You are on page 1of 23

Islamisasi di Nusantara (Sejarah Masuk Islam di Nusantara) dan Dakwah Wahabi A.

Pendahuluan Sebelum datangnya Islam ke Nusantara pada umumnya masyarakat menganut agama Hindu-Budha yang telah lebih dahulu berkembang di Indonesia. Datangnya Islam ke Nusantara membawa beberapa perubahan yang membuat Nusantara bisa maju dan berkembang di antaranya, Islam membawa perubahan dalam bidang agama, bidang politik, ekonomi, selain itu Islam juga membawa perkembangan dalam bidang pendidikan, dan juga dalam bidang kesenian. Dalam makalah ini penulis akan menjelaskan beberapa pendapat dari pakar sejarawan tentang teori masuknya Islam ke Nusantara dengan tiga pertanyaan di antaranya, kapan datangnya Islam di Nusantara, dari mana asalnya, dan siapa pembawanya, kemudian dalam makalah ini juga dibahas tentang dakwah Wahabi. Ajaran agama Islam mendapat respon yang baik dari masyarakat Indonesia, sehingga dengan seiringnya waktu agama Islam berkembang pesat di Nusantara. Dalam makalah ini penulis juga akan memaparkan bagaimana Islam bisa berkembang di Nusantara dan sejauhmana perkembangannya tersebut. B. Teori Tentang Masuknya Islam ke Nusantara Masalah tentang kedatangan Islam di Nusantara, terdapat perdebatan panjang di antara para ahli sejarawan. Namun ada tiga teori yang disepakati umumnya oleh para sejarawan tersebut di antaranya: a. Teori Gujarat Kebanyakan sarjana asal Belanda, memegang teori bahwa Islam di Nusantara berasal dari Anak Benua India. Pijnappel merupakan salah seorang sarjana yang mengemukakan teori ini, dia mengaitkan asal-muasal Islam di Nusantara dengan daerah Gujarat dan Malabar. Menurutnya,

orang-orang Arab bermazhab Syafii yang bermigrasi dan menetap di wilayah India tersebut yang kemudian membawa Islam ke Nusantara.1 Snouck Hurgronje kemudian mengembangkan teori ini, dia berpendapat bahwa ketika Islam berpijak kokoh di beberapa kota pelabuhan Anak Benua India, banyak di antara mereka orang muslim yang tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara. Kemudian mereka datang ke dunia Melayu (Indonesia) sebagai para penyebar Islam pertama, setelah itu baru mereka disusul oleh orang-orang Arab. Dia mengatakan bahwa abad ke-12 sebagai periode paling mungkin dari permulaan penyebaran Islam di Nusantara.2 Selain mereka masih ada beberapa sarjana Belanda yang sepakat bahwa Islam di Nusantara datang dari Gujarat dengan alasan bahwa batu nisan yang terdapat di Pasai, salah satunya batu nisan yang terdapat di makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik dan juga terdapat di Jawa Timur, ternyata sama bentuknya dengan batu nisan yang terdapat di Cambay, Gujarat.3 Dengan beberapa alasan tersebut mereka menyimpulkan bahwa Islam di Nusantara berasal dari India. b. Teori Arab Salah satu sejarawan yang mendukung teori ini ialah Prof. Hamka. Dia menyatakan bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriah (abad ke-7 sampai 8 M) langsung dari Arab dengan bukti jalur perdagangan yang ramai dan bersifat internasioal sudah dimulai melalui selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina (Asia timur), Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat.4 Selain Hamka, Arnold juga berpandangan bahwa, para pedagang Arab juga menyebarkan Islam ketika mereka dominan dalam perdagangan Barat-Timur sejak abad awal Hijriah atau abad ke-7 dan ke-8 Masehi.
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Jakarta: kencana, 2007), h. 2-3 2 Ibid. 3 Ibid. 4 Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (Jakarta: Alamadani, 2002), h. 99
1

Meskipun tidak terdapat catatan-catatan sejarah tentang kegiatan mereka dalam penyebaran Islam, namun ia berasumsi bahwa mereka juga terlibat dalam penyebaran Islam kepada penduduk lokal di Nusantara. Asumsi ini diperkuat dengan adanya sumber Cina yang menyebutkan bahwa, menjelang akhir perempatan abad ke-7 seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Sebagian orang-orang Arab ini dilaporkan melakukan perkawinan dengan wanita lokal. Menurut Arnold anggota-anggota komunitas Muslim ini juga melakukan kegiatan-kegiatan penyebaran Islam.5 c. Teori Persia Pembangun teori Persia ini adalah Hoesein Djajaningrat. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia di antaranya, pertama, peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syiah atas kematian Husain. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur Asyura dan perayaan tabut.6 Kedua, adanya kesamaan ajaran antara ajaran Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran yaitu al-Hallaj, sekalipun al-Hallaj sudah meninggal, tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan Syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya.7 Dengan kenyataan-kenyataan tersebut maka Hoesein menyimpulkan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Persia. Berdasarkan penjelasan di atas maka timbul pertanyaan teori mana sebenarnya yang benar, Prof. Hasymy dalam bukunya dari hasil kumpulan prasaran pada seminar di Aceh menggambarkan bahwa, dakwah Islamiah itu memang dibawa oleh saudagar-saudagar Arab, dengan melewati jalan laut dari Aden menyusur pesisir pantai India Barat dan Selatan, atau jalan
Azyumardi Azra, op.cit., h. 6 Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia,(Bandung: Mizan, 1996), h. 90 7 Ibid.
6 5

darat dari Khurasan, kemudian melalui Khutan, padang pasir Gobi, Sangtu, Nansyau, Kanton, kemudian menyeberangi laut Cina selatan masuk ke Alam Melayu melalui pesisir pantai Timur Semenanjung Tanah Melayu. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa, Dakwah Islamiah datang ke Gugusan pulau-pulau Melayu melalui lautan India dan juga lautan Cina Selatan secara langsung dari negeri Arab oleh orang-orang Arab.8 Sedangkan jawaban untuk pertanyaan kapan Islam masuk ke Nusantara, Taufiq Abdullah menyimpulkan memang benar bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7 Masehi, tetapi baru dianut oleh pedagang Timur Tengah di Pelabuhan-pelabuhan. Islam masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik baru pada abad ke-13 dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Kerajaan ini muncul sebagai akibat balik peranan pedagang muslim yang melihat porak-porandanya kerajaan Abbasiyah.9 Berdasarkan keterangan di atas para sejarawan sepakat bahwa Islam di Nusantara berasal dari Arab dan di bawa oleh pedagang-pedagang Arab, mulai pada abad ke-7 Masehi dan berkembangnya pada abad ke-13 dengan ditandai munculnya kekuatan politik, dengan berdirinya kerajaankerajaan Islam di Nusantara. C. Penyebaran Islam di Nusantara Tersebarnya Islam di Nusantara dengan cara melalui saluran-saluran sebagai berikut: 1. Perdagangan, yang mempergunakan sarana pelayaran. Mereka berdagang sambil berdakwah, saluran Islamisasi melewati jalur ini sangat menguntungkan karena raja dan para bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan. Bahkan mereka memiliki kapal dan saham. 2. Perkawinan. Kebanyakan para saudagar yang datang kegugusan pulaupulau Melayu tidak beristri atau tidak membawa istri-istri mereka. Hal ini
Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (PT. Almaarif: Percetakan Offset, 1989), h. 181 9 Taufiq Abdullah, Sejarah Umat Islam Indonesia, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991), h. 38-39
8

yang mendorong sebagian di antara mereka menikah dengan perempuan anak negeri.10 Dari sudut ekonomi, para pedagang muslim memiliki status sosial orang yang paling baik dari pada pribumi, sehingga terjadi penikahan antara pedagang muslim, dengan Hasil pernikahan ini melahirkan generasi baru anak bangsawan, maka Muslim. Orang-orang sebelum menikah mereka di Islamkan lebih dahulu.11 Muslim yang menikah dengan perempuan-perempuan anak negeri itu akan tinggal lebih lama di daerah istri mereka, maka memberi peluang kepada Dakwah Islamiyah untuk bergerak lebih maju dan lebih meluas, dan melahirkan masyarakat Islam. 3. Tasawuf. Penyebaran Islam yang berkembang secara meluas di Nusantara berkat peranan dan kontribusi tokoh-tokoh Tasawuf merupakan kenyataan yang diakui oleh hampir mayoritas sejarawan. Hal ini disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh dengan kasih sayang. Tasawuf memiliki kecenderungan manusia yang terbuka.12 Para sufi tersebut ada yang diangkat menjadi penasehat atau pejabat agama di kerajaan. Para sufi menyebarkan Islam melalui dua cara yaitu, dengan membentuk kader mubalig, menulis karya-karya tulis yang tersebar dan dibaca diberbagai tempat. Di abad ke-17 Aceh adalah pusat perkembangan karya-karya keagamaan yang ditulis oleh para ulama dan para sufi. 4. Pendidikan. Setelah kedudukan para pedagang mantap, mereka menguasai kekuatan ekonomi di bandar-bandar. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan pusat penyebaran Islam. sehingga dengan mudah dakwah Islamiah disiarkan. 5. Kesenian. Saluran yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa adalah seni. Seperti kesenian pertunjukan wayang yang meluas dalam masyarakat Jawa, walaupun di dalam Islam ada larangan untuk kesenian-kesenian tertentu, namun para penyiar Islam ketika itu
10 11

Hasymy, op.cit., h. 182 Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Riski Putra, 2009), h.

183-184 Alwi Shihab, Al-Tashawwuf Al-Islm wa Atsaruhu f Al-Tashawwuf Al-Indns AlMushir, terj. Muhammad Nursamad, (Bandung: Mizan, 2001), h. 13
12

tidak melenyapkan budaya tersebut melainkan memanfaatkannya untuk menyiarkan dakwah Islamiah. 6. Selanjutnya politik. Kebanyakan rakyat memeluk Islam setelah rajanya memeluk Islam lebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat tersebarnya Islam.13 Melalui saluran-saluran ini Islam secara berangsur-angsur menyebar. Pada tahap pertama penyebaran Islam masih relative di kota pelabuhan. Tidak lama kemudian Islam mulai memasuki wilayah pesisir lainnya dan pedesaan. Pada tahap ini pedagang, ulama-ulama tarekat (wali di Jawa) dengan muridmurid mereka memegang peranan penting. Penyebaran Islam ketika itu sangat diwarnai dengan aspek tasawuf, karena Islam tasawuf dengan segala penafsiran mistiknya terhadap Islam, cocok dengan latar belakang masyarakat setempat yang dipengaruhi dengan asketisme Hindu-Budha.14 Ini juga disebabkan karena tarekat-tarekat sufi cenderung bersifat toleren terhadap pemikiran dan praktik tradisional. Selain itu ada beberapa faktor lain yang menyebabkan berkembangnya masyarakat Islam di antaranya, perhubungan baik antara saudagar-saudagar Arab dengan pihak pemerintah setempat, saudagarsaudagar Muslim tersebut mempraktekkan ajaran Islam ke atas dirinya dan dalam perhubungan dengan masyarakat, selain itu tidak ada paksaan di dalam berdakwah. Dan juga karena keindahan ajaran Islam.15 membantu

D. Berkembangnya Islam di Nusantara Saudagar-saudagar Arab yang pulang balik ke Nusantara senantiasa berhubungan dengan saudagar-saudagar di Tanah Arab. Perjalanan sejarah menunjukkan saudagar-saudagar Arab Muslim itu terus pulang-pergi ke
Fatah Syukur, op.cit., h. 183-184 Musyrifah Suananto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), h. 13 15 Hasymy, op.cit., h. 182
14 13

gugusan pulau-pulau Melayu dan ke negri China. Mereka menjalankan dakwah Islamiah di mana saja mereka itu sampai. Peluang berdakwah lebih terbuka di tempat-tempat, karena saudagarsaudagar Muslim terpaksa tinggal lama untuk menanti musim angin untuk berlayar pulang ke Selatan Yaman ataupun ke Laut Merah dan Teluk Persia. Utara Sumatera adalah salah satu pusat perniagaan yang terpenting di Nusantara di abad ke-7 M. maka itu tempat ini merupakan salah satu tempat berkumpulnya saudagar-saudagar Arab Islam, dengan demikian dakwah Islamiah dapat peluang untuk bergerak dan berkembang dengan cepat.16 Berkembangnya Islam di Nusantara terlihat dalam berbagai aspekaspek kehidupan masyarakat di antaranya: 1. Perkembangan dalam Bidang Agama dan Politik Perkembangan Islam awal di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi tiga fase. Pertama, adalah fase singgahnya para pedagang Muslim di pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara. Kedua, adanya komunitaskomunitas muslim dibeberapa daerah Nusantara. Ketiga, fase berdirinya kerajaan-kerajaan Islam. Proses Islamisasi di Indonesia tidak terlepas dari peranan kerajaan Islam (kesultanan). Berawal ketika raja setempat memeluk Islam, selanjutnya diikuti para pembesar istana, kaum bangsawan, dan kemudian rakyat jelata.17 Islam sebagai agama yang memberi corak kultur bangsa Indonesia dan sebagai kekuatan politik yang menguasai struktur pemerintahan dapat dilihat dari munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara di antaranya kerajaan Ta Shi, walaupun tidak mendapat keterangan yang jelas dan secara mendetail bagaimana dakwah Islamiah berkembang di Utara Sumatera di abad ke-7 M., namun dakwah Islamiah dapat berkembang dengan baik dapat diketahui melalui karangan tua China mencatat bahwa ada sebuah kerajaan di Utara Sumatera yang bernama Ta Shi. Kerajaan Islam Ta Shi ini telah membuat perhubungan diploma dengan kerajaan
16 17

Ibid., h. 191-192 Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, (Pekanbaru: Zanafa Publishing, 2011), h. 19

China sampai tahun 655. Ta Shi ini menurut Istilah China di abad ini diberi kepada orang-orang Islam.18 Kemudian kerajaan Islam Ta Shi bersatu dengan kerajaan Perlak dengan memakai nama Ta Jihan. Semenjak berdirinya kerajaan tersebut maka Islam semakin berkembang di Sumatera Utara, apalagi semakin ramainya saudagar-saudagar Arab datang ke Nusantara. Perlak ketika itu merupakan sebuah pelabuhan perniagaan yang maju dan aman di abad ke8 M., menjadi tempat persinggahan kapal-kapal Arab dan Persia muslim, sehingga berkembanglah masyarakat Islam di daerah ini. Sehingga terjadi perkawinan di antara saudagar-saudagar muslim dengan perempuanperempuan anak negeri, saudagar-saudagar tersebut juga dikawinkan dengan putri-putri Perlak, hal ini membawa kepada berdirinya kerajaan Islam Perlak, rajanya yang pertama ialah Syekh Maulana Abdul Aziz Shah pada tahun 840 M.19 Berkembangnya Islam selanjutnya di Nusantara ditandai dengan berdirinya kerajaan Islam Samudera Pasai. Malik Al- Shaleh, merupakan raja pertama dan pendiri kerajaan tersebut. Dari segi politik munculnya kerajaan Samudra Pasai sejalan dengan suramnya peranan maritim kerajaan Sriwijaya, yang sebelumnya memegang peranan penting di kawasan Sumatera dan sekelilingnya. Menurut hikayat raja-raja Pasai disebutkan gelar Malik Al-Shaleh sebelum menjadi raja adalah Merah Selu. Ia masuk Islam berkat pertemuannya dengan Syaikh Ismail, seorang utusan Syarif Makkah, yang kemudian memberinya gelar Sultan Malik AlShaleh.20 Mata uang dirham yang terdapat di Samudra Pasai menggunakan nama-nama rajanya, sehingga dari mata uang tersebur dapatlah keterangan tentang nama-nama dan urutan tahunnya, yaitu: Sultan Malik Al-Shaleh yang memerintah sampai tahun 1201 M, Muhammad Malik Al-Zahir
18 19 20

Hasymy, op.cit., h. 193-195 Ibid. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), h.

206

(1297-1326 M), Mahmud Malik Al-Zahir (1326-1345 M), Manshur Malik Al-Zahir (1345-1346 M), Ahmad Malik Al-Zahir (1346-1383 M), Zain AlAbidin Malik Al-Zahir (1383-1405 M), Nahrasiyah (1402- ?), Abu Zaid Malik Al-Zahir (?-1455), Mahmud Malik Al-Zahir (1455-1477 M), Zain Al-Abidin (1477-1500 M), Abdullah Malik Al-Zahir (1501-1514 M), Zain Al-Abidin (1513-1524 M).21 Pertengahan abad ke-14 M dakwah Islamiah di Samudera telah berkembang di negeri-negeri di sekelilingnya dan telah dapat masuk ke wilayah yang berhampiran dengan Samudera yang mempunyai penduduk yang sangat ramai telah memeluk agama Islam, dan juga dapat berkembang di bagian-bagian lain di Sumatera. Selain itu Islam juga dapat memperkuat kedudukannya di daerah-daerah sepanjang pantai, kemudian bejalan masuk ke daerah-daerah pedalaman, setelah itu menyebar ke pesisir pulau-pulau lainnya.22 2. Perkembangan dalam Bidang Ekonomi Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara dikatakan sebagai kerajaan Maritim, karena pusat-pusat kerajaannya berada di kota-kota pelabuhan. Pusat pelabuhan ini merupakan peranan penting dalam mengembangkan ekonomi kerajaan, karena ia juga berfungsi sebagai pasar. Penghasilan pasar adalah salah satu sumber penghasilan bagi raja atau penguasaan setempat. Segala transaksi berada di dalam kekuasaan raja, walaupun dalam prakteknya sudah didelegasikan kepada pejabat pelabuhan. Dengan memberikan perlindungan dan jaminan terhadap transaksi itu, raja berhak memungut pajak dan cukai untuk segala macam barang dagangan.23 Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh mempunyai lembaga peradilan niaga yang merupakan suatu lembaga yang berfungsi menyelesaikan perkara atau sengketa dalam perdagangan. Penggunaan mata uang sebagai alat pembayaran telah dilaksanankan secara luas dalam fase pertumbuhan dan perkembangan kerajaan Islam. Beberapa kerajaan
21

Ibid., h. 208 22 Hasymy, op.cit., h. 208 23 Taufiq Abdullah, op.cit., 112

Islam sudah mengeluarkan mata uang tersendiri. Misalnya Pasai mengeluarkan mata uang emas, perak, dan timah dengan mencantumkan nama sultan.24 3. Perkembangan dalam Bidang pendidikan 1) Halaqah Samudra Pasai merupakan tempat studi Islam yang paling tua yang dilakukan oleh sebuah kerajaan, dengan sistem Halaqah. Namun diduga halaqah sudah dilakukan oleh pedang Islam di pelabuhanpelabuhan. Halaqah yang dilakukan oleh kerajaan Islam didalam masjid istana untuk anak-anak, di masjid-masjid lain, mengajar di rumah-rumah guru, dan surau-surau untuk masyarakat umum. Istana juga berfungsi sebagai tempat Mudzakarah masalah-masalah ilmu pengetahuan dan sebagai perpustakaan, juga berfungsi sebagai pusat penerjemah dan penyalinan kitab-kitab ke Islaman.25 2) Masjid dan Langgar Selain Masjid ada juga tempat ibadah yang disebut dengan langgar, bentuknya lebih kecil dari mesjid dan digunakan hanya untuk shalat lima waktu. Selain tempat beribadah Masjid dan langgar juga berfungsi sebagai tempat pendidikan baik itu untuk orang dewasa dan maupun anak-anak. Pengkajian yang disampaikan untuk orang dewasa adalah penyampaian-penyampaian ajaran Islam oleh mubaliq yang berkenaan dengan bidang akidah, ibadah dan akhlak. Sedangkan pengkajian untuk anak-anak berpusat kepada pengkajian Al-Quran, menitik beratkan kepada kemampuan membacanya dengan baik sesuai dengan kaidah-kaidah bacaan, selain itu juga disertai dengan pendidikan shalat, dan akhlak.26 3) Meunasah, Rangkang, dan Dayah

Ibid. Musyrifah Sunanto, op.cit., h. 105 26 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam, (Jakarta: kencana, 2007), h. 20-21
25

24

10

Meunasah terdapat disetiap kampung yang berfungsi sebagai sekolah dasar. Materi yang diajarkan, yaitu, menulis dan membaca huruf Arab, ilmu agama, bahasa melayu, akhlak dan sejarah Islam. Sedangkan Rangkang, diselenggarakan disetiap mukim, merupakan mesjid sebagai tempat berbagai aktifitas umat termasuk pendidikan. Materi yang diajarkan di antaranya, bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung, akhlak, dan fiqih.27 Selanjutnya Dayah, merupakan pusat pendidikan yang terkenal di Kerajaan Aceh Darussalam, masjid-masjid seperti, Masjid Baid alRahman di Banda Aceh dan pusat-pusat pendidikan Islam yang di sebut dayah. Sultan mengambil ulama sebagai penasehatnya, yang terkenal di antaranya adalah Samsudin Al-Sumatrani. Para penuntun ilmu datang dari luar Aceh belajar kepada mereka. Sistem pembelajarannya ialah pengkajian al-Quran. Yang pertama, lafal bacaan huruf hijjaiyah, menghafal ayat-ayat pendek beserta tajwid. Lebih lanjutnya mempelajari persoalan yang berkaitan dengan hukum Islam, dan tasawuf yang diajarkan oleh ulama besar yang pernah belajar di Makkah. Pada tingkat lebih lanjutnya mempelajari kitab-kitab bahasa Arab. Pendidikan Islam mengalami kemajuan pesat setelah para ulama mengarang buku-buku pelajaran keislaman yang menggunakan bahasa melayu di Aceh, sedangkan di Jawa dengan bahasa Jawa atau Sunda. Hal ini terjadi setelah banyak orang-orang belajar ke negeri Arab.28 4) Surau Minangkabau memiliki lembaga pendidikan yang disebut Surau. Surau sebelum Islam datang berfungsi sebagai tempat menginap anak laki-laki. Setelah Islam datang surau digunakan tempat shalat, pengajaran, dan pengembangan Islam. sistem pembelajaran di surau banyak kemiripannya dengan sistem pendidikan di pesantren, murid
Enung K. Rukiati, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 33 28 Musyrifah Sunanto, op.cit.h. 150
27

11

tidak terikat dengan sistem administrasi yang ketat. Inti pelajarannya adalah ilmu-ilmu agama. Surau juga sebagai tempat praktik sufi atau tarekat.29 5) Pesantren Di Jawa, sebelum Islam datang, pesantren sudah dikenal sebagai lembaga pendidikan agama Hindu. Setelah Islam masuk nama itu dijadikan pusat pendidikan agama Islam. lembaga pendidikan Islam ini didirikan oleh para penyiar agama Islam. Dari lembaga pendidikan inilah menyebar agama Islam keberbagai pelosok Jawa dan wilayah Indonesia bagian Timur.30 Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pendidikan Islam pada masa sebelum datangnya penjajahan Belanda sangatlah berkembang baik itu di Sumatera maupun di Jawa. Ini dibuktikan dengan munculnya para pemikir Islam seperti, Hamzah al-Fansuri, Nur al-Din al-Raniri, Abd al-Rauf al-Singkili, Muhammad Yusuf alMaqassari, dan sebagainya. 4. Perkembangan dalam Bidang Seni Kesenian Islam Indonesia sangat minim, sehingga seni budaya Islam yang ada di Indonesia tidak banyak. Kesenian Islam yang berkembang pada masa itu di antaranya: 1) Batu Nisan Kebudayaan Islam dalam bidang seni, mula-mula masuk ke Indonesia dalam bentuk batu nisan. Bentuk makam awal permulaan masuknya Islam menjadi contoh model bagi makam Islam kemudian. Hal ini disebabkan karena sebelum Islam tidak ada makam. Umumnya nisan itu didatangkan dari Gujarat. Bentunya dipengaruhi oleh kebudayaan setempat, sehingga ada bentuk teratai, keris, bentuk gunung. Namun nisan ini tidak berkembang lebih lanjut. 2) Arsitektur
29 30

Haidar Putra Daulay, op.cit., h. 27-28 Musrifah Sunanto, op.cit., h. 110

12

Seni bangunan yang berjiwa Islam amat miskin. Hampir tidak ada bangunan Islam yang menunjukkan keagungan Islam. bentuk masjid di Indonesia pada umumnya banyak dipengaruhi oleh seni bangunan Indonesia-Hindu. 3) Seni Sastra Seni sastra Islam di Indonesia berupa syair-syair dan penulis kitab agama, di antaranya yang ditulis oleh Hamzah Fansuri. Selain itu kaligrafi Arab merupakan bagian dari seni Khath ketika awal kedatangan Islam digunakan untuk mengukir nama dan menulis ayat Al-Quran dimakam-makam terkenal. Namun penerapan seni kaligrafi di Indonesia tidak berkembang karena penerapan kaligrafi Arab sebagai hiasan sangat terbatas. Khusus di Jawa ada pertunjukkan wayang merupakan gabungan seni Islam dan Hindu Indonesia yang tercakup dalam seni ukir, seni tari, dan seni lagu. Ada kesusastraan yang mempunyai sifat tersendiri disebut suluk, yaitu kitab-kitab yang berisi ajaran tasawuf dan juga ada primbon. 4) Seni Ukir Karna adanya larangan untuk menggunakan seni ukir didalam ajaran Islam, seni hias biasanya banyak terdapat di makam-makam, sedangkan dimesjid hanya mimbarnya saja yang diperindah dengan ukiran-ukiran. Selain itu gapura-gapura juga banyak diukir dengan pahatan-pahatan indah.31 Keterangan di atas menunjukkan bahwa kedatangan Islam di Nusantara membawa banyak kemajuan dan perubahan bagi masyarakat Nusantara. Awal berkembangnya Islam di Nusantara merubah hampir seluruh aspek-aspek yang penting dalam kehidupan bermasyarakat di warnai oleh Islam. E. Riwayat Hidup Muhammad Ibn Abd Wahhab
31

Ibid., h. 92-104

13

Muhammad ibn Abd al-Wahhab lahir pada tahun 1115 H atau tahun 1703 M di Desa Uyainah Nedj. Ia berasal dari keluarga ilmuwan yang mampu. Semenjak kecil keinginan untuk belajar sudah nampak pada dirinya, pertamatama ia belajar al-Quran kemudian belajar ilmu-ilmu lain seperti Tafsir, Hadits, Tauhid dan Fiqh kepada orang tuanya (Abd al-Wahhab) yang pada waktu itu menjadi hakim di Uyainah. Sebelum mencapai usia 20 tahun ia berkunjung ke berbagai kota seperti Basrah, Ahsa dan Madinah untuk belajar ilmu-ilmu agama. Di Madinah ia mengikuti halaqah ilmiah terutama yang diberikan oleh syaikh Abdullah ibn Saif (ahli Fiqh), Syaikh Muhammad Hayat al-Sindi (ahli Hadits) dan Syaikh Muhammad Majmu. Di samping itu ia menekuni karya-karya ibn Taimiyah32. Sekembalinya dari perantauan, menetap di Huraimila bersama orang tuanya yang terlebih dahulu pindah ke desa ini. Ia memulai untuk memberantas bidah, khurafat dan taassaub mazhab. Usaha kearah ini, ia aktif mengajar dan mengarang serta mengumandangkan terbukanya pintu ijtihad, ia menggunakan kembali kepada Islam. Setelah orang tua ia meninggal, ia kembali ke Uyainah tempat kelahirannya. Terakhir ia bermukim di Dariyah dan berhasil dapat dukungan politik dari Muhammad ibn Saud sebagai pemimpin qabilah atau suku terbesar yang berkuasa di Nejd. Ia wafat pada tahun 1201 H atau 1781M dengan meninggal karya tulis yang cukup banyak antara lain Kitab al- Tauhid, Kasyf al Syubahat, Kitab al-Kabair, Ahadits al-fitan , dan sebagainya. Sampai kini ajaran-ajarannya tetap hidup dan berkembang dalam bentuk aliran Wahabiah33. F. Sejarah dan Mata Rantai Salafi di Indonesia Sejak awal tahun 1980-an, terjadi perkembangan dakwah yang berbeda di Indonesia. Saat itu mulai berdatangan elemen-elemen pergerakan dakwah Islam dari luar negeri ke Indonesia. Menurut sejarah, tahun 70-an
Saifullah, Tokoh dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam di Kawasan Timur Tengah , Padang, IAIN IB Press, 2006: h. 1 33 Ibid., h. 2
32

14

merupakan tahun internasionalisasi bagi jamaah-jamaah dakwah tertentu. Di tahun 80-an itu mulai muncul ke permukaan kelompok-kelompok dakwah, seperti Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin), Jamaah Tabligh (JT), Hizbut Tahrir (HT), Jamaah Islamiyyah (JI), dan lain-lain. Nama salafi secara khusus mulai populer di Indonesia pada tahun 1995 bersamaan dengan terbitnya Majalah Salafi yang dibidani oleh Jafar Umar Thalib dan kawan-kawan. Salafi sebenarnya adalah nama lain dari Wahabi yang sudah ada sejak sekitar 287 tahun lalu di Diriyah Saudi Arabia, yang ditandai dengan adanya upacara sumpah penetapan Ibnu Saud sebagai enir dan Muhammad ibnu Abdul Wahab sebagai imam urusan agama pada tahun 1744 M. Oleh mereka berdua, sebagai tonggak awal perjuangan dakwah Wahabi. Gerakan ini pun kemudian dinamai Wahabi, diambil dari nama pendirinya34. Namun kemudian, karena pertimbangan strategi dakwah, Wahabi berganti nama menjadi Salafi. Sejarah kemunculan Wahabi ini banyak dipenuhi dengan pertumpahan darah kaum muslimin, terkhusus pasca kemenangan pemberontakan keluarga Saud yang didukung kolonialisme Inggris. Sehingga keluarga Saud mampu berkuasa dan menamakan negaranya dengan nama keluarga Ali Saud (keluarga Saudi). Inggris pun akhirnya dapat semakin menghilangkan dahaga negaranya dengan menyedot sebagian kekayaan negara itu, terkhusus minyak bumi. Seiring berkuasanya klan Saud, pemikiran Muhammad Ibnu Abdul Wahab kemudian diangkat resmi menjadi akidah negara tersebut, selain menindak tegas setiap penentang faham Wahabi di Jazirah Arab, keluarga Saudi bersama Muhammad ibnu Abdul Wahab juga terus melancarkan aksi ekspansinya ke segenap wilayah-wilayah lain diluar wilayah Saudi, hal ini dapat di telaah lebih lanjut kitab tebal yang mengupas tentang sejarah kerajaan Saudi Arabia karya al-ustadz Nashir as-Said, berjudul Tarikh Ali Saud.35

35

Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, Yogyakarta, 2011: h. 39 Ibid.,

34

15

Secara garis besar, faham Salafi di dunia ini terpecah menjadi dua fraksi, yaitu Salafi Haraki dan Salafi Yamani. Salafi Haraki masuk lebih awal ke Indonesia, ketimbang Salafi Yamani, Tokoh perintis Salafi Yamani adalah Ustadz. Jafar Umar Thalib, yang dikemudian hari menjadi Panglima Laskar Jihad. Dia semula berada di pihak Salafi Haraki, namun kemudian bergabung ke Salafi Yamani. Hal itu dapat dibuktikan ketika dia menulis artikel di majalah As-Sunnah No. 04/th.1/ Syaban Ramadhan 1413 H (pada halaman 1017), Jafar Umar menulis artikel berjudul pokok-pokok Memahami Ikhtilaful Ummah, yang semakin menguatkan keberpihakannya kepada Salafi Haraki. Dilihat dari kemiripan manhaj dakwahnya dengan beberapa pergerakan Islam di Indonesia, diduga sebagian faham Wahabi pertama kali masuk ke kawasan Nusantara dibawa oleh beberapa ulama asal Sumatera Barat pada awal abad ke 19 Ulama Sumatera Barat itu tidak menelan mentah-mentah faham Wahabi, melainkan hanya mengambil spirit pembaharuannya saja, akibat persinggungan mereka ketika menunaikan ibadah haji di Makah36. Gerakan di Sumatera Barat inilah akar sejarah faham Wahabi pertama di tanah air yang kemudian lebih dikenal dengan gerakan kaum padri, yang salah satu tokoh utamanya adalah Tuanku Imam Bonjol. Gerakan ini sendiri berlangsung dalam kurun waktu 1803 hingga sekitar 1832. Gerakan kaum Padri tidak seperti Wahabi yang keras dan kaku, tetapi sudah mengalami kulturarisasi dengan budaya lokal, sehingga mudah diterima masyarakat. Selain gerakan Kaum Padri itu, ada beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa perjuangan pemurnian tauhid atau gerakan pembaharuan di Indonesia pada awal abad ke 19 tidak terkait secara langsung dengan faham Wahabi, melainkan hanya ada kesamaan semangat (spirit). Sebagaimana pengakuan pendiri al-Irsyad al Islamiyah: Syaikh Ahmad Surkati ketika dia dituduh sebagai Wahabi, dia membantahnya, Tangan saya gemetar ketika menulis bantahan ini (wahhabiyyah yang dituduhkan kepada saya). Bukan karena saya takut terhadap gerakan yang keras itu, melainkan karena saya memang tidak mengetahui, apalagi mengikuti, begitu juga dengan pendiri
36

Ibid.,

16

Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan, beliau itu seorang sufi (tidak seperti pendiri Salafi Wahabi, Muhammad bin Abdul Wahab yang mengkafirkan sufi/tasawuf)37. Realitas ini juga diamini oleh cendekiawan Muhammadiyah, abdul Munir Mulkhan yang juga seorang Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kenyataan tentang sufisme KH. Ahmad Dahlan juga dibuktikan dengan kitab-kitab yang dia pelajari dari gurunya , KH. Shalaeh Darat, seperti kitab al-Hikam karya tokoh ulama besar Sufi dari Mesir, Ibnu Athaillah asSakandari, kitab al-Munjiyat yang merupakan saduran dari kitab Ihya Ulum adDin katya imam al-Ghazali. Begitu juga dengan tokoh ke 2 Muhammadiyah, Hamka ia merupakan penganjur dan bahkan menulis sejumlah buku tentang tasawuf. Ia sangat fasih mengupas sisi kehidupan spiritual Nabi Muhammad dan para Sahabat, serta ajaran dan personifikasi dari para tokoh-tokoh sufi/tarekat dari abad pertengahan hingga yang ada di Nusantara, Ia sering mengutip ayat alQuran Ala bidzikrillahi tathmainnu al-qulub yang menjadi dasar ajaran tasawuf. Pergerakan-pergerakan Islam modern yang lahir lebih awal di Indonesia, seperti Muhammadiyah, Persis, dan al-Irsyad hanya memiliki kesamaan ide bukan faham dengan kelompok Salafi Wahabi. Di antara motif yang melatarbelakangi mudahnya spirit pembaharuan Wahabi diterima oleh beberapa ulama Indonesia saat itu adalah medan dakwah Nusantara yang berhadapan langsung dengan ajaran animisme, dinamisme, dan pengaruh hindu-budha, tantangan inilah yang membuat mereka mudah menerima dan memiliki kesamaan ide dengan sekte Wahabi dalam hal pemurnian tauhid, dengan harapan agar umat Islam Indonesia bisa lebih jeli dan berhati-hati dalam menjalankan ajaran Islam, sehingga tidak bercampur dengan budaya lokal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam38. Namun, kondisi Indonesia itu sangat jauh berbeda dengan medan dakwah perjuangan Wahabi di Saudi Arabia pada saat itu, di mana yang mereka hadapi di jazirah Arab adalah sesama umat Islam yang mengikuti sunnah Rasulullah Saw, namun dituduh
37 38

Ibid., Ibid., h. 44

17

musyrik dan kafir, padahal tidak demikian. Siasat itu mereka tempuh, tiada lain untuk tujuan berdirinya negara Klan Saudi yang bersinergi dengan Ustadz Ibnu Abdul Wahab yang telah terisolir dan dikucilkan, baik oleh keluarganya maupun masyarakatnya. Ketiga organisasi lokal Indonesia itu (Muhammadiyah, Persis, dan al-Irsyad) adalah senior bagi Salafi Wahabi, karena terlahir dari ide yang sama yaitu pemurnian tauhid. Namun, begitu kelompok Salafi Wahabi sama sekali tidak menganggap ketiga pergerakan tersebut memiliki kesamaan ide untuk dapat bersinergi. Mereka justru mengkafirkannya dan mengatakannya sebagai tidak mengikuti sunnah, ahli bidah, dan sesat. Jangankan dengan kelompok semisal itu (yang dianggap oleh sebagian umat Islam sebagai senior mereka), dengan sesama kembaran mereka bertengkar, saling menganggap sesat dan bidah. Lihat pertengkaran yang terjadi antara Salafi Yamani (Salafi yang berafiliasi kepada Syaikh-syaikh Salafi di Yaman dan Saudi Arabia) dengan Salafi Haraki (Salafi yang menerapkan sistem pergerakan atau organisasi (hararki)39. Pergerakan Islam mereka anggap bidah, sesat, atau bahkan kafir, seperti Hizbut Tahrir, Ikhwan Muslimin, Jamaah Tabligh, Muhammadiyah, NU, Persis, al-Washliyah, Nahdhatul Wathan, ath-Thawalib dan lain sebagainya. Singkatnya, Salafi Hararki adalah gerakan dakwah Salafiyah yang menerapkan metode pergerakan (harakah). Metode tersebut meskipun tidak sama persis, serupa dengan metode yang ditempuh oleh jamaah-jamaah dakwah Islam, seperti Ikhwanul Muslimin (IM), Hizbut Tahrir (HT), Jamaah Tabligh (JT), Jamaah Islam (JI), Negara Islam Indonesia (NII), dan lain-lain. Pola haraki (pergerakan) inilah yang membedakan kelompok ini dengan Salafi Yamani dan Salafi-Salafi independen yang tidak mengikatkan diri dengan jamaah, madrasah, atau organisasi mana pun40. Di luar perpecahan di antara mereka sendiri, Wahabi atau yang menamakan diri mereka dengan sebutan
39 40

Ibid., h. 45 Ibid., h. 46

18

Salafi ini, dikatakan menyimpang karena telah menyalahi al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw41. Salafi Nama Lain Dari Wahabi Salafi dan Wahabi kedua istilah ini ibarat dua sisi pada sekeping mata uang, satu dari sisi keyakinan dan padu dari segi pemikiran. Sewaktu Jazirah Arab mereka lebih dikenal dengan Wahhabiyah Hanbaliyah. Namun, ketika diekspor ke luar Saudi, mereka mengatasnamakan dirinya dengan Salafi, khususnya setelah bergabungnya Muhammad Nashiruddin al-Albani, yang mereka pandang sebagai ulama ahli hadis. Pada hakikatnya, mereka bukanlah Salafi atau para pengikut Salaf. Mereka lebih tepat jika disebut Salafi Wahabi, yakni pengikut Muhammad ibnu Abdul Wahab yang lahir di Uyainah, Najd, Saudi Arabia tahun 1115 Hijriah (1703 Masehi) dan wafat tahun 1206 Hijriah (1792 Masehi). Pendiri Wahabi ini sangat mengagumi Ibnu Taimiyah, seorang ulama kontroversial yang hidup di abad ke 8 Hijriyah dan banyak mempengaruhi cara berpikirnya42. Wahabi berganti menjadi Salafi atau terkadang Ahlussunnah yang tanpa diikuti dengan kata waljamaah, karena mereka merasa risih dengan penisbatan tersebut dan mengalami banyak kegagalan dalam dakwahnya. Hal itu diungkapkan oleh Prof. Dr. Said Ramadhan al Buthi dalam bukunya, asSalafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarakah La Madzhab Islami , Dia mengatakan bahwa, Wahabi mengubah strategi dakwahnya dengan berganti nama menjadi Salafi karena mengalami banyak kegagalan dan merasa tersudut dengan panggilan nama Wahabi yang dinisbatkan kepada pendirinya, yakni Muhammad ibnu Abdul Wahab. Kaum muslimin menamakan mereka dengan Salafi Palsu atau Mutamaslif43. Wahabi berupaya mengusung platform dakwah yang sangat terpuji yaitu, memerangi syirik, penyembahan berhala, pengkultusan kuburan, dan membersihkan Islam dari bidah dan khurafat. Namun, mereka salah kaprah
41 42

Ibid., h. 47 Idahram, op.,cit. h. 23 43 Ibid., h. 24

19

dalam penerapannya, bahkan dapat dibilang, dalam banyak hal mereka telah keluar dari ajaran Islam itu sendiri. Tidak ada satu pun riwayat shahih yang sampai kepada kita menerangkan bahwa ada di antara para sahabat Nabi SAW, ulama salaf dan imam mujtahid (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Ahmad ibnu Hanbal, Imam Tsauri dan lainnya) yang menyebut diri mereka dan para pengikutnya sebagai kelompok Salafi. Hingga para Imam ahli hadis sekalipun seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, dan yang lainnya, tidak ada yang menyebut dirinya sebagai Salafi44. Adapun awal mula munculnya Salafi sebagai istilah adalah di Mesir, setelah usainya penjajahan Inggris. Tepatnya, saat muncul gerakan pembaruan Islam (al-ishlah addini) yang dipimpin oleh Jamaluddin al-Afghani dan muridnya, Muhammad Abduh, di akhir abad ke 19 Masehi, yang dikenal dengan gerakan Pan Islamisme. Untuk menumbuhkan rasa patriotisme dan fanatik yang tinggi terhadap perjuangan umat Islam saat itu, di samping dalam rangka membendung pengaruh sekulerisme, penjajahan dan hegemoni Barat atas dunia Islam, Muhammad Abduh mengenalkan istilah Salafi. Istilah Salafi yang menggelari orang yang mengklaim dirinya sebagai satu-satunya penerus ajaran as-salafu ash-shalih, yakni para sahabat nabi Saw, bukan dari para imam ahli hadis sekalipun. Nashiruddin al-Albani lah yang pertama kali mempopulerkan istilah ini, sebagaimana terekam dalam sebuah dialognya dengan salah satu pengikutnya, yaitu Abdul Halim Abu Syuqqah, pada bulan Juli 1999/Rabiul Akhir 1420 H45. Kesimpulan Sejarah masuknya Islam ke Nusantara tidak bisa dipisahkan dengan peranan para pedagang yang berasal dari Negara Arab. Meskipun masih terjadi perdebatan panjang di antara para ahli sejarawan tentang kapan, darimana, dan siapa yang membawa Islam ke Nusantara. Namun nampaknya para sejarawan sepakat bahwa ada tiga teori yang mendekati tentang
44 45

Ibid., h. 25 Ibid., h. 26

20

masuknya Islam ke Nusantara di antaranya, teori India, Persia, dan Arab, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Berkembangnya Islam awal di Nusantara ditandai dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Utara Sumatera antara lain, kerajaan Ta Shin, kerajaan Perlak, dan kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan-kerajaan ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Perkembangan Islam selanjutnya juga terlihat dalam setiap aspek kehidupan masyarakat, di antaranya dalam bidang pendidikan Islam, dan begitu juga dalam bidang kesenian, selain itu juga terlihat dalam bidang perekonomian. Islam sebagai agama yang memberi corak kultur bangsa Indonesia dan sebagai kekuatan politik yang menguasai stuktur pemerintahan. Sehingga dengan cepat Islam mulai berkembang hampir di seluruh kepulauan Nusantara. Wahabi mengusung platform dakwah yang sangat terpuji yaitu, memerangi syirik, penyembahan berhala, pengkultusan kuburan, dan membersihkan Islam dari bidah dan khurafat. Namun, mereka salah kaprah dalam penerapannya, bahkan dapat dibilang, dalam banyak hal mereka telah keluar dari ajaran Islam itu sendiri. Tidak ada satu pun riwayat shahih yang sampai kepada kita menerangkan bahwa ada di antara para sahabat Nabi SAW, ulama salaf dan imam mujtahid (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Ahmad ibnu Hanbal, Imam Tsauri dan lainnya) yang menyebut diri mereka dan para pengikutnya sebagai kelompok Salafi.

21

DAFTAR KEPUSTAKAAN Abdullah, Taufiq, Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991 Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Jakarta: Kencana, 2007 Daulay, Putra, Haidir, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2007 Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, PT. Almaarif: Percetakan Offset, 1989 Helmiati, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2006 Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, PT Lkis Printing Cemerlang, 2011

22

Saifullah, Tokoh dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam di Kawasan Timur Tengah, IAIN IB Press, 2006 Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005 Syukur, Fatah, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: PT. Pustaka Riski Putra, 2009 Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008

23

You might also like