You are on page 1of 8

Geofisika Gaya berat Penyelidikan gaya berat dimaksudkan untuk membuat peta anomali gaya berat dengan tujuan

mengetahui pola penyebaran batuan dan kondisi geologi serta struktur daerah tersebut, berdasarkan sebaran pola anomalinya. Metoda gaya berat pada dasarnya adalah mengukur besaran densitas batuan. Inhomogenitas batuan pembentuk litosfer akan memberikan kontras densitas batuan yang merupakan sasaran dalam pengukuran dengan metode ini, dimana keterdapatan struktur maupun perubahan jenis batuan baik secara vertikal maupun horisontal terdeteksi. Metoda gaya berat merupakan salah satu metoda penyelidikan dengan menggunakan hukum Newton II tentang gracitasi, yang mengukur adanya perbedaan kecil dari massa bumi yang besar. Perbedaan terjadi karena distribusi massa yang tidak meratanya distribusi massa jenis batuan. Adanya perbedaan massa jenis batuan dari suatu tempat dengan tempat lain, akan menimbulkan medan gaya berat yang tidak merata, dan perbedaan inilah yang terukur di permukaan bumi. Karena perbedaan gaya berat di suatu tempat dengan tempat lain relatif kecil, maka diperlukan alat ukur yang peka terhadap perbedaan tersebut dan alat tersebut disebut gravimeter. Hasil pengukuran gaya berat kemudian dikoreksi dengan berbagai koreksi yaitu koreksi pasang surut, koreksi drift, koreksi udara bebas, koreksi Bouguer, koreksi medan dan koreksi lintang sehingga menghasilkan suatu nilai anomali Bouguer. Hukum Newton II menyatakan bahwa gaya tarik menarik antara dua benda yang masing-masing mempunyai massa m1 dan m2 dengan jarak r, dirumuskan sebagai berikut: G m1m2 F(r) = R2

Dimana

= Gaya (Newton) Jarak antara dua massa r = benda (meter) m1,m2 = Massa benda (kg) G = Konstata umum gayaberat = 6.67 x 10-11m3/kg det3

Dalam metoda gayaberat, hanya komponen vertikal yang digunakan karena hanya komponen ini terdeteksi oleh instrumen gayaberat. Satuan yang digunakan dalam penyelidikan gayaberat adalah Gal (1 gal = 1 cm/det 2). Kenyataan bahwa bumi tidak bulat, tidak homogen dan tidak isotropis ditunjukkan dengan adanya harga percepatan gayaberat yang bervariasi untuk masing-masing tempat. Variasi ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain adanya suatu perbedaan massa jenis batuan pembentuk litosfer, perbedaan ketinggian, perbedaan posisi geografi dan akibat perbedaan posisi bulan terhadap bumi. Hal-hal ini merupakan koreksi dari pengukuran perbedaan gravitasi di lapangan. Pengambilan data lapangan gayaberat dilakukan di 195 titik lokasi pengukuran, yang tersebar secara acak (random) di sekitar G. Tangkubanparahu dan bagian puncaknya. Pengukuran gayaberat dilakukan dengan menggunakan satu buah alat gravimeter, LACOSTE & ROMBERG, TYPE D-117, dimana pembacaan maksimum alat pada skala 200. Pengambilan data lapangan menggunakan sistem looping, agar setiap titik amat di lapangan dapat terikat dan dikoreksi terhadap harga awal di BS, yang terletak jauh dari titik BS, maka dibuat titik bantu yang tetap dan diikat terlebih dahulu terhadap BS, sebelum titik lokasi pengambilan data di sekitar titik bantu diukur. Pengolahan data lapangan dilakukan dengan melakukan konversi harga pembacaan pada skala gravimeter terlebih dahulu. Untuk mendapatkan harga pembacaan dalam milligal (1 gal = 1cm/det2) dari hasil pembacaan alat, La Coste

Romberg inc. telah membuat suatu tabel konversi untuk setiap nomor skala gravimeter. Pada gravimeter La Coste Romberg model D 117, untuk setiap 10 unit counter mempunyai harga tertentu dalam milligal, dan setiap interval 10 unit counter mempunyai faktor interval. Disamping konversi harga pembacaan, tindakan selanjutnya adalah melakukan reduksi dengan cara melakukan berbagai koreksi terhadap hasil konversi seperti telah disebutkan pada paragraf sebelumnya. Hasil pengolahan data gayaberat G. Tangkubanparahu diinterpretasi- kan bahwa harga tinggi mendominasi daerah selatan dan secara gradual menurun dari Lembang dan sekitarnya ke arah utara, timur dan barat. Nilai terendah menduduki bagian utara peta. Secara praktis, hal ini merupakan pencerminan besarnya pengaruh topografi, ketinggian terhadap nilai gayaberat (Palgunadi, S & Y. Hidayat, 2000). Dari hasil interpretasi pengolahan data dapat disimpulkan bahwa pola anomali gayaberat G. tangkubanparahu memberi gambaran bahwa kaldera Sunda, sebagai hasil letusan paroksisma G. Sunda mempunyai harga positif menyebar dari selatan-utara-baratlaut dan timurlaut. Sebaran harga anomali gayaberat rendah di dalam Kaldera Sunda, dapat diasosiasikan dengan adanya sesar sebagai zona lemah, yang dapat memberikan kemudahan terjadinya intrusi magma melalui bidang ini, dan menyebabkan terbentuknya dyke (Palgunadi & Y. Hidayat, 2000). G.Tangkubanparahu muncul pada bidang sesar berarah barat-timur, Zona lemah yang terdapat di bagian selatan dan barat memungkinkan berlangsungnya aktifitas G. Tangkubanparahu sekarang. Perpindahan kawah-kawah G. Tangkubanparahu akan mengikuti arah bidang sesar ini (Palgunadi & Hidayat, 2000). Harga anomali rendah di selatan Lembang diperkirakan berasosiasi dengan keberadaan sesar Lembang. Sturuktur sesar ini ditampilkan dengan jelas

oleh pola anomali sisa magnet. Sumber air panas di Ciater kemungkinan akibat adanya pemanasan air bawah tanah yang berasal dari G. Tangkubanparahu mengalir melalui bidang sesar (Hadisantono & Soetoyo, 1983, Palgunadi & Hidayat, 2000). Penyelidikan geomagnet Penyelidikan geomagnet di G. Tangkubanparahu dilakukan dengan maksud untuk membuat peta anomali magnet dengan tujuan mengetahui pola sebaran batuan dan kondisi geologi serta stuktur daerah tersebut berdasarkan pola anomalinya. Pada dasarnya penyelidikan magnet adalah mengukur besaran magnet bumi yang ditimbulkan oleh berbagai sumber, baik yang ada di dalam perut bumi itu sendiri maupun adanya pengaruh luar, seperti radiasi matahari. Medan magnet bumi dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu medan magnet total/regional dan magnet lokal. Jika F adalah komponen medan magnet total dengan inklinasi I dan deklinasi D, maka hubungannya dengan komponen horizontal H dan vertikal Z adalah seperti berikut: F2 = H2 + Z2= X2 + Y2 + Z2 H = F cos i, Z = f sin i, X = H cos d Y = H sin d

tan I= Z/H tan d = Y/X

Berdasarkan beberapa parameter seperti gaya magnet, kuat medan magnet, momen magnet, intensitas magnetisasi dan suseptibilitas magnet, maka peta anomali kemagnetan di G. Tangkubanparahu dapat diperoleh dan diinterpretasikan baik untuk penyebaran batuan, kondisi geologi maupun struktur geologi yang ada di daerah tersebut. Berdasarkan interpretasi hasil penyelidikan geomagnet oleh S. Palgunadi & Y. Hidayat, 2000 maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

Pola anomali magnet G. Tangkubanparahu memberi gambaran prakiraan kaldera Sunda dengan bentuk elips relatif berarah tenggara-baratlaut. Sebaran anomali magnet tinggi dengan membentuk kelurusan bulatan-bulatan kontur di dalam kaldera Sunda, dapat diasosiasikan dengan terdapatnya batuan terobosan (dyke?) melalui sesar barat-timur melewati puncak, dimana hal ini didukung oleh terdapatnya harga positif dari anomali gaya berat. G. Tangkubanparahu muncul pada jalur sesar berarah barat-timur, dimana sebagian intrusi magma telah membeku membentuk suatu dike. Zona lemah yang terdapat di dagian selatan dan barat, memungkinkan berlangsungnya aktifitas G. Tangkubanparahu saat ini. Perpindahan titik-titik aktivitas (kawah) G. Tangkubanparahu mempunyai trend arah sesar yaitu barat-timur. Struktur sesar sangat menonjol ditampilkan oleh pola anomali sisa magnet (Contoh: Sesar Lembang). Sumber air panas di Ciater, dimungkinkan akibat adanya pemanasan air bawah permukaan yang berasal dari G. Tangkubanparahu yang mengalir melalui bidang sesar. Penyelidikan Deformasi Penyelidikan deformasi dimaksudkan untuk mengetahui perubahan bentuk yang terjadi akibat adanya dorongan magma dari dalam dapur magma (pembubungan) sehingga terjadi penggembungan tubuh gunungapi pada saat gunungapi akan meletus. Setelah terjadi letusan biasanya tubuh gunungapi tersebut akan mengempis kembali, bahkan sering lebih kecil atau di bawah kondisi semula. Perubahan bentuk tersebut bervariasi antara 30 cm 1m bahkan G. St. Helens mencapai 2m/hari selama hampir 6 minggu sebelum meletus pada bulan Mei 1980. Dengan pengukuran yang teliti dan berkelanjutan menggunakan tiltmeter yang peka maka perubahan tersebut dapat diukur.

Pengukuran deformasi jarak horizontal di Tangkubanparahu dilakukan dengan cara mobile dan permanen dengan menggunakan Range Master III dan Distomat (DI 20). Lintasan terjauh pengukuran jarak horizontal adalah antara Kawah Baru -- Gunung Malang dan RT-1 Gunung Malang. Untuk mengetahui kemampuan peralatan distomat telah digunakan pengukuran terhadap jarak lintasan RT 1 G. Malang dengan jarak 5.583.974 mm dan Wates KRT II sejauh 2.487.506 mm. Reflektor yang digunakan adalah reflektor K & E dan reflektor Sokisha sebanyak 1 reflektor, 2 reflektor dan 3 reflektor. Dengan menggunakan cara tersebut, ternyata bahwa dengan menggunakan 1 reflektor tidak bisa memperoleh sinar balik yang dikirimkan dari alat baik oleh reflektor K & E maupun reflektor Sokisha (RT I- G. Malang). Lain halnya dengan menggunakan dua reflektor, atau 3 reflektor untuk jarak lintasan RT I G. Malang. Pengukuran lainnya yaitu jarak Wates RT II dengam menggunakan satu reflektor baik reflektor K & E maupun Sokisha, memperoleh sinar balik yang memuaskan. Dari hasil pengukuran tersebut di atas diperoleh gambaran bahwa penggunaan alat ukur distomat (DI 20) untuk jarak 2-3 km dapat digunakan satu reflektor. Untuk memperoleh nilai jarak horisontal dari mark ke mark digunakan rumus koreksi PPM yang berbeda. Untuk kedua alat (Range Master III) dan Distomat (DI 20) diantaranya : Koreksi Range Master III PPM = ( 310.4 107.925 x P) x 10-6 273.2 + T D1 = D0 + D0. PPM D2 = (D1 Cos sin 1 ER + HR E1 H1 + ( ER E1) 2 D1 Dimana D0 D1 D2 = = = rata-rata jarak yang belum dikoreksi jarak dengan koreksi PPM jarak mark ke mark, adapun rumus yang digunakan Distomat (DI 20) adalah

PPM = 282,2 - 0,2908 P 1 + 0,00366 dimana t = temperatur dalam 0C P = tekanan dalam mb dan kolom digunakan satuan mmHg, perbandingannya adalah : 1 mmHg = 1,33 bar Berdasarkan analisis data hasil pengukuran deformasi yang dilakukan diperoleh suatu asumsi bahwa tidak terlihat suatu pembubungan tubuh gunungapi, bahkan terlihat suatu pola pengkerutan yang menunjukkan relatif tidak adanya suatu stress magma yang mengakibatkan suatu inflasi tubuh gunungapi, bahkan sebaliknya terlihat adanya suatu pola pengempisan. Adanya suatu pola pengempisan ini dapat mengindikasikan bahwa kegiatan gunungapi tersebut mengalami penurunan (Said, 1988). Penyelidikan Potensial Diri (Self potential) Penyelidikan potensial diri (SP) di G. Tangkubanparahu tidak dilakukan secara reguler namun hanya insidentil. Penyelidikan potensial diri (SP) dilakukan dengan maksud untuk mengetahui adanya anomali suhu yang menonjol dan hubungannya dengan topografi gunungapi. Gradien suhu, variasi komposisi batuan (lava, endapan jatuhan piroklastik, endapan awan panas & endapan freatik) dan adanya pelepasan gas-gas vulkanik dari magma merupakan faktor penunjang adanya anomali potensial diri. Penyelidikan potensial diri/tahanan jenis yang pernah dilakukan di G. Tangkubanparahu adalah di daerah kawah Ratu dan Kawah Upas. Hasil penyelidikan yang dilakukan tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara SP dengan zona panas adalah sangat erat. Di dalam kawah Upas tidak didapatkan anomali +, namun pada batas antara kawah Upas dan Ratu, anomali + tertinggi yang menerus ke kawah Ratu. Hal ini menunjukkan bahwa akumulasi zona panas didapatkan pada sektor tersebut. Adanya anomali + dan di daerah ini dapat diterangkan dengan sistem panasbumi sebagai efek elektro-filtrasi (L.Ramli dkk, 1984).

Di satu fihak, daerah-daerah panas (fumarola) dimana uap air naik akibat pemanasan dari bawah menyebabkan anomali +, di lain fihak, dapat digambarkan bahwa adanya zona-zona kondensasi air yang turun lewat gravitasi membentuk sistem kecil panas bumi. Ketelitian ini dapat menghasilkan anomali negatif yang dapat digunakan untuk membatasi zona fumarola dengan ketelitian tertentu (L.Ramli dkk, 1984).

You might also like