You are on page 1of 6

Gereja dan Politik

08 Maret 2007 10:07


Pendahuluan Sudah banyak komentar di antara umat dan tokoh-tokoh Katolik yang mengatakan bahwa adanya kesenjangan dalam kepemimpinan orang awam Katolik antara angkatan yang dulu dan sekarang. Nampak sekarang ini, sukar mendapatkan tokoh muda Katolik yang naik ke panggung politik. Sadar atau tidak, kita mengakui bahwa akhir-akhir ini kurang ada pendidikan politik bagi orang muda yang disiapkan secara komprehensif dan matang bahkan nyaris tidak ada aktivitas bagi orang muda Katolik yang mengarahkan mereka pada peran dan tanggungjawabnya dalam tata dunia. Siapa yang bertanggungjawab, orang muda Katolik sendiri, tokoh-tokoh Katolik atau Komisi Kepemudaan? Apa Komisi Kerawam atau bahkan Komisi HAK? Kita semua sebagai anggota Gereja Katolik bertanggungjawab. Orang mengatakan bahwa generasi muda adalah masa depan dan harapan Gereja, tulang punggung Gereja. Namun pernyataan itu hanya sebatas pada wacana dan kurang ada aksi nyata yang maksimal, belum banyak tindakan konkrit oleh orang muda dan usaha dari orang muda itu sendiri untuk berbuat sesuatu yang didukung oleh para tokoh pilitik Katolik yang lebih tua. Gagasan dibawah ini sekedar mengingatkan kita tentang hakekat Gereja berhadapan dengan dunia. Bagaimana Gereja berkiprah dalam tata dunia dan visinya dalam berpolitik sesuai dengan ajaran Konsili Vatikan II dan Hukum Gereja. Hakekat Gereja Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium) Bab I nomor 1, menyatakan: Terang Bangsalah Kristus itu. Maka Konsili suci ini yang terhimpun dalam Roh Kudus, ingin sekali menerangi semua orang dengan cahaya Kristus, yang bersinar dalam wajah Gereja, dengan mewartakan Injil kepada semua makhluk (bdk. Markus 16: 15). Dengan pernyataan ini mau dikatakan kepada kita bahwa Gereja dalam Kristus adalah tanda dan sarana, saluran rahmat persatuan mesra manusia dengan Allah yang menyelamatkan. Gereja bermaksud menyatakan kepada umat manusia dan dunia, manakah hakekat dan perutusannya di dalam dunia. Keadaan jaman sekarang ini (di Indonesia) lebih mendesak bagi Gereja untuk menunaikan tugas perutusan itu yakni supaya semua orang tergabung secara lebih erat melalui pelbagai cara, hubungan sosial dan budaya memperoleh kesatuan sepenuhnya dalam Kristus. Gereja pada hakekatnya sebagai sebuah misteri hubungan mesra antara manusia dengan Allah berkat bimbingan Roh Kudus, relasi cinta ilahi Tritunggal Maha Kudus Bapa, Putera dan Roh Kudus. Gereja di dalam Kristus menjadi Sakramen bagi dunia, tanda dan sarana keselamatan bagi dunia. Lebih jauh dari pada itu, Konsili melihat perjalanan sejarah umat manusia dalam perjanjian lama dan baru yang menyatakan kerinduan Allah akan terbentuknya keluarga bangsa manusia yang baru, seperti tertulis dalam Yer. 31: 31-34: Sesungguhnya akan tiba saatnyademikianlah firman Tuhan. Aku akan mengikat perjanjian baru dengan keluarga Israel dan keluarga Yuda, Aku akan menaruh TauratKu dalam batin mereka dan akan menulisnya dalam hati mereka, dan Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umatKu. Sebab semua akan mengenal Aku mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar itulah Firman Tuhan.

Firman Tuhan inilah yang mendasari pandangan baru Gereja sebagai Umat Allah. Dari Firman Tuhan ini, Konsili ingin mengatakan bahwa Gereja pada hakekatnya adalah persekutuan, persatuan, communio umat beriman. Hal yang sama ditegaskan dalam Kitab Undang Undang Gereja, KHK, 1983 Bab II dengan judul Umat Allah, Bagian I tentang Kaum Beriman Kristiani, kan. 204 menyatakan: Kaum beriman kristiani ialah mereka yang, karena melalui baptis diinkorporasi pada Kristus, dibentuk menjadi umat Allah dan karena itu dengan caranya sendiri mengambil bagian dalam tugas imami, kenabian dan rajawi Kristus, dan sesuai dengan kedudukan mereka masing-masing dipanggil untuk menjalankan pengutusan yang dipercayakan Allah kepada Gereja untuk dilaksanakan di dunia. Gereja itu yang di dunia tersusun dan diatur sebagai masyarakat ada dalam Gereja Katolik yang dipimpin oleh Petrus dan penggantinya yakni Paus serta para Uskup dalam kesatuan dengannya. Dari uraian di atas terdapat 4 unsur penting sebagai pilar-pilar fondasi untuk menyatakan Gereja adalah: 1. Sakramen Pembaptisan Kaum beriman Kristiani Seperti yang dinyatakan dalam KHK, 1983, kan. 204, bahwa mereka yang dengan baptis menjadi anggota-anggota tubuh Kristus, dijadikan umat Allah dan dengan caranya sendiri mengambil bagian dalam tugas Kristus sebagai imam, nabi dan raja. Dengan ini semakin jelas bahwa pembaptisan merupakan pengambilbagian dalam tugas misi Kristus di dunia. Dengan pembaptisan umat beriman kristiani disatukan dengan Kristus didalam tubuhNya yakni Gereja. 2. Communio/persekutuan Lewat penerimaan sakramen pembaptisan, kita dipersatukan dengan Kristus dan dipersekutukan denganNya. Dimensi commmunio adalah konsekuensi logis dari penerimaan pembaptisan. Orang yang telah menerima pembaptisan otomatis dipersatukan, ber-communio dengan Kristus. Persekutuan umat beriman itu bersifat ilahi dan duniawi menampilkan sebuah masyarakat yang nyata yakni Gereja. 3. Spiritual (rohani) dan kelihatan/sekular (di dunia) Gereja adalah perwujudan nyata dari persekutuan umat beriman di dunia. Dalam kehadirannya di dunia itu, dia menampakan dimensi spiritual/rohani dan sekaligus kelihatan/sekular/duniawi (bdk. LG, no. 8). Gereja adalah misteri hubungan mesra antara manusia yang dipanggil dengan Allah. Pengertian itu nampak dalam kata asal Gereja, dari ekklesia (bhs. Yunani): akar kata terdiri dari: suku kata ex berarti keluar dan suku kata kaleo berarti memanggil. Jadi secara harafiah ekklesia berarti: mereka yang telah dipanggil keluar, yaitu kumpulan atau jemaaat, umat Allah. St. Paulus menggunakan kata ekklesia dengan tiga cara dalam suratnya (1 Kor. 16:19; Rm. 16:5; Kol. 4:15). 4. Collegialitas Collegialitas menunjukkan bahwa dalam struktur kepemimpinan Gereja di dunia diatur berdasarkan mandat Yesus kepada para rasul dan pengganti-penggantinya, untuk tetap bersekutu-bersatu sehati dan sejiwa seperti dalam Gereja perdana, sebagai rekan sejawat dalam kepemimpinan di dalam Gereja lokal. Para Uskup se-dunia adalah sekolega/sejawat/rekan dalam kepemimpinan Gereja Katolik di tempat masing-masing dimana Paus (papal primacy) sebagai pemimpin dari para Uskup se-dunia menumbuhkan kesatuan sebagai satu Gereja Katolik di dalam universalitasnya.

Gereja di dalam Dunia Seperti yang sudah disampaikan di atas bahwa Gereja adalah kumpulan orang-orang yang dibaptis menjadi anggota tubuh Kristus dan dengan caranya masing-masing mengemban tri-tugas Kristus sebagai Nabi, Imam dan Raja. Itu berarti Gereja ada di dalam dunia dan bertugas menggarami dan menerangi dunia dengan Injil Kristus (Mrk. 16: 15). Gereja berhubungan erat dengan dunia dewasa ini yang dalam ajaran Konsili Vatikan II tentang Gereja di dunia dewasa ini, Gaudium et Spes, no. 1 dinyatakan: Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orangorang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Satu hal yang bisa diambil dari ajaran Konsili Vatikan II tentang Gereja di dunia dewasa ini adalah saatnya tiba kita bertindak, beraksi bukan berbicara, berwacana saja. Hal yang sama ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam sambutannya pada tgl 1 Januari 1985: Sudah saatnya kita mengubah kata-kata menjadi tindakan. Tiap individu, masyarakat dan keluarga, peneganut agama, organisasi-organisasi nasional dan internasional, hendaknya mengakui bahwa mereka terpanggil untuk memperbaharui komitmen mereka: bekerja bagi perdamaian. Dalam hal itu Paus sudah menyuarakan bahwa Gereja harus membawa perdamaian, atau Gereja mengajak semua orang untuk merubah dunia agar lebih damai. Inilah seruan politik dari pemimpin Gereja Katolik bagi dunia. Sejalan dengan itu, pedoman Gereja Katolik Indonesia hasil sidang agung KWI-Umat 1995 menegaskan bahwa umat Katolik merasakan segala kegembiraan dan harapan yang serupa dengan kegembiraan dan harapan seluruh rakyat Nusantara. Orang Katolik ikut bergembira dengan keberhasilan pembangunan dan ikut bertanggungjawab atas kekurangannya. Dalam segala pergulatan itu umat Katolik dipanggil menjadi saksi Kristus mewartakan datangnya Kerajaan Allah. Bagaimana hubungan Gereja dan Negara? Gaudium et Spes no, 76 menyatakan dengan tegas prinsip hubungan Gereja dan Negara (suatu bentuk konkrit dari berpolitik): Terutama dalam masyarakat yang majemuk, sangat pentinglah bahwa orang-orang mempunyai pandangan yang tepat tentang hubungan antara Negara dan Gereja, dan bahwa ada perbedaan yang jelas antara apa yang dijalankan oleh umat Kristen, entah sebagai perorangan atau secara kolektif, atas nama mereka sendiri selaku warga negara, di bawah bimbingan suara hati Kristiani, dan dipihak lain apa yang mereka jalankan atas nama Gereja bersama para gembala mereka. Berdasarkan tugas maupun wewenang Gereja sama sekali tidak dapat dicampuradukkan dengan Negara, dan tidak terikat pada sistem politik manapun juga. Sekaligus Gereja itu menjadi tanda dan perlindungan transendensi pribadi manusia. Di bidang masing-masing, Negara dan Gereja bersifat otonom, tidak saling tergantung. Tetapi keduanya, kendati atas dasar yang berbeda, melayani panggilan pribadi dan sosial orang-orang yang sama. Politik Berbicara tentang politik sama dengan berbicara tentang cuaca, seperti yang diungkapkan dalam pernyataan berikut ini: Setiap orang berbicara tentang cuaca, tetapi tak seorang pun yang bisa berbuat terhadap cuaca. Setiap orang tahu politik tetapi tak seorangpun yang memahaminya. Kata politik pada awal mula dipakai oleh masyarakat Yunani yang berasal dari bahasa mereka sendiri diartikan sebagai negara-kota (polis). Aristoteleslah (384322. S.M) merupakan orang pertama yang memperkenalkan kata politik itu melalui pengamatannya bahwa manusia pada dasarnya adalah binatang politik. Dengan pernyataan itu mau dikatakan bahwa hakekat kehidupan sosial sesungguhnya merupakan politik dan interaksi satu sama lain dari dua atau lebih orang sudah pasti akan melibatkan hubungan politik.

Antara abad keenam belas sampai awal abad kedua puluh, politik diartikan secara sempit dibandingkan dengan pengertian yang dipahami masyarakat Yunani. Jean Bodin (15301596), seorang filsuf politik Perancis, memperkenalkan istilah ilmu politik (science politique). Tetapi karena ia seorang pengacara, pandangannya tentang ilmu politik terkait dengan organisasi dari lembaga yang mempunyai sangkut pautnya dengan hukum. Definisi ini diperkukuh oleh filsuf Perancis lainnya Montesquieu (1689-1755), yang mengemukakan bahwa semua fungsi pemerintahan dapat dimasukkan ke dalam kategori legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Visi Politik dari sudut pandang Gereja Katolik Kehidupan politik tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Sebagai warga negara yang baik kaum muda Katolik (umat Katolik) memiliki kewajiban ikut terlibat dalam memperjuangkan kebaikan umum (Bonum commune) yang merupakan tujuan politik (bdk. Kan. 747, 2). Nilai-nilai Injili akan mewarnai cara berpolitik bagi umat Katolik (bdk. Kan. 747, 1). Nilai-nilai itu adalah: 1. Inklusif (non diskriminastif) 2. Preferential Option for the poor. 3. HAM. 4. Solidaritas dan subsidiaritas. 5. Bonum publicum/ Bonum commune. Nilai nilai tersebut merupakan dasar visi politik umat Katolik yaitu membangun suatu tatanan politik yang adil, beradab dan mengabdi pada kepentingan umum terutama kelompok masyarakat yang dirugikan. Spiritualitas Politik Dekrit Konsili Vatikan II yang berbicara tentang kaum awam dan kerasulannya Apostolicam Actuositatem. no. 9 menegaskan pentingnya kerasulan kaum awam dalam tata dunia: Kaum awam menunaikan kerasulan mereka yang bermacam-ragam dalam Gereja maupun masyarakat. Dalam kedua tatanan hidup itu terbukalah pelbagai bidang kegiatan merasul. Dari firman Tuhan dari Kis. 2:1-40 memberikan inspirasi kepada umat Katolik (kaum muda) untuk bergerak keluar dari persembunyian mereka dan berani mewartakan kabar baik kepada semua bangsa. Demikian juga dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dunia dewasa ini, Gaudium et Spes, no 52, menegaskan bahwa tanggungjawab semua umat beriman dalam urusan kesejahteraan umum, keamanan politik, ekonomi, kebudayaan dan hidup berkeluarga, baik dalam menanggung beban keluarga, maupun dalam mendidik anak menuju ke kesempurnaan. Panggilan Gereja (Orang Muda Katolik) dalam panggung Politik Dalam politik praktis warga Gereja (OMK) bebas memilih sesuai dengan hati nurani mereka masing-masing. Meskipun demikian tidaklah bebas semua semaunya tanpa ada ramburambu moral, etika bahkan sopan-santun yang diinspirasi oleh nilai-nilai ajaran Katolik. Dalam berpolitik hendaknya berpedoman kepada kearifan yang sudah teruji dari tokoh Gereja dan Pahlawan Negara: Mgr. Albertus Soegijapranata yang menyatakan: 1. In Principiis Unitas : Dalam soal prinsip: persatuan.

2. In Dubiis Libertas 3. In Omnibus Caritas

: Dalam hal hal yang masih terbuka: kebebasan. : Dalam segala hal: kasih.

Dalam hal-hal yang prinsip/asasi/esensial kita bersatu, dalam hal-hal yang terbuka kita bebas menenetukan pilihan, dalam semua hal harus ada kasih. Dengan prinsip ini, kita memiliki pedoman untuk bertindak dalam panggung politik praktis. Bagi kita orang muda Katolik atau umat Katolik pada umumnya, usaha kita terlibat dalam politik praktis bukanlah sebagai sarana atau kendaraan untuk melebarkan sayap Gereja. Ekspansionisme dan Proselitisme (mencari kawan sebanyak-banyaknya) sudah bukan waktunya. Tugas utama kita adalah ikut menyumbangkan jasa agar Indonesia semakin menjadi negara dan masyarakat yang lebih baik. Kaderisasi Politik Kaderisasi merupakan suatu kegiatan pendidikan, pembinaan atau formasi yang penting dalam berpolitik. Pentingnya kaderisasi sebagai pembinaan politik oleh Gereja terhadap orang muda mendapat penegasan yang khusus dalam Pedoman Gereja Katolik Indonesia 1995: Umat Katolik, terutama generasi muda, perlu dipersiapkan untuk berpartisipasi secara aktif dan efektif dalam kehidupan sosial-politik bangsa. Peran aktif orang muda Katolik dalam kehidupan sosialpolitik dalam terwujud jika: 1. Orang muda lebih berperan dalam panggung politik. Masa muda tidak hanya dapat dilihat dari persiapan melainkan saatnya harus sudah mampu memberi gairah dalam kehidupan Gereja dan masyarakat. Masa muda merupakan karunia Tuhan bagi Gereja dan masyarakat. Tiba saatnya orang muda memperluas dan memperdalam pemahaman perkembangan kehidupan politik di tanah air dengan segala tantangan dan permasalahan yang dihadapi dari waktu ke waktu. 2. Dalam sejarah Indonesian ternyata orang muda kita memiliki peranan konstuktif di dalam masyarakat dan Gereja. Mereka menjadi pelaku sejarah seperti di jaman reformasi ini. Karena itu hendaknya kita mendorong orang muda agar memiliki pemikiran kritis dan kreatif serta integritas kepribadian untuk menghadapi berbagai tantangan dalam mewujudkan kehidupan demokrasi. 3. Orang muda Katolik partisipasi lebih luas dan aktif dalam kehidupan sosial politik bersama dengan agama lain demi persatuan bangsa Indonesia dan kesejahteraan umum. Untuk itulah kaderisasi melalui pendidikan nilai sangat dibutuhkan bagi mereka. Ketiga pokok pikiran di atas memicu kita untuk bekerja lebih keras melakukan pembinaan kader-kader Katolik sesuai dengan situasi dan kondisi yang berlaku. Selain itu, citacita sosial, demokrasi, hormat terhadap hak-hak asasi manusia, kesediaan dan kemampuan untuk berdialog dengan warga agama lain perlu ditanamkan dalam diri orang muda. Penutup Akhirnya, ditengah kekurangan kader muda dalam panggung politik ini. Apa yang harus kita kerjakan sebagai warga Gereja dan warga Negara yang baik? Kita perlu membuka diri dan berbuat sesuatu untuk kepentingan umum (Negara), dengan berlaku menjadi orang Katolik yang sejati dalam Gereja dan melayani Negara. Maka tradisi Katolik dari pahlawan Negara dan Gereja, Mgr. Soegijopranoto perlu mendapat perhatian yakni Pro Ecclesia et Patria menjadi Per Ecclesiam pro Patria: melalui Gereja untuk Negara. Jadilah Umat Katolik yang sejati, raihlah

masa depanmu sesuai dengan nilai-nilai Injili dan ajaran Gereja, untuk mengabdi Gereja dan Negara. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr

You might also like