You are on page 1of 7

Pendekatan edukatif merupakan suatu bentuk upaya pemberdayaan masyarakat yang melibatkan semua pihak yang berkompeten terhadap

peningkatan pembangunan. Pendekatan edukatif memperlakukan masyarakat sebagai obyek dan juga subyek pembangunan dengan kata lain kegiatan dikembangkan dengan, oleh dan untuk masyarakat. Pertanyaannya. Bagaimana pendekatan edukatif di dalam keperawatan komunitas ? Keperawatan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan. Pelayanan yang diberikan hendaknya dilaksanakan oleh petugas yang bisa diterima oleh masyarakat setempat yang berpengetahuan, bersikaf dan mempunyai keterampilan yang sesuai, dalam hal ini sebagai perawat komunitas. Pelayanan kesehatan seharusnya dikembangkan dari pola hidup masyarakat dan mampu memenuhi kebutuhannya dibidang kesehatan. Masalah kesehatan yang terjadi di masyarakat biasanya dikarenakan perilaku masyarakat itu sendiri. Karena masyarakat harus terlibat aktif untuk penemuan masalah yang dihadapi, penemuan potensi yang dimiliki, perencanaan, implementasi dan evaluasi dalam hal pemecahan masalah. Perawat komunitas harus bisa memainkan peranan sebagai provider secara tepat dalam upaya pengembangan masyarakat, yaitu saling mendukung dengan masyarakat. Merupakan mitra yang baik bukan antara atasan dan bawahan. Pendekatak edukatif di dalam keperawatan komunitas mempunyai tujuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat dengan mengembangkan kemampuan masyarakat untuk memecahkan masalah atas dasar potensi yang ada atau sebatas kemampuannya. Proses pencapaian tujuan di atas, yaitu mengutamakan proses edukatif, bukan instruktif maupun dengan imbalan yang materialistis. Sesuai dengan paradigma baru keperawatan komunitas bahwa upaya pelayanan ditekankan pada upaya promotif dan preventif tanpa melupakan upaya kuratif, maka pendekatan edukatif di dalam keperawatan komunitas sangatlah sejalan. Masyarakat tahu masalah dan mau memecahkan masalah bertolak dari upaya promotif dari petugas dan mampu memecahkan masalah merupakan bentuk dari upaya preventif dan kuratif dari petugas dan masyarakat. Salah satu kegiatan pendekatan edukatif yang melibatkan lintas sektor, lintas program (termasuk keperawatan komunitas) dan masyarakat adalah kegiatan pengembangan Desa Siaga (akan dibahas tersendiri). Secara umum dapat disimpulkan bahwa pendekatan edukatif di dalam keperawatan komunitas merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat komunitas dengan didukung/melibatkan partisifasi masyarakat untuk memecahkan masalah kesehatan sesuai kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat (potensi). Bahan bacan Pendekatan Edukatif suatu alternatif pendekatan dalam membangun masyarakat, Depkes RI, Jakarta, 1990

Kriteria Pelayanan Publik Pelayanan publik diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang di laksanakan oleh instansi pemerintahan di pusat, di daerah, clan di lingkungan badan usaha milik negara/daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (LAN, 1998). Pelayanan publik dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan yang bersifat sederhana, terbuka, tepat, lengkap, wajar dan terjangkau (Sedaryanti, 2004). Dalam Keputusan Menpan No. 81 Tahun 1993 ditegaskan, bahwa penyelenggaraan layanan publik harus mengandung unsur unsur : 1. 2. Hak dan kewajiban bagi pemberi layanan maupun penerima layanan umum harus jelas dan diketahui secara pasti oleh masingmasing. Pengaturan setiap bentuk pelayanan umum harus disesuaikan dengan kondisi kebutuhan clan kemampuan masyarakat untuk membayar, berdasarkan ketentuan perundangundangan yang berlaku dengan tetap berpegang pada efisiensi dan efektivitas. 3. 4. Mutu proses dan hasil pelayanan umum harus diupayakan agar memberi keamanan, kenyamanan, kelancaran dan kepastian hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Apabila pelayanan umum yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah terpaksa harus mahal, maka instansi peme-rintah yang bersangkutan berkewajiban memberi peluang kepada masyarakat untuk ikut menyelenggarakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Keputusan Menpan tersebut juga ditegaskan, bahwa pemberian layanan umum kepada masyarakat merupakan perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, sehingga penyelenggaraannya perlu ditingkatkan secara terus-menerus sesuai dengan sasaran pembangunan. Keputusan Menpan No. 81 Tahun 1993 tersebut mentepkan depalan sendi yang harus dapat dilaksanakan oleh instansi atau satuan kerja dalam suatu departemen yang berfungsi sebagai unit pelayanan umum. Kedelapan sendi tersebut adalah: 1. Kesederhanaan 2. Kejelasan dan kepastian 3. Keamanan 4. Keterbukaan 5. Efisiensi 6. Ekonomis 7. Keadilan yang merata 8. Ketepatan waktu

Sedaryanti (2004) lebih lanjut menegaskan, bahwa hakekat dari pelayanan publik adalah : 1. 2. 3. Meningkatkan mutu dan produktifitas pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah di bidang pelayanan umum. Mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tatalaksana pelayanan, sehingga pelayanan umum dapat diselenggarakan secara lebih berdaya guna dan berhasil guna. Mendorong tumbuhnya kreativitas, prakarsa dan peran serta masyarakat dalam pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas. Pelayanan publik itu hasil dari proses politik yang ditindaklanjuti oleh birokrasi pemerintah. Layanan publik memiliki karakteristik yang berbeda dari kebijakan lainnya. Fokus utama transaksi dalam layanan publik adalah terkaitnya barang dan atau jasa yang diserahkan kepada masyarakat pengguna. Hal yang khas dalam layanan publik adalah barang dan atau jasa yang diserahkan selalu bersifat milik umum (common good) yang biaya produksinya sering kali kurang atau bahkan tidak efisien secara finansial, bahkan barang clan atau jasa yang ditransaksikan sukar diukur (intangible). Oleh sebab itu, keuntungan dan kerugian dari layanan publik pada umumnya diukur dalam dimensi sosial, ekonomi, politik, bahkan kultural (Joe Fernandes, 2002). Dalam banyak kasus manfaat layanan publik hanya dapat dilihat dari keluarannya yang mungkin bisa dihitung setelah beberapa tahun berselang, misalnya pelestarian alam dan sumber daya air. Itulah sebabnya bagian terbesar dari layanan publik merupakan tanggungjawab pemerintah berdaulat yang diberikan kepada masyarakat sebagai imbalan legitimasi dari rakyat, baik melalui pemilihan umum maupun pembayaran pajak (Wahyudi Kumorotomo, 2005). Di samping itu jaminan mutu layanan publik merupakan bagian dari akuntabilitas politik para pejabat yang dipilih secara absah dan digaji oleh hasil pajak dan pendapatan negara lainnya. (Joko Widodo, 2001). Sebagai hasil proses politik dan hubungan antara hak rakyat dan tanggung jawab peme rintah, maka layanan publik memiliki tiga unsur penting, yakni: lembaga perwakilan sebagai pengambil keputusan, lembaga eksekutif (dinas pemerintahan) sebagai pemberi layanan, dan masyarakat sebagai pengguna layanan. Ketiganya mempunyai hubungan yang setara dan saling mempengaruhi agar kualitas layanan publik tetap terjaga. Kelemahan pada salah satu unsur akan berdampak pula pada tingkat kepuasan atas layanan publik secara keseluruhan. Dengan demikian jelas bahwa layanan publik memiliki dua dimensi, yakni: dimensi politik berupa pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan, dan dimensi administratif penyelenggaraan fungsi pemerintahan berupa kegiatan-kegiatan pemberian layanan dengan standar minimal yang dibakukan (Joe Fernandes, dkk, 2002). Peran masyarakat sebagai pengguna layanan publik dalam transaksi layanan publik adalah kemampuannya menunjukkan kehendak, tuntutan, harapan, serta penilaian kepuasan terhadap layanan publik. Bentuk-bentuk tuntutan dan harapan masyarakat pada umumnya diartikulasikan melalui opini publik (agenda publik) yang terbentuk dari proses agenda media dan kelompok strategis representatif yang diwacanakan di ruang publik. Dalam kontek proses pembuatan kebijakan daerah, opini publik yang merepresentasikan kehendak publik dalam hal layanan publik menjadi masukan penting untuk diapresiasi oleh anggota DPRD dalam rangka menjalankan fungsinya, yaitu fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Kemampuan dan kearifan anggota DPRD dalam

mengapresiasi dan mengartikulasikan opini publik representatif menjadi salah satu indikator penting bagi upaya peningkatan kualitas layanan publik. Dinas/instansi (unit pelaksana teknis) daerah sebagai pelaksana kebijakan layanan publik senantiasa berupaya untuk memenuhi standar layanan publik yang sesuai dengan harapan masyarakat, yaitu: transparan, tidak diskriminatif, terjangkau, proses mudah dan mempunyai akuntabilitas publik tinggi. Keluhan masyarakat penting untuk dicermati sebagai masukan untuk meningkatkan kinerja sistem dan standar layanan publik. Strategi Pelayanan Prima Pola Layanan Satu Atap Pelayanan prima merupakan terjemahan dari excellent service yang artinya pelayanan terbaik. Pelayanan prima sebagai strategi adalah s u a t u p e n d e k a t a n o r g a n i s a s i t o t a l y a n g menjadikan kualitas pelayanan yang diterima pengguna jasa s ebagai penggerak utama pencapaian tujuan organisasi (Lovelok, 1992). Arti pelayanan prima berorientasi pada kepuasan pengguna layanan. Penanganan layanan secara profesional menjadi kunci keberhasilan. Oleh sebab itu perlu SDM yang memiliki kompetensi yang relevan dengan bidang-bidang layanan yang dikelola. Hal tersebut agaknya tidak mungkin dapat dipenuhi oleh dinas/instansi di daerah dalam kurun waktu yang pendek. Karena sistem penerimaan pegawai (PNS) yang masih unijbrm, selain dari pada itu pola pengembangan pegawai yang cenderung lebih menekankan pada aspek struktur dari pada aspek fungsional. Akibatnya S D M di da er ah da la m m en it i ka ri er ny a c enderung untuk menggapai jabatan, bukan untuk berprestasi di fungsi tertentu. Dengan demikian jika dinas/instansi daerah ingin menerapkan layanan prima, maka yang paling mendasar harus dilakukan adalah mengupayakan peningkatan kompetensi SDM yang ada di lini depan, karena pada banyak organisasi kualitas layanan sangat dipengaruhi secara signifikan oleh SDM yang ada di lini depan. Semakin tinggi relevansi kompetensi SDM dengan bidang-bidang yang dikelola. Maka akan semakin tinggi pula efektifitas layanan. Namun perlu dukungan ketersediaan fasilitas dan peralatan fisik yang memadahi serta sistem insentif dan program yang dirancang berdasarkan evaluasi dan kajian terhadap dinamika faktor internal dan eksternal, termasuk keluhan masyarakat pengguna layanan. Hal ini penting diupayakan karena pelayanan prima juga harus ditopang terbentuknya budaya kualitas sebagai bagian dari etos kerja dan sistem kualitas untuk kinerja yang hendak dicapai oleh organisasi. Jika hal tersebut dapat diwujudkan, maka aparat di semua lini mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, secara operasional mereka melakukan empati, menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, bekerja s eca ra tim, mampu mencapai kineda sesuai dengan tugas yang diberikan. Strategi pelayanan prima pola layanan satu atap atau sering disebut sebagai layanan terpadu pada suatu tempat oleh beberapa instansi daerah yang bersangkutan sesuai dengan kewenangan masingmasing, sebenarnya bukan merupakan sesuatu hal yang baru, strategi ini telah berhasil diterapkan pada layanan pembayaran pajak kendaraan bermotor yang melibatkan beberapa instansi daerah, antara lain Dipenda, Kepolisian, dan Jasa Raharja. Penerapan layanan satu atap pada dasarnya untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas melalui peminimalan jarak geografis antar fungsi terkait, dengan demikian dapat diperpendek waktu yang diperlukan untuk proses layanan, pengguna layanan juga

menjadi lebih mudah untuk memperoleh layanan. Yang senantiasa harus dicermati dalam penerapan pola layanan satu atap adalah koordinasi diantara beberapa instansi yang terkait. Keberhasilan penerapan layanan terpadu untuk pembayaran pajak kendaraan bermotor ini kemudian mendorong pemerintah daerah untuk menerapkan layanan terpadu pada bidang layanan dokumen, seperti layanan KTP, KK, akta kelahiran dan perijinan yang dulunya dilakukan pada tempat yang terpisah kemudian disatu atapkan di satu tempat. Persoalan yang muncul d a l a m h a l i n i a d a l a h b a g a i m a n a m e n g integrasikan berbagai bentuk layanan yang berbeda proses penanganannya. Evaluasi terhadap fungsi-fungsi pelayanan yang akan disatuatapkan perlu dilakukan. Barangkali yang paling mudah dilakukan dalam penyelenggaraan layanan satu atap bagi bidangbidang yang berbeda, hanya sebatas pada layanan lini pertama, yaitu tempat penerimaan berkas ajuan layanan, tindakan selanjutnya untuk penyelesaiannya tetap pada instansi masingmasing. Penempatan personal yang andal sangat menentukan efektifitas penyelenggaraan. Selain petugas lini depan, maka perlu ditempatkan seorang kurir untuk masing-masing instansi guna memperlancar alur layanan dan penyelesaian pekerjaan layanan. Kemudian, untuk mempermudah masyarakat pengguna layanan memperoleh layanan, maka desain layanan harus dikomunikasikan sejelas-jelasnya. Fasilitas kerja dan sarana penunjang kelancaran pelaksanaan pekerjaan layanan perlu disediakan pada tingkat yang memadai. Oleh sebab itu, analisis terhadap kebutuhan fasilitas kerja dan pendukung perlu dilakukan secara cermat dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber dana. Menurut Joe Fernandes (2002) ada dua hal yang penting untuk dicermati dalam kaitannya dengan layanan publik, yaitu: Pertama, dimensi pemberi layanan dan kedua masyarakat pengguna layanan. Berdasarkan dimensi pemberi layanan perlu diperhatikan tingkat pencapaian kinerja yang meliputi layanan yang adil, kesiapan petugas dan mekanisme kerja, harga terjangkau, prosedur sederhana dan waktu penyelesaian yang dapat dipastikan. Sedangkan dari dimensi masyarakat pengguna layanan publik harus memiliki pemahaman dan reaktif terhadap penyimpangan yang muncul dalam praktek penyelenggaraan layanan publik. Keterlibatan masyarakat terutama stakeholder representatif baik dalam mengawasi dan menyampaikan aspirasi atau keluhan terhadap praktik penyelenggaraan layanan publik menjadi faktor penting sebagai umpan balik bagi perbaikan kualitas layanan publik dan memenuhi standar yang telah ditetapkan. Pemberian layanan publik dengan pola layanan satu atap yang memenuhi standar minimal seperti yang telah diterapkan memang menjadi bagian yang perlu dicermati. Dewasa ini masih sering dirasakan, bahwa kualitas layanan minimum sekalipun belum memenuhi harapan sebagian besar masyarakat pengguna layanan. Yang lebih memprihatinkan lagi sebagian besar masyarakat pengguna layanan publik belum memahami secara pasti tentang standar layanan yang seharusnya diterima clan sesuai dengan prosedur layanan yang dibakukan. Masyarakat pun enggan mengadukan jika menerima layanan yang kurang berkualitas. Belum meningkatnya kualitas pelayanan publik di era otonomi daerah juga dikemukakan oleh Ratminto dan Winarsih (2005) yang didasarkan atas penelitian yang dilakukan di Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta clan Jawa Tengah, disimpulkan bahwa kesadaran akan otonomi daerah masih belum secara optimal meningkatkan kualitas layanan publik. Karena otonomi daerah

belum berhasil mewujudkan sistem administrasi yang diletakan atas dasar kesetaraan posisi tawar antara pemerintah sebagai penyedia layanan publik dengan masyarakat sebagai pengguna layanan publik, masih terdapat kecenderungan bahwa masyarakat sebagai pengguna layanan publik dalam posisi yang yang kurang diuntungkan dengan adanya otonomi daerah KESIMPULAN D e n g a n k e n y a t a a n b a h w a k u a l i t a s pelayanan publik di era otonomi daerah belum dapat ditingkatkan secara signifikan dengan peningkatan pendapatan daerah dan beban masyarakat, maka upaya peningkatan kualitas secara terprogram harus terus dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Untuk hal itu, peran DPRD melalui perangkat kelembagaan yang ada memfasilitasi kelancaran proses legislasi bagi kebijakan penyelenggaraan layanan yang berkualitas, melakukan koordinasi dengan instansi terkait, dan secara aktif menghimpun masukan dari stakeholder representatif, baik untuk kepentingan fungsi legislasi, fungsi anggaran maupun pengawasan.

You might also like