, malunion dan lain-lain. 5. Immobilisasi segmen fraktur merupakan aspek perting untuk mencegah terjadinya kegagalan perlekatan (malunion ). 6. Perawatan dengan memakai metode tertutup atau terbuka disesuaikan denga indikasinya masing-masing. 7. Perkembangan baru dengan memakai miniplate dan skrup untuk menghasilkan fiksasi dari reduksi fragmen yang rigid dengan mengurangi waktu perawatan dan mempercepat penyembuhan.

241

DAFTAR PUSTAKA

1. James R. Hupp. 2008. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, 5th ed. St. Louis: Mosby. 2. Fonseca. 2005. Oral and Maxillofacial Trauma vol.2. St. Louis: Elsevier. 3. Thaller, S.R., McDonald, W.S. 2004. Facial Trauma. Miami: Marcel Dekker, Inc. 4. Peterson. 2004. Principles of Oral and Maxillofacial Surgery, 2nd ed. Hamilton: BC Decker Inc. 5. Ellis, Edward. 2000. Assesment of Patients with Facial Fractures.Dallas: Saunders. 6. Pedersen, G.W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: EGC. 7. Moore, U.J. 2001. Principles of Oral and Maxillofacial Surgery. 5th ed. Oxford: Blackwell-Science. 8. http://www.gla.ac.uk/ibls/US/cal/anatomy/trauma/maxillaclinfeat.htm 9. Pedlar, J and Frame J.W, 2001, Oral and Maxillofacial Surgery. Edinburg: Curchill Livingstone. 10. Moe, K.S. 2009. Maxillary and Le Fort Fractures Treatment & Management. treatment#a1135. http://emedicine.medscape.com/article/1283568-

242

FRAKTUR KOMPLEKS ZYGOMA

Leidya Valentina Elizabeth 160121120009

Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Bedah Mulut Dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung

Abstrak Trauma akan menimbulkan jejas baik pada jaringan lunak maupun pada jaringan keras. Jejas yang mengenai jaringan keras dapat merupakan suatu fraktur tulang, di antaranya fraktur zygoma4. Fraktur zygoma merupakan cedera wajah yang sering terjadi, dan berada pada urutan kedua setelah fraktur nasal. Insiden yang tinggi ini kemungkinan disebabkan oleh posisi zygoma yang prominen terhadap tulang wajah2. Penatalaksanaan fraktur zygoma pada dasarnya sama dengan

penatalaksanaan fraktur maksilofasial lainnya yaitu meliputi reduksi, fiksasi, dan imobilisasi. Namun karena strukturnya yang kompleks tentu saja

penatalaksanaannya pun lebih rumit. Maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai gejala klinis, gambaran radiografi, perawatan serta komplikasi yang dapat terjadi pada fraktur komplek zygoma.

Kata kunci : Fraktur Kompleks Zygoma, Reduksi, Fiksasi

243

BAB I PENDAHULUAN

Trauma pada wajah midfasial dapat menyebabkan fraktur yang melibatkan maksila, zygoma dan komplek nasoorbital ethmoid. Fraktur midfasial cenderung terjadi pada sisi benturan dan bagian yang lemah seperti sutura, foramen, dan aperture. Tergantung dari mekanisme injuri, dan seringkali fraktur midfasial melibatkan tulang zygoma. Tulang zygoma mempunyai permukaan luar yang cembung dan kasar, serta membentuk penonjolan pada pipi kiri dan kanan (penonjolan malar). Tulang zygoma memegang peranan penting dalam menentukan lebar wajah dan juga berperan sebagai major buttress (tulang dengan struktur yang tebal, yang menopang proporsi kraniofasial dalam ukuran tinggi, lebar dan anteroposterior) pada struktur wajah tengah, yaitu antara maksila dan cranium3. Tulang zygoma mempunyai struktur yang kuat, tetapi adanya penonjolan tulang membuat tulang ini juga dapat mengalami fraktur jika mendapatkan trauma yang hebat yang dapat terjadi karena pukulan atau akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Insidensi, etiologi, predileksi umur dan jenis kelamin dari trauma zygoma bervariasi, tergantung pada status sosial, ekonomi, pendidikan dan politik dari suatu populasi yang diteliti. Dari kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa wanita lebih banyak terkena dari pada pria dengan rasio 4 : 1. Beberapa literatur mengatakan bahwa puncak insidensi dari trauma terjadi antara dekade kedua dan ketiga dari kehidupan. Dalam beberapa penelitian, penyebab fraktur tulang zigoma adalah kekerasan dimana pada sisi yang lain kecelakaan kendaraan bermotor juga merupakan penyebab yang sering terjadi. Etiologi dari terjadinya fraktur juga dipengaruhi oleh keadaan suatu populasi penduduk dimana pada penelitian terdahulu terlihat bahwa

244

yang banyak mempengaruhi adalah pada populasi dari area industri dengan tingkat pengangguran yang tinggi sehingga kekerasan interpersonal masih banyak terjadi. Selain karena tindak kekerasan dan kecelakaan lalu lintas, etiologi dari fraktur zygoma juga dapat disebabkan karena terjatuh, kecelakaan pabrik, benturan sewaktu olahraga, luka tembakan atau berupa fraktur patologis, yang disebabkan oleh suatu penyakit. Pada fraktur zygoma yang disebabkan oleh kekerasan, tulang zygoma kiri adalah yang banyak terkena. Keadaan ini berbeda dengan keadaan fraktur zygoma yang disebabkan karena kecelakaan kendaraan bermotor. Fraktur zygoma bilateral jarang terjadi, diperkirakan hanya terjadi sebanyak 4% dari 4067 kasus fraktur zygoma dalam sepuluh tahun yang dilaporkan oleh Ellis dan kawan-kawan, dan mereka juga menemukan bahwa fraktur bilateral hanya terdapat pada kasus kecelakaan, hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa fraktur zygoma akibat kecelakaan kendaraan bermotor lebih parah jika dibandingkan dengan kasus serupa yang terjadi akibat kekerasan. Penanganan yang tepat dapat menghindari efek samping baik anatomis, fungsi, dan kosmetik. Tujuan utama perawatan fraktur fasial adalah rehabilitasi penderita secara maksimal yaitu penyembuhan tulang yang cepat, pengembalian fungsi okuler, fungsi pengunyah, fungsi hidung, perbaikan fungsi bicara, mencapai susunan wajah dan gigi-geligi yang memenuhi estetis serta memperbaiki oklusi dan mengurangi rasa sakit akibat adanya mobilitas segmen tulang.

245

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI TULANG ZYGOMA Tulang zygoma merupakan bagian dari dinding lateral dan dasar rongga orbita (Gambar 1a). Pada beberapa individu membentuk lateral atas dari pada sinus maksilaris. Tulang ini mempunyai satu tonjolan yaitu processus temporalis ossis zygomaticus yang menonjol ke dorsal dan berhubungan dengan processus zygomaticus ossis temporalis yang menuju ke arah ventral. Kedua penonjolan arcus ini bersama-sama membentuk arcus zygomaticus.

Gambar 1a. Anatomi dan letak tulang zygoma 3

Zygoma memiliki empat proyeksi yang menciptakan bentuk quadrangular atau tetrapod yang meliputi: bidang frontal, temporal, maksilaris, dan infraorbital. Zygoma berartikulasi dengan empat tulang: frontal, temporal, maksila, dan sphenoid. Fraktur kompleks zygoma meliputi gangguan pada keempat sutura yang berartikulasi, yaitu: sutura zygomaticofrontal, zygomaticotemporal,

zygomaticomaksilaris, dan zygomaticosphenoid (Gambar 1b). Struktur tulang zygoma adalah kuat, tetapi bila mendapat trauma atau pukulan hebat mudah patah. Tempat-tempat yang mudah patah adalah sutura

246

sphenozygomatika,

sutura

zygomatikomaksilaris,

sutura

zygomatikotemporalis dan sutura zygomatikosphenoid. Beberapa muskulus yang melekat pada tulang zygoma : m. masseter, m. pterygoideus externa, m. zygomaticus, m. levator labii superior dan m. temporalis. Muskulus maseter menempel pada aspek inferior dari zygoma. Pada kasus fraktur adanya rotasi inferior dari tulang zygoma setelah penatalaksanaan reduksi dapat disebabkan karena lokasi m. maseter ini. Selain otot-otot, pada tulang zygoma juga melekat dua buah ligamen yaitu ligamen kapsular dan ligamen temporomandibular.

Gambar 1b. Perlekatan otot-otot dan sutura 2

Seluruh fraktur kompleks zygomatik melibatkan dasar orbita, dan oleh karena itu sebuah pemahaman gambaran anatomis orbita adalah penting untuk mereka yang merawat cedera ini. Orbita adalah piramid quadrilateral yang berbasis anterior. Dasar orbita melandai kearah inferior dan yang paling pendek pada dinding orbita, rata-rata 47 mm. Ia terdiri dari lingkaran orbita maksila, permukaan orbita pada tulang zygomatik, dan prosesus orbital dari tulang palatinus.

247

Dinding medial dan lateral berkonvergen di posterior pada apeks orbital. Dinding medial terdiri dari prosesus frontal maksila, tulang lakrimal, lingkaran orbital ethmoid, dan sebagian kecil dari badan sphenoid. Dinding orbital lateral adalah yang tertebal dan terbentuk oleh zygoma dan gerater wing dari os sphenoid. Dasar orbital terdiri dari tulang frontal dan sayap yang lebih kecil dari sphenoid. Arcus zygomatikus termasuk prosesus temporal zygoma dan prosesus zygomatik dari tulang temporal. Fossa glenoid dan eminensia artikularis terlokasi pada aspek posterior prosesus zygomatikus tulang temporal. (Gambar 2)

Gambar 21

Saraf sensori yang berhubungan dengan zygoma adalah divisi kedua nervus trigeminal. Cabang-cabang zygomatik, fasial, dan temporal keluar dari foramina pada tubuh zygoma dan memberikan sensasi pada pipi dan daerah temporal anterior. Nervus infraorbital melewati dasar orbital dan keluar pada foramen infraorbital. Hal ini memberikan sensasi pada pipi anterior, hidung lateral, bibir atas, dan geligi anterior maksila. Otot-otot ekspresi wajah yang berasal dari zygoma termasuk zygomaticus mayor dan labii superioris. Mereka diinervasi oleh nervus kranialis VII. Otot masseter menginsersi sepanjang

248

permukaan temporal zygoma dan arcus dan diinervasi oleh sebuah cabang dari nervus mandibularis. (Gambar 3)

Gambar 32

Fascia temporalis berlekatan ke prosesus frontal dari zygoma dan arcus zygomatik. Fascia ini menghasilkan resistensi pergeseran inferior dari sebuah fragmen fraktur oleh penarikan kebawah dari otot masseter(Gambar 4).

Gambar 42

249

Posisi bola mata dalam hubungan dengan aksis dipertahankan oleh ligamen suspensori Lockwood. Perlekatan ini lebih kearah medial hingga aspek posterior dari tulang lakrimal dan lateral terhadap tuberkel orbital (Whitnall) (yang adalah 1 cm dibawah sutura zygomaticofrontal pada aspek medial dari prosesus frontal dari zygoma). Bentuk dan lokasi dari canthi medial dan lateral kelopak mata dipertahankan oleh tendon canthal. Tendon canthal lateral berlekatan dengan tuberkel Whitnall. Tendon canthal medial berlekatan dengan krista lakrimal anterior dan posterior. Fraktur kompleks zygomatik seringkali dibarengi dengan sebuah antimongoloid (kearah bawah) dari daerah canthal lateral yang disebabkan oleh pergeseran zygoma.

2.2 KLASIFIKASI FRAKTUR ZYGOMA Jackson (1989) membuat klasifikasi fraktur zigomatikus yang

disederhanakan menurut pola dan pergeseran serta perawatannya. Gruss dkk (1990) menekankan peran pola fraktur pada zygoma untuk reduksi yang akurat dan mengklasifikasikan fraktur ini menurut tingkat keparahan tulang pada badan zygoma dan arkus zygoma (Trott et al, 1995).

A. Jackson (1989) Grup I Grup II Grup III Undisplaced fractures - tidak ada perawatan Localized segmental fractures - pembukaan dan fiksasi Displaced tripod fractures (low velocity) elevasi sederhana atau elevasi, pembukaan dan fiksasi Grup IV Displaced comminuted fractures (high velocity) pembukaan luas dan fiksasi multipel.

B. Gruss dkk (1990) 1. Badan zygomatikus a. Intact b. Undisplaced c. Segmental

250

d. Displaced e. Comminuted

2. Arkus Zygomatikus a. Intact b. Undisplaced c. Segmenta d. Displaced : inferior dengan depresi dan lateral e. Comminuted

C. Menurut

Knight

dan

North,

fraktur

zygoma

dapat

dikalsifikasikan sebagai berikut2 ; 1. Fraktur tanpa displacement, hanya retakan saja. Dalam hal ini tidak diperlukan penatalaksanaan. Pemeriksaan secara radiologis menunjukkan adanya fraktur, tetapi tidak memperlihatkan pergeseran. 2. Fraktur arkus zygomatikus dengan displacement. Fraktur ini disebabkan oleh pukulan langsung pada arkus zygomatikus, menyebabkan busur ini melekuk ke dalam tanpa mempengaruhi sinus maksilaris ataupun rongga mata. 3. Fraktur zygoma tanpa perputaran. Fraktur ini disebabkan oleh pukulan langsung terhadap penonjolan dari tulang zygoma, sehingga terjadi fraktur dan pergeseran tulang

langsung ke dalam sinus maksilaris. Pada umumnya tulang terdorong ke belakang, ke dalam dan sedikit mengarah ke bawah sehingga pipi menjadi rata dan terjadi perubahan bentuk pada tepi infra orbital. Dalam pemeriksaan radiologis timbul pergeseran ke bawah dari tepi infra orbita, pergeseran pada sutura zygomatikofrontalis dan

penonjolan tulang zygoma ke dalam. 4. Fraktur zygoma dengan perputaran ke median.

251

Fraktur dan pergeseran timbul karena pukulan pada penonjolan tulang zygoma di atas sumbu mendatarnya, sehingga tulang yang mengalami fraktur tergeser ke belakang, ke dalam dan ke bawah. Pemeriksaan radiologis memperlihatkan pergeseran ke bawah dari tepi infraorbital, sutura zygomatikofrontalis keluar atau dapat ke dalam. 5. Fraktur tulang zygoma dengan perputaran ke lateral. Fraktur disebabkan karena pukulan di bawah sumbu datar dari tulang zygoma, sehingga tulang terdorong ke dalam dan ke belakang. Pemeriksaan radiologis memperlihatkan pergeseran keluar dari penonjolan tulang zygoma dan ke atas dari tepi infraorbita ataupun keluar sutura zygomatikofrontalis. 6. Fraktur kompleks. Disini termasuk semua kasus dimana didapatkan garis fraktur saling menyilang lebih dari satu. Kebanyakan fraktur zygoma terjadi pada arkus dalam meliputi lateral orbital 2. Fraktur arkus zygomatikus menyebabkan depresi pada pipi karena tekanan m. masseter pada arah posterior, medial dan inferior. Pada 1990, Manson et.al mengajukan sebuah metode klasifikasi yang didasarkan pada pola segmentasi dan pergeseran3: Fraktur yang memperlihatkan sedikit atau tidak ada pergeseran diklasifikasikan sebagai cedera energi-rendah. Fraktur incomplete (tidak lengkap) pada satu atau lebih artikulasi dapat terlihat. Fraktur energi-menengah memperlihatkan fraktur lengkap ( complete) pada seluruh artikulasi dengan pergeseran ringan hingga moderat. Serpihan mungkin dapat timbul (Gambar 5). Fraktur energi-tinggi ditandai dengan serpihan pada orbit lateral dan pergeseran lateral dengan segmentasi pada arcus zygomatik (Gambar 6). Zingg dan kolega, dalam sebuah tinjauan pada 1.025 fraktur zygomatik, mengklasifikasikan cedera-cedera ini kedalam tiga kategori. Fraktur-fraktur tipe A adalah fraktur energi rendah tidak lengkap dengan fraktur hanya pada satu pilar zygomatik: arcus zygomatik, dinding orbita lateral, atau lingkaran infraorbita.

252

Fraktur tipe B mengacu pada fraktur monofragmen lengkap dengan fraktur dan pergeseran disepanjang keempat artikulasi. Fraktur multifragmen tipe C termasuk fragmentasi badan zygomatik.

2.3 DIAGNOSA FRAKTUR ZYGOMA Riwayat yang terperinci akan banyak membantu dalam menentukan diagnosa. Untuk menegakkan diagnosa fraktur tulang zygoma dilakukan pemeriksaan : Riwayat kecelakaan Riwayat kecelakaan dapat diketahui dengan memberi pertanyaanpertanyaan kepada penderita untuk memperoleh keterangan yang objektif. Bila penderita tidak dapat memberi keterangan-keterangan tersebut, dapat kita tanyakan kepada pengantar yang melihat terjadinya kecelakaan. Asal mula terjadinya fraktur tulang zygoma harus diketahui, apakah karena kecelakaan lalu lintas atau karena pukulan. Keadaan penderita sewaktu terjadi kecelakaan harus diketahui, apakah dalam keadaan sadar atau tidak, berapa lama dalam keadaan tidak sadar. Jennet dan Teasdale memperkenalkan sistem Glasgow Scale (GCS) untuk melihat tingkat kesadaran. Skala ini menggunakan 3 parameter: Eye opening, best motor responsen dan best verbal response dimana nilai antara 08 untuk severe head injury, nilai 9-12 untuk moderate head injury dan nilai antara 13-15 untuk mild head injury9. Selain itu diperhatikan apakah terdapat perdarahan melalui mulut, telinga atau hidung, terjadi muntah atau tidak dan riwayat penyakit yang pernah diderita. Bila riwayat secara lengkap tidak dapat ditanyakan kepada penderita atau pengantar penderita, maka dapat ditanyakan kemudian setelah penderita agak pulih. Pemeriksaan fisik Hal ini penting untuk menentukan rencana penatalaksanaan yang akan dijalankan. Kecelakaan yang serius dapat menyebabkan kolaps. Kolaps yang lama dan terus menerus akan menyebabkan shok, yang ditandai dengan

253

tekanan darah rendah, nadi cepat tetapi lemah, kulit lembab, dingin dan pucat, pernafasan cepat dan dangkal, bibir dan kuku stanosis, pupil berdilatasi dan penderita apatis. Ketidaksadaran yang lama menandakan adanya kontusio cerebri. Perdarahan dari mulut, hidung dan telinga menandakan terjadinya fraktur basis kranii. 1. Pemeriksaan mata Pupil berdilatasi menandakan adanya shok. Diplopia disebabkan karena kerusakan dari syaraf infraorbita. Gangguan dari pergerakan bola mata disebabkan karena otot-otot penggerak mata terjepit sehingga fungsinya terganggu. Ketidaknormalan dari pinggir infraorbita dalam pemeriksaan palpasi menyatakan adanya kerusakan dari dasar orbita. Retraksi dari jaringan lunak sudut mata menyatakan adanya penurunan dinding periorbita ke arah sinus maksilaris. 2. Pemeriksaan telinga Bila terjadi perdarahan atau terdapat cairan serebrospinal pada satu atau kedua lubang telinga menunjukkan adanya fraktur pada petrosa tulang temporal. Perdarahan pada tulang telinga menunjukkan pecahnya basis kranii. 3. Gejala neurologis Hilangnya perasaan pada perabaan (anesthesia) dari kelopak mata bawah, lateral hidung atau bibir bagian atas disebabkan rusaknya nervus infraorbitalis. Bila nervus zygomatikofasialis atau nervus

zygomatikotemporalis rusak menyebabkan hilangnya perasaan pada pipi dan temporal bagian depan. Kerusakan dari syaraf fasialis menyebabkan Bells palsy yaitu sudut mulut terkulai dan mata tidak bisa mengedip. 4. Gejala-gejala fraktur zygoma Gejala-gejala fraktur ini sangat penting untuk mengetahui tindakan penatalaksanaan apa yang harus didahulukan. Misalnya pada fraktur tulang zygoma yang serius sehingga menyebabkan pecahnya basis kranii, penderita harus segera dibawa ke bagian neurochirurgis. Penderita yang berada dalam keadaan yang tidak sadar tidak boleh dilakukan operasi sebelum penderita sadar.

254

5. Pemeriksaan visual Diagnosa yang langsung dapat dilihat dari gambaran karakteristik yang segera dapat dikenali yaitu muka terlihat asimetri karena adanya pendataran kontur pada pipi yang mengalami fraktur. Hilangnya ekspresi pada pipi yang mengalami fraktur, unilateral epistaksis, hematoma, penurunan bola mata pada sisi yang fraktur, retraksi dari sudut mata. 6. Pemeriksaan dengan cara palpasi Pemeriksaan zygoma meliputi inspeksi dan palpasi. Inspeksi dilakukan dari bagian frontal, lateral, superior dan inferior 3. Harus dicatat tingkat simteris, level pupil, adanya edema orbital dan ekimosis subkonjungtival dan proyeksi anterior dan lateral dari zygoma. Metoda yang paling berguna untuk mengevaluasi posisi dari tubuh zygoma adalah dari pandangan superior (.

Gambar 51

Pasien dapat ditempatkan dalam posisi berbaring atau bersandar dikursi. Ahli bedah menginspeksi dari atas, mengevaluasi bagaimana proyeksi anterior dan lateral dari zygoma terhadap tepi supraorbital, dibandingkan sisi yang satu dengan yang lain3,7. Pada saat akan melakukan pemeriksaan dengan posisi seperti ini akan memudahkan untuk menempatkan posisi jari telunjuk di bawah tepi infraorbita, sepanjang zygoma, memberikan tekanan pada jaringan yang edema guna palpasi dan mengurangi efek visual dari edema secara simultan. Pandangan superior juga membantu dalam mengevaluasi kemungkinan terjadinya depresi dari arkus zygoma. Tidak boleh dilupakan untuk melakukan pemeriksaan intraoral,

255

karena fraktur zygoma sering disertai dengan ekimosis pada sulkus bukalis superior dan oleh fraktur dentoalveolar maksilaris. Palpasi harus dilakukan dengan sistematik dan teliti, dibandingkan antara sisi yang satu dengan yang lain. Tepi orbita dipalpasi dulu. Tepi infraorbita dipalpasi dengan jari telunjuk yang secara ritmik digerakkan dari sisi yang satu ke sisi yang lain sepanjang tepinya. Tepi orbita lateral dipalpasi dengan jari telunjuk dan ibu jari. Jari telunjuk juga digunakan sepanjang aspek bagian dalam dari tepi orbita lateral, dimana sering ditemukan fraktur dengan melakukan palpalsi di bagian dalam dari tepi orbita yang berlawanan arah sepanjang aspek lateral. Bila terdapat fraktur, palpasi seringkali harus dilakukan dengan cara yang halus. Tubuh dan arkus zygoma paling baik dipalpasi dengan dua atau tiga jari yang bergerak secara melingkar, dibandingkan dengan sisi yang berlawanan. Tonjolan zygoma dari maksila dipalpasi dari dalam mulut dengan satu jari, untuk mengetahui adanya hematoma atau irregularitas3.

2.3.1 TANDA DAN GEJALA FRAKTUR ZYGOMA Adanya tanda dan gejala serta keparahannya sangat tergantung pada luas dan tipe dari luka zygoma. Misalnya, pendataran wajah akan lebih nyata pada cedera pada zygoma yang displaced dibandingkan dengan fraktur yang nondisplaced. Sama halnya dengan fraktur arkus zygoma yang mungkin kurang mengakibatkan gangguan okuler dibandingkan dengan fraktur kompleks zygoma. Tanda dan gejala berikut ini bisa menyertai fraktur zygoma dan oleh karena itu harus dievaluasi3 : 1. Ekimosis dan edema periorbital. Edema dan perdarahan ke dalam jaringan ikat longar dari kelopak mata dan derah periorbital adalah tanda yang paling umum yang menyertai fraktur tepi orbita. Bengkak yang seringkali masif mungkin terjadi dan paling dramatis pada jaringan periorbital, dimana kelopak mata mungkin tertutup karena bengkak. Ekimosis mungkin hanya terdapat pada kelopak mata bawah dan derah infraorbita atau di sekitar seluruh tepi orbita. 2. Pendataran dari tonjolan pipi.

256

Ini adalah tanda yng paling biasa ditemukan pada cedera komplek zygoma yang dilaporkan 70-86% kasus, khususnya jika terdapat distraksi dari sutura frontozygomatikus dan rotasi dan atau remuknya bagian medial. Pendataran mungkin sulit untuk dilihat segera setelah terjadinya cedera jika terdapat edema; namun biasanya dapat diperoleh dengan menekankan jari telunjuk pada jaringan lunak darah zygoma dan membandingkan satu sisi dengan yang lainnya dari sebelah atas pasien. 3. Pendataran di atas arkus zygoma. Lekukan yang khas atau hilangnya kurvatura cembung yang normal dari daerah temporal menyertai fraktur dari arkus zygoma. 4. Nyeri. Kecuali jika ada pergerakan dari segmen fraktur, nyeri hebat bukan merupakan gambaran yang normal dari cedera zygoma meskipun pasien akan mengeluh karena merasa tidak nyaman sehubugan adanya memar. Palpasi dari sisi fraktur juga akan menimbulkan rangsangan nyeri. 5. Ekimosis dari sulkus bukalis maksila. Tanda yang penting dari fraktur zygoma atau fraktur maksila adalah ekimosis pada sulkus bukalis maksila. Ekimosis ini bisa terjadi meskipun hanya dengan sedikit gangguan pada maksila lateral atau anterior dan seharusnya tanda ini dicurigai sebagai fraktur zygoma. 6. Deformitas pada tonjolan zygomatik dari maksila. Palpasi intraoral dari aspek anterior dan lateral dari maksila seringkali menunjukkan irregularitas dari permukaan halus yang normal, khususnya di daerah tonjolan zygomatikus dari maksila. Juga sering teraba fragmen tulang yang remuk, yang menimbulkan krepitasi. Jika pada manuver ini tidak teraba tenderness, mungkin tidak terdapat adanya fraktur. Tidak adanya nyeri menunjukkan tidak adanya fraktur, tetapi adanya nyeri belum tentu ada fraktur, karena nyeri bisa ditimbulkan karena cedera pada jaringan lunak atau fraktur maksila. 7. Deformitas dari tepi orbita.

257

Fraktur yang terjadi sepanjang tepi orbita seringkali menimbulkan celah atau deformitas jika terjadi displacement. Deformitas ini sering ditemukan pada tepi infra orbita dan tepi orbita lateral bila terjadi fraktur zygoma. 8. Trismus. Terbatasnya kemampuan untuk membuka mulut sering terjadi bersamaan cedera zygoma, terjadi pada kira-kira sepertiga kasus, dan lebih banyak lagi terjadi pada fraktur tertutup dari arkus zygoma (45%). Alasan yang sering dikemukakan untuk terjadinya trismus pasca fraktur adalah bergesernya prosesus koronoideus mandibula pada fragmen zygoma yang berubah posisi. Sebenarnya terjadinya pergeseran ini pada sebagian besar kasus masih meragukan, karena diperlukan perubahan posisi yang cukup besar untuk menyebabkan gangguan mekanik. Penjelasan yang lebih mendekati adalah spasme otot yang terjadi sekunder terhadap pergeseran oleh fragmen yang berubah posisi, khususnya pada otot temporalis. Temuan lain adalah terdapatnya deviasi kearah sisi yang fraktur pada saat mulut dibuka. 9. Epistaksis. Apabila mukosa sinus mengalami gangguan, mungkin terjadi perdarahan pada sinus tersebut. Kebanyakan fraktur melalui dinding sinus yang hanya mengalami sedikit perubahan posisi akan merobek mukosa yang melapisinya, menghasilkan perdarahan internal. Karena sinus maksilaris dialirkan ke hidung melalui meatus tengaha, perdarahn unilateral dari hidung yang mungkin terjadi adalah kira-kira 30-50% dari cedera komplek zygoma. 10. Sensibilitas saraf yang abnormal. Gejala penting yang ditemukan pada kira-kira 50-90% dari cedera komplek zygoma adalah berkurangnya sensasi nervus infraorbitalis. Parestesi nervus infraorbitalis lebih sering terjadi pada fraktur dengan perubahan posisi daripada yang tidak. Meskipun sulit untuk membedakan antara anestesia dari sensasi yang berubah pada penelanan, jaringan edema, yang pada saat bengkaknya berkurang, anestesia nervus orbitalis mulai dirasakan. Anestesia infraorbital terjadi bila fraktur yang melalui dasar atau maksila naterior menyebabkan robeknya, terpotongnya atau kompresi dari nervus infarorbitalis sepanjang kanalis atau

258

foramennya. Bila garis fraktur terjadi lateral dari jalur dan foramen infraorbital (lebih jarang terjadi) nervus infraorbitalisnya akan terselamatkan. Terganggunya nervus orbitalis akan menyebabkan anestesia kelopak mata bawah, bibir atas dan bagian lateral hidung. Gejala tersebut bisa mempengaruhi sensitivitas gigi dan gusi maksila. 11. Ekimosis subkonjungtiva. Perdarahan subkonjungtiva sering ditemukan pada fraktur zygoma, sekitar 5070% kasus. Mungkin disertai retak yang sangat tipis melalui tepi orbita jika periosteum telah robek. Kehadirannya tidak mengesampingkan adanya fraktur tepi orbita, karena tidak adanya gangguan dari periosteum, perdarahan yang mungkin terjadi dapat terskumulasi pada lokasi subperiosteal dan tidak tampak dibawah konjungtiva. Bila terjadi, ekimosis subkonjungtiva biasanya tidak mempunyai batas posterior dan kan tampak berwarna merah cerah sesuai dengan kemampuan oksigen untuk menyebar melalui konjungtiva untuk pengumpulan darah. 12. Krepitasi dari emfisema udara. Fraktur yang melalui dinding sinus, dengan robekan pada mukosa yang melapisi, menyebabkan udara bergerak menuju jaringan lunak wajah jika tekanan diantara sinus lebih besar daripada tekanan didalam jaringan. Jaringan lunak dari daerah periorbita terutama kelopak mata, cenderung terinflasi oleh udara karena kehilangan sifat areolar. Jika terjadi inflasi dapat dilakukan palpasi dan menimbulkan krepitasi, yang menunjukkan emfisema subkutan. Hal ini yang paling mudah dikerjakan dengan jalan memutarkan dua jari dengan lembut diseputar jaringan, yang akan memproduksi sensasi crackling yang khas. Hal ini tidak umum ditemukan pada fraktur zygoma, tetapi potensi untuk terjadinya emfisema udara konstan. Emfisema ini akan menghilang secara spontan dalam 24 hari tanpa perawatan. Signifikan dari emfisema ini adalah berpotensi terjadinya infeksi melalui hubungan antara sinus dan jaringan lunak. 13. Perubahan posisi dari celah palpebra. Ligamentum palpebra lateralis menempel pada bagian zygoma dari tepi orbita. Perubahan posisi dari zygoma juga termasuk palpebra yang menempelnya,

259

menghasilkan deformitas visual yang dramatis. Pada waktu zygoma mengalami perubahan posisi pada arah anterior, ligamentum palpebra lateralis juga tertekan, menyebabkan lekukan yang menurun ke celah (kemiringan antimongoloid). Karena sekat orbita menempel pada tepi infraorbita, perubahan posisi inferior atau posterior dari tepi orbita inferior menyebabkan tekanan pada kelopak mata yang lebih rendah, sehingga tampak memendek. Kondisi ini mungkin menyebabkan lebih banyak sklera yang terekspos di bawah iris dan tampak ektropion yang nyata. 14. Level pupil yang tidak sama. Dengan adanya gangguan dasar orbita dan bagian lateralnya, yang sering menyertai fraktur zygoma, hilangnya dukungan tulang dari isi orbita dan perubahan posisi dari kapsul tendon dan ligamentum suspensorium dari bola mata. Keadaan ini tampak secra klinis berupa level pupil yang tidak sama, dimana pupil pada bagian yang terkena terletak lebih rendah daripada normal. 15. Diplopia. Adalah nama yang diberikan untuk gejala pandangan kabur. Penting untuk membedakan antara dua jenis diplopia. Diplopia monocular atau kaburnya pandangan dari satu mata, sementara yang satu tertutup, memerlukan perhatian segera dari ahli mata, karena biasanya menunjukkan lepasnya lensa, hifema atau cedera traumatik lain dari bola mata. Diplopia binokular, dimana kaburnya pandangan hanya terjadi bila melihat dengan kedua mata secara bersamaan, hal ini biasa terjadi kira-kira 10-40% dari cedera zygoma. Petunjuk yang bermanfaat untuk membedakan penyebab dari diplopia adalah temuan bahwa edema yang menyeluruh dari orbita biasnya menyebabkan diplopia pada pandangan keatas dan kebawah yang ekstrim. Kuarngnya gerakan mata yang hampir lengkap dalam satu arah terjadi dengan pengaruh mekanis atau cedera neuromuskuler, yang paling banyak adalah terperangkapnya otot. Diagnosa diplopia bisa sangat sulit pada tingkat awal dimana edema atau perdarahan bisa berkurang dalam beberapa hari namun terperangkapnya jaringan orbita tetap tidak berkurang. Dapat ditentukan apakah pada fraktur terdapat isi orbita yang melalui dasar orbita dengan forced duction test. Forcep kecil digunakan untuk memegang tendon rektus inferior

260

melalui konjungtiva dari forniks inferior, dan bola mata dimanipulasi melalui seluruh arah gerakan. Ketidakmampuan rotasi bola mata ke arah superior menunjukkan secara pasti terperangkapnya isi orbita dan paralisis yang disebabkan oleh edema atau cedera neuromuskuler. Hal ini harus dilakukan secara rutin pada individu yang tidak bisa menggerakkan bola mata ke arah atas. 16. Enoftalmus. Jika cedera zygoma sudah menyebabkan kenaikan volume orbita, pada umumnya disebabkan oleh perubahan posisi lateral dan inferior dari zygoma atau gangguan dinding orbita lateral dan inferior, atau keduanya atau mengakibatkan berkurangnya volume dari isi orbita yang disebabkan oleh herniasi dari jaringan lunak orbita, dapat enoftalmus. Ini adalah diagnosa yang sulit dilakukan pada keadaan akut kecuali pada kondisi yang sangat berat, dimana edema pada jaringan lunak sekitarnya selalu menimbulkan enoftalmus relatif. Pada saat bengkaknya sudah hilang, enoftalmus akan tampak lebih nyata dan seringkali dihubungkan denga terjadinya ptosis bola mata. Manifestasi klinik dari enoftalmus dititikberatkan pada sulkus kelopak atas dan penyempitan fisur palpebra, yang menyebabkan pseudoptosis dari kelopak atas. Fraktur zygoma yang menunjukkan gejala enoftalmus kira-kira 5% dari seluruh kasus sebelum dilakukan perawatan.

2.3.2 PEMERIKSAAN RADIOGRAFIS Diagnosa fraktur zygomatik biasanya dibuat dengan pemeriksaan riwayat dan fisik. Pemindaian CT pada tulang wajah, pada bidang aksial dan koronal, adalah standar untuk seluruh pasien dengan dugaan (suspect) fraktur zygomatik. Radiografi membantu untuk konfirmasi dan untuk dokumentasi medikolegal dan untuk menentukan perluasan cedera tulang. A). Tomografi Komputasi CT adalah standar emas untuk evaluasi radiografi fraktur zygomatik. Gambaran aksial dan koronal didapat untuk menentukan pola fraktur, derajat pergeseran, dan serpihan dan untuk mengevaluasi jaringan lunak orbital. Secara spesifik, pemindaian CT memberikan visualisasi dan dasar-dasar dari tengkorak wajah tengah: dasar-dasar nasomaksilaris, zygomaticomaksilaris, infraorbital,

261

zygomaticofrontal, zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal. Pandangan koronal khususnya membantu dalam evaluasi fraktur dasar orbita (Gambar 6A). Jendela jaringan lunak, pada dataran koronal, berguna untuk mengevaluasi otototot ekstraokuler dan untuk mengevaluasi herniasi jaringan orbita kedalam sinus maksilaris. B). Radiograf Biasa Pemindaian CT (CT scan) telah menggantikan film biasa untuk diagnosa dan penanganan fraktur kompleks zygomatik. Meskipun demikian, sebuah pengetahuan kerja fundamental pada teknik ini diperlukan. Pada banyak ruang emergensi dan rumah sakit, pasien trauma akan masih menjalani evaluasi radiografi film biasa. Kemampuan untuk membaca dan interpretasi film-film ini menjadi diagnosa dan merawat pasien-pasien ini adalah penting.

GAMBAR 6. A, Coronal CT scan, terlihat gambaran zygomaticomaxillary buttress dekstra dan fraktur dasar orbital dengan herniation of orbital padamaxillary sinus. B, Waters view, terlihat gambaran fraktur kompleks zygomatic dekstra. C, Submentovertex view,terlihat gambaran displaced fraktur arkus zygomatikus sinistra.1

a. Waters View. Radiograf tunggal terbaik untuk evaluasi fraktur kompleks zygomatik adalah Waters view. Ia adalah sebuah proyeksi posteroanterior dengan kepala yang terposisi pada sudut 27 terhadap vertikal dan dagu berada pada kaset (cassette). Hal ini memproyeksikan piramida petrosa jauh dari sinus maksilaris, memberikan visualisasi sinus-sinus, orbita lateral, dan lingkaran infraorbita (Gambar 6B). Ketika hal ini dikombinasikan dengan sebuah Waters view yang

262

terangkat, sebuah pandangan stereografi dari fraktur dapat terlihat. Pada pasien yang tidak mampu mengira-ngira posisi wajah kebawah, proyeksi Waters view terbalik memberikan informasi yang sama. b. Caldwells View. Caldwells view adalah sebuah proyeksi posteroanterior dengan wajah pada sudut 15o terhadap cassette. Penelitian ini membantu dalam evaluasi rotasi (disekitar aksis horisontal).

c. Submentovertex View. Submentovertex (jug-handle) view diarahkan dari daerah submandibula ke vertex tengkorak. Ia membantu dalam evaluasi arcus zygomatik dan proyeksi malar (Gambar 6C).

263

BAB III PENATALAKSANAAN FRAKTUR KOMPLEK ZYGOMA

Tidak semua fraktur zygoma memerlukan intervensi bedah. Pada kasus fraktur yang tidak diikuti pergeseran fragmen ( undisplaced) atau dengan pergeseran minimal tidak diperlukan intervensi bedah. Jika tidak dilakukan intervensi bedah maka pasien sebaiknya diobservasi selama dua sampai tiga minggu dengan diet lunak7. Bila terjadi pergeseran fragmen maka diperlukan suatu reduksi (reposisi) dengan cara terbuka (open reduction). Reduksi tertutup tidak bisa dilakukan, karena kita tidak mungkin melakukan manipulasi eksternal1. Sebagian besar ahli bedah berpendapat, pada fraktur zygoma setelah suatu tindakan reduksi, fiksasi tidak mutlak diperlukan. Fiksasi hanya diperlukan bila ada indikasi, seperti pada fraktur communite1 Disamping itu fraktur zygoma juga sering melibatkan orbita. Davies mengemukakan adanya insiden kerusakan (disruption) dasar orbita sebesar 47% pada penderita fraktur zygoma. Pada kasus ini diantaranya diperlukan rekonstruksi dengan pemakaian implan dasar orbita atau graft untuk mendukung jaringan periorbita7.

3.1 TEKNIK REDUKSI A). Pendekatan Vestibulum Maksila Pendekatan ini paling populer, karena scar yang terjadi tidak terlihat. Berbagai instrumen juga bisa digunakan dengan pendekatan ini antara lain cushing elevetor, large Kelly hemostat, tang ekstraksi gigi3,7.

264

Gambar 7:reduksi melalui pendekatan vestibulum maksila2

Insisi dilakukan kira-kira 3 sampai 5 mm di atas mucogingival junction dari gigi insissivus pertama diperluas ke posterior sesuai keperluan, biasanya sampai gigi molar pertama. Fraktur infraorbital rim, maksila bagian anterior dan buttress zigomatikomaksila mudah dicapai dengan pendekatan ini7. Keuntungan dari pendekatan ini adalah scar yang terjadi tersembunyi, sederhana, lebih cepat dan komplikasinya sedikit 1,3 .

B). Pendekatan Supraorbital Eyebrow Pendekatan ini dilakukan untuk mendapatkan akses ke lateral orbital rim (daerah frontozigoma). Sebelum melakukan insisi, operator sebaiknya meraba daerah lateral orbital rim untuk menentukan lokasi fraktur. Insisi dilakukan sepanjang 2 cm dan bisa meluas ke bawah eyebrow sesuai lokasi fraktur 7. Pada teknik ini instrumen diinsersikan pada posterior zygoma sepanjang permukaan temporal. Instrumen digunakan untuk mengangkat zygoma ke anterior, lateral, dan tangan yang lain meraba infraorbital rim dan body zigoma. Alat yang digunakan Large Kelly hemostat, Dingman Zygomatic Elevator atau urethral sound 1,3. Secara estetis scar yang dihasilkan kurang tersembunyi pada pasien dengan eyebrow yang tidak meluas ke lateral dan disamping itu akses yang didapat tidak terlampau luas1,4.

265

Gambar 8: Pendekatan supraorbita eyebrow (alis mata) 1,3

C). Pendekatan Upper Eyelid (Kelopak Mata Atas) Pendekatan ini sering juga disebut upper blepharoplasty atau pendekatan supratarsal fold. Insisi dilakukan pada lipatan kulit di kelopak mata atas. Insisi dibuat sekurang-kurangnya 10 mm di atas tepi kelopak mata. Scar yang terbentuk didaerah ini tidak menarik perhatian1,3.

Gambar 9: Pendekatan pada kelopak mata atas1,4

D). Pendekatan Subtarsal Pendekatan ini paling sering dilakukan untuk mendapatkan akses ke orbital rim, dan dasar orbita. Insisi dibuat pada lipatan kulit di kelopak mata bawah dibawah level tarsus. Keuntungan dari pendekatan subtarsal ini adalah relatif mudah, baik secara estetis dan komplikasinya minimal1,3.

266

Gambar 10: Pendekatan subtarsal1,4

E). Pendekatan Subkonjungtiva Pendekatan ini dapat dikombinasi dengan canthotomy lateral untuk membuka dasar orbita. Sebelum tindakan ini dilakukan pemasangan pelindung kornea (corneal shell). Mula-mula dilakukan canthotomy dengan menggunakan gunting jaringan pada fisura palpebra lateral dan memotong dalam arah horizontal. Dengan menarik tepi kelopak, gunting kemudian diarahkan ke bawah kemudian dilakukan transeksi terhadap tendon chantal lateral (inferior cantholysis), bila telah sempurna kelopak mata akan jatuh bebas. Kemudian dilakukan pemisahan (undermine) palpebra konjungtiva tepat dibawah tarsus ke arah medial sampai lacrimal punctum. Salah satu ujung gunting dikeluarkan dari pocket dan dilakukan penarikan dengan retraktor, kemudian dilakukan insisi konjungtiva pada fornik dengan gunting. Setelah itu dilakukan diseksi tumpul pada orbital rim1,3.

267

D Gambar 11: Pendekatan subkonjungtiva1,3

F). Pendekatan Koronal Pendekatan ini nampaknya radikal dalam penanganan fraktur zigoma, tapi menyediakan akses yang sangat baik ke orbita, body zigoma dan lengkung zigoma tanpa komplikasi, serta Scar yang terbentuk tidak terlihat 7. Insisi ditempatkan atas dua pertimbangan. Pertama hairline, harus diantisipasi kemungkinan terjadinya kemunduran hairline, maka insisi

ditempatkan beberapa sentimeter dibelakang hairline. Kedua, besarnya akses ke inferior yang diperlukan, untuk keperluan ini insisi koronal dapat meluas ke lobus dari telinga7. Insisi dilakukan dengan menggunakan pisau no. 10 menembus kulit, sub kutis dan galea. Pada tahap ini akan ditemukan jaringan ikat longggar, flap akan dengan cepat (mudah) dilepaskan perikranium. Tepi insisi (anterior dan posterior) diangkat 1 sampai 2 cm untuk pemasangan klip hemostatik (Raney Clips). Flap anterior dipisahkan dengan diseksi tumpul sampai kira kira 2 cm dari body lengkung dan zigoma. Kemudian lapisan superfisial fasia temporal diinsisi, akan terlihat permulaan lengkung zigoma. Dari lengkung zigoma, dilakukan diseksi

268

tumpul sampai ke lateral orbita dan lengkung zigoma. Infraorbital rim dapat terlihat dengan memperluas diseksi dari lateral orbita ke medial1,3. Penutupan dimulai dengan penjahitan fasia temporal, kemudian penutupan scalp dengan dua lapis jahitan yaitu gelea dan kutis dengan benang 2-07.

Gambar 12: Pendekatan koronal1,4

G). Pendekatan Perkutan Ini merupakan teknik yang paling sederhana dan tidak memerlukan diseksi jaringan lunak dan bisa menggunakan beberapa instrument. Carol-girard screw instrument yang bisa digunakan meredukasi zigoma, screw-nya dapat tertanam dalam zigoma pada lubang yang dibuat sebelumnya. Keuntungan dari penggunaan screw ini adalah dapat dilakukan kontrol yang lebih baik dalam mengembalikan posisi zigioma. Alat lain yang sering digunakan adalah Bone hook1,3.

269

Gambar 13:Reduksi melalui pendekatan perkutan 1,3

H). Pendekatan Temporal Pada pendekatan ini dibuat insisi sepanjang 2,5 cm menembus kulit dan subkutis sampai terlihat warna putih yang merupakan fasia temporalis. Kemudian dilakukan insisi pada fasia, insisi harus cukup dalam sampai otot temporal terlihat. Setelah itu insersikan elevator diantara fasia dan otot temporal dan didorong sampai body zigoma dan mengembalikan posisinya1.

Gambar 14 : Reduksi melalui pendekatan temporal 1

3.2 PRINSIP FIKSASI Untuk mempertahankan hasil reduksi, jika hanya memerlukan satu plate, dianjurkan untuk memasang pada prosesus frontozigomatik. Pape (1997) merekomendasikan untuk menggunakan satu atau dua mikroplate pada zigomatikomaksila buttress7.

270

Pada fraktur Comminuted di infraorbital rim direkonstruksi dengan menggunakan microplate. Plate yang digunakan biasanya sebanyak 4 lubang dengan panjang 5 atau 7 mm7

3.3. KOMPLIKASI Walaupun komplikasi pada fraktur kompleks zygoma dan lengkung zygoma tidak umum terjadi, ahli bedah harus mengenali tanda-tanda dan gejala untuk dapat memberikan perawatan yang tepat. Komplikasi bisa saja terjadi pada masa awal periode postoperasi atau hanya menjadi manifestasi dikemudian hari.

A). Paresthesia Infraorbita Insidensi perubahan sensoris saraf infraorbita yang menyertai trauma zygoma berkisar 18 hingga 83%. Penelitian oleh Vriens bersama mahasiswanya dan Taicher bersama mahasiswanya, telah menemukan bahwa pemulihan sensasi infraorbita yang lebih baik yang menyertai reduksi yang terbuka dan fiksasi internal pada sutura zygomatikofrontal dibandingkan dengan reduksi yang tanpa disertai dengan fiksasi. Sepertinya, reduksi anatomis pada fraktur dapat meminimalisir tekanan saraf dan dibiarkan untuk pulih. Namun, pada penelian Vrien, tidak didapat tingkat kesembuhan yang sama pada pasien yang membutuhkan eksplorasi bagian dasar dan rekonstruksi orbita.

B). Malunion dan asimetris Fraktur malunion dari zygoma terjadi dalam beberapa tingkat keparahan. Meskipun pada sebagian besar kasus terdapat defisit kosmetik, malposisi dari tulang bisa menyebabkan penurunan fungsi mandibula. Insidensi terjadinya asimetris bervariasi antara 3,6-27% pada seluruh fraktur komplek

zigomatikomaksilaris, namun angka ini hanya berdasarkan pada penilaian klinis. Sebagian besar fraktur malunion dari zygoma didapatkan karena kekeliruan untuk mengetahui keparahan dari cedera atau reduksi yang tidak stabil. Malunion yang diketahui sampai 6 minggu setelah cedera masih bisa dikoreksi, menggunakan teknik reduksi zygoma rutin. Teknik koreksi yang terlambat meliputi uatograft

271

maupun homograft atau bahan-bahan aloplastik dan ostektomi zygoma. Meskipun bahan aloplastik telah dianjurkan, kontur yang dihaasilkan mungik irreguler dan potensial terjadinya migrasi dan ekstrusi dari implan tersebut sepanjang waktu. Untuk deformitas minor, kartilago telah terbukti lebih efektif. Bagaimanapun defek yang lebih besar memerlukan reposisi kraniofasial atau penempatan tulang.

C). Enophtahlmos Enophtahlmos merupakan satu dari beberapa komplikasi yang paling mengganggu yang menyertai fraktur-fraktur zygoma. Peningkatan volume orbita merupakan etiologi yang paling umum. Grant bersama mahasiswa menjelaskan permasalahan klinis ini secara jelas dengan membandingkan bentuk orbit dan bentuk kerucut. Volume kerucut adalah ( r2)h. Posisi lengkung orbita menentukan radius kerucut dan dimensi panjang anteroposterior orbita adalah tinggi dari kerucut. Pada rumus ini, radius dikwadratkan dan sedikit penambahan pada radiusnya menghasilkan pertambahan volume yang drastic. Secara klinis, kesejajaran yang buruk dari lingkar orbita dapat menambah volume orbita secara signifikan dan menimbulkan

enophthalmos. Fraktur pada bagian dasar orbita juga merupakan akibat dari enophthalmos dengan pertambahan volume orbita (Gambar 15). Dengan teknologi CT-scan yang lebih baik, kalkulasi volume orbita dan implikasinya terkait dengan fraktur pada bagian dasar orbita, mungkin saja untuk dilakukan.

Gambar 151

272

Raskin bersama mahasiswa menunjukan bahwa pertambahan sebesar 13% pada volume orbita, pada 4 minggu, mengakibatkan enophthalmos yang siginifikan (>2mm). Ukuran pada kerusakan orbita dan tonjolan abnormal pada jaringan orbita juga telah diteliti. Pada tahun 2002, Ploder bersama mahasiswa menjelaskan bahwa nilai rata-rata area fraktur sebesar 4,08 cm atau rata-rata nilai jaringan yang bergeser sebesar 1,89 mL, dikaitkan dengan enophtahlmos dengan ukuran lebih besar dari 2 mm. Pada umumnya, kira-kira 1 cm3 jaringan yang bergeser sebanding dengan 1 mm enophthalmos. Perawatan enophthalmos yang telat bisa dikatakan cukup menantang. Akses yang luas dengan oetotomy zygoma, reposisi, dan grafting bisanya diperlukan. Re-draping dari jaringan lunak periorbital termasuk itu canthopexy juga diperlukan.

D). Diplopia Diplopia merupakan kondisi abnormal (sequel) pada fraktur bagian tengah wajah. Insidensinya bervariasi anatar 17 dan 83% dan tergantung dari waktu timbulnya yang menyertai kerusakan dan pola serta tingkat keparahan dari kerusakan. Pada pengamatan 2067 kasus fraktur kompleks zgoma, Ellis bersama mahasiswa mencatat sebanyak 5,4 hingga 74,5 % insidensi diplopia. Fraktur kompleks zygoma non-displaced dan fraktur lengkung zygoma yang terisolir memiliki insidensi diplopia terendah, sedangkan fraktur murni memiliki insidensi yang tinggi. Penyebab-penyebab utama diplopia antara lain adalah edema dan hematoma, terjepitnya otot-otot ekstraokular dan jaringan orbita, dan kerusakan saraf III, IV, atau VI cranial. Penelitian histologist oleh Iliff bersama mahasiswanya telah menunjukan fibrosis post-traumatik pada otot-otot

extraocular sebagai akibat kerusakan yang ditimbulkan. Mereka mengajukan hipotesis bahwa hal ini bisa saja merusak contractility dan mengurangi terjadinya penyimpangan otot-otot. CT scan pada bagian axial dan coronal serta konsultasi dengan ahli mata perlu dilakukan untuk membantu pelaksanaan evaluasi. Diplopia yang berhubungan dengan edema, hematoma, atau neurogenic bisa saja diatasi

273

tanpa

adanya

intervensi.

Diplopia

yang

ditimbulkan

oleh

entrapment

membutuhkan eksplrasi dan reduksi tonjolan abnormal pada jaringan orbita (gambar 19). Diplopia yang menetap membutuhkan perawatan oleh ahli mata. Kondisi tersebut membutuhkan perhatian khusus atau pembedahan.

E). Hyphema Traumatik Trauma pada mata bisa mengakibatkan perdarahan di dalam ruang anterior-area di antara kornea dan iris yang berwarna (gambar 15). Konsultasi dengan ahli mata diperlukan. Hasil akhir perawatan termasuk pula pencegahan terhadap perdarahan, yang bisa saja terjadi pada 5-30% pasien, dan mempertahankan keadaan ocular normal. Penatalaksanaan hyphema terdiri atas terapi suportif termasuk itu mengatur kemiringan bagian kepala tempat tidur dan mengobati bagian mata yang rusak. Penatalaksanaan medis dengan menggunakan cycloplegic topikal, dan betablocker. Antifibrinolitik sistemik, carbonic anhydrase inhibitor, dan osmotic agent juga diperlukan. Intervensi pembedahan oleh ahli mata jarang dibutuhkan. Perawatan fraktur dapat ditunda.

F). Trauma Neuropati Optik Trauma neuropati optik dapat saja bermanifestasi sebagai kondisi yang meluas dari gambaran defisit yang ringan hingga gambaran kehilangan secara keseluruhan. Konsultasi dengan ahli mata harus dilakukan. Perawatannya bervariasi tergantung dari penyebabnya tapi bisa saja melibatkan penggunaan steroid secara sistemik atau pembedahan dengan dekompresi saraf orbital atau optik. Perawatan pada fraktur wajah dapat ditunda.

G). Sindrom Superior Orbital Fissure Sindrom orbital fissure merupakan komplikasi yang tidak umum yang menyertai trauma wajah. Keadaannya bisa saja berupa ptosis, ophthalmoplegia, forehead anesthesia, dan fixed dilated pupil. Proptosis juga mungkin terlihat

274

Perawatannya bisa berupa reduksi fraktur, steroid, eksplorasi apeks orbital dan aspirasi hematoma retrobular, apabila ada.

H). Perdarahan retrobulbar Perdarahan pada retrobular jarang terjadi namun merupakan komplikasi yang parah yang dapat mengakibatkan kerusakan awal atau koreksi operatif. Gangguan pada sirkulasi retina dapat mengakibatkan iskemi yang ireversibel dan kebutaan permanen. Pengamatan pada 1405 kasus fraktur orbita, Ord melaporkan insidensi sebanyak 0,03% pada perdarahan retrobular posoperatif disertai dengan kehilangan penglihatan. Konsultasi sesegera mungkin dengan ahli mata diperlukan, namun dekompresi dengan canthotomy lateral dan cantholysis sebaiknya tidak ditunda ( gambar 16).

Gambar 16 A. Retrobulbar hemorrhage. A, pasien dengan keluhan sakit pada periorbital,fiksasi dan dilatasi pupil, proptosis, dan akut progressiveloss of vision dengan hyphema. B, Immediate lateralcanthotomy and cantholysis were performed. 3

I). Trismus Berkurangnya gerakan mandibula mungkin merupakan komplikasi yang merugikan dari fraktur zygoma. Penyebab yang paling umum terjadi adalah terkenanya zygoma pada prosesus koronoid dari mandibula. Trismus juga bisa terjadi secara sekunder akibat ankilosis fibrosis atau fibrooseus dari koronoid pada arkus zygoma. Terkenanya zygoma atau arkus zygoma atau koronoidektomi mungkin diperlukan untuk memulihkan gerakan normal dari mandibula

275

276

BAB IV KESIMPULAN

Perawatan fraktur zygoma memerlukan tindakan bedah bila tidak ada pergeseran fragmen atau pergeseran minimal. Bila terjadi pergeseran fragmen diperlukan tindakan reduksi terbuka. Setelah tindakan reduksi terbuka tidak selalu diperlukan fikasasi, kecuali atas indikasi seperti fraktur cumminuted. Untuk tindakan reduksi dapat dilakukan pendekatan supra eyebrow (alis mata), kelopak mata atas, subtarsal, sub konjungtiva, koronal, temporal perkutan dan

277

DAFTAR PUSTAKA 1. Ellis E. Oral and Maxillofacial Trauma. 2005. 3rd Ed.Vol 1. Elsevier Saunders. 2. Thaller SR, McDonald WS. 2004. Facial Trauma. New York : Marcel Dekker. 3. Fonseca, R.J., et. All. 2005. Oral and Maxillofacial Trauma. Third Ed. WB Saunders Co. Philadelphia. 4. Tucker MR, Ochs MW. Management of facial fractures. Dalam : Peterson et al. contemporary oral and maxillofacial surgery. St louis: mosby co. 2003 5. Prasetiyono A. Penanganan fraktur arkus dan kompleks zigomatikus. Indonesian journal of oral and maxillofacial surgeons. Feb 2005 no 1 tahun IX hal 41-50. 6. Bailey JS, Goldwasser MS. Management of Zygomatic Complex Fractures. Dalam : Miloro M et al. Petersons principles of Oral and Maxillofacial Surgery 2nd. Hamilton, London : BC Decker Inc. 2004 7. David D.J., 1995, Craniomaxillofacial Trauma, 1th ed. Churchill Livingstone, London 8. Harle, F, et al., 1999. Atlas of Craniomaxillofacial Osteosynthesis, 1th ed. Thieme. New York. 9. Gray H. 2010. Anatomy of The Human Body : The Zygomatic Bone. Available at : http:// www.bartleby.com/107/40.html

278

10. FRAKTUR PALATAL

Leidya Valentina Elizabeth 160121120009

Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Bedah Mulut Dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung

Abstrak : Fraktur palatal jarang ditemukan sebagai diagnosis tunggal pada pasien dengan trauma kraniofasial. Fraktur palatal biasanya berhubungan dengan fraktur midfasial atau panfacial, dan berhubungan dengan fraktur Le Fort (8-13,2%). Gejala klinis fraktur ini antara lain seperti ekimosis palatal pada fraktur tertutup dan laserasi pada bibir atas atau mukosa palatal, kehilangan gigi incisivus, atau disruption pada hubungan oklusi pada fraktur dislokasi. CT scan dilakukan dengan potongan yang tipis, setiap 1.0 sampai 1.5mm, menunjukkan fraktur dengan jelas.

Kata kunci : Fraktur palatal, alveolar maksila.

279

BAB I PENDAHULUAN

Fraktur palatal memberikan tantangan unik untuk keterampilan bedah dalam penanganan fraktur midfasial. Fraktur tidak stabil ini seringkali ditemukan pada pasien trauma maksilofacial. Sering kali fraktur palatal dihubungkan dengan fraktur midfasial lainnya. Fraktur palatal ditemukan pada 8% fraktur Lefort dan jarang ditemukan sebagai fraktur palatal sendiri. Untuk memastikan stabilisasi post operasi yang tepat dan restorasi oklusi sebelum cedera, pendekatan tahap operasi diperlukan untuk setiap kelas fraktur palatal3. Fraktur palatal jarang sebagai diagnosa tunggal pada pasien dengan trauma kraniofasial. Biasanya berhubungan dengan fraktur midfasial atau panfasial, dan dilaporkan sebanyak 8-13,2% berhubungan dengan kasus fraktur Le Fort. Tanda klinis fraktur ini antara lain palatal eccymosis pada fraktur tertutup dan laserasi bibir atas atau mukosa palatal, kehilangan gigi insisivus, kehilangan relasi oklusal karena dislokasi fraktur. CT scan dilakukan dengan potongan yang tipis, setiap 1.0 sampai 1.5mm, menunjukkan fraktur dengan jelas. Pilihan perawatan untuk fraktur palatal meliputi braket ortodontik, arch bar acylated, dan arch bar untuk fiksasi maxillomandibular untuk fiksasi internal, dengan plate dan screw yang dipasang dibawah mukosa palatal dan periosteum, bersama dengan apertura pyriform atau plating alveolar serta rekonstruksi pilarpilar pada fraktur Le Fort.

280

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI TULANG PALATUM Palatum durum terbentuk diantara tujuh tulang pilar kraniomaksilofasial. Palatum terbentuk dari dua tulang yang bersatu: palatum pada bagian maksila dan bagian horizontal palatum. Lebar dan dalam palatum keras serta lebar dan panjang mandibula menunjukkan bangunan tiga dimensi sepertiga wajah bagian bawah. Tulang palatal lebih tebal pada bagian anterior dan berangsur menipis ketika mendekati palatum lunak. Tanpa memperhatikan crest pada midline, palatum keras relatif tipis pada regio sagital dan parasagital, namun menjadi lebih tebal ke arah alveolus. Pada area alveolus, ketebalannya antara 12 sampai 14 mm. Tebal rata-rata palatal adalah 4,5 mm. Foramen terdapat dekat midline palatum dari arah anterior (dibelakang insisivus mesial) dan jauh ke arah posterior (dekat gigi molar). Foramina berukuran sangat kecil dan berfungsi untuk mengimbangi

struktur palatum secara keseluruhan. Periosteum lebih melekat kuat pada membran mukosa di dalam kavitas oral dibandingkan dengan tulang palatal, keduanya dikenal sebagai mukoperiosteum.

2.2 DIAGNOSA Saat ini, hampir pada semua trauma center dilengkapi dengan peralatan CT Scanner yang sangat akurat, dimana beberapa kasus fraktur palatal dapat terdiagnosa (Gambar 1a). Peralatan ini sangat penting terutama untuk mendiagnosa fraktur yang tidak memberikan tanda klinis yang jelas. Pada hampir semua pasien yang menderita fraktur palatal, akan memberikan tanda dan gejala yang jelas. Pada lebih dari 65% penderita fraktur palatal, pasien menderita laserasi bibir, dengan 45% pasien menderita disruption mukosa palatal dan gingival (Gambar1b). Adanya perubahan oklusi maksila mandibula merupakan tanda yang dapat ditemui juga. Hampir semua segmen fraktur palatal mengalami pergeseran

281

baik ke arah anterior dan lateral. Ahli bedah harus berhati-hati dalam menentukan oklusi pada penderita fraktur palatal, karena penderita dapat mengalami fraktur mandibula juga yang mana dapat mengaburkan diagnosa.

Gambar 1.a) CT-scan b) Klinis fraktur palatal1

2.3 KLASIFIKASI FRAKTUR PALATAL Fraktur palatal dibedakan berdasarkan hubungan palatal dengan alveolus maksila, gigi dan midline palatal3. Type I : Fraktur Alveolar (2 type) Type Ia : alveolus anterior, meliputi gigi incisivus beserta daerah alveolusnya. Type Ib : Posterolateral, meliputi gigi premolar, molar beserta alveolusnya.

282

a) Gambar 2.a) Tipe Ia b) Tipe Ib2

b).

Type II : Fraktur Sagital Fraktur type II terjadi pada daerah midline dari palatum. Type ini paling sering ditemukan pada dekade ke 2 dan ke 3 sebab garis tengah palatum belum terlalu mengeras. mmhg Type III : Fraktur Parasagital Paling sering ditemui pada dewasa (63%) sebab tulang yang tipis berada di daerah parasagital. Fraktur pada daerah ini berbeda dengan type Ib sebab selain daerah premolar dan molar , daerah kaninus juga ikut terlibat.

a) Gambar 3.a) Tipe II b) Tipe III


2

b)

Type IV : Fraktur paraalveolar Terjadi dari arah palatal menuju alveolaris maksila dan berisi gigi-gigi insisivus.

283

Type V : Fraktur compleks/ Comminuted Fraktur yang besar multiple, ke arah oblik atau comminuted fraktur kasar. Type VI : Fraktur Transversal Fraktur palatal yang paling jarang terjadi, membelah maksila pada dataran koronal.

a)

b) Gambar 4.a) Tipe IV b) Tipe V c) Tipe VI


2

c)

284

BAB III PEMBAHASAN

Perawatan bedah pada fraktur palatal dimulai dengan identifikasi secara spesifik tipe fraktur, keadaan gigi geligi, dan hubungannya dengan fraktur pada maksila dan mandibula. Kemungkinan perawatan yang bisa dilakukan adalah: kombinasi fiksasi internal, pemakaian arch bar, dan palatal acrylic splint pada fraktur kompleks. Fraktur palatal tipe Ia bisa dirawat menggunakan Erich bar segmental atau menggunakan braket ortodontik tanpa fiksasi intermaksiler. Kedua cara perawatan ini bisa didukung dengan pemakaian mini plate atau mikroplate menggunakan insisi gingival standar untuk Le Fort I. Fraktur tipe Ib bisa dirawat menggunakan arch bar pada pertemuan segmen fraktur yang terbuka di belakang pilar zygomaticomaxillary untuk menfasilitasi reduksi terbuka dengan fiksasi internal. Dianjurkan untuk melakukan fiksasi intermaksiler selama dua atau empat minggu. Fraktur palatal tipe II, III, IV dan VI dirawat dengan pendekatan perbagian secara urut untuk mengurangi kesalahan penyatuan segmen-segmen fraktur. Oklusi harus didapatkan sebelum merawat fraktur ini. Reduksi dimulai dengan aplikasi arch bar maksila untuk memasang tension band melewati segmen alveolus maksila, supaya penyatuan awal dapat dilakukan. Untuk memastikan penyatuan awal, pasien bisa dipasangi fiksasi intermaksiler sementara. Setelah fikasi intermaksiler dilepas, perhatian

dilanjutkan pada fiksasi internal rigid pada daerah palatal yang fraktur. Pendekatan bedah meliputi laserasi atau insisi longitudinal pada palatal untuk mempertahankan suplai darah pada segmen palatal. Ketika segmen yang fraktur terlihat, tekanan ke arah mesial menggunakan jari untuk mendapatkan lebar lengkung dan batas oklusal. Saat menggunakan fiksasi internal yang rigid, paling tidak dua plate digunakan 9 satu anterior dan satunya lagi diposterior) untuk

285

menghindari

terjadinya

pergerakan

segmen

fraktur

ke

arah

posterior,

menghasilkan lebar lengkung daripada yang direncanakan. Setelah aplikasi fiksasi rigid dan penutupan insisi, fiksasi intermaksilari dipasang kembali untuk mempersiapkan fiksasi internal rigid pada segmen piriformis dan ridge alveolar. Pendekatan bedah meliputi laserasi, insisi vestibular standar untuk Le Fort I, dan jika suplai darah menjadi perhatian, insisi vertikal ginggiva kemungkinan perlu dilakukan. Pemasangan plate dilakukan di regio piriformis dan sepanjang basis pilar zygomaticomaksilaris. Rekonstruksi secara bedah dilakukan setelah semua stabilisasi dilakukan dan stabilisasi oklusi sudah dipastikan. Direkomendasikan untuk memasang fiksasi intermaksiler selama 2 sampai 4 minggu diikuti dengan elastic guidance dan diet lunak sampai dilepas.

Gambar 5. Acrylic splint2

Fraktur palatal tipe V membutuhkan aplikasi palatal splint akrilik untuk perawatan. Fraktur comminuted pada palatum sebaiknya dirawat dengan pendekatan tertutup (close reduction) dimana suplai darah pada segmen fraktur tidak dapat dikompromikan. Persiapan yang optimal diperlukan pada saat memperbaiki palatum yang fraktur comminuted. Model gigi diambil dari pasien untuk membuat model pembedahan di laboratorium dan membuat splint palatal.

286

Splint sebaiknya tidak diperlebar secara interoklusal diantara mandibula dan maksila. Bisa juga diaplikasikan circumdental wire dengan atau tanpa menggunakan arch bar.

287

BAB IV KESIMPULAN

Fraktur palatal memberikan tantangan unik untuk keterampilan bedah dalam penanganan fraktur midfasial. Fraktur tidak stabil ini seringkali ditemukan pada pasien trauma maksilofacial. Sering kali fraktur palatal dihubungkan dengan fraktur midfasial lainnya. Perawatan bedah pada fraktur palatal dimulai dengan identifikasi secara spesifik tipe fraktur, keadaan gigi geligi, dan hubungannya dengan fraktur pada maksila dan mandibula. Kemungkinan perawatan yang bisa dilakukan adalah: kombinasi fiksasi internal, pemakaian arch bar, dan palatal acrylic splint pada fraktur kompleks.

288

DAFTAR PUSTAKA

1.

Ellis E. Oral and Maxillofacial Trauma. 2005. 3rd Ed.Vol 1. Elsevier Saunders.

2.

Thaller SR, McDonald WS. 2004. Facial Trauma. New York : Marcel Dekker.

3.

Fonseca et al.2005. Oral and Maxillofacial Trauma. Vol 2nd. St Louis : Elseviere

289

Fraktur Nasal dan Kompleks Orbita

Susanti Bulan 160121120004

Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Bedah Mulut Dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Abstrak: Cedera pada nasal, orbita dan ethmoid menjadi suatu tantangan baru baik dari cara mendiagnosa maupun rekonstruksinya pada perawatan setelah trauma. Hal ini menjadi penting karena terdapat lacrimal apparatus, medial chantal ligament, dan arteri ethmoidal di daerah tersebut. Hasil yang baik akan tercapai dengan penguasaan anatomi yang baik, perawatan yang dilakukan sedini mungkin dan proses rekonstruksi yang hati-hati. Maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai fraktur nasal dan kompleks orbita serta perawatannya. Sehingga memudahkan doktergigi jika mendapatkan kasus-kasus kegawatdaruratan

Kata Kunci: fraktur, nasal, orbita

290

BAB I PENDAHULUAN

Hidung terdiri dari tulang, jaringan lunak dan kartilago. Fungsinya sebagai saluran udara ke saluran pernapasan bawah dan paru-paru. Fraktur tulang nasal dapat bervariasi tergantung arah dan kekuatan yang mengenainya1. Perawatan fraktur nasal telah menjadi subjek dalam dunia kedokteran sejak zaman Yunani. Selama berabad-abad, dasar filosofi perawatan adalah reduksi fraktur dengan mengembalikan pada bentuk dan fungsi yang normal. Dengan mengetahui hubungan sebab dan akibat antara keparahan trauma dan derajat deformitas, kita dapat memutuskan pilihan perawatan mana yang akan dilakukan, dan lebih penting lagi perawatan mana yang paling baik untuk pasien sesuai dengan traumanya2. Menurut Christian, fraktur nasal paling sering terjadi pada struktur tulang fasial dan menurut Schroeder, 50 % fraktur pada tulang fasial terpisah dari piramid nasal. Fraktur nasal sering kali dirawat dengan penilaian preoperative yang tidak adekuat. Perluasan disrupsi struktur nasal sehubungan dengan arah dan derajat kekuatan trauma sering kurang diperhitungkan. Kemudian hidung dirawat dengan cara sederhana dan hasil akhirnya mungkin jauh dari yang diharapkan, meskipun pada mulanya tampak cukup baik4. Pada penelitian yang dilakukan Cruse dari 182 kasus trauma fasial kirakira 18% adalah fraktur nasal dan kompleks orbita. Insidensi umur dari pasien adalah 31 tahun. Kecelakaan kendaraan bermotor sebanyak 70% dan 63% mengalami cedera pada bagian lain yang cukup parah. Sebanyak 51% mengalami cedera pada central nervous system dimana 42% nya mengalami keluarnya cairan cerebrospinal2. Untuk mendiagnosa fraktur didaerah ini biasanya ditentukan melalui pemeriksaan CT-Scan. Rontgen film biasa sulit menggambarkan derajat keparahan dan lokasi dimana cedera itu terjadi. Hal ini terjadi karena pada

291

gambaran rontgen dapat terjadi overlapping struktur-struktur tulang di daerah tersebut2. Pada makalah ini akan dibahas dan diharapkan dengan mengetahui kekuatan trauma, dengan kombinasi dengan pilihan perbaikan dan penilaian keputusan yang baik, maka ahli bedah dapat membuat diagnosis yang benar dan memilih rencana perawatan yang tepat untuk pasien.

292

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1. ANATOMI Daerah hidung dan Hidung-Mata-ethmoid disusun oleh cranium, tulang maksila, orbita. Rekonstruksi yang dilakukan satu-persatu akan

mendapatkankan hasil yang maksimal. Rekonstruksi pada daerah ini dilakukan secara hati-hati dan memerlukan kontrol terhadap volume orbita. Tulang hidung dekat dengan bagian anterior dari tulang orbita dan berhubungan dengan tulang frontal, tulang lakrimal, dan processus maksilaris. Daerah ini merupakan perlekatan dari medial chantal tendon yaitu processus frontalis dan tulang lakrimal. Sehingga penting diperhatikan pada saat rekonstruksi untuk mencegah telechantus, enophtalmos dan disfungsi dari sisem lakrimal. Daerah posterior dari kompleks nasal berhubungan dengan sinus ethmoidalis dan terletak ditengah dan dapat dengan mudah terkena trauma karena posisinya yang berdekatan dengan cribiform plate. Jika ada trauma maka dapat timbul cerebropinal fluid rhinorhea, pneumocephalus, dan cedera pada saraf olfaktori. Tidak jarang pada cedera yang parah dapat menyebabkan komplikasi intrakranial2 . Hidung adalah suatu struktur midline sentral fasial yang mempunyai unsur kosmetik dan fungsional. Secara kosmetik, hidung membantu membentuk central frame wajah, dan kesimetrisannya adalah penting dalam membentuk simetris wajah. Fungsi estetiknya memberikan keseimbangan, sehingga mata, pipi, dan mulut memberikan keindahan wajah. Secara fungsional, hidung merupakan jalan masuk respirasi nasal manusia pada keadaan normal3.

293

(1) os nasale (2) os. Maksilla Gambar 1: Anatomi Cranium dan os. Nasal5

Gambar 2: Permukaan dan struktur anatomi hidung 3

294

Pernapasan mulut adalah merupakan tanda terjadinya kelainan pada saluran pernapasan atas (upper airway), oleh karena itu adanya obstruksi pada hidung diduga telah terjadi kelainan3. Secara anatomi, hidung dibentuk oleh gabungan antara tulang pendukung yang fleksibel dan rigid, yaitu tulang dan kartilago. Tulang hidung adalah setengah bagian puncak, dan cartilago adalah setengah bagian bawah. Tulang hidung sendiri adalah rata (flat), berbentuk lembaran empat persegi panjang (rectangle) yang menebal pada bagian superior, dan berinterdigitasi dengan tulang frontal dan tipis pada bagian inferior, dan melekat pada bagian atas kartilago lateral hidung. Prosesus nasalis tulang frontal dan maksila menyebabkan adanya support dari superior dan lateral, berturut-turut untuk tulang nasal, dan struktur supporting ini lebih tebal dan lebih kuat dari tulang hidung sendiri. Pada midline, tulang hidung bersatu untuk membentuk suatu tenda pup tent, dengan plat tegak lurus dari dukungan ethmoid pada garis tengah seperti sebuah tenda. Anastomosis tulang sepanjang garis sutura antara ketiga tulang adalah rigid, jadi tulang hidung berbentuk tripod3. Cartilaginous hidung dibentuk kombinasi dari dua pasang kartilago lateral atas (upper lateral cartilages) (ULCs)), dua pasang kartilago bagian bawah ( lower lateral cartilages) (LLCs)), satu septum cartilage midline, dan suatu cartilage terdapat pada beberapa daerah pada jaringan lunak. Pasangan kartilago lateral bawah, flat, triangular sections dari cartilage hyaline yang melekat secara kuat ke superior pada tepi inferior dari tulang hidung oleh jaringan fibros konektif yang kuat. Hubungan ini tidak tepi dengan tepi tetapi overlapping, dengan tulang nasal yang berada dibawah ULCs. Pada midline, kedua ULCs melekat secara kuat satu dengan yang lainnya dan kartilago kwadrangular dari septum nasal anterior. Walaupun penyatuan ini tidak kontinius, penyatuan fibrous ini sangat kuat, oleh karena itu bagian hidung ini harus dipertimbangkan sebagai tripod. Secara lateral, ULCs mempunyai perlekatan jaringan lunak pada jaringan fibrofatty dari alae nasal dan lateral hidung. Pasangan LLCs mempunyai medial crus yang berjalan lateral dari LLCs yang berjalan dari lateral ke kartilago septum caudal, disebut dengan kolumela. Lateral krus dari LLCs dapat dibagi atas menjadi daerah puncak

295

medial, dimana ini disebut sebagai ukuran dan besar puncak hidung, dan pada segmen lateral, yang mendukung alae nasal dan berfungsi untuk menjaga terjadinya kolaps selama fungsi inspirasi. Kartilago yang berjalan sepanjang margin inferior lateral LLC. Pada daerah midline terdapat perlekatan fibrous antara struktur yang membantu membentuk puncak hidung, tetapi ini tidak sekuat perlekatan pada ULCs dengan septal. Ujung kaudal inferior dari kartilago septum nasal dilekatkan oleh pita jaringan fibrous pada spina nasalis anterior maksila, yang akan membantu menjaga terjadinya rotasi ke posterior dari septum dan kehilangan dukungan puncak hidung. Jaringan yang menutupi tulang dan kartilago ini adalah jaringan lunak dan mukosa bagian dalam, otot dan kulit. Otot pada hidung adalah otot depressor septi, dan procerous-kontribusi pada kumpulan jaringan lunak hidung dan hanya mempunyai sedikit fungsi pada pergerakan fasial atau respirasi. Kulit dan jaringan subkutan pada tulang hidung tipis dan mobil, dimana kartilagenous hidung ini lebih tebal dan lebih melekat pada struktur di bawahnya. Kulit hidung sangat bervariasi ketebalannya, dan mengandung

kelenjar keringat yang semakin meningkat jika kulit semakin tebal. Pada bagian dalam hidung anterior, kulit yang menutupi hidung berubah menjadi membran mukos, membentuk mucocutaneous junction3. Orbit merupakan kavitas tulang yang terbentuk oleh tulang fasial yang menyerupai rongga pyramid quadrangular dengan dasar berada dalam arah anterolaterally dan apeksnya dalam arah posteromedially. Dinding medial dari dua orbit terpisah oleh sinus ethmoidal dan bagian atas dari rongga hidung yang paralel, sedangkan dinding lateralnya hampir memnbentuk sudut 40 derajat. Sehingga, axis dari orbit divergen kira-kira 45 derajat. Orbit memiliki kandungan yang melindungi bola mata serta sruktur visual tambahan yang terdiri atas : Kelopak mata, yang membatasi orbit bagian anterior, mengontrol pembukaan bola mata anterior. Muskulus ekstraokular yang memposisikan bola mata dan menaikkan kelopak mata superior. Yang terdiri atas : 1. M. Levator palpebrae superioris

296

2. Empat m.rectus yang terdiri atas superior, medialis, inferior dan lateral 3. Dua otot oblik yang terdiri atas obliqus superior dan inferior Nervus dan pembuluh darah yang melewati bola mata dan muskulus. Membran mukous (konjungtiva) melapisi kelopak mata dan aspek anterior dari bola mata dan aparatus lacimal yang melubrikasinya.

M.Rectus sup.

M.Rectus lateralis

M.Obliqus med

Chiasma opticus M.Rectus inf.

M.obliqus .inf.

Gambar : Mata tampak lateral Gambar 3: Otot-Otot Mata


5

Gambar : Mata tampak coronal

Tidak semuannya ruang di dalam orbit ditempati oleh struktur yang berisi lemak orbita; sehingga orbit ini tersusun oleh matriks dimana struktur dari orbit

melekat. Bentuk pyramid dari orbit memiliki dasar, empat dinding dan suatu apeks. Dasar orbita dibatasi oleh margin orbita yang mengelilingi orbital opening. Tulang membentuk tepi orbita yang memperkuat proteksi kandungan orbita dan memberikan perlekatan untuk septum orbita, suatu lapisan fibrous terputus yang meluas ke dalam kelopak mata. Dinding superior (atap orbita) diperkirakan berbentuk horizontal dan terutama dibentuk oleh frontal bone, yang memisahkan rongga orbita dari fossa cranial anterior. Dekat dengan apeks dari orbit, dinding supeior

297

dibentuk oleh tulang sphenoid. Dan dibagian anterolateral suatu lekukan pada bagian orbita yang disebut fossa lacrimal. Dinding medial yang posisinya kontralateral dari orbit yang paralel dan terbentuk oleh tulang ethmoid, yang berhubungan dengan tulang lacrimale, sphenoid dan frontal. Dibagian anterior Dinding inferior (dasar orbita), dibentuk terutama oleh tulang maksila dan sebagian tersusun oleh zygoma dan tulang palatina. Dinding inferior yang tipis dibentuk oleh orbit dan sinus maksilaris. Dinding lateral dibentuk oleh prosessus frontalis dari tulang zygomatik dan sayap terbesar dari tulang sphenoid. Ini merupakan dinding yang terkuat dan paling tebal. Ini sangat penting karena daerah ini sangat terbuka dan berpotensi mengalami trauma secara langsung. Bagian posterior dipisahkan orbit dari temporal dan pertengahan fossa cranial. Apeks orbit merupakan suatu canal optik pada sayap tulang sphenoid yang kecil, dibagian medial dari fissure orbital superior. (Moore LK,)

Sphenoid Zygoma

Frontal

Frontal

Gambar : Kavitas

Maksila

Orbita

Gambar 4: Anatomi Kavitas Orbita5

II.2 DEFINISI Fraktur nasal adalah terjadinya kerusakan pada tulang di sekitar pangkal hidung, biasanya disebabkan oleh adanya trauma tumpul dan merupakan fraktur tulang daerah fasial yang paling sering. Trauma yang serius pada hidung dapat menyebabkan masalah yang memerlukan perhatian segera. Tetapi pada trauma

298

hidung yang tidak terlalu berat, perlu diperhatikan lebih baik lagi setelah pembengkakan mereda untuk mengevaluasi efek perluasan trauma. Trauma nasal didefinisikan sebagai adanya trauma pada hidung atau hal lain yang dapat menyebabkan terjadinya deformitas, gangguan pernapasan melalui hidung karena adanya obstruksi, atau adanya gangguan penciuman ( olfaction).

Fraktur orbita biasanya tampak bersamaan dengan trauma midfacal. Tingkat keparahan fraktur mulai dari fraktur yang pergeserannya minimal pada suatu dinding yang terbatas yang tidak membutuhkan intervensi bedah sampai dengan kerusakan yang parah dari orbit. Fraktur orbita mungkin di jelaskan

dengan pertimbangan hubungan anatomi, berikut ini : 1. Fraktur dapat terbatas pada tulang orbital internal. Jenis ini termasuk blow-out dan blow-in, seperti yang tampak pada fraktur pada dasar orbita, dinding medial, dan atap orbita. Fraktur blow out dapat dibagi mengikuti berbagai macam fraktur : Fraktur trapdoor yang disebabkan oleh kekuatan yang ringan. Fraktur medial blow-out yang disebabkan kekuatan menengah. Fraktur lateral blow-out yang sebabkan oleh kekuatan yang tinggi.

2. Fraktur mungkin melibatkan rim orbital. Suatu fraktur rim superior, inferior, dan lateral mungkin sebagai suatu luka yang terbatas, atau ini mungkin berbatasan dengan fraktur dinding internal. 3. Fraktur yang hubungkan dengan fraktur lain pada skeleton facial.

Keterlibatan orbit pada berbagai bentuk fraktur fasial, termasuk zygomaticomaxillary (ZMC), naso-orbito-ethmoid (NOE), sinus frontal, Le Fort II,dan Le Fort III. 4. Fraktur apeks orbita adalah penting untuk diidentifikasi karena ini berhubungan dengan kerusakan pada struktur neurovaskuler dari fissura orbita superior dan kanal optik. Trauma fasial kebanyakan diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, kecelakaan industri, fasial trauma yang berhubungan dengan olah raga, dan kekerasan. Kecelakaan kendaraan bermotor, khususnya yang tidak

299

menggunakan seatbelt, merupakan kejadian yang paling banyak mengakibatkan trauma maksilofasial, yang ditunjukkan pada sebagian besar negara berkembang. Penatalaksanaan trauma orbita dan fraktur bertujuan untuk meminimalisir dan mencegah kerusakan awal dan lanjutan serta komplikasinya. Tujuan dari intervensi adalah untuk mencegah hilangnya penglihatan dan meminimalisir masalah lebih lanjut, seperti diplopia yang persisten dan malposisi bola mata.

II.3 KLASIFIKASI Pola kerusakan dan perluasan displacement struktur nasal jika terjadi fraktur adalah tergantung pada arah dan derajat kekuatan yang terjadi. Pada tahun 1468, Rowe dan Killey menggambarkan trauma yang terjadi pada nasal dari arah lateral dan anterior. Ini merupakan dasar klasifikasi trauma tulang nasal yang dibuat oleh Stranc dan Robertson (1474). Tetapi kemudian mereka membagi fraktur akibat benturan atas tiga tingkatan trauma dimana peningkatan keparahan merupakan cermin peningkatan kekuatan trauma. Bidang satu, trauma tidak meluas berdasar suatu garis pertemuan tepi bawah tulang nasal ke spina nasalis anterior; bidang dua, trauma terbatas pada daerah hidung eksternal dan tidak mengenai orbital rim; bidang tiga, trauma lebih serius, oleh karena meliputi orbita dan kemungkinan juga struktur intra cranial, biasanya berhubungan dengan trauma pada nasoethmoid serta diagnosa dan perawatannya juga lebih komprehensif 4.

300

Gambar 5: A dan B menunjukkan peningkatan derajat trauma dengan peningkatan daya yang mengenai hidung5

Pada tahun 1486, Murray dan Maran mengemukakan suatu klasifikasi pathologi dari fraktur nasal yang diteliti pada lebih dari lima puluh cadaver. Mereka menemukan tujuh pola yang berbeda dari fraktur nasal dengan berbagai macam derajat keterlibatan septum. Mereka menyimpulkan bahwa kerusakan septum juga berhubungan dengan fraktur nasal. Pada keadaan klinis mereka menetapkan bahwa, jika hidung mengalami deviasi lebih dari setengah kali dari lebar aslinya, tulang akan mengalami deviasi kembali setelah dilakukan manipulasi hanya pada tulang nasal saja4. Klasifikasi dari fraktur orbita adalah: 1. blow out fracture, dibagi menjadi: 1. pure blow out orbital rim intak 2. impure blow out terjadi fraktur pada orbital rim 2. fraktur blow in Fraktur dasar orbita blow out merupakan trauma dari tepi orbita atau jaringan lunak di sekitar orbita, fraktur ini disebabkan oleh peningkatan tekanan

301

intra-orbital secara akut yang menekan dinding-dinding orbita. Fraktur dasar orbita blow out dapat timbul bersamaan dengan fraktur dinding medial atau orbita rim.1,2

Gambar 6: Fraktur Blow in dan Blow out 1,2

Klasifikasi fraktur Nasal-Orbit-ethmoid (2) Type I : Klasifikasi yang paling sederhana, hamya melibatkan satu bagian dari nasal-orbita ethmoid yaitu bagian medial orbital rim. Type II : daerah yang terkena lebih luas atau comminuted fraktur Type III: daerah yang terkena luas termasuk bagian tengah dari central fragmen dimana medial canthal tendon melekat, terjadi avulsi dari canthus

302

Gambar 7: Fraktur Nasal, ethmoid4

II.4 PENYEBAB DAN GEJALA KLINIS Penyebab terbanyak adalah trauma kecelakaan kendaraan bermotor, trauma karena olah raga, berkelahi, kecelakaan pekerjaan, aktivitas yang berlebihan, dan terjatuh adalah yang paling sering terjadi pada anak-anak1. Gejala klinis dapat meliputi rasa sakit, pembengkakan, obstruksi pernapasan, epistaksis, krepitasi, septal hematoma, rhinitis, dan stenosis nasal vestibular1. Kebanyakan penderita yang mengalami trauma dasar orbita blow out mempunyai gambaran sebagai berikut : 1. Berkurangnya kemampuan visual. 2. Blepharoptosis. 3. Diplopia binocular vertical atau oblik. 4. Hyperthesia ipsilateral, dysesthesia atau hyperalgesia sesuai dengan distribusi n. infraorbitalis.

303

5. Epistaksis 6. Pembengkakan pada kelopak mata setelah meniupkan udara ke hidung 7. Edema dan ecchymosis periorbita yang disertai dengan rasa sakit merupakan gejala dan tanda eksternal. 8. Enophtalmos mungkin juga terlihat tapi awalnya terjadi

pembengkakan jaringan disekelilingnya. Pembengkakan juga akan membatasi gerak otot ekstraokuler 9. Proptosis juga bisa terjadi dari perdarahan retrobulbar atau peribulbar. 10. Tenderness pada saat palpasi orbita, juga dapat merasakan step pada tulang orbital rim. Pemeriksaan bola mata sangat penting dan mungkin sulit karena adanya edema pada jaringan lunak. Untuk ini diperlukan set desmares retractor. Jika terjadi disfungsi pupil, ditandai dengan menurunnya kemampuan visual, harus diwaspadai terhadap kemungkinan terjadinya neuropathy optikus traumatik. 4 Mata dengan kesejajaran yang tidak sama dapat juga terjadi, hipotropia atau hipertropia serta terbatasnya kemampuan menarik mata ke atas. Wilkin dan Havin melaporkan 30 % terjadi insidensi bola mata yang ruptur bersamaan dengan fraktur orbita, kenyataan ini mengingatkan betapa perlunya pemeriksaan opthalmologis yang menyeluruh dan kompleks. 1 Gambaran klinik dari fraktur blow in terutama berhubungan dengan pengurangan volume pada rongga orbita.4 1. Proptosis (exopthalmus) adalah protrusi atau majunya bola mata (okuli) yang abnormal. Umumnya terjadi di awal kejadian, bersama dengan hematom dan pembengkakan dari jaringan orbita

304

Gambar 8:. Exopthalmus6

2. Bola mata bergeser lebih jauh pada dataran koronal dan pergerakan bolah mata yang terbatas 3. Diplopia (double vision), merupakan gejala umum dan berhubungan

dengan fraktur pada dinding medial, dasar, lateral dan atap orbita. Adanya hematoma, edema pada muskulus ekstraokular atau pada fasia di sekitar orbita atau terperangkapnya lemak orbita merupakan penyebab utama. 4. Pergeseran fragmen fraktur ke dalam orbit mata. 5. Sindrom fissure orbital superior, disebabkan oleh lesi yang diakibatkan oleh trauma, tekanan langsung atau suatu penekanan akibat hematom (atau keduanya) pada kandungan fissura orbital superior antara lain : nervus lacrimale, nervus frontal, vena ophtalmic superior, nervus kranial IV, nervus kranial III (cabang suerior), nervus nasomaksilaris, nervus kranial VI, divisi inferior darinervus kranial III dan vena ophtalmicus. Gejalanya adalah hilangnya sensasi pada dahi yang diakibatkan oleh cabang frontal dari nervus V. Hilangnya refleks kornea diakibatkan karena keterlibatan cabang nasociliary dari subdivisi nervus V, menetapnya dilatasi pupil akibat nervus kranial III, IV dan VI, dan terbendungnya suplai parasimpatik yang dibawa oleh nervus III. Tidak adanya refleks dan akomodasi terhadap sinar langsung karena terbendungnya aliran efferen oleh paralisis dari mengakibatkan ruptur bola

305

nervus III. Selain itu juga terjadi edema yang persisten akibat obstruksi vena ophtalmicus2. 6. Cedera pada nervus optikus, cedera pada nervus dapat menyebabkan spasme dari pembuluh darah retina. Selain itu ditandai oleh gangguan visual dan perubahan respon pupil terhadap respon cahaya. 7. Ptosis, merupakan jatuhnya kelopak mata atas ke posisi lebih jika dibandingkan dengan posisi normal sebelumnya. Ptosis dapat terjadi secara manual dan secara kongenital. 8. Keterbatasan pada muskulus rectus superior atau hematom yang pada kelopak mata bagian atas. (peter ward booth) 9. Mungkin ditemukan adanya CSF, karena adanya fraktur sphenoidale dan ethmoid juga fraktur pada sinus frontal sehingga menyebabkan dural tear sehingga terjadi hubungan dengan subarachnoid space. Selain itu CSF juga dapat timbul karena adanya fraktur pada basis cranium. 10. Meningoceles dan encephaloceles, merupakan keluarnya penonjolan dari selaput dan bagian otak melalui celah yang terbentuk antara tulang dapat merupakan akibat dari suatu trauma, ataupun pascaoperasi.

II.5 POLA TRAUMA A. Trauma dari Lateral Ini adalah trauma yang paling sering terjadi dan seringkali tidak terlalu parah. Tergantung pada derajat kekuatan, luasnya kerusakan tulang dapat bervariasi dari yang sederhana sampai displacement tulang nasal, berhubungan dengan bengkok atau tertekuknya septum nasal tanpa terjadi fraktur septum. Pada keadaan ini umumnya dengan dilakukan manipulasi tertutup sudah cukup memuaskan, hasilnya akan lebih stabil diikuti dengan reduksi fraktur dengan menggunakan Walshams forceps dan pelurusan septum nasal dengan menggunakan Aschs forceps. Hasilnya akan lebih stabil sebab tidak terdapat fraktur pada septum. Dengan suatu kekuatan yang lebih besar kedua tulang nasal dapat terjadi fraktur dan displaced dan ini sering kali disertai dengan terjadinya fraktur septum. Displaced fragmen nasal dapat segera direduksi dengan

306

manipulasi tertutup tetapi penting untuk melakukan eksisi berbentuk C pada septum4.

Gambar 9 : Trauma nasal dari arah lateral, a. Daya yang moderat menimbulkan depressi pada tulang dan septum nasal; b. Daya yang lebih besar menimbulkan displacement pada piramid dan septum nasal4

B. Trauma dari Anterior Adanya pukulan atau trauma dengan kekuatan yang moderat dari arah frontal, kedua tulang nasal akan fraktur pada ujung bawah dan, oleh karena sebagian besar daya diterima oleh septum nasal, displacement dan fraktur dari struktur ini sering sekali terjadi. Dengan daya yang lebih besar lagi, seluruh piramid nasal, termasuk prossesus frontalis dari maksila, dapat terlepas, dengan comminuted fracture, terutama pada bagian sepertiga bawah tulang nasal. Fraktur nasal tipe ini bervariasi hubungannya dengan fraktur septum dan terjadi displacement yang menyebabkan terjadinya ketidakstabilan nasal (4). Kelompok pertama dirawat dengan manipulasi dan bedah septum tetapi pada kelompok yang kedua, terutama dengan adanya ketidakstabilan nasal, reseksi submukus akan menimbulkan kolaps yang lebih parah. Manipulasi dengan sentralisasi septum harus dikombinasi dengan support internal pada nasal seperti yang dikemukakan oleh Sear (1477)4.

307

Gambar 10 : Trauma nasal dari anterior; a. Daya sedang menimbulkan depressi pada septum dan piramid nasal; b. Daya yang lebih besar menimbulkan fraktur comminuted pada piramid nasal dan septum4

C. Trauma yang Berhubungan Dengan Fraktur Fasial Lain Fraktur pada tulang wajah, terutama pada bagian tengah wajah, harus dapat direduksi dan distabilisasi terutama untuk reduksi fraktur nasal. Ini mungkin perlu untuk merubah nasal endotracheal tube menjadi oral endotracheal tube sebelum reduksi nasal. Untuk menjaga kedua penetapan oklusi dan aplikasi fiksasi intermaksila yang masih tetap terpasang sampai pasien sadar dari efek anestesi agar jalan nafas tetap aman. Alternatif lain, nasal endotracheal tube dapat diletakkan pada posisi atau dilakukan trakheostomi. Manipulasi tertutup fraktur nasal dianjurkan untuk tetap menggunakan support intranasal. Septum harus dikembalikan ke posisinya tetapi tidak boleh dilakukan reseksi septum pada tahap pembedahan primer, meskipun sudah indikasi, dalam pandangan faktor waktu meliputi waktu yang lama dan prosedur operasi yang komplek4. Jika terdapat laserasi yang parah pada mukosa nasal disarankan untuk menggunakan lapisan silastik yang dimasukkan pada nostril untuk menjaga pembentukan adhesi intranasal. Plate silastik ini dipertahankan dengan menjahitkannya bersama-sama melalui kulit sedikit di belakang kolumela dan dipertahankan selama 10 14 hari4

308

309

BAB III PEMBAHASAN

Menurut Christian (1476), trauma ini adalah yang paling sering pada skeleton fasial dan menurut Schroeder (1481), 50 % fraktur pada tulang fasial terpisah dari fraktur pyramid Fraktur nasal sering kali dirawat dengan penilaian preoperative yang tidak adekuat. Perluasan disrupsi struktur nasal sehubungan dengan arah dan derajat kekuatan trauma jarang diperhitungkan. Kemudian hidung dirawat dengan cara sederhana dan hasil akhirnya mungkin akan jauh dari yang diharapkan, meskipun pada mulanya tampak cukup baik4. Salah satu konsep yang selalu salah tentang fraktur nasal adalah terjadinya pelepasan dan displacement tulang nasal. Setengah bagian bawah atau sepertiga dari tulang nasal yang biasanya mengalami fraktur. Dasar dari piramid hidung jarang sekali terlepas dari tulang frontal, kecuali terjadi fraktur nasoethmoid yang parah. Pada waktu eksplorasi biasanya menunjukkan bahwa dasar piramid tetap intak meskipun terjadi displacement yang hebat ke ruang interorbita 4.

Gambar 11 : Trauma nasal lateral menunjukkan adanya displaced fracture pada bagian tengah bawah tulang nasal kiri dan tepi anterior prosesus frontal kiri tulang maksila disertai dengan pembengkokan tulang septum4

310

Posisi dan integritas komponen kartilagenus dari rangka nasal harus selalu ditetapkan. Harus tetap diingat, bahwa meskipun jarang, kartilago lateral dan septum nasal dapat terjadi dislokasi tanpa disertai fraktur tulang nasal4. Penempatan manipulasi tertutup dari fraktur hidung masih menjadi pertanyaan. Menurut Stell (1480), dari hasil penelitian retrospektif menunjukkan bahwa, dari 107 fraktur hidung yang dirawat dengan manipulasi tertutup, hanya 30 % yang menunjukkan penampilan yang normal, dan 50 % berfungsi normal dalam jangka waktu lama. Septum sering kali tidak tetap lurus setelah dilakukan manipulasi dan piramid hidung pada garis septum yang mengalami distorsi. Alasan mengapa distorsi tampak progresif dari kartilago septum dijelaskan oleh Fry, yaitu pelepasan dari tegangan internal yang terkunci. Tetapi Harrison (1474) menemukan bahwa suatu pola dari suatu fraktur septum dan displacement yang diindentifikasi adalah disebabkan karena manipulasi yang kurang baik. Harrison adalah orang yang pertama menemukan bentuk C fraktur septum ( C-shaped fracture). Harrison menganjurkan pada fraktur nasal horizontal bagian bawah, dan vertikal posterior, sebaiknya dilakukan reseksi submukus pada septum nasal dan jika ini dilakukan pada waktu perawatan primer, hasilnya akan menjadi lebih baik. Stranc menekankan pada perawatan fraktur nasal bidang dua, harus dilakukan reseksi submukus primer agar tidak terjadi kolaps pada garis jembatan kartilagenous4. Pengertian yang lebih jauh lagi dari mekanisme dan perawatan fraktur nasal dibuat oleh Murray (1484). Mereka mempelajari mekanisme fraktur nasal dengan meneliti fraktur nasal pada kadaver dan menyimpulkan bahwa tulang nasal yang mengalami deviasi lebih dari setengah lebar jembatan, ada suatu fraktur berbentuk C yang terjadi bersamaan dari tulang dan cartilaginous septum. Kemudian mereka menyimpulkan pada percobaan klinis, bahwa eksisi pada daerah cartilage pada sisi septum yang mengalami fraktur berbentuk C akan menghasilkan hasil yang lebih baik. Fraktur berbentuk C dari tulang dan kartilago dimulai dari bawah dorsum hidung berjalan ke posterior melalui perpendicular plate dari ethmoid, kemudian ke inferior melalui vomer terminate dengan suatu

311

curve anterior pada kartilago septum 1 cm di atas puncak maksila dekat dengan sudut vomerine4.

Gambar 12 : Skema menunjukkan garis fraktur dengan displacement yang berat disertai fraktur septum berbentuk C4

Untuk operasi pada septum mereka menganjurkan melakukan suatu insisi vertical di posterior, yaitu pada 2,5 cm posterior dari kolumela. Kemudian mukoperichondrium dibuka dan biasanya garis fraktur berbentuk C akan segera dapat terlihat. Kartilago dipisahkan dan sisi kontralateral disingkapkan. Suatu reseksi yang terbatas dari septum kemudian dibuat dengan melakukan suatu eksisi tipis dari kartilago dan tulang pada sisi yang terdapat fraktur C dan diangkat paling sedikit 1 cm dari plate perpendicular dari ethmoid. Kemudian dilanjutkan sampai pertemuan ethmoid dan tulang nasal, tetapi harus hati-hati agar tidak terlalu caudal dari tulang nasal atau terlalu dalam karena akan dapat merubah profil. Tulang nasal dimanipulasi dan suatu pack ( light pack) dimasukkan ke dalam nostril4. Menurut Murray, salah satu faktor yang menyebabkan hasil yang tidak memuaskan dari manipulasi fraktur nasal adalah tidak adanya dukungan nasal internal setelah reduksi. Pita gauze lembut yang dimasukkan pada nasal adalah merupakan stabilisasi yang kurang baik dan packing yang berlebih pada hidung sering kali menyebabkan distorsi dari reduksi yang diinginkan. Light packing pada hidung sebaiknya hanya digunakan untuk mengkontrol epistaksis setelah

312

manipulasi tulang nasal. Pengggunaan plaster eksternal atau Paris splint tidak akan mendukung fragmen nasal. Kemungkinan dapat terjadi relaps dengan resolusi dari pembengkakan jaringan disekitar jaringan yang disebabkan fiksasi yang buruk dari splint plaster. Kebanyakan fraktur nasal sederhana tidak memerlukan aplikasi splint eksternal setelah dilakukan reduksi4. Sebelum melakukan reduksi fragmen nasal yang mengalami displacement, operator harus mempunyai gambaran yang jelas mengenai apa yang seharusnya akan dilakukan. Penilaian klinis dan radiografis preoperative yang sangat hati-hati adalah suatu syarat untuk keberhasilan perawatannya. Ronsen foto harus diambil dari dua arah untuk kepentingan diagnosis dan rencana metoda reduksi. Pada tahap ini, informasi tambahan akan lebih diperoleh dengan inspeksi intranasal dengan bantuan speculum dan lampu kepala ( head light). Hidung harus dibersihkan dari semua debris dan gumpalan darah dengan suction. Fragmen tulang yang hilang harus diambil and mukoperikhondral harus tampak jelas. Septum nasal kemudian diperiksa. Metoda manipulasi hidung dibawah anestesi lokal telah dijelaskan sebelumnya. metode yang telah dijelaskan di atas akan lebih baik menggunakan anestesi umum. Instrument yang biasa digunakan adalah Walshams forceps, yang digunakan untuk memanipulasi tulang nasal dari prosesus frontal maksila, dan Aschs septal forceps4. Paruh yang lebih kecil dari Walshams forcep dimasukkan ke dalam lubang hidung dan paruh yang lebih besar (dilapisi dengan karet lembut untuk melindungi kulit) yang terdapat pada eksternal untuk memegang sisi luar hingga dapat memegang dan mengangkat hidung ke arah medial canthus dan sejajar dengan proses frontal tulang maksila. Rotasi ke arah medial atau lateral yang akan menjauhkan atau mendekatkan fragmen fraktur pada tulang nasal4. Pangkal hidung harus dipegang di antara jari telunjuk dan ibu jari tangan yang berlawanan yang juga digunakan untuk menambah stabilitas pada kepala terutama pada waktu melakukan manipulasi4. Septum dimanipulasi dengan Aschs septal forceps. Paruh forceps pertama-tama dimasukkan pada dasar hidung dan sisi yang lainnya pada septum dan dengan tekanan gentle digunakan untuk mengembalikan cartilage septum.

313

Kemudian paruh dapat diputar ke kiri atau ke kanan dengan memegang septum sepanjang garis jembatan dan tarikan dapat dilakukan untuk elevasi nasal bridge4.

Walsham forceps dan Ash Forceps Gambar 13. Tang Rekonstruksi Nasal4

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS DAN DIAGNOSTIK Penegakan diagnosis selain dari temuan klinis dilakukan dengan bantuan pemeriksaan penunjang, antara lain yaitu : 1. Foto AP orbita biasanya diambil dengan berbagai variasi angulasi sinar. 2. Paling umum digunakan adalah proyeksi Cadwell dan Waters. Proyeksi Caldwell memperlihatkan visualisasi dasar orbita dan prosessus

zygomatiko-orbitalis diatas densitas petrosus pyramidalis. Gambaran yang lebih luas dari orbita bisa didapatkan dari proyeksi waters. Proyeksi ini menempatkan petrosus piramidalis di bawah sinus maksilaris sehingga memudahkan evaluasi dasar orbita, prolaps isi orbita, dan tingkat cairan udara dalam sinus maksilaris. 3. CT scan masih merupakan pemeriksaan imaging yang dipilih untuk evaluasi trauma orbita karena kemampuannnya untuk melihat detail

314

struktur tulang, walaupun MRI bisa memperlihatkan detail regio orbita dengan sangat halus.1,2 Jika CT scan mempunyai hasil yang samar-samar saat mengevaluasi pasien yang dicurigai terjadi entrapment, dilakukan test forced duction. Menilai secara langsung kemampuan atau ketidak mampuan lebih jauh mata saat pasien disuruh melirik ke atas, test ini dapat menghasilkan konfirmasi klinis yang penting mengenai adanya otot atau jaringan yang terperangkap. 1

Gambar 14. CT Scan dalam mengevaluasi fraktur 4

KOMPLIKASI FRAKTUR ORBITA Fraktur orbita akan menyebabkan beberapa komplikasi dan permasalahan, di antaranya adalah : 1. Enophthalmus. Fraktur dasar orbita dapat mengakibatkan penambahan volume orbita dan keadaan ini mengakibatkan enophthalmus. Jika terjadi enophthalmus lebih

315

dari 2 mm, keadaan ini mengakibatkan ketidakseimbangan. Bola mata juga dapat melesak atau hipo-ophthalmik dibanding sisi kontralateralnya. 2. Diplopia. Otot rektus inferior atau jaringan orbita dapat terperangkap dalam lokasi fraktur. Keadaan ini mengakibatkan terhambatnya pergerakan ke atas dari bola mata, menyebabkan diplopia.

3. Emfisema. Biasanya, dapat terjadi emfisema orbita karena adanya hubungan dengan sinus maksilaris serta bisa juga disertai perdarahan orbita. Bola mata dapat menjadi robek, namun trauma yang tidak begitu berat hanya akan mengakibatkan hyphema atau edema retina.1

III.1 WAKTU PERAWATAN Waktu perawatan fraktur nasal masih terdapat kontroversial. Fraktur nasal yang terpisah dapat dapat dilakukan reduksi dalam waktu 24 jam pertama, untuk mencegah terjadinya pembengkakan yang lebih besar, tetapi pada kasus yang lain, perawatan harus ditunda sampai sepuluh hingga dua belas hari agar pembengkakan dan luka memar menjadi lebih reda. Jika fraktur berhubungan dengan fraktur sepertiga wajah yang lainnya, maka komponen hidung harus direduksi bersamaan dengan fraktur lainnya4. Perawatan fraktur nasal bertujuan untuk memperbaiki dan mengembalikan fungsi dan etetik. Perawatan yang paling baik adalah pada waktu tiga jam pertama saat terjadi trauma. jika ini tidak memungkinkan, maka sebaiknya penanganan dilakukan 3 - 7 hari. Waktu perawatan ini sangat penting oleh karena fraktur nasal lebih dari 10 hari akan mengalami penyembuhan tulang dan kemungkinan memerlukan tindakan termasuk rhinoplasty . Waktu dan perlunya intervensi bedah pada perawatan fraktur dasar orbita murni masih dalam perdebatan. Kebanyakan literatur mendukung waktu dua minggu untuk perbaikan sehingga mencegah fibrosis, kontraktur dan

316

terperangkapnya jaringan. Beberapa ahli sering menunggu beberapa hari supaya edema dan perdarahan sudah tidak ada sehingga didapat penilaian yang baik terhadap enopthalmus dan fungsi otot ekstraokuler. Pada kasus dimana terperangkapnya tarikan rektus inferior, perawatan harus dilakukan lebih cepat. 1,2

III.2 METODE IMOBILISASI A. Splint Intranasal 1. Ribbon gauze Metode ini sering kali dianjurkan sebagai metoda yang adekuat dan standar untuk memperoleh dukungan internal pada fraktur nasal, dengan menggunakan pita gauze yang dilapisi dengan paravin/ flavine emulsion atau bismuth iodoform paraffin paste (BIPP). Gauze ini secara hati-hati dimasukkan kedalam lubang hidung dengan bentuk lapis demi lapis dan penting untuk diperhatikan pertama-tama menempatkan pack pada nares superior sepanjang garis jembatan (bridge-line)4. Sayangnya metode ini tidak hanya menutup jalan nafas tetapi juga merupakan sumber infeksi yang potensial, yang mungkin dapat menimbulkan konsekuensi serius berhubungan dengan CSF rhinorrhoea. Pack ini harus tetap dipertahankan selama 2 3 hari. Tehnik ini tidak mempunyai support intra nasal anterior posterior, tetapi juga merupakan penyebab terjadinya masalah pada telecanthus jika pemasangan pack terlalu berlebihan sehingga menimbulkan terjadinya fraktur lain pada prosessus frontal maksila, keadaan ini mungkin disebabkan oleh tidak adanya tekanan dari eksternal. Metode ini sebaiknya hanya digunakan sebagai hemostasis pada periode awal operasi dan sebagai support awal pada reposisi tulang nasal dimana pada septum nasal tidak terjadi fraktur. Suport intra nasal yang adekuat tidak akan diperoleh dengan teknik ini untuk menstabilkan hidung4.

317

Gambar 15: Ribbon gauze4

2. Stainless-steel intranasal splint Metoda ini dikemukakan oleh Sear pada tahun 1477, yaitu untuk mendapatkan support internal yang rigid terutama pada kasus terjadinya kolaps anteroposterior. Splint terbuat dari bahan stainless steel 3,175mm x 1,5875 mm dan pasangan yang sama dibengkokkan membentuk angka 7 dengan diameter yang lebih lebar pada posisi datar. Metode insersi dan retensi splinting ini seperti gambar yang memperlihatkan tulang nasal dan tepi jaringan lunak tanpa kehilangan palatum keras dianjurkan pada waktu memilih ukuran splint yang cocok4.

318

Gambar 16 : Metode insersi dan retensi splint intra nasal untuk memperoleh support internal4

Metode yang sederhana dan memuaskan untuk memperoleh support internal pada hidung, tetapi pada beberapa kasus tertentu tidak begitu praktis. Metoda ini terutama cocok untuk memperoleh support nasal pada pasien dengan fraktur fasial multiple4.

B. Splint Eksternal 1. Plaster of Paris Splint Teknik ini dikenal dengan bentuk kupu-kupu, dan sangat membantu untuk memperoleh suatu pola dengan juga menggunakan gauze atau jaconet cut untuk membentuknya dan mengetahui ukuran yang tepat sebelum diaplikasikan. Bahan ini terdiri dari 4 atau 5 lapis dari potongan 10 cm plaster of Paris bandage yang dilembutkan dengan air, kelebihan dibuang dengan tekanan antara cotoon gauze sebelum aplikasi. Kemudian dengan hati-hati dilakukan pemasangan plester pada daerah sekitar kepala dan glabela, nasal bridge line dan duapertiga bagian atas hidung. Sangat penting untuk diperhatikan bahwa plaster sudah menempel pada kulit dari daerah medial sampai bagian dalam canthus masing-masing mata yaitu dengan memegang antara jari telunjuk dengan ibu jari. Sementara plaster

319

mengeras, terutama pada daerah yang dekat dengan mata dan sekitar puncak hidung, sehingga akan membentuk cetakan dan diperhalus dengan Howarths elevator. Ini adalah untuk menjaga agar tidak terjadi luka pada kulit. Kemudian plaster dilekatkan pada daerah kepala dan pipi dengan bahan Elastoplast atau bahan pelekat lain, perlekatan dengan kulit dibantu dengan pemberian Compound Tincture of Benzoin. Sudah menjadi standard untuk membiarkan Plaster of Paris selama 7 10 hari, tetapi ini tidak benar. Ketika pembengkakan mulai berkurang splint akan menjadi longgar dan oleh karena itu harus segera diangkat, lebih baik pada hari ketiga dan keempat atau lebih jika diperlukan. Terutama pada fraktur nasal yang disertai dengan fraktur ethmoid, biasanya terjadi pembengkakan jaringan lunak pada sekitar hidung4 .

Gambar 17: Plaster of paris splint4

2. Collodion gauze dan soft metal sheet (Ashs soft metal sheet-tin/lead alloy) Beberapa lapisan gauze dipotong sesuai dengan ukurannya dan direndam dalam larutan collodion. Kemudian diaplikasikan pada kontur hidung satu persatu. Sehelai lembaran logam lunak (soft metal) dipotong mengikuti bentuknya kemudian diaplikasikan dan konturnya dibentuk. Kemudian lapisan gauze collodion diaplikasikan dan dibentuk sehingga akhirnya splint tercetak hanya pada bagian medial dari bagian dalam canthi seperti yang diterangkan sebelumnya pada splint Plaster of Paris. Tipe splint eksternal ini sangat memuaskan, terutama pada kasus dengan adanya jahitan luka pada hidung dan glabela Tetapi ini tidak tepat pada kasus dengan fraktur septum pada waktu ini dan pembedahan sekunder

320

mungkin diperlukan pada beberapa waktu kemudian, terutama untuk mengatasi obstruksi pada nasal4.

Gambar 18: soft metal sheet4

Waktu dan perlunya intervensi bedah pada perawatan fraktur dasar orbita murni masih dalam perdebatan. Kebanyakan literatur mendukung waktu dua minggu untuk perbaikan sehingga mencegah fibrosis, kontraktur dan

terperangkapnya jaringan. Beberapa ahli sering menunggu beberapa hari supaya edema dan perdarahan sudah tidak ada sehingga didapat penilaian yang baik terhadap enopthalmus dan fungsi otot ekstraokuler. Pada kasus dimana terperangkapnya tarikan rektus inferior, perawatan harus dilakukan lebih cepat. 1,2 Fraktur dasar orbita melibatkan lebih dari 50 % mengenai lantai, dengan atau tanpa bersamaan dengan fraktur dinding mesial dan dengan prolaps jaringan orbital. Keadaan ini biasanya mengakibatkan enophtalmos yang signifikan (lebih dari 2 mm) dan ini merupakan indikasi untuk dilakukannya reparasi. Selain itu, pada fraktur dasar orbita bisa timbul diplopia karena terbatasnya gerakan ke atas dan ke bawah. Jika keterbatasan ini terjadi dalam 30 derajat dari gerakan utamanya dengan test forced-duction positip dan CT Scan menunjukkan adanya fraktur, harus dilakukan perbaikan yang cepat karena kemungkinan kelainan ini bisa menetap sangat tinggi. Trapdoor atau fraktur anteroposterior dapat ditemukan secara klinis dimana sulit ditemukan secara radiologis. Hal ini harus

321

dipertimbangkan, jika hal ini terjadi harus segera dikoreksi untuk menurunkan kemungkinan diplopia yang persisten. 1 Koreksi bedah merupakan kontra indikasi pada pasien yang secara medis tidak stabil dan tidak bisa mentoleransi anestesi. Dasar orbita bisa dicapai melalui pendekatan konjungtival, melalui pembukaan perkutaneous atau pendekatan transmaksilaris. Akses pada regio ini memudahkan eksplorasi dan membebaskan jaringan lunak yang bergeser atau terperangkap, dengan demikian diharapkan dapat memperbaiki semua gangguan motilitas ekstraokuler. Selain itu, pendekatan ini dilakukan untuk memperbaiki defek tulang dengan mengambil atau mereposisi fragmen tulang, hal ini bertujuan untuk perbaikan partisi antara orbit dan antrum maksilaris, dengan demikian dapat mengembalikan volume orbita dan menghilangkan semua pergeseran struktur jaringan lunak.4 Perawatan orbital fraktur harus terlebih dahulu melakukan dekompresi dengan segera kemudian melakukam rekonstruksi sesuai dengan lokasi dari fraktur. Fraktur blow in yang pergeserannya minimal biasanya tidak membutuhkan perawatan selain perawatan yang bersifat konservatif. 2,4 Fraktur atap orbita Penanganan fraktur pada atap orbita dianjurkan untuk mengeksplorasi atap orbita dengan menggunakan periosteal elevator sehingga segment fraktur dapat dikembalikan ke posisinya atau menjadi datar dan mencegah cederanya muskulus dan nervus. Aksesnya dapat dilakukan dengan insisi pada bagian blepaharoplasty bagian atas atau melalui laserasi yang terjadi. Fraktur lateral orbita Penanganan fraktur pada dinding lateral melalui incisi pada subciliary (blepharoplasty) lateral dikombinasi dengan lateral incisi eyebrow . Selain itu dapat dipergunakan muscle relaxant untuk mencegah spasme muskulus temporal. Tidak dipergunakannya tranosseus wire tetapi IMF dipertahankan selama seminggu untuk mencegah reduksi yang adekuat dari fragment. Fraktur medial orbita

322

Daerah ini sangat tipis khususnya daerah ethmoid, penanganan fraktur pada daerah ini dapat dilakukan dengan pendekatan incisi melalui subciliary dan memberikan kesempatan untuk ekspolarasi dasar orbita. Fraktur dasar orbita Dianjurkan untuk mengeksplorasi dasar orbital dengan menggunakan periosteal elevator sehingga segment fraktur dapat dikembalikan ke posisinya atau menjadi datar dan mencegah cederanya muskulus dan nervusAkses masuk pada bagian dasar orbita dapat dilakukan dengan incisi transkonjungtiva dan infraorbita (subciliary dan subpalpebra). Seperti pada gambar :

Gambar 19 : incisi subkonjungtiva3

Gambar 20: Incisi subpalpebra4

323

Gambar 21 : incisi subciliary4

Gambar 22 Insisi trans konjungtiva4

Material untuk rekonstruksi fraktur orbita Bahan bahan material yang biasa dipergunakan adalah : autografts dari tulang, contohnya tulang kortikal dan kanselous, cartilago. Material alloplastik : nan absorbable ( Titanium, silicon, porous polyetilene, dan teflon) Absorbable (polydioanone, polylactide, dan polyglactin) Allogenik dura.

324

Gambar 23. Gambaran pemasangan material rekonstruksi6

Semua material memiliki keuntungan dan kerugian, dan pilihan material biasanya tergantung kepada ahli bedah dan pasiennya. Auto bone graft merupakan standar kriteria untuk menyediakan kerangka untuk tulang fasial dan dinding orbita. Cancellous bone graft lebih disenangi daripada kortikal karena vaskularisasinya lebih cepat dan lengkap, juga memiliki aposisi formasi tulang yaitu proses resorbsi dan perbaikan yang baik. Implant Implant myriad tersedia untuk kegunaan rekonstruksi. Implant yang ideal harus bisa secara mudah diinsersikan dan dimanipulasi, tidak menjadi tempat infeksi, tidak akan mengalami ekstrusi, mudah ditempatkan pada struktur di sekitarnya, harganya wajar, dan tidak merangsang pembentukan jaringan fibrous. Hampir kebanyakan defek pada kasus fraktur dasar orbita dapat direparasi dengan implant sintetik yang terbuat dari polyethylene, silicon, miniplat metal, mesh vicryl, atau mesh metal. Alternatif lain dapat digunakan tulang autogenous dari dinding maksila atau calvarium.

Perawatan Pasca Bedah : Segera setelah pembedahan, kepala pasien ditinggikan dengan sudut kurang lebih 30 o. Beberapa ahli menganjurkan kompres dengan saline dingin di atas mata yang tertutup. Kemampuan visual dan fungsi pupil dinilai setiap 15 menit selama 1 jam pertama dan kemudian setiap 30 menit.

325

Setelah operasi pasien dilarang untuk meniup lewat hidung, dan beraktivitas berat. Selain itu pasien diinstruksikan untuk mengompres dingin selama 48 jam, dan diberikan antibiotik serta analgetik yang adekuat. Pemberian steroid dapat membantu pengurangan pembengkakan. 1,2 Seperti pembedahan lainnya komplikasi pada reparasi fraktur dasar orbita bisa berupa perdarahan atau infeksi. Kehilangan kemampuan penglihatan merupakan komplikasi yang serius berkaitan dengan reparasi kelainan ini. Diplopia yang tetap ada atau new onset, neuralgia, dan disfungsi otot ekstraokuler merupakan komplikasi yang mungkin bisa terjadi. Demikian juga ekstrusi implant dan enophtalmos yang menetap merupakan sequele postoperasi yang memerlukan intervensi bedah selanjutnya.

326

BAB IV KESIMPULAN

Fraktur nasal sering terjadi pada fraktur tulang fasial, tetapi sering dianggap tidak terlalu berpengaruh. Kesimetrisan hidung dan fungsi adalah penting untuk pasien, dan perawatan yang tidak tepat dan kurang adekuat akan menimbulkan hasil yang kurang memuaskan. Jika pendekatan yang dilakukan pada waktu terjadi trauma sama dengan pemikiran kedepan seperti yang dilakukan pada penanganan elektif kosmetik septorhinoplasty, maka akan diperoleh hasil yang lebih baik dan lebih memuaskan pasien. Fraktur orbita bisa terjadi bersamaan dengan fraktur pada daerah wajah lainnya. Jenis fraktur ini sering menimbulkan komplikasi berupa enophtalmos, diplopia, dan emfisema, namun pemeriksaan klinis terkadang sulit dilakukan karena adanya edema di daerah orbita, oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi radiologis secara seksama. Pendekatan bedah pada kasus-kasus yang diindikasikan harus dilakukan dengan hati-hati mengingat kemungkinan komplikasi yang akan terjadi.

327

DAFTAR PUSTAKA

1. Ramirez R.F. 2004. Nasal Trauma. The Thomson Corporation. All right reserved. http://www.ehendrick.com/healty/000561.htm. 2. Fonseca, RJ. et al. 1997. Oral and Maxillofacial Trauma. 2nd edition. Philadelphia: WB. Saunders Co. 3. Pitcock K.J & Bumsted M.R. 1997. Nasal Fractures. In: Raymond J. Fonseca and Robert V. Walker. Oral And Maxillofacial Trauma. Volume II. W.B. Saunders Company. Philadelphia London. Toronto Montreal Sydney Tokyo. p. 775 41. 4. Bowerman J.E. 1994. Fracture of the Middle Third of the Facial Skeleton. In: Rowe and Williams. Maxillofacial Injures. Second Edition. Churchill Livingstone. Edinburgh London Madrid Melbourne New York Tokyo. p. 541- 604. 5. Moore, K.L., Arthur F. Dalley II. 1999: Clinically Oriented Anatomy. 4 'h ed. Lippincott Williarli"s & 1Nilkins 6. Archer, H. W. 1975. Oral and Maxillofacial Surgery. 5th ed. Toronto : W. B. Saunders Company. 7. Booth, P. W. et al. 2003. Maxillofacial Trauma and Esthetic Facial Reconstruction. 1st ed. Edinburgh: Churchill Livingstone. Edinburgh. 8. Cohen, AJ. Facial Trauma, Orbital Floor Fracture (Blow out). Available at www.eMedicine.com. Last updated on March 7th 2005. 9. Williams, J. L. 1999. Maxillofacial Injuries. 1st ed. Edinburgh : Churchill Livingstone.

328

Fraktur Panfasial

Yudi Wijaya 160121120002

Peserta PPDGS Ilmu bedah mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Abstrak : Regio maksilofasial terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah wajah yang bagian atas, Bagian kedua adalah daerah tengah wajah atau midface. Midface dibagi menjadi bagian atas dan bagian bawah. Midface yang bagian atas bila terdapat fraktur Le Fort II dan Le Fort III dan/atau fraktur tulang nasal, fraktur nasoetmoidal atau kompleks zygomatikomaksilari dan fraktur dasar orbita. Fraktur Le Fort I bila fraktur terdapat pada bagian bawah dari midface. Bagian yang ketiga dari regio maksilofasial adalah wajah bagian bawah, bila fraktur hanya terdapat pada mandibula. Fraktur panfasial adalah fraktur yang terjadi pada daerah wajah yang meliputi sepertiga atas, sepertiga tengah dan sepertiga bawah yaitu meliputi fraktur pada regio frontal, kompleks nasalis, kompleks orbitalis, kompleks zigomatikus, maksila dan mandibula. Prinsip umum untuk penatalaksanaan fraktur panfasial yaitu dengan tehnik bottom to top (dari bawah ke atas) atau top to bottom (dari atas ke bawah).

Kata kunci: Fraktur panfasial, bottom to top , top to bottom

329

BAB I PENDAHULUAN

Pada mulanya dokter gigi dilibatkan pada perawatan trauma rahang karena mereka menguasai pengetahuan tentang gigi dan oklusi. Perawatan yang terdahulu hanya terdiri atas fiksasi gigi pada oklusi sentrik untuk mengurangi dan mengimobilisasi suatu rahang. Sekarang ini dasar pemikiran perawatan fraktur pada daerah maksilafasial tidak banyak berubah, hanya tekniknya yang berkembang pesat. Diagnosis didukung dengan adanya teknik radiografis yang berkembang dengan pesat. Fraktur-fraktur yang pada jaman dahulu tidak dapat dikenali sama sekali atau hanya bersifat dugaan sekarang ini bisa ditunjukkan sampai hal yang terkecil.1 Regio maksilofasial terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah wajah yang bagian atas, bila fraktur melibatkan sinus dan tulang frontal. Bagian kedua adalah daerah tengah wajah atau midface. Midface dibagi menjadi bagian atas dan bagian bawah. Midface yang bagian atas bila terdapat fraktur Le Fort II dan Le Fort III dan/atau fraktur tulang nasal, fraktur nasoetmoidal atau kompleks zygomatikomaksilari dan fraktur dasar orbita. Fraktur Le Fort I bila fraktur terdapat pada bagian bawah dari midface. Bagian yang ketiga dari regio maksilofasial adalah wajah bagian bawah, bila fraktur hanya terdapat pada mandibula. Insidensi trauma maksilofasial terutama yang berhubungan dengan kecelakaan kendaraan bermotor. 2 Trauma yang mengenai wajah dapat menyebabkan diskontinuitas dari jaringan lunak wajah maupun jaringan kerasnya. Fraktur yang terjadi pada daerah wajah yang meliputi sepertiga atas, sepertiga tengah dan sepertiga bawah yaitu meliputi fraktur pada regio frontal, kompleks nasalis, kompleks orbitalis, kompleks zigomatikus, maksila dan mandibula disebut dengan fraktur panfasial. 2 Fraktur ini biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan olah raga dan lain-lain.2,3 Penelitian pada tahun 2008 di

330

Amerika Serikat, penyebab utama fraktur panfasial adalah perkelahian (36%), kecelakaan kendaraan bermotor (32%), jatuh (18%), olahraga (11%), kecelakaan kerja (3%), dan luka tembak (2%). 2 Lebih banyak terjadi pada laki-laki dewasa muda, perbandingan laki-laki dan wanita adalah 4:1.4

331

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kraniofasial Tulang-tulang kraniofasial terdiri atas 22 tulang dengan dikelilingi oleh kavitas-kavitas yang berbeda yaitu kranium, orbita, sinus, hidung dan mulut. Tulang-tulang kraniofasial terdiri atas tulang yang memiliki ketebalan berbeda. Tulang-tulang yang tebal berhubungan dengan tulang- tulang berdinding tipis. Tulang dengan struktur yang tebal disebut sebagai 'buttress' yang menopang/penyangga proporsi kraniofasial dalam proyeksi antero-posterior. 2 Banyak penulis membagi buttres wajah dalam dua bidang yaitu bidang vertikal dan bidang horizontal. Buttres vertikal meliputi buttress nasomaxilaris pada medial,, zigomaticomaxilaris pada lateral, dan pterigomaxilaris pada posterior. Buttress nasomaksilaris meliputi prosessus maksilaris dari frontalis dan prosessus frontalis dari tulang maksila, meluas ke lateral sampai rima piriformis. Buttress zigomaticomaxilaris terdiri dari prosessus zygomatikus dari tulang frontal, rima orbita lateral, tulang zygomatikus lateralis, dan prosessus zygomatikus dari tulang maxilla. Buttress pterigomaksilaris terdiri dari lempeng pterigoid dari tulang sphenoid dan tuberositas maksilaris. Ketiga buttress ini menghasilkan suatu sistem penyangga unit-unit fungsi pada oral, nasal dan orbital. Pada umumnya buttress zygomaticomaksilaris dan buttress nasomaksilaris dilakukan rekonstruksi, tapi buttress pterigomaksilaris tidak dilakukan rekonstruksi karena tidak dapat diakses. 2,4 Buttress horizontal sering juga disebut dengan anterior posterior buttress. Buttress ini meliputi buttress frontal, zygomatik, maxilaris dan mandibular. Buttress frontal terdiri dari rima supraorbital, dan regio glabelar. Buttresss zygomatik terdiri dari zygomatic arch, zygomatic body, dan infraorbital rim. Buttress maxila dan mandibula terdiri dari basis maxila dan lengkung tulang mandibula.4 Keseluruhan buttress ini secara bersama-sama memberikan integritas tulang wajah. Tulang-tulang yang pada umumnya lebih tebal ini berfungsi untuk

332

menetralisir kekuatan pengunyahan dan benturan. Dengan reduksi yang tepat kita dapat merekonstruksi tinggi, lebar dan proyeksi wajah. 2,3

Gbr.1 Buttress vertikal dan horizontal.1

2.2 Klasifikasi Fraktur Panfasial Gruss dkk (1989) membagi fraktur panfasial menjadi tiga kelompok yaitu: 3 1. Fraktur kraniofasial sentral Fraktur terjadi pada bagian sentral yang memisahkan buttress fasial dari basis kranial anterior. Variasinya meliputi tulang frontal dan atap orbital dan sinus frontalis. Pada trauma yang ekstensif terjadi perluasan ke arah vertikal melalui sepertiga tengah wajah dan bagian tengah mandibula. 2. Fraktur kraniofasial lateral Fraktur ini mengakibatkan kerusakan pada buttress fasial lateral yaitu tulang frontozigomatikomaksilaris dengan perluasan ke arah posterior pada sayap tulang sphenoid, temporal dan parietal. Komplikasi intrakranial lebih jarang terjadi, namun perluasan ke bagian bawah wajah lebih sering terlihat 3. Kombinasi fraktur sentral dan lateral

333

Trauma yang ekstrim akan menghasilkan kehancuran elemen fasial sentral dan lateral disertai dengan fraktur sepertiga tengah wajah, mandibula, kondilus dan trauma intrakranial. Kerusakan dapat meliputi kerusakan pada otak yang lokal maupun difus dan diskontinuitas dasar fosa kranial anterior.

334

BAB III PEMBAHASAN

2.3 Penatalaksanaan Pada umumnya penderita dengan trauma oromaksilofasial terjadi bersamaan dengan trauma pada bagian tubuh yang lain (trauma multiple). Sehingga tahap-tahap penangannnya bersamaan dengan penanganan trauma yang lainnya. Adapun tahap-tahap penanganan trauma adalah sebagai berikut: 6 1.Penanganan yang dilakukan sebelum dibawa ke rumah sakit a. Mempertahankan jalan napas b. Menghentikan perdarahan eksternal c. Stabilisasi fraktur d. Stabilisasi tulang belakang e. Tranportasi cepat (Ambulatory) 2. Resusitasi dan pananganan primer a. ABC (Airway, Breathing, Circulation) b. Resusitasi cairan c. Pemantauan 3. Diagnosis dan penanganan sekunder a. Pemeriksaan fisik menyeluruh b. Radiografi c. Pemeriksaan Laboratorium d. Resusitasi dan pemantauan lanjut 4. Perawatan Definitif a. Pembedahan b. Perawatan non operatif c. Nutritional support 5. Rehabilitasi

335

2.3.1 Evaluasi Evaluasi dimulai dengan menilai jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi serta tingkat kesadaran (ABC trauma management). Perhatian segera yang ditujukan pada kasus berat adalah penatalaksanaan 'life-support' yang tepat dan penilaian komplikasi intrakranial dan ekstrakranial. 2,3 Setelah pasien dalam keadaan stabil dan bebas dari trauma tulang spinal servikal, evaluasi terhadap regio maksilofasial dapat dilakukan. Dalam mendiagnosa fraktur panfasial dibutuhkan data riwayat trauma yang seksama, pemeriksaan fisik dan evaluasi radiografis yang baik. Informasi yang lengkap meliputi keadaan wajah penderita, oklusi dan fungsi sebelum terjadi trauma amat dibutuhkan. Hal ini dapat diperoleh melalui data fotografi dan rekam medis dental.2,3 Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematis yaitu dengan metode inside out and bottom up yaitu meliputi inspeksi dan palpasi dari dagu hingga kepala serta dari intraoral dan ekstraoral untuk dapat mengidentifikasi luka pada jaringan lunak, tulang, gigi geligi dan neurovaskular. Pada observasi klinis akan terlihat adanya pembengkakan pada wajah yang difus, luka memar laserasi pada tonjolan tulang seperti dahi, daerah supraorbital ridge dan pangkal hidung. Deformitas pada tulang seringkali terlihat dengan hilangnya proyeksi hidung dan gangguan pada proyeksi midfasial, kesimetrisan dan ketinggian wajah. Perhatian utama harus ditujukan pada daerah nasoethomid, palatum, mata dan prosesus kondilus.5 Pemeriksaan intraoral dilakukan untuk melihat adanya memar dan laserasi jaringan lunak maupun adanya kehilangan jaringan. Selain itu juga untuk mengevaluasi adanya fraktur segmental maupun sagital pada maksila maupun mandibula serta dentoalveolar. Adanya fraktur pada kondilus dapat diperkirakan apabila terdapat krepitus, pergerakan abnormal pada mandibula dengan palpasi pada daerah external auditory canal dan menginstruksikan pasien untuk membuka dan menutup mulut.6 Pemeriksaan penunjang seperti CT Scan pada negara maju telah menggantikan peranan radiologi konvensional. Evaluasi pertama dapat dilakukan dengan data radiologis seperti Water's. CT Scan dua dimensi dengan potongan

336

axial

akan

memberikan

informasi

penting

terhadap

perluasan

trauma

kraniomaksilofasial. CT Scan dua dimensi dengan potongan koronal dan sagital akan memberikan informasi mengenai fraktur pada dinding orbital, buttress maxilla dan ramus ascenden mandibula. Dengan kemajuan tehnologi CT Scan tiga dimensi akan memberikan peran yang lebih baik dalam menentukan keadaan fraktur dalam hal ada atau tidaknya displacement tulang. 1,6

Gbr 2. Pasien dengan fraktur panfasial 2

Gbr 3. Digital imaging fraktur panfasial 1

2.3.2 Tata laksana Manajemen pasien dengan multiple displaced dan fraktur comminuted sangatlah menantang tidak saja pada ahli bedah yang belum berpengalaman nemun juga pada ahli bedah yang sudah berpengalaman. Diagnosa dan rencana perawatan yang tidak tepat akan menyebabkan hasil yang tidak adekuat dan memperlama prosedur bedah. Akan tetapi, dengan melalui gambaran rontgen

337

yang detail, fiksasi yang baik, tehnik bone graft serta urutan tahapan bedah yang baik, akan didapatkan hasil yang optimal.7 Ketika terjadi fraktur wajah multiple yang melibatkan wajah bagian atas, tengah dan bawah, proses rekonstruksi seperti menyusun puzzle. Pengetahuan akan landmark dan anatomi dapat digunakan untuk rekonstruksi yang tepat pada bagian wajah yang mengalami kerusakan. Key landmark yang dapat membantu adalah, lengkung gigi, mandibula, sutura sphenozigomatik, maxxilary buttress, dan regio intercanthal, sebagai nerikut:1,7

a. Lengkung Gigi Ketika salah satu atau kedua lengkung gigi utuh, mereka dapat digunakan sebagai panduan. Sebagai contoh, ketika terjadi fraktur lefort dengan midpalatal yang masih utuh, maxila yang memiliki lengkung yang masih utuh dapat digunakan untuk panduan mendapatkan lebar lengkung mandibula yang tepat. Masalah utama terjadi jika terdapat fraktur midpalatal dan mandibula yang disertai fraktur kondyle. Kondisi ini dapat menyebabkan melebarnya kompleks facial jika segmen fraktur tidak direduksi dengan benar. Solusi untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mengembalikan keutuhan maxila dengan melakukan reduksi dan fiksasi fraktur palatal. Pendekata ini bisa dilakukan jika fraktur palatal single tanpa kominusi atau avulsi. b. Mandibula Reduksi simphisis dan/atau ramus mandibula dapat diperoleh melalui pembukaan ekstraoral. Eksposure ini memungkinkan didapatkannya visualisasi langsung dari inferior border mandibula dan sedikit korteks lingual. Reduksi permukaan bukal dan lingual memungkinkan untuk didapatkannya hasil fiksasi yang lebih baik. Jika terdapat fraktur subkondilar bilateral, fraktur tersebut harus dirawat agar didapatkan tinggi dan lebar wajah yang tepat. Jjika terdapat fraktur subkondilar yang disertai dengan fraktur simphisis dan/atau ramus mandibula, kan terjadi penambahan lebar wajah. Perlekatan otot pterigoid lateral pada fovea

pterigoideus, berfungsi untuk mencegah pergerakan lateral yang ekstrem.

338

Kondilus mandibula can be reconstitude ramus mandibula untuk mendapatkan tinggi dan lebar wajah. c. Sutura Sphenozygomatikus Sutura sphenozygomatikus, disepanjang permukaan dalam dari didingding orbita lateral adalah key landmark pada reduksi dan fiksasi complex

zygomatikomaksilaris. Jika orbital roof dan orbita lateral superior masih baik, sutura ini dapat menjadi landmark yang penting untuk menempatkan zygoma dan lengkung zygoma pada posisi yang tepat. Sutura sphenozygomatikus biasanya nampak pada sepanjang permukaan internal dari dinding orbita lateral. Likewise , buttress zigomatikus sangatlah penting dalam menempatkan zygoma dan maksila dalam posisi yang tepat. Ketika zygoma telah berada pada posisi yang tepat, lokasi dari maksila dapat di tentukan. Permukaan kontak yang luas ini sangat penting pada proses reduksi dan fiksasi. Jika terjadi kehilangan tulang yang signifikan pada regio ini, perlu dipertimbangkan pencangkokan untuk mengembalikan buttress ini.

Gambar 4. Reduksi dan fiksasi sutura sphenozygomatik 1

d. Daerah Interchantus Daerah interchantus digunakan untuk mengembalikan lebar midfacial setelah jarak interchantus stabil pada rangka wajah orang dewasa. Restorasi jarak interchantus dengan menggunakan reduksi kompleks naso-orbitoethmoid dapat membantu menentukan lebar wajah.

339

Gambar 5. A.Gambaran klinis penderita dengan fraktur naso-orbitoethmoid dengan jarak interchantus 43mm. B. Gambaran intraoperatif menunjukkan gambaran fraktur naso-orbitoethmoid.7

Tujuan dari perawatan fraktur panfasial adalah merehabilitasi jaringan yang terkena, mengurangi rasa sakit, penyembuhan tulang, serta perbaikan oklusi gigi. Sebelum merencanakan perawatan terlebih dahulu perhatikan: 7 1. Lokasi dan luasnya fraktur 2. Struktur yang terluka atau terlibat di sepanjang fraktur 3. Jumlah kehilangan jaringan lunak, meliputi kulit, mukosa dan saraf 4. Luas kehilangan tulang 5. Keadaan trauma dentoalveolar Perawatan jenis trauma yang kompleks ini merupakan rangkuman dari seluruh perbaikan dari semua fraktur fasial dan kranial yang individual. Dibutuhkan perencanaan yang baik untuk meminimalkan operasi ulang dan lamanya perawatan di rumah sakit.

Perawatan terhadap jenis fraktur ini sebelumnya sering mengalami kesulitan dalam menentukan waktu perbaikan wajah sehubungan dengan intervensi bedah saraf dan ophtalmologis. Pada saat ini perawatan modern unit kraniofasial di negara maju memungkinkan untuk dilakukannya perbaikan kraniofasial dan bedah neurologis dalam merekonstruksi perbaikan fraktur fasial yang multipel dan penutupan fistula kranionasal pada saat yang bersamaan. Defek tulang yang luas atau defek jaringan lunak dapat dipertimbangkan dengan menggunakan rekonstruksi flap yang luas atau graft. Defek diskontinuitas dapat dilakukan dengan fiksasi maksilomandibular

340

baik internal dengan intraosseus wiring, plate dan screws, lag screws maupun fiksasi eksternal. Cangkok tulang definitif dapat dilakukan pada operasi pertama ataupun kedua. Hilangnya gigi geligi akan mempengaruhi hubungan antara maksila dan mandibula.2,7

Gbr 6. Bone graft pada dinding sinus maksila anterior1

Koreksi definitif pada pasien dengan trauma kraniofasial yang kompleks secara ideal dilakukan dalam 5-7 hari. Beberapa penulis menganjurkan untuk fiksasi primer pada 12-48 jam paska trauma. Namun dalam jangka waktu tersebut seringkali tidak cukup untuk memperoleh pemeriksaan radiologis, ophtalmologis dan pengelolaan gigi geligi yang adekuat terutama pada pasien dalam keadaan koma dan tidak kooperatif. Pada periode tersebut jaringan lunak berada dalam keadaan pembengkakan sehingga pengelolaan operatif pada saat itu akan menyebabkan proyeksi wajah dan kesimetrisan wajah sulit dicapai. Selain itu adanya rhinorrhoea serebrospinal atau aerocele intrakranial merupakan alasan lain keterlambatan perawatan. 2 Seringkali pasien tersebut membutuhkan waktu lebih dari tiga minggu untuk pengelolaan life-saving yang ekstensi terhadap trauma ekstrakranial. Pada banyak kasus keterlambatan koreksi seringkali menyebabkan telah terjadinya union pada tulang dan kontraktur jaringan lunak sehingga diperlukan diseksi jaringan lunak yang ekstensif untuk mendapatkan pemaparan tulang yang baik dalam rangka reduksi dan fiksasi fraktur tulang. Selain itu diperlukan osteotomi pada garis fraktur akibat telah terjadinya penyatuan tulang.6 Kunci utama dalam penatalaksanaan fraktur panfasial adalah untuk mendapatkan fiksasi dan stabilisasi yang cukup stabil pada daerah-daerah yang tidak stabil. Rekonstruksi harus meliputi arah 3 dimensi yaitu vertikal, horisontal dan transversal. Terdapat dua prinsip umum untuk penatalaksanaan fraktur panfasial

341

yaitu dengan tehnik bottom to top (dari bawah ke atas) atau top to bottom (dari atas ke bawah).2,8 Apabila kranium frontalis masih intak atau terdapat fraktur pada fossa kranial anterior atau fronto-orbital bar tanpa adanya kehilangan tulang atau dimana struktur-struktur tulang tersebut di atas telah terekonstruksi dengan kuat, regio midfasial dapat direkonstruksi dalam arah atas ke bawah. Namun bila terdapat diskontinuitas pada lengkung mandibula, hilangnya tulang pada tulang kranial dan diskontinuitas pada dasar fosa kranial anterior atau hilangnya titik referensi, pendekatan dilakukan dalam arah bawah ke atas. Hal ini dilakukan agar rekonstruksi pada mandibula dapat menghasilkan hubungan yang intak dalam mereposisi maksila. Selain itu bila basis kranial frontalis diperbaiki dan dilekatkan terhadap tengah wajah dapat menaikkan resiko kerusakan atau perubahan letak terhadap fosa kranialis anterior yang telah diperbaiki.2,6,8 Pada tehnik bottom to top, rekonstruksi dimulai dari mandibula. Bila lengkung mandibula terganggu harus diperbaiki terlebih dahulu. Fraktur pada kondilus baik unilateral maupun bilateral memerlukan reduksi segera dan fiksasi internal untuk mempertahankan ketinggian fasial. Setelah mandibula terkoreksi dengan baik, maksila yang mengalami disimpaksi dapat dikoreksi dengan menyesuaikan oklusi pada rahang bawah dan dilakukan fiksasi intermaksilaris. Perbaikan dapat dilanjutkan dalam arah atas ke bawah dan bertemu dengan segmen maksilomandibula yang telah terfiksasi.5,6 Bila terdapat fraktur sagital pada maksila dilakukan reduksi dan fiksasi untuk mendapatkan kembali lengkung maksila sehingga koreksi terhadap lebar wajah tengah dapat tercapai. Fiksasi dapat dilakukan dengan menempatkan miniplate secara transversal pada maksila. 5,6 Kerugian pada tehnik bottom to up adalah untuk rekonstruksi dilakukan dimulai dari jarak yang cukup jauh dari elemen simetris yang stabil yaitu basis kranial. Ketidakakuratan dalam mereduksi dan mereposisi fraktur kondilus akan menyebabkan asimetri wajah. 5,6

342

Gbr 7. Tehnik bottom up dan inside out. A dan B, penatalaksanaan fraktur panfacial dapat dimulai dengan fikasi maxilomandibular. Kemudian diikuti dengan reduksi dan fiksasi fraktur subkondil, kemudian fraktur symphisis. C dan D, reduksi dan fiksasi zygoma dengan menggunakan panduan sutura sphenozygomatik dan sutura zigomatiko maxilary. E dan F, selanjutnya maxiila dapat distabilisasi sepanjang buttress zygomaticomaxilary. G dan H, selanjutnya fraktur naso-orbiethmoid dapat direduksi dan fiksasi pada sutura naso frontalis dan sutura frontomaxilary dan infraorbital rim serta piriform. 1

Pada tehnik top to bottom, Gruss dan Mackinon (1986) menyarankan untuk melakukan rekonstruksi pertama-tama pada bagian luar rangka fasial (outer facial frame) pada fraktur panfasial yaitu meliputi lengkung zygomatik, kompleks malar dan tulang frontalis. Kemudian rekonstruksi dilakukan pada bagian dalam

343

rangka fasial (inner facial frame) atau pada kompleks naso-orbitho-ethmoidal, sutura zygomatikofrontalis dan orbital rim. Setelah itu dilakukan rekonstruksi pada maksila pada Le Fort I dengan menggunakan plat pada buttress. Kemudian reposisi pada fraktur mandibula dan diakhiri dengan fiksasi intermaksilaris.

Gbr 8. Teknik top to bottom1

Cangkok tulang biasanya dilakukan untuk merekonstruksi dinding orbital dan hidung. Selain itu cangkok tulang dilakukan untuk koreksi sekunder bila

344

dibutuhkan untuk menambah kontur pada regio tertentu dan memperbaiki kesimetrisan wajah.6 Berbagai macam insisi dilakukan untuk mendapatkan pemaparan tulang yang mengalami fraktur dan merekonstruksinya antara lain dengan insisi koronal, insisi pada kelopak mata bagian bawah, periorbital, sulkus gingivobukal, preaurikular, retromandibular atau submandibular. Insisi koronal akan dapat memberikan pemaparan yang lebih luas pada tulang kranium dan rangka kraniofasial bagian atas. Selain itu insisi ini dapat memberikan akses yang optimal untuk dapat mereduksi dan memfiksasi fragmen tulang.5 2.4 Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi pada trauma maksilofasial adalah : 1. Kerusakan neurologis seperti adanya anestesi, parastesi, 2. Kurangnya ketinggian wajah pada bagian posterior, 3. Gigitan terbuka pada bagian anterior ( openbite anterior), 4. Bertambahnya lebar wajah, 5. Berkurangnya ukuran proyeksi wajah dalam arah anterior dan posterior, 6. Maloklusi, 7. Deformitas dan obstruksi hidung dan serta 8. Kebutaan.

345

BAB III KESIMPULAN

Penatalaksanaan pasien dengan trauma panfasial memerlukan diagnosa yang cermat untuk mendapatkan hasil yang memuaskan dalam merekonstruksi wajah. Kunci keberhasilan pengelolaan pasien fraktur panfasial adalah dengan mendapatkan lapang pandang yang cukup luas, reduksi yang cermat dan fiksasi dari fraktur. Prinsip dalam merekonstruksi adalah dengan mereduksi daerah yang anatomi yang memberikan panduan rangka wajah yang maksimal yaitu pada kerangka wajah luar. Daerah-daerah yang mengalami kehilangan tulang yang luas dapat dilakukan cangkok tulang.

346

DAFTAR PUSTAKA

1. Hard N, Kuttenberger. 2010. Craniofacial Trauma, Diagnosis and Management, Berlin: Springer-Verlag 2. Fonseca R.J. 2005. Oral and Maxillofacial Trauma. 3rd ed. St Louis: Elsevier Saunders. 3. http://emedicine.medscape.com/article/1283471-overview Workup: Facial Trauma, Management of Panfacial Fractures 4. http://www.otohns.net/default Periorbital Fractures 5. Trott, J.A et al. 1995. Facial Fracture in David, D.J & Simpson D.A. Craniomaxillofacial Trauma. Edinburg: Churchill Livingston 6. Bos, R.R.M. 1990. Panfacial fractures : Planning an Organized Treatment in Harle F. and Champy, M. Atlas of Craniomaxillofacial Osteosynthesis Miniplates, Microplates and Screws. Stuttgart. New York: Thieme 7. http://emedicine.medscape.com/article/1283471-overview Facial Trauma, Management of Panfacial Fractures 8. http://emedicine.medscape.com/article/1283471-overview Facial Trauma, Management of Panfacial Fractures 9. http://emedicine.medscape.com/article/1283471-overview Facial Trauma, Management of Panfacial Fractures 10. Pedersen, G.W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Alih Bahasa: drg. Purwanto, drg. Basoeseno, EGC. Jakarta. Multimedia: Follow-up: Treatment: UTMB Grand Rounds-Maxillary and

347

Manajemen Trauma Pada Anak-Anak

Arismunandar 160121120005

Peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Bedah Mulut Dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung

Abstrak Manajemen trauma oromaksilofasial pada pasien anak-anak sedikit berbeda dengan orang dewasa. Dengan kemampuan penyembuhan yang cepat, ukuran bagian tubuh yang lebih kecil dan komplikasi yang minimal menjadi karakteristik tersendiri pada pasien anak-anak. Perlu di perhatikan pada penanganan kegawatdaruratan dan perawatan definitive oleh karena struktur anatomi yang sedikit berbeda dengan orang dewasa. Maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai manajemen penatalaksanaan trauma pada anak-anak. Kata kunci : trauma, fraktur, reduksi, reposisi, fiksasi, anak-anak.

348

BAB I PENDAHULUAN

Pasien trauma orofasial pada anak-anak berbeda dari orang dewasa dengan luka yang serupa oleh karena trauma yang terjadi. Pertama, pada pasien anak-anak memiliki keuntungan dari kemampuannya untuk menyembuhkan yang cepat dengan komplikasi yang minimal, oleh karena vaskularisasi jaringan yang baik dari wajah. Kedua, melalui pertumbuhan dan kemampuan yang melekat pada anak-anak untuk beradaptasi, pemulihan jaringan orofasial yang rusak dapat dimaksimalkan dan hilangnya fungsi dapat diminimalkan. 1,2 Disamping

keuntungan ini, ada karakteristik tertentu dari trauma orofasial pada anak-anak yang harus selalu diingat. Ini termasuk anatomi wajah yang belum dewasa, cedera pada wajah karena trauma berpengaruh pada pertumbuhan, yang membuat tindak lanjut penanganan jangka panjang pada pasien anak-anak wajib

diperhatikan. Karena faktor ini, trauma orofasial pada anak-anak tidak dapat dikelola dengan cara yang sama seperti pada orang dewasa. 3 Ukuran tubuh anakanak yang lebih kecil juga berpengaruh, saat terjadi trauma, akan menyebabkan gaya yang lebih besar per unit masa tubuh. Pada pasien pediatrik, tulang lebih elastis, garis sutura lebih fleksibel, dan adanya lapisan adiposa yang menutupi kerangka lebih tebal daripada pada orang dewasa.2 Faktor-faktor ini juga berkontribusi terhadap rendahnya frekuensi fraktur fasial pada anak-anak dan seringya terjadi greenstick dan nondisplaced fraktur pada anak-anak. Kurangnya sinus pneumatization dan tunas gigi dalam rahang berkontribusi terhadap stabilitas dan rendahnya prevalensi pada fraktur midface .4 Adanya perbedaan antara pasien anak dan dewasa mempunyai dampak terhadap pola trauma pada anak-anak pada umumnya dan trauma maksilofasial khususnya. Anak-anak memiliki permukaan yang lebih tinggi-untuk-rasio volume tubuh, tingkat metabolisme lebih tinggi, oxygen demand, dan curah jantung, darah total yang lebih rendah volume, dan stroke volume lebih kecil daripada orang dewasa.3 Oleh karena itu, mereka lebih rentan menghadapi resiko hipotermia,

349

hipotensi, dan hipoksia setelah kehilangan darah dan bahkan pembengkakan ringan pada saluran napas atau terjadinya obstruksi mekanis. Oleh karena itu maka pemeliharaan jalan nafas, pengendalian perdarahan, dan resusitasi awal lebih kritis pada anak-anak daripada orang dewasa.3 Dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak memiliki rasio cranial to body mass lebih besar. Rasio cranial to body mass diperkirakan 8:1 pada masa bayi dan 2.5:1 pada dewasa. Perlindungan ''relatif'' wajah oleh tulang

tengkorak memberikan informasi bahwa, insidensi fraktur midface dan tulang mandibula pada anak-anak lebih rendah, serta lebih besar insiden cedera tengkorak dalam kelompok usia yang lebih muda. Ini juga menjelaskan mengapa, dengan bertambahnya usia, insiden patah tulang rahang midface dan meningkat sedangkan insiden cedera kranial berkurang.3,4

350

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Epidemiologi Etiologi cedera pada wajah bervariasi dengan usia. Walaupun kebanyakan dokter mengkategorikan pasien yang sedang dalam masa tumbuh kembang sesuai dengan kesar tubuh anak-anak tersebut, anak-anak harus dibedakan berdasarkan usia tumbuh kembangnya. Infant dikategorikan pada usia kurang dari 1 tahun, kategori anak-anak berada pada usia 1-11 tahun, dan dewasa muda berada pada usia 11-19 tahun. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa, penyebab paling umum cedera pada wajah adalah kecelakaan kendaraan bermotor apakah anak sebagai penumpang atau pejalan kaki. 2,3,4

Anatomi Dan Patofisiologi Proporsi wajah anak-anak sangat berbeda dari yang orang dewasa. Tulang kranium kepala besar dan struktur wajah yang relatif kecil. Rasio kraniofasial saat lahir adalah 8:1 dan wajah tersembunyi di bawah tulang kranium yang relatif besar. Awalnya, kranium tumbuh lebih cepat daripada wajah, mencapai 80% dari ukuran dewasa pada usia dua tahun. Otak dan ocular pertumbuhan hampir selesai pada usia tujuh. Pertumbuhan fasial terus berlangsung sampai pada dekade kedua kehidupan hingga ratio kraniofasila menjadi 2:1. Oleh karena alasan tersebut maka tulang kranium lebih sering terkena trauma sebelum usia ke-7 daripada trauma yang terjadi pada wajah.3,4 Prinsip umum penatalaksanaan fraktur (recognition, reduction,

stabilization, & fixation) harus diterapkan disamping tetap mempertimbangkan dampak yang terjadi terhadap tumbuh kembang anak-anak di masa mendatang.1 Dilema sering muncul ketika harus memutuskan perawatan yang terbaik untuk penatalaksanaan trauma orofasial terutama pada pasien anak-anak. Peran dan fungsi rahang sebagai modulator pertumbuhan mandibula tidak terbantahkan. Potensi penyembuhan dan remodeling tulang pada anak-anak lebih besar

daripada orang dewasa. Pada perawatan IMF yang menghambat tumbuh kembang

351

wajah efeknya bersifat reversible, jika pemasangan IMF dilakukan untuk jangka waktu yang singkat. Ketika perawatan open reduction menjadi pilihan, harus diperhatikan bahwa jangan sampai tindakan tersebut mempunyai efek terhadap tumbuh kembang wajah akibat penempatan bone plates, screws ataupun wires. Selama fase mixed dentition mungkin akan sulit didapatkan IMF yang stabil pada perawatan closed dan open reduction.2,4 Anatomi jalan nafas pada pasien anak-anak memiliki saluran yang pendek dan diameter yang kecil serta epiglotis yang sempit serta lidah yang besar pada anak. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya airway resintance, mudahnya tejadi obstruksi, kesulitan intubasi, dan mudahnya self-extubation. Pada anak-anak dan bayi rigiditas dada kurang bila dibandingkan dengan dewasa. Tidak seperti pada orang dewasa, pada anak-anak penyebab umum terjadinya gangguan jantung oleh karena gangguan sekunder pernafasan. 1,2 Fraktur greenstick lebih sering dijumpai pada pasien anak-anak oleh karena tulang korteks yang tipis dan meningkatnya bagian medulla tulang menyebabkan tulang tahan terhadap benturan. Komposisi tulang dengan lebih banyak tulang kanselus menyebabkan kurang kondusif dilakukan screw/ wire fixation untuk internal fiksasi. Oleh karena alasan tersebut, closed reduction menjadi pilihan solusi penanganan pada kebanyakan fraktur fasial. Aktivitas osteogenic dan bone remodeling yang aktif pada anak-anak menyebabkan fraktur yang terjadi baik pada maksila ataupun pada mandibula yang jika tidak segera dilakukan reduksi dalam beberapa hari maka akan sulit didapatkan reduksi yang adekuat dikemudian hari. Hampir tidak ada/ jarang ditemukan kasus nonunion pada fraktur fasial pada anak-anak.1,3

Psikologi anak-anak Stress trauma dan bedah akan berpengaruh pada psikologi anak-anak. Selama periode infant, rawat inap rumah sakit, trauma dan bedah akan mengganggu alur makan dan tidur infant. Pada usia yang lebih dewasa, depresi dapat terjadi karena tekanan dari ingatan akan trauma dan kehilangan anggota tubuh dapat menghambat perkembangan mental pada anak.

352

Post Traumatic Stres Disorder (PTSD) dapat muncul setelah luka pada individu muda yang tidak pernah mengalami luka yang serius ataupun rawat inap pada lingkungan rumah sakit. Walaupun PTSD bukanlah kelainan yang fatal, keadaan ini dapat memicu pertumbuhan mental pasien kea rah yang tidak wajar. Perawatan khusus harus diberikan untuk menjaga keadaan mental pasien anakanak. Konsultasi dengan psikiatri dan layanan social lainnya penting untuk menghasilkan kesehatan yang sempurna pada anak-anak.

Insiden Fraktur Fasial Fasial fraktur pada anak-anak jarang terjadi pada anak-anak. Analisa yang dilakukan Rowe pada 1500 kasus fraktur fasial ditemukan bahwa, 5% dari semua kasus fraktur fasial terjadi pada anak-anak dibawah umur 12 tahun dan kurang dari 1% terjadi pada anak-anak dibawah umur 6 tahun. Fraktur pada midface pada anak-anak ditemukan kurang dari 1% dan 4% disertai variasi fraktur Le Fort I. 1 Studi yang dilakukan McCoy et al, menemukan bahwa 40% kasus fraktur fasial berkaitan dengan fraktur kranium. Pada pasien anak-anak, trauma kepala sering menyertai fraktur fasial, kemudian diikuti trauma pada ekstremitas. Posnick et al mendapatkan dari 137 pasien, menemukan 42 % dengan fraktur fasial (6-12 tahun), 32 % fraktur orbita pada dasar orbita, 19% pada dinding media, 18% pada atap orbita. Pada kasus kecelakaan kendaraan bermotor yang terjadi/ melibatkan anak-anak, 51,4% terjadi faraktur nasal, 15,5% fraktur mandibula, 11,6% fraktur orbita, 8,7 fraktur zygoma dan maksila.1

353

BAB III PEMBAHASAN

Manajemen Kegawat-daruratan Pemeliharaan jalan nafas, pencegahan terjadinya aspirasi, kontrol perdarahan dan stabilisasi tulang servikal merupakan langkah utama pada manajemen kegawatdaruratan pada pasien anak-anak dengan trauma orofasial. Pembengkakan karena trauma maksilofasial, fragmen fraktur mandibula, dapat membahayakan saluran pernafasan pada anak-anak dengan trauma maksilofasial. Mulut dan pharynx harus terbebas dari kotoran dan intubasi dilakukan jika diperlukan. Perdarahan dari kulit kepala, wajah, leher dan mulut harus dikontrol dengan penekanan dan dilakukan penjahitan bila perlu. Stabilisasi tulang servikal sampai kondisi dinyatakan clear.4

Cairan Dan Elektrolit Resusitasi cairan merupakan komponen penting pada manajemen perioperatif pada pasien trauma anak-anak. Perubahan status mentalis, respiratory compromise, berkurangnya nadi perifer, delayed capillary refill, dan hipotermi adalah tanda-tanda shock dan memerlukan segera resusitasi cairan dengan cairan intravena yang hangat untuk mengembalikan ke kondisi semula. Dengan adanya trauma, resusitasi cairan dengan 2 cateter intravena diperlukan, jika kurang dari 6 tahun, akses intraosseus bisa dilakukan sampai akses intravena didapatkan. Kebutuhan cairan pada anak-anak terdiri dari maintenance dan replacement. Maintenance terapi untuk mengkompensasi kehilangan cairan insensible (paru & keringat) dan sensible (urine & stool). Kemungkinan terjadi kehilangan cairan pada kondisi adanya luka terbuka, muntah, diare. Untuk terapi maintenance dikalkulasikan dengan estimasi caloric expenditure dari berat badan dan luas permukaan tubuh. Kalkulasi terapi maintenance pada anak-anak berkisar 1500 mL + 20 mL/kg untuk berat badan yang lebih dari 20 Kg per hari. Jika diduga dehidrasi moderate maka maintenance awal 5mL/ Kg per jam selama 2

354

jam pertama dan berkurang sampai 1,5-2 mL/ Kg per jam. Output urine diharapkan 1-2 mL/ Kg per jam pada anak-anak. Terapi cairan untuk maintenance biasanya larutan hipotonis dengan konsentrasi Na dan K yang memadai ( 5% dextrose [D5] dengan NS, D5 dengan NS). Penggunaan NS bisa memicu terjadinya hipernantremi ketika diberikan untuk maintenance karena kandungan sodium yang tinggi (154 mEq/L) dan juga karena kemampuan bayi untuk mengekskresikan kelebihan sodium berkurang. Serta juga dapat menyebabkan hiperchloremic pada neonates jika digunakan dalam jangka waktu yang lama, karena kandungan chloride didalamnya adalah nonphysiologic chloride.1,3

Blood Loss Dan Replacement Tujuan utama manjemen terapi cairan pada anak-anak adalah untuk mengenali dan mengatasi kondisi yang mengancam nyawa dan mengeliminasi kondisi sekunder karena trauma yang terjadi. Pada kasus trauma pada anak-anak operator harus jeli memonitor kondisi klinis pasien jika sewaktu-waktu terjadi shock dan dibutuhkan resusitasi cairan. Tanda-tanda shock meliputi tachycardia, pallor, poor filling capillary refiil, dan pre renal azotemia. Pada anak-anak dengan multisystem trauma harus dipertimbangkan kemungkinan terjadinya perdarahan. Resusitasi untuk hipovalemia dapat dimulai dengan pemberian crystalloid bolus 20 mL/Kg, yang mewakili 25% volume darah normal pada anak-anak. Bolus diulang sampai total 60 mL/Kg ,karena tiga kali jumlah crystalloid

diperlukan untuk menggantikan volume darah yang hilang. Penggunaan cairan isotonis dianjurkan karena aktif secara osmosis dan menyebabkan ekspansi intravascular. Penggunaan cairan hipotonis tidak dianjurkan pada resusitasi karena menyebabkan menurunnya crystalloid osmotic pressure. Darah merupakan agen yang sangat efektif untuk mengoreksi defisit intravascular. Ketika kondisi hemodinamik sudah tidak stabil maka perlu diberikan bolus crystalloid fluid, transfusi PRC 10-20 mL/Kg. Compatibility test harus dilakukan sebelum dilakukan transfusi untuk menentukan golongan darah dan Rh recipient, serta kemungkinan adanya red cell isoantibodies.1,3

355

Nutrisi Pada pasien anak-anak paska penatalaksanaan tindakan bedah, sering terjadi kondisi hypercatabolic yang memerlukan oral intake yang adekuat untuk mencukupi nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Pada pasien recovery, intake makanan dalam bentuk mechanical diet yang tidak dikunyah atau dalam bentuk cairan jika terpasang IMF. Ketika pasien dalam kondisi severe neurologic injury, respiratory failure, massive edema hindari pemberian makan secara enteral selama kurang lebih 3 hari atau lebih, berikan secara parenteral. 1,3

Pemeriksaan klinis Perhatikan airway, terutama pada pasien dengan trauma midface yang parah, kemudian diikuti evaluasi kardiopulmonal. Karena jalan nafas yang relatif sempit maka kemungkinan dampak karena oedem dan pembengkakan semakin besar. Perhatikan dan observasi tanda-tanda vital untuk menentukan apakah pasien stabil atau dalam kondisi sebaliknya. Sedasi selama periode tersebut mungkin sangat diperlukan tetapi harus dihindari karena kondisi pasien masih dalam masks neurologoc changes. Identifikasi adanya pembengkakan yang terjadi dan kemungkinan terjadinya fraktur pada struktur tulang dibawahnya, oedema fasial, periorbital ecchymosis, subconjunctival hemorrhage, subcutaneous emphysema, perdarahan hidung, dan identifikasi perdarahan dari rongga mulut. Adanya battles sign (postauricular echymosis) curigai adanya basal skull fracture. Palpasi regio orbita dan nasal untuk mengetahui adanya deformitas tulang pada daerah tersebut,subcutaneous emphysema, dan krepitasi yang terjadi. Ketika terjadi fraktur orbita lakukan tes visual , adakah diplopia, dan kelainan pergerakan bola mata. Adanya kelainan maloklusi, atau adanya gigi yang tanggal curigai adanya fraktur rahang. Adanya deviasi waktu membuka mulut curigai adanya fraktur pada kondil mandibula. Adanya laserasi atau kontusi pada daerah dagu waspadai kemungkinan terjadinnya fraktur pada kondil mandibula. Konsultasikan ke neurosurgical jika ada riwayat pingsan, perubahan status mentalis, battles sign, rhinorea, parestesi wajah, atau adanya hemotympanum.

356

Anamnesa yang akurat tentang riwayat trauma pada pasien ataupun pengantar sangat membantu perencanaan tindakan berikutnya. 1,2

Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaa radiologi perlu dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosa. Pemeriksaan lengkap pada wajah meliputi; schede AP lateral, Towns projection, Waters view dan submental vertex. Panoramic foto merupakan alat diagnostic lainnya yang diperlukan tetapi menuntut kerjasama pasien untuk diam selama berlangsung pemaparan. Penggunaan CT-Scan telah menjadi kegiatan rutin dinegara-negara besar dan menjadi standar perawatan menggantikan pemeriksaan radiologi konvensional. 1,2,3

TIPE FRAKTUR 1. Fraktur Alveolar Fraktur mandibular alveolar pada anak-anak merupakan yang paling sering terjadi pada fraktur fasial. Prosentasenya berkisar 8.1 % dan 50.6 % pada trauma fasial pada anak-anak. Pada fraktur alveolar maksila berkisar antara 5% sampai 65%. Penanganan fraktur alveolar meliputi imobilisasi segmen fraktur dengan arch bar, wire ligation serta composite supported orthodontic wire extended pada gigi disekitarnya. Pada pasien dengan alveolar bone loss dapat dilakukan autogenous bone grafting dengan pengambilan tulang berasal dari mandibular ramus, os mental atau tulang kranial.1

Gambar 1. Fiksasi gigi dengan composite supported orthodontic

wire extended1

357

2. Fraktur Midfasial Fraktur Nasal. Fraktur nasal sering terjadi pada cedera midfasial anak-anak. Fraktur nasal yang terjadi sebelum proses tumbuh kembang selesai harus di perlakukan sama seperti fraktur nasal pada orang dewasa. Adanya gangguan pertumbuhan setelah terjadinya fraktur nasal akan menyebabkan penutupan premature dari sutura septovomerine. Seperti pada fraktur nasal orang dewasa maka oedema terjadi disekitar struktur os nasalis. Epistaksis sering terjadi menyertai trauma pada hidung dan mudah dikontrol dengan melakukan penekanan pada nostril selama 5-10 menit dengan kepala sedikit ditengadakan, bukan hiperekstensi kebelakang, untuk mencegah terjadinya aspirasi dari darah karena darah mengalir ke posterior pharynx. Jika terjadi terjadi deviasi septum maka harus dilakukan reduksi. Reseksi pada septal cartilage dapat menyebabkan gangguan Pemeriksaan ulang

pertumbuhan wajah, dan hal ini harus dihindari.

dilakukan setelah 3-4 hari setelah terjadinya trauma, dan jika terjadi deformitas maka harus dilakukan closed reduction. Setelah dilakukan reduksi dengan kaudal traksi. Tulang hidung dapat direposisi dengan pendekatan intranasal. Nasal packs dapat digunakan untuk menyangga tulang dan septum hidung yang telah direposisi, dan membiarkanya beberapa saat selama proses penyembuhan. 1 Splinting eksternal dapat membantu untuk mengontrol pembengkakan dan menyediakan

perlindungan pada hidung setelah dilakukan reposisi.

358

Gambar 2. Jejas pada nasal merupakan fraktur wajah yang sering terjadi pada pasien anak-anak. (A) Deviasi ke kanan setelah trauma pada wajah. (B) Setelah reduksi tertutup. 1

Fraktur Maksila. Fraktur Le fort pada anak-anak jarang ditemui oleh karena maksila pada anak-anak masih tulang kanselus, gigi belum tumbuh dan sinus maksilaris masih belum sempurna. Aperture piriformis dan dinding zygomaticomaxillary tebal , dan jaringan lunaknya lebih banyak jaringan lemak. Jika terjadi fraktur dan terjadi maloklusi maka dapat dilakukan closed reduction. Pencetakan dilakukan dan pembuatan model, kemudian model dipotong untuk memfasilitasi konstruksi pembuatan splint untuk closed reduction. Intervensi bedah pada toothbearing area pada maksila untuk penempatan kawat untuk stabilisasi atau plate meningkatkan insiden terjadinya gangguan perkembangan benih gigi dan sedapat mungkin dihindari, dan dilakukan pada kondisi tertentu.1,2 Fraktur Orbita. Sebelum usia 7 tahun, sebagian besar fraktur pada orbita terjadi pada atap orbita dan meluas ke sinus frontalis. Hal ini dikarenakan sinus masih dalam perkembangan. Setelah usia 7 tahun, cedera pada atap orbita, dinding lateral, dasar dan sinus frontalis lebih sering terjadi , karena sebagian besar perkembangan orbita telah selesai. Penatalaksanaan fraktur orbita pada anak-anak umur 7 tahun ke atas sama dengan penatalaksanaan pada fraktur orbita orang dewasa. Adanya disfigurement wajah, adanya keterbatasan gerak bola mata, prolaps

359

periorbita ke athrum atau sinus ethmoidalis dan adanya diplopia yang persisten merupakan indikasi dilakukan open orbital exploration. Untuk eksplorasi regio frontozygomatico dapat dilakukan insisi di sekitar alis mata. Untuk eksplorasi daerah infraorbital rim, dasar orbita dan dinding medial dapat dilakukan pendekatan dengan melakukan insisi pada lipatan inferior kantung mata atau melalui transconjunctival approach. Karena pada anak-anak lipatan kantung mata belum terbentuk maka insisi bisa dilakukan parallel dengan batas kantung mata dan sedikit bersudut ke inferior hal ini untuk mengurangi terbentuknya jaringan parut. Insisi dibuat 7 mm dari tepi bawah kantung mata, dan diseksi dilakukan ke otot orbicularis oculli terus sampai ke bawah pada orbital rim. Jika dilakukan fiksasi internal maka kawat ditempatkan pada inferior orbital rim, dan jika gigi permanen belum tumbuh, kemungkinan tunas benih gigi akan terkena. Untuk menghindari hal tersebut maka sedapat mungkin kawat atau screw harus ditempatkan dengan posisi cephalic diatas rim.

Gambar 3. Fraktur fronto-rima orbitalis superior terjadi karena adanya tumbukan yang cepat kearah benda diam. (A) Edema pada fronto-periorbita dextra dan ekimosis setelah trauma. (B) Durante op dengan gambaran impaksi frontal dan rima supra orbita yang memerkukan dilakukannya craniektomi untuk akses dan pebaikan.2

360

Gambar 4. Potongan cross-seksi dari inferior palpebral dan variasi dari insisi pada dasar. Menurut Ochs MW FR. Orbital trauma. In: Fonseca RJ.3

Jika dasar orbita atau dinding medial fraktur maka akan terjadi prolaps bola mata ke anthrum atau sinus ethmoidalis. Prolaps yang terjadi harus dikembalikan dan dasar atau dinding harus didukung dengan bone graft untuk mencegah enophthalmus.1,2 Fraktur Nasal-Orbita-Ethmiodal. Fraktur ini relatif jarang dijumpai pada anak-anak, tapi karena pentingnya harus digaris bawahi karena potensialnya yang bisa menyebabkan gangguan pada pertumbuhan tulang wajah. Pertumbuhan midface tergantung dari pertumbuhan fossa cranii anterior, orbita dan septum nasalis. Ketika dilakukan open reduction pada daerah ini maka periosteum akan dipisahkan dari tulang orbita dan nasal dan kondisi ini sendiri berpotensial menghambat pertumbuhan wajah. Open reduction kompleks pada nasal-orbita-ethmoid dilakukan 4 hari setelah trauma dan dengan gangguan seminimal pada septum nasalis. Regio ini dapat diakses melalui pendekatan insisi koronal untuk hasil estetik yang memuaskan, disamping bisa dilakukan insisi pada nasal dorsum dan juga perluasan insisi dari insisi inferior kantung mata yang meluas ke tulang hidung bagian lateral. Insisi koronal dilakukan

361

dibelakang hairline pada kulit kepala dan dimulai setinggi dari telinga. Kadang-kadang insisi meluas sampai ke regio preauricular bila diinginkan lapang pandang yang luas.1 Fraktur Arkus Zygomatikus. Fraktur pada arkus zygoma terjadi dengan prosentase 7- 41 % dari seluruh populasi trauma pada anak-anak. Seiring dengan bertambahnya usia tulang zygoma semakin menonjol dan prevalensi kejadian fraktur pada arkus zygomatikus juga meningkat. Penatalaksanaan pada fraktur ini hanya jika dibutuhkan dan sama seperti pada orang dewasa. Penatalaksanaan pada fraktur ini dilakukan jika terdapat deformitas atau terjadi trismus. Studi terbaru menemukan bahwa penyuntikan botulinum pre-op dapat menahan tarikan otot masseter kearah inferior sehingga mengurangi kemungkinan displacement fraktur post reduction oleh karena tarikan otot masseter. Pada fraktur greenstick atau minimal displaced hanya dibutuhkan observasi saja, tetapi jika terjadi depressed dan comminuted fracture perlu dilakukan open reduction dan fiksasi. Jika terjadi maka pendekatan dilakukan melalui intra oral atau Gilles approach. Jika terjadi fraktur zygoma kompleks atau Quadrapod yang melibatkan disartikulasi tulang zygoma dengan tulang frontal, maksilaris, sphenoid dan tulang temporal maka reduksi dan reposisi biasanya melalui multiple approaches, meliputi pendekatan hemicoronal, sublabial,dan transconjuctival. Gangguan pertumbuhan oleh karena fraktur ini jarang terjadi.1,2

362

Gambar 5. Fraktur zigomatic dengan defisiensi malar disertai dengan infraorbital (V2) parastesi. (A) Setelah pembengkakan awal, keadaan malar dapat dilihat. (B) Post-bedah dengan reduksi intraoral dan pemasangan plat fiksasi2

Gambar 6. Pendekatan dengan Gilies untuk reduksi arkus zigomatikus2

Penggunaan double ended periostel elevator, Kelly clamp dapat digunakan untuk mereposisi fraktur ini, dengan pendekatan insisi pada regio temporalis. Trismus post-op sering terjadi dan akan berkurang dalam dalam beberapa minggu. Pasien harus latihan buka tutup mulut,

memajukan mandibula dan lateral excursion.

3. Fraktur Mandibula Fraktur Kondil. Fraktur pada kondil semasa kanak-kanak berpotensi dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan wajah. Kondil mandibula merupakan daerah yang paling sering cedera dengan tingkat

363

insidensi 14.5%-60%. Fraktur pada kondil mandibula dapat dikategorikan fraktur kondil terbuka (capsular disruption) dan tertutup (intracapsular). Closed fracture pada kondil dapat dilakukan closed reduction kecuali oklusi normal tidak tercapai. Open reduction dilakukan jika terjadi terjadi displaced segmen kondil pada fossa cranial media atau jika terdapat benda asing. Pada pemeriksaan fisik, mandibula mengalami deviasi kesisi yang fraktur jika terjadi dislokasi pada proksimal segmen. Deviasi terjadi

karena pemendekkan ramus. Trismus dan keterbatasan membuka mulut merupakan gejala adanya fraktur pada kondil. Tanda dan gejala fraktur kondil pada anak-anak sama dengan tanda dan gejala pada fraktur kondil orang dewasa. Adanya asimetri maloklusi, anterior open bite, deviasi mandibula waktu buka dan tutup mulut, nyeri pada preauricular, pembengkakan, keterbatasan pergerakan, darah pada canalis meatus acusticus, dan laserasi submental merupakan pertanda adanya fraktur kondil. Perawatan. Karena proses penyembuhan yang cepat pada anakanak, maka immobilisasi dilakukan tidak terlalu lama dengan

pertimbangan kalau terlalu lama maka akan berpotensi terjadi ankylosis. Mobilisasi segera, terapi fisik, dan diet lunak menghambat terjadinya fibrosis dan penyatuan tulang serta mengembalikan stimulasi otot-tulang penting untuk kelanjutan pertumbuhan simetris wajah. Closed reduction dengan IMF elastis dengan kurun waktu 1-2 minggu. Jika posisi mandibula dan oklusi dapat dicapai dan dipertahankan selama 6 bulan , maka pertumbuhan mandibula akan berlangsung secara simetris. Goal dari penatalaksanaan pada fraktur kondil mandibula untuk mengembalikan ke simetrisan mandibula, oklusi , dan fungsi tanpa gangguan pertumbuhan dimasa mendatang. Jika fraktur kondil

teridentifikasi, tetapi tidak terjadi maloklusi maka tidak perlu dilakukan immobilisasi.

364

Ketika terjadi maloklusi atau mandibula asimetri serta adanya fraktur kondil, maka reduksi untuk mencapai oklusi awal dan posisi mandibula ke posisi awal dapat dicapai dengan IMF atau traksi elastic. Arch bar dapat dipasang pada gigi sulung dengan bantuan

circummandibular, piriform atau circumzygomatic wires. Open reduction pada fraktur kondil jarang dilakukan. Intervensi bedah diindikasikan jika segmen kondil displaced ke fossa cranial atau adanya keterbatasan gerakan karena posisi segmen fraktur.1,2

Gambar 7. Ilustasi 3 kranium dengan usia yang berbeda (A: 2 tahun, B: 6 tahun, C: 12 tahun). Perbedaan metode stabilisasi dengan arch bar pada variasi umur termasuk circummandibula, circum-zygomatic, infraorbital, dan wiring. (Posnick JC.) 2

Fraktur Bodi Dan Simfisis Mandibula. Fraktur bodi dam simfisis mandibula pada anak-anak terjadi seiring dengan berkembangnya gigi geligi dan biasanya selalu melibatkan trauma pada rongga mulut. Pada fraktur ini penatalaksanaan dengan pemberian antibiotic, dilakukan reduksi, dan stabilisasi dari fraktur. Pada pasien di bawah 2 tahun biasanya hanya di observasi dan diet lunak. Sering terjadi greestick fraktur pada regio ini, dan terjadi sedikit displacement, kemungkinan hal ini dikarenakan tulang mandibula yang elastic dan tertanamnya benih gigi sehingga memegang fragmen fraktur. Open reduction pada pasien anak-

365

anak jarang dilakukan. Fiksasi maksilomandibular

dapat dilakukan

dengan pemasangan erich arch bar. Pada umur antara 5-12 tahun, dapat dilakukan pemasangan circummandibular wires atau fiksasi skeletal. Jika memungkinkan, closed reduction untuk penanganan fraktur tersebut dengan pertimbangan jika dilakukan open reduction akan mengganggu perkembangan tunas gigi. Hampir pada semua kasus fraktur pada regio ini penatalaksanaannya dapat dengan menggunakan teknik closed reduction. Perkembangan yang terbaru, FDA menyetujui penggunaan resorbable plating systems untuk penatalaksanaan fraktur mandibula, sehingga pada penggunaan sistem ini tanpa dilakukan pengambilan plate dan terjadinya migrasi dari plate oleh karena pertumbuhan tak perlu dikhawatirkan lagi.1,2,4 (Fig. 4)

(C)

Gambar 8. Fraktur mandibular yang menyebabkan openbite, yang terjadi pada posterior ramus dan kondulus. (A) fraktur parasimfisis mandibular dengan separasi antara kaninus dan premolar. (B) Reduksi intraoral dan plat fiksasi yang dapat di resorbsi. (C) Penggunaan plat yang dapat di resorbsi pada anak usia 4 tahun. 4

366

BAB III KESIMPULAN

Fraktur wajah pada anak jarang terjadi, tapi dapat mengakibatkan tingkat morbiditas yang signifikan jika tidak ditangani dengan baik. Mayoritas dari fraktur ini dapat ditangani secara konservatif. Jika memang dibutuhkan tindakan bedah, harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah terjadinya gangguan pertumbuhan Manajemen trauma oromaksilofasial pada anak-anak sedikit berbeda dengan orang dewasa namun pada intinya sama karena pada anak-anak masih dalam proses tumbuh kembang. Prinsip umum penatalaksanaan fraktur pada trauma oromaksilofasial pada anak-anak (recognition, reduction, stabilization, & fixation) harus diterapkan disamping tetap mempertimbangkan dampak yang terjadi terhadap tumbuh kembang anak-anak di masa mendatang.

367

DAFTAR PUSTAKA

1. Fonseca. RJ. Walker, RV. Betts, NJ. Barber HD. 2005. Oral and Maxilofacial Trauma. Vol 2. 3rd ed. Philadelphia. W.B. Elsevier-Saunders company. 2. Kaban, LB. 1990. Pediatric Oral and Maxillofacial Surgery.

Philadelphia. W.B. Saunders Company. 3. Thaller SR, Mc Donald WS. 2004. Facial Trauma. Marcell Dekker, New York. 4. Wesson DE. 2006. Pediatric Trauma. Taylor & francis Group, New York.

368

You might also like