You are on page 1of 20

ASUHAN KEPERAAWATAN DENGAN GANGGUAN PARANOID

Oleh: 2.1 REGULER


I PUTU ROBBY SAPUTRA I MADE ADI GUNAWAN I GEDE SURYA SASTRAWAN ( PO7120011005 ) ( PO7120011009 ) ( PO7120011010 )

I PUTU JUNIARTHA SEMARA P ( PO7120011014 ) ANGGER WIBI PANESA I PUTU ARNAWA I NYOMAN SWANDIPA ( PO7120011020 ) ( PO7120011026 ) ( PO7120011036 )

POLTEKKES KEMENKES DENPASAR JURUSAN KEPERAWATAN 2013

ASUHAN KEPERAAWATAN DENGAN GANGGUAN PARANOID


I. TINJAUAN TEEORITS KASUS A. Pengertian Paranoid Paranoid merupakan bagian dari gangguan proses pikir yang meliputi gangguan bentuk pikiran, gangguna arus pikiran, gangguan isi pikiran. Gangguan isi pikiran dapat terjadi baik pada isi non verbal maupun pada isi pikiran yang diceritakan misal : extansi, fantasi, hobi, curiga, waham, dsb (Maramis, 99 hal 131-118) Paranoid adalah gangguan berhubungan dengan orang lain/ lingkungan yang ditandai dengan perasaan tidak percaya, ragu dan perilaku tersebut jelas saat individu berinteraksi dengan orang lain/ lingkungan (Budi Anna Keliat, 1990). Menurut JP Chaplin, Phd. , Paranoid adalah Suatu ciri gangguan psikotic yang ditandai adanya delusi yang sistematis atau waham dengan sedikit deterioasi. Hal ini cenderung menetap dan cukup kuat pengaruhnya serta incapacity. Kepribadian paranoid adalah suatu gangguan kepribadian dengan sifat curiga yang menonjol. Orang seperti ini mungkin agresif dan setiap orang yang lain dilihat sebagai seorang agresor terhadapnya, dimana ia harus mempertahankan dirinya. Ia bersikap sebagai pemberontak dan angkuh untuk menahan harga diri, sering ia mengancam orang lain sebagai akibat proyeksi rasa bermusuhannya sendiri. Dengan demikian ia kehilangan teman-teman dan mendapatkan banyak musuh. (3) Orang dengan kepribadian paranoid memiliki kecenderungan umum yaitu suka melemparkan tanggung jawab kepada orang lain, menolak sifat-sifat orang lain yang tidak memenuhi ukuran yang telah dibuatnya sendiri. Untuk mempertahankan rasa harga dirinya, ia membuat keterangan yang tidak masuk akal tentang kesalahan-kesalahannya, tetapi yang memuaskan emosinya sendiri. Sering diduga bahwa orang lainlah yang tidak adil, bermusuhan, dan agresif. Paranoid adalah kondisi yang ditandai oleh ketidakpercayaan dan kecurigaan yang berlebihan dari orang lain. Gangguan ini hanya didiagnosis ketika perilaku ini sangat kuat. Seseorang yang mengalami gangguan ini umumnya sulit diajak bergaul dan sering mengalami masalah dengan pertemanan karena kecurigaan yang berlebihan. Sifat agresif dan curiga yang dialami penderita seringkali menimbulkan reaksi pada orang lai. Seseorang dengan gangguan ini membutuhan

pengendalian atas orang-orang di sekitar mereka. Mereka sering kaku, kritis terhadap orang lain, dan tidak mampu bekerja sama, mdan kesulitan menerima kritik. Terdapat banyak jenis gangguan kepribadian yang dapat menyerang mental seseorang, salah satunya adalah gangguan kepribadian paranoid, yang mana berbentuk kesalahan dalam mengartikan perilaku orang lain sebagai suatu hal yang bertujuan menyerang atau merendahkan dirinya. Gangguan biasa muncul pada masa dewasa awal yang mana merupakan manifestasi dari rasa tidak percaya dan kecurigaan yang tidak tepat terhadap orang lain sehingga menghasilkan kesalahpahaman atas tindakan orang lain sebagai sesuatu yang akan merugikan dirinya. Para penderita gangguan kepribadian paranoid cenderung tidak memiliki kemampuan untuk menyatakan perasaan negatif yang mereka miliki terhadap orang lain, selain itu mereka pada umumnya juga tidak kehilangan hubungan dengan dunia nyata, dengan kata lain berada dalam kesadaran saat mengalami kecurigaan yang mereka alami walau secara berlebihan. Penderita akan merasa sangat tidak nyaman untuk berada bersama orang lain, walaupun di dalam lingkungan tersebut merupakan lingkungan yang hangat dan ramah. Dimana dan bersama siapa saja mereka akan memiliki perasaan ketakutan akan dikhianati dan dimanfaatkan oleh orang lain.

B. EPIDEMIOLOGI Prevalensi gangguan kepribadian Paranoid adalah 0,5 sampai 2,5 persen .Sanak saudara pasien skizofrenik menunjukkan insidensi gangguan kepribadian paranoid yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontro1 . Gangguan adalah lebih sering pada laki laki daripada wanita. Prevalensi gangguan kepribadian paranoid adalah 0,5 -2,5 persen. Orang dengan gangguan ini jarang mencari pengobatan sendiri. Jika dirujuk ke pengobatan oleh pasangan atau perusahaannya, mereka seringkali menarik orang lain bersama-sama dan tidak tampak menderita. Sanak saudara pasien skizofrenik menunjukkan insidensi gangguan kepribadian paranoid yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Gangguan ini lebih sering pada laki-laki dibandingkan wanita. Insidensi diantara homoseksual tidak lebih tinggi daripada umumnya, seperti yang dulu diperkirakan, tetapi

dipercaya lebih tinggi pada kelompok minoritas, imigran, dan tunarungu dibandingkan populasi umum.

C. ETIOLOGI Secara spesifik penyebab dari munculnya gangguan ini masih belum diketahui, namun seringkali dalam suatu kasus muncul pada individu yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan skizofrenia, dengan kata lain faktor genetik masih mempengaruhi. Gangguan kepribadian paranoid juga dapat disebabkan oleh pengalaman masa kecil yang buruk ditambah dengan keadaan lingkungan yang dirasa mengancam. Pola asuh dari orang tua yang cenderung tidak menumbuhkan rasa percaya antara anak dengan orang lain juga dapat menjadi penyebab dari berkembangnya gangguan ini. Penelitian mengidentifikasikan ada 5 faktor yang dapat membuat orang Paranoid. Bahkan terkadang kita mengalami salah satu atau beberapa faktornya. Seseorang yang memiliki sifat paranoid dikarenakan oleh beberapa faktor tersebut atau bahkan kombinasi dari semua faktor. Faktor-faktor tersebut adalah: a. Stres dan perubahan hidup yang besar b. Emosi negatif seperti kecemasan dan depresi c. Perasaan yang tidak biasa di dalam dirinya d. Penjelasan orang lain e. Penyebab Penyebab pasti terjadinya gangguan kepribadian paranoid belum sepenuhnya diketahui namun ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi : Genetik Gangguan kepribadian kelompok A (paranoid, skizoid, dan skizotipal) lebih sering ditemukan pada sanak saudara biologis dari pasien skizofrenik. Secara bermakna gangguan kepribadian skizotipal lebih banyak ditemukan dalam riwayat keluarga skizofrenia. Korelasi yang lebih jarang ditemukan pada gangguan kepribadian paranoid atau skizoid dengan skizofrenia. Tempramental Gangguan kepribadian tertentu mengkin berasal dari kesesuaian parental yang buruk misalnya kultur yang memaksakan agresi mungkin secara

tidak sengaja mendorong dan dengan demikian berperan dalam gangguan kepribadian paranoid. Disfungsi kognitif Pada penelitian yang dilakukan oleh Forsell & Henderson yang dilakukan pada oarang lanjut usia menemukan bahwa disfungsi kognitif dapat menjadi faktor resiko terjadinya gejala paranoid. Dengan melakukan pengukuran aliran darah regional, pada pasien dengan gejala paranoid menunjukkan peningkatan aktifitas fungsional terutama pada regio frontal dan menunjukkan penurunan aliran darah pada regio temporal posterior. Isolasi social Pada penelitian yang sama yang dilakukan oleh Forsell &

Handersonmengemukakan bahwa pasien yang mengalami isolasi sosial termasuk di dalamnya akibat perceraian, tidak memiliki teman atau jarang mendapat kunjungan memiliki hubungan dengan terjadinya gejala paranoid.

Selain itu ada yang mengatakan faktor penyebab paranoid adalah : 1. Kegagalan proses belajar Biasanya sejak masa kanak-kanak, paranoia suka menyendiri, pencuriga, mengasingkan diri, keras kepala dan sangat sensitif. Saat diingatkan mereka cemberut dan uring-uringan. Hanya sedikit dari mereka yang menunjukan kemampuan bermain dengan anak lain yang normal atau bersosialisasi dengan baik. Latarbelakang keluarga memegang peranan yang penting. Situasi lemahnya penerimaan dalam keluarga dan penggiringan sikap inferioritas akan mengembangkan sikap anak untuk berusaha menjadi superior. Ketidakmantapan latarbelakang keluarga mempengaruhi perasaan anak terhadap orang lain dan membentuk perilaku negaif anak terhadap orang lain. Proses sosialisasi yang tidak tepat membentuk perilaku anak yang mudah curiga kepada orang lain. Dengan demikian akan terbentuk sikap permusuhan dan ingin mendominasi orang lain. Kondisi ini akan saling mempengaruhi, sikap bermusuhannya direspon secara negatif olhe lingkungan dan iapun semakin curiga dengan orang lain sehingga perlahan-perlahan terbentik kepribadian yang paranoia. Selanjutnya terjadilah isolasi sosial dan ia semakin tidak percaya kepada orang lain.

Perkembangan

kepribadian

selanjutnya

dimasa

kanak-kanak

ini

mengembangkan suatu sikap gabungan dari merasa diri penting, kaku, arogan, ingin mendominasi dan membentuk gambaran diri yang tidak realistis dan menimpakan kegagalan atau kesialannya kepada orang lain. Mereka menjadi sangat curiga dan sangat peka menghadapi situasi ketidakadilan. Selanjut individu tidak memiliki selera humor. Mereka mulai mengkategorikan mana orang baik dan jahat. Harapan mereka dan tujuan hidup mereka seringkali tidak realistik. Mereka menolak untuk menerima permasalahan yang dengan cara-cara yang lebih realistik. Mereka cenderung menjadi orang yang uring-uringan dan menolak kontak yang normal. Mereka tidak mampu membina hubungan sosial yang hangat, bersikap agresif dan merasa superior. 2. Kegagalan dan Inferiority Biasanya riwayat para paranoiac sarat dengan kegagalan dalam beradaptasi dengan situasi kehidupan yang penting seperti lingkungan sosial, pekerjaan dan perkawinan. Menghadapi ini mereka bersikap rigid, membuat goal yang tidak realistik dan tidak mampu membina hubungan jangka panjang dengan orang lain. Kegagalan ini diinterpretasikan olehnya sebagai penolakan, penghinaan dan peremehan oleh orang lain. Kegagalan ini menyebabkannya sukar untuk memahami sebab-sebab utama sebenarnya dari permasalahan yang ia alami. Misalnya, mengapa mereka harus meningkatkan kemampuannya dalam berhubungan sosial dalam rangka mencegah reaksi negatif dari orang lain mengapa mereka sampai tidak disukai dalam pekerjaan misalnya karena mereka menyelidiki sesuatu secara sangat rinci. Ia tidak mampu untuk memahami dirinya dan situasi secara objektif, tidak mampu memahami mengapai ia sampai menarik diri dan mengapa orang lain menolaknya. Meskipun demikian perasaan inferiority dari penderita paranoia bersifat topeng saja, karena sesungguhnya mereka ingin superior dan menganggap dirinya penting dan hal ini dimanifestasikan dalam banyak aspek dari perilakunya. Mereka sangat ingin dihargai, hipersensitif terhadap kritik, sangat teliti dan rajin. Para individu paranoid pada saat dihadapkan dengan kegagalan mereka biasanya mengatakan orang-orang tidak menyukai kamu, barangkali ada sesuatu yang salah pada diri kamu, kamu inferior. Mereka sering bersikap defensif, menjadi sangat kaku dan cenderung menyalahkan orang lain. Pola-pola defensif ini akan membantu melindungi dirinya dari perasaan inferiority dan perasaan tidak berharga.

3. Elaborasi mekanisme pertahanan diri dan Pseudocommunity. Kaku, merasa diri penting, tidak humoris dan pencuriga membuat penderita tidak populer dilingkungan sosialnya. Mereka saring salah menangkap maksud orang lain. Sensitif terhadap ketidakadilan. Reaksi paranoid biasanya berkembang secara bertahap. Kegagalan yang ia alami membuat ia mengelaborasi defence mechanism. Untuk menghindari agar dinilai tidak mampu mereka mengembangkan alasan logis dibalik kegagalannya. Secara bertahap gambaran dimulai dengan kristalisasi proses yang lazim disebut paranoid illumination. Kemudian hal tersebut berkembang sedemikian rupa sehingga penyebab-penyebabnya semakin kabur. Penderita mulai melindungi dirinya dan memiliki asumsi bahwa ada sesuatu yang salah dengan dirinya (ditahap awal). Selanjutkan kegagalan tersebut ia timpakan kepada orang lain. Kemudian terjadi proses apa yang disebut dengan pseudo community dimana penderita mulai mengkategorisasikan orang-orang disekitarnya (faktual atau bayangan) yang menentang atau tudak menyukai dirinya. Kejadian-kejadian menjadi perhatian penderita. Ia selalui menyikapi hal-hal disekitarnya dengan sikap curiga. Pseudo community ini bisa disebabkan karena stress yang kuat, misalnya akibat kegagalan ditempat kerja. Ia akan menimpakan kesalahan tersebut kepada orang lain dan mulai mengidentifikasikan orang-orang yang dianggap menghambatnya atau menentang dirinya.

D. Tanda dan gejala Penderita terkadang tidak realistis fantasi berlebihan, sering terbiasa dengan isuisu kekuasaan dan pangkat, dan cenderung menstereotipkan negatif orang lain, terutama yang dari kelompok populasi berbeda dari mereka sendiri. Bagi orang lain, sikap sipenderita dianggap fanatik.

Tanda : Beberapa gejala yang ditunjukan dalam gangguan kepribadian paranoid antara lain adalah: 1. Kecurigaan yang sangat berlebihan. 2. Meyakini akan adanya motif-motif tersembunyi dari orang lain. 3. Merasa akan dimanfaatkan atau dikhianati oleh orang lain. 4. Ketidakmampuan dalam melakukan kerjasama dengan orang lain.

5. Isolasi sosial. 6. Gambaran yang buruk mengenai diri sendiri. 7. Sikap tidak terpengaruh. 8. Rasa permusuhan. 9. Secara terus menerus menanggung dendam yaitu dengan tidak memaafkan kerugian, cedera atau kelalaian. 10. Merasakan serangan terhadap karakter atau reputasinya yang tidak tampak bagi orang lain dan dengan cepat bereaksi secara marah dan balas menyerang. 11. Enggan untuk menceritakan rahasia orang lain karena rasa takut yang tidak perlu bahwa informasi akan digunakan secara jahat untuk melawan dirinya. 12. Kurang memiliki rasa humor. 13. Mereka yang memiliki gangguan ini menunjukan kebutuhan yang tinggi terhadap mencukupi dirinya, terkesan kaku dan bahkan memberikan tuduhan kepada orang lain. Dikarenakan perilaku menghindar mereka terhadap kedekatan dengan orang lain menjadikan mereka terlihat sangat penuh perhitungan dalam bertindak dan juga berkesan dingin. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa kebanyakan gangguan ini ditemukan pada pria

dibandingkan pada perempuan. Gejala : Beberapa tanda-tanda pada Gangguan Kepribadian Paranoid, antara lain : 1. Kepekaan berlebihan terhadap kegagalan dan penolakan. 2. Kecenderungan untuk tetap menyimpan dendam, meskipun pada masalahmasalah kecil. 3. Kecurigaan dan kecenderungan pervasif untuk menyalah-artikan tindakan orang lain yang netral atau bersahabat sebagai suatu sikap permusuhan atau penghinaan. 4. Mempertahankan dengan gigih bila perlu dengan kekuatan fisik tentang hak pribadinya yang sebenarnya tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. 5. Kecurigaan yang berulang, tanpa dasar, tentang kesetiaan seksual dari pasangannya. 6. Kecenderungan untuk merasa dirinya penting secara berlebihan yang dinyatakan dalam sikap menyangkut harga diri yang menetap.

7. Dirundung oleh rasa persekongkolan dari suatu peristiwa terhadap baik diri pasien maupun dunia luar pada umumnya tanpa bukti. 8. Selalu waspada dan hati-hati yang berlebihan bila berurusan dengan orang lain. 9. Selalu menghindari hubungan interpersonal. E. Patofisiologi Individu yang mengalami paranoia merasa sendirian, diabaikan, dimata-matai, dan persepsi salah lainnya tentang adanya ancaman dari musuh. Delusi ini biasanya berpusat pada satu hal misalnya menyangkut masalah keuangan, pekerja, pasangan yang tdk dapat dipercaya atau masalah-masalah kehidupan lainnya. Orang yang mengalami kegagalan dalam bekerja akan mengembangkan sikap curiga seperti ada orang lain yang cembutu terhadap prestasi kerjanya sehingga ingin menjatuhkannya. Seorang paranoia memiliki alasan tertentu mengapa mereka curiga dan tidak mau menerima alasan lain yang sebenarnya lebih benar. Karena sikap curiga tersebut ia dapat melakukan interogasi terhadap mereka yang dianggap musuh. Banyak dari paronoia ini memiliki waham dimana ia seorang superior dan memiliki kemampuan yang unik. Terkadang mereka merasa mendapat mandat atau wahyu untuk menjalankan suatu misi suci, melakukan pembaharuan dan perubah sosial. Para paranoiac religius

mengembangkan keyakinan bahwa ia mendapat amanat dari Tuhan untuk menyelamatkan manusia dan melakukan khotbah-khotbah bahkan mengajak dilakukannya perang suci. Berkaitan dengan delusi yang dialami paranoiac dapat tampil dengan sangat sempurna, berbicara fasih dan terkesan memiliki emosian yang matang. Halusinasi dan ciri gangguan lain jarang ditemukan pada paranoiac ini. Mereka berupaya melakukan pembenaran dengan cara-cara yang logis agar dapat dipercaya. Dalam kasus ini sangat sukar dibedakan mana yang fakta atau hanya sekedar imaji. Mereka berupaya agar orangorang disekitarnya mempercayai apa yang dikatakannya. Mereka gagal untuk melihat fakta lain diluar apa yang mereka yakini dan kurang dapat membuktikan keyakinannya, kecurigaanya serta mereka menjadi tidak komunikatif saat ditanyakan mengenai delusinya tersebut 1. Faktor Predisposisi a. Faktor Perkembangan Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal yang dapat menaikkan stres, kecemasan dengan berakhir dengan gangguan persepsi.

Disamping itu karena pengurus proses tumbang yang tidak tuntas seperti BHSP tidak baik, kegagalan dalam mengungkapkan perasaan, pikiran serta proses kehilangan yang berkepanjangan. b. Faktor Sosial Budaya Pengalaman hidup yang patut, pengalaman tersebut menyebabkan individu menjadi cemas, merasakan ada sesuatu yang tidak menyenangkan, individu mencoba menggunakan koping dengan mengingkari ancaman/ dengan perilaku proyeksi. c. Faktor Fisik Intoksikasi alkohol, kekurangan gisi, hygiene perorangan yang buruk, sulit tidur. d. Status Emosi Ketakutan menjadi berbahaya, isolasi, pikiran yang di kontrol rasa curiga yang ekstrim, bermusuhan/ marah, perasaan rendah diri/ ketidak berdayaan, rasa malu, rasa bisalah, perasaan mendatar, tumpul tidak sesuai dengan keadaan. e. Status Intelektual Perasaan yang terpecah, paranoid, sombong, gagguan seksual, ketidakmampuan dalam mengambil keputusan f. Status Sosial Kegagalan dalam mengungkapkan pikiran, menarik diri, isolasi, cepat menyalahkan orang lain, hgangguan melakukan peran sosial, curiga

E. Klasifikasi Saat ini ada 2 jenis psikosis paranoid yang termasuk dalam kelompok gangguan paranoid, yaitu : 1. Paranoid, dimana terjadinya delusi yang berkembang secara perlahan kemudian menjadi rumit, logis dan sistematis serta hal tersebut berpusat pada delusi merasa dikejar-kerjar atau waham kebesaran. Meski adanya delusi, kepribadian penderita masih utuh, tidak ada disorganisasi yang serius dan tanpa halusinasi. 2. Paranoid state, terjadinya perubahan delusi yang paranoid dan cara berpikir menjadi tidak ligis serta munculnya ciri-ciri paranoia, meskipun belum menunjukkan perilaku yang aneh atau deteriorasi seperti yang ditemukan pada kasus schizophrenia paranoid. Biasanya kondisi ini berhubungan dengan stress yang kuat dan mungkin pula karena fenomena kefanaan. Paranoid states sering mewarnai gambaran klinis dari jenis gangguan patologis lainnya.

Namun, perhatian utama kita saat ini tertuju pada paranoia. Paranoia relatif sedikit ditemukan pada pasien yang dirawat di rumah sakit jiwa, namun hal ini mungkin terjadi karena kekeliruan dalam mengidentifikasi gangguan mental. Banyak para penemu/inventor, guru, eksekutif bisnis, reformer fanatik, pasangan pencemburu, orang-orang nyentrik yang mendalami suatu ajaran tertentu termasuk dalam kategori ini. Namun, uniknya mereka ini mampu mempertahankan eksistensinya di masyarakat. Dalam beberapa kasus diantara mereka ada yang berkembang menjadi seseorang yang sangat berbahaya.

F. Penanggualangan Pada tahap awal paranoid, penanganan secara kelompok maupun individual masih efektif, terutama apabila penderita memiliki kesadaran untuk memcari bantuan profesiona. Tehnik terapi tingkah laku menunjukkan hal-hal menjanjikan seperti, ide paranoid muncul karena berbagai kombinasi hal-hal yang tidak menyenangkan, berbagai faktor perubah dalam situasi kehidupan seseorang semakin memperkuat perilaku maladaptifnya dan berkembang menjadi cara yang ampuh untuk mengatasi permasalahannya. Sekali sistem delusi menetap, penanganan akan menjadi sangat sukar. Biasanya sulit berkomunikasi dengan paranoiac untuk mengatasi masalahnya dengan cara-cara yang rasional. Dalam situasi seperti ini penderita enggan berkonsultasi, tetapi mereka berusaha mencari pembenaran dan pengertian dari orang lain terhadap kesalahan yang mereka lakukan. Hal yang tidak menguntungkan adalah kurang begitu bermanfaatnya

merumahsakitkan paranoiac. Kepada paranoiac biasanya lebih efektif memberikan hukuman daripada penanganan. Mereka cenderung menunjukkan kesuperiorannya kepada pasien lain apabila di rumah sakit dan mengeluh apabila keluarga dan petugas kesehatan menempatkan mereka di rumah sakit tanpa alasan yang valid, sehingga mereka menolak bekerjasama dan berpartisipasi dalam kegiatan treatment. Dengan demikian kegagalannya untuk mengendalikan tindakan dan pikirannya dan sulitnya bekerjasama membuat mereka tinggal dalam waktu lama di rumah sakit. Hal ini membuat mereka susah untuk recovery. Meskipun demikian secara tradisional prognosa tentang paranoia kurang begitu bermanfaat. Pada saat awal mengidentifikasikan psikosis dengan schizophrenia dan paranoia, telah disepakati bahwa manifestasi klinis dari kasus ini harus dibedakan dengan gangguan

neurosis atau psikosomatik. Ciri schizophrenia jelas adanya kegagalan pemahaman /kontak dengan realitas dan terjadi disorganisasi kepribadian seperti gangguan dalam fungsi berpikir, afek/perasaan maupun masalah perilaku. Identifikasi sebagian besar jenis schizophrenia seperti acute, paranoid, katatonik, hebephrenic dan simple memperlihatkan perbedaan klinis untuk setiap jenis. Berbagai faktor penyebab masih sulit dipahami mengapa hal tersebut dapat berkembang. Meskipun demikian para ahli melihat adanya peran faktor genetik yang signifikan yang menyebabkan schizophrenia. Mungkin karena neuropshysiological atau perubahan biochemical yang mengganggu otak berfungsi normal, termasuk disini adalah kegagalan dalam menyeleksi mekanismenya. Penyebab yang tepat dari perubahan tersebut harus dapat dipastikan untuk menetukan apakah karena faktor genetik atau karena gangguan mental. Namun, harus pula diperhatikan penyebab psiikologis lainnya yang signifikan. Disamping itu faktor psikososial memegang peranan penting pula.Penanganan inovatif perlu dipertimbangkan seperti chemotherapy, terapi psikososial, program paska perawatan akan membuat kondisi penderita lebih baik.

G. Pengobatan Pengobatan paranoia sangat sulit. Metode utama pengobatan antara lain: 1. Metode psikoanalitik Dibandingkan dengan penyakit mental lainnya, pada gangguan ini metode tersebut kemungkinan sulit diterapkan karena pasien tidak mau bekerja sama dengan dokter. 2. Suntikan Insulin Beberapa pasien juga merespon pengobatan ini, tetapi tidak semua pasien bisa menerima pengobatan ini karena perasaan curiga yang dimilikinya. 3. Medikasi Medikasi atau pengobatan untuk gangguan kepribadian paranoid secara umum tidaklah mendukung, kecenderungan yang timbul biasanya adalah meningkatnya rasa curiga dari pasien yang pada akhirnya melakukan penarikan diri dari terapi yang telah dijalani. Para ahli menunjuk pada bentuk perawatan yang lebih berfokus kepada kondisi spesifik dari gangguan tersebut seperti kecemasan dan juga delusi, dimana perasaan tersebut yang menjadi masalah utama perusak fungsi normal mental penderita. namun untuk penanggulangan secara cepat terhadap penderita yang membutuhkan penanganan gawat darurat

maka penggunaan obat sangatlah membantu, seperti ketika penderita mulai kehilangan kendali dirinya seperti mengamuk dan menyerang ornag lain. Sama halnya dengan gangguan kepribadian lainnya, tidak ada obat medis yang dapat menyembuhkan secara langsung PPD. Penggunaan obat-obatan diberikan bila individu mengalami kecemasan berupa diazepam (dengan batasan waktu tetentu saja), penggunaan thioridazine dan haloperidol (anti psikotik) diberikan bila individu PPD untuk mengurangi agitasi dan delusi pada pasien. 4. Psikoterapi Psikoterapi merupakan perawatan yang paling menjanjikan bagi para penderita gangguan kepribadian paranoid. Orang-orang yang menderita penyakit ini memiliki masalah mendasar yang membutuhkan terapi intensif. Hubungan yang baik antara terapis dengan klien kunci kesembuhan klien. Walau masih sangat sulit untuk membangun suatu hubungan yang baik dikarenakan suatu keragu-raguan yang timbul serta kecurigaan dari diri klien terhadap terapis. Kesulitan yang dihadapi oleh terapist pada gangguan ini adalah penderita tidak menyadari adanya gangguan dalam dirinya dan merasa tidak memerlukan bantuan dari terapist. Kesulitan lain yang dihadapi terapis bahwa individu PDD sulit menerima terapis itu sendiri, kecurigaan dan tidak percaya membuat terapi sulit dilakukan. 5. Farmakoterapi. Farmakoterapi berguna dalam menghadapi agitasi dan kecemasan. Pada sebagian besar kasus, obat anti anxietas seperti diazepam dapat digunakan. Pemberian obat anti anxietas di indikasikan atas dasar adanya kecemasan dan kekhawatiran yang dipersepsi sebagai ancaman yang menyebabkan individu tidak mampu beristirahat dengan tenang. Diazepam dapat diberikan secara oral dengan dosis anjuran 10-30 mg/hari dengan 2-3 kali pemberian. Atau mungkin perlu untuk menggunakan anti psikotik, seperti thioridazine atau haloperidol, dalam dosis kecil dan dalam periode singkat untuk menangani agitasi parah atau pikiran yang sangat delusional. Obat anti psikotik pimozide bisa digunakan untuk menurunkan gagasan paranoid. 6. Hal-hal lain yang harus diperhatikan terapis adalah bagaimana terapis menjaga sikap, perilaku, dan pembicaraanya, individu PDD akan meninggalkan terapi bila ia curiga, tidak menyukai terapisnya. Terapis juga harus menjaga dirinya untuk

tidak melucu didepan individu PPD yang tidak memiliki sense of humor. Menjaga tidaknya konfrontasi ide-ide atau pemikiran secara langsung dengan pasien. 7. Terapi yang digunakan adalah Cognitive behavioral therapy (CBT), secara umum CBT membantu individu mengenal sikap dan perilaku yang tidak sehat, kepercayaan dan pikiran negatif dan mengembalikannya secara positif. Terapi kelompok dalam CBT, individu akan dilatih agar mampu menyesuaikan dirinya dengan orang lain, saling menghargai dan mengenal cara berpikir orang lain secara positif dan mengontrol amarahnya sehingga individu dapat menciptakan hubungan interpersonal yang baik. Perawatan untuk gangguan kepribadian paranoid akan sangat efektif untuk mengendalikan paranoia (perasaan curiga berlebih) penderita, namun hal itu akan selalu menjadi sulit dikarenakan penderita akan selalu memiliki kecurigaan kepada dokter atau terapis yang merawatnya. Jika dibiarkan saja maka keadaan penderita akan menjadi lebih kronis. Perawatan yang dilakukan, meliputi sistem perawatan utama dan juga perawatan yang berada di luar perawatan utama (suplement), seperti program untuk

mengembangkan diri, dukungan dari keluarga, ceramah, perawatan di rumah, membangun sikap jujur kepad diri sendiri, kesemuanya akan menyempurnakan dan membantu proses penyembuhan penderita. Sehingga diharapkan konsekuensi sosial terburuk yang biasa terjadi dari gangguan ini, seperti perpecahan keluarga, kehilangan pekerjaan dan juga tempat tinggal dapat dihindari untuk dialami oleh si penderita. Walau penderita gangguan kepribadian paranoid biasanya memiliki inisiatif sendiri untuk melakukan perawatan, namun sering kali juga mereka sendiri juga lah yang menghentikan proses penyembuhan secara prematur ditengah jalan. Demikian juga dengan pembangunan rasa saling percaya yang dilakukan oleh sang terapis terhadap klien, dimana membutuhkan perhatian yang lebih, namun kemungkinan akan tetap rumit untuk dapat mengarahkan klien walaupun tahap membangun rasa kepercayaan telah terselesaikan. Kemungkinan jangka panjang untuk penderita gangguan kepribadian paranoid bersifat kurang baik, kebanyakan yang terjadi terhadap penderita dikemudian hari adalah menetapnya sifat yang sudah ada sepanjang hidup mereka, namun dengan penanganan yang efektif serta bersifat konsisten maka kesembuhan bagi penderita jelas masih terbuka. Metode pengembangan diri secara berkelompok dapat dilakukan kepada penderita walau memiliki kesulitan saat pelaksanaannya. Kecurigaan tingkat tinggi dan rasa tidak percaya

pada penderita akan membuat kehadiran kelompok pendukung menjadi tidak berguna atau bahkan lebih parahnya dapat bersifat merusak bagi diri penderita.

II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian Selama pengkajian perawat harus mengumpulkan data tentang sifat paranoid dan pengaruhnya. Aspek aspek yang perlu dikaji : 1. Faktor Predisposisi a. Faktor Perkembangan Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal yang dapat menaikkan stres, kecemasan dengan berakhir dengan gangguan persepsi. Disamping itu karena pengurus proses tumbang yang tidak tuntas seperti BHSP tidak baik, kegagalan dalam mengungkapkan perasaan, pikiran serta proses kehilangan yang berkepanjangan. b. Faktor Sosial Budaya Pengalaman hidup yang patut, pengalaman tersebut menyebabkan individu menjadi cemas, merasakan ada sesuatu yang tidak menyenangkan, individu mencoba menggunakan koping dengan mengingkari ancaman/ dengan perilaku proyeksi. c. Faktor Fisik Intoksikasi alkohol, kekurangan gisi, hygiene perorangan yang buruk, sulit tidur. d. Status Emosi Ketakutan menjadi berbahaya, isolasi, pikiran yang di kontrol rasa curiga yang ekstrim, bermusuhan/ marah, perasaan rendah diri/ ketidak berdayaan, rasa malu, rasa bisalah, perasaan mendatar, tumpul tidak sesuai dengan keadaan. e. Status Intelektual Perasaan yang terpecah, paranoid, sombong, gagguan seksual,

ketidakmampuan dalam mengambil keputusan f. Status Sosial Kegagalan dalam mengungkapkan pikiran, menarik diri, isolasi, cepat menyalahkan orang lain, hgangguan melakukan peran sosial, curiga

2. Faktor Presipitasi a. Mengindentifikasi factor pencetus, termasuk kebutuhan yang terancam, misalnya : Kehilangan orang yang dicintai, baik kematian maupun perpisahan yang Kehilangan biopsikososial, seperti kehilangan salah satu anggota tubuh karena operasi, sakit, kehilangan pekerjaan, kehilangan peran social, kehilangan kemampuan melihat dan sebagainya. Kehilangan milik pribadi misalnya kehilagan harta benda, kehilangan kewarganegaraan, rumah kena gusur, dan sebagainya. Ancaman kehilangan misalnya anggota keluarga yang sakit, perselisihan yang hebat dengan pasangan hidup b. Mengidentifikasi persepsi klien terhadap kejadian. Persepsi terhadap kejadian yang menimbulkan krisis,termasuk pokok pikiran dan ingatan yang berkaitan dengan kejadian tersebut.

Apa arti / makna kejadian terhadap individu Pengaruh kejadian terhadap masa depan Apakah individu memandang kejadian tersebut secara realistic

c. Mengidentifikasi sifat dan kekuatan system pendukung Meliputi keluarga, sahabat dan orang orang penting bagi klien yang mungkin dapat membantu :

Dengan siapa klien tinggal, tinggal sendiri, dengan keluarga, dengan teman

Pakah punya teman tempat mengeluh Apakah bisa menceritakan masalah yang dihadapi bersama keluarga Apakah ada orang atau lembaga yang memberikan bantuan Apakah mempunyai keterampilan untuk mengganti fungsi orang yang hilang

d. Perilaku Berapa gejala yang sering ditunjukkan oleh individu:

B.

Perasaan tidak berdaya, kebingungan, depresi, menarik diri. Keinginan merusak diri sendiri atau orang lain Perasaan di asingkan oleh lingkungan Kadang kadang menunjukkan gejala somatic

Diagnosa keperawatan Kriteria Diagnostik Gangguan Paranoid berdasarkan DSM-IV : 1. Ketidakpercayaan dan kecurigaan yang pervasif kepada orang lain sehingga motif mereka dianggap sebagai berhati dengki, dimulai pada masa dewasa awal dan tampak dalam berbagai konteks, seperti yang ditunjukkan oleh empat (atau lebih) berikut : a. Menduga, tanpa dasar yang cukup, bahwa orang lain memanfaatkan, membahayakan, atau menghianati dirinya. b. Preokupasi dengan keraguan yang tidak pada tempatnya tentang loyalitas atau kejujuran teman atau rekan kerja. c. Enggan untuk menceritakan rahasianya kepada orang lain karena rasa takut yang tidak perlu bahwa informasi akan digunakan secara jahat melawan dirinya. d. Membaca arti merendahkan atau mengancam yang tersembunyi dari ucapan atau kejadian yang biasa. e. Secara persisten menanggung dendam, yaitu tidak memaafkan kerugian, cedera, atau kelalaian. f. Merasakan serangan terhadap karakter atau reputasinya yang tidak tampak bagi orang lain dan dengan cepat bereaksi secara marah atau balas menyerang. g. Memiliki kecurigaan yang berlulang, tanpa pertimbangan, tentang kesetiaan pasangan atau mitra seksual. 2. Tidak terjadi semata-mata selama perjalanan skizofrenia, suatu gangguan mood dengan ciri psikotik, atau gangguan psikotik lain dan bukan karena efek fisiologis.

Sedangkan kriteria diagnostik gangguan kepribadian paranoid menurut PPGDJ III: Gangguan kepribadian dengan ciri-ciri: a. Kepekaan berlebihan terhadap kegagalan dan penolakan;

b. Kecenderungan untuk tetap menyimpan dendam, misalnya menolak untuk memaafkan suatu penghinaan dan luka hati masalah kecil; c. Kecurigaan dan kecenderungan yang mendalam untuk mendistorsikan pengalaman dengan menyalah-artikan tindakan orang lain yang netral atau bersahabat sebagai suatu tindak permusuhan atau penghinaan; d. Perasaan bermusuhan dan ngotot tentang hak pribadi tanpa memperhatikan situasi yang ada (actual situation); e. Kecurigaan yang berulang, tanpa dasar (justification), tentang kesetiaan seksual dari pasangannya; f. Kecenderungan untuk merasa dirinya penting secara berlebihan, yang bermanifestasi dalam sikap yang selalu merujuk ke diri sendiri (self-referential attitude); g. Preokupasi dengan penjelasan-penjelasan bersekongkol dan tidak substantif dari suatu peristiwa, baik yang menyangkut diri pasien sendiri maupun dunia pada umumnya.

C. Diagnosis banding 1. Gangguan delusional , waham yang terpaku tidak ditemukan pada gangguan kepribadian paranoid 2. Skizofrenia paranoid, halusinasi dan pikiran formal tidak ditemukan pada gangguan kepribadian paranoid. 3. Gangguan kepribadian ambang, pasien paranoid jarang mampu terlibat secara berlebihan dan rusuh dalam persahabatan dengan orang lain seperti pasien ambang. Pasien paranoid tidak memiliki karakter antisosial sepanjang riwayat perilaku antisosial. 4. Gangguan schizoid adalah menarik dan menjauhkan diri tetapi tidak memiliki gagasan paranoid.
D. Rencana tindakan keperawatan

1.

Tujuan Umum
a. Klien dapat berfungsi kembali seperti sebelum terjadi krisis

b. Klien dapat meningkatkan perannya c. Klien menampakkan perilaku yang adekuat ( dampak krisis tidak terlihat )

d. Klien mampu meningkatkan system pendukung dalam menghadapi

krisis di kemudian hari 2. Tindakan keperawatan


a. Manipulasi Lingkungan

Intervensai yang secara langsung untuk merubah situasi yang bertujuan memberikan dukungan situasional atau kehilangan stress
b. Dukungan umum

Memberikan rasa aman dan naman bahwa perawat dengan sikap hangat, menerima, empati penuh perhatin berada di pihak klien untuk memberikan dukungan
c. Pendekatan umum

Intervensi diberikan untuk individu atau masyarakat dengan resiko tinggi sesegera mungkin, seperti krisis pada korban bencana. Membantu mereka menghadapi proses berduka
d. Pendekatan individual

Pendekatan ini termasuk menegakkan diagnose dan terapi terhadap masalah spesifik pada klien tertentu. Pendekatan individual ini efektif untuk semua jenis krisis ketika terdapat peristiwa mencederai diri sendiri dan orang lain. Teknis intervensi krisis bersifat aktif, local, dan ekspolarif yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah sesegara mungkin. E. Implementasi Implementasi dilaksanakan sesuai dengan rencana keperawatan kepada pasien. F. Evaluasi Beberapa hal yang perlu di evaluasi antara lain : a. Klien dapat menjalankan fungsinya kembali

b. Perilaku maladaptif atau gejala yang ditunjukkan oleh klien berkurang c. Klien dapat menggunakan mekanisme koping yang adaptif

d. Klien mempunyai sistem pendukung untuk membantu koping terhadap krisis yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA
Budi, Anna Keliat. 2009. Model PraktikKeperawatanProfesionalJiwa. Jakarta : EGC Dirjen Pelayanan Medik, DEPKES RI. 1994. Pedoman Perawatan Psikiatrik. Jakarta Forsell Y, Henderson AS. Epidemiology of paranoid symptoms in an elderly population. BJPsych. 1998; 172.Isaacs,Ann. 2004. Panduan Belajar Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatrik edisi 3. Jakarta : EGC.) Iyus, Yosep. 2007. KeperawatanJiwa. RefikaAditama : Bandung Kaplan & Sadok, Sinopsis Psikiatri Jilid 2, 1997, Binarupa Aksara, Jakarta Maramis, W.E. 1980. Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya. Airlangga University Press. Maslim R, editor. Buku saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPGDJ-III Jakarta: FK Unika Atmajaya; 2003. Maslim R. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. 3rd ed. Jakarta: PT Nuh Jaya; 2007. NANDA.2011. Diagnosis Keperawatan : Defenisi dan Klasifikasi. Jakarta : EGC Niven, Neil. 2000. Psikologi Kesehatan. Jakarta. EGC.

You might also like