You are on page 1of 23

POLITIK PENDIDIKAN DI DAERAH DAN PROBLEM DESENTRALISASI PENDIDIKA N1) Oleh: Arif Rohman 2)

Keterkaitan Pendidikan dan Politik Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan pendidikan selalu terkait dan terikat dengan aneka dimensi lain dalam kehidupan masyarakat, seperti sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Keterkaitan diantara mereka tersebut mengalami fluktuasi menuju pada pola hubungan saling mempengaruhi antar mereka dengan intensitas yang amat bervariasi . Lebih-lebih terhadap dimensi kehidupan politik, keterkaitan praktek penyelenggaraan pendidikan dengannya mencakup segenap lini termasuk pada wilayah yang amat penting yaitu kekuasaan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Paulo Freire 3, seorang ahli pendidikan berkebangsaan Brasil, yang menyebutkan, pendidikan selalu bersinggungan dengan kekuasaan . Sebagai suatu kawasan yang terkait dan terikat dengan kekuasaan, maka pendidikan tidak bisa dianggap sebagai kawasan yang bersifat sui generi. Dalam pandangan positif, kawasan pendidikan merupakan suatu kawasan yang membutuhkan campur tangan

kekuasaan agar dapat dioptimalkan menjadi lebih baik; Namun dalam pandangan negatif, persinggungan pendidikan dengan kekuasaan selalu berujung pada pemanfaatan pendidikan demi kepentingan penguasa. Menurut banyak ahli, pendidikan --khususnya jenis formal-- dalam sejarahnya selalu berhubungan dengan kekuasaan negara. Hubungan dan persinggungan tersebut tampaknya berlangsung terus dan akan tetap terus berlangsung, meskipun keduanya mengalami pergeseran masing-masing seiring dengan perubahan dan tuntutan jaman. Pada satu sisi, penyelenggaraan pendidikan akan mengalami pergeseran dalam beberapa unsur di dalamnya; pada sisi yang lain, sistem penyelengg araan negara juga mengalami perubahan dalam setiap periode waktu. Perubahan penyelenggaraan pendidikan ini antara lain menyangkut manajemen pendidikan, misalnya dari centralized management menjadi decentralized management ; dari state based school development menjadi community based school development ; dan lain-lain.
1

Makalah dipresentasikan pada Workshop Penyusunan Raperda Pendidikan Daerah tanggal 4-6 Agustus 2010 di Grand Quality Hotel Yogyakarta. Staf Pengajar pada program studi Kebijakan Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Edward Stevens and George H. Wood. 1987. Justice, Ideology, and Education: An Introduction to the Socia l Foundations of Education . New York: Random House. Page 149.

Sedangkan perubahan sistem penyelenggaraan negara misalnya dari sistem

monarkhi

berubah menjadi aristokrasi , timokrasi , oligarkhi, poliarkhi, dan demokrasi. Meskipun keduanya mengalami perubahan dalam periode sejarah tertentu sebagaimana disebut, namun keduanya selalu mengalami persinggungan. Persinggungan antar keduanya tersebut menurut Edward Stevens dan George H. Wood
4

sebenarnya bersumber dari adanya systems of beliefs yang sama. Dengan systems of beliefs ini suatu cita-cita ideal masyarakat dan pendidikan hendak dibangun. Systems of beliefs secara awam dipahami sebagai ideologi. Oleh karenanya, menurut Andi Makkulua 5 pelaksanaan pendidikan selalu ditentukan oleh corak ideologi suatu negara. Dalam hal ini, ideologi dimaksudkan sebagai sekumpulan ajaran (the body of doctrine) , mitos, simbol-simbol, dan lain-lain yang berbentuk nilai-nilai bagaimana sebuah cita-cita sosial (social ideals) hendak diwujudkan. 6 Adapun, lembaga-lembaga pendidikan yang ada merupak an salah satu alat untuk mewujudkan cita-cita sosial tersebut. Ketika sebuah ideologi diterapkan dalam rangka menggapai cita -citanya, sebenarnya mengharuskan adanya kekuasaan politik yang memiliki kewenangan mengatur kehidupan tertentu dalam masyarakat; t ermasuk di dalamnya adalah kehidupan atau pembangunan pendidikan. Sehingga pada tataran inilah sesungguhnya pendidikan mengalami persinggungan dengan kekuasaan politik dari negara. Dalam konteks ini, negara secara obyek tif diartikan sebagai suatu wilayah yang dihuni oleh sejumlah penduduk yang memiliki sistem pemerintahan sendiri secara otonom serta memperoleh pengakuan dari negara lain. Sedangkan, secara subyektif negara diartikan sebagai sekumpulan individu yang menduduki posisi yang memiliki kewenangan dalam membuat dan melaksanakan keputusan yang mengikat semua pihak yang ada di wilayah tertentu. Termasuk ke dalam wilayah ini adalah presiden, para menteri, dan para Kepala daerah beserta jajarannya.7 Untuk Indonesia, pengertian negara menurut Arief Budiman,8 ada dua pokok pengertian. Pertama , negara merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan yang sangat besar di dalam masyarakat. Negara dapat memaksakan kehendaknya kepada warga, bahkan kalau perlu negara memiliki legitimasi untuk menggunakan kekerasan fisik dalam memaksakan kepatuhan masyarakat terhadap perintah -perintah yang dikeluarkannya. Kedua, kekuasaan yang sangat
4 5

6 7

Edward Stevens and George H. Wood. 1987. (Ibid) hal 149. Andi Makkulua. 1996. Perkembangan Kebijakan Pendidikan Dalam Lima Puluh Tahun Indonesia Merdeka . Makalah Konvensi Pendidikan Indonesi III di Ujung Pandang 4 -7 Maret 1996. Edward Stevens and George H. Wood. 1987. (opcit). Eric Nordlinger dalam Ramlan Surbakti. 1993. Perspektif Kelembagaan Baru Mengenai Hubungan Negara dan Masyarakat. Jurnal Ilmu Politik No-14 Jakarta: AIPI-LIPI-Gramedia Pustaka Utama. Arief Budiman. 1997. Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideolgi . Jakarta: Gramedia. Hal.3

besar tersebut diperoleh karena negara merupakan pelembagaan dari segenap kepentingan umum. Sebagai lembaga yang mewakili kepentingan umum ini, negara dapat memaksakan kehendaknya melawan kepentingan -kepentingan pribadi atau kelompok minoritas yang secara kuantitatif kecil artinya dibanding keseluruhan anggota masyarakat. Dua pokok pengertian di atas, sebenarn ya berpijak pada teori negara pluralis yang menandaskan pada netralitas negara terhadap semua pihak. Namun teori tersebut ditentang oleh teori negara dari kaum Marxis . Menurut kaum Marxis, negara seharusnya melindungi kelompok masyarakat marginal yang le mah seperti kaum buruh, petani, nelayan, kaum perempuan, dan kelompok masyarakat lainnya yang menderita. Namun kenyataannya negara seringkali memihak kepada kelompok dominan yaitu kaum kapitalis. Oleh karena itu, yang menjadi kunci permasalahannya adalah b agaimana sebuah kekuasaan negara dijalankan? Serta, bagaimana kekuasaan tersebut diorientasikan? Menurut Michael Foucault 9 bahwa proses dan mekanisme penyelenggaraan kehidupan bernegara atau proses kekuasaan dijalankan disebutkan dengan istilah teknologi kekuasaan, di mana proses ini dilaksanakan oleh sebuah rezim entah itu demokratis, otoriter, ataupun totaliter. Disamping itu dalam proses penyelenggaraan kekuasaan negara tersebut apakah kekuasaan itu terdistribusi atau tidak? Dalam konteks ini terdapat tiga teori yang membahas mengenai ini, yaitu teori: (a) elitis, (b) pluralis, dan (c) populis. Pendapat Andrain yang dikutip Ramlan Surbakti 10 menyebut bahwa bila suatu kekuasaan selalu terkonsentrasi pada tangan minoritas kecil atau segelintir elit disebu t model elitis . Bila kekuasaan sudah terdistribusi secara luas dan merata kepada banyak kalangan namun masih cenderung hanya pada kelompok kelompok kepentingan, disebut model pluralis . Sedangkan bila kekuasaan telah terdistribusi ke seluruh individu warga negara disebut model populis . Oleh karena kekuasaan negara yang begitu besar mencakup segenap kehidupan masyarakatnya, maka tidak bisa dipungkiri bahwa negara juga mengatur kehidupan pendidikan. Negara memiliki kepentingan terhadapny a, sebaliknya dunia pendidikan juga menaruh harapan besar atas perhatian negara atasnya. Bila hal ini berjalan normal, maka keterkaitan antara pendidikan dan negara bisa berlangsung secara mutualistik-fungsional . Dalam kenyataannya, keterkaitan atau persinggungan antar keduanya ternyata berjalan secara bervariasi, dimana pada suatu saat bisa berlangsung secara mutualik-fungsional dengan posisi masing-masing memperoleh keuntungan atas hubungan tersebut, namun pada

10

Michael Foucault dalam Tomy F. Awuy. 1999. Tehnologisasi Kekuasaan (Artikel). Jakarta: Kompas 5 September 1999. Ramlan Surbakti. 1993. Himpunan Teori-Teori Politik . Surabaya: FISIP Universitas Airlangga. Halaman 74.

saat yang lain juga dapat terjadi hubungan secara eksploitatif-dependensial dimana pihak satu mendapat banyak keuntungan sementara pihak lain memperoleh kerugian . Hubungan eksploitatif atau hubungan yang kurang seimbang ini bisa terjadi manakala, di satu sisi pendidikan mengeksploitasi negara seperti yang terjadi pada abad pertengahan dimana lembaga-lembaga pendidikan skolastik memanfaatkan gereja dan negara untuk mencapai puncak kemajuannya. Namun pada sisi lain terjadi juga dimana pihak negara mengeksploitasi sekolah dan pendidikan pada umumnya, sebagaimana disinyalir oleh banyak pihak bahwa situasi semacam ini pernah terjadi di Indonesia pada era penjajahan dan era Orde Baru. Bentuk nyata atas hubungan keterkaitan keduanya yang paling menonjol adalah: pertama, dilihat dari sudut pandangan kepentingan pendidikan, mereka memerlukan dukungan politik dari negara untuk terciptanya kelancaran usaha menuju cita-cita pendidikan

sebagaimana harapan para konstituennya; kedua, dilihat dari sudut pandangan negara, ia membutuhkan pendidikan dalam r angka memenuhi kewajibannya sebagaimana telah diamanatkan oleh konstitusi, agar mendapat citra positif di mata masyarakat. 11 Dengan adanya pendidikan, negara akan memperoleh legitimasi lebih kuat khususnya dari kalangan warga sekolah dan universitas. Selain itu, negara juga berkepentingan terhadap lembaga pendidikan untuk digunakan sebagai agen dalam meningkatkan watak dan kesadaran jiwa nasionalisme (caracter and nation building) para warga negara. Karena negara berkewajiban membina dan menjaga lestarinya semangat nasionalisme warganya. Kedekatan hubungan diantara keduanya antara pendidikan dengan kekuasaan negara di atas, tidak selamanya bisa berlangsung secara fungsional-mutualis , tetapi sering terjadi di berbagai tempat dan waktu hubungan tersebut berlang sung secara tidak seimbang . Hal ini menyebabkan hubungan tersebut hanya akan menguntungkan satu pihak saja terutama negara, sedangkan pihak lembaga sekolah dan universitas kurang diuntungkan bahkan ditindas untuk melayani kepentingan kekuasaan negara. Proses penindasan negara terhadap pendidikan tersebut terjadi bila: pertama, sistem kekuasaan negara dijalankan secara otoriter bahkan totaliter yang hanya mementingkan kepentingan negara semata. Meskipun juga diakui, ada sistem kekuasaan yang dijalankan secara totaliter, namun keseluruhan perhatian dan keberpihakannya banyak tertuju kepada kesejahteraan sosial masyarakat (social welfare) . Kedua, watak birokrasinya cenderung

11

Baca dan cermati Pasal 31 Undang -Undang Dasar 1945 yang menyebutkan Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran dan Pemerintah (berkewajiban, pen.) mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional .

patrimonial dan serakah, dengan berprinsip state qua state atau state qua itself .12 Ketiga, Kondisi sumberdaya dan sumberdana sekolah dan universitas yang masih lemah sehingga kurang mampu memiliki nilai tawar dan kurang bisa mengimbangi terhadap kekuatan negara. Keempat, adanya partisipasi sosial (social participation) masyarakat yang masih rendah; serta kelima, umumnya berlangsung di negara -negara yang sedang membangun atau terbelakang dimana militer masih sangat dominan, seperti Indonesia di era Ode Baru.

Proses Politik dalam Pendidikan Bahwa proses politik mencakup banyak segi, sal ah satu diantaranya adalah proses perumusan dan pelaksanaan keputusan politik. Setiap kegiatan politik selalu berkaitan dengan bagaimana proses perumusan dan pelaksanaan keputusan politik. Kata lain dari keputusan politik adalah kebijakan politik sebagai w ujud dari tindakan politik. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Nevil Johnson dan United Nations yang mengartikan kebijakan politik sebagai perwujudan dari tindakan politik. 13 Bila dalam konteks negara, kegiatan politik di dalamnya berkaitan dengan proses pembuatan atau perumusan serta implementasi keputusan politik yang bersifat publik. Keputusan politik suatu negara merupakan suatu kebijakan publik (public policy) . Wujud paling kongkrit dari kebijakan publik dari negara adalah peraturan pemerintah, keputusan menteri, keputusan presiden, undang-undang, dan lain-lain. Dalam proses pembuatan kebijakan publik, proses -proses politik sangat kental mewarnainya. Mulai dari pemunculan i ssu, kemudian berkembang menjadi debat publik melalaui media massa serta forum -forum terbatas, lalu ditangkap aspirasinya oleh partai politik untuk diartikulasikan dan dibahas dalam lembaga legislatif, sehingga menjadi kebijakan publik. Bahkan terkadang, proses tersebut bila berlangsung lebih singkat. Misalnya diawali dari munculnya issu-issu, kemudian berkembang menjadi debat publik, lalu ditangkap aspirasinya oleh pemerintah yang dituangkan dalam sebuah peraturan pemerintah. Kesemua hal di atas menanda kan bahwa kebijakan-kebijakan publik terlahir melalui proses-proses politik yang tidak sederhana. Bahkan sering terjadi, di dalam proses -proses politik tersebut muncul konflik -konflik politik antar beragam kepentingan yang tidak bisa

12

13

Michael Van Langenberg dalam Yudi Latif dan IS Ibrahim. 1996. Bahasa dan kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru . Bandung: Mizan. hal 223 Solichin Abdul Wahab. 1997. analisis Kebijaksanaan: dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara . Jakarta: Bumi Aksara. Hal 3

dipertemukan. Biasanya konflik-konflik tersebut akan reda manakala berbagai kepentingan yang ada telah terjadi titik temu. Ada tiga proses politik sebelum kebijakan dirumuskan. Pertama , adalah proses akumulasi aspirasi. Pada tahap ini tuntutan dan aspirasi banyak bermunculan di masyarakat lewat issuissu serta diskursus publik. Melalui jangka waktu tertentu, segenap tuntutan yang ada pada akhirnya mengalami akumulasi, dan mengelompok dalam beberapa jenis dan macam tuntutan. Kedua, adalah proses artikulasi. Pada tahap ini semua t untutan yang ada diperjuangkan oleh masing-masing pemiliknya atau perwakilannya untuk bisa diakomodasi dalam rumusan kebijakan. Ketiga, adalah proses akomodasi. Pada proses yang ketiga ini, tidak semua tuntutan bisa diakomodasi. Hanya beberapa aspirasi dan tuntutan dari kelompok tertentu yang bisa terakomodasi di dalamnya. Pada tahap akumulasi , biasanya semua tuntutan dan aspirasi yang bermunculan di masyarakat lewat issu-issu serta diskursus publik yang diintrodusir oleh anggota -anggota masyarakat yang tergabung dalam aneka macam kelompok kepentingan. Kehadiran kelompok kepentingan (interest groups) dalam proses politik adalah hal yang wajar. Lebih -lebih dalam masyarakat atau negara yang menjunjung tinggi semangat demokrasi, kehadiran kelompok ini justru didorong dan diberi disalurkan resmi untuk ikut berpatisipasi dalam perumusan dan penerapan kebijakan-kebijakan publik. Kelompok kepentingan (interest groups) menurut Almond 14, merupakan semua organisasi yang berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah tanp a pada saat yang sama berkeinginan untuk memperoleh jabatan publik. Pernyataan ini sangat jelas bahwa kehadiran kelompok kepentingan berusaha untuk terlibat dalam mempengaruhi terhadap setiap perumusan dan penerapan kebijakan-kebijakan publik, tanpa harus mengejar bahkan merebut kedudukan dan jabatan publik. Hal ini berbeda dengan partai politik, dimana upayanya dalam mempengaruhi kebijakan publik adalah untuk memperoleh jabatan publik. Meskipun juga harus diakui ada kelompok kepentingan politis (political interest groups ) dan kelompok kepentingan non -politis (non-political interest groups) .15

14

15

Gabriel A. Almond. 1974. Interest Groups and Interest Articulation dalam Gabriel A. Almond (ed). 1974. Comparative Politics Todays: A World View . Boston: Crown and Company. Hal. 74 Mark N. Regimes Hagopian. 1978. Regimes, Movement, and Ideologies. New York & London: Longman Inc. Hal. 351.

Namun dari kedua jenis kelompok kepentingan yang dikotomik tersebut dapat dibuat suatu kontinum mulai dari paling apolitik sampai dengan kelompok kepentingan yang paling terpolitis, sebagaimana dijelaskan oleh Hagopian 16: Tampilan-1 Rentangan Kontinum Kelompok Kepentingan
Unions Business Farmer Group Reformer Or reveluSionary Groups 100

Artistic Societies 0 50

Religious Group

Dari rentangan kontinum yang telah dibuat oleh Hagopian tersebut menunjukkan bahwa semua kelompok kepentingan pada dasarnya memiliki keterlibatan politik meskipun pada tataran yang sangat minimal, serta tidak ada sa tu kelompok kepentingan pun yang dapat menjauh sama sekali dalam keterlibatan politik. Melengkapi pendapat di atas, Almond membagi kelompok kepentingan ke dalam empat kelompok: (1) kelompok anomik (anomic groups) , (2) kelompok non-assosiasional (nonassociational groups) , (3) kelompok institusional assosiasional (associational groups) .17 Kelompok anomik merupakan suatu gerakan-gerakan masyarakat yang berbentuk penekan yang bersifat spontan terhadap sistem politik. Kelompo k seperti ini dapat dilihat dalam wujud: kerusuhan, demonstrasi, tindakan kekerasan politik, sikap -sikap apatis masyarakat, dan lain-lain. Letupan-letupan spontan tersebut muncul terutama jika kelompok yang terorganisir absen atau kurang bisa mewakili seca ra memadai dalam sistem politik. Kelompok non-assosiasional sebenaranya juga seperti kelompok anomik yakni tidak terorganisir secara formal dan rapi dengan aktifitas kegiatan indisidental. Namun kelompok ini sedikit lebih tampak dalam komunitas alamiah yan g tidak terwakili oleh suatu organisasi formal. Seperti dalam kekerabatan, keturunan, etnik, regional, status, kelas sosial, dan lain sebagainya. Dalam perkembangannya, kelompok jenis ini bisa menata diri dan memperbaiki diri menjadi kelompok institusional yang semakin terlembaga. Sedangkan kelompok assosiasional merupakan kelompok yang sudah menyatakan kepentingannya secara eksplisit dari suatu kalangan khusus bahkan lebih jauh lagi ada yang (institutional groups) , (4) kelompok

16 17

Mark N. Regimes Hagopian. 1978. (ibid). Gabriel A. Almond. 1974. Interest Groups.. (opcit). Hal. 82

sudah menampakkan afiliasi politiknya terhadap partai politik ter tentu. Seperti serikat buruh, organisasi pengusaha, organisasi kepemudaan, kaum industrialis, kelompok -kelompok profesi, dan lain-lain. Setelah mengalami tahap akumulasi dalam permusan kebijakan publik, proses ini kemudian berlanjut pada tahap artikulasi . Pada tahap ini semua tuntutan termasuk tuntutan dari semua kelompok kepentingan yang ada selanjutnya diperjuangkan oleh masing -masing pemiliknya atau melalui perwakilan partai politik. Pada tahap artikulasi ini, terkadang antar kelompok terjadi benturan ke pentingan. Masing-masing menginginkan kehendaknya bisa terwadahi dalam proses politik. Benturan kepentingan antar kelompok kepentingan akan reda dan tidak menajam manakala disalurkan melalui lembaga politik yang ada, sebaliknya benturan tersebut akan memuncak dan menajam manakala tidak dislurkan bahkan tidak ada saluran resmi yang mampu memadukan antar kepentingan tersebut. Adapun pada tahap terakhir yaitu tahap akomodasi dimana masing-masing kepentingan yang telah diartikulasikan oleh masing -masing pemiliknya harus segera diakomodasi dalam rumusan kebijakan. Tentu saja pada tahap ketiga ini, tidak semua tuntutan bisa diakomodasikan. Hanya beberapa aspirasi dan tuntutan da ri kelompok tertentu yang bisa terakomodasi di dalamnya. Dalam perspektif politik, tiga tahap dalam perumusan kebijakan publik di atas sebenarnya mencakup semua jenis kebijakan publik yang ada. Semuanya jenis kebijakan publik dicapai atau dirumuskan melalui proses-proses yang panjang mulai dari akumulasi, artikulasi, dan akomodasi. Adapun beberapa kebijkan publik yang ada dapat diklasifikasikan ke dalam tiga macam, yaitu:, yaitu: (a) Kebijakan dalam hal alokasi dan distribusi sumber -sumber, (b) Kebijakan dalam hal penyerapan sumber-sumber material dan manusiawi (ekstraktif), dan (c) Kebijakan politik dalam hal pengaturan perilaku. 18 Sehingga secara umum kebijakan publik secara tidak langsung juga dibedakan menjadi tiga bentuk tersebut, yaitu: 1. Kebijakan dalam Alokasi dan Distribusi Sumber Kebijakan publik dalam hal alokasi dan distribusi sumber ini adalah pembagian dan penjatahan sumber-sumber baik yang bersifat material -jasmaniah maupun yang bersifat spiritual-rokhaniah, dalam rangka pemenuhan kesejahteraan masyarakat. Misalnya dalam hal makanan, pakaian, tanah dan perumahan, kesehatan, pendidikan, keamanan, sarana

18

Ramlan Surbakti. 1984. Perbandingan Sistem .(Opcit). Hal 11

transportasi dan komunikasi, kemudahan berusaha, rekreasi, beribadah, dan lain -lain. Kesemua hal tersebut sangat perlu dalam rangka meningkatkan h arkat dan martabat manusia dalam konteks bermasyarakat. Pemerintah sebagai lembaga yang berkewajiban melakukan itu semua akan dapat memenuhinya manakala keputusan yang bersifat ekstraktif mampu memberikan sumber yang cukup bagi pemerintah selaku pembuat se kaligus pelaksana kebijakan publik. 2. Kebijakan dalam Penyerapan Sumber Material dan Manusiawi Kebijakan publik yang menyangkut penyerapan sumber -sumber material antara lain adalah berupa penetapan pajak, retribusi, pengolahan barang -barang tambang, pengolahan hasil hutan dan perkebunan. Sedangkan kebijakan publik yang menyangkut penyerapan sumber-sumber manusiawi antara lain berupa seleksi dan pengangkatan atau pemilihan serta penempatan tenaga kerja, seleksi dan pengangkatan serta penempatan pegawai negeri, seleksi dan penerimaan para profesional serta tenaga ahli, dan lain -lain. Dalam konteks penyerapan sumber manusiawi dalam pendidikan misalnya adalah seleksi dan penempatan tenaga kependidikan seperti guru, kepala sekolah, tenaga perpustakaan, teknisi, tenaga tata usaha, dan lain-lain. 3. Kebijakan dalam hal Pengaturan Perilaku Kebijakan publik yang menyangkut pengaturan perilaku warga masyarakat, kelompok atau organisasi masyarakat, serta para pejabat negara/pemerintah ini pada dasarnya adalah kebijakan publik yang bersifat regulatif . Keputusan jenis ini pada dasarnya mengatur h ak dan kewajiban anggota masyarakat, mengatur hubungan kelompok dan organisasi dalam masyarakat, termasuk di dalamnya mengatur cara kerja pejabat pemerintah (negara). Keputusan regulatif dari negara pada dasarnya mengikat terhadap perilaku semua warga negara yang biasanya dituangkan dalam bentuk undang -undang. Dalam sebuah negara, banyak hal yang telah diatur dengan undang -undang, misalnya yang berkaitan dengan pendidikan. Undang -Undang yang berkaitan dengan pendidikan di Indonesia misalnya adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional . Banyak undang-undang dan peraturan lain yang mengatur pendidikan di Indonesia telah banyak dibuat, baik pada masa awal kemerdekaan atau yang dikenal dengan era Orde Lama maupun pada masa Orde Baru . Keputusan regulatif dalam sejarah Indonesia paska kemerdekaan sampai sekarang ini lebih diorientasikan kepada pengenalan (initiating) , pengarahan (directing) , serta penerapan

(implementing) pembangunan. 19 Pada era Orde Lama sehabis memperoleh kemerdekaan Indonesia dengan mengusir semua kaum penjajah di bumi pertiwi, pemerintah Indonesia menerapkan hampir semua kebijakan politik yang lebih berwatak Instruktif dalam memajukan bangsa. Hal ini terus berlanjut sampai dengan masa Orde Baru berkuasa. Meskipun jug a harus diakui bahwa pada kedua masa tersebut partisipasi masyarakat juga dilibatkan, namun masih pada taraf yang sangat minimal. Pemecahan Masalah Pendidikan Melalui Kebijakan Politik Banyak ahli yang telah menjelaskan mengenai kebijakan publik. Misalnya dalam

menjelaskan dari pertanyaan awal yakni apakah kebijakan itu? Apakah semua kebijakan itu dapat disebut sebagai kebijakan publik? Bagaimana sebuah kebijakan disebut sebagai kebijakan publik? Oberlin Silalahi 20 dalam bukunya Beberapa Aspek Kebijaksanaa n Negara banyak menjelaskan mengenai tema ini yang mengutip banyak ahli. Diantaranya adalah Hugh Heclo, yang mengatakan bahwa kebijakan adalah cara bertindak yang disengaja untuk menyelesaikan beberapa permasalahan. Sedangkan James E. Anderson 21 telah merumuskan kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, dan instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan. Menurut Perserikatan Bangsa Bangsa, kebijakan diartikan sebagai pedoman untuk

bertindak. Pedoman tersebu t bisa yang berwujud amat sederhana atau kompleks, bersifat umum ataupun khusus, luas ataupun sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat. Kebijakan dalam maknanya seperti ini mungkin berupa suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas -aktivitas tertentu atau suatu rencana. 22 Suatu kebijakan sebenarnya terdiri dari banyak komponen. Menurut Charles O. Jones, komponen-komponen dari suatu kebijakan tersebut adalah mencakup lima hal yaitu: goal, plans, program , decision, dan effects. Pertama kali suatu kebijakan yang hendak diwujudkan harus memiliki tujuan (goal) yang diinginkan. Kedua, tujuan yang diinginkan itu harus pula direncanakan (plans) atau harus ada proposal, yakni pengertian yang spesifik dan operasional untuk mencapai tujuan. Ketiga, harus

19 20 21 22

Rainer Rohdewohld. 1995. Publik Administration in Indonesia . Melbourne: Montech Pty Ltd. Halaman. 29 Oberlin Silalahi. 1989. Beberapa Aspek Kebijaksaan Negara . Yogyakarta: Liberty. Hal 1 -2 Solichin Abdul Wahab. 1997. Analisis Kebijaksanaan. . (opcit). Hal 2 Solichin Abdul Wahab. 1997. Analisis Kebijaksanaan.. . (Ibid)

10

ada program , yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan. Keempatnya adalah decision, yaitu segenap tindakan untuk menentukan tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program. Serta kelima adalah efect, yaitu akibat-akibat dari program baik yang diinginkan atau disengaja maupun tidak disengaja, bai k yang primer maupun yang sekunder. Banyaknya masalah yang hendak diselesaikan negara bukan berarti akan menimbulkan banyaknya kebijakan yang bersifat publik. Dalam pandangan negara, tidak semua masalah akan diambil suatu kebijakan yang sama. Bahkan tidak semua masalah akan menjadi issu publik sehingga, mendorong untuk dibuatkannya kebijakan publik. Ada juga masalah yang menjadi issu hanyalah pada level privat atau level kolektif , sehingga belum menjadi issu publik. Masalah privat adalah suatu masalah yang memiliki akibat yang terbatas, tetapi masalah publik adalah masalah yang memiliki akibat luas yang menyangkut hampir semua warga dalam satu wilayah. Menurut Oberlin Silalahi 23, ada beberapa tipe peristiwa dan issu penting dalam konteks politik yang mempengaruhi dalam pembuatan kebijakan publik, meliputi: 1. Peristiwa, yaitu kegiatan-kegiatan manusia atau alam yang dipandang memiliki

konsekwensi pada kehidupan sosial. 2. Masalah, yaitu kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginan manusia yang harus diatasi atau dipecahkan. 3. Masalah umum , yaitu kebutuhan manusia yang tidak dapat dipecahkan secara pribadi. 4. Issu, yaitu masalah umum yang bertentangan satu sama lain atau masalah umum yang diperdebatkan. 5. Area issu , yaitu sekelompok masalah -masalah umum yang saling bertentangan. Masalah pendidikan adalah salah satu masalah yang bersifat universal. Semua manusia tanpa kecuali sangat berkepentingan terhadap pendidikan. Bagi anak dan rema ja, pendidikan merupakan suatu hak yang harus diterima baik melalui sekolah (school education) maupun luar sekolah (out of school education) . Bagi orang tua anak, pendidikan merupakan kewajiban yang harus diberikan kepada anaknya dalam wujud pelayanan, bim bingan, dan hal-hal lain yang mendukung pemuasan hak anak. Bagi orang dewasa, pendidikan juga merupakan hak, dalam arti hak untuk menjalani pendidikan sepanjang hayat. Dengan demikian, masalah -masalah kehidupan yang menyangkut dunia pendidikan merupakan ma salah yang bersifat publik. Bagi masyarakat kelompok marginal seperti golongan miskin maupun kaum pedalaman akan mengalami kesulitan dalam memperoleh kesempatan pendidikan secara memadahi.
23

Oberlin Silalahi. 1989. Beberapa Aspek. . (Ibid). Hal 3

11

Mereka memiliki keterbatasan dalam mencari layanan pendidikan yang bermutu dan mudah dijangkau secara geografis. Sehingga yang terjadi, kelompok miskin dan kaum pedalaman ini hanya memperoleh layanan pendidikan yang kurang bermutu dan kurang terjangkau dari segi geografis. Dalam konteks ini, termasuk dalam kelompok masya rakat marginal adalah golongan perempuan. Banyak perempuan di banyak daerah, mengalami pembatasan -pembatasan. Tidak hanya pada jaman Kartini perempuan sering hanya diidentikkan dengan masalah dapur, sumur, dan kasur (hanya menenak nasi, mencuci, dan sebaga i teman tidur). Pada jaman modern sekalipun, perempuan sering dilecehkan dan dikekang dalam banyak segi termasuk dalam memperoleh kesetaraan pendidikan. Sedangkan masyarakat yang masuk lapisan menengah dan lapisan atas, banyak diuntungkan untuk memperoleh dan memilih layanan pendidikan yang disukai. Mereka bisa membeli lembaga pendidikan yang disukai untuk dimasuki, termasuk pada lembaga-lembaga pendidikan (sekolah dan universitas) yang dikenal favorite. Fenomena dualistik di atas menunjukkan adanya ma salah berkaitan dengan kesenjangan pendidikan antara kelas dan kelompok sosial atas dengan kelompok sosial bawah, antara desa dengan kota, antara laki-laki dengan perempuan, antara pusat dan daerah. Pada satu pihak ada kelompok masyarakat yang diuntungkan, sedangkan di pihak lain ada golongan yang kurang diuntungkan. Persoalan lain dalam dunia pendidikan adalah menyangkut kendala pluralisme yang amat kompleks dari masyarakat Indonesia. Sehingga, sejak tanggal 1 Januari 2001 Indonesia telah melakukan terobosan dengan melaksanakan otonomi daerah untuk masing -masing Daerah Tingkat II. Konsekwensi dari teroboson tersebut adalah beberapa segi dari pengelolaan pendidikan juga mengalami otonomi daerah. Hal ini secara positif bisa mendekatkan problem pendidikan terhadap kondisi multikultural bangsa Indonesia. Semua persoalan yang telah disebut di atas merupakan persoalan yang bersifat publik. Sehingga bila sebuah perumusan kebijakan yang ditujukan untuk memecahkan masalah masalah krusial seperti pendidikan sebagaiman a disebut di atas, maka tergolong sebagai kebijakan publik. Yakni kebijakan yang pada dasarnya mengatur hak dan kewajiban anggota masyarakat, mengatur hubungan kelompok dan organisasi dalam masyarakat, termasuk di dalamnya mengatur cara kerja pejabat pemer intah (negara) dalam bidang pendidikan. Kebijakan semacam ini bersifat mengikat sasaran yang terkena kebijakan ini. Dinamika Kebijakan Pendidikan Era Desentralisasi

12

Gelombang reformasi pendidikan yang dimulai sejak runtuhnya kekuasaan Orde Baru sampai sekarang ini telah berujung pada tuntutan perbaikan pendidikan di Indonesia. Menurut banyak pihak gelombang reformasi pendidikan tersebut disebabkan oleh beberapa alasan, diantaranya adalah: (1) Penyelenggaraan pendidikan era sebelumnya dianggap telah gagal mempersiapkan tenaga kerja berkualitas untuk masa depan; (2) Dunia pendidikan tidak memiliki kepemimpinan dan visi untuk senantiasa memperbaharui dirinya sendiri; (3) Lembaga pendidikan dari Taman Kanak -Kanak sampai Peguruan Tinggi dan pendidikan non -formal dianggap kurang sinkron dengan konteks perubahan yang bercirikan lebih kompleks, global, serta menuntut sikap kompetitif dan inovatif; (4) Guru bukan hanya memiliki tingkat kesejateraan yang rendah tetapi juga tidak adanya kontrol dan alat yang jelas unt uk mengukur atas kinerjanya; (5) Birokrat tidak memiliki keberanian untuk memperbaharui pendidikan dengan menciptakan kurikulum masa depan yang inovatif, berbasis science, lebih banyak

memanfaatkan teknologi tinggi, lebih menekankan pada globalisasi, dan lebih menekankan pengembangan entrepreneur skills ; (6) Guru lebih banyak mengajar siswa masa lampau, bukannya mengajar siswanya menjadi lebih kreatif dalam menatap masa de pan yang kompleks dan penuh tantangan (Canton dalam Zamroni, 2007) 24. Secara teoritik, kebijakan dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pendidikan lebih bermutu mencakup empat pendekatan implementatif dalam mana masing -masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Keempat pendekatan implementatif tersebut adalah: (1) structural approach, (2) procedural and managerial approach , (3) behavioural approach , serta (4) political approach (Solichin Abdul Wahab, 1997) 25. Structural Approach merupakan salah satu pendekatan yang bersifat top-down yang dikenal dalam teori-teori organisasi modern. Pendekatan ini memandang bahwa kebijakan pendidikan harus dirancang, diimplementasikan, dikendalikan, dan dievaluasi secara struktural. Pendekatan ini menekankan pentingnya komando dan pengawasan menurut tahapan atau tingkatan dalam struktur masing -masing organisasi. Bahwa struktur yang bersifat hirarkhis -organis sepertinya amat relevan untuk situasi situasi implementasi di mana kita memerlukan suatu organisasi pelaksana yang bertingkat yang mampu melaksanakan suatu kebijakan yang selalu berubah. Pola ini tentu lebih baik bila dibandingkan dengan suatu tim kepanitaan untuk program kebijakan yang sekali sel esai atau yang bersifat adhoc-krasi dalam menangani proyek-proyek.

24

25

Zamroni. 2007. Mewujudkan Pendidikan yang Profesional: Diperlukan Kecerdikan Memanfaatkan Peluang. Makalah Seminar Nasional Ikatan Alumni UNY Komisariat FIP, tanggal 27 Januari 2007 Solichin Abdul Wahab. 1997. (opcit).

13

Namun titik lemah dari pendekatan struktural ini adalah, proses pelaksanaan implementasi kebijakan pendidikan menjadi kaku, terlalu birokratis, dan kurang efisien. Bila dibandingkan dengan organisasi pelaksana yang bersifat adhokrasi . Pelaksanaan kebijakan pendidikan seperti Instruksi Presiden (Inpres) tentang pembangunan gedung -gedung Sekolah Dasar di Indonesia dalam prakteknya berjalan lamban dan banyak terjadi kebocoran di setiap lapisan birokrasi. Procedural and managerial approach merupakan suatu pendekatan yang muncul dalam rangka memberikan koreksi atas pendekatan sebelumnya yang dianggap memiliki beberapa kelemahan. Karenanya, pendekatan prosedural dan manajerial ini dikembangkan dala m rangka suksesnya implementasi kebijakan pendidikan. Pendekatan prosedural dan manajerial ini tidak mementingkan penataan struktur -struktur birokrasi pelaksana yang cocok bagi implementasi program, melainkan dengan upaya mengembangkan proses -proses dan prosedur-prosedur yang relevan. Termasuk di dalamnya adalah prosedur -prosedur manajerial beserta teknik -teknik manajemen yang tepat. Ada tiga langkah-langkah yang tepat di dalam proses implementasi kebijakan dalam pendekatan proesdural dan manajerial. Yaitu setelah dilakukannya identifikasi masalah serta pemilihan kebijakan yang dilihat dari sudut biaya dan efektifitasnya paling memenuhi syarat. Menurut Solichin Abdul Wahab (1997) 26, ketiga langkah tersebut meliputi: 1. Membuat disain program beserta perincian tu gas dan perumusan tujuan yang jelas, penentuan ukuran prestasi kerja, biaya, dan waktu; 2. Melaksanakan program kebijakan dengan cara mendayagunakan struktur -struktur dan personalia, dana dan sumber-sumber, prosedur-prosedur dan metode-metode yang tepat; 3. Membangun sistem penjadwalan, monitoring, dan sarana -sarana pengawasan yang tepat guna menjamin bahwa tindakan -tindakan yang tepat dan benar dapat segera dilaksanakan. Selanjutnya, Solichin Abdul Wahab (1997) 27 menjelaskan bahwa teknik manajerial yang merupakan perwujudan dari pendekatan ini adalah perencanaan jaringan kerja dan pengawasan (Network Planning and Control -NPC) yang menyajikan suatu kerangka kerja dalam mana proyek-proyek dapat direncanakan dan impl ementasinya dapat diawasi dengan cara mengidentifikasi tugas-tugas yang harus diselesaikan, hubungan diantara tugas -tugas tersebut, dan urutan-urutan logis di mana tugas-tugas itu harus dilaksanakan. Bentuk -bentuk jaringan kerja (network) yang canggih, seperti Program Evaluation and Review Technique

26 27

Solichin Abdul Wahab. (Ibid). Hal. 113 Solichin Abdul Wahab. (Ibid).

14

(PERT) memungkinkan untuk memperkirakan secara cermat jangka waktu penyelesaian tiap tiap tugas, menghitung lintasan kritis (critical path) di mana setiap keteledoran akan dapat menghambat penyelesaian keseluruh an proyek, memonitor setiap luang waktu yang tersedia bagi penyelesaian tugas-tugas dalam jaringan kerja, dan merealokasikan sumber -sumber guna memungkinkan kegiatan-kegiatan yang terletak di sepanjang lintasan kritis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Behavioural Approach, hadir dalam rangka memberikan koreksi atas pendekatan prosedural dan manajerial yang banyak memiliki kelemahan, antara lain adalah terlalu menekankan pada aturan-aturan dan teknik-teknik manajemen yang bersifat impersonal. Selain itu pendekatan prosedural dan manajerial harus membutuhkan piranti teknologi canggih sehingga dikesankan menjadi amat mahal. Pendekatan yang baru ini, yaitu pendekatan perilaku meletakkan dasar semua orientasi dari kegiatan implementasi kebijakan pada perila ku manusia sebagai pelaksana, bukan pada organisasinya atau pada teknik manajemennya sebagaimana pendekatan prosedural dan manajerial di atas. Pendekatan perilaku berasumsi bahwa upaya implementasi kebijakan yang baik adalah bila perilaku manusia beserta segala sikapnya juga harus dipertimbangkan dan dipengaruhi agar proses implementasi kebijakan tersebut dapat berlangsung baik. Beberapa kejadian sering terlihat dimana program kebijakannya baik, peralatan dan organisasi pelaksananya juga baik, namun di tengah jalan banyak terjadi penolakan -penolakan (resistance) di masyarakat. Bahkan beberapa anggota pelaku pelaksananya merasa pasif dan sedikit acuh tak acuh. Hal ini menunjukkan bahwa aspek perilaku manusia sangat penting diperhatikan. Paling tidak ada dua penyebab terjadinya penolakan masyarakat terhadap perubahan yang berkaitan dengan implementasi kebijakan. Pertama , adanya kekhawatiran masyarakat terhadap hadirnya perubahan. Dengan hadirnya perubahan berarti hadirnya kemapanan yang selama ini sudah terbangun, sehingga aka muncul ketidak -pastian (uncertainly) . Karena pada tipe masyarakat tertentu banyak yang lebih menyukai kemapanan meskipun pahit adanya dari pada menerima ketidak-pastian. Lebih-lebih bagi kelompok masyarakat yang selama ini merasa diuntungkan dengan kemapanan tersebut. Dalam masyarakat yang sudah memiliki sistem sosial mapan dalam jangka tertentu, biasanya ada kelompok-kelompok yang berusaha mempertahankan kemapanan tadi agar bisa berlangsung selama mungkin. Usaha tersebut disebabkan adanya ketakutan atas kedudukan yang telah dimiliki, atau yang dikenal status fear. Oleh kelompok ini dikhawarirkan dengan adanya perubahan akan berakibat hilangnya status mereka yang pada gilirannya dapat merugikan kepentingan-kepentingan politik, sosial, mau pun keamanan.

15

Lebih-lebih dampak perubahan di atas dari segi keorganisasian, seperti adanya kebijakan baru yang sudah barang tentu akan berakibat munculnya banyak masalah. Aksi -aksi protes dan demonstrasi yang dilakukan beberapa kelompok pegawai negeri di beberapa kantor pemerintah selama era reformasi akibat penutupan beberapa kantor departemen, adalah kasus empirik yang membuktikan adanya kekhawatiran di atas. Kedua, penolakan masyarakat terhadap upaya implementasi kebijakan juga disebabkan oleh kekurangan informasi yang diterimanya berkenan dengan kebijakan tersebut. Lebih -lebih bila informasi yang didapatkannya masih setengah -setengah dan bersifat menyesatkan sehingga memungkinkan terjadinya misinformasi atau misinterpretasi . Pada bagian lain, penerapan analisis keperilakukan (behavioural analysis) pada masalahmasalah manajemen yang paling menonjol adalah organizational development (Solichin Abdul Wahab. 1997) 28. Menurut Solichin Abdul Wahab, organizational development adalah suatu proses untuk menimbulkan perubahan-perubahan yang diinginkan dalam suatu organisasi melalui penerapan ilmu-ilmu keperilakuan. organizational development merupakan salah satu bentuk konsultasi manajemen di mana seorang konsultan bertindak selaku agen perubahan untuk mempengaruhi seluruh budaya organisasi, termasuk sikap dan perilaku dari pegawai pegawai yang menduduki posisi -posisi kunci. Selain organizational development juga ada lagi yang dinamakan Management by Objectives (MBO), yakni suatu pendekatan yang menggabungkan unsur -unsur yang terdapat dalam pendekatan struktural dan manajerial dengan unsur -unsur yang termuat dalam analisis keperilakuan. Political Approach adalah pendekatan yang lebih melihat pada faktor -faktor politik atau kekuasaan yang dapat memperlancar atau mengh ambat proses impelementasi kebijakan. Dalam suatu organisasi, selalu ada perbedaan dan persaingan antar individu atau kelompok dalam memperebutkan pengaruh. Sehingga ada kelompok -kelompok individu yang dominan serta ada yang kurang dominan; ada yang kelomp ok-kelompok pengikut dan ada kelompok penentang. Dalam hal ini, pendekatan politik selalu mempertimbangan atas pemantauan kelompok pengikut dan kelompok penentang beserta dinamikanya. Ada suatu impelementasi kebijakan yang dilakukan dengan perangkat struktural dan penggunaan sistem manajerial yang sudah bagus serta telah mempertimbangkan pengaruh pengaruh keperilakuan; namun hasil pelaksanaan implementasi kebijakan kurang bisa berjalan baik. Hal tersebut antara lain disebabkan karena kurang mempertimb angkan realitas-realitas

28

Solichin Abdul Wahab. (Ibid).

16

politik. Antara lain kurang memperhitungkan kemampuan kelompok -kelompok penentang kebijakan untuk memblokir usaha -usaha dari para pendukung kebijakan. Pendekatan politik dalam proses implementasi kebijakan, memungkinkan digunakanny a paksaan dari kelompok dominan. Proses implementasi kebijakan tidak bisa hanya dilakukan dengan komunikasi interpersonal sebagaimana disyaratkan oleh pendekatan perilaku, bila problem konflik dalam organisasi tadi bersifat endemik. Maka hadirnya kelompok dominan dalam organisasi akan sangat membantu, apalagi kelompok yang berkuasa/dominan tadi dalam kondisi tertentu mau melakukan pemaksaan, tentu akan sangat diperlukan. Apabila tidak ada kelompok dominan, mungkin implementasi kebijakan akan berjalan secara lambat dan bersifat inkremental. Atas dasar keempat pendekatan implementatif dalam pelaksanaan kebijakan pendidikan di atas, maka para pengambil keputusan (decision maker) dapat memilih pendekatan mana yang akan diambil. Tentu saja pertimbangannya dilakuk an dengan memilih keunggulan paling tinggi dan kelemahan paling rendah bila dikaitkan dengan permasalahan mutu pendidikan yang akan ditingkatkannya. Dengan demikian dapat dipilih strategi kebijakannya dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Strategi kebijakan merupakan seni untuk mengelola sumberdaya yang ada agar dapat dicapai sasaran yang dituju dengan efektif dan efisien. Strategi kebijakan merupakan penentuan suatu tujuan jangka panjang dari suatu lembaga dan aktivitas yang harus dilakukan guna mewuju dkan tujuan tersebut, disertai alokasi sumber yang ada sehingga tujuan dapat diwujudkan secara efektif dan efisien. Strategi kebijakan peningkatan mutu pendidikan yang dapat dipilih adalah strategi yang menekankan hasil ( The Output Oriented Strategy ), atau strategi yang menekankan proses ( The Process Oriented Strategy ), serta strategi komprehensif ( The Comprehensive Strategy )29. Tiga strategi ini masing-masing memiliki deskripsi, kelebihan, dan kelemahannya sendiri -sendiri. Berikut ini dipaparkan tabel p erbedaan tiga strategi yang dimaksud.

Tampilan-2 Strategi Alternatif Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan Strategi Strategi yang menekankan hasil (The Ouput Oriented Strategy )
29

Deskripsi Bersifat top-down berasal dari pusat Contoh: SKL dan SKD

Kelebihan Sasaran jelas dan umum, ada pedoman, pengendalian, pengontrolan, dll

Kelemahan Kesenjangan mutu semakin kuat antar sekolah

Zamroni. 2005. Meningkatkan Mutu Sekolah: Teori, Strategi, Prosedur, Jakarta: PSAP Muhammadiyah

17

Strategi yang menekankan pada proses ( The Process Oriented Strategy) Strategi komprehensif ( The Comprehensive Strategy)

Bersifat bottom-up, mulai dari sekolah

Inisiatif dari sekolah, muncul semangat dan kekuatan dari sekolah, dll Sekolah memiliki kekuasaan dan otoritas yang besar untuk mencapai standar hasil yang maksimal. Muncul inovasi kegiatan di sekolah.

Arah dan kualitas sekolah tidak seragam, sulit untuk melihat dan meningkatkan kualitas secara nasional Sekolah yang tidak dapat memenuhi standar nasional harus berusaha keras untuk dapat memenuhinya

Kombinasi sifat topdown dan bottom-up. Tujuannya bersifat nasional tetapi cara mencapainya sesuai dengan kondisi lokal. Contoh: Standar nasional, MBS, KTSP (Sumber: Zamroni, 2005).

Atas dasar beberapa pertimbangan teoris tentang pendekatan dan strategi kebijakan di atas, maka aneka kebijakan nyata secara strategis banyak dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka memajukan pendidikan di Indonesia dengan berujung peningkatan mut u pendidikan. Contoh kebijakan nyata yang telah dilakukan pemerintah Indonesia tersebut adalah kebijakan yang menyangkut kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), akreditasi sekolah, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), akses buku murah melalui buku elektr onik (e-books), pengembangan kultur sekolah, perbaikan manajemen berbasis sekolah, ujian akhir nasional, Sekolah Berstandar Internasional (BSI), dan peningkatan mutu guru melalui peningkatan kualifikasi akademik dan penyelenggaraan sertifikasi guru sesuai Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang -Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Kesemuanya itu dibingkai dalam kemasan desentralisasi pendidikan dalam rangka memberikan kewenangan lebih kepada birokr asi di tingkat daerah atau lokal menuju otonomi penyelenggaraan pendidikan dengan tetap mengendalikan standar mutu secara sentralistik. Namun demikian, dari keseluruhan kebijakan pendidikan yang telah diformulasikan dan diimplementasikan oleh pemerintah de ngan segenap piranti birokrasi yang dimilikinya di atas pada kenyataannya belum membuahkan hasil optimal. Aneka distorsi dan keganjilan penyelenggaraan pendidikan masih muncul di banyak tempat. Sehingga memunculkan pertanyaan tentang ada apakah kiranya yan g menyebabkan kegagalan formulasi dan implementasi kebijakan pendidikan di Indonesia? Apakah ada yang salah dalam kebijakan pendidikan tersebut? Variabel apakah yang menghambat dalam proses formulasi dan implementasi kebijakan pendidikan untuk peningkatan mutu pendidikan? Sebarapa efektifkah

18

manajemen organisasi pelaksanaan kebijakan pendidikan? Bagaimanakah peran birokrasi pada level daerah dan tenaga teknis di lapangan? Terhadap semua pertanyaan -pertanyaan di atas dan pertanyaan-pertanyaan lain, pada intinya diperlukan pola orientasi baru pembangunan pendidikan khususnya dan pembangunan bangsa umumnya yang berbeda dari sebelumnya. Pembangunan pendidikan di Indonesia yang tampak kurang optimal meskipun telah dilakukan aneka kebijakan strategis maupun takti s, pada gilirannya mendorong dilakukannya reorientasi penyelenggaraan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sejak tahun 2004 pemerintah mengeluarkan regulasi baru berupa Undang -Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah yang menuntut pembangunan pen didikan dioptimalkan di daerah. Meskipun sejak tahun 1999 rintisan pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia telah dilaksanakan, yakni dengan adanya Undang -Undang Nomor 22 tahun 1999 yang menekankan bahwa wewenang paling besar untuk sektor pendidi kan sejak pendidikan pra-sekolah sampai pendidikan menengah atas adalah urusan pemerintah kabupaten atau kota. Konsekuensi atas hadirnya undang -undang tersebut, maka peran bupati dan walikota diharapkan lebih kokoh dalam melaksanaan otonomi pendidikan deng an mengacu pada empat argumen pokok dalam membuat kebijakan pendidikan, yakni: 1) peningkatan mutu; 2) efisiensi keuangan; 3) efisien adminis trasi; dan 4) perluasan kesempatan pendidikan.

Wewenang paling besar untuk sektor pendidikan sejak dari pra -sekolah sampai pendidikan menengah atas merupakan urusan pemerin tah kabupaten atau kota. Oleh karena itu, dengan daerah diberi kesempatan membuat grand design yang secara kontekstual sesuai dengan kondisi wilayahnya, diharapkan terjadi peningkatan mutu pendidikan lebih cepat dan tepat. Sejalan dengan desentralisasi pendidikan, daerah tingkat Kabupaten dan Kota memiliki kewenangan untuk menggarap pengembangan p endidikan sesuai dengan kontek, potensi, dan kebutuhan masyarakat di daerah tersebut 30. Sementara itu, penerapan desentralisasi pendidikan disertai dengan penataan fungsi kelembaga an pendidikan mulai dari Dinas Pendidikan di tingkat propinsi sebagai pihak yang mempunyai kewenangan dalam perumus dan pelaksana kebijakan, Dinas Pendidikan Kabupaten dan Kota sebagai operasionalisasi kebijakan dan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan sebagai kontrol terhadap kualitas

pengembangan profesionalitas pendidikan. Dalam kenyataaannya, fungsi ini belum berjalan

30

Ishartiwi dkk. 2002. Asesmen Kebutuhan Pengembangan Profesionalisme Guru SD Berbasis Ke camatan Sebagai Sentra Pertumbuha n. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta, (Laporan penelitian).

19

sebagaimana mestinya. Hal itu dikarenakan pemahaman dan kesiapan sebagian besar pengelola pendidikan di daerah terhadap konsep desentralisasi pendidikan belum memadai. Secara global desentralisasi merupakan kecenderungan fenomena yang sangat dominan. Tuntutan dan kebutuhan desentralisasi pen didikan muncul dan berkembang sebagai bagian dari agenda global tentang demokrati sasi dan desentralisasi pemerintahan dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang ba ik (good governance ). Salah satu isu strategis dengan desentralisasi pendidikan adalah perlu diupayakan pemerintah yang dapat memberikan pelayanan pendidikan kepada masyarakat di bidang pendidikan lebih baik (Rasiyo, 2005). Desentralisasi pendidikan juga d apat dipahami secara kritis sebagai pelepasan tanggung jawab pemerintah pusat terhadap proses pen didikan masyarakat dan dinilai lebih me langgengkan proses privatisasi pendidikan di Indonesia. Desentralisasi pen didikan menjadi bentuk dari penerapan neoliberalisme di satu sisi, tetapi di sisi lain adalah pengurangan hak negara terhadap intervensi yang terlalu kuat dalam proses pendidikan dengan mengembalikan pada rakyat untuk lebih berperan dalam proses pendidikan. Ada banyak alasan mengapa desentralisas i dipilih oleh pemerintah pusat dengan cara melimpahkan sebagian urusannya ke pemerin tah daerah (Agus Dwiyanto, 2005). Alasan politik, desentralisasi dapat meningkatkan kapabilitas daerah demi memperkuat kepentingan daerah maupun untuk mendukung politik d an kebijakan nasional melalui pembangunan proses demokrasi di lapisan grassroot . Alasan manajemen, desentralisasi dapat meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas publik. Alasan kultural, desentralisasi dimaksudkan untuk memperhatikan kekhususan, keistimewaan suatu daerah, seperti geografis, kondisi pendu duk, perekonomian, kebudayaan. Alasan pembangunan desentralisasi dapat melancarkan formulasi dan implementasi program untuk meningkatkan kesejah teraan masyarakat. Pandangan dari kacamata kepentingan pusat, desentralisasi dapat mengurangi kelemahan pemerintah pusat dalam mengawasi program -programnya. Implementasi desentralisasi pendidikan amat mementingkan the stakeholder society , yang oleh Ackerman dan Alscott sebagaimana dikutip oleh Ag us Dwiyanto 31, diformulasikan secara sederhana, yakni sebagai masyarakat yang para anggotanya mempunyai kepentingan bersama untuk membangun masyarakatnya sendiri. Terdapat lima aktor dalam the stakeholder society, yaitu: 1) masyarakat lokal; 2) orangtua; 3) peserta didik; 4) negara; 5) pengelola pro fesional pendidikan. 32 Fungsi negara bukan lagi sebagai penguasa juga bukan sebagai

31

32

Agus Dwiyanto. 2005. Mewujudkan Good Governance: Melalui Pelayanan Publik . Yogyakarta: Gajahmada University Press. Agus Dwiyanto. 2005. (Ibid).

20

pemegang kekuasaan tunggal yang bertujuan melestarikan kekuasaan negara, tetapi sebagai partner yang memfasilitasi proses pendi dikan yang disepakati bersama. Tugas negara antara lain membantu adanya standar nasio nal bahkan internasional dari lembaga -lembaga pendidikan dan membantu daerah yang kekurangan sumber daya manusia dan sumber pembiayaan. Oleh karenanya, kebijakan desentralisasi pendidikan diyakini dapat berdampak secara positif dalam banyak hal. Di antara dampak positif yang diyakini dapat diperoleh dari kebijakan desentralisasi pendidikan adalah peningkatan mutu, efisien keuangan, efisien administrasi, dan perluasan k esempatan atau pemerataan pendidikan .33 Namun realitasnya, ketika desentralisasi
34

pendidikan

telah

diterapkan

banyak

menunjukkan masalah. Temuan Rasiyo , menyebutkan adanya beberapa masalah dalam penerapan desentralisasi pendidikan. Paling tidak ada empat ma salah penerapan desentralisasi pendidikan yang ditemukan. Pertama, peraturan-peraturan otonomi daerah dan desen tralisasi pendidikan yang ada belum sepenuhnya dapat mendukung terimplementasikan paradigma dan model manajemen partisipatif berpusat kekuatan daerah otonom. Kedua, belum semua daerah otonom memiliki persepsi, tafsir, dan komitmen yang sama dan konstruktif untuk reformasi dan pembaharuan manajemen pendidikan. Ketiga, budaya birokrasi dan pemerintahan yang berkembang selama berlang sungnya otonomi daerah justru sangat segregatif dan involutif, dalam arti hanya mementingkan kepenting an daerah otonomnya sendiri dan memperumit manajemen lingkungan daerah otonom. Keempat, masih lemahnya koordinasi dan sinergi antar daerah otonom dalam manajemen pend idikan. Dari empat kelemahan di atas, maka Rasiyo 35 menyimpulkan bahwa proses penyelenggaraan pendidikan dewasa ini telah berlangsung secara parokial dan involutif. Proses parokialisme dan involusi dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut kemudian mencipta kan apa yang dikenal dengan sentralisme lokal dan regulasi kaku. Berdasarkan semua paparan di atas, akhirnya dapat diperoleh gambaran mengenai kompleksitas dinamik pembangunan pendidikan di Indonesia dengan segenap variabel penentu yang saling memiliki keterkaitan secara kompleks, termasuk di dalamnya adalah intensitas dinamik pelaksanaan kebijakan desentralisasi.

33

34

Amich Alhuman. 2000. Pembangunan Pendidikan dalam Konteks Desentralisasi . Kompas , 11 September 2000 Rasiyo. 2005. Kebijakan Desentralisasi Manajemen Pendidikan Pada Era Otonomi Daerah. Surabaya: Program Doktor Ilmu Administrasi, Universitas 17 Agustus 1945.
Rasiyo. 2005. (Ibid)

35

21

DAFTAR PUSTAKA Agus Dwiyanto. 2005. Mewujudkan Good Governance: Melalui Pelayanan Publik . Yogyakarta: Gajahmada University Press. Almond, Gabriel A. (ed). 1974. Comparative Politics Todays: A World View . Boston: Crown and Company. Amich Alhuman. 2000. Pembangunan Pendidikan dalam Konteks Desentralisasi . Kompas, 11 September 2000 Andi Makkulua. 1996. Perkembangan Kebijakan Pendidikan Dalam Lima Puluh Tahun Indonesia Merdeka . Makalah Konvensi Pendidikan Indonesi III di Ujung Pandang 4-7 Maret 1996. Arief Budiman. 1997. Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideolgi . Jakarta: Gramedia. A.Ahmadi. 1987. Pendidikan dari Masa ke Masa. Bandung: Armico. Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Naskah Rembuk Nasional Pendidikan (RNP) . Berlangsung tanggal 4-6 Februari 2008 (www.menkokresra.go.id/content/view/ 7136/39 . Didownload tanggal 23 Nopember 2009). Dwi Siswoyo dkk. 2007. Ilmu Pendidikan . Yogyakarta: UNY Press. Edward Stevens and George H. Wood. 1987. Justice, Ideology, and Education: An Introduction to the Social Foundations of Education . New York: Random House. Hagopian, Mark N. Regimes. 1978. Regimes, Movement, and Ideologies. New York & London: Longman Inc. Ishartiwi dkk. 2002. Asesmen Kebutuhan Pengembangan Profesionalisme Guru SD Berbasis Kecamatan Sebagai Sentra Pertumbuhan . Lembaga Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta, (Laporan penelitian). JE. Hosio. 2006. Kebijakan Publik dan Desentralisasi . Yogyakarta: LBM. Karl Mannheim. 1991. Ideology and Utopia: An Introduction to The Sociology of Knowledge (Diterjemahkan: Idelogi dan Utopia: Menyingk ap Kaitan Pikiran dan Politik). Yogyakarta: Kanisius. Miguel Escobar dkk. (Ed.). 1998. Sekolah Kapitalisme yang Licik . Yogyakarta: LKiS. Muhadi Sugiono. 1999. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Nezar Patria dan Andi Arief. 1999. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni . Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Oberlin Silalahi. 1989. Beberapa Aspek Kebijaksaan Negara . Yogyakarta: Liberty. Ramlan Surbakti. 1993. Himpunan Teori-Teori Politik . Surabaya: FISIP Universitas Airlangga. Randall Collins. 1979. The Credentials Society: An Historical Sociology of Education and Stratification . New York: Academic Press.

22

Rasiyo. 2005. Kebijakan Desentralisasi Manajemen Pendidikan Pada Era Otonomi Daerah. Surabaya: Program Doktor Ilmu Administrasi, Universitas 17 Agustus 1945. Rohdewohld, Rainer. 1995. Publik Administration in Indonesia . Melbourne: Montech Pty Ltd. Solichin Abdul Wahab. 1997. analisis Kebijaksanaan: dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara . Jakarta: Bumi Aksara. Tomy F. Awuy. 1999. Tehnologisasi Kekuasaan (Artikel). Jakarta: Kompas. 5 September 1999. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Yudi Latif dan IS Ibrahim. 1996. Bahasa dan kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung: Mizan. Zamroni. 2007. Mewujudkan Pendidikan yang Profesional: Diperlukan Kecerdikan Memanfaatkan Peluang . Makalah Seminar Nasional Ikatan Alumni UNY Komisariat FIP, tanggal 27 Januari 2007.

Zamroni. 2005. Meningkatkan Mutu Sekolah: Teori, Strategi, Prosedur, Jakarta: PSAP Muhammadiyah.

_____________________

23

You might also like