You are on page 1of 112

PERAN DAN PROSPEK MIKORIZA (Bagian 1)

PERAN DAN PROSPEK MIKORIZA* Oleh: Novriani ** dan Madjid*** (Bagian 1 dari 5 Tulisan) Keterangan: * Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya, Palembang, Indonesia. ** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2). Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya, Palembang, Indonesia. ** Dosen Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2). Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya, Palembang, Indonesia. (Bagian 1 dari 5 Tulisan) I. PENDAHULUAN Mikroba-mikroba tanah banyak yang berperan di dalam penyediaan maupun penyerapan unsur hara bagi tanaman. Tiga unsur hara penting tanaman, yaitu Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K) seluruhnya melibatkan aktivitas mikroba. Hara N tersedia melimpah di udara. Kurang lebih 74% kandungan udara adalah N. Namun, N udara tidak dapat langsung dimanfaatkan tanaman. N harus ditambat atau difiksasi oleh mikroba dan diubah bentuknya menjadi tersedia bagi tanaman. Mikroba penambat N ada yang bersimbiosis dan ada pula yang hidup bebas. Mikroba penambat N simbiotik antara lain : Rhizobium sp yang hidup di dalam bintil akar tanaman kacangkacangan (leguminose). Mikroba penambat N non-simbiotik misalnya: Azospirillum sp dan Azotobacter sp. Mikroba penambat N simbiotik hanya bisa digunakan untuk tanaman leguminose saja, sedangkan mikroba penambat N non-simbiotik dapat digunakan untuk semua jenis tanaman. Mikroba tanah lain yang berperan di dalam penyediaan unsur hara adalah mikroba pelarut fosfat (P) dan kalium (K). Tanah pertanian kita umumnya memiliki kandungan P cukup tinggi (jenuh). Namun, hara P ini sedikit/tidak tersedia bagi tanaman, karena terikat pada mineral liat tanah. Di sinilah peranan mikroba pelarut P. Mikroba ini akan melepaskan ikatan P dari mineral liat dan menyediakannya bagi tanaman. Banyak sekali mikroba yang mampu melarutkan P, antara lain: Aspergillus sp, Penicillium sp, Pseudomonas sp dan Bacillus megatherium. Mikroba yang berkemampuan tinggi melarutkan P, umumnya juga berkemampuan tinggi dalam melarutkan K. Kelompok mikroba lain yang juga berperan dalam penyerapan unsur P adalah Mikoriza yang bersimbiosis pada akar tanaman. Setidaknya ada dua jenis mikoriza yang sering dipakai untuk biofertilizer, yaitu: ektomikoriza dan endomikoriza. Mikoriza berperan dalam melarutkan P dan membantu penyerapan hara P oleh tanaman. Selain itu tanaman yang bermikoriza umumnya juga lebih tahan terhadap kekeringan. Contoh mikoriza yang sering dimanfaatkan adalah Glomus sp dan Gigaspora sp. Beberapa mikroba tanah mampu menghasilkan hormon tanaman yang dapat merangsang

pertumbuhan tanaman. Hormon yang dihasilkan oleh mikroba akan diserap oleh tanaman sehingga tanaman akan tumbuh lebih cepat atau lebih besar. Kelompok mikroba yang mampu menghasilkan hormon tanaman, antara lain: Pseudomonas sp dan Azotobacter sp. Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) adalah salah satu tipe cendawan pembentuk mikoriza yang akhir-akhir ini cukup populer mendapat perhatian dari para peneliti lingkungan dan biologis. Cendawan ini diperkirakan pada masa mendatang dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif teknologi untuk membantu pertumbuhan, meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman terutama yang ditanam pada lahan-lahan marginal yang kurang subur atau bekas tambang/industri. Istilah mikoriza diambil dari Bahasa Yunani yang secara harfiah berarti jamur (mykos = miko) dan akar (rhiza). Jamur ini membentuk simbiosa mutualisme antara jamur dan akar tumbuhan. Jamur memperoleh karbohidrat dalam bentuk gula sederhana (glukosa) dari tumbuhan. Sebaliknya, jamur menyalurkan air dan hara tanah untuk tumbuhan. Mikoriza merupakan jamur yang hidup secara bersimbiosis dengan sistem perakaran tanaman tingkat tinggi. Walau ada juga yang bersimbiosis dengan rizoid (akar semu) jamur. Asosiasi antara akar tanaman dengan jamur ini memberikan manfaat yang sangat baik bagi tanah dan tanaman inang yang merupakan tempat jamur tersebut tumbuh dan berkembang biak. Jamur mikoriza berperan untuk meningkatkan ketahanan hidup bibit terhadap penyakit dan meningkatkan pertumbuhan (Hesti L dan Tata, 2009) Mikoriza dikenal dengan jamur tanah karena habitatnya berada di dalam tanah dan berada di area perakaran tanaman (rizosfer). Selain disebut sebagai jamur tanah juga biasa dikatakan sebagai jamur akar. Keistimewaan dari jamur ini adalah kemampuannya dalam membantu tanaman untuk menyerap unsur hara terutama unsur hara Phosphates (P) (Syibli, 2008). Mikoriza merupakan suatu bentuk hubungan simbiosis mutualistik antar cendawan dengan akar tanaman. Baik cendawan maupun tanaman sama-sama memperoleh keuntungan dari asosiasi ini. infeksi ini antara lain berupa pengambilan unsur hara dan adaptasi tanaman yang lebih baik. Dilain pihak, cendawan pun dapat memenuhi keperluan hidupnya (karbohidrat dan keperluan tumbuh lainnya) dari tanaman inang (Anas, 1997). Cendawan Mikoriza Arbuskular merupakan tipe asosiasi mikoriza yang tersebar sangat luas dan ada pada sebagian besar ekosistem yang menghubungkan antara tanaman dengan rizosfer. Simbiosis terjadi dalam akar tanaman dimana cendawan mengkolonisasi apoplast dan sel korteks untuk memperoleh karbon dari hasil fotosintesis dari tanaman (Delvian, 2006). CMA termasuk fungi divisi Zygomicetes, famili Endogonaceae yang terdiri dari Glomus, Entrophospora, Acaulospora, Archaeospora, Paraglomus, Gigaspora dan Scutellospora. Hifa memasuki sel kortek akar, sedangkan hifa yang lain menpenetrasi tanah, membentuk chlamydospores (Morton, 2003). Marin (2006) mengemukakan bahwa lebih dari 80% tanaman dapat bersimbiosis dengan CMA serta terdapat pada sebagian besar ekosistem alam dan pertanian serta memiliki peranan yang penting dalam pertumbuhan, kesehatan dan produktivitas tanaman. Berdasarkan struktur dan cara cendawan menginfeksi akar, mikoriza dapat dikelompokkam ke dalam tiga tipe :

1. Ektomikoriza 2. Ektendomikoriza 3. Endomikoriza Ektomikoriza mempunyai sifat antara lain akar yang kena infeksi membesar, bercabang, rambutrambut akar tidak ada, hifa menjorok ke luar dan berfungsi sebagi alat yang efektif dalam menyerap unsur hara dan air, hifa tidak masuk ke dalam sel tetapi hanya berkembang diantara dinding-dinding sel jaringan korteks membentuk struktur seperrti pada jaringan Hartiq. Ektendomikoriza merupakan bentuk antara (intermediet) kedua mikoriza yang lain. Ciri-cirinya antara lain adanya selubung akar yang tipis berupa jaringan Hartiq, hifa dapat menginfeksi dinding sel korteks dan juga sel-sel korteknya. Penyebarannya terbatas dalam tanah-tanah hutan sehingga pengetahuan tentang mikoriza tipe ini sangat terbatas. Endomikoriza mempunyai sifat-sifat antar lain akar yang kena infeksi tidak membesar, lapisan hifa pada permukaan akar tipis, hifa masuk ke dalam individu sel jaringan korteks, adanya bentukan khusus yang berbentuk oval yang disebut Vasiculae (vesikel) dan sistem percabangan hifa yang dichotomous disebut arbuscules (arbuskul) (Brundrett, 2004). Hampir sebagian besar jenis tumbuhan berasosiasi dengan jamur tipe AM (Arbuskul Mikoriza), mulai dari paku-pakuan, jenis rumput-rumputan, padi, hingga pohon rambutan, mangga, karet, kelapa sawit, dll. Sedangkan beberapa keluarga (family) pohon tingkat tinggi yang biasa dijumpai pada tahap suksesi akhir bersimbiosa dengan jamur EM (Ekto Mikoriza), misalnya jenis-jenis meranti, kruing, kamper (jenis-jenis Dipterocarapaceae), pasang, mempening (jenisjenis Fagaceae), pinus, beberapa jenis Myrtaceae (jambu-jambuan) dan beberapa jenis legum. Struktur anatomi AM berbeda dengan EM. Akar yang bersimbiosa dengan EM memiliki struktur khas berupa mantel (lapisan hifa) yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Struktur mikoriza tersebut berfungsi sebagai pelindung akar, tempat pertukaran sumber karbon dan hara serta tempat cadangan karbohidrat bagi jamur. Hifa jamur EM tidak masuk ke dalam dinding sel tanaman inang. Sedangkan akar yang bersimbiosa dengan AM, harus diamati dibawah mikroskop, karena struktur arbuskular atau vesicular terbentuk di dalam sel tanaman inang dan hanya dapat diamati di bawah mikroskop setelah dilakukan perlakuan khusus dan pewarnaan. Struktur arbuskular dan vesicular berfungsi sebagai tempat cadangan karbon dan tempat penyerapan hara bagi tanaman. Miselium eksternal terdapat pada tipe EM dan AM, merupakan perpanjangan mantel ke dalam tanah. Suatu simbiosis terjadi apabila cendawan masuk ke dalam akar atau melakukan infeksi. Proses infeksi dimulai dengan perkecambahan spora didalam tanah. Hifa yang tumbuh melakukan penetrasi ke dalam akar dan berkembang di dalam korteks. Pada akar yang terinfeksi akan terbentuk arbuskul, vesikel intraseluler, hifa internal diantara sel-sel korteks dan hifa ekternal. Penetrasi hifa dan perkembangnnya biasanya terjadi pada bagian yang masih mengalami proses diferensissi dan proses pertumbuhan. Hifa berkembang tanpa merusak sel (Anas, 1998). Hampir semua tanaman pertanian akarnya terinfeksi cendawan mikoriza. Gramineae dan

Leguminosa umumnya bermikoriza. Jagung merupakan contoh tanaman yang terinfeksi hebat oleh mikoriza. Tanaman pertanian yang telah dilaporkan terinfeksi mikoriza vesikular-arbuskular adalah kedelai, barley, bawang, kacang tunggak, nenas, padi gogo, pepaya, selada, singkong dan sorgum. Tanaman perkebunan yang telah dilaporkan akarnya terinfeksi mikoriza adalah tebu, teh, tembakau, palem, kopi, karet, kapas, jeruk, kakao, apel dan anggur (Rahmawati, 2003). Cendawan ini membentuk spora di dalam tanah dan dapat berkembang biak jika berassosiasi dengan tanaman inang. Sampai saat ini berbagai usaha telah dilakukan untuk menumbuhkan cendawaan ini dalam media buatan, akan tetapi belum berhasil. Faktor ini merupakan suatu kendala yang utama sampai saat ini yang menyebabkan CMA belum dapat dipoduksi secara komersil dengan menggunakan media buatan, walaupun pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman sangat mengembirakan. Spora cendawan ini sangat bervariasi dari sekitar 100 mm sampai 600 mm oleh karena ukurannya yang cukup besar inilah maka spora ini dapat dengan mudah diisolasi dari dalam tanah dengan menyaringnya (Pattimahu, 2004). Cendawan CMA membentuk organ-organ khusus dan mempunyai perakaran yang spesifik. Organ khusus tersebut adalah arbuskul (arbuscule), vesikel (vesicle) dan spora. Berikut ini dijelaskan sepintas lalu mengenai struktur dan fungsi dari organ tersebut serta penjelasan lain (Pattimahu, 2004). 1. Vesikel (Vesicle) Vesikel merupakan struktur cendawan yang berasal dari pembengkalan hifa internal secara terminal dan interkalar, kebanyakan berbentuk bulat telur, dan berisi banyak senyawa lemak sehingga merupakan organ penyimpanan cadangan makanan dan pada kondisi tertentu dapat berperan sebagai spora atau alat untuk mempertahankan kehidupan cendawan. Tipe CMA vesikel memiliki fungsi yang paling menonjol dari tipe cendawan mikoriza lainnya. Hal ini dimungkinkan karena kemampuannya dalam berasosiasi dengan hampir 90 % jenis tanaman, sehingga dapat digunakan secara luas untuk meningkatkan probabilitas tanaman (Pattimahu, 2004). 2. Arbuskul Cendawan ini dalam akar membentuk struktur khusus yang disebut arbuskular. Arbuskula merupakan hifa bercabang halus yang dibentuk oleh percabangan dikotomi yang berulang-ulang sehingga menyerupai pohon dari dalam sel inang (Pattimahu, 2004). Arbuskul merupakan percabangan dari hifa masuk kedalam sel tanaman inang. Masuknya hara ini ke dalam sel tanaman inang diikuti oleh peningkatan sitoplasma, pembentukan organ baru, pembengkokan inti sel, peningkatan respirasi dan aktivitas enzim. Hifa intraseluler yang telah mencapai sel korteks yang lebih dalam letaknya akan menembus dinding sel dan membentuk sistem percabangan hifa yang kompleks, tampak seperti pohon kecil yang mempunyai cabang-cabang yang dibenamkan Arbuskul. Arbuskul berperan dua arah, yaitu antara simbion cendawan dan tanaman inang.

Mosse dan Hepper (1975) mengamati bahwa struktur yang dibentuk pada akar-akar muda adalah Arbuskul. Dengan bertambahnya umur, Arbuskul ini berubah menjadi suatu struktur yang menggumpal dan cabang-cabang pada Arbuskul lama kelamaan tidak dapat dibedakan lagi. Pada akar yang telah dikolonisasi oleh CMA dapat dilihat berbagai Arbuskul dewasa yang dibentuk berdasarkan umur dan letaknya. Arbuskul dewasa terletak dekat pada sumber unit kolonisasi tersebut. 3. Spora Spora terbentuk pada ujung hifa eksternal. Spora ini dapat dibentuk secara tunggal, berkelompok atau di dalam sporokarp tergantung pada jenis cendawannya. Perkecambahan spora sangat sensitif tergantung kandungan logam berat di dalam tanah dan juga kandungan Al. kandungan Mn juga mempengaruhi pertumbuhan miselium. Spora dapat hidup di dalam tanah beberapa bulan sampai sekarang beberapa tahun. Namun untuk perkembangan CMA memerlukan tanaman inang. Spora dapat disimpan dalam waktu yang lama sebelum digunakan lagi (Mosse, 1981). Mirip dengan cendawan patogen, hifa cendawan CMA akan masuk ke dalam akar menembus atau melalui celah antar sel epidermis, kemudian apresorium akan tersebar baik inter maupun intraseluler di dalam korteks sepanjang akar. Kadang-kadang terbentuk pula jaringan hifa yang rumut di dalam sel-sel kortokal luar. Setelah proses-proses tersebut berlangsung barulah terbentuk Arbuskul,vesikel dan akhirnya spora (Mosse, 1981). Schubler et al. (2001) dengan menggunakan data molekuler telah menetapkan kekerabatan diantara CMA dan cendawan lainnya. CMA sekarang menjadi filum tersendiri, yang memiliki perbedaan tegas, baik ciri-ciri genetika maupun asal-usul nenek moyangnya, dengan Ascomycota dan Basidiomycota. Taksonomi CMA berubah menjadi filum Glomeromikota yang memiliki empat ordo yaitu 1) Archaeosporales (famili Arachaeosporaceae dan Geosiphonaceae), 2) Paraglomerales (famili Para-glomerace), 3) Diversisporales (famili Acaulosporaceae, Diversisporaceae, Gigaspora-ceae, dan Pacisporaceae) dan 4) Glomerales (famili Glomerace). Dewasa ini filum Glomeromikota disepakati memiliki dua belas genus yaitu Archaeo-spora, Geosiphon, Paraglomus, Gigaspora, Scutellospora, Acaulospora, Kuklospora, Intraspora, Entrophospora, Diversipora, Pacispora, dan Glomus sp. CMA tidak memiliki inang yang spesifik. Fungi yang sama dapat mengkolonisasi tanaman yang berbeda, tetapi kapasitas fungi untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman bervariasi. Satu spesies fungi dipertimbangkan efisien ketika pada beberapa kondisi lingkungan yang berbeda: 1) dapat mengkolonisasi akar secara cepat dan ekstensif, 2) mampu berkompetisi dengan mikroorganisme yang lain untuk tempat menginfeksi dan mengabsorpsi nutrisi. 3) segera membentuk miselium secara ekstensif dan ekstraradikal, 4) mengabsorpsi dan mentransfer nutrisi ke tanaman, 5) meningkatkan keuntungan non nutrisi kepada tanaman, seperti agregasi dan stabilisasi tanah. Walaupun demikian, biasanya evaluasi hanya mencakup respon tanaman terhadap inokulasi fungi yang berbeda. Oleh karena itu, jarang sekali satu spesies akan efisien pada semua kondisi lingkungan, sehingga memungkinkan bahwa inokulasi multi-spesies menunjukan hasil yang terbaik dibandingkan dengan hanya satu spesies. Hal ini menunjukan adanya kerjasama coexist secara harmonis di dalam akar (Sagin Junior & Da Silva, 2006).

CMA beradaptasi secara edaphoclimatic serta dengan kondisi kultur teknis tanaman. CMA yang beradaftasi dengan baik tersebut merupakan fungi indigen yang terseleksi dari ekosistem pada tanaman tersebut. Selanjutnya fungi indigen yang terisolasi harus dievaluasi dalam kaitan respon inokulasi untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman pada kondisi tanah yang berbeda. (Sagin Junior & Da Silva, 2006). Hal ini sejalan dengan penelitian lapangan yang dilakukan Lukiwati (2007) dan Sieverding (1991) bahwa keberhasilan inokulasi CMA tergantung kepada spesies CMA indegen serta potensi dari inokulan sendiri. Lebih jauh dikemukakan bahwa keefektifan populasi CMA indigen berhubungan dengan beberapa faktor seperti status hara tanah, tanaman inang, kepadatan propagula, serta kompetisi antara CMA dan mikroorganisme tanah lainnya. Kepadatan CMA tidak dipengaruhi oleh jenis tanaman penutup tetapi dipengaruhi interaksi antara jenis tanaman penutup dengan interval kedalaman tanah. Kepadatan CMA tertinggi terdapat pada tanaman penutup herba (Chromolaena odorata dan Stoma malabathricum) dengan interval kedalaman 0 5 cm. Sedangkan kepadatan terendah terdapat pada tanaman penutup rumput dengan kedalaman 5-15 cm. Hal ini menunjukan bahwa kedalaman tanah merupakan faktor penting dalam identifikasi dan isolasi propagula CMA (Handayani et al., 2002). Tingkat kolonisasi akar merupakan prasyarat CMA pada tanaman inang. Tingkat kolonisasi di lapangan tergantung pada spesies tanaman inang, kondisi tanah serta spesies CMA indigen. Persentase kolonisasi juga tergantung kepada kepadatan akar tanaman. Lebih jauh dikatakan bahwa tingkat kolonisasi memberikan gambaran seberapa besar pengaruh luar terhadap hubungan akar dan CMA (Sieverding, 1991). Bersambung ke bagian 2 yang dapat dilihat pada pustaka dibawah ini: Pustaka: Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri & Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Palembang. Propinsi Sumatera Selatan. Indonesia. Http://dasar2ilmutanah.blogspot.com. Diposkan oleh Dr. Ir. Abdul Madjid, MS di 21:08 0 komentar Label: Biologi Tanah

PERAN DAN PROSPEK MIKORIZA (Bagian 2)


PERAN DAN PROSPEK MIKORIZA* Oleh: Novriani ** dan Madjid*** (Bagian 2 dari 5 Tulisan) Keterangan: * Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya, Palembang, Indonesia.

** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2). Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Palembang, Indonesia. ** Dosen Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2). Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Palembang, Indonesia. (Bagian 2 dari 5 Tulisan) II. PERKEMBANGAN PENELITIAN MIKORIZA Banyak faktor biotik dan abiotik yaang menentukan perkembangan CMA. Faktor-faktor tersebut antar lain suhu, tanah, kadar air tanah, pH, bahan organik tanah, intensitas cahaya dan ketersediaan hara, logam berat dan fungisida. Berikut ini faktor tersebut diuraikan satu persatu. Suhu Suhu yang relatif tinggi akan meningkatkan aktivitas cendawan. Untuk daerah tropika basah, hal ini menguntungkan. Proses perkecambahan pembentukan CMA melalui 3 tahap yaitu perkecambahan spora di tanah, penetrasi hifa ke dalam sel akar dan perkembangan hifa di dalam korteks akar. Suhu optimum untuk perkecambahan spora sangat beragam tergantung pada jenisnya (Mosse, 1981). Suhu yang tinggi pada siang hari (35 0C) tidak menghambat perkembangan akar dan aktivitas fisiologi CMA. Peran mikoriza hanya menurun pada suhu diatas 40 0C. suhu bukan merupakan faktor pembatas utama bagi aktivitas CMA. Suhu yang sangat tingi lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman inang (Mosse, 1981). Kadar Air tanah Untuk tanaman yang tumbuh di daerah kering, adanya CMA menguntungkan karena dapat meningkatkaan kemampuan tanaman untuk tumbuh dan bertahan pada kondisi yang kurang air. Adanya CMA dapat memperbaiki dan meningkatkan kapasitas serapan air tanaman inang. Vesser et al., (1984) mengamati kenampakan aneh pada bibit tanaman alpukat (Acacua raddiana) yang dinikolasi dengan CMA.pada tengah hari, saat kelembapan air rendah, daun bibit alpukat ber CMA tetap terbuka sedangkan tanaman yang tidak dinokulasi tertutup. Hal ini manandakan bahwa tanaman yang tidak berCMA memiliki evapotranspirasi yang lebih besar dari tanaman ber CMA. Meningkatnya kapasitas serapan air pada tanaman alpukat ber CMA menyebabkan bibit lebih tahan terhadap pemindahan. Ada beberapa dugaan mengapa tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan diantaranya adalah : (1) adanya mikoriza menyebabkan resistensi akar terhadap gerakan air menurun sehingga transport air ke akar meningkat, (2) tanaman kahat P lebih peka terhadap kekeringan, adanya CMA menyebabkan status P tanaman meningkat sehingga menyebabkan daya tahan terhadap kekeringan meningkat pula, (3) adanya hifa ekternal menyebabkan tanaman

ber CMA lebih mampu mendapatkan air daripada yang tidak ber CMA, tetapi jika mekanisme ini yang terjadi berarti kandungan logam-logam tanah lebih cepat menurun. Penemuan akhir-akhir ini yang menarik adalah adanya hubungan antara potensial air tanah dan aktivitas mikoriza. Pada tanaman ber mikoriza jumlah air yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 gram bobot kering tanaman lebih sedikit dari pada tanaman yang tidak bermikoriza, karena itu (4) tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan barangkali karena pemakaian air yang lebih ekonomis, (5) pengaruh tidak langsung karena adanya miselium ekternal menyebabkan CMA mampu dalam mengagregasi butir-butir tanah sehingga kemampuan tanah menyimpan air meningkat (Rotwell, 1984). pH tanah Cendawan pada umunya lebih tahan terhadap perubahan pH tanah. Meskipun demikian daya adaptasi masing-masing spesies cendawan CMA terhadap pH tanah berbeda-beda karena pH tanah mempengaruhi perkecambahan, perkembangan dan peran mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman (Mosse, 1981). Bahan Organik Bahan organik merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang penting disamping bahan anorganik, air dan udara. Jumlah spora CMA tampaknya berhubungan erat dengan kandungan bahan organik di dalam tanah. Jumlah maksimum spora ditemukan pada tanah-tanah yang mengandung bahan organik 1-2 persen sedangkan paada tanah-tanah berbahan organik kurang dari 0.5 persen kandungan spora sangat rendah (Anas, 1997). Residu akar mempengaruhi ekologi cendawan CMA, karena serasah akar yang terinfeksi mikoriza merupakan sarana penting untuk mempertahankan generasi CMA dari satu tanaman ke tanaman berikutnya. Serasah tersebut mengandung hifa, vesikel dan spora yang dapat menginfeksi CMA. Disaamping itu juga berfungsi sebagai inokulan untuk generasi tanaman berikutnya (Anas, 1997). Cahaya dan Ketersediaan Hara Anas (1997) menyimpulkan bahwa intensitas cahaya yang tinggi dengan kekahatan nitrogen ataupun fospor sedang akan meningkatkan jumlah karbohidrat didalam akar sehingga membuat tanaman lebih peka terhadap infeksi oleh cendawaan CMA. Derajat infeksi terbesar terjadi pada tanah-tanah yang mempunyai kesuburan yang rendah. Pertumbuhan perakaran yang sangat aktif jarang terinfeksi oleh CMA. Jika pertumbuhan dan perkembangan akar menurun infeksi CMA meningkat. Peran mikoriza yang erat dengan penyedian P bagi tanaman menunjukan keterikatan khusus antara mikoriza dan status P tanah. Pada wilayah beriklim sedang konsentrasi P tanah yang tinggi menyebabkan menurunnya infeksi CMA yang mungkin disebabkan konsentrasi P internal

yang tinggi dalam jaringan inang (Anas., 1997). Penagruh Logam Berat dan Unsur lain Pada tanah-tanah tropika sering permasalahan salinitas dan keracunan alumunium maupun mangan. Sedikit diketahui pangaruh CMA pada pengambilan sodium, klor, alumunium dan mangan. Disamping itu pengetahuan mengenaai pengaruh masing-masing ion tersebut terhadap terhadap CMA secara langsung maupun dalam hubungannya dengan pertumbuhan tanaman atau metabolisme inang belum banyak yang diketahui. Mosse (1981) mengamati infeksi CMA lebih tinggi pada tanah yang mengalami kekahatan Mn daripada yang tidak. Pada percobaan dengan menggunakan tiga jenis tanah dari wilayah iklim sedang didapatkan bahwa pengaruh menguntungkan karena adanya CMA menurun dengan naiknya kandungan Al di dalam tanah. Alumunium di ketahui menghambat muncul jika ke dalam larutan tanah ditambahkan kalsium (Ca). Jumlah Ca di dalam larutan tanah rupa-rupanya mempengaruhi perkembangan CMA. Tanaman yang ditumbuhkan pada tanah yaang memilik derajat infeksi CMA yang rendah (Happer et al., 1984 dalam Anas, 1997). Hal ini mungkin karena peran Ca2+ dalam memelihara integritas membran sel. Beberapa spesies CMA diketahui mampu beradaptasi dengan tanah yang tercemar seng (Zn), tetapi sebagian besar spesies CMA peka terhadap kandungan Zn yang tinggi. Pada beberapa penelitian lain diketahui pula bahwa strain-strain cendawan CMA tertentu toleran terhadap kandungan Mn, Al, dan Na yang tinggi (Mosse, 1981). Fungisida Fungisida merupakan racun kimia yang dirakit untuk membunuh cendawan penyebab penyakit pada tanaman. Rupa-rupanya di samping mampu memberantas cendawan penyebab penyakit, fungisida Agrosan, Benlate, Plantavax, meskipun dalam konsentrasi yang sangat rendah (2.5 mg per g tanah) menyebabkan turunnya kolonisasi CMA yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman dan pengambilan P (Manjunath dan Bagyaraj, 1984). Pemakaian fungisida menjadi dilematis, di satu pihak jika fungisida tidak dipakai maka tanaman yang terserang cendawan bisa mati atau merosot hasilnya, tetapi jika dipakai membunuh cendawan CMA yang sangat berguna bagi pertumbuhan tanaman. Pada masa depan perlu dicari satu cara untuk mengendalikan penyakit tanaman tanpa menimbulkan pengaruh yang merugikan terhadap jasad renik berguna di dalam tanah. Praktek pengendalian secara biologis perlu mendapat perhatian lebih serius karena memberikan dampak negatif yang mampu bertindak sebagai pengendali hayati yang aktif terhadap serangan patogen akar (Marx, 1982 dalam Anas, 1997). Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkecambahan spora cendawan mikoriza. Kondisi lingkungan dan edapik yang cocok untuk perkecambahan biji dan pertumbuhan akar tanaman biasanya juga cocok untuk perkecambahan spora cendawan. Cendawan pada umumnya

memiliki ketahanan cukup baik pada rentang faktor lingkungan fisik yang lebar. Mikoriza tidak hanya berkembang pada tanah berdrainase baik, tapi juga pada lahan tergenang seperti pada padi sawah (Solaiman dan Hirata, 1995). Bahkan pada lingkungan yang sangat miskin atau lingkungan yang tercemar limbah berbahaya, cendawan mikoriza masih memperlihatkan eksistensinya (Aggangan et al, 1998). Sifat cendawan mikoriza ini dapat dijadikan sebagai dasar dalam upaya bioremidiasi lahan kritis. Ekosistem alami mikoriza di daerah tropika (tropical rain forest), dicirikan oleh keragaman spesies yang sangat tinggi, khususnya dari jenis ektomikoriza (Munyanziza et al 1997). Hutan alami yang terdiri dari banyak spesies tanaman dan umur yang tidak seragam sangat mendukung perkembangan mikoriza. Konversi hutan untuk lahan pertanian akan mengurangi keragaman jenis dan jumlah propagul cendawan, karena perubahan spesies tanaman, jumlah bahan organik yang dihasilkan, unsur hara dan struktur tanah. Hutan multi spesies berubah menjadi hutan monokultur dengan umur seragam sangat berpengaruh terhadap jumlah dan keragaman mikoriza. Selang waktu antara pembukaan lahan dengan tanaman komersial berikutnya biasanya cukup lama dan tanah dibiarkan dalam keadaan kosong sehingga terjadi perubahan drastis pada iklim mikro yang cendrung kering. Akumulasi perubahan lingkungan mulai dari pembabatan hutan, pembakaran, kerusakan struktur dan pemadatan tanah akan mengurangi propagul cendawan mikorisa. Praktek pertanian seperti pengolahan tanah, cropping sistem, ameliorasi dengan bahan organik, pemupukan dan penggunaan pestisida sangat berpengaruh terhadap keberadaan mikoriza (Zarate dan Cruz, 1995). Pengolahan tanah yang intensif akan merusak jaringan hifa ekternal cendawan mikoriza. Penelitian McGonigle dan Miller (1993), menunjukkan bahwa pengolahan tanah minimum akan meningkatkan populasi mikoriza dibanding pengolahan tanah konvensional. Usahatani tumpangsari jagung-kedelai juga diketahui meningkatkan perkembangbiakan cendawan VAM. Ameliorasi tanah dengan bahan organik sisa tanaman atau pupuk hijau merangsang perkembangbiakan cendawan VAM. Dalam budidaya tradisional, pengolahan tanah berulang-ulang dan panen menyebabkan erosi hara dan bahan organik dari lahan tersebut dan ini berpengaruh terhadap populasi AM. Dalam pertanian modern yang menggunakan pupuk dan pestisida berlebihan (Rao, 1994) serta terjadinya kompaksi tanah oleh alsintan (McGonigle dan Miller, 1993) berpengaruh negatif terhadap mikoriza. Konsekuensinya adalah produktivitas sistem pertanian akan sangat tergantung pada pupuk buatan dan pestisida. Pemanfaatan CMA termasuk ke dalam kelompok endomikoriza pada beberapa tanaman komersial telah menunjukkan hasil yang cukup baik terlihat dari beberapa penelitian berikut ini: Inokulasi CMA pada apel dapat meningkatkan kandungan P pada daun dari 0,04 menjadi 0, 1 9% (Gededda et al. 1984). Penggunaan CMA (Glomus etunicatum dan Gigaspora margarita) dapat meningkatkan pertumbuhan beberapa jenis bibit apel dan mendorong pertumbuhan tanaman di pembibitan (Matsubara et al. 1996). Pada tanaman pisang, inokulasi mikoriza juga mampu meningkatkan pertambahan tinggi tanaman serta kandungan hara N, P, K, dan Ca pada daun (Muas dan Jumjunidang 1994). Inokulasi CMA pada bibit jeruk dapat memacu pertumbuhannya (Jawal et al. 2005).

Dalam pemanfaatan CMA pada suatu tanaman, jenis dan macam inokulum yang digunakan cukup menentukan dalam keberhasilan pencapaian sasaran. Penggunaan inokulum CMA campuran yang terdiri dari beberapa spesies tampaknya lebih efektif daripada penggunaan spesies tunggal (Camprubi dan Calvet, 1996). Untuk tanaman manggis, CMA campuran yang berasal dari daerah Padang, Sawahlunto Sijunjung, dan Limapuluh Kota mampu mempercepat pertumbuhan semaian manggis sekitar 40% dibandingkan dengan semaian yang tidak diinokulasi dengan mikoriza (Muas et al. 2002). Inokulasi species CMA juga berpengaruh terhadap tinggi bibit hanya pada umur 4 dan 20 MST, jumlah daun pada umur 4, 8 dan 28 MST, bobot kering tajuk, bobot kering total dan serapan Ptajuk bibit kelapa sawit. Secara umum pemberian CMA belum dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit dan serapan P-tajuk Inokulasi G. manihotis pada perakaran bibit kelapa sawit menurunkan secara nyata tinggi bibit pada umur 4 dan 20 MST berturut-turut sebesar 37.7% dan 4.5% dibandingkan dengan kontrol, sedangkan inokulasi G. aggregatum tidak berbeda dengan kontrol. Demikian pula terhadap jumlah daun pada umur 4 dan 8 MST, G. manihotis menurunkan jumlah daun berturut-turut sebesar 40% dan 8.7% dibandingkan dengan kontrol, sedangkan inokulasi G. aggregatum tidak berbeda dengan kontrol. Pada umur 28 MST kedua species CMA meningkatkan jumlah daun secara nyata masing- masing sebesar 5.2% dibandingkan dengan kontrol. Bersambung ke bagian 3 yang dapat dilihat pada pustaka dibawah ini: Pustaka: Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri & Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Palembang. Propinsi Sumatera Selatan. Indonesia. Http://dasar2ilmutanah.blogspot.com. Diposkan oleh Dr. Ir. Abdul Madjid, MS di 21:02 0 komentar Label: Biologi Tanah

PERAN DAN PROSPEK MIKORIZA (Bagian 3)


PERAN DAN PROSPEK MIKORIZA* Oleh: Novriani ** dan Madjid*** (Bagian 3 dari 5 Tulisan) Keterangan: * Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya, Palembang, Indonesia. ** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2). Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Palembang, Indonesia. ** Dosen Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2). Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Palembang, Indonesia.

(Bagian 3 dari 5 Tulisan) III. PEMANFAATAN MIKORIZA Tanaman yang bermikoriza tumbuh lebih baik dari tanaman tanpa bermikoriza. Penyebab utama adalah mikoriza secara efektif dapat meningkatkan penyerapan unsur hara baik unsur hara makro maupun mikro. Selain daripada itu akar yang bermikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan yang tidak tersedia bagi tanaman (Anas, 1997). Selain daripada membentuk hifa internal, mikoriza juga membentuk hifa ekternal. Pada hifa ekternal akan terbentuk spora, yang merupakan bagian penting bagi mikoriza yang berada diluar akar. Fungsi utama dari hifa ini adalah untuk menyerap fospor dalam tanah. Fospor yang telah diserap oleh hifa ekternal, akan segera dirubah manjadi senyawa polifosfat. Senyawa polifosfat ini kemudian dipindahkan ke dalam hifa internal dan arbuskul. Di dalam arbuskul. Senyawa polifosfat ini kemudian dipindahkan ke dalam hifa internal dan arbuskul. Di dalam arbuskul senyawa polifosfat dipecah menjadi posfat organik yang kemudian dilepaskan ke sel tanaman inang. Adanya hifa ekternal ini penyerapan hara terutama posfor menjadi besar dibanding dengan tanaman yang tidak terinfeksi dengan mikoriza. Peningkatan serafan posfor juga disebabkan oleh makin meluasnya daerah penyerapan, dan kemampuan untuk mengeluarkan suatu enzim yang diserap oleh tanaman. Sebagai contoh dapat dilihat pengaruh mikoriza terhadap pertumbuhan berbagai jenis tanaman dan juga kandungan posfor tanaman (Anas, 1997). Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan adanya simbiosis ini adalah: 1) miselium fungi meningkatkan area permukaan akuisisi hara tanah oleh tanaman, 2) meningkatkan toleransi terhadap kontaminasi logam, kekeringan, serta patogen akar, 3) memberikan akses bagi tanaman untuk dapat memanfaatkan hara yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman (Gentili & Jumpponen, 2006). Selanjutnya Sagin Junior dan Da Silva (2006) mengungkapkan bahwa adanya mikoriza berpengaruh terhadap: 1) adanya peningkatan absorpsi hara, sehingga waktu yang diperlukan untuk mencapai akar lebih cepat, 2) meningkatkan toleransi terhadap erosi, pemadatan, keasaman, salinitas, 3) melindungi dari herbisida, serta 4) memperbaiki agregasi partikel tanah. Cumming dan Ning (2003) mengemukakan bahwa simbiosis CMA berperan penting dalam resistansi tanaman terhadap Al. Pengaruh ini terutama terlihat pada peningkatan serapan hara yang diperlukan tanaman (P, Cu, dan Zn). Selain itu, CMA mereduksi akumulasi elemen lain seperti Al, Fe, dan Mn yang menjadi masalah pada tanah masam. Penelitian oleh Lee dan George (2001) menunjukkan bahwa hara P, Zn, dan Cu diserap dan ditransportasikan ke tanaman inang oleh hifa CMA dan sebaliknya unsur-unsur Cd dan Ni tidak ditransportasikan oleh hifa ke

tanaman inang. Hal ini menunjukan bahwa kolonisasi CMA dapat melindungi tanaman dari pengaruh toksik unsur Cd dan Ni tersebut. Pada kedelei, infeksi CMA menstimulasi penyerapan Zn. Dengan adanya CMA, konsentrasi Zn pada daun lebih tinggi. Konsentrasi Cu lebih tinggi pada tanaman dengan CMA dibandingkan dengan tanaman tanpa CMA pada tahap awal pertumbuhan, tetapi menurun pada saat berbunga dan setelah itu meningkat lagi (Raman dan Mahadevan, 2006). Hal ini sejalan dengan Pacovsky et al. (1986) yang mengemukakan bahwa adanya penurunan penyerapan Mn dan Fe sedangkan P, Zn dan Cu meningkat. Perbaikan pertumbuhan tanaman karena mikoriza bergantung pada jumlah fosfor yang tersedia di dalam tanah dan jenis tanamannya. Pengaruh yang mencolok dari mikoriza sering terjadi pada tanah yang kekurangan fosfor. Efisiensi pemupukan P sangat jelas meningkat dengan penggunaan mikoriza. Hasil penelitian Mosse (1981) menunjukkan bahwa tanpa pemupukan TSP produksi singkong pada tanaman yang tidak bermikoriza kurang dari 2 g, sedangkan ditambahkan TSP pada takaran setara dengan 400 kg P/ha, masih belum ada peningkatan hasil singkong pada perlakuan tanpa mikoriza. Hasil baru meningkat bila 800 kg P/ha ditambahkan. Pada tanaman yang diinfeksi mikoriza, penambahan TSP setara dengan 200 kg P/ha saja telah cukup meningkatkan hasil hampir 5 g, penambahan pupuk selanjutnya tidak begitu nyata meningkatkan hasil. Manfaat lain pada tanaman yang diberi mikoriza adalah : 1. Peningkatan Ketahanan terhadap Kekeringan Tanaman yang bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan dari pada yang tidak bermikoriza. Rusaknya jaringan korteks akibat kekeringan dan matinya akar tidak akan permanen pengaruhnya pada akar yang bermikoriza. Setelah periode kekurangan air (water stress), akar yang bermikoriza akan cepat kembali normal. Hal ini disebabkan karena hifa cendawan mampu menyerap air yang ada pada pori-pori tanah saat akar tanaman tidak mampu lagi menyerap air. Penyebaran hifa yang sangat luas di dalam tanah menyebabkan jumlah air yang diambil meningkat (Anas, 1997). Jaringan hifa ekternal dari mikoriza akan memperluas bidang serapan air dan hara. Disamping itu ukuran hifa yang lebih halus dari bulu-bulu akar memungkinkan hipa bisa menyusup ke pori-pori tanah yang paling kecil (mikro) sehingga hifa bisa menyerap air pada kondisi kadar air tanah yang sangat rendah (Killham, 1994). Serapan air yang lebih besar oleh tanaman bermikoriza, juga membawa unsur hara yang mudah larut dan terbawa oleh aliran masa seperti N, K dan S. sehingga serapan unsur tersebut juga makin meningkat. Kendala pokok pembudidayaan lahan kering ialah keterbatasan air, baik itu curah hujan maupun air aliran permukaan. Notohadinagoro (1997) mengatakan bahwa tingkat kekeringan pada lahan kering sampai batas tertentu dipengaruhi oleh daya tanah menyimpan air. Tingkat kekeringan berkurang atau lamanya waktu tanpa kekurangan air (water stress) bertambah panjang apabila tanah mempunyai daya simpan air besar. Sebaliknya tingkat kekeringan meningkat, atau lamanya waktu dengan kekurangan air bertambah panjang apabila tanah mempunyai daya

simpan air kecil. Lama waktu tanpa atau dengan sedikit kekurangan air menentukan masa musim pertumbuhan tanaman, berarti lama waktu pertanaman dapat dibudidayakan secara tadah hujan. Inokulasi mikoriza yang mempunyai hifa akan membantu proses penyerapan air yang terikat cukup kuat pada pori mikro tanah. Sehingga panjang musim tanam tanaman pada lahan kering diharapkan dapat terjadi sepanjang tahun. Sejumlah percobaan telah membuktikan hubungan saling menguntungkan, yaitu adanya cendawan mikoriza sangat meningkatkan efisiensi penyerapan mineral dari tanah. Cendawan MVA mempunyai hubungan mutualistik dengan tanaman inang, dengan jalan memobilisasi fosfor dan hara mineral lain dalam tanah, kemudian menukarkan hara ini dengan karbon inang dalam bentuk fotosintat. 2. Lebih Tahan terhadap Serangan Patogen Akar Mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui perlindungan tanaman dari patogen akar dan unsur toksik. Imas et al (1993) menyatakan bahwa struktur mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi bagi terjadinya patogen akar. Terbungkusnya permukaan akar oleh mikoriza menyebabkan akar terhindar dari serangan hama dan penyakit. Infeksi patogen akar terhambat. Tambahan lagi mikoriza menggunakan semua kelebihan karbohidrat dan eksudat akar lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok bagi patogen. Dilain pihak, cendawan mikoriza ada yang dapat melepaskan antibiotik yang dapat mematikan patogen (Anas,1997). Mekanisme perlindungan dapat diterangkan sebagai berikut : 1. Adanya selaput hifa (mantel) dapat berfungsi sebagai barier masuknya patogen. 2. Mikoriza menggunakan hampir semua kelebihan karbohidrat dan eksudat lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok untuk patogen. 3. Cendawan mikoriza dapat mengeluarkan antibiotik yang dapat mematikan patogen. 4. Akar tanaman yang sudah diinfeksi cendawan mikoriza, tidak dapat diinfeksi oleh cendawan patogen yang menunjukkan adanya kompetisi. Mikoriza juga dapat melindungi tanaman dari ekses unsur tertentu yang bersifat racun seperti logam berat (Killham, 1994). Mekanisme perlindungan terhadap logam berat dan unsur beracun yang diberikan mikoriza dapat melalui efek filtrasi, menonaktifkan secara kimiawi atau penimbunan unsur tersebut dalam hifa cendawan. Khan (1993) menyatakan bahwa VAM dapat terjadi secara alami pada tanaman pioner di lahan buangan limbah industri, tailing tambang batubara, atau lahan terpolusi lainnya. Inokulasi dengan inokulan yang cocok dapat mempercepat usaha penghijauan kembali tanah tercemar unsur toksik. Mikoriza juga bisa memberikan kekebalan bagi tumbuhan inang. Mikoriza ini menjadi pelindung fisik yang kuat, sehingga perakaran sulit ditembus penyakit (patogen), sebab jamur ini mampu membuat bahan antibotik untuk melawan penyakit. Mikoriza sangat mengurangi perkembangan penyakit busuk akar yang disebabkan oleh Phytopthora cenamoni. Demikian pula mikoriza telah dilaporkan dapat mengurangi serangan nematode. Jika terhadap jasad renik berguna, CMA memberikan sumbangan yang menguntungkan, sebaliknya terhadap jasad renik penyebab penyakit CMA justru berperan sebagai pengendali hayati yang aktif terutama terhadap serangan patogen akar (Huang et al., 1993). Interaksi

sebenarnya antara CMA, patogen akar, dan inang cukup kompleks dan kemampuan CMA dalam melindungi tanaman terhadap serangan patogen tergantung spesies, atau strain cendawan CMA dan tanaman yang terserang (Mosse, 1981). Namun demikian tidak selamanya mikoriza memberikan pengaruh yang menguntungkan dari segi patogen. Pada tanaman tertentu, adanya mikoriza menarik perhatian zoospora Phytopthora, sehingga tanaman menjadi lebih peka terhadap penyakit busuk akar. 3. Produksi Hormon dan zat Pengatur Tumbuh Telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa cendawan mikoriza dapat menghasilkan hormon seperti, sitokinin dan giberalin. Zat pengatur tumbuh seperti vitamin juga pernah dilaporkan sebagai hasil metabolisme cendawan mikoriza (Anas, 1997). Cendawan mikoriza bisa membentuk hormon seperti auxin, citokinin, dan giberalin, yang berfungsi sebagai perangsang pertumbuhan tanaman. 4. Manfaat Tambahan dari Mikoriza Penggunaan inokulum yang tepat dapat menggantikan sebagian kebutuhan pupuk. Sebagai contoh mikoriza dapat menggantikan kira-kira 50% kebutuhan fosfor, 40% kebutuhan nitrogen, dan 25% kebutuhan kalium untuk tanaman lamtoro (De la cruz, 1981 dalam Husin dan Marlis, 2000). Penggunaan mikoriza lebih menarik ditinjau dari segi ekologi karena aman dipakai, tidak menyebabkan pencemaran lingkungan. Bila mikoriza tertentu telah berkembang dengan baik di suatu tanah, maka manfaatnya akan diperoleh untuk selamanya. Mikoriza juga membantu tanaman untuk beradaptasi pada pH yang rendah. Demikian pula vigor tanaman bermikoriza yang baru dipindahkan kelapang lebih baik dari yang tanpa mikoriza (Anas, 1997). Mikoriza berpegaruh juga dari segi fisik, yaitu dengan adanya hifa eksternal mikoriza banyak mengandung logam berat, dan daerah tambang memberikan harapan tersendiri untuk digunakan pada proyek rehabilitasi/reklamasi daerah bekas tambang. Bahkan ada mikoriza yang menginfeksi tanaman yang tumbuh di dalam air. Hasil penelitian sementara staf Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB menunjukkan bahwa dari akar padi sawah juga dapat diinokulasi mikoriza tertentu. Bila ini benar, maka tidak mustahil mikoriza akan memegang peranan sangat penting dalam pengembangan pertanian di Indonesia (Anas, 1997). 5. Perbaikan Struktur Tanah. Mikoriza merupakan salah satu dari jenis jamur. Jamur merupakan suatu alat yang dapat memantapkan struktur tanah. Cendawan mikoriza melalui jaringan hifa eksternal dapat memperbaiki dan memantapkan struktur tanah. Sekresi senyawa-senyawa polisakarida, asam organik dan lendir oleh jaringan hifa eksternal yang mampu mengikat butir-butir primer menjadi

agregat mikro. "Organic binding agent" ini sangat penting artinya dalam stabilisasi agregat mikro. Kemudian agregat mikro melalui proses "mechanical binding action" oleh hifa eksternal akan membentuk agregat makro yang mantap. Wright dan Uphadhyaya (1998) mengatakan bahwa cendawan VAM mengasilkan senyawa glycoprotein glomalin yang sangat berkorelasi dengan peningkatan kemantapan agregat.. Menurut Hakim, et al (1986) faktor-faktor yang terlibat dalam pembentukan struktur adalah organisme, seperti benang-benang jamur yang dapat mengikat satu partikel tanah dan partikel lainnya Selain akibat dari perpanjangan dari hifa-hifa eksternal pada jamur mikoriza, sekresi dari senyawa-senyawa polysakarida, asam organik dan lendir yang di produksi juga oleh hifa-hifa eksternal, akan mampu mengikat butir-butir primer/agregat mikro tanah menjadi butir sekunder/agregat makro. Agen organik ini sangat penting dalm menstabilkan agregat mikro dan melalui kekuatan perekat dan pengikatan oleh asam-asam dan hifa tadi akan membentuk agregat makro yang mantap (Subiksa, 2002). Prinsip kerja dari mikoriza ini adalah menginfeksi sistem perakaran tanaman inang, memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman yang mengandung mikoriza tersebut akan mampu meningkatkan kapasitas dalam penyerapan unsur hara (Iskandar, 2002). Konsentrasi glomalin lebih tinggi ditemukan pada tanah-tanah yang tidak diolah dibandingkan dengan yang diolah. Glomalin dihasilkan dari sekresi hifa eksternal bersama enzim-enzim dan senyawa polisakarida lainnya. Pengolahan tanah menyebabkan rusaknya jaringan hifa sehingga sekresi yang dihasilkan sangat sedikit. Pembentukan struktur yang mantap sangat penting artinya terutama pada tanah dengan tekstur berliat atau berpasir. Thomas et al (1993) menyatakan bahwa cendawan VAM pada tanaman bawang di tanah bertekstur lempung liat berpasir secara nyata menyebabkan agregat tanah menjadi lebih baik, lebih berpori dan memiliki permeabilitas yang tinggi, namun tetap memiliki kemampuan memegang air yang cukup untuk menjaga kelembaban tanah.. Struktur tanah yang baik akan meningkatkan aerasi dan laju infiltrasi serta mengurangi erosi tanah, yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Dengan demikian mereka beranggapan bahwa cendawan mikoriza bukan hanya simbion bagi tanaman, tapi juga bagi tanah. Pembentukan struktur tanah yang baik merupakan modal bagi perbaikan sifat fisik tanah yang lain. Sifat-sifat fisik tanah yang diperbaiki akibat terbentuknya struktur tanah yang baik seperti perbaikan porositas tanah, perbaikan permeabilitas tanah serta perbaikan dari pada tata udara tanah. Perbaikan dari struktur tanah juga akan berpengaruh langsung terhadap perkembangan akar tanaman. Pada lahan kering dengan makin baiknya perkembangan akar tanaman, akan lebih mempermudah tanaman untuk mendapatkan unsur hara dan air, karena memang pada lahan kering faktor pembatas utama dalam peningkatan produktivitasnya adalah kahat unsur hara dan kekurangan air. Akibat lain dari kurangnya ketersediaan air pada lahan kering adalah kurang atau miskin bahan organik. Kemiskinan bahan organik akan memburukkan struktur tanah, lebih-lebih pada tanah yang bertekstur kasar sehubungan dengan taraf pelapukan rendah.

6. Meningkatkan Serapan Hara P Hal sangat penting, yaitu Mikoriza juga diketahui berinteraksi sinergis dengan bakteri pelarut fosfat atau bakteri pengikat N. Inokulasi bakteri pelarut fosfat (PSB) dan mikoriza dapat meningkatkan serapan P oleh tanaman tomat (Kim et al,1998) dan pada tanaman gandum (Singh dan Kapoor, 1999). Adanya interaksi sinergis antara VAM dan bakteri penambat N2 dilaporkan oleh Azcon dan Al-Atrash (1997) bahwa pembentukan bintil akar meningkat bila tanaman alfalfa diinokulasi dengan Glomus moseae. Sebaliknya kolonisasi oleh jamur mikoriza meningkat bila tanaman kedelai juga diinokulasi dengan bakteri penambat N, B. japonicum.cendawan mikoriza ini memiliki enzim pospatase yang mampu menghidrolisis senyawa phytat (my-inosital 1,2,3,4,5,6 hexakisphospat). Phytat adalah senyawa phospat komplek, phytat tertimbun didalam tanah hingga 20%-50% dari total phospat organik, merupakan pengikat kuat (chelator) bagi kation seperti Kalsium (Ca++), Magnesium (Mg++), Seng (Zn++), Besi (Fe++), dan protein. Phytat di dalam tanah merupakan sumber phosphat, dengan bantuan enzim phospatase phytat dapat dihidrolisis menjadi myoinosital, phosphor bebas dan mineral, sehingga ketersediaan phosphor dan mineral dalam tanah dapat terpenuhi. Dengan demikian cendawan mikoriza terlibat dalam siklus dan dapat memanen unsur P. Di beberapa negara terungkap bahwa beberapa jenis tanaman memberikan respon positif terhadap inokulasi cendawan mikoriza (MVA). Tanaman bermikoriza dapat menyerap P, dalam jumlah beberapa kali lebih besar dibanding tanaman tanpa mikoriza, khususnya pada tanah yang miskin P. Disamping itu tanaman yang terinfeksi MVA ternyata daya tahan tanaman dan laju fotosintesis lebih tinggi dibanding tanaman tanpa MVA, meskipun konsentrasi P pada daun rendah (kekurangan). Dengan adanya hifa (benang-benang yang bergerak luas penyebarannya), maka tanaman menjadi lebih tahan kekeringan. Hifa cendawan ini memiliki kemampuan istimewa, disaat akar tanaman sudah kesulitan menyerap air, hifa jamur masih mampu meyerap air dari pori-pori tanah. Secara alami mikoriza terdapat secara luas, mulai dari daerah artik tundra sampai ke daerah tropis dan dari daerah bergurun pasir sampai ke hutan hujan tropis, yang melibatkan lebih dari 80% tumbuhan yang ada (Subiksa, 2002). Perkembangan kehidupan mikoriza berlangsung di dalam jaringan akar tanaman inang, setelah didahului dengan proses infeksi akar. Prihastuti et al., (2006) menyatakan bahwa lahan kering masam di Lampung Tengah banyak mengandung mikoriza vesikular-arbuskular, yang diindikasikan dengan tingginya tingkat infeksi akar, yaitu mencapai 70,5090,33%. Lahan kering masam merupakan lahan yang kurang produktif, namun sangat luas ketersediaannya dan berpotensi untuk dikembangkan (Sudaryono, 2006). Lahan kering masam merupakan lahan yang perlu diupayakan kesuburannya untuk digunakan sebagai areal tanam komoditi pangan. Mikoriza mampu tumbuh dan berkembang dengan baik pada lingkungan yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan mikroba tanah lainnya (Keltjen, 1997). Semakin banyak tingkat infeksi akar yang terjadi, memungkinkan jaringan hifa eksternal yang dibentuk semakin panjang dan menjadikan akar mampu menyerap fosfat lebih cepat dan lebih banyak (Stribley, 1987). Mikoriza mempunyai peranan yang cukup besar dalam meningkatkan produktivitas

tanaman di lahan marginal maupun dalam menjaga keseimbangan lingkungan (Aher, 2004). Dengan demikian inokulasi mikoriza diharapkan dapat membantu dalam merehabilitasi lahan kritis, yang sampai saat ini belum ada usaha pelestarian lahan kritis secara maksimal. Hubungan timbal balik antara cendawan mikoriza dengan tanaman inangnya mendatangkan manfaat positif bagi keduanya (simbiosis mutualistis). Karenanya inokulasi cendawan mikoriza dapat dikatakan sebagai 'biofertilization", baik untuk tanaman pangan, perkebunan, kehutanan maupun tanaman penghijauan (Killham, 1994). Bagi tanaman inang, adanya asosiasi ini, dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi pertumbuhannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, cendawan mikoriza berperan dalam perbaikan struktur tanah, meningkatkan kelarutan hara dan proses pelapukan bahan induk. Sedangkan secara langsung, cendawan mikoriza dapat meningkatkan serapan air, hara dan melindungi tanaman dari patogen akar dan unsur toksik. Nuhamara (1994) mengatakan bahwa sedikitnya ada 5 hal yang dapat membantu perkembangan tanaman dari adanya mikoriza ini yaitu : 1. Mikoriza dapat meningkatkan absorpsi hara dari dalam tanah 2. Mikoriza dapat berperan sebagai penghalang biologi terhadap infeksi patogen akar. 3. Meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan kelembaban yang ekstrim 4. Meningkatkan produksi hormon pertumbuhan dan zat pengatur tumbuh lainnya seperti auxin. 6. Menjamin terselenggaranya proses biogeokemis. Dalam kaitan dengan pertumbuhan tanaman, Plencette et al dalam Munyanziza et al (1997) mengusulkan suatu formula yang dikenal dengan istilah "relatif field mycorrhizal depedency" (RFMD) : RFMD = [ (BK. tanaman bermikoriza - BK. tanaman tanpa mikoriza) / BK. Tanaman tanpa mikoriza ] x 100 % Namun demikian, respon tanaman tidak hanya ditentukan oleh karakteristik tanaman dan cendawan, tapi juga oleh kondisi tanah dimana percobaan dilakukan. Efektivitas mikoriza dipengaruhi oleh faktor lingkungan tanah yang meliputi faktor abiotik (konsentrasi hara, pH, kadar air, temperatur, pengolahan tanah dan penggunaan pupuk/pestisida) dan faktor biotik (interaksi mikrobial, spesies cendawan, tanaman inang, tipe perakaran tanaman inang, dan kompetisi antar cendawan mikoriza). Adanya kolonisasi mikoriza dengan respon tanaman yang rendah atau tidak ada sama sekali menunjukkan bahwa cendawan mikoriza lebih bersifat parasit (Solaiman dan Hirata, 1995). 7. Peranan Mikoriza Pada Perbaikan Lahan Kritis 7.1. Lahan yang ditumbuhi tanaman Alang-Alang Padang alang-alang tersebar luas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pulau besar lainnya. Lahan alang-alang pada umumnya adalah tanah mineral masam, miskin hara dan bahan organik,

kejenuhan Al tinggi. Disamping itu padang alang-alang juga memiliki sifat fisik yang kurang baik sehingga kurang menguntungkan kalau diusahakan untuk lahan pertanian. Alang-alang dikenal sebagai tanaman yang sangat toleran terhadap kondisi yang sangat ekstrim. Diketahui bahwa alang-alang berasosiasi dengan berbagai cendawan mikoriza arbuscular seperti Glomus sp., Acaulospora dan Gigaspora (Widada dan Kabirun ,1997). Kemasaman dan Al-dd tinggi bukan merupakan faktor pembatas bagi cendawan mikoriza tersebut, tapi merupakan masalah besar bagi tanaman/tumbuhan. Dengan demikian cendawan mikoriza ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman pangan. Kabirun dan Widada (1994) menunjukkan bahwa inokulasi MVA mampu meningkatkan pertumbuhan, serapan hara dan hasil kedelai pada tanah Podsolik dan Latosol. Pada tanah Podsolik serapan hara meningkat dari 0,18 mg P/tanaman menjadi 2,15 mg P/tanaman., sedangkan hasil kedelai meningkat dari 0,02 g biji/tanaman menjadi 5,13 g biji/tanaman. Pada tanah Latosol serapan hara meningkat dari 0,13 mg P/tanaman menjadi 2,66 mg P/tanaman, dan hasil kedelai meningkat dari 2,84 g biji/tanaman menjadi 5,98 g biji/tanaman. Penelitian pemupukan tanaman padi menggunakan perunut 32P pada Ultisols menunjukkan bahwa serapan hara total maupun yang berasal dari pupuk meningkat nyata pada tanaman yang diinokulasikan dengan cendawan VAM (Ali et al, 1997). Disamping untuk tanaman pangan, penghutanan kembali lahan alang-alang juga sangat diperlukan untuk memperbaiki kondisi hidrologi di wilayah tersebut dan daerah hilirnya. Kegagalan program reboisasi yang dilakukan di lahan alang-alang dapat diatasi dengan menginokulasikan mikoriza pada bibit tanaman penghijauan. Bibit yang sudah bermikorisa akan mampu bertahan dari kondisi yang ekstrim dan berkompetisi dengan alang-alang. Penelitian Ba et al (1999) yang dilakukan pada tanah kahat hara menunjukkan bahwa inokulasi ektomikoriza pada bibit tanaman Afzelia africana dapat meningkatkan pertumbuhan bibit dan serapan hara oleh tanaman hutan tersebut (Tabel 1 ). Pentingnya mikoriza didukung oleh penemuan bahwa tanaman asli yang berhasil hidup dan berkembang 81% adalah bermikoriza. Pada lahan alang-alang yang sistem hidrologinya telah rusak, persediaan air bawah tanah menjadi masalah utama karena tanahnya padat, infiltrasi air hujan rendah, sehingga walaupun curah hujan tinggi tapi cadangan air bawah permukaan tetap sangat terbatas. Pengalaman menunjukkan bahwa kondisi ini merupakan salah satu sebab kegagalan program transmigrasi lahan kering. Petani transmigran kesulitan untuk mendapatkan air bersih dan tanaman (khususnya tanaman pangan) sering gagal panen karena stres air. Tanaman yang bermikoriza terbukti mampu bertahan pada kondisi stres air yang hebat. Hal ini disebabkan karena jaringan hipa eksternal akan memperluas permukaan serapan air dan mampu menyusup ke pori kapiler sehingga serapan air untuk kebutuhan tanaman inang meningkat. Morte et al (2000) menunjukkan bahwa tanaman Helianthenum almeriens yang diinokulasi dengan Terfesia claveryi mampu berkembang menyamai tanaman pada kadar air normal yang ditandai berat kering tanaman, net fotosintesis, serta serapan hara NPK. Penelitian lain menunjukkan bahwa tanaman narra (Pterocarpus indicus) (Castillo dan Cruz, 1996) dan pepaya (Cruz et al, 2000) bermikoriza memiliki ketahanan yang lebih besar terhadap kekeringan dibandingkan tanaman tanpa mikoriza yang ditandai dengan kandungan air dalam

jaringan dan transpirasi yang lebih besar, meningkatnya tekanan osmotik, terhidar dari plasmolisis, meningkatnya kandungan pati dan kandungan proline (total dan daun) yang lebih rendah selama stress air. 7.2 Lahan dengan Salinitas Tinggi Tanah yang memiliki salinitas sedang sampai tinggi banyak ditemukan di daerah yang beriklim kering dimana curah hujan jauh lebih rendah dari laju evapotranspirasi sehingga terjadi akumulasi garam mudah larut di dekat permukaan tanah. Salinitas tinggi juga dapat ditemukan di daerah-daerah pantai dimana air pasang laut secara periodik akan menggenangi lahan tersebut. Di daerah tertentu dimana air tawar susah didapat, kadang-kadang terpaksa menggunakan air bersalinitas tinggi sebagai air irigasi. Dalam kondisi salinitas tinggi, jarang ada tanaman yang dapat tumbuh dengan baik, karena keracunan NaCl atau potensial osmotik yang rendah dalam sel dibandingkan dengan larutan tanah. Dengan demikian maka perlu dicari tanaman yang toleran terhadap salinitas atau memodifikasi lingkungan sehingga tanaman mampu bertahan dibawah kondisi demikian. Cendawan VAM seperti Glomus spp mampu hidup dan berkembang dibawah kondisi salinitas yang tinggi dan menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap penurunan kehilangan hasil karena salinitas (Lozano et al, 2000). Mekanisme perlindungannya belum diketahui dengan pasti, tapi diduga disebabkan karena meningkatnya serapan hara immobil seperti P, Zn dan Cu (Al-Kariki, 2000). Lebih lanjut Al-Kariki (2000) mendapatkan bahwa tanaman tomat yang diinokulasi dengan mikoriza pertumbuhannya lebih baik dibanding dengan tanpa mikoriza. Konsentrasi P dan K rata-rata lebih tinggi sedangkan konsentrasi Na rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan tanaman tanpa mikoriza. Hal ini berarti bahwa cendawan VAM dapat sebagai filter bagi unsur hara tertentu yang tidak dikehendaki oleh tanaman. Peneliti lain, Lozano et al (2000) membandingkan efektivitas Glomus deserticola dengan Glomus sp lainnya yang merupakan cendawan autochthonous lahan salin. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Glomus deserticola lebih efektif dari Glomus sp. 3. Bioremediasi Tanah Tercemar Pencemaran lingkungan tanah belakangan ini mendapat perhatian yang cukup besar, karena globalisasi perdagangan menerapkan peraturan ekolabel yang ketat. Sumber pencemar tanah umumnya adalah logam berat dan senyawa aromatik beracun yang dihasilkan melalui kegiatan pertambangan dan industri. Senyawa-senyawa ini umumnya bersifat mutagenik dan karsinogenik yang sangat berbahaya bagi kesehatan (Joner dan Leyval, 2001). Bioremidiasi tanah tercemar logam berat sudah banyak dilakukan dengan menggunakan bakteri pereduksi logam berat sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa cendawan memiliki kontribusi yang lebih besar dari bakteri, dan kontribusinya makin meningkat dengan meningkatnya kadar logam berat (Fleibach, et al, 1994). Cendawan ektomikoriza dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap logam beracun dengan melalui akumulasi logam-logam dalam hifa ekstramatrik dan "extrahyphae slime" ( Galli et al, 1994 dan Tam, 1995 dalam Aggangan et al, 1997) sehingga mengurangi serapannya ke dalam tanaman inang. Namun demikian, tidak semua mikoriza dapat meningkatkan toleransi tanaman inang terhadap logam beracun, karena masing-masing mikoriza memiliki pengaruh yang

berbeda. Pemanfaatan cendawan mikoriza dalam bioremidiasi tanah tercemar, disamping dengan akumulasi bahan tersebut dalam hifa, juga dapat melalui mekanisme pengkomplekan logam tersebut oleh sekresi hifa ekternal. Polusi logam berat pada ekosistem hutan sangat berpengaruh terhadap kesehatan tanaman hutan khususnya perkembangan dan pertumbuhan bibit tanaman hutan (Khan, 1993). Hal semacam ini sangat sering terjadi disekitar areal pertambangan (tailing dan sekitarnya). Kontaminasi tanah dengan logam berat akan meningkatkan kematian bibit dan menggagalkan prgram reboisasi. Penelitian Aggangan et al (1997) pada tegakan Eucalyptus menunjukkan bahwa Ni lebih berbahaya dari Cr. Gejala keracunan Ni tampak pada konsentrasi 80 umol/l pada tanah yang tidak dinokulasi dengan mikoriza sedangkan tanah yang diinokulasi dengan Pisolithus sp., gejala keracunan terjadi pada konsentrasi 160 umol/l. Isolat Pisolithus yang diambil dari residu pertambangan Ni jauh lebih tahan terhadap kadar Ni yang tinggi dibandingkan dengan Pisolithus yang diambil dari tegakan eucaliptus yang tidak tercemar logam berat. Upaya bioremediasi lahan basah yang tercemar oleh limbah industri (polutan organik, sedimen pH tinggi atau rendah pada jalur aliran maupun kolam pengendapan) juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan tanaman semi akuatik seperti Phragmites australis. Oliveira et al, (2001) menunjukkan bahwa P. australis dapat berasosiasi dengan cendawan mikoriza melalui pengeringan secara gradual dalam jangka waktu yang pendek. Hal ini dapat dijadikan strategi pengelolaan lahan terpolusi (phytostabilisation) dengan meningkatkan laju perkembangan spesies mikotropik. Penelitian Joner dan Leyval (2001) menunjukkan bahwa perlakuan mikoriza pada tanah yang tercemar oleh polysiklik aromatic hydrocarbon (PAH) dari limbah industri berpengaruh terhadap pertumbuhan clover, tapi tidak terhadap pertumbuhan reygrass. Dengan mikoriza laju penurunan hasil clover karena PAH dapat ditekan. Tapi bila penambahan mikoriza dibarengi dengan penambahan surfaktan, zat yang melarutkan PAH, maka laju penurunan hasil clover meningkat. Tanaman yang tumbuh pada limbah pertambangan batubara diteliti Rani et al (1991) menunjukkan bahwa dari 18 spesies tanaman setempat yang diteliti, 12 diantaranya bermikoriza. Tanaman yang berkembang dengan baik di lahan limbah batubara tersebut, ditemukan adanya "oil droplets" dalam vesikel akar mikoriza. Hal ini menunjukkan bahwa ada mekanisme filtrasi, sehingga bahan beracun tersebut tidak sampai diserap oleh tanaman. Hasil Penelitian-Penelitian dalam Pemanfaatan Mikoriza Dari penelitian ini dilakukan untuk mengetahui respon tanaman jagung terhadap inokulasi jamur Mikoriza Vesikular Arbuskular (Gigaspora margarita) dan sludge cair di tanah Andisol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi Gigaspora margarita memberikan hasil yang terbaik terhadap hampir semua parameter meningkatkan kandungan P dalam jaringan tanaman, efisiensi penyerapan P, mempercepat umur berbunga tanaman jagung, meningkatkan N tanah setelah percobaan, dan meningkatkan hasil tanaman jagung (Bintoro M et al., 2000). Menurut Wachjar et al (2002), dari hasil percobaan yang dilakukan bahwa pemberian CMA berpengaruh terhadap jumlah daun, bobot kering dan serapan P pada tajuk bibit kelapa sawit,

tetapi tidak terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit pada umur 20 MST. Penelitian yang dilakukan oleh Balai Penelitian Tanaman Tropika (2007), tentang pengembangan tanaman manggis dalam skala luas masih terkendala pada lambatnya laju tumbuh tanaman, baik pada fase bibit maupun setelah tanam di lapang. Lambatnya laju pertumbuhan tersebut akibat kurang baiknya sistem perakaran. Tanaman manggis memiliki sistem perakaran lateral yang relatif sedikit dan miskin akan bulu-buku akar, mengakibatkan penyerapan hara dan air dari dalam tanah sangat terbatas. Penggunaan CMA sebagai alat biologis dalam bidang pertanian dapat memperbaiki pertumbuhan, produktivitas, dan kualitas tanaman tanpa menurunkan kualitas ekosistem tanah. Hasil dari penggunaan CMA untuk pembibitan manggis di Sawahlunto, dapat memacu pertumbuhan bibit manggis sekitar 50% lebih cepat dibandingkan dengan tidak diinokulasi CMA. Inokulasi CMA pada tanaman dilakukan dengan cara meletakkannya ke bidang perakaran. Inokulum tersebut merupakan media pengadaan spora (biasanya pasir atau zeolit) yang mengandung spora CMA dan potongan-potongan akar tanaman inang. Cara ini mempunyai kelemahan di antaranya bobotnya cukup berat sehingga kurang praktis, sulit dan cukup mahal transportasinya. Untuk itu para peneliti mengemas spora CMA ke dalam bentuk yang lebih prakits dan sederhana dengan dosis spora yang diketahui secara pasti agar mudah diaplikasikan. Spora CMA dikemas ke dalam kapsul dengan menggunakan Carier (bahan pencampur) yang tebaik dari tanah hitam. Spora CMA yang dikemas dalam kapsul ini mempunyai daya simpan cukup lama, karena dalam waktu 18 bulan masih cukup infektif dan efektif dalam memacu pertumbuhan bibit manggis. Cara aplikasi kapsul ini juga sangat mudah yaitu dengan membuat lubang dengan sebilah bambu sebesar pensil di sebelah kiri atau kanan bibit manggis sedalam 4-5 cm, selanjutnya kapsul bermikoriza tersebut dimasukkan ke dalam lubang dan lubang ditutup kembali dengan tanah. Percobaan untuk mengetahui serapan P dan pertumbuhan tanaman tembakau Deli dengan inokulasi berbagai jenis mikoriza vesikular arbuskular dan pemberian pupuk kandang ayam pada tanah Inceptisol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat koleksi IPB dengan pemberian pupuk kandang ayam ternyata memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap serapan P, derajat infeksi akar dan pertumbuhan tanaman tembakau Deli dibandingkan dengan inokulasi berbagai jenis mikoriza vesikular arbuskular yang lain (Simangunsong S.S, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Husnal et al (2007), tentang peranan mikoriza pada tanaman jati, misalnya jati bukti keunggulannya dengan menggunakan pupuk hayati mikoriza. Hanya dalam usia kurang dari lima tahun, diameter batang tanaman jati bermikoriza di lahan penelitiannya seluas satu hektare, telah mencapai sekitar 10 sentimeter. Ukuran ini sama dengan tanaman jati berumur 12 tahun yang dibudidayakan tanpa menggunakan mikoriza. Indikasi tersebut membuat usia tebang tanaman jati muna maupun spesies jati lainnya dapat lebih singkat dari 40-60 tahun menjadi 15-20 tahun dengan garis tengah 30 sentimeter. "Untuk apa menanam jati super yang belum teruji kualitasnya. Selain itu, jati super bukan spesies khas Sulawesi Tenggara," ujar Husna yang menentang pengembangan jati super dalam upaya melindungi spesies genetik jati muna. Dengan teknologi mikoriza, berharap jati muna yang telah

dikenal berkualitas tinggi itu dapat dikembangkan sebagai tanaman massal seperti tanaman komoditas perkebunan. Tujuannya, selain untuk meningkatkan pendapatan rakyat juga sekaligus melestarikan serta meningkatkan populasi kayu jati muna sebagai ciri khas daerah Sulawesi Tenggara. Untuk mewujudkan harapannya, ia mengelola persemaian jati seluas dua hektare yang menghasilkan bibit jati muna bermikoriza. Bibit tersebut disalurkan kepada warga yang berminat mengembangkan tanaman jati muna. Penelitian lain tentang varietas tebu menggunakan Ps 58 dan pupuk mikoriza digunakan Biofer 2000-N. Lokasi penelitian ditetapkan pada tanah Alfisol, dengan kadar P tersedia "rendah" ; 8,72 ppm dan tanah Inceptisol, dengan kadar P tersedia "sangat tinggi" ; 69,5 ppm. Pupuk mikoriza mampu meningkatkan kadar P nira, sebesar 38,84 % - 71,65 %. Peningkatan kadar P nira, diikuti dengan peningkatan rendemen tebu sebesar 4,76 % -21,15 %. Pupuk mikoriza mampu meningkatkan produktivitas gula (hablur) sebesar 13,66 % - 67,90 %. Kenaikan produktivitas hablur di tanah dengan P tersedia "rendah" lebih tinggi sebesar 27,80 % - 40,11 % dibanding di tanah dengan P tersedia "sangat tinggi". Cara aplikasi pupuk mikoriza terbaik dengan cara dicampur dengan pupuk dasar. Aras takaran pupuk mikoriza adalah 8 ku/ha di tanah dengan P tersedia rendah dan 4 ku/ha di tanah dengan P tersedia tinggi. Pemakaian pupuk mikoriza dapat mengurangi aras takaran pupuk SP-36 sebesar 25 50 % (Adinurani et al., 2008). Aplikasi pupuk hayati cendawan mikoriza arbuskula pada budidaya tanaman ubi kayu sangat berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman. Penerapan teknologi produksi inokulum cendawan mikoriza arbuskula secara langsung di lapangan (on farm production) akan sangat banyak membantu, mengingat beberapa kendala apabila inokulum tersebut dibutuhkan dalam jumlah yang cukup banyak. Dengan teknologi ini beberapa keuntungan yang diperoleh diantaranya ialah dapat segera langsung diaplikasikan tanpa tranportasi yang cukup jauh dan dapat diperoleh inokulum dalam jumlah yang banyak yaitu sekitar 4 ton per 25 m 2 lahan produksi inokulum. Alur Pembuatan Metoda atau cara produksi inokulum mikoriza dan aplikasi secara langsung di lahan atau on farm production adalah sebagai berikut : 1. Persiapan Lahan Diperlukan bedengan berukuran 25 m 2 untuk menghasilkan 4 000 kg inokulum berupa campuran tanah, spora dan akar terinfeksi. Sebaiknya dipilih lahan yang kurang subur yang dekat dengan areal penanaman. 2. Sterilisasi Lahan Pada lahan di atas disebarkan 50-60 g dazomet granular per m2, diaduk merata, lalu disiram air untuk melarutkan butiran dazomet dan ditutup plastik. Perlakukan berikutnya adalah pencangkulan, selain untuk meratakan hasil, juga untuk menguapkan sisa fumigasi.Lima hari kemudian, bedeng tersebut dapat digunakan. 3. Inokulasi

Pada tiap lubang yang dibuat, diberikan starter inokulumdari jenis cendawan mikoriza yang akan dikembang biakkan. Tanaman inang dapat berupa jagung, sorgum atau pueraria. Untuk menjamin terjadinya infeksi pada media pengecambahan dapat diberi inokulum sebagai perlakuan pra-inokulasi sebelum ditanam di bedeng perbanyakan. 4. Multiplikasi Perawatan tanaman perlu dilakukan selama pertumbuhan tanaman di lahan atau bedeng pembiakan. Setelah tanaman inang keluar bunga (jantan atau betina) sebaiknya digunting agar tanaman dapat merangsang terbentuknya spora cendawan mikoriza di lahan tersebut. 5. Panen Inokulum Setelah tanaman inang mengering, tanah bedeng tersebut sudah dapat digunakan sebagai inokulum. Pengambilan tanah sebagai inokulum dilakukan hingga kedalaman sebatas lapisan olah yang telah dilakukan sebelumnya (20-30 cm). 6. Pemakaian hasil Hasil panen dapat langsung diaplikasikan pada tanaman ubi kayu dengan dosis 200 g per tanaman. Stek ubi kayu ditanamkan pada lubang tersebut tepat diatas permukaan inokulum yang diberikan. Manfaat 1. Mengurangi ketergantungan petani pada pupuk kimia yang harganya relatif mahal 2. Aplikasi inokulum cukup dilakukan satu kali untuk beberpa musim tanam. 3. Memberikan respon yang positif pada tanaman (Balai Penelitian Ilmu dan Teknologi, 2008). APLIKASI MIKORIZA VESIKULAR ARBUSKULAR DALAM PROGRAM REBOISASI Perhatian utama pada cendawan mikoriza vesikular arbuskular, karena peranannya sebagai simbion perakaran dari hampir semua jenis tanaman, dan kesuksesannya sebagai jaringan penyerap nutrisi utama dari beragam tanaman, termasuk yang digunakan dalam program reboisasi di Indonesia. Dalam rangka pelaksanaan program ini, telah diberikan Asosiasi Mycorrhizal Indonesia, yang memberikan informasi dan berbagai teknik untuk para ilmuwan Indonesia yang meneliti dan bekerja dengan objek jamur ini secara kelompok di IPB. Proyek reboisasi juga mendukung pengadaan koleksi germ plasm dari spesies asli jamur mikoriza arbuskular di IPB, yang akhirnya dikembangkan secara komersil. Dalam teknik pemberian mikoriza, dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain: (1) menggunakan tanah yang sudah mengandung mikoriza (2) menggunakan akar yang mengandung mikoriza (3) menggunakan miselia cendawan, dan (4) menggunakan spora mikoriza yang sudah dikemas dalam bentuk kapsul.

Inokulum (bahan yang mengandung mikoriza) diberikan bersama pada waktu persemaian. Pada lahan yang sudah pernah diinokulasi dengan inokulum mikoriza, untuk penanaman berikutnya tidak perlu diinokulasi lagi, karena masih dapat bertahan untuk periode selanjutnya. Banyak ahli dari berbagai negara mencoba menumbuhkan (menginokulasikan) mikoriza secara buatan. Di IPB, ahli mikoriza telah membuatnya dalam bentuk tablet dan sudah diujicobakan pada tanah di daerah Lampung, Kalimantan, dan di kebun percobaan kampus Dermaga. Percobaan diterapkan pada bibit-bibit tanaman industri, dan hasilnya tanaman yang diberi pil tablet mikoriza pada akarnya, dapat tumbuh dua sampai tiga kali lebih cepat. Tablet ini dibuat dari cendawan, dengan cara diambil dari mikoriza yang dibentuknya, kemudian dimurnikan dari jamur-jamur lain yang berada disekelilingnya. Setelah teruji kemurniannya, jamur ini ditumbuhkan pada media buatan dari tanah dan bahan-bahan organik untuk dijadikan bahan baku pil. Untuk membuat tablet, biomassa jamur yang terdiri dari benang-benang miselia itu, ditumbuk halus bersama media tumbuhnya. Selanjutnya bubuk yang mengandung bibit jamur itu dicetak menjadi batang-batang silinder panjang dengan diameter 0,7 sentimeter. Untuk melindungi dari kontaminasi cendawan jenis lain, racikan bubuk itu dimasukan kedalam kapsul. Pil mikoriza ini hanya cocok untuk bibit tanaman. Aturan pakainya sederhana, satu tablet untuk satu bibit. Setelah itu pil dipecah-pecah, dicampurkan dengan tanah yang dipakai untuk menumbuhkan bibit tanaman. Setelah diberikan pada bibit tanaman, cendawan akan tumbuh dan menempel pada akar tanaman. Miselianya dapat menutup permukaan akar dan tumbuh mengikuti perkembangan akar, lebih mudah menangkap air tanah dan zat-zat hara, dengan demikian tanaman tumbuh lebih bongsor. Pengaruh yang jelas terlihat karena adanya mikoriza adalah tanaman pinus. Benang-benang miselia yang menempel pada akar pinus, mampu menambah daya serap akar terhadap hara fosfor (P), sampai 230%, Kalium (K) bertambah 86%, dan Nitrogen (N) 75%. Dengan adanya hal tersebut dapat meningkatkan efisiensi pemupukan. Kehadiran mikoriza ternyata membuat tanaman tidak sensitif, karena tanah asam yang disebabkan mikoriza justru menyukai tanah-tanah asam. Dengan demikian, penggunaan jasa mikoriza ini dapat mengatasi kesulitan penghutanan kembali pada tanah asam. Penelitian ini merupakan salah satu upaya pengembangan ilmu-ilmu pertanian khususnya pemanfaatan VA mikoriza untuk memacu pertumbuhan dan pengendalian serangan nematoda bengkak akar Meloidogyne spp pada tanaman tomat. Penggunaan VA mikoriza merupakan salah satu alternatif untuk pengendalian hama dan penyakit secara biologi yang aman terhadap lingkungan Jumlah takaran VA mikoriza yang digunakan yaitu 0,50; 1,00; 1,50 dan 2,00 gram. Biakan VA mikoriza diinfeksikan pada tanaman tomat yang berumur 14 hari. Sebagai pembanding, ditanan tomat yang tanpa inokulasi VA mikoriza . Pada hari ke 29 tanaman tomat diberi suspensi nematoda Meloidogyne spp sebanyak 1 ml per tanaman.Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan VA mikorisa dapat mengendalikan serangan nematoda Meloidogyne spp pada juml;ah takaran 1,00; 1.500 dan 2.00 gram. Sedangkan hasil yang paling baik dan efektif terjadi pada penggunaan VA mikoriza 2,00 gram (Hardiatmi S.J.M, 2008)

Bersambung ke bagian 4 yang dapat dilihat pada pustaka dibawah ini: Pustaka: Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri & Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Palembang. Propinsi Sumatera Selatan. Indonesia. Http://dasar2ilmutanah.blogspot.com. Diposkan oleh Dr. Ir. Abdul Madjid, MS di 20:49 0 komentar Label: Biologi Tanah

PERAN DAN PROSPEK MIKORIZA (Bagian 4)


PERAN DAN PROSPEK MIKORIZA* Oleh: Novriani ** dan Madjid*** (Bagian 4 dari 5 Tulisan) Keterangan: * Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya, Palembang, Indonesia. ** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2). Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Palembang, Indonesia. ** Dosen Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2). Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Palembang, Indonesia. (Bagian 4 dari 5 Tulisan) IV. TEKNOLOGI PUPUK HAYATI Pada ekstensifikasi lahan-lahan marginal tersebut, peningkatan produktivitas lahan dengan bantuan pemakaian pupuk buatan seringkali kurang efektif karena memerlukan biaya tinggi, pada rentang waktu tertentu tingkat produktivitas lahan akan menurun dan seringkali menyebabkan pencemaran ling-kungan yang berakibat lebih jauh terjadinya degradasi kualitas lahan dan kualitas ling-kungan. Sedangkan hutan yang sekarang banyak terbakar perlu penanganan lahan yang intensif untuk menumbuhkan kembali tanaman hutan dan tetap diupayakan sebagai salah satu sektor penghasil devisa yang cukup besar bagi negara. Sejalan dengan peningkatan kesadaran manusia akan pemanfaatan segala sesuatu yang bersahabat dengan alam, penggunaan pupuk kimia untuk peningkatan kesuburan tanah, daya tumbuh dan produktivitas tanaman semakin dikurangi dan sebagai gantinya mulai digunakan pupuk hayati (biofertilizer). Prinsip penggunaan pupuk tersebut adalah memanfaatkan kerja mikroorganisme tertentu dalam tanah yang berperan sebagai penghancur bahan organik, membantu proses mineralisasi atau bersimbiosis dengan tanaman dalam menambat unsur-unsur hara sehingga dapat memacu pertumbuhan tanaman.

Teknik ini memberikan manfaat pada tanaman untuk bisa tumbuh dan berproduksi dengan baik pada lahan marginal melalui peningkatan ketersediaan unsur hara bagi tanaman, perbaikan kesuburan lahan dan peningkatan daya tahan pada kekeringan. Salah satu jenis pupuk hayati yang telah dan sedang dikaji BPPT adalah TECHNOFERT 2001 yaitu pupuk hayati yang memanfaatkan kerja Mikoriza. Pupuk hayati ini diproduksi di P3 Biotek, Kawasan PUSPIPTEK Serpong. Mikroba-mikroba bermanfaat tersebut ada juga diformulasikan dalam bahan pembawa khusus dan digunakan sebagai biofertilizer. Hasil penelitian yang dilakukan oleh BPBPI mendapatkan bahwa biofertilizer setidaknya dapat mensuplai lebih dari setengah kebutuhan hara tanaman. Biofertilizer yang tersedia di pasaran antara lain: Emas, Rhiphosant, Kamizae, OST dan Simbionriza. 4.1 Keunggulan Pupuk Hayati Mikoriza Mikoriza adalah suatu bentuk hubungan simbiosis mutualistis (saling menguntungkan) antara cendawan/jamur (mykes) dan perakaran (rhiza) tanaman. Mikoriza mempunyai kemampuan untuk berasosiasi dengan hampir 90% jenis tanaman (pertanian, kehutanan, perkebunan dan tanaman pakan) dan membantu dalam meningkatkan efisiensi penyerapan unsur hara (terutama fosfor) pada lahan marginal. Prinsip kerja dari mikoriza ini adalah menginfeksi sistem perakaran tanaman inang, memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman yang mengandung mikoriza tersebut akan mampu meningkatkan kapasitas dalam penyerapan unsur hara. Secara umum manfaat yang diberikan dengan penggunaan pupuk hayati mikoriza adalah : a. Meningkatkan Penyerapan Unsur Hara (Unsur P) Tanaman yang bermikoriza (endo-mikoriza) dapat menyerap pupuk P lebih tinggi (10-27%) dibandingkan dengan tanaman yang tidak bermikoriza (0.4-13%). Penelitian terakhir pada beberapa tanaman pertanian dapat menghemat penggunaan pupuk Nitrogen 50%, pupuk phosfat 27% dan pupuk Kalium 20%. Pengaruh penggunaan mikoriza pada pertumbuhan tanaman adanya perbedaan Pertambahan tinggi tanaman dibanding kontrol (Tabel 1). b. Menahan Serangan Patogen Akar Akar yang bermikoriza lebih tahan terhadap patogen akar karena lapisan mantel (jaringan hypa) menyelimuti akar dapat melindungi akar. Di samping itu beberapa mikoriza menghasilkan antibiotik yang dapat menyerang bakteri, virus, jamur yang bersifat patogen. Tabel 1. Hasil pengujian terhadap tinggi tanaman coklat, sengon dan kedelai umur 4 bulan di green house PPP Biotek-Serpong. ------------------------------------------------------------------Jenis Tanaman Tinggi Persentase Tanaman (cm) kenaikan (%) ------------------------------------------------------------------Coklat (kakao)

Tanpa Mikoriza 28,14 Dengan Mikoriza 43,64 35,50 Sengon buto Tanpa Mikoriza 32,12 Dengan Mikoriza 48,50 33,70 Kedelei Tanpa Mikoriza 18,44 Dengan Mikoriza 28,28 34,70 ------------------------------------------------------------------c. Memperbaiki Struktur Tanah dan Tidak Mencemari Lingkungan Mikoriza dapat meningkatkan struktur tanah dengan menyelimuti butir-butir tanah. Stabilitas agregat meningkat dengan adanya gel polysakarida yang dihasilkan cendawan pembentuk mikoriza. Karena bukan merupakan bahan kimia pupuk ini tidak mencemari lingkungan. d. Pemupukan Sekali Seumur Tanaman Karena mikoriza merupakan mahluk hidup maka sejak berasosiasi dengan akar tanaman akan terus berkembang dan selama itu pula berfungsi membantu tanaman dalam peningkatan penyerapan unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Teknik Penggunaan Pupuk Hayati Mikoriza Pupuk mikoriza Technofert 2001 berupa spora mikoriza dan potongan akar yang terinfeksi jamur yang dicampur dengan zeolith sebagai media. Penggunaan pupuk ini efektif digunakan pada saat tanaman masih dipersemaian (tanaman muda) yang akarnya belum mengalami penebalan. Hal tersebut memberikan peluang lebih besar untuk mikoriza menginfeksi akar tanaman. Pemberian pupuk diberikan dengan cara menaburkan pupuk pada lubang sebelum penanaman, menempelkan pupuk/akar terinfeksi pada akar tanaman muda atau mencampur mikoriza pada tanah untuk pembibitan tanaman. 4.2 Penerapan Technofert 2001 Pupuk hayati mikoriza produksi BPPT ini digunakan dalam memproduksi 20.000 tanaman kehutanan sengon (Paraserianthe falcataria) yang ditanam di lahan marginal di propinsi Lampung. Pupuk mikoriza juga digunakan untuk penanaman tanaman hijauan makanan ternak gamal (Gliricidia maculata) pada lahan kering di Kabupaten Karangasem bekerjasama dengan Dinas Peternakan dan Pemda Karangasem, Bali. Dengan penggunaan mikoriza ternyata pertumbuhan sengon dan gamal pada lahan kering dan kurang subur meningkat dibanding dengan tanaman dengan pupuk kandang atau kontrol (tanpa pemupukan). Simbiosis jamur dengan tanaman gamal ternyata memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan gamal, seperti terlihat pada gambar 2 dan 3. Dengan peranan dan manfaat mikoriza tersebut, aplikasinya pada gamal dapat meningkatkan

pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman gamal melalui peningkatkan penyerapan unsur hara (terutama unsur P) dan peningkatan penyerapan air. Dengan kondisi seperti itu diharapkan produksi daun tanaman gamal yang menjadi pakan ternak dapat meningkat meskipun tanaman tersebut ditanam pada lahan kering dan kurang subur. 4.3 Tablet Mikoriza Banyak ahli dari berbagai negara mencoba menumbuhkan (menginokulasikan) mikoriza secara buatan. Di IPB, ahli mikoriza telah membuatnya dalam bentuk tablet dan sudah diujicobakan pada tanah di daerah Lampung, Kalimantan, dan di kebun percobaan kampus Dermaga. Percobaan diterapkan pada bibit-bibit tanaman industri, dan hasilnya tanaman yang diberi pil tablet mikoriza pada akarnya, dapat tumbuh dua sampai tiga kali lebih cepat. Tablet ini dibuat dari cendawan, dengan cara diambil dari mikoriza yang dibentuknya, kemudian dimurnikan dari jamur-jamur lain yang berada disekelilingnya. Setelah teruji kemurniannya, jamur ini ditumbuhkan pada media buatan dari tanah dan bahan-bahan organik untuk dijadikan bahan baku pil. Untuk membuat tablet, biomassa jamur yang terdiri dari benang-benang miselia itu, ditumbuk halus bersama media tumbuhnya. Selanjutnya bubuk yang mengandung bibit jamur itu dicetak menjadi batang-batang silinder panjang dengan diameter 0,7 sentimeter. Untuk melindungi dari kontaminasi cendawan jenis lain, racikan bubuk itu dimasukan kedalam kapsul. Pil mikoriza ini hanya cocok untuk bibit tanaman. Aturan pakainya sederhana, satu tablet untuk satu bibit. Setelah itu pil dipecah-pecah, dicampurkan dengan tanah yang dipakai untuk menumbuhkan bibit tanaman. Setelah diberikan pada bibit tanaman, cendawan akan tumbuh dan menempel pada akar tanaman. Miselianya dapat menutup permukaan akar dan tumbuh mengikuti perkembangan akar, lebih mudah menangkap air tanah dan zat-zat hara, dengan demikian tanaman tumbuh lebih bongsor. Pengaruh yang jelas terlihat karena adanya mikoriza adalah tanaman pinus. Benang-benang miselia yang menempel pada akar pinus, mampu menambah daya serap akar terhadap hara fosfor (P), sampai 230%, Kalium (K) bertambah 86%, dan Nitrogen (N) 75%. Dengan adanya hal tersebut dapat meningkatkan efisiensi pemupukan. Kehadiran mikoriza ternyata membuat tanaman tidak sensitif, karena tanah asam yang disebabkan mikoriza justru menyukai tanahtanah asam. Dengan demikian, penggunaan jasa mikoriza ini dapat mengatasi kesulitan penghutanan kembali pada tanah asam. Hasil pemanfaatan mikoriza untuk beberapa jenis tanaman kehutanan dapat dilihat pada tabel berikut ini (Hardiatmi J.M.S, 2008). 4.4 Cara Mengemas Spora CMA Pengemasan diawali dengan penyediaan spora melalui penggandaan spora CMA menggunakan tanaman inang Pueraria javanica yang ditanam di dalam pot dengan media pasir steril. Selain P. javanica, jagung dan sorgum dapat juga digunakan sebagai tanaman inang. Empat bulan kemudian tanaman inang dikeringkan dan dipanen serta spora yang berada dalam media pasir

dan akar tanaman inang dikumpulkan dengan metode pengayakan basah. Spora yang terkumpul dan tercampur bersama media sangat halus kemudian dihitung jumlahnya dan dikeringkan sampai berbentuk tepung halus. Carrier yang digunakan bisa tanah hitam atau tanah merah. Tanah hitam yang digunakan adalah tanah liat berwarna hitam diambil dari dasar sungai, sedangkan tanah merah adalah tanah podsolik merah kuning berwarna. Sebelum digunakan, tanah hitam atau tanah merah terlebih dahulu disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 259F dan tekanan 20 psi selama 1 jam. Setelah itu, tanah hitam atau tanah merah ditumbuk sampai berbentuk tepung halus. Langkah selanjutnya adalah mencampur spora yang telah diketahui jumlahnya dengan carrier yang telah disiapkan dengan cara sebagai berikut: (1) Timbang carrier sesuai dengan jumlah spora yang tersedia, misalnya: spora yang tersedia sebanyak 1 00.000 spora, setiap kapsul akan diisi 1 00 spora berarti akan dibutuhkan 1.000 kapsul, setiap kapsul dibutuhkan 0,5 g carrier, berarti dibutuhkan 500 g carrier. (2) Campurkan 500 g carrier dengan 1 00.000 spora secara merata. (3) Masukkan campuran spora dengan carrier ke dalam kapsul kemudian kapsul di simpan dalam kantong plastik atau kantong kertas pada suhu kamar sambil menunggu saat penggunannya. 4.5 PROSPEK PENGEMBANGAN INDUSTRI MIKORIZA Pemberian inokulan mikoriza tenyata dapat meningkatkan pertumbuhan di persemaian dan bahkan setelah di lapangan tanaman. Hal ini tentu dapat diharapkan bahwa pemberian mikoriza bagi tanaman jenis Hutan Tanaman Industri, akan dapat membantu meningkatkan keberhasilan pembangunan HTI dan pembangunan hutan lainnya. Pengemasan inokulan mikoriza dalam bentuk tablet dan kapsul bertujuan untuk : (1) Penghematan inokulan dan meningkatkan keefektifan. Pada praktek sebelumnya, penularan mikoriza dilakukan melalui pemakaian tanah yang berasal dari tegakan hutan maupun dipersemaian yang dibawa dan dipindahkan kelubang tanaman dilapang. Apalagi hal ini akan dilakukan untuk bahan yang sangat luas tentunya akan sangat merepotkan dan sangat tidak praktis. Selain itu setiap tanah yang berasal dari tegakan hutan belum tentu ada spora atau hifa cendawan mikoriza. (2) Mempermudah penanganannya. Pembangunan hutan tanaman yang sangat luas membutuhkan inokulan mikoriza yang sangat banyak. Apabila dikemas dalam bentuk kapsul atau tablet akan mempermudah dalam pengangkutannya dan penyimpanannya karena biasanya lapangan tanaman berada pada lokasi terpencil yang kurang fasilitas. (3) Dapat di produksi secara khusus. Lahan yang akan dipakai untuk pembangunan hutan tanaman, pH tanahnya sangat bervariasi. Apabila dikemas dalam bentuk tablet, maka komponen penyusun tablet dapat diatur sedemikian rupa supaya dapat sesuai dengan pH tanah stempat yang diproduksi secara khusus. Mengingat begitu luasnya target HTI dengan berbagai permasalahan yang ada maupun target

luas kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan di Indonesia, pengembangan industri mikoriza mempunyai prospek dan peluang yang besar. Bahkan prospek dan peluang ini diperbesar apabila melihat kegiatan pembangunan serupa dibeberapa negara tetangga yang mempunyai masalah yang relatif sama. Tabel 3. Pupuk hayati komersial di Indonesia dan kandungan mikroorganismenya ------------------------------------------------------------------------Nama Produk Pupuk Hayati Kandungan mikroorganisme ------------------------------------------------------------------------Legin Rhizobia Rhizo-plus Emas Bradyrhizobium, Sinorhizobium, Bacillus, Mikrococcus, Azzospirillum lipoverum, Azotobacter, Beijerinckie, Aeromonas punctata, Aspergillus niger Gion 100x Bradyrhizobium japonicum Biofer 2000-K Jamur ektomikoriza Biofer 2000-N Jamur endomikoriza E-2001 Azotobacter vinelendii, Clostridium pasterianum, Nitrosomonas, Nitrobacter, Ankia alni, Nostoc muscorum, Anabaena azollae OST Azotobacter, Rhizobium, (Organic soil treatment) Agrobacterium, Azospirillium, (pupuk hayati rajawali) Bakteri palrut fosfat, protein dan humus aktif Biota Bacillus spp, Lactobacillus spp, Micrococcus sp ----------------------------------------------------------------------------Sumber : Simanungkalit, R.D.M. 2001 Bersambung ke bagian 5 yang dapat dilihat pada pustaka dibawah ini: Pustaka:

Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri & Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Palembang. Propinsi Sumatera Selatan. Indonesia. Http://dasar2ilmutanah.blogspot.com. Diposkan oleh Dr. Ir. Abdul Madjid, MS di 20:12 0 komentar Label: Biologi Tanah

Senin, 2009 Juni 01


PERAN DAN PROSPEK MIKORIZA (Bagian 5)
PERAN DAN PROSPEK MIKORIZA* Oleh: Novriani ** dan Madjid*** (Bagian 5 dari 5 Tulisan) Keterangan: * Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya, Palembang, Indonesia. ** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Palembang, Indonesia. ** Dosen Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Palembang, Indonesia. (Bagian 5 dari 5 Tulisan) V. KESIMPULAN 1. Mikoriza adalah jenis jamur yang mempunyai peranan penting dalam memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. 2. Mikoriza dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hayati yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan hara tanaman sehingga kebutuhan akan pupuk anorganik dapat dikurangi, serta dapat menjaga kelestarian lingkungan dan bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan. 3. Mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman karena mampu meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan patogen tanah (penyakit akar) dan pada kondisi kritis (kekeringan). DAFTAR PUSTAKA Anas, I. 1997.Bioteknologi Tanah. Laboratorium Biologi Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. IPB. Anas, I. 1989. Biologi Tanah dalam Praktek. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB.

Adinurani P.G, Mulyati M dan Roy H. 2008. (Abstrak) Pengaruh Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) pada Tebu di Tanah Mineral Masam di Tolangohula Gorontalo. Ali, G.M., E.F. Husin, N. Hakim dan Kusli, 1997. Pemberian mikoriza vesikular asbuskular untuk meningkatkan efisiensi pemupukan fosfat tanaman padi gogo pada tanah Ultisols dengan perunut 32P. p. 597-605 dalam Subagyo et al (Eds). Prosiding Kongres Nasional VI HITI, Jakarta, 12-15 Desmber 1995. Azcon, R. and F. El-Atrash, 1997. Influence of arbuscular mycorrhizae and phosphorus fertilization on growth, nodulation an N2 fixation (15N) in Medicago sativa at four salinity level. Biol. Fertil. Soils 24 : 81-86. Brundrett, M. 2004. Diversity and classification of mycorrhizal associations. Biol. Rev. 79:473 495. Ba, A.M., K.B. Sanon , R. Doponnois, and J. Dexheimer, 2000. Growth response of Afselia africana Sm. seedlings to ectomycorrhizal inoculation in a nutrient-deficient soil. Mycorrhiza J. 9/2 : 91-95. Biantoro M, Ika RS dan Saubari MM. 2000. Pengaruh Sludge dan Inokulasi Mikoriza Veriskular Arbuskular Terhadap Pertumbuhan dan Hail Tanaman Jagung (Zea May). Balai Penelitian Ilmu dan Teknologi. 2007. Pemakaian Pupuk Hayati Mikoriza pada Budidaya Ubi Kayu terhubung berkala: www.google.com dalam http://support.lunarpages.com. Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika. 2007. Cendawan Mikoriza Arbuskular Mampu Memacu Pertumbuhan Manggis, terhubung berkala : www.google.com Fleibach, A.R. Martens and H.H. Reber, 1994. Soil microbial biomass and microbial activity in soil treated with heavy metal contaminated sewage sludge. Soil Biol. Biochem. 26 (9) : 1201 1205. Hakim, Nurhajati., M. Yusuf Nyakpa, A.M. Lubis, Sutopo Ghani Nugroho, M. Rusdi Saul, M. Amin Diha, Go Ban Hong, H.H. Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung. Hasanudin. 2008. Peningkatan Ketersediaan dan Serapan N dan P serta Hasil Tanaan Jagung Melalui Inokulasi Mikoriza Azotobactor dan Bahan Organik pada Ultisol. ISSN 1411-0062. Jurnal Ilmu Ilmu Pertanian Indonesia, Vol 5; hal 83-89. Husnal, Faisal T, Mahfud. 2007. Aplikasi Mikoriza untuk Memacu Pertumbuhan Jati di Muna. Balai Pusat Penelitian Boteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. INFOTENS, Vol 5; No.1. Iskandar, Dudi. 2002. Pupuk Hayati Mikoriza Untuk Pertumbuhan dan Adapsi Tanaman Di Lahan Marginal. Universitas Lampung. Lampung.

Joner, E.J. and C. Leyval, 2001. Influence of arbuscular mycorrhiza on clover and ryegrass grown together in a soil spiked with polycyclic aromatic hydrocarbons. Mycorrhiza J. 10/4 : 155159. Khan, A.G., 1993. Effect of various soil environment stresses on the occurance, distribution and effectiveness of VA mycorrhizae. Biotropia 8 : 39-44. Khan, M.H., 1995. Role of mycorrhizae in nutrient uptake and in the amelioration of metal toxicity. Biotrop Spec. Publ.No56 : 131-137. Biology and Biotechnology of Mycorrhizae. Killham, K, 1994. Soil ecology. Cambridge University Press. Kim, K.Y., D. Jordan, and McDonald, 1998. Effect of phosphate-solubilizing bacteria and vesicular-arbuscular mycorrhizae on tomato growth and soil microbial activity. Biol. Fertil. Soils 26 : 79-87. Lozano, JMR., and R. Azcon, 2000. Symbiotic efficiency and effectivity of an autochthonous arbuscular mycorrhizal Glomus sp. from saline soils and Glomus deserticola under salinity. Mycorrhiza 10/3 : 137-143. Mosse, S. 1981. Vesicular Arbuscular Mycorizarescarh for tropical agriculture. Ress. Bull Manjunath, A., D. J. Bagrayad. 1984. Effect of funicides on mycorrhizal colonization and growht of anion. Plant and Soil 78: 147-150. Morte, A., C.Lovisolo and A. Schubert, 2000. Effect of drought stress on growth and water relations of the mycorrhizal association Helianthemum almeriense - Tervesia claveryi. Mycorrhiza J. 10/3 : 115-119. Notohadinagoro, Tejoyuwono. 1997. Bercari manat Pengelolaan Berkelanjutan Sebagai Konsep Pengembangan Wilayah Lahan Kering. Makalah Seminar Nasional dan Peatihan Pengelolaan Lahan Kering FOKUSHIMITI di Jember. Universitas Jember. Jember. Oliveira, R.S., JC. Dodd and PML. Castro, 2001. The mycorrhizal status of Pragmites australis in several polluted soils and sediments of an industrialised region of Northern Portugal. Mycorrhiza J. 10/5 : 241-247. Pattimahu, D.V. 2004. Restorasi lahan kritis pasca tambang sesuai kaidah ekologi. Makalah Mata Kuliah Falsafah Sains, Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Litbang Pertanian. 2008. Teknologi engemasan Spora Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA) dalam Kapsul. Terhubung berkala www.google.com dalam http://hortikultura.litbang deptan.go.id. Rahmawaty. 2003. Restorasi lahan bekas tambang berdasarkan kaidah ekologi. http ://www.library.usu.ae.id.download/tp/htm-rahmawaty s.pdf. 24 Januari 2006.

Rotwell, F. M. 1984. Agregation of surface mine soil by interaction between Vam fungi and lignin degradation pruduct of lespedeza. Plant and Soil 80-99-104 Rani, D.B.R., S. Ragupathy and A. Mahadevan, 1991. Incidence of vesicular - arbuscular mycorrhizae (VAM) in coal waste. Biotrop Special Publ. 42 : 77-81 in Soerianegara and Supriyanto (Eds) Proceedings of Second Asean Conference on Mycorrhiza. Rao, N.S Subha, 1994. Mikroorganisme tanah dan pertumbuhan tanaman. Edisi Kedua. Penerbit Universitas Indonesia. Subiksa, IGM. 2002. Pemanfatan Mikoriza Untuk Penanggulangan Lahan Kritis. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Schubler, A., D. Schwarzott, and C. Walker. 2001. A new fungal phylum, the Glomero-mycota: phylogeny and evolution. Mycol. Res. 105(12):1413-1421. Singh, S., and K.K. Kapoor, 1999. Inoculation with phosphate-solubilizing microorganisms and a vesicular-arbuscular mycorrhizal fungus improves dry matter yield and nutrient uptake by wheat grown in a sandy soil. Biol. Fertil. Soils 28 : 139-144. Simangunsong S.A. 2005. Pengaruh Pemberian MVA dan Puuk Kandang Ayam Pada Tanaman Tembakau Deli Terhadap Serapan P dan Pertumbuhan di Tanah Inceptisol Sampali. Thomas, R.S., R.L. Franson, and G.J. Bethlenfalvay, 1993 Separation of arbuscular mycorrhizal fungus and root effect on soil aggregation. Soil Sci. Soc. Am. J. 57 : 77-81. Widodo, A. Romeida, dan Marlin. 2006. Unsur hara tanaman. Bahan Ajar Nutrisi Tanaman. Jurusan Budidaya Pertanan Universitas Bengkulu, Bengkulu. Wachjar A, Yadi S, Ninin Y. 2002. Pengaruh Inokulasi Dua Spesies Cendawan Mikoriza Arbuskular dan Pupuk Fosfat Terhadap Pertumbuhan dan Serapan Fosfat pada Biit Kelapa Sawit (Elaes quienans). Buletin Agron, Vol 3; hal 69-74. Zarate, J.T. and R.E. Dela Cruz, 1995. Pilot testing the effectiveness of arbuscular mycorrhizal fungi in the reforestation of marginal grassland. Biotrop Spec. Publ.No56 : 131-137. Biology and Biotechnology of Mycorrhizae. Diposkan oleh Dr. Ir. Abdul Madjid, MS di 02:50 0 komentar Label: Biologi Tanah

Sabtu, 2009 Mei 30


BAKTERI PELARUT FOSFAT SEBAGAI AGENTS PUPUK HAYATI (Bagian 1)
Bakteri Pelarut Fosfat sebagai Agents Pupuk Hayati* Oleh: Nursanti** dan Madjid***

(Bagian 1 dari 5 Tulisan) Keterangan: * Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati pada Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. ** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. *** Dosen Pengasuh Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. (Bagian 1 dari 5 Tulisan) I. PENDAHULUAN 1.1. Pupuk Hayati Sejalan dengan perkembangan peningkatan sumberdaya manusia dan kesadaran akan kerusakan lingkungan dan munculnya berbagai penyakit yang disebabkan penggunaan bahan kimia secara berlebihan pada makanan, pertanian organik muncul sebagai sebuah alternative yang menjadi pilihan bagi banyak orang. Pertanian organik dapat dikatakan sebagai suatu system bertani selaras alam, mengembalikan siklus ekologi dalam suatu areal pertanian membentuk suatu aliran yang siklik dan seimbang. Secara perlahan tapi pasti system pertanian organik mulai berkembang di berbagai belahan bumi, baik di Negara maju maupun Negara berkembang. Masyarakat mulai melihat berbagai manfaat yang dapat diperoleh dengan system pertanian organik , seperti lingkungan yang tetap terjaga kelestariannya dapat mengkonsumsi produk pertanian yang relative lebih sehat karena bebas dari bahan kimia yang dapat menimbulkan dampak negative bagi kesehatan . Sutanto (2002) menjelaskan bahwa pertanian organik dapat didefenisikan sebagai system pengelolaan produksi pertanian yang holistik yang mendorong dan meningkatkan kesehatan agro-ekosistem, termasuk biodiversitas, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah, dengan menekankan pada penggunaan input dari dalam dan menggunakan cara-cara mekanis, biologis dan cultural. Dalam system pertanian organic masukan atau input dari luar (eksternal) akan dikurangi dengan cara tidak menggunakan pupuk kimia buatan, pestisida dan bahan-bahan sintetis lainnya. Dalam system pertanian organic kekuatan hokum alam yang harmonis dan lestari akan dimanfaatkan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil pertanian sekaligus meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit. Beberapa lembaga penelitian dan pihak perguruan tinggi juga turut memberikan andil dalam pengembangan pertanian organik melalui penelitian-penelitian dan juga penyampaian informasi teknologi budidaya yang dapat diterapkan pada system pertanian organik. Upaya yang mulai

dilakukan adalah memperkenalkan bioteknologi dalam system pertanian organik yaitu dengan memanfaatkan beberapa mikroorganisme yang dapat membantu penyediaan hara dan pengendalian penyakit. Pada dasarnya kesuburan tanah lokal merupakan kunci keberhasilan system pertanian organik, baik kesuburan fisik, kimia maupun biologi. Bila kesuburan tanah telah baik maka akan tercipta lingkungan pertanaman terutama untuk perakaran yang diinginkan, ketersediaan hara makro dan mikro terpenuhi dan aktivitas mikroorganisme tanah utnuk membantu kesuburan tanah juga terjaga. Pemanfaatan mikroba tanah untuk meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah dalam system pertanian organik sangat penting. Peran mikroba di dalam tanah antara lain adalah daur ulang hara, penyimpanan sementara dan pelepasan untuk dimanfaatkan tanaman. Keberhasilan pemanfaatan mikroba untuk tujuan meningkatkan kesuburan tanah memerlukan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu secara terpadu. Pakar mikrobiologi tanah mengawali dengan mempelajari dan mengidentifikasikasi ekologi mikroorganisme yang akan digunkan sebagai biofertilizer (pupuk hayati). Selanjutnya mokorganisme hasil isolasi dari tanah dikembangbiakkan pada kondisi laboratorium menggunakan media buatan. Setelah mikroorganisme tersebut berhasil dibiakkan, maka harus diperoleh galur yang dikehendaki, karena tidak semua spesies dari suatu populasi bersifat efektif. Selanjunya galur yang efektif diisolasi dan dilakukan pengujian di lapangan apakah hasil inokulasi dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Mikroorganisme yang diinokulasi harus sesuai dengan kondisi lingkungan tertentu, harus mampu menyesuaikan dengan fluktuasi kondisi lingungan dan tidak kalah bersaing atau dimangsa mikroorganisme asli (Yuwono,2006) Apabila mikroorganisme yang diinokulasi cukup efektif dalam meningkatkan hasil tanaman, maka tugas selanjutnya adalah mengembangkan metode untuk memperbanyak dengan skala besar. Pada umumnya mikroorganisme akan tumbuh dan berkembang melalui proses fermentasi. Apabila populasi mikroorganisme mencapai ukuran tertentu, kemudian tahap berikutnya adalah memanen dan mengemas untuk tujuan komersil. Tugas selanjutnya adalah membuat formula cara kerja inokulan, termasuk cara memanfaatkan inokulan di lapangan (disemprotkan ke tanah atau dicampurkan dengan biji), termasuk memecahkan semua masalah yang mungkin dihadapi dalam mempertahankan inokulan tetap efektif. Terutama yang berhubungan dengan pengiriman, kemasan , penyimpanan dan pemanfaatan (Sutanto, 2002). Dalam bidang pertanian mikrobia tanah dapat dikelompokkan menjadi mikrobia merugikan (mencakup virus, jamur, bakteri dan nematode pengganggu tanaman yang bertindak sebagai hama dan penyakit) dan mikrobia yang bermanfaat yaitu sejumlah jamur dan bakteri yang karena kemampuannya melaksanakan fungsi metabolisme menguntungkan bagi pertumbuhan dan produksi tanaman. Mikrobia tanah yang menguntungkan ini dapat dikategorikan sebagai biofertilizer atau pupuk hayati. Secara garis besar fungsi menguntungkan tersebut dapat dibagi menjadi beberapa sebagai berikut ( Gunalan, 1996): 1. Penyedia hara

2. Peningkat ketersediaan hara 3. Pengontrol organisme pengganggu tanaman 4. Pengurai bahan organik dan pembentuk humus 5. Pemantap agregat tanah 6. Perombak persenyawaan agrokimia

1.2. Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) Mikroba yang berperanan dalam pelarutan fospat adalah bakteri, jamur dan aktinomisetes. Dari golongan bakteri antara lain: Bacillus firmus, B. subtilis, B. cereus, B. licheniformis, B. polymixa, B. megatherium, Arthrobacter, Pseudomonas, Achromobacter, Flavobacterium, Micrococus dan Mycobacterium. Pseudomonas merupakan salah satu genus dari Famili Pseudomonadaceae. Bakteri ini adalah bakteri aerob khemoorganotrof ,berbentuk batang lurus atau lengkung, ukuran tiap sel bakteri 0.5-0.1 1m x 1.5- 4.0 m, tidak membentuk spora dan bereaksi negatif terhadap pewarnaan Gram.Di dalam tanah jumlahnya 3-15% dari populasi bakteri. Pseudomonas terbagi atas grup, diantaranya adalah sub-grup berpendarfluor (Fluorescent) yang dapat mengeluarkan pigmen phenazine. Kebolehan menghasilkan pigmen phenazine juga dijumpai pada kelompok tak berpendarfluor yang disebut sebagai spesies Pseudomonas multivorans. Sehubungan itu maka ada empat spesies dalam kelompok Fluorescent yaitu Pseudomonas aeruginosa, P. fluorescent, P. putida, dan P. multivorans (Hasanudin,2003). Bakteri pelarut fospat merupakan bakteri decomposer yang mengkonsumsi senyawa carbon sederhana, seperti eksudat akar dan sisa tanaman. Melalui proses ini bakteri mengkonversi energi dalam bahan organik tanah menjadi bentuk yang bermanfaat untuk organisme tanah lain dalam rantai makanan tanah. Bakteri ini dapat merombak pemcemar tanah, dapat menahan unsur hara di dalam selnya. Aktivitas bakteri pelarut posfat akan tinggi pada suhu 30oC 40oC (bakteri mesophiles) , kadar garam tanah <>Struktur Tambahan Bakteri : 1. Kapsul atau lapisan lendir adalah lapisan di luar dinding sel pada jenis bakteri tertentu, bila lapisannya tebal disebut kapsul dan bila lapisannya tipis disebut lapisan lendir. Kapsul dan lapisan lendir tersusun atas polisakarida dan air. 2. Flagelum atau bulu cambuk adalah struktur berbentuk batang atau spiral yang menonjol dari dinding sel. 3. Pilus dan fimbria adalah struktur berbentuk seperti rambut halus yang menonjol dari dinding sel, pilus mirip dengan flagelum tetapi lebih pendek, kaku dan berdiameter lebih kecil dan tersusun dari protein dan hanya terdapat pada bakteri gram negatif. Fimbria adalah struktur sejenis pilus tetapi lebih pendek daripada pilus.

4. Klorosom adalah struktur yang berada tepat dibawah membran plasma dan mengandung pigmen klorofil dan pigmen lainnya untuk proses fotosintesis. Klorosom hanya terdapat pada bakteri yang melakukan fotosintesis. 5. Vakuola gas terdapat pada bakteri yang hidup di air dan berfotosintesis. 6. Endospora adalah bentuk istirahat (laten) dari beberapa jenis bakteri gram positif dan terbentuk didalam sel bakteri jika kondisi tidak menguntungkan bagi kehidupan bakteri. Endospora mengandung sedikit sitoplasma, materi genetik, dan ribosom. Dinding endospora yang tebal tersusun atas protein dan menyebabkan endospora tahan terhadap kekeringan, radiasi cahaya, suhu tinggi dan zat kimia. Jika kondisi lingkungan menguntungkan endospora akan tumbuh menjadi sel bakteri baru. 1.3 Senyawa Fosfat Tanah Fosfor di dalam tanah dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu P-organik dan Panorganik.Kandungannya sangat bervariasi tergantung pada jenis tanah, tetapi pada umumnya rendah , Gambar 20 menunjukkan bagian dunia yang kekuranagn P (Handayanto dan Hairiyah,2007) Posfor organik di dalam tanah terdapat sekitar 50% dari P total tanah dan bervariasi sekitar 1580% pada kebanyakan tanah. Bentuk-bentuk fospat ini berasal dari sisa tanaman, hewan dan mikrobia. Di sini terdapat sebagai senyawa ester dari asam orthofospat yaitu inositol , fosfolipid, asam nukleat, nukleotida, dan gula posfat. Tiga senyawa yaitu inositol fospolopid dan asam nukleat amat dominan dalam tanah. Inositol fospat dapat mempunyai satu sampai enam atom P setiap unitnya, dan senyawa ini dapat ditemukan dalam tanah atau organisme hidup (bakteri) yang dibentuk secara enzimatik. Asam nukleat sebagai DNA dan RNA menyusun 1-10% P-organik total (Elfiati,2005). Sel-sel mikrobia (bakteri) sangat kaya dengan asam nukleat. Jika organisme tersebut mati maka asam nukleatnya siap untuk dimineralisasi. Ketersediaan P-organik bagi tanaman sangat tergantung pada aktivitas mikrobia untuk memineralisasikannya. Namun seringkali hasil mineralisasi ini segera bersenyawa dengan bagian-bagian anorganik untuk membentuk senyawa yang relatif sukar larut. Enzim fostafase berperan utama dalam melepaskan P dari ikatan P-organik. Enzim ini banyak dihasilkan dari mikrobia tanah,terutama yang bersifat heterotrof. Aktivitas fosfatase dalam tanah meningkat dengan meningkatnya C-organik,tetapi juga dipengaruhi oleh pH , kelembaban temperatur dan faktor lain. Dalam kebanyakan tanah total P-organik sangat berkorelasi dengan C-organik tanah, sehingga mineralisasi P meningkat dengan meningkatnya C-organik. Semakin tinggi C-organik dan semakin rendah P-organik semakin meningkat immobilisasi P. Fosfat anorganik dapat diimmobilisasi menjadi P-organik oleh mikrobia dengan jumlah yang bervariasi antara 25-100%.

Bentuk P-anorganik dapat dibedakan menjadi P aktif yang meliputi Ca-P, Al-P, Fe-P dan P tidak aktif, yang meliputi occhided-P , reductant-P , dan mineral P primer.Fospor anorganik di dalam tanah pada umumnya berasal dari mineral fluor apatit. Dalam proses hancuran iklim dihasilkan berbagai mineral P sekunder seperti hidroksi apatit, karbonat apatit, klor apatit dan lainnya sesuai dengan lingkungannya. Selain itu ion-ion fospat dengan mudah dapat bereaksi ion Fe3+,Al3+,Mn2+ dan Ca2+, ataupun terjerap pada permukaan oksida-oksida hidrat besi, aluminium dan hidrat. P-anorganik berupa senyawa 3Ca(PO4)CaF Fluor apatit, 3Ca3(PO4)2CaCO3 Carbonat apatit, 3Ca2(PO4)2Ca(HO)2 Hidroksi apatit, 3Ca3(PO4)2CaO Oksi apatit, Ca(PO4)2CaCO3 Tri kalsium Phosfat, Ca3(PO4)2 Dikalsium phosfat, AlPO42H2O Variscit, FePO42H2O Strengit. 1.4 Peranan Fosfat pada Tanaman Fospor merupakan unsur hara esensial makro yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Tanaman memperoleh unsur P seluruhnya berasal dari tanah atau dari pemupukan serta hasil dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Jumlah P total dalam tanah cukup banyak, namun yang tersedia bagi tanaman jumlahnya rendah hanya 0,01 0,2 mg/kg tanah (Handayanto dan Hairiyah,2007). Fospor yang diserap tanaman tidak direduksi, melainkan berada di dalam senyawa organik dan organik dalam bentuk teroksidasi. Fospor organik banyak terdapat di dalam cairan sel sebagai komponen sistim penyangga tanaman. Dalam bentuk anorganik, P terdapat sebagai fosfolipid yang merupakan komponen membran sitoplasma dan kloroplas. Fitin merupakan simpanan fospat dalam biji, gula fospat merupakan senyawa antara dalam berbagai proses metabolisme tanaman. Nukleoprotein merupakan komponen utama DNA dan RNA inti sel. ATP, ADP dan AMP merupakan senyawa berenergi tinggi untuk metabolisme. Peranan P pada tanaman penting untuk pertumbuhan sel, pembentukan akar halus dan rambut akar, memperkuat tegakan batang agar tanaman tidak mudah rebah,pembentukan bunga , buah dan biji serta memperkuat daya tahan terhadap penyakit. Tanaman jagung menghisap unsur P dalam bentuk ion sebanyak 17 kg/ha untuk menghasilkan berat basah tanaman 4200 kg/ha (Premono,2002). Kekurangan P pada tanaman akan mengakibatkan berbagai hambatan metabolisme, diantaranya dalam proses sintesis protein, yang menyebabkan terjadinya akumulasi karbohidrat dan ikatanikatan nitrogen. Kekurangan P tanaman dapat diamati secaa visual, yaitu daun-daun yang lebih tua akan berwarna kekuningan atau kemerahan karena terbentuknya pigmen antisianin. Pigmen ini terbentuk karena akumulasi gula di dalam daun sebagai akibat terhambatnya sintesa protein. Gejala lain adalah nekrotis atau kematian jaringan pada pinggir atau helai daun diikuti melemahnya batang dan akar terhambat pertumbuhannya. Buntan (1992) menjelaskan fosfor merupakan bahan makanan utama yang digunakan oleh semua organisme untuk energi dan pertumbuhan. Secara geokimia, fosfor merupakan 11 unsur yang

sangat melimpah di kerak bumi. Seperti halnya nitrogen, fosfor merupakan unsur utama di dalam proses fotosintesis. Fosfor biasanya berasal dari pupuk buatan yang kandungannya berdasarkan rasio N-P-K. Sebagai contoh 15-30-15, mengindikasikan bahwa berat persen fostor dalam pupuk buatan adalah 30% fosfor oksida (P2O5). Fosfor yang dapat dikonsumsi oleh tanaman adalah dalam bentuk fosfat, seperti diamonium fosfat ((NH4)2HPO4) atau kalsium fosfat dihidrogen(Ca(H2PO4)2). Fosfat merupakan salah satu bahan galian yang sangat berguna untuk pembuatan pupuk. Sekitar 90% konsumsi fosfat dunia dipergunakan untuk pembuatan pupuk, sedangkan sisanya dipakai oleh industri ditergen dan makanan ternak. Mineral-mineral fosfat adalah batuan dengan kandungan fosfor yang ekonomis. Kandungan fosfor pada batuan dinyatakan dengan BPL (bone phosphate of lime) atau TPL (triphosphate of lime) yang didasarkan atas kandungan P2O5. Sebagian besar fosfat komersial yang berasal dari mineral apatit {Ca5 (PO4)3 (F,Cl,OH)} adalah kalsium fluo-fosfat dan kloro-fosfat dan sebagian kecil wavelit (fosfat aluminium hidros). Sumber lainnya berasal dari jenis slag, guano, krandalit (CaAl3(PO4)2(OH)5 .H2O), dan milisit {(Na,K) CaAl6 (PO4)4 (OH)9 3H2O}. Apatit memiliki struktur kristal heksagonal dan biasanya dalam bentuk kristal panjang prismatik. Sifat fisik yang dimilikinya: warna putih atau putih kehijauan, hijau, kilap kaca sampai lemak, berat jenis 3,15 3,20, dan kekerasan 5. Apatit merupakan mineral asesori dari semua jenis batuan.beku, sedimen, dan metamorf. Ini juga ditemukan pada pegmatit dan urat-urat hidrotermal. Selain sebagai bahan pupuk, mineral apatit yang transparan dan berwarna bagus biasanya digunakan untuk batu permata. Reservoir fosfor berupa lapisan batuan yang mengandung fosfor dan endapan fosfor anorganik dan organik. Fosfat biasanya tidak atau sulit terlarut dalam air, sehingga pada kasus ini tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Kehadiran mikroorganisme dapat memicu percepatan degradasi fosfat. Sumber fosfor organik dalah perbukitan guano. Di dunia, cadangan fosfat berjumlah 12 milyar ton dengan cadangan dasar sebesar 34 milyar ton. Cadangan fosfat yang ada di Indonesia adalah sekitar 2,5 juta ton endapan guano (0,17 - 43% P2O5) dan diperkirakan sekitar 9,6 juta ton fosfat marin dengan kadar 20 - 40% P2O5. Masuknya fosfor ke laut sebesar 3,3 x 1011 mol P th. Jika aktivitas manusia (anthropogenic), seperti perusakan hutan dan penggunaan pupuk dimasukkan, maka jumlah fosfor yang masuk ke laut akan meningkat sebesar 3 kali lipat, yaitu 7,4 - 15,6 x 1011 mol P th . Siklus P pada Gambar 21 (Buntan, 1992). Bersambung ke bagian 2 yang dapat dilihat pada pustaka dibawah: Pustaka: Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri & Prodi Ilmu Tanaman, Program S2, Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Propinsi Sumatera Selatan. Indonesia. Http://dasar2ilmutanah.blogspot.com. Diposkan oleh Dr. Ir. Abdul Madjid, MS di 22:22 0 komentar Label: Biologi Tanah

BAKTERI PELARUT FOSFAT SEBAGAI AGENTS PUPUK HAYATI (Bagian 2)


Bakteri Pelarut Fosfat sebagai Agents Pupuk Hayati* Oleh: Nursanti** dan Madjid*** (Bagian 2 dari 5 Tulisan) Keterangan: * Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati pada Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. ** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. *** Dosen Pengasuh Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. (Bagian 2 dari 5 Tulisan) II. PEMANFAATAN BAKTERI PELARUT FOSFAT 2.1. Bakteri Pelarut Fosfat dan Ketersediaan P Reaksi yang terjadi selama proses pelarutan P dari bentuk tak tersedia adalah reaksi khelasi antara ion logam dalam mineral tanah dengan asam-asam organik. Khelasi adalah reaksi keseimbangan antara ion logam dengan agen pengikat, yang dicirikan dengan terbentuknya lebih dari satu ikatan antara logam tersebut dengan molekul agen pengikat, yang menyebabkan terbentuknya struktur cincin yang mengelilingi logam tersebut. Mekanisme pengikatan Al+++ dan Fe++ oleh gugus fungsi dari komponen organik adalah karena adanya satu gugus karboksil dan satu gugus fenolik, atau dua gugus karboksil yang berdekatan bereaksi dengan ion logam.Besarnya P yang terlarut memiliki korelasi dengan Ca dan Mg yang dilepaskan, hal ini membuktikan bahwa P tersebut semula terikat oleh Ca dan Mg. Pelarutan P dalam tanah dapat ditingkatkan pada suasana pH rendah . Fospor relatif tidak mudah tercuci, tetapi karena pengaruh lingkungan maka statusnya dapat berubah dari P yang tersedia bagi tanaman menjadi tidak tersedia, yaitu dalam bentuk Ca-P, MgP, Al-P, Fe-P atau occluded-P. Menurut Buntan (1992) dalam aktivitasnya bakteri pelarut P akan menghasilkan asam-asam organik diantaranya asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, oksalat, glioksalat, malat, fumarat, tartarat dan alfa ketobutirat. Meningkatnya asam-asam organik tersebut biasanya diikuti dengan penurunan pH, sehingga mengakibatkan pelarutan P yang terikat oleh Ca.Penurunan pH juga disebabkan terbebasnya asam sitrat dan nitrat pada oksidasi kemoautotropik sulfur dan amonium berturut-turut oleh bakteri Thiobacillus dan Nitrosomonas. Reaksi pelarutan atau pelepasan P oleh penurunan pH dan terdapatnya gugus karboksilat secara sederhana dapat digambarkan

sebagai berikut : Ca10(PO4)6(OH)2 + 14H+ --> 10 Ca2+ + 6H2O + 6H2PO4OH OH M- OH + R-COO- ---> M OH + H2PO4H2PO4 - OC-R M = Al3+ atau Fe3+ Reaksi pengikatan P sebagai berikut : Al + H2PO4 + 2 H2O --> Al(OH)2H2PO4 + 2 H+ Al(OH)3 + H2PO4 --> AL(OH)2H2PO4 + OHCa(H2PO4) + CaCO3 --> Ca3(PO4)2 + 2CO2 +2H2O Asam organik yang dihasilkan bakteri pelarut posfat mampu meningkatkan ketersediaan P di dalam tanah melalui beberapa mekanisme, diantara adalah : (a) anion organik bersaing dengan orthofosfat pada permukaan tapak jerapan koloid yang bermuatan positif ; (b) pelepasan orthofosfat dari ikatan logam P melalui pembentukan komplek logam organik ; (c) modifikasi muatan tapak jerapan oleh ligan organik (Elfianti,2005) Asam sitrat dan oksalat digolongkan sangat efektif dalam menurunkan retensi P dari kaolinit dan gipsit, sedangkan asam malonat, tartarat dan malat berefektivitas sedang, asam asetat dan suksinat digolongkan kurang efektif. Pada tanah vulkanik yang kaya alovan asam-asam organik (benzoat, salisilat dan ptalat) tidak mampu menurunkan retensi P. Havlin et al dalam Elfianti(2005) menjelaskan juga bahwa tanpa anion organik maka Fe menjerap P dalam jumlah yang sangat banyak. Asam sitrat menjerap Fe jauh lebih banyak dibanding tartarat, demikian pula dalam hal mengurangi P terjerap. Tetapi jumlah Al yang diikat kedua asam tersebut tidak berbeda. Asam asetat tidak efektif dalam menurunkan retensi, karena asetat kurang kuat dalam membentuk komplek dengan Al maupun Fe. Disamping meningkatkan P tersedia, beberapa asam organik berbobot molekul rendah ini juga dapat mengurangi daya racun Al yang dapat dipertukarkan (Al-dd). Kemampuan detoksifikasi asam organik terhadap Al-dd dalam tiga kelompok yaitu kuat (sitrat, oksalat, tartarat); sedang (malat, malonat, salisilat); dan lemah (suksinat,laktat, asetat dan ptalat). Hasil penelitian Pramono et al.(1992) menunjukkan bahwa bakteri pelarut posfat secara nyata mampu mengurangi Fe, Mn dan Cu yang terserap oleh tanaman jagung yang ditanam pada tanah masam, sehingga berada pada tingkat kandungan yang normal. Terdapatnya asam-asam organik sitrat, oksalat, malat, tartarat dan malonat di dalam tanah sangat penting artinya dalam mengurangi pengikatan P oleh unsur-unsur penjerapnya dan mengurangi daya racun aluminium pada tanah masam. Asam-asam organik yang mempunyai berat molekul rendah meliputi: asam alifatik sederhana, asam amino dan asam fenolik. Asam alifatik terdapat pada tanaman yang banyak mengandung selulosa, asam amino dihasilkan dari tanaman yang banyak mengandung N (misalnya legum), sedang asam fenolik dihasilkan dari tanaman golongan herba (berbatang basah seperti bayam).

Asam-asam organik tersebut antara lain: laktat, glikolat, suksinat, alfa ketoglutarat, asetat, sitrat, malat, glukonat, oksalat, butirat dan malonat akan terbentuk selama proses perombakan bahan organik oleh mikrobia, merupakan bentuk antara (transisi). Meskipun jumlahnya sangat kecil yaitu sekitar 10 mM, namun karena terus menerus terbentuk maka peranannya menjadi penting. Sebagian besar asam tersebut merupakan asam lemah. Konsentrasi yang agak besar dapat ditemukan pada mintakat (zone) tempat aktivitas mikrobia tinggi seperti rhizosphere atau pada longgokan seresah tanaman yang sedang mengalami proses perombakan. Lokasi keberadaan bakteri di daerah perakaran. Jumlah bakteri yang terdapat di daerah perakaran dan tanah pada Tabel 1, dan jumlah mikrobia yang terbanyak di daerah perakaran adalah bakteri pada Tabel 2 (Vega, 2007). Tabel 1. Jumlah Bakteri CFU x 106 g-1 tanah ----------------------------------------------------------------Plant Species Rhizoplane Rhizosphere Bulk Soil R/S Ratio ----------------------------------------------------------------Red Clover 3844 3255 134 24 Oats 3588 1090 184 6 Flax 2450 1015 184 5 Wheat 4119 710 120 6 Maize 4500 614 184 3 Barley 3216 505 140 3 ----------------------------------------------------------------Sumber: Rouat dan Katznelson, 1961. Tabel 2 Jumlah Mikrobia di Daerah Perakaran ---------------------------------------------------------Microorganisms Rhizosphere Soil Bulk Soil R/S Ratio ---------------------------------------------------------Bacteria 1,2 x 10^9 5,3 x 10^7 23 Actinomycetes 4,6 x 10^7 7,0 x 10^6 7 Fungi 1,2 x 10^6 1,0 x 10^5 12 Protozoa 2,4 x 10^3 1,0 x 10^3 2 Algae 5,0 x 10^3 2,7 x 10^4 0,2 Ammonifiers 5,0 x 10^8 4,0 x 10^5 125 Denitrifiers 1,26 x 10^8 1,0 x 10^5 1260 ---------------------------------------------------------Sumber: Hasil modifikasi dari Gray dan Williams, 1971. Urutan kemampuan asam organik dalam melarutkan fosfat adalah: asam sitrat > asam oksalat = asam tartrat= asam malat > asam laktat = asam format = asam asetat. Asam organik yang membentuk komplek yang lebih mantap dengan kation logam akan lebih efektif dalam melepas Ca, Al dan Fe mineral tanah sehingga akan melepas P yang lebih besar. Demikian juga asam aromatik dapat melepas P lebih besar dibandingkan asam alifatik. Menurut Yuwono (2006) bahwa kecepatan pelarutan P dari mineral P oleh asam organik

ditentukan: (1) kecepatan difusi asam organik dari larutan tanah, (2) waktu kontak antara asam organik dan permukaan mineral, (3) tingkat dissosiasi asam organik, (4) tipe dan letak gugus fungsi asam organik, (5) affinitas kimia agen pengkhelat terhadap logam dan (6) kadar asam organik dalam larutan tanah. Menurut Alexander (1986) mikrobia dapat ditumbuhkan dalam media yang mengandung Ca3(PO4)2, FePO4, AlPO4, apatit, batuan P dan komponen P-anorganik lainnya sebagai sumber P. Sastro (2001) menunjukkan bahwa jamur Aspergilus niger dapat dipeletkan bersama dengan serbuk batuan fosfat dan bahan organik membentuk pupuk batuan fosfat yang telah mengandung jasad pelarut fosfat. Aspergillus niger tersebut dapat bertahan hidup setelah masa simpan 90 hari dalam bentuk pelet. Elfianti (2005) menggunakan fosfobakteri galur fosfo 24, Bacillus substilis, Bacterium mycoides dan Bacterium mesenterricus untuk melarutkan P organik (glisero fosfat, lesitin, tepung tulang) dan P anorganik (Ca-p, Fe-P) yang dilakukan secara in vitro. Hasilnya menunjukkan bahwa bakteri tersebut mampu melarutkan FePO4, Ca3(PO4)2, gliserofosfat, lesitin dan tepung tulang berturut-turut sebayak 4,5 , 6, 8, 13 dan 14%. Banin (1982) memanfaatkan Bacillus sp dan dua galur Bacillus firmus, yang menunjukkan bahwa ketiga bakteri tersebut masing-masing hanya mampu melarutkan berturut-turut 0,3, 0,9 dan 0,3% dari senyawa Ca3(PO4)2 yang diberikan dan tidak mampu melarutkan ALPO4 dan FePO4. Supadi (1962) mengidentifikasikan beberapa bakteri pelarut P dari lapisan perakaran tanaman jagung, mikrobia tersebut adalah Bacillus megaterium, Bacillus sp, Escherechia freundii dan Escherechia intermedia. Bakteri tersebut dapat meningkatkan P tersedia sebanyak 0,8 3,7 ppm pada tanah sterl dan 0,1 3,6 ppm pada tanah steril. Premono et al (1991) yang menggunakan Pseudomonas putida, Citrobacter intermedium dan Serratia mesenteroides, mendapatkan bahwa bakteri tersebut mampu meningkatkan P larut yang ada dalam medium ALPO4 dan batuan fospat sebanyak 6-19 kali lipat, tetapi tidak mampu melarutkan FePO4 . Selanjutnya Premono (1994) menunjukkan bahwa Pseudomonas fluorescens dan P. Puptida mampu meningkatkan P terekstrak pada tanah masam sampai 50%, sedangkan pada tanah bereaksi basa P . puptida mampu meningkatkan P yang terekstrak sebesar 10%. Penelitian Buntan (1992) memperlihatkan bahwa bakteri pelarut P (Pseudomonas puptida dan Enterobacter gergoviae) mampu meningkatkan kelarutan P pada tanah ultisol. Hasil penelitian Setiawati (1998) menunjukkan bahwa Pseudomonas fluorescens yang digunakan mampu meningkatkan kelarutan P dari fospat alam dari 16,4 ppm menjadi 59,9 ppm, meningkatkan kelarutan P dari ALPO4 dari 28,5 ppm menjadi 30,6 ppm dan meningkatkan P tersedia tanah dari 17,7 ppm menjadi 34,8 ppm. Ada beberapa metode uji untuk memilih mikroba pelarut fosfat sebagai bahan aktif biofertilizer. Uji pertama yang sering dilakukan adalah mengukur indek pelarutan fosfat dan kemudian dilanjutkan dengan uji invitro. Bagian Pertama ini akan mejelaskan tentang indek pelarutan fosfat.

Indek pelarutan fosfat ini berdasarkan pada metode yang dijelaskan oleh Premono, Moawad, dan Vlek (1996). Secara aseptis 1 ose (untuk bakteri) atau satu cuplikan kecil dengan diameter 8 mm untuk fungi diinokulasikan ke atas media Pikovskaya. Setiap perlakuan dilakukan dengan beberapa ulangan, minimal duplo. Isolat diinkubasi selama beberapa hari. Indeks pelarutan fosfat adalah perbandingan antara diameter zona jernih dibagi dengan diameter koloni. Indek pelarutan fosfat sesuai digunakan untuk screening awal mikroba pelarut fosfat. Metode ini mudah dan murah untuk dilakukan. Tetapi jika tidak hati-hati metode ini bisa menimbulkan bias. Variasi indek pelarutan fosfat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain: (1) Konsentrasi fosfat. AlPO4 tidak larut dalam air; untuk menuang medium ini ke dalam cawan petri perlu digoyang-goyang terlebih dahulu. Ada kemungkinan bahwa konsentrasi AlPO4 tidak seragam, sehingga zona jernihnya juga terpengaruh (2) Ketebalan agar. Ketebalan agar di dalam cawan juga akan mempengaruhi zona jernih. AlPO4 di agar yang lebih tebal tentunya lebih sulit untuk dilarutkan daripada di agar yang tipis. (3) Kecepatan pertumbuhan mikroba. Ada mikroba yang tumbuh dengan cepat dan ada mikroba yang tumbuh lambat. Misalnya, Penicillium sp umumnya memiliki diamater koloni yang lebih kecil daripada Aspergillus sp. Indek Penicillium sp lebih besar dari Aspergillus sp, tetapi kemampuannya melarutkan fosfat in vitro Penicillium sp lebih kecil daripada Aspergillus sp. (4) Sesuai untuk membadingkan satu kelompok mikroba. Indek pelarutan fosfat kurang sesuai untuk membandingkan antar kelompok mikroba, misalnya: fungi, bakteri, dan aktinomicetes. Data-data indek pelarutan fosfat umumnya di analisis dengan metode statistik. Statistik tidak bisa memisahkan variabel-variabel ini. Beberapa hal di atas akan sangat mempengaruhi hasil analisa statistik oleh karena itu harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh agar tidak salah dalam mengambil kesimpulan. 2.2. Bakteri Pelarut Fosfat dan Tanaman Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terbukti bahwa perlakuan pemberian bakteri pelarut fosfat (BPF) sebagai pupuk hayati peningkat ketersediann P dalam tanah mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung pada tanah masam, yang tampak pada parameter tinggi tanaman 10 dan 45 HST, berat basah trubus, berat kering trubus, berat basah akar, berat kering akar, luas daun serta kadar P trubus. Pada tanaman jagung, Citrobacter intermedium dan Pseudomonas putida (Premono et al, 1991) mampu meningkatkan serapan P dan bobot kering tanaman sampai 30%. Pada percobaan yang lain P. Putida mampu meningkatkan bobot kering tanaman jagung sampai 20% dan mikrobia ini stabil sampai lebih dari 14 bulan pada media pembawa zeolit, tanpa kehilangan kemampuan genetisnya dalam melarutkan batuan posfat. Inokulasi dengan Enterobacter gergoviae pada tanaman jagung dapt meningkatkan bobot kering tanaman jagung sebesar 29%. Sedangkan Lestari (1994) menguji Aspergillus niger menunjukkan bahwa mikrobia tersebut sangat baik dalam memperbaiki penampilan pertumbuhan tanaman jagung sampai 8 minggu pertama. Berdasarkan hasil penelitian Hasanuddin (2002) menunjukkan bahwa perlakuan inokulasi

Bakteri pelarut posfat 15 ml per inokulum tanaman dapat meningkatkan ketersediaan P 62,21% dan meningkatkan berat kering tanaman Kedelai. Pada Tanaman Tebu penggunaan bakteri pelarut P (Pseudomonas puptida dan Pseudomonas fluorescens) dapat meningkatkan bobot kering tanaman sampai 40% dan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk TSP sebesar 60-135% (Elfiati,2005). Beberapa peneliti mengemukakan bahwa efektifnya bakteri pelarut P tidak hanya disebabkan oleh kemampuannya dalam meningkatkan ketersediaan P tetapi juga disebabkan karena kemampuannya dalam menghasilkan ZPT, terutama pada Bakteri yang hidup di permukaan akar seperti Pseudomonas fluorescens, P putida dan P. Striata. Bakteri tersebut dapat menghasilkan zat pengatur tumbuh seperti asam indol asetat (IAA) dan asam giberelin (GA3). Beberapa bakteri pelarut posfat juga dapat berperan sebagai biokontrol yang dapat meningkatkan kesehatan akar dan pertumbuhan tanaman melalui proteksinya terhadap penyakit. Strain tertentu dari Pseudomonas sp dapat mencegah tanaman dari patogen fungi yang berasal dari tanah. Pseudomonas fluorescens dapat mengontrol perkembangan penyakit dumping-off tanaman. Kemampuan bakteri ini terutama karena menghasilkan 2,4-diacethylphloroglucinol yang dapat menghalangi pertumbuhan cendawan dumping-off Phytium ultium (Hadiyanto,2007). Bersambung ke bagian 3 yang dapat dilihat pada pustaka dibawah: Pustaka: Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri & Prodi Ilmu Tanaman, Program S2. Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Propinsi Sumatera Selatan. Indonesia. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com. Diposkan oleh Dr. Ir. Abdul Madjid, MS di 22:16 0 komentar Label: Biologi Tanah

BAKTERI PELARUT FOSFAT SEBAGAI AGENTS PUPUK HAYATI (Bagian 3)


Bakteri Pelarut Fosfat sebagai Agents Pupuk Hayati* Oleh: Nursanti** dan Madjid*** (Bagian 3 dari 5 Tulisan) Keterangan: * Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati pada Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. ** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. *** Dosen Pengasuh Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang,

Sumatera Selatan, Indonesia. (Bagian 3 dari 5 Tulisan) III. TEKNOLOGI PUPUK HAYATI BAKTERI PELARUT FOSFAT 3.1. Teknik Identifikasi Bakteri Identifikasi bakteri sangat diperlukan untuk menentukan atau mengetahui jenis bakteri yang diinginkan. Teknik identifikasi populasi bakteri dapat dilakukan dengan metode tidak langsung , yaitu berdasarkan jumlah koloni pada media yeast mannitol agar (YMA) + congored ataupun YMA + bromthymol blue (BTB). Bahan dan alat yang diperlukan adalah penangas air, mortir penumbuk steril, neraca, pipet steril, air steril, lampu bunsen,contoh tanah, petridish dan mikroskop. Selanjutnya menurut Syarifuddin (2002) pengambilan contoh tanah dilakukan dengan cara pengamatan tanah di lapangan untuk mengetahui morfologi, klasifikasi dan penyebarannya. Pengamatan dapat dilakukan dengan sistem grade dengan jarak 250x250m atau disesuaikan dengan perubahan landscape. Selain contoh tanah profil diambil juga contoh tanah komposit pada kedalaman 0-50 cm . Contoh tanah komposit merupakan campuran homogen dari beberapa tempat pengambilan dari satuan lahan yang sama, setelah diaduk rata kemudian diambil 500gr . Tanah diupayakan dalam keadaan lembab untuk keperluan analisis di laboratorium.Alat alat labor yang digunakan pada Gambar 24 sampai dengan Gambar 29). Prosedur identifikasi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : (1) Pada bagian petridish diberi tanda sesuai dengan tingkat pengenceran yaitu10-1, 10-2, 10-3 dan seterusnya. (2) Sebanyak 1gr contoh tanah ditumbuk dalam mortir steril kemudian dimasukkan secara aseptik bersama 9cc air steril ke dalam erlenmeyer (pengenceran 10-2), selanjutnya dikocok dengan hati-hati sampai homogen. (3) Inokulasi secara aseptik 1cc masing-masing contoh tanah yang telah homogen ke dalam petridish steril dan tabung gelas yang berisi 9 cc air steril (pengenceran 10-3) kemudian kocok dilakukan seperti no 2. (4) Media YMA+congored atau BTB steril yang telah diencerkan pada suhu lebih krang 500C dituangkan secara aseptik ke dalam masing-masing petridish yang telah diinokulasi, kemudian digoyang-goyang secukupnya dan biarkan sampai membeku. (5) Inokulasi pada suhu 280C selama 8 hari dengan posisi petridish terbalik. (6) Populasi koloni dihitung pada umur 4 hari dan 8 hari dengan menggunakan mikroskop pembesaran 1000 kali. Jangan pernah menyangka kalau di bawah tanah adalah dunia yang sepi, khususnya di daerah akar tanaman. Sesungguhnya wilayah ini adalah wilayah yang sangat ramai, sibuk, dan hirup pikuk. Kalau kita cabut akar tanaman, lalu kita bersihkan sisa-sisa tanahnya, maka di akar itu ada milyaran mahluk-mahluk halus yang sedang sibuk bekerja (Gambar 32 dan 33). Mahlukmahluk itu disebut makhluk halus karena tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Mahluk ini

super kecil, untuk melihatnya perlu bantuan mikroskop dengan pembesaran kurang lebih 1000x. Karena ukurannya yang super kecil, mahluk ini juga disebut mahluk mikro atau mikroba atau mikrobia (mikro = kecil, bio : mahluk hidup). Dalam secuil tanah saja terdapat milyaran mahlukmahluk halus ini. Mikroba pelarut fosfat (MPF) umumnya diisolasi dari contoh tanah, contoh pada Gambar 30 , 31 dan 34. MPF yang umum didapatkan antara lain dari kelompok fungi, bakteri, dan actinomicetes. Prosedur umum untuk mengisolasi MFP adalah sebagai berikut: (1) Satu gram contoh tanah dimasukkan ke dalam 99 ml larutan garam fisiologis (0.85% NaCl) steril dan dikocok selama 24 jam atau semalam. Dari pengenceran ini diperoleh seri pengenceran 10 ext-2. Tujuan pengocokan ini agar diperoleh lebih banyak isolat, khususnya isolat fungi. (2) Satu ml larutan dari pengenceran 10 ext. -2 ditambahkan ke dalam 99 ml larutan garam fisiologis dan dikocok/diaduk hingga tercampur merata. Langkah ini diperoleh pengenceran 10 ext. -4. Pengenceran terus dilakukan hingga seri pengencera 10 ext. - 6 s/d 10 ext. - 8. (3) Buat medium agar Pikovskaya (5 g Ca3(PO4)2, 10 g glukosa, 0,2 gNaCl, 0,2 g KCl, 0,1 g MgSO4.7H2O, 0,5 g NH4SO4, 0,5eksrak ragi, sedikit MnSO4 dan FeSO4 dilarutkan dalam 1liter H2O, pH = 6,8) (4) Satu ml dari setiap seri pengenceran yang telah dibuat dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Medium agar Pikovskaya yang masih cair (suhu kurang lebih 50oC) dituangkan ke dalam cawan. Cawan digoyang agar sample dan media tercampur merata. (6) Ulangi langkah di atas secukupnya. (7) Inkubasi dalam posisi terbalik selama beberapa hari. (8) Mikroba yang dapat melarutkan fosfat akan membentuk zona bening di dalam medium Pikovskaya. (9) Setelah diperoleh MPF segera dipisahkan dan dimurnikan di dalam medium Pikovskaya yang lain. Isolat bakteri dan actinomicetes biasanya segera tumbuh pada umur 2 - 3 hari, sedangkan fungi baru mulai tumbuh setelah 1 - 2 minggu. 3.2. Teknologi Produksi dan Aplikasi Mikrobia tanah banyak yang berperan dalam penyediaan maupun penyerapan unsur hara bagi tanaman. Tiga unsur hara penting tanaman Nitrogen Fosfat dan Kalium keseluruhannya melibatkan aktivitas mikrobia. Isroi (2004) menjelaskan beberapa jenis bakteri mampu menghasilkan hormon tanaman yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Hormon yang dihasilkan oleh bakteri akan diserap oleh tanaman sehingga tanaman akan tumbuh lebih cepat. Mikrobia atau bakteri tersebut diformulasikan dalam bahan pembawa khusus dan digunakan sebagai bahan biofertilizer. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh BPBPI mendapatkan bahwa biofertilizer setidaknya dapat menyuplai lebih dari setengah kebutuhan hara tanaman. Aplikasi biofertilizer pada pertanian organik dapat menyuplai kebutuhan hara tanaman yang selama ini dipenuhi dari pupuk-pupuk kimia sepanjang bioteknologi berbasis mikroba selalu

dikembangkan . Teknologi penyubur tanah dan tanaman, dengan menggunakan pupuk hayati SMS Agrobost yang dibuat dengan teknologi Agricultural Growth Promoting Inoculant (AGPI) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor, suatu inokulan campuran yang berbentuk cair, mengandung hormon tumbuh indole acetic acid serta mikroba indigenous (mikroba tanah setempat) asli indonesia, yang sangat dibutuhkan dalam proses penyuburan tanah secara biologi antara lain Azospirillum sp, Azotobacter sp, mikroba pelarut P, Lactobacillus sp, dan mikroba pendegradasi selulosa dan Pseudomonas Sp. Goenadi (2004) menjelaskan pada prinsipnya aktivitas mikroba tanah dapat ditingkatkan untuk kurun waktu tertentu dan bermanfaat bagi tanaman melalui introduksi mikrobia unggul yang dimaksud secara khusus diisolasi dari tanah dan dikemas dalam bahan pembawa (carrier) yang mampu menjaga reaktifitasnya dalam periode yang memadai. Agar dapat disimpan lebih lama (lebih dari setahun) maka formulasi biofertilizer ini perlu menyediakan lingkungan yang nyaman dan makanan yang cukup bagi mikroba termaksud. Kemasan dalam bentuk butiran (diameter 23mm) akan mempermudah aplikasinya dilapangan, tetapi pada umumnya dalam kemasan bubuk (powder). Untuk mempertahankan kehidupan bakteri di dalam formulasi biofertilizer maka diperlukan beberapa bahan sebagai nutrisi dan tempat bertahan (Tabel 3). Tabel 3 Formulasi Biofertilizer untuk mempertahankan inokulan bakteri ----------------------------------------------------------No. Formulasi Kandungan (g L-1) ----------------------------------------------------------(1) Glukosa 5 - 30 (2) Ca3(PO4) 2 1 - 20 (3) MgCl2.6H2O 0,5 - 20 (4) MgSO4.7H2O 0,05 - 5 (5) KCl 0,025 - 5 (6) (NH4)2SO4 0,01 - 2 (7) Bromophenol Blue 0,01 - 0,1 ----------------------------------------------------------Selanjutnya dijelaskan juga bahwa untuk mencapai produksi yang sama dengan teknologi konvensional , penggunaan teknologi biofertilizer menghemat penggunaan pupuk kimia hingga 50% , berkurangnya pencemeran lingkungan dan dampak lebih lanjut adalah menjamin kapasitas keberlanjutan kapasitas produksi lahan. 3.3. Produk Pupuk Hayati Pelarut Fosfat Salah satu produk pupuk hayati bakteri pelarut fosfat adalah pupuk biophos (Gambar 35) yang dapat digunakan langsung pada peningkatan pertumbuhan tanaman. Biofertilizer lain yang tersedia di pasaran antara lain Agrobost, Tiens Golden Harvest ,Miza Pluss.

Miza Plus adalah pupuk hayati berbasis mikoriza arbuskula dan telah diformulasi dengan memadukan sinergisme antara mikroba simbiotik dan non simbiotik. Secara fungsional mikroba tersebut bersinergi dalam penyediaan unsur makro P, N, dan zat pengatur tumbuh tanaman. Perbaikan rhizosfer tanaman dibuktikan dapat memperbaiki akar dan daerah perakaran tanaman sehingga pemberian Miza Plus disamping secara aktif menyediakan hara tanaman juga memperbaiki lingkungan tumbuh tanaman secara berkesinambungan. Mikroba terseleksi yang terkandung dalam Miza Plus adalah bakteri penambat N non simbiotik, bakteri pelarut fosfat, dan bakteri pemacu pertumbuhan tanaman. Mikoriza di samping membantu meningkatkan status hara tanaman juga membantu meningkatkan toleransi tanaman terhadap patogen seperti patogen tular tanah. Spesifikasi formulasi miza pluss adalah Bahan aktif : Mikoriza arbuskula, bakteri penambat N, bakteri pelarut fosfat, dan bakteri pemacu pertumbuhan tanaman. Warna : Putih-abu abu Bentuk : Granul ,Kemasan : 5 dan 25 kg, Masa simpan : 12 bulan. Bersambung ke bagian 4 yang dapat dilihat pada pustaka dibawah: Pustaka: Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri & Prodi Ilmu Tanaman, Program S2, Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Propinsi Sumatera Selatan. Indonesia. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com. Diposkan oleh Dr. Ir. Abdul Madjid, MS di 22:09 0 komentar Label: Biologi Tanah

BAKTERI PELARUT FOSFAT SEBAGAI AGENTS PUPUK HAYATI (Bagian 4)


Bakteri Pelarut Fosfat sebagai Agents Pupuk Hayati* Oleh: Nursanti** dan Madjid*** (Bagian 4 dari 5 Tulisan) Keterangan: * Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati pada Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. ** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. *** Dosen Pengasuh Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. (Bagian 4 dari 5 Tulisan)

IV. PERKEMBANGAN PENELITIAN BAKTERI PELARUT FOSFAT Sen dan Paul dalam Elfiati (2005) menggunakan fosfobakterin galur fosfo 24, Bacillus subtilis , Bacterium mycoides dan B. Mesenerricus untuk melarutkan P organik (glisero fosfat, lesitin, tepung tulang) dan P anorganik (Ca-P, Fe-P) yang dilakukan secara in vitro. Hasilnya menunjukkan bahwa bakteri tersebut mampu melarutkan FePO4, Ca3(PO4)2, gliserofosfat, lesitin dan tepung tulang berturut-turut sebanyak 2-7, 3-9, 3-13, 5-21 dan 14%.Banik (1982) memanfaatkan Bacillus sp dan dua galur Bacillus firmus, hasil percobaannya menunjukkan bahwa ketiga bakteri tersebut masing-masing hanya mampu melarutkan berturut-turut 0,3 , 0,9 dan 0,3 % dari senyawa Ca(PO4)2 yang diberikan dan tidak mampu melarutkan AlPO4 dan FePO4. Rao dan Sinha (1962) mengidentifikasikan beberapa mikroba pelarut P dari lapisan perakaran tanaman gandum. Mikroba tersebut adalah Bacillus megaterium, Bacillus sp, Escherechia freundii dan E. Intermedia . Supadi (1991) juga mendapatkan anggota-anggota Escherechia yang dapat melarutkan P dari lapisan perakaran tanaman jagung. Bakteri-bakteri tersebut meningkatkan P tersedia sebanyak 0,8-3,7 ppm pada tanah non steril dn 0,1-3,6 ppm pada tanah steril. Premono et al (1991) yang menggunakan Pseudomonas puptida, Citrobacter intermedium dan Serratia mesenteroides mendapatkan bahwa bakteri tersebut mampu meningkatkan P larut yang ada dalam medium AlPO4 dan batuan fosfat sebanyak 6-19 kali lipat, tetapi tidak mampu melarutkan FePO4. Selanjutnya hasil penelitian Premono (1994) menunjukkan bahwa Pseudomonas fluorescens dan P.puptida mampu meningkatkan P terekstrak pada tanah masam sampai 50%, sedangkan pada tanah berreaksi basa P. Puptida mampu meningkatkan P yang terekstrak sebesar 10%. Penelitian Buntan (1992) memperlihatkan bahwa bakteri pelarut fosfat (Pseudomonas puptida dan Enerobacter gergoviae) mampu meningkatkan kelarutan P pada tanah ultisol. Hasil penelitian Setiawati (1998) menunjukkan bahwa Pseudomonas fluorescens yang digunakannya mampu meningkatkan kelarutan P dari fosfat alam dari 16,4 ppm menjadi 59,9 ppm, meningkatkan kelarutan P dari AlPO4 dari 28,5 ppm menjadi 30,6 ppm dan meningkatkan P tersedia tanah dari 17,7 ppm menjadi 34,8 ppm. Beberapa tanaman yang pernah digunakan sebagai bahan percobaan untuk menguji pengaruh mikroba pelarut P antara lain adalah : gandum, bit gula, kubis, tomat, barlei, jagung, kentang, padi, kedelai, kacang panjang dan tebu. Ahmad dan Jha (1982) mencoba Bacillus megaterium dan B. Circulans pada tanaman kedelai. Bacillus megaterium mampu meningkatkan serapan P pada tanaman kedelai, sedangkan kedua bakteri tersebut dapat meningkatkan produksi kedelai berturut-turut sebanyak 7 dan 10% jika digunakan pupuk TSP, serta meningkatkan 34% dan 18% jika digunakan batuan fosfat. Kundu dan Gaur (1980) mengkombinasikan bakteri pelarut fosfat ( Bacillus polymixa dan Pseudomonas striata) dengan bakteri penambat N2 udara (Azotobacter chroococcum) pada tanaman gandum. Ternyata bakteri pelarut P dapat menstimulir pertumbuhan bakteri Azotobacter chroococcum, tetapi bakteri penambat N tidak mempengaruhi pertumbuhan bakteri pelarut P.

Kombinasi ketiga inokulan tersebut mampu meningkatkan hasil gandum dua sampai lima kali lipat. Pada tanaman jagung, Citrobacter intermedium dan Pseudomonas puptida mampu meningkatkan serapan P tanaman dan bobot kering tanaman sampai 30% (Premono et al, 1991). Pada percobaab lain (Buntan, 1992; Premono dan Widyastuti, 1993) Pseudomonas puptida mampu meningkatkan bobot kering tanaman jagung sampai 20%, dan mikroba ini stabil sampai lebih dari 4 bulan pada media pembawa zeolit, tanpa kehilangan kemampuan genetisnya dalam melarutkan batuan fosfat. Inokulasi dengan Enterobacter gergoviae pada tanaman jagung dapat meningkatkan bobot kering tanaman jagung sebesar 29% (Buntan, 1992). Pada tanaman tebu penggunaan bakteri pelarut fosfat ( Pseudomonas puptida dan P fluorescens) dapat meningkatkan bobot kering tanaman sebesar 5-40% dan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk P asal TSP sebanyak 60-135% (premono, 1994). Penelitian Setiawati (1998) mengisolasikan bakteri pelarut P dapat meningkatkan serapan P dan bobot kering tanaman tembakau. Pal (1998) melaporkan bahwa bakteri pelarut P (Bacillus sp) pada tanah yang dipupuk dengan batuan fosfat dapat meningkatkan jumlah dan bobot kering bintil akar serta hasil biji tanaman pada beberapa tanaman yang toleran masam (jagung, bayam dan kacang panjang). Menurut Dubay (1997) inokulasi dengan Pseudomonas striata dengan penambahan superfosfat maupun batuan fosfat dapat meningkatkan pembentukan bintil dan serapan N pada tanaman kedelai dan bakteri ini dapat dikulturkan dengan Bradyrhizobium japonicum tanpa efek yang merugikan. Patten dan Glick (1996) mengemukakan bahwa efektifnya bakteri pelarut P tidak hanya disebabkan oleh kemampuannya dalam meningkatkan ketersediaan P tetapi juga disebabkan kemampuannya dalam menghasilkan zat pengatur tumbuh, terutama mikroba yang hidup pada permukaan akar seperti Pseudomonas fluorescens, P. Puptida dan P. Striata. Mikroba tersebut dapat menghasilkan zat pengatur tumbuh seperti asam indol asetat (IAA) dan asam giberelin (GA3). Beberapa bakteri pelarut posfat juga dapat berperan sebagai biokontrol yang dapat meningkatkan kesehatan akar dan pertumbuhan tanaman melalui proteksinya terhadap penyakit. Strain tertentu dari Pseudomonas sp dapat mencegah tanaman dari patogen fungi yang berasal dari tanah. Pseudomonas fluorescens dapat mengontrol perkembangan penyakit dumping-off tanaman. Kemampuan bakteri ini terutama karena menghasilkan 2,4-diacethylphloroglucinol yang dapat menghalangi pertumbuhan cendawan dumping-off Phytium ultium (Hadiyanto,2007). Hasil penelitian Wulandari (2001) menjelaskan bahwa inokulasi bakteri pelarut fosfat jenis Pseudomonas diminuta dan Pseudomonas cepaceae yang diikuti dengan pemberian pupuk fosfat dapat meningkatkan ketersediaan fosfat dan meningkatkan produksi tanaman kedelai serta meningkatkan efisiensi pupuk P yang digunakan. Pelarutan fosfat oleh Pseudomonas didahului dengan sekresi asam-asam organik, diantaranya asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, oksalat, glioksilat, malat, fumarat. Hasil sekresi tersebut akan berfungsi sebagai katalisator, pengkelat dan memungkinkan asam-asam organik tersebut membentuk senyawa kompleks dengan kationkation Ca2+, Mg2+, Fe2+, dan Al3+ sehingga terjadi pelarutan fosfat menjadi bentuk

tersedia yang dapat diserap oleh tanaman. Widawati dan Suliasih (2005) meneliti tentang Augmentasi Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) Potensial sebagai Pemacu Pertumbuhan Caysin (Brasica caventis Oed.) di Tanah Marginal. Dari hasil penelitiannya didapat bahwa Empat isolat BPF jenis Bacillus pantotheticus, Klebsiella aerogenes, Chromobacterium lividum dan B. Megaterium sebagai inokulan padat, mampu memacu pertumbuhan tanaman caysin. Inokulan yang berisi 4 isolat BPF jenis Bacillus pantotheticus, Klebsiella aerogenes, Chromobacterium lividum, dan B. megaterium merupakan inokulan terbaik sebagai biofertilizer dan menghasilkan berat daun segar 1 tanaman terbesar dari 4 tanaman perpot (g), berat daun segar 4 tanaman per pot, dan berat tanaman segar seluruh tanaman per pot (daun + batang + akar) sebesar 139,22 g, 575,48 g, dan 606,42 g atau ada kenaikan 877,67%; 903,63%; 930,63 dari tanaman kontrol 3/R = tanaman tanpa pupuk/inokulan; 354,67%; 208,30%; 217,23% dari tanaman kontrol 2/Q = tanaman dengan pupuk kompos; dan 61,81%; 203,75%; 207,84% dari tanaman kontrol 1/P = tanaman dipupuk kimia. Ada kenaikan pada tanaman segar seluruh tanaman per pot (daun + batang + akar) sebesar 32,87% dari tanaman yang diinokulasi dengan isolat BPF tunggal maupun campuran 2-3 isolat BPF. Selanjutnya hasil penelitian Widawati dan Suliasih (2006) menyimpulkan bahwa ketinggian area, pH tanah, vegetasi hutan dan habitat mikroba (rhizosfer dan lantai hutan) yang berbeda bukan merupakan faktor penghambat keanekaragaman jenis BPF dan kemampuan BPF dalam melarutkan P terikat, tetapi cenderung merupakan faktor penghambat bagi pertumbuhan populasi BPF. Populasi tertinggi dijumpai di area rhizosfer tanaman Altingia exelsa Norona dan Schima wallichii (Dc.) Korth (107 sel/g tanah) di Cikaniki pada ketinggian 1100 m dpl. dan di tanah lantai hutan (108 sel/g tanah) di Gunung Botol pada ketinggian 1000 m dpl. Daerah Cikaniki, Gunung Botol, dan Ciptarasa didominansi oleh BPF jenis Pseudomonas sp., Bacillus sp., Bacillus megaterium, dan Chromobacterium sp. yang rata-rata mempunyai kemapuan melarutkan P terikat di media Pikovskaya padat dengan diameter sebesar 1,5-2,5 cm. Hasanudin dan Gonggo (2004) meneliti tentang pemanfaatan mikrobia pelarut fosfat dan mikoriza untuk perbaikan fosfor tersedia, serapan fosfor tanah ultisol dan hasil jagung. Dari hasil penelitiannya terdapat pengaruh tunggal dan interaksi dari pemberian mikrobia pelarut fosfat dan mikoriza terhadap serapan P dan hasil jagung. Nilai tertinggi terdapat pada perlakuan mikrobia pelarut fosfat 15 ml tanaman-1 dan mikoriza 20 g tanaman-1 terhadap serapan P dan hasil jagung masing-masing sebesar 0,3881 ppm dan 280,15 g tanaman-1. Hasil penelitian Junkazayama (2009) menunjukkan bakteri pelarut fosfat yang diinokulasikan pada biji dapat meningkatkan umur berbunga, umur pembentukan polong, umur panen, jumlah bunga, jumlah polong, jumlah biji, ukuran biji dan produksi biji pada tanaman kedelai. Bakteri pelarut fosfat yang digunakan dalam penelitian ini dapat meningkatkan produksi biji lebih dari 100 % dan mengefisienkan pemakaian pupuk P anorganik lebih dari 50 % pada tanaman kedelai. Noor (2003) meneliti tentang pengaruh fosfat alam dan kombinasi bakteri pelarut fosfat dengan pupuk kandang terhadap P tersedia dan pertumbuhan kedelai pada ultisol. Dari hasil penelitiannya di dapat bahwa fosfat alam dan kombinasi bakteri pelarut fosfat dengan pupuk kandang mampu meningkatkan P tersedia tanah , jumlah dan bobot kering bintil akar dan bobot

kering tanaman kedelai. Pemberian bakteri pelarut fosfat dan pupuk kandang secara sendirisendiri maupun kombinasinya meningkatkan P tersedia berturut-turut 26%, 34% dan 48% dibandingkan dengan kontrol. Kombinasi bakteri pelarut fosfat dengan pupuk kandang meningkatkan bobot kering tanaman kedelai 29% dibandingkan kontrol. Bersambung ke bagian 5 pada pustaka dibawah: Pustaka: Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian & Prodi Ilmu Tanaman, Program Pascasarjana. Universitas Sriwijaya. Propinsi Sumatera Selatan. Indonesia. Http://dasar2ilmutanah.blogspot.com. Diposkan oleh Dr. Ir. Abdul Madjid, MS di 22:02 0 komentar Label: Biologi Tanah

BAKTERI PELARUT FOSFAT SEBAGAI AGENTS PUPUK HAYATI (Bagian 5)


Bakteri Pelarut Fosfat sebagai Agents Pupuk Hayati* Oleh: Nursanti** dan Madjid** (Bagian 5 dari 5 Tulisan) Keterangan: * Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati pada Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. ** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. *** Dosen Pengasuh Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. (Bagian 5 dari 5 Tulisan) V. KESIMPULAN (1) Ketersediaan P didalam tanah sangat rendah karena P terjerap oleh mineral tanah dan senyawa organik serta terfiksasi Al,Fe,Mn,Ca dan proses pelapukan yang rendah . (2) Bakteri Pelarut Fospat merupakan salah satu pupuk hayati yang dapat berperan sebagai amelioran,penyedia unsur hara dan tidak terjadi pencemaran lingkungan. (3) Pemberian Bakteri Pelarut Posfat menghasilkan asam organik yang dapat meningkatkan

ketersediaan P dan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk Fosfat. (4) Jenis-jenis bakteri pelarut posfat: Bacillus substilis, Bacterium mycoides, Bacterium mesenterricus,Bacillus firmus, Bacillus megaterium, Escherechia freundii, Escherechia intermedia Pseudomonas putida, Citrobacter intermedium , Serratia mesenteroides Pseudomonas fluorescens, dan Enterobacter gergovia DAFTAR PUSTAKA Ahmad, N and K.K Jha. 1982. Effect of phosphate solubilizer on dry matter yield of and phosphorus uptake by soybean.J.Indian Soc.Soil Sci.30:105-106. Banik, S. 1982. Available phosphate content of an alluvial soils as influenced by inoculation of some isolated phosphate solubilizing mikroorganism. Plant Soil . 60:353-364. Buntan,A.1992. Efektivitas Bakteri Pelarut Fospat dan Kompos terhadap Peningkatan Serapan P dan Efisiensi Pemupukan P pada Tanaman Jagung IPB Bogor. Dubey, S.K, 1997. Co-inoculation of phosphorus bacteria with Bradyrhizobium japoniucum to increase phosphate availability to rainfed soybean on vertisol.J. Indian Soc.Soil Sci. 45: 506-509. Elfiati,D.2005. Peranan Mikroba Pelarut P terhadap Pertumbuhan Tanaman. Fakultas Pertanian USU.Medan Gunalan, 1996. Penggunaan Mikroba Bermanfaat pada Bioteknologi Tanah Berwawasan Lingkungan. Majalah Sriwijaya Vol.32.No.2.Universitas Sriwijaya. Hasanudin.2003.Peningkatan Kesuburan Tanah dan Hasil Kedelai akibat inokulasi Mikrobia Pelarut Fospat dan Azotobacter pada Ultisol.Faperta Universitas Bengkulu. Hasanudin dan Ganggo, B. 2004. Pemanfaatan mikrobia pelarut fospat dan mikoriza untuk perbaikan fospor tersedia, serapan fospor tanah ultisol dan hasil jagung. Universitas Bengkulu. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 6(1) : 8-13. Handayanto,E dan Hairiyah,K.2007. Biologi Tanah Landasan Pengelolaan Tanah Sehat. Edisi 3. Pustaka Adipura. Kundu, B.S and A.C. Gaur . 1980. Establishment of nitrogen fixing and phosphate solubilizing bacteria in rhizosphere and their effect on yield and nutrient uptake of wheat crop. Plant Soil 57 : 223-230. Noor A. 2003. Pengaruh fosfat alam dan kombinasi bakteri pelarut fosfat dengan pupuk kandang terhadap P tersedia dan pertumbuhan kedelai pada ultisol. Buletin Agronomi. 31 (3): 100-106. Pal, S.S. 1998. Interaction of an acid tolerant strain of phosphate solubilizing bacteria with a few

acid tolerant crops. Plant Soil. 198 : 169-177. Patten, C.L and B.R Glick. 1996. Bacterial biosyntesis of indole-3-acetic. Can.J. Microbiol 42: 207-220. Premono.Widyastuti,R. 1992. Pengaruh BPF terhadap Serapan kationunsur mikro Tanaman Jagung pada Tanah Masam.Bandung Rao,N. and Sinha, S. 1962. Soil Microorganisms and Plant Growth. Oxford and IBM Publishing Co. (Terjemahan Susilo.H. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. UI Press). Sutanto,R..2002.Penerapan Pertanian Organik. Edisi 3.Kanisus Jakarta. Supadi,T.H. 1991. Bakteri pelarut fosfat asal beberapa jenis tanah dan efeknya terhadap pertumbuhan jagung.Disertasi. Universitas Pajajaran. Bandung. Setiawati,T.C. 1998. Efektifitas mikroba pelarut P dalam meningkatkan ketersediaan P dan pertumbuhan tembakau. Tesis.Program Pascasarjana IPB.Bogor. Vega, N.W. 2007. A review on benefical effects of rhizosphere bacteria on soil nutrient availability and plant nutrient uptake.Agr.Medelln vol.60 no.1 Wulandari, S. 2001. Efektifitas bakteri pelarut fosfat Pseudomonas sp pada pertumbuhan tanaman kedelai pada tanah podsolik merah kuning. Jurnal Nature Indonesia. 4(1) : 1-5. Widawati, S dan Suliasih . 2005. Augmentasi Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) Potensial sebagai Pemacu Pertumbuhan Caysin (Brasica caventis Oed.) di Tanah Marginal.Biodiversitas. 7(1):1014. Widawati, S dan Suliasih . 2006. Populasi Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) di Cikaniki, Gunung Botol, dan Ciptarasa, serta Kemampuannya Melarutkan P Terikat di Media Pikovskaya Padat.Biodiversitas. 7(2):109-113. Yuwono,NW. 2006.Pupuk Hayati . Edisi 2 . UGM.Yogyakarta. Diposkan oleh Dr. Ir. Abdul Madjid, MS di 21:58 0 komentar Label: Biologi Tanah

Jumat, 2009 Mei 29


TEKNOLOGI PUPUK HAYATI FUNGI PELARUT FOSFAT (Bagian 1)
Teknologi Pupuk Hayati Fungi Pelarut Fosfat (FPF)* Oleh: Rodiah** dan Madjid*** (Bagian 1 dari 6 Tulisan) Keterangan:

* Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati pada Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. ** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. *** Dosen Pengasuh Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. (Bagian 1 dari 6 Tulisan)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah adalah suatu komponen dari keseluruhan ekosistem dan tidak dapat dilepaskan dari kesehatan ekosistem tersebut. Dibidang pertanian, tanah yang sehat memiliki kondisi fisik, kimia, dan biologis optimal untuk produksi tanaman dan memiliki kesanggupan untuk menjaga kesehatan tanaman serta kualitas ekosistem yang mencakup air dan tanah. Dalam sejumlah kondisi, tanah yang sehat mungkin saja tidak berfungsi sebagai komponen ekosistem yang sehat karena adanya penambahan komponen tanah yang tidak sehat dari luar itu sendiri (Elliot, 1998), misalnya penambahan bahan kimia yang berlebihan atau pembuangan limbah toksik. Hal ini berarti bahwa kehadiran suatu organisme akan mempengaruhi keberadaan organisme lain secara langsung maupun tidak langsung. Tanah yang subur kaya akan keanekaragaman mikroorganisme, seperti bakteri, aktinomicetes, fungi, protozoa, alga dan virus, serta mengandung lebih dari 100 juta mikroba per gram tanah. Produktivitas dan daya dukung tanah tergantung pada aktivitas mikroba tersebut. Mikroba tanah berperan dalam proses penguraian bahan organik, melepaskan nutrisi ke dalam bentuk yang tersedia bagi tanaman, dan mendegradasi residu toksik (Sparling, 1998). Bioteknologi berbasis mikroba dikembangkan dengan memanfaatkan peran-peran penting mikroba tersebut. Manfaat mikroba tanah dalam usaha pertanian belum disadari sepenuhnya, bahkan sering diposisikan sebagai komponen habitat yang merugikan, karena pandangan umum terhadap mikroba lebih terfokus secara selektif pada mikroba patogen yang menimbulkan penyakit pada tanaman. Padahal sebagian besar spesies mikroba merupakan mikroflora yang bermanfaat, kecuali beberapa jenis spesifik yang dapat menyebabkan penyakit pada tanaman. Cara pandang positif terhadap mikroba akan membangkitkan minat berpikir tentang potensi mikroba yang belum banyak diketahui. Baru sebagian kecil dari ribuan spesies mikroba yang telah diketahui memiliki manfaat bagi usaha pertanian, seperti bakteri fiksasi N2 udara pada tanaman kacang-kacangan, bakteri dan fungi pelarut fosfat, bakteri dan fungi perombak bahan organik, bakteri, cendawan, dan virus sebagai agensia hayati, serta bakteri yang berperan sebagai

agen peningkat pertumbuhan tanaman (plant growth promoting agents) yang menghasilkan berbagai hormon tumbuh, vitamin dan berbagai asam-asam organik yang berperan penting dalam merangsang pertumbuhan bulu-bulu akar. Masih banyak lagi mikroba yang belum teridentifikasi dan diketahui manfaatnya. Saraswati et al. (2004) secara umum menggolongkan fungsi mikroba menjadi empat, yaitu (1) meningkatkan ketersediaan unsur hara tanaman dalam tanah, (2) sebagai perombak bahan organik dalam tanah dan mineralisasi unsur organik, (3) bakteri rhizosfer-endofitik untuk memacu pertumbuhan tanaman dengan membentuk enzim dan melindungi akar dari mikroba patogenik, (4) sebagai agensia hayati pengendali hama dan penyakit tanaman. Berbagai reaksi kimia dalam tanah juga terjadi atas bantuan mikroba tanah (Yoshida, 1978). Fosfat merupakan unsur hara makro essensial untuk pertumbuhan tanaman kedua setelah N dan merupakan faktor pembatas dalam produksi tanaman. Kandungan P total tanah yang rendah di daerah tropik dan sub tropik berhubungan dengan bahan induk tanah dan telah lanjutnya pelapukan tanah. Selain itu kapasitas fiksasi P yang tinggi pada tanah menyebabkan P tersedia tanah menjadi rendah. Untuk meningkatkan produksi produksi tanaman pada tanah-tanah dengan ketersediaan P yang rendah diperlukan suatu usaha yang dapat meningkatkan kealrutannya seperti penggunaan mikroorganisme. Beberapa mikroorganisme seperti bakteri, fungi dan streptomyces diketahui mempunyai kemampuan melarutkan P. Penggunaan mikroba pelarut fosfat untuk meningkatkan kelarutan fosfat dalam rangka meningkatkan efektivitas penggunaannya dalam usaha pertanian. Untuk itu perlu dikembangkan produk biologi yang terdiri dari mikroba pelarut fosfat yang berfungsi meningkatkan efisiensi pemupukan, kesuburan, dan kesehatan tanah disebut sebagai pupuk hayati (pupuk mikroba). Pupuk hayati yang telah terstandarisasi merupakan alternatif sumber penyediaan hara tanaman yang aman lingkungan. Pemanfaatan pupuk hayati yang bermutu diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pemupukan dan meningkatkan produksi tanaman, menghemat biaya pupuk, dan meningkatkan pendapatan petani. Semakin mahalnya pupuk anorganik dan pestisida serta semakin dipahaminya manfaat pupuk hayati dalam menjaga keseimbangan hara dan produktivitas tanah, maka penggunaan pupuk hayati dan agensia hayati diharapkan akan lebih meningkat pada tahun-tahun mendatang. B. Tujuan Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membahas pemanfaatan teknologi pupuk hayati fungi pelarut fosfat. Bersambung ke bagian 2 yang dapat dilihat pada pustaka dibawah ini: Pustaka: Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri &

Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Http://dasar2ilmutanah.blogspot.com. Diposkan oleh Dr. Ir. Abdul Madjid, MS di 21:35 0 komentar Label: Biologi Tanah

TEKNOLOGI PUPUK HAYATI FUNGI PELARUT FOSFAT (Bagian 2)


Teknologi Pupuk Hayati Fungi Pelarut Fosfat (FPF)* Oleh: Rodiah** dan Madjid*** (Bagian 2 dari 6 Tulisan) Keterangan: * Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati pada Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. ** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. *** Dosen Pengasuh Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. (Bagian 2 dari 6 Tulisan) II. Fosfat (P) Fosfat (P) merupakan unsur hara esensial makro seperti halnya karbon (C) dan nitrogen (N). Tanaman memperoleh unsur P seluruhnya berasal dari tanah atau dari pemupukan serta hasil dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Jumlah P total dalam tanah cukup banyak, namun yang tersedia bagi tanaman jumlahnya rendah hanya berkisar 0,01-0,2 mg/kg tanah. Didalam tanah P berada dalam bentuk P-organik dan P-anorganik. Bentuk P-anorganik dalam tanah umumnya berasal dari pelapukan mineral primer, pemupukan dan mineralisasi P-organik. Mineral primer tersebut misalnya apatit dengan rumus M10(PO4)6X2, dimana M sama dengan kalsium (Ca) dan X sama dengan F-, Cl-, OH- atau CO32-. Bentuk tersebut merupakan bentuk yang paling umum dipakai sebagai pupuk, yaitu fosfat alam yang kaya karbonat apatit. Pada tanah-tanah yang telah mengalami pelapukan lanjut, umumnya sumber P dari mineral primer sedikit sekali dijumpai, kecuali pada tanah pertanian yang memperoleh masukan P dari pupuk fosfat alam. Berkenaan dengan ketersediaannya bagi tanaman, unsur P dibedakan menjadi (a) P-terlarut, bentuk ini labil yang tersedia dengan cepat bagi tanaman, (b) P-terikat pada kompleks permukaan koloid, misalnya Al-P dan Fe-P seperti yang dijumpai pada tanah-tanah masam, (c) P-terjerap kuat yang lambat atau sukar larut (P-stabil) dan P terselimuti oleh Fe2O3 atau Mn2O3 (occluded P). Ketiga bentuk P tersebut diatas saling berhubungan satu sama lain membentuk suatu keseimbangan yang dinamis.

Bentuk P-organik berada dalam bentuk senyawa organik kompleks yang berasal dari sisa tanaman, hewan dan organisme tanah. Bnetuk ini terdapat sebagai senyawa ester seperti inositol fosfat, fosfolipida, asam nukleat, nukleotida dan gula-gula fosfat; bentuk ini menyumbang 3050% P-total tanah (Paul dan Clark, 1989; Subba Rao, 1977). Senyawa P-organik terdapat di dalam humus tanah dan berasosiasi dengan jaringan mikroba tanah. Ketersediaan P-organik bagi tanaman sangat tergantung pada aktivitas mikroorganisme melalui mineralisasi. Enzim fosfatase yang dihasilkan oleh mikroorganisme heterotrof berperan penting dalam pelepasan P ke dalam tanah. Fosfat merupakan sumber energi primer bagi oksidasi mikroba. Organisme tanah berhubungan sangat erat dengan siklus P dalam tanah yaitu berperan dalam : (a) pelarutan P-anorganik dan pelepasan (mineralisasi) P-organik, (b) imobilisasi P-tersedia. Di alam, fosfor terdapat dalam dua bentuk, yaitu senyawa fosfat organik (pada tumbuhan dan hewan) dan senyawa fosfat anorganik (pada air dan tanah). Fosfat organik dari hewan dan tumbuhan yang mati diuraikan oleh dekomposer (pengurai) menjadi fosfat anorganik. Fosfat anorganik yang terlarut di air tanah atau air laut akan terkikis dan mengendap di sedimen laut. Oleh karena itu, fosfat banyak terdapat di batu karang dan fosil. Fosfat dari batu dan fosil terkikis dan membentuk fosfat anorganik terlarut di air tanah dan laut. Fosfat anorganik ini kemudian akan diserap oleh akar tumbuhan lagi. Siklus ini berulang terus menerus. Siklus P di dalam tanah cukup dinamis meliputi serapan P oleh tanaman, hanyut terbawa limpasan permukaan dan erosi, pengembalian melalui residu tanamandan hewan, pemupukan, pengembalian melalui mineralisasi-immobilisasi P-organik, reaksi pengikatan pada permukaan liat dan oksida Al dan Fe serta pelarutan mineral P oleh aktivitas mikroba (Buresh et al., 1997). Pembentukan P-mineral primer berlangsung sangat lambat, sementara jerapan P dalam tanah terjadi lebih cepat. Jerapan P dalam tanah tersebut biasa dikenal dengan adsorpsi atau sorpsi. Jerapan P pada tanah sangat dipengaruhi oleh ph larutan tanah. Rendahnya nilai pH pada andisol menyebabkan meningkatnya jerapan P, karena menurunnya pH mengakibatkan aktivasi Al pada permukaan koloid mineral anorganik. Jerapan anion fosfat ini juga akan semakin menigkat dengan meningkatnya derajat pelapukan tanah. Hal ini kemungkinan disebabkan meningkatnya kandungan Al. Bila ion fosfat (HPO42- atau H2PO4-) diserap tanaman, keseimbangan P dalam tanah terganggu, P-labil bergerak menuju larutan tanah menajdi bentuk P-tersedia. Keseimbangan antara bentuk P-labil dan P-terjerap juga terganggu, dimana P bergerak lambat dari pool P-stabil menuju pool P-labil (Paul dan Clark, 1989). Pada sistem pola tanam yang terbuka, memungkinkan terjadinya limpasan air di permukaan tanah dan mengangkut tanah lapisan atas termasuk pula unsur P dan hara lainnya ke tempat lain sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Mineralisasi dan Immobilisasi Fosfat Ketersediaan fosfat dikendalikan oleh mineralisasi dan immobilisasi melalui fraksi organik dan pealrutan serta presipitasi fosfat dalam bentuk anorganik. Sisa tanaman, hewan dan mikroba

yang dikembalikan ke dalam tanah, secara aktif didekomposisi oleh mikroorganisme. Fosfat dalam sisa organik tersebut harus dilepaskan jika harus tersedia untuk tanaman dan mikroorganisme. Mineralisasi fosfat merupakan proses enzimatik. Enzim yang terlibat disebut fosfatase yang mengkatalis berbagai reaksi yang melepaskan fosfat dari senyawa fosfat organik ke dalam larutan tanah. Fosfatase dilepaskan oleh mikroorganisme di luar sel ke dalam larutan tanah untuk mengkatalis reaksi-reaksi berikut ini : Fosfomonoesterasi menghidrolisis fosfat dari bentuk monoester fosfat, seperti nukleotida atau fosfolipida. 1. Fosfodiesterase menghidrolisis fosfat dari bentuk diester fosfat seperti asam nukleat. 2. Fitase menghidrolisis fosfat dari fosfat inositol. Jika fosfat dimineralisasi maka dapat diserap oleh tanaman atau diimmobilisasi kembali ke dalam sel mikroba, atau dapat membentuk kompleks anorganik tidak larut. Biomassa mikroba dapat mempengaruhi ketersediaan fosfat melalui immobilisasi, yaitu pengikatan ion ortofosfat menajdi bentuk organik yang terikat dalam organisme. Misalnya ortofosfat bereaksi dengan ADP (Adenosine diphosphate) dan masukan energi yang sesuai untuk membentuk ATP. Tingkat immobilisasi dipengaruhi oleh nisbah C/P bahan organik yang mengalami dekomposisi dan jumlah fosfat tersedia dalam larutan tanah. Nisbah C/P residu yang ditambahkan dapat menentukan tingkat fosfat anorganik dimineralisasi atau diimobilisasi. Jika fosfat tidak cukup tersedia dalam residu untuk asimilasi karbon yang ditambahkan, maka fosfat anorganik dari larutan tanah harus digunakan dan bisa terjadi net imobilisasi. Sebaliknya jika lebih banyak tersedia fosfat dalam residu jika dibandingkan dengan yang diperlukan untuk asimilasi karbon, maka terjadi net mineralisasi ortofosfat. Umumnya, nisbah C/P <> 300:1 menghasilkan imobilisasi. Nisbah antara 200-300 hanya menghasilkan perubahan kecil dalam konsentrasi fosfat daam larutan tanah. Proses ini sama dengan proses mineralisasi dan imobilisasi nitrogen. Selain kandungan fosfat dalam residu, variabel tanah dan lingkungan yang lain (misalnya pH, temperatur, aerasi, dan lengas tanah) mempengaruhi aktivitas mikroba dan mineralisasi fosfat. Unsur yang paling menjadi pembatas akan mengendalikan kecepatan mineralisasi fosfat dari residu. Jika mineralisasi karbon yang cepat terjadi pada residu dengan kandungan fosfat terbatas, maka terjadi imobilisasi fosfat dari tanah. Ketika karbon oragnik yang dapat dimineralisasi habis, bagian biomassa mikroba yang kaya fosfat juga akan dimineralisasi, menghasilkan pelepasan fosfat yang semua diimobilisasi. Mineralisasi P-organik menjadi bentuk P-anorganik dilakukan oleh mikroba tanah. Indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui siklus transformasi P-organik menjadi P-anorganik adalah dengan mengetahui jumlah total mikroba dan biomassa mikroba (Buresh et al., 1997). Faktot-faktor yang mempengaruhi proses mineralisasi P di dalam tanah adalah temperatur, kelembaban, aerasi, pH tanah dan kualitas bahan organik yang ditambahkan. Aerasi tanah yang baik dengan kelembaban yang cukup serta temperatur tanah berkisar 30-40 oC menentukan jenis dan aktivitas mikroba tanah, selanjutnya dapat menentukan produk akhir dari proses metabolisme mikroba yang bersangkutan (Stevenson, 1986). Pemilihan jenis tanaman sebagai sumber bahan organik untuk memperbaiki ketersediaan P tanah

ditentukan oleh kualitasnya yaitu nisbah C/P. Nilai kritis C/P adalah 200, Bila C/P 200 maka akan terjadi mineralisasi, dan bila C/P 300 atau bila kandungan P pada bahan organik <0,2%>Pelarutan Fosfat Anorganik Mineral fosfat anorganik umumnya dijumpai sebagai aluminium dan besi fosfat pada tanah-tanah masam, sedangkan kalsium fosfat mendominasi tanah-tanah basa. Senyawa yang kurang larut ini memasok ortofosfat ke larutan tanah tergantung tingkat kelarutan senyawa tersebut. Ortofosfat dipasok ke akar terutama melalui difusi. Akar tanaman dan mikroorganisme tanah dapat meamcu pelarutan senyawa fosfat melalui pelepasan karbon dioksida dan asam-asam organik ke larutan tanah. Asam karbonat dapat merangsang pelarutan asam pada senyawa kalsium dan magnesium fosfat. Hal yang sama, keasaman yang dihasilkan oleh bakteri nitrifikasi dan bakteri pelarut sulfur merangsang pelarutan garam-garam fosfat yang tidak larut. Berbagai jenis asam-asam organik yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan tanaman dapat berperan sebagai bahan pengkhelat (chelating agents) untuk melarutkan aluminium, besi, kalsium dan magnesium fosfat, sehingga menghasilkan pelepasan ortofosfat ke dalam larutan tanah (Stevenson, 1986). Satu kelompok organisme yang penting adaalh jamur mikoriza, yang membentuk simbiosis dengan akar tanaman untuk memacu serapan fosfat dan unsur hara lainnya. Pada kondisi tergenang, hidrogen sulfida yang dihasilkan oleh bakteri pereduksi sulfat atau proses lainnya, dapat juga mengganti kation logam dari fosfat tidak larut, dengan melepaskan fosfat. Beberapa bakteri yang sangat efektif dalam melarutkan fosfat (bakteri pelarut fosfat) dari batuan fosfat. Salah satu contoh adalah Bacillus megaterium var. Phosphaticum. Bakteri ini telah dikemas dalam bentuk inokulum yang disebut fosfobakterin dan diaplikasikan ke tanah untuk memacu pelarutan mineral fosfat. Selain itu, pemberian bahan sumber karbon yang mudah dimineralisasi seeprti pupuk kandang, dapat memacu pelarutan fosfat melalui peningkatan aktivitas biologi. Peningkatan karbon organik juga berperan dalam mengkompleks aluminium pada tanah-tanah asam, jadi mengurangi peluang aluminium mengikat fosfat. Aspek Lingkungan yang Mempengaruhi Ketersediaan P Tanaman menyerap P dalam bentuk ion ortofosfat H2PO4-, H2PO42-, dan PO43-, yang ketersediaannya dalam tanah dipengaruhi oleh : 1. pH tanah. Pada pH tanah agak masam hingga netral, H2PO42- lebih mendominasi. Untuk pH netral hingga agak basa (pH >7,2) H2PO42- lebih banyak dan pada pH sangat basa (>10) PO43- lebih mendominasi. Perubahan pH dalam larutan tanah maupun di dalam rhizosfer akan mempengaruhi kelarutan unsur Al, Fe, Mn, dan Ca. Ion Fe, Al, Mn, dan Ca dapat mengikat unsur P menjadi bentuk tidak larut dan tidak tersedia bagi tanaman. Al3+ + H2PO4- + 2H2O ----> AlPO4.2H2O + 2H+ Fe3+ + H2PO4- + 2H2O ----> FePO4. 2H2O + 2H+ Al(OH)3 + H2PO4- ----> Al(OH)2 H2PO4- + OHCa(H2PO4-)2 + 2Ca2+ ----> Ca3(PO4)2 + 2H+

Didaerah rhizosfer, pH tanah dapat berbeda dengan pH tanah diluar rhizosfer sebagai akibat dari tidak berimbangnya jumlah serapan kation dan anion. 2. Kandungan bahan organik tanah. Keberadaan P-organik tanah berhubungan langsung dan tidak langsung dengan kandungan bahan organik tanah, yaitu pada proses dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Pada proses mineralisasi mikroba menguraikan senyawa P-organik menjadi bentuk P-anorganik yang tersedia bagi tanaman. Hubungan tidak langsung hubungan ketersediaan P dengan bahan organik tanah dapat dilihat dari peran bahan organik dalam mempertahankan struktur dan aerasi tanah sehingga menjamin kelangsungan proses-proses dekomposisi. Proses dekomposisi tersebut akan menghasilkan senyawa-senyawa organik yang akan membantu meningkatkan kealrutan mineralmineral tanah yang mengandung P. Proses pencucian dan erosi menyebabkan konsentrasi P total dalam tanah menurun, selanjutnya diperbaharui oleh adanya pelepasan P-organik melalui proses mineralisasi, selanjutnya akan menjadi cadangan P tanah (P capital). 3. Adanya eksudasi asam organik oleh akar tanaman. Adanya cekaman lingkungan di daerah perakaran (misalnya kekeringan) menyebabkan akar mengeksudasi beberapa macam asam organik seperti asam malat, asetat, laktat, suksinat yang dapat mengikat Al, Fe, Mn, dan Ca sehingga P lepas ke dalam larutan tanah (Handayanto dan Khairiah, 2007). Bersambung ke bagian 3 yang dapat dilihat pada pustaka dibawah ini: Pustaka: Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri & Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana. Universitas Sriwijaya. Http://dasar2ilmutanah.blogspot.com. Diposkan oleh Dr. Ir. Abdul Madjid, MS di 21:30 0 komentar Label: Biologi Tanah

TEKNOLOGI PUPUK HAYATI FUNGI PELARUT FOSFAT (Bagian 3)


Teknologi Pupuk Hayati Fungi Pelarut Fosfat (FPF)* Oleh: Rodiah** dan Madjid*** (Bagian 3 dari 6 Tulisan) Keterangan: * Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati pada Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera

Selatan, Indonesia. ** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. *** Dosen Pengasuh Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. (Bagian 3 dari 6 Tulisan) III. Fungi Fungi adalah organisme eukariot umumnya mempunyai berbagai bentuk dan ukuran, berkisar dari sel tunggal sampai sel berantai. Sekitar 70.000 spesies fungi telah dapat diidentifikasi dari jumlah spesies di alam diperkirakan ada 1,5 juta (Hawksworth, 1991; Hawksworth et al., 1995). Kebanyakan fungi dapat mirip tanaman, tetapi fungi tidak dapat membuat makanannya sendiri dari sinar matahari seperti yang dilakukan oleh tanaman. Fungi biasanya tumbuh baik pada lingkungan yang agak asam (pH sekitar 5), dan dapat tumbuh pada substrat dengan kadar air yang sangat rendah (Webster, 1970). Fungi dicirikan oleh adanya tubuh yang tidak bergerak (thallus) tersusun dari filamen panjang berdinding disebut hifa dengan diameter 3-8 im. Hifa tunggal dapat bercabang memanjang dari beberapa sel menjadi beberapa sentimeter, kadang-kadang berkelompok membentuk miselium, seperti rhizomorf dan terlihat seperti akar tanaman. Komponen dinding selnya adalah khitin dan glukan. Reproduksi secara seksual, membentuk spora dari fusi dua nukleus. Pada stadium tertentu dalam siklus hidupnya, miselium menghasilkan spora, yang berkecambah untuk menghasilkan hifa baru. Jamur yang mengkoloni substrat segar akan tumbuh dalam waktu singkat, dan kemudian dapat menghasilkan satu atau beberapa spora aseksual, yaitu spora yang tidak dihasilkan dari fusi nukleus (Handayanto dan Khairiah, 2007). Klasifikasi Fungi Menurut Alexopoulos et al., (1996) dikenal 5 kelas fungi, yaitu: (1) Oomycetes (2) Zygomycetes (3) Ascomycetes (4) Deuteromycetes (5) Basidiomycetes. Oomycetes merupakan parasit obligat pada tanaman dan dapat bertahan selama siklus hidupnya dalam jaringan tanaman. Zygomycetes adalah fungi daratan yang menghasilkan spora yang tidak dapat bergerak sendiri (non-motile) disebut zygospora.

Ascomycetes dijumpai pada berbagai habitat; beberapa diantaranya bersifat sparofit, sedangkan lainnya sebagai penyakit tanaman. Deuteromycetes atau fungi imperfecti adalah fungi yang mempunyai hifa septa dan berkembang biak dengan cara aseksual. Basidiomycetes merupakan kelas fungi yang terbesar yang menghuni berbagai macam habitat. Beberapa spesiesnya dapat berasosiasi dengan akar membentuk mikoriza. Beberapa Basidiomycetes berperan penting dalam pelapukan seresah hutan, baik berupa daun maupun kayu. Sebaran dan Biomassa Pada tanah-tanah beraerasi baik, fungi merupakan biomassa mikroba paling besar jumlahnya, dapat mencapai 2x104 sampai 1x106 propagul/gr tanah. Estimasi akurat tentang biomassa fungi sulit dilakukan karena adanya spora dan fragmentasi (Griffin, 1993). Sebaran fungi di dalam profil tanah sangat ditentukan oleh ketersediaan karbon organik. Jika fungi memerlukan karbon dan oksigen, fungi biasanya dijumpai pada profil tanah bagian atas (Isaac et al., 1993). Posisi spesies juga dipengaruhi oleh kepekaan CO2 (bagian atas, CO2 terhambat; bagian tengah, tidak peka; bagian bawah, tumbuh lebih baik dengan CO2 lebih tinggi). Terdapat hubungan antara fungi dengan vegetasi penutup tanah, sebagai contoh ; Aspergillus lebih banyak dijumpai dibawah tanaman oat, Pennicillium lebih banyak dijumpai dibawah tanaman gandum atau jagung. Pembentukan hubungan antara fungi dengan vegetasi terkait dengan populasi awal, eksudat akar, organisme rhizosfer, dan pengelolaan lahan. Peran Ekologi Fungi berperan penting dalam kaitannya dengan dinamika air, siklus hara, dan pengendalian penyakit. Bersama-sama dengan bakteri, fungi berperan penting sebagai organisme perombak di dalam rantai makanan (food web) tanah. Fungi mengkonversi bahan organik yang keras untuk dilumat menajdi bentuk yang dapat digunakan oleh organisme lainnya. Hifa fungi secara fisik mengikat partikel tanah, menghasilkan agregat stabil yang membantu meningkatkan infiltrasi air dan kapasitas tanah maupun air (Handayanto dan Khairiah, 2007). Klasifikasi Fungi Berdasarkan Sifat Fungsional Fungi dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok fungsional atas dasar memperoleh energi (Carroll dan Wicklow, 1992). (1) Perombak (dekomposer) Fungi dekomposer merupakan fungi saprofit yang mengkonversi bahan organik mati, karbon dioksida, dan molekul-molekul kecil seperti asam-asam organik. Fungi ini umumnya menggunakan substrat yang kompleks, seperti selulosa dan lignin dalam kayu, dan essensial

dalam dekomposisi struktur rantai karbon dalam beberapa bahan pencemar. Beberapa fungi disebut fungi gula karena fungi ini menggunakan substrat sederhana sama dengan yang digunakan oleh bakteri. Seperti bakteri, fungi ini penting dalam immobilisasi atau menahan hara dalam tanah. Selain itu, beberapa metabolit sekunder fungi adalah asam organik, sehingga membantu meningkatkan akumulasi bahan organik yang kaya humik yang resisten terhadap degradasi dan dapat tetap di dalam tanah sampai ratusan tahun. (2) Mutualis Fungi mutualis yang terkenal adalah fungi mikoriza yangmengkoloni akar tanaman. Sebagai timbal balik penggunaan karbon tanaman, fungi mikoriza membantu dalam melarutkan fosfat dan membawa unsur hara (fosfat, nitrogen, hara mikro, dan mungkin air) ke tanaman. Salah satu kelompok mikoriza adalah ektomikoriza yang tumbuh pada lapisan permukaan tanah dan umumnya berasosiasi dengan pohon. Kelompok mikoriza kedua adalah endomikoriza yang tumbuh di dalam sel akar dan umumnya berasosiasi dengan rumput, tanaman pangan, sayuran, dan semak. Fungi Mikoriza Arbuskular (MA) adalah tipe fungi endomikoriza, sedangkan fungi mikoriza Ericoid dapat sebagai ekto atau endomikoriza. (3) Patogen atau parasit; Fungi patogen atau parasit menyebabkan produksi tanaman menurun, atau tanaman mati jika fungi jenis ini mengoloni akar dan organisme lainnya. Fungi patogen akar seperti Verticillium, Phytium, dan Rhizoctonia, menyebabkan kerusakan besar tanaman pertanian. Namun demikian ada juga beberapa jenis fungi yang membantu mengendalikan penyakit, misalnya fungi penjebak nematoda dan fungi yang memakan insekta sangat bermanfaat dalam pengendalian penyakit secara biologi (Handayanto dan Khairiah, 2007). Beberapan Fungi Penting Dalam Tanah 1. Aspergillus Aspergillus adalah fungi saprofit berkonidia dan melepaskan banyak spora dalam proses reproduksinya. Beberapa spesies membentuk vesikula pada ujung konidiosporanya. Fungi ini dikenal menghasilkan miksotoksin yang menyebabkan kerusakan pada biji dan benih tanaman biji-bijian. Aspergillus dijumpai pada berbagai habitat dan kondisi lingkungan yang berbeda, serta banyak dijumpai dalam tanah, udara, dan lingkungan perairan (Dix dan Webster, 1995). Aspergillus tahan pada kondisi kelembaban rendah dan temperatur ekstrim. Oleh karena itu fungi ini berperan sebagai fungi gudang yang melapukkan berbagai produk pertanian dan makanan kering. Terdapat berbagai macam aplikasi spesies Aspergillus, untuk memproduksi antibiotika dan mekanis genetik yang bermanfaat. Aspergillus juga banyak digunakan dalam fermentasi makanan untuk tujuan komersial. Sebagai contoh A.niger digunakan untuk membuat asam sitrat yang banyak digunakan dalam pengawetan minuman ringan dan makanan kaleng. Namun demikian, Aspergillus juga menyebabkan kerusakan tanaman dan dapat mendekomposisi bahan lainnya seperti kayu, tekstil, cat, dan kulit (Hawksworth et al., 1995). Beberapa spesies dapat memberikan kerusakan pada tanaman pertanian, contohnya A.flavus dan A.parasiticus yang menghasilkan alfatoksin menyebabkan busuk pada selaput tongkol jagung.

2. Fusarium Fusarium adalah fungi saprofit yang dapat tumbuh pada jaringan tanaman, jaringan hewan dan tanah. Kultur laboratorium yang menunjukkan adanya miselium seperi kapas berwarna jingga. Sporanya menyebar melalui pergerakan udara dan percikan hujan. Bentuk spesifik Fusarium adalah bentuk pisang pipih (Nelson, 1983). Ada beberapa spesies beracun yang dapat menyebabkan penyakit pada tanaman dan hewan, termasuk manusia. Pada tanaman, jamur ini menyebabkan berbagai penyakit busuk akar dan busuk batang (Joffe, 1986). 3. Pennicilium Pennicilium adaalh fungi saprofit aerob dengan ukuran sel 0,75-5x 2-6im, membentuk lapisan konidiospora dan konidia pada permukaan koloni, sel berbentuk seperti tabung (Perbedy, 1987). Pennicilium dapat tumbuh pada temperatur 22-27 oC, tumbuh optimal pada pH netral sampai agak masam. Pennicilium banyak dijumpai pada tanah-tanah daerah sedang dan dapat bertahan hidup atau bahkan tumbuh pada lingkungan aktivitas air yang rendah. Fungi ini seringkali dijumpai pada tanah yang menagdnung bahan organik tinggi, terutama tanah-tanah hutan yang permukaannya tertutup oleh lapisan organik yang cukup tebal (Ramirez, 1982). Pennicilium dikenal menghasilkan penisilin. 4. Trichoderma Trichoderma adaalh fungi saprofit atau parasit pada fungi lainnya. Fungi ini dikenal sebagai fungi penyerang akar dan berkembang dnegan cepat di lingkungan akar. Jamur ini tidak sepenuh hidupnya tergantung pada tanaman, hal ini karena kemampuannya menggunakan berbagai macam substrat. Fungi ini juga dikenal sebagai ascomycetes selulotik yang dapat mendegradasi selulosa. Trichoderma dijumpai hampir di semua tanah-tanah pertanian dan lingkungan lainnya seperti kayu yang melapuk. Trichoderma mampu tumbuh pada tanah dengan pH 2,5-9,5, tetapi lebih menyukai lingkungan yang agak asam. Trichoderma juga digunakan secara komersial untuk memproduksi enzim selulase, diantaranya T.harzianum dan T.koningii (merton dan Brotzman, 1979). 5. Saccharomyces Saccharomyces adalah fungi bersel tunggal dengan diameter 5-10 im, selnya berbentuk oval atau sperikal (Dickinson dan Schweizer, 1999). Saccharomyces dikenal sebagai budding yeast Saccharomyces cerevisiae dikenal sebagai Bakers atau yeast Brewers (Phaff et al., 1968). Fungi ini telah lama digunakan untuk fermentasi gula dari beras, gandum, dan jagung untuk memproduksi minuman beralkohol, dan juga digunakan dalam industri roti sebagai bahan pengembang. Proses fermentasinya menghasilkan alkohol dan karbon dioksida. Karbon dioksida dijebak dalam gelembung kecil dan menghasilkan media yang mengembang (menggelembung). Saccharomyces mudah ditumbuhkan pada berbagai media yang mengandung karbon, nitrogen,

vitamin, dan mineral lainnya. Saccharomyces tumbuh optimum pada temperatur 20-25 oC. Saccharomyces dapat dijumpai pada daun tanaman. Bersambung ke bagian 4 yang dapat dilihat pada pustaka dibawah ini: Pustaka: Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri & Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasrjana. Universitas Sriwijaya. Http://dasar2ilmutanah.blogspot.com. Diposkan oleh Dr. Ir. Abdul Madjid, MS di 21:22 0 komentar Label: Biologi Tanah

TEKNOLOGI PUPUK HAYATI FUNGI PELARUT FOSFAT (Bagian 4)


Teknologi Pupuk Hayati Fungi Pelarut Fosfat (FPF)* Oleh: Rodiah** dan Madjid*** (Bagian 4 dari 6 Tulisan) Keterangan: * Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati pada Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. ** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. *** Dosen Pengasuh Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. (Bagian 4 dari 6 Tulisan) IV. Perkembangan Penelitian Fungi Pelarut Fosfat Reaksi yang terjadi selama proses pelarutan P dari bentuk tak tersedia adalah reaksi khelasi antara ion logam dalam mineral tanah dengan asam-asam organik. Khelasi adalah reaksi keseimbangan antara ion logam dengan agen pengikat, yang dicirikan dengan terbentuknya lebih dari satu ikatan antara logam tersebut dengan molekul agen pengikat, yang menyebabkan terbentuknya struktur cincin yang mengelilingi logam tersebut. Mekanisme pengikatan Al+++ dan Fe++ oleh gugus fungsi dari komponen organik adalah karena adanya satu gugus karboksil dan satu gugus fenolik, atau dua gugus karboksil yang berdekatan bereaksi dengan ion logam. Percobaan Kpomblekou & Tabatabai (1994) menunjukkan bahwa besarnya P yang terlarut memiliki korelasi dengan Ca dan Mg yang dilepaskan, hal ini membuktikan bahwa P tersebut semula terikat oleh Ca dan Mg. Pelarutan P dalam tanah dapat ditingkatkan pada suasana pH

rendah, kadar Ca dapat ditukar rendah dan kadar P dalam larutan tanah rendah. Asam-asam organik yang mempunyai berat molekul rendah meliputi: asam alifatik sederhana, asam amino dan asam fenolik. Asam alifatik terdapat pada tanaman yang banyak mengandung selulosa, asam amino dihasilkan dari tanaman yang banyak mengandung N (misalnya legum), sedang asam fenolik dihasilkan dari tanaman golongan herba (berbatang basah seperti bayam). Asam-asam organik tersebut antara lain: laktat, glikolat, suksinat, alfa ketoglutarat, asetat, sitrat, malat, glukonat, oksalat, butirat dan malonat akan terbentuk selama proses perombakan bahan organik oleh mikrobia, merupakan bentuk antara (transisi). Meskipun jumlahnya sangat kecil yaitu sekitar 10 mM, namun karena terus menerus terbentuk maka peranannya menjadi penting. Sebagian besar asam tersebut merupakan asam lemah. Konsentrasi yang agak besar dapat ditemukan pada mintakat (zone) tempat aktivitas mikrobia tinggi seperti rhizosphere atau pada longgokan seresah tanaman yang sedang mengalami proses perombakan (Yuwono, 2006). Urutan kemampuan asam organik dalam melarutkan fosfat adalah: asam sitrat > asam oksalat = asam tartrat= asam malat > asam laktat = asam format = asam asetat. Asam organik yang membentuk komplek yang lebih mantap dengan kation logam akan lebih efektif dalam melepas Ca, Al dan Fe mineral tanah sehingga akan melepas P yang lebih besar. Demikian juga asam aromatik dapat melepas P lebih besar dibandingkan asam alifatik. Sedangkan kemudahan fosfat terlepas mengikuti urutan Ca3(PO4)2 > AlPO4 > FePO4. Kecepatan pelarutan P dari mineral P oleh asam organik ditentukan oleh: (1) kecepatan difusi asam organik dari larutan tanah, (2) waktu kontak antara asam organik dan permukaan mineral, (3) tingkat dissosiasi asam organik, (4) tipe dan letak gugus fungsi asam organik, (5) affinitas kimia agen pengkhelat terhadap logam dan (6) kadar asam organik dalam larutan tanah (Yuwono, 2006). Mikrobia yang berperanan dalam pelarutan fosfat adalah bakteri, jamur dan aktinomisetes. Dari golongan bakteri antara lain: Bacillus firmus, B. subtilis, B. cereus, B. licheniformis, B. polymixa, B. megatherium, Arthrobacter, Pseudomonas, Achromobacter, Flavobacterium, Micrococus dan Mycobacterium. Dari golongan jamur antara lain: Aspergillus niger, A. candidus, Fusarium, Penicillum, Schlerotium & Phialotobus. Sedangkan dari golongan aktinomisetes adalah Streptomyces sp.. Menurut Alexander (1986) mikrobia dapat ditumbuhkan dalam media yang mengandung Ca3(PO4)2, FePO4, AlPO4, apatit, batuan P dan komponen Panorganik lainnya sebagai sumber P. Sastro (2001) menunjukkan bahwa jamur Aspergilus niger dapat dipeletkan bersama dengan serbuk batuan fosfat dan bahan organik membentuk pupuk batuan fosfat yang telah mengandung jasad pelarut fosfat. Aspergillus niger tersebut dapat bertahan hidup setelah masa simpan 90 hari dalam bentuk pelet. Terdapat lebih kurang 2000 jenis bakteri dan 50 jenis fungi yang terkait dengan proses perombakan selulosa pada pengomposan (Subba-Rao, 1994). Proses pembuatan kompos merupakan sistem kerjasama beberapa mikroba pemecah selulosa yang mempunyai ragam sifat fisiologis. Beberapa mikroba tersebut dapat dijumpai di alam, khususnya fungi jenis Aspergillus niger, Trichoderma viridae, Penicillium sp., dan Chaetomium sp. Kompos yang baik sebagai penyubur tanah dan dapat memperbaiki struktur tanah, harus mengandung 8 macam nutrisi, yaitu: karbon (C) sebesar 19,0-40,0%, nitrogen (N) sebesar 2,0-2,5%, fosfor (P) sebesar 0,010,14%, kalium (K) sebesar 0,039-1,35%, magnesium (Mg) sebesar 0,04-0,21% dan C/N ratio

sebesar 9,0-20% (Gaur, 1986). Seperti dikemukakan oleh Sastraatmadja dkk. (2001), bahwa kompos sebagai salah satu pupuk alam akan merupakan bahan subtitusi yang penting terhadap pupuk kandang dan pupuk hijau. Penelitian jasad renik pelarut fosfat banyak dilakukan di India, kanada, dan mesir, dengan tujuan untuk mealrutkan endapan-endapan Ca-fosfat (Sen dan Paul, 1957 ; Kundu dan Gaur, 1980 ; Subba Rao, 1977 ; 1982). Pemanfaatan jamur tanh yang lebih dominan pada pH rendah juga memperoleh perhatian peneliti tersebut. DAS (1963) melaporkan bahwa beberapa Aspergillus sp dan Pennicillium sp mampu melarutkan Al-P dan Fe-P. Jenis jamur yang lain adalah Sclerotium dan Fusarium (Alexander, 1978). Penelitian dengan jamur sebagai mikroba pelarut fosfat telah banyak dilakukan, jenis jamur yang paling banyak diteliti adalah Aspergillus sp dan Pennicillium sp mampu melarutkan 26-40 % Ca3(PO4)2, sedangkan Aspergillus sp melarutkan 18 % (Chonkar dan Subba Rao, 1967). Asam sitrat yang dihasilkan oleh Aspergillus awamori berperanan dalam pealrutan Ca-P, Aspergillus fumigatus dan Aspergillus candidus yang diteliti oleh Banik (1982) menunjukkan kemampuan yang jauh melebihi fosfobakterin dalam melarutkan Ca3(PO4)2, AlPO4, dan FePO4, sedangkan Aspergillus niger yang diteliti oleh Anas et al (1993) dan Lestari (1994) sangat baik dalam meningkatkan P larutan dari media batuan fosfat, yakni lebih dari 10 kali lipat. Aspergillus ficum yang diteliti oleh Premono (1964)mampu meningkatkan ketersediaan P pada tanah sebesar 25 % dan mampu melarutkan bentuk-bentuk Ca-P dan Fe-P. Hasil penelitian Maningsih dan Anas (1996) menunjukkan jamur Aspergillus niger dapat meningkatkan kelarutan P dari AlPO4 sebesarn 135 % dan dapat meningkatkan P larut pada tanah ultisol sebesar 30,4 % dibandingkan kontrol. Indikasi tersebut menunjukkan bahwa kemampuan jamur yang mempunyai spektrum lebar dalam melarutkan beberapa bentuk senyawa P yang ada di dalam tanah. Lestari (1994), menguji Aspergillus niger menunjukkan bahwa mikroba tersebut sangat baik dalam memperbaiki penampilan pertumbuhan tanaman jagung sampai 8 minggu pertama. Hutami et al., (1996) melakukan penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Januari 1995 sampai Juli 1995. Digunakan rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan. Sebagai perlakuan adalah: (1) inokulasi Rhizobium japonicum, (2) inokulasi R. japonicum dan fungi pelarut fosfat Aspergillus niger, (3) inokulasi R. japonicum dan mikoriza Gigaspora margarita; (4) inokulasi R. japonicum, A. niger, dan G. margarita. Penelitian kedua dilakukan pada bulan September 1995 sampai dengan Januari 1996. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan pola faktorial dan tiga ulangan. Sebagai perlakuan adalah: (1) pemupukan dengan bantuan fosfat (50 kg P2O5/ha dan 100 kg P2O5/ha); (2) fungi pelarut fosfat (tanpa fungi dan dengan A. niger strain NHJ2 1 ml per biji; (3) inokulasi mikoriza (tanpa mikoriza dan dengan Glomus manihotis 59 g per pot). Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi fungi pelarut fosfat dicampur dengan mikoriza meningkatkan pertumbuhan kedelai, aktivitas penambatan N, dan serapan N dan P berturut-turut 7,8 kali, 1,3 kali, 8 kali, dan 10 kali. Tidak ada perbedaan yang nyata antara perlakuan P 50 kg P205/ha dengan 100 kg P2O5/ha pada pertumbuhan kedelai, aktivitas fiksasi N, dan serapan N dan P. Sehingga penggunaan fungi pelarut P dan mikoriza dapat menghemat 50 persen pemupukan P. Berdasarkan hasil penelitian Edson (2006), Aspergillus sp. merupakan fungi pelarut fosfat yang paling efektif dalam melarutkan fosfat. Populasi fungi pelarut fosfat terbesar diisolasi pada

media tumbuh GAGES dan GES. Mikroorganisme pelarut fosfat mampu mengubah senyawa fosfat anorganik tidak larut menjadi bentuk terlarut yaitu Aspergillus awamori, Pennicillium digitatum, aspergillus niger, scwanniomycetes occidentalis, Aspergillus niger, Trichoderma viridae, Penicillium sp., dan Chaetomium sp. Berdasarkan hasil penelitian Goenadi et al., (2000), uji in vitro lebih sensiftif daripada uji indek pelarutan fosfat. Namun uji ini memerlukan bahan dan biaya yang lebih mahal daripada uji indek pelarutan fosfat. Uji in vitro menggunakan medium Pikovskaya tanpa agar. Oleh karena itu uji ini dilakukan setelah uji indek pelarutan fosfat dengan isolat yang lebih sedikit. Satu ose isolat mikroba pelarut fosfat diinokulasikan ke dalam 50 ml medium Pikovskaya cair secara aseptis. Selanjutnya kultur diinkubasi selama waktu tertentu (15 hari untuk fungi), dikocok denggan kecepatan 80 rpm pada suhu kamar. Di akhir masa inkubasi kultur disentrifuse dengan kecepatan 72000 rpm selama 20 menit atau disaring dengan kertas saring Whatman No. 42. Kadar P terlarut diukur dengan metode spektofotometer. Parameter lain yang juga penting untuk diukur adalah pH dan bobot kering biomassa. Kemampuan melarutkan fosfat diukur berdasarkan peningkatan kadar P terlarut dibanding kontrol (Goenadi et al., 2000). Penelitian yang dilakukan oleh menggunakan percobaan faktorial dengan tiga faktor yang disusun dengan Rancangan Acak Lengkap. Faktor pertama adalah inokulum fungi pelarut fosfat (Aspergillus niger) yaitu tanpa fungi pelarut fosfat (F0), fungi pelarut fosfat 1x109 spora/kg (F1) dan fungi pelarut fosfat 2x109 spora/kg (F2). Faktor kedua adalah macam sumber C yaitu tanpa sumber C (B1), Chromolaena odorata 50 g/kg (B2), Grilicidia sepium 50 g/kg (B3) dan jerami padi 50 g/kg (B4). Faktor ketiga adalah waktu inkubasi yaitu dua minggu pertama (W1), dua minggu kedua (W2) dan dua minggu ketiga (W3). Tiap kombinasi diulang tiga kali. Pengamatan dilakukan per dua minggu selama enam minggu inkubasi meliputi pH H2O, bahan organik, populasi fungi pelarut fosfat dan P tersedia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis inokulum fungi pelarut fosfat, sumber C dan waktu inkubasi berpengaruh sangat nyata terhadap peningkatan ketersediaan P. Sedangkan interaksi antara faktor yaitu inokulum fungi pelarut fosfat, sumber C dan waktu inkubasi berpengaruh sangat nyata terhadap P tersedia selama inkubasi enam minggu. Kombinasi perlakuan terbaik yang mampu meningkatkan ketersediaan P tertinggi adalah pada perlakuan fungi pelarut fosfat 2x109 spora/kg dan Chromolaena odorata pada dua minggu ketiga yaitu sebesar 41,78 ppm (Baratha, 2004). Aplikasi Trichoderma harzianum dan Aspergillus sp pada tanaman dapat meningkatkan pertumbuhan/produktivitas tanaman terutama di tanah-tanah marginal. Terdapat beberapa koleksi fungi unggul. Salah satunya adalah Trichoderma harzianum DT 38. T. harzianum DT 38 ini memiliki beberapa keistimewaan, antara lain yang paling menarik adalah kemampuannya untuk merangsang pertumbuhan tanaman. Selain daripada itu T. harzianum DT 38 juga dapat digunakan untuk agen pendedali hayati penyakit yang disebabkan oleh Gonoderma. Isolat unggul lainya adalah Aspergillus sp yang merupakan fungi pelarut fosfat. Aspergillus sp ini sudah terbukti dapat melarutkan fosfat dari sumber-sumber yang sukar larut. Pada awal-awal ujicoba kami menggunakan tanaman jagung. Tanah yang kami gunakan adalah tanah-tanah marginal (ultisol) yang kami ambil dari Cikopomayak, kab. Bogor. Tanah ini memiliki karakteristik antara lain: bersifat masam, kandungan bahan organik rendah, dan kapasitas tukar kationnya rendah. Tanah ini terkenal sangat miskin, tanaman apapun yang

ditanam sulit tumbuh dan produktivitasnya pun sangat rendah. Meskipun sudah diberi pupuk yang cukup. Perlakuan antara lain: (1) kontrol tanpa pemupukan sama sekali, (2) pemupukan standar dengan pupuk kimia, (3) pemupukan dengan pupuk organik Posmanik (produk dari PG Subang), dan (4) pemupukan Posmanik + inokukum mikroba (T. harzianum DT 38 dan Aspergillus sp). Sebenarnya kami juga melakukan perlakuan kontrol untuk masing-masing mikroba.Perlakuan kontrol untuk menguji tanah yang digunakan. Dari pertumbuhannya sangat jelas bahwa tanah yang digunakan adalah tanah yang sangat sangat miskin. Tanaman jagung seperti hidup segan mati tak hendak. Tumbuhnya lebih mirip rumput daripada tanaman jagung. Tanaman jagung yang diberi pupuk kimia standar terlihat tumbuh lebih baik daripada kontrol. Namun demikian, pertumbuhan tanaman ini sangat tidak optimal. Ini juga mengindikasikan bahwa tanah tersebut memang tanah yang sangat marginal, terutama kandungan bahan organiknya yang rendah. Meskipun dosis pupuk ditingkatkan saya duga pertumbuhan tanaman tetap tidak optimal.Perlakuan ketiga dengan menggunakan Posmanik memperlihatkan bahwa penambahan bahan organik dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Posmanik ini adalah salah satu pupuk organik yand dibuat dari limbah pabrik gula. Meskipun demikian pertumbuhannya juga belum optimal. Perlakuan keempat dengan menambahkan T. harzianum dan Aspergillus sp pada perlakuan A ternyata mampu meningkatkan pertumbuhan jagung. Tanaman tampak lebih tinggi dan lebih segar daripada perlakuan-perlakuan yang lain. Bersambung ke bagian 5 yang dapat dilihat pada pustaka dibawah ini: Pustaka: Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri & Program Studi Ilmu Tanaman. Program Magister (S2). Program Pascasarjana. Universitas Sriwijaya. Http://dasar2ilmutanah.blogspot.com. Diposkan oleh Dr. Ir. Abdul Madjid, MS di 21:16 0 komentar Label: Biologi Tanah

TEKNOLOGI PUPUK HAYATI FUNGI PELARUT FOSFAT (Bagian 5)


Teknologi Pupuk Hayati Fungi Pelarut Fosfat (FPF)* Oleh: Rodiah** dan Madjid*** (Bagian 5 dari 6 Tulisan) Keterangan: * Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati pada Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. ** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. *** Dosen Pengasuh Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang,

Sumatera Selatan, Indonesia. (Bagian 5 dari 6 Tulisan) V. TEKNOLOGI PUPUK HAYATI Pupuk hayati adalah mikrobia ke dalam tanah untuk meningkatkan pengambilan hara oleh tanaman dari dalam tanah atau udara. Umumnya digunakan mikrobia yang mampu hidup bersama (simbiosis) dengan tanaman inangnya. Keuntungan diperoleh oleh kedua pihak, tanaman inang mendapatkan tambahan unsur hara yang diperlukan, sedangkan mikrobia mendapatkan bahan organik untuk aktivitas dan pertumbuhannya. Mikrobia yang digunakan sebagai pupuk hayati (biofertilizer) dapat diberikan langsung ke dalam tanah, disertakan dalam pupuk organik atau disalutkan pada benih yang akan ditanam. Penggunaan yang menonjol dewasa ini adalah mikrobia penambat N dan mikrobia untuk meningkatkan ketersedian P dalam tanah. Pupuk hayati atau lebih dikenal dengan nama pupuk mikroba telah banyak beredar di pasaran dan beberapa daerah mulai digunakan oleh petani. Pupuk mikroba menurut SK Menteri Pertanian No. R.130.760.11.1998 digolongkan kedalam kelompok pupuk alternatif. Secara umum istilah pupuk hayati diartikan sebagai suatu bahan yang mengandung sel hidup atau dalam keadaan laten dari suatu strain penambat nitrogen, pelarut, atau mikroorganisme selulolitik yang diberikan ke biji, tanah, atau ketempat pengomposan. Pupuk hayati banyak dimanfaatkan petani untuk meningkatkan hasil dan memperbaiki mutu. Namun, pemakaian pupuk tersebut harus hati-hati karena komposisi hara yang ada pada label kemasan kadang tidak sesuai dengan yang dikandungnya. Penggunaan pupuk hayati bertujuan untuk meningkatkan jumlah mikroorganisme dan mempercepat proses mikrobologis untuk meningkatkan ketersediaan hara, sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Pupuk mikroba bermanfaat untuk mengaktifkan serapan hara oleh tanaman, menekan soil-borne disease, mempercepat proses pengomposan, memperbaiki struktur tanah, dan menghasilkan substansi aktif yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman (Tombe, 2008). Di Indonesia, mikroorganisme telah lama dimanfaatkan, terutama pada proses fermentasi makanan secara tradisional, dan juga pada minuman. Adanya keputusan pemerintah untuk memberi prioritas yang tinggi pada pengembangan bioteknologi, menyebabkan perhatian pada penggunaan mikroorganisme makin meningkat, selain digunakan dalam proses fermentasi secara tradisional. Bentuk-bentuk inokulan pupuk mikroba yang biasa digunakan adalah biakan agar, biakan cair, biakan kering, biakan kering beku, dan tepung. Inokulan yang digunakan secara luas di lapangan adalah yang berbentuk biakan cair dan tepung. Untuk memudahkan aplikasi dilapangan diperlukan bahan pembawa (carrier). Sebagai bahan pembawa inokulan tepung, dapat digunakan bahan organik seperti gambut, arang, sekam, dan kompos. Untuk bahan pembawa anorganik digunakan bentonit, vermikulit, atau zeolit. Petani menggunakan pupuk mikroba dengan harapan dapat meningkatkan hasil dan mutu tanaman pada tingkat biaya yang rendah melalui penghematan tenaga kerja dan pupuk kimia. Namun, sering dijumpai bahwa pupuk mikroba yang dijual tidak menunjukan sifat mikrobiologis, artinya mikroorganisme yang

terdapat dalam prduk tersebut tidak dapatdiidentifikasi dan komposisinya tidak sesuai dengan yang tertera pada label kemasan. Banyak produk tersebut diiklankan seolah-olah dapat menyelesaikan semua masalah yang dihadapi petani (Tombe, 2008). Salah satu faktor yang menentukan mutu pupuk mikroba adalah jumlah mikroorganisme yang terkandung didalamnya. Jumlah tersebut dapat berkurang karena suhu yang tinggi. Hasil penelitian menunjukan bahwa penyimpanan pada suhu rendah umumnya lebih cocok untuk ketahanan hidup mikroorganisme daripada suhu tinggi. Peningkatan suhu menyebabkan kelembaban menurun. Dengan mempertahankan kelembaban, kematian mikroorganisme dapat dikurangi. Berdasarkan tingkat kelembabannya yang cukup tinggi, gambut cukup baik untuk pertumbuhan mikroorganisme, baik berupa bakteri maupun jamur. Selain peka terhadap suhu tinggi mikroba juga peka terhadap sinar matahari langsung. Pada penggunaan inokulan bakteri Rhizobium, inokulasi biji legum harus dilakukan pada tempat yang teduh, karena bakteri tersebut tidak tahan terhadap sinar matahari langsung. Untuk melindungi konsumen dan produsen pupuk mikroba, maka diperlukan suatu sistem pengawasan yang memadai dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga hal-hal yang tidak diinginkan seperti pemalsuan atau penurunan kualitas dapat dihindari. Sistem monitorig dapat dilakukan untuk mengetahui jumlah, jenis, dan kualitas pupuk mikroba yang beredar di pasaran. Pada pengujian pupuk mikroba, perlu diamati label pada kemasan yang mencantumkan nama genus serta jumlah mikroorganisme, tanggal kadaluwarsa, cara penyimpanan, seta jenis tanaman yang cocok. Lakukan pengujian atas jenis dan jumlah mikroorganisme yang terkandung dengan metode platecoun, tetapkan kelembapan bahan pembawa, dan lakukan pengujian efektivitas pupuk tersebut (Tombe, 2008). Syarat jumlah populasi mikroorganisme yang terkandung dalam suatu produk berbeda untuk tiap negara. Australia mensyaratkan sekitar 107-108 sel/g dengan batas kadaluwarsa 2 bulan, Afrika Utara dan Taiwan mensyaratkan sekitar 108 sel/g. Di Indonesia, sampai saat ini baku mutu atas pupuk mikroba yang beredar baru untuk inokulan Rhizobium, sedangkan untuk jenis pupuk mikroba lainnya belum ada. Mulai tahun 2004, Balai Penelitian Tanah telah merintis penelitian untuk mengetahui syarat-syarat mutu atas pupuk mikroba yang boleh beredar dipasaran (Tombe, 2008). Fosfor memegang peran penting dalam transportasi energi untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Sebagian Besar fosfat dalam tanah tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Sekitar 90% fosfat dalam tanah terleh tanaman dan 2 hingga 6 minggu setelah pemupukan, 80% dari fosfat yang diaplikasikan juga akan terikat dan tidak dapat diman Pemecahan Masalah nyerap sumber energi penting dan sebaliknya, tanaman menyumbang hasil sampingnya untuk makanan mikroba. Selain itu. Mikroba membantu tanaman mencerna hara lebih banyak, sehingga tanaman berkembang lebih kuai dan sistem perakaran lebih luas. Pemanfaatan mikroba pelarut fosfat merupakan salah satu alternatif untuk memecahkan masalah dalam meningkatkan efisiensi pemupukan. Mekanisme pelarutan fosfat dari bahan yang sukar larut oleh aktivitas mikroba pelarut fosfat banyak dikaitkan dengan kemampuan mikroba yang bersangkutan dalam menghasilkan enzim fosfatase, Stase, dan asam organik hasil metabolisme seperti asetat. Propionat, glikolat, fumarat, oksalat, suksinat, lartrat, sitrat, laktat, dan ketoglutarat. Proses utama pelarutan senyawa fosfat sukar larut karena adanya produksi asam organik dan sebagian asam anorganik oleh mikroba yang dapat berinteraksi dengan senyawa fosfat sukar larut serta melarutkan fosfat dari kompleks A!-. Fe-. Mn-. dan Ca- Suatu teknologi

irajj telah ditipiskan untuk meningkatkan efisiensi pemupukan menggunakan pupuk mikroba pelarut fosfat (BtaPhM). BioPtios dioptakan jntuk melepas fosfat yang terikat di dalam tanah mau pun dan pupuk fosfat yang diaplikasikan, memobilisasi, mempermudah membuat fosfat menjadi tersedia bagi tanaman, dan meningkatkan serapan P tanaman. Peningkatan efisiensi fosfat juga berarti suatu kesempatan aplikasi antara lain BioPhos mengandung lebih dari satu fungsi kelompok mikroba, yaitu mikroba pelarut fosfat, mikoriza. dan senyawa organik alami pemacu pertumbuhan tanaman. Teknologi ini tidak hanya terhadap peningkatan basil tanaman, tetapi juga peningkatan efisiensi pemupukan P, dan babkan meningkatkan keamanan terhadap aplikasi hara lainnya, dengan kala lain meningkatkan kesuburan Hasil Penelitian BioPhos merupakan campuran mikroba efek Micmcoccus spp. Grt 3, Aspergillus niger NHJ2, dan mlkoriza Glomus manjbolis yang dilengkapi dengan formulasi bahan pembawa yang sesuai. Teknik bioteknologi telah berhasil diterapkan daiam teknologi produksinya, yaitu rekayasa fermentasi dan teknik mikroenkapsulasi sel mikroba untuk menjamin peningkatan populasi mikroba dan menekan kontaminasi dari mikroba yang tidak dikehendaki selama penyimpanan dan transportasi. Serta meningkatkan ketahanan hidup mikroba tanpa mempengaruhi keefektifannya. Pemanfaatan BioPhos di tanah masam-Al atau tanah sawah jenuh fosfat dapat meningkatkan ketersediaan fosfat baik dari fosfat yang diaplikasikan maupun dari dalam tanah. serta akan meningkatkan serapan fosfat tanaman dan hasilnya. Fungi pelarut fosfat terpilih mampu meningkatkan pelarutan fosfat hingga 245 kali dari kontrol (tanpa inokulasi) 0,60 ug/ml (pH 4.65) hingga 147,28 ugfrnl (pH 2.9) dan bakteri pelarut fosfat 154 kali dari kontrol 2,56 ug/m! (pH 6,47) hingga 394,85ug/ml (pH 5,1). Aplikasi BioPhos pada kedelai yang diinokulasi pupuk P (batuan-P) 50 kg P;0,/ha tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan pemupukan 100 kg P,0,iha terhadap jumlah dan bobot segar bintil akar, bobol kering tanaman, serapan nitrogen dan fosfat tanaman Serapan nitrogen dan fosfat tanaman meningkatkan BioPhos. Aplikasi BioPhos pada kedelai yang dipupuk dengan 50 kg P.pjha meningkatkan tingkat infeksi mikoria hingga 171,78% dibandingkan dengan aplikasi 100 kg P,0,/ha (23,59%). Interaksi antara BioPhos dengan pupuk P, 50 kg P;0,ma meningkatkan serap 100 kg F Aplikasi BioPhos pada kedelai di tanah hingga 60%. Aplikasi BioPhos pada kentang (200 g per 20 I), jagung dan padi (200 g per 20 kg benih] menurunkan penggunaan pupuk NPK yang direkomendasikan hingga 75%. Demonstrasi plot aplikasi BioPhos pada kedelai dan padi di 12 lokasi transmigran di Lmbale, Sulawesi Selatan dengan kombinasi pemupukan 100 kg/ha urea, 50 kg/ha SP36. dan 50 kg/ha KCl meningkatkan hasil kedelai sebesar 12,5% dan padi 4% dari dosis rekomendasi. Aplikasi BioPhos dengan kombinasi dosis pemupukan meningkatkan hasil kedelai sebesar 28,32% dan 16% pada padi. Bahkan aplikasi BioPhos pada padi tanpa pemupukan dapat meningkatkan hasil hingga 43% Nilai Tambah Teknologi Biophost merupakan pupuk mikroba pelarut fosfat yang dapat mensubstitusi sebagian pupuk yang dibutuhkan oleh tanaman melalui kemampuannya melarutkan fosfat yang sukar larut menjadi tersedia bagi tanaman. Sehingga dapat rnenghemat penggunaan pupuk kimia. Hanya separuh dari dosis pupuk kimia yang dibutuhkan, bahkan aplikasi BioPhos uga dapat meningkatkan efisiensi pemupukan N dan K.

Petani akan dapat menikmati penurunan biaya pemupukan dan kenaikan hasil produksi. Sastro (2001) menunjukkan bahwa jamur Aspergilus niger dapat dipeletkan bersama dengan serbuk batuan fosfat dan bahan organik membentuk pupuk batuan fosfat yang telah mengandung jasad pelarut fosfat. Aspergillus niger tersebut dapat bertahan hidup setelah masa simpan 90 hari dalam bentuk pelet. Mikroba pelarut fosfat (MPF) umumnya diisolasi dari contoh tanah. MPF yang umum didapatkan antara lain dari kelompok fungi, bakteri, dan actinomicetes. Prosedur umum untuk mengisolasi MFP adalah sebagai berikut: 1. Satu gram contoh tanah dimasukkan ke dalam 99 ml larutan garam fisiologis (0.85% NaCl) steril dan dikocok selama 24 jam atau semalam. Dari pengenceran ini diperoleh seri pengenceran 10 ext-2. Tujuan pengocokan ini agar diperoleh lebih banyak isolat, khususnya isolat fungi. 2. Satu ml larutan dari pengenceran 10 ext. -2 ditambahkan ke dalam 99 ml larutan garam fisiologis dan dikocok/diaduk hingga tercampur merata. Langkah ini diperoleh pengenceran 10 ext. -4. Pengenceran terus dilakukan hingga seri pengencera 10 ext. 6 s/d 10 ext. 8. 3. Buat medium agar Pikovskaya. 4. Satu ml dari setiap seri pengenceran yang telah dibuat dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Medium agar Pikovskaya yang masih cair (suhu kurang lebih 50oC) dituangkan ke dalam cawan. Cawan digoyang agar sample dan media tercampur merata. 5. Ulangi langkah di atas secukupnya. 6. Inkubasi dalam posisi terbalik selama beberapa hari. 7. Mikroba yang dapat melarutkan fosfat akan membentuk zona bening di dalam medium Pikovskaya. 8. Setelah diperoleh MPF segera dipisahkan dan dimurnikan di dalam medium Pikovskaya yang lain. Isolat bakteri dan actinomicetes biasanya segera tumbuh pada umur 2 3 hari, sedangkan fungi baru mulai tumbuh setelah 1 2 minggu. Biasanya menggunakan antibiotik (antibakteri) apabila akan mengisolasi fungi. Tanpa antifungi fungi pelarut fosfat sulit diperoleh. Fungi umumnya kalah cepat tumbuhnya dengan bakteri, sehingga pertumbuhannya terhambat oleh bakteri. Indek pelarutan fosfat ini berdasarkan pada metode yang dijelaskan oleh Premono, Moawad, dan Vlek (1996). Secara aseptis 1 ose (untuk bakteri) atau satu cuplikan kecil dengan diameter 8 mm untuk fungi diinokulasikan ke atas media Pikovskaya. Setiap perlakuan dilakukan dengan beberapa ulangan, minimal duplo. Isolat diinkubasi selama beberapa hari. Indeks pelarutan fosfat adalah perbandingan antara diameter zona jernih dibagi dengan diameter koloni. Indek pelarutan fosfat sesuai digunakan untuk screening awal mikroba pelarut fosfat. Metode ini mudah dan murah untuk dilakukan. Tetapi jika tidak hati-hati metode ini bisa menimbulkan bias. Variasi indek pelarutan fosfat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain: 1. Konsentrasi fosfat. AlPO4 tidak larut dalam air; untuk menuang medium ini ke dalam cawan petri perlu digoyang-goyang terlebih dahulu. Ada kemungkinan bahwa konsentrasi AlPO4 tidak seragam, sehingga zona jernihnya juga terpengaruh

2. Ketebalan agar. Ketebalan agar di dalam cawan juga akan mempengaruhi zona jernih. AlPO4 di agar yang lebih tebal tentunya lebih sulit untuk dilarutkan daripada di agar yang tipis. 3. Kecepatan pertumbuhan mikroba. Ada mikroba yang tumbuh dengan cepat dan ada mikroba yang tumbuh lambat. Misalnya, Penicillium sp umumnya memiliki diamater koloni yang lebih kecil daripada Aspergillus sp. Indek Penicillium sp lebih besar dari Aspergillus sp, tetapi kemampuannya melarutkan fosfat in vitro Penicillium sp lebih kecil daripada Aspergillus sp. 4. Sesuai untuk membadingkan satu kelompok mikroba. Indek pelarutan fosfat kurang sesuai untuk membandingkan antar kelompok mikroba, misalnya: fungi, bakteri, dan aktinomicetes. Data-data indek pelarutan fosfat umumnya di analisis dengan metode statistik. Statistik tidak bisa memisahkan variabel-variabel ini. Beberapa hal di atas akan sangat mempengaruhi hasil analisa statistik oleh karena itu harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh agar tidak salah dalam mengambil kesimpulan. A. Pupuk Hayati EMAS (Enchancing Microbial Activities in The Soils) Pupuk hayati adalah pupuk yangmengandung bahan aktif mikroba yangmempu menghasilkan senyawa yang berperan dalam proses penyediaan unsure hara dalam tanah, sehingga dapat diserap tanaman. Pupuk hayati juga membantu usaha mengurangi pencemaran lingkungan akibat penyebaran hara yang tidak diserap tanaman pada penggunaan pupuk anorganik. Melalui aplikasi pupuk hayati, efisiensi penyediaan hara akan meningkat sehingga penggunaan pupuk anorganik bias berkurang. (Goenadi, dkk, 2000). Salah satu jenis pupuk hayati adalah pupuk hayati EMAS (Enchancing Microbial Activities in The Soils) atau PHE. PHE mengandung mikroba sebagai bahan aktif yang mempunyai peranan tersendiri yaitu : Azospirillum lipoverum berupa bakteri penambat N bebas ; Azotobacter beijerinckii bakteri pemantap agregat dan penambat N-bebas, Aeromonas punctata sebagai bakteri pemantap agregat dan Aspergillus niger berupa fungi pelarut fosfat. Enchancing Microbial Activities in The Soils (EMAS) adalah pupuk hayati (biofertilezer) berbahan aktif bakteri penambat N-bebas tanpa bersimbiosis dengan tanaman, mikroba pelarut fosfat dan kalium serta pemantap agregat tanah. Keunggulan PHE dari pupuk hayati lainnya yaitu mampu meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk anorganik melalui penurunan dosis (Goenadi et al., 1995). Goenadi et al. (2000), mengemukakan bahwa mikroba inokulan yang dikemas dalam PHE akan menghasilkan enzim nitrogenase, fosfatase, asam organik dan atau polisakarida ekstra sel. Senyawa-senyawa metabolit sekunder tersebut sangat berperan dalam pengikatan n bebas, pelarut unsur hara dan pemantap agregat mikro di dalam tanah. Diintroduksinya jenis mikroba dalam PHE ke dalam tanah diharapkan berlangsung optimal. Produk PHE dihasilkan dalam bentuk granul (butiran) berwarna putih keabuan dengan diameter 2-3 mm melalui proses granulasi. Mikroba sebagai bahan aktif tetap efektif sampai masa simpan 12 bulan (Goenadi et al., 1995).

PHE dirancang untuk membantu penyediaan unsur hara yang terikat kuat di dalam tanah. Hasil percobaana Goenadi, dkk. (1997), menunjukkan bahwa pemupukan 50 kg/ha PHE dan 50 % dosis pupuk anorganik menghasilkan produksi tanaman karet (lateks) yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian pupuk anorganik saja. Iman Rohiman (2006) menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan 5 g PHE + 50 % dosis pupuk anorganik memberikan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan luas daun, bobot kering bibit, dan volume akar. B. Pupuk Hayati (BIO-LESTARI) Formula BIO-LESTARI diramu khusus untuk penyuburan lahan pertanian. Mikroba penyubur BIO-LESTARI mampu meningkatkan kemampuan nodulasi tanaman kacang-kacangan, ketersediaan hara di dalam tanah, dan menaikkan efisiensi pemakaian pupuk. BIO-LESTARI merupakan campuran bakteri pembentuk nodul pada tanaman kacang-kacangan, penambat nitrogen bebas, dan cendawan pelarut hara dengan formulasi bahan pembawa yang mengandung senyawa organik alami pemacu tumbuh dan unsur mikro yang diperlukan oleh mikroba dan tanaman. Manfaat dan keunggulan dari pupuk hayati bio-lestari : (1) Merangsang pembentukan nodul (2) Meningkatkan daya tambat nitrogen (3) Meningkatkan P-tersedia dalam tanah (4) Meningkatkan kesuburan tanah (5) Meningkatkan efisiensi pemupukan (6) Meningkatkan keberlanjutan sistem produksi (7) Mengefisienkan sistem pengiriman (8) Merangsang aktivitas mikroba rizosfir (9) Memperlebat dan memperkuat perakaran (10) Memperkokoh dan memperkuat tanaman (11) Efektif untuk kacang tanah, kedelai, dan sengon (12) Meningkatkan mutu bibit tanaman sengon (13) Tidak mudah terkontaminasi dengan mikroba lain Keuntungan (1) Menghemat pemakaian pupuk (2) Menghemat pestisida (3) Tidak merusak tanah dan aman lingkungan Cara Penggunaan (1) Basahi benih dengan air secukupnya (gunakan wadah yang bersih) (2) Taburkan 1 (satu) kantong BIO-LESTARI pada benih yang telah dibasahi sampai melekat rata dan segera tanam (3) Pencampuran dilakukan di tempat yang teduh Dosis dan kandungan mikroba

Satu kantong standar berisi 40 g BIO-LESTARI untuk pertanaman 2000 m2 atau 200 g/ha. Pupuk ini mengandung populasi sel bakteri penambat N2 non-simbiotik 107-108, Rhizobium 108-109, dan fungi pelarut fosfat 104-105 propagul per g bahan pembawa. Perhatian dari penggunaan pupuk bio-lestari ini adalah Jangan tercampur dengan pupuk kimia, pada lahan masam diperlukan pengapuran secukupnya sampai pH 5,5, simpan BIO-LESTARI di bawah suhu <20oC dan jauh dari sinar, jangan digunakan lagi bila melebihi masa kadaluwarsa. Berdasarkan hasil penelitian Kaji terap BIO-LESTARI pada kacang tanah di Kabupaten Sumedang (Latosol, dosis anjuran 50 kg Urea/ha, 100 kg SP-36/ha, 50 kg KCl), MK 1999. Pengaruh BIO-LESTARI terhadap jumlah dan bobot bintil akar, bobot kering akar, tinggi tanaman, diameter batang, bobot kering total, dan indeks mutu bibit sengon (Paraserianthes falcataria). Rata-rata bobot kering tanaman, serapan N dan P serta jumlah dan bobot kering bintil akar kedelai yang diinokulasi BIO-LESTARI (45 HST) di rumah kaca Cikeumeuh, MK 1997. Pengaruh pemberian BIO-LESTARI dan variasi takaran pupuk NPK terhadap bobot kering tajuk, jumlah bintil akar, serapan N dan P tanaman, jumlah polong isi, dan hasil biji tanaman kedelai pada tanah Podsolik Merah Kuning Lampung (tanpa pengapuran; pH 3,96; Al-dd 1,209 me/100g). C. Pupuk Hayati Bio-fosfat Biofertilizer/Penggunaan pupuk mikroba pelarut fosfat dan mikoriza bertujuan untuk menghindari masalah rendahnya P tersedia di lahan sawah dan lahan masam. Mikroba pelarut P maupun melarutkan P yang tidak tersedia dengan mengeluarkan asam organik, dan mikoriza berfungsi sebagai fasilitator penyerapan P. Telah dikembangkan pupuk mikroba pelarut fosfat yang disebut "Bio-Fosfat" yang dapat meningkatkan efisiensi pemupukan sampai 50 persen (dari rekomendasi pemupukan P 100 kg/ha menjadi 50 kg/ha). Dua penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi dan di Rumah Kaca Balitbio Bogor. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Januari 1995 sampai Juli 1995. Digunakan rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan. Sebagai perlakuan adalah: (1) inokulasi Rhizobium japonicum, (2) inokulasi R. japonicum dan fungi pelarut fosfat Aspergillus niger, (3) inokulasi R. japonicum dan mikoriza Gigaspora margarita; (4) inokulasi R. japonicum, A. niger, dan G. margarita. Penelitian kedua dilakukan pada bulan September 1995 sampai dengan Januari 1996. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan pola faktorial dan tiga ulangan. Sebagai perlakuan adalah: (1) pemupukan dengan bantuan fosfat (50 kg P2O5/ha dan 100 kg P2O5/ha); (2) fungi pelarut fosfat (tanpa fungi dan dengan A. niger strain NHJ2 1 ml per biji; (3) inokulasi mikoriza (tanpa mikoriza dan dengan Glomus manihotis 59 g per pot). Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi fungi pelarut fosfat dicampur dengan mikoriza meningkatkan pertumbuhan kedelai, aktivitas penambatan N, dan serapan N dan P berturut-turut 7,8 kali, 1,3 kali, 8 kali, dan 10 kali. Tidak ada perbedaan yang nyata antara perlakuan P 50 kg P205/ha dengan 100 kg P2O5/ha pada pertumbuhan kedelai, aktivitas fiksasi N, dan serapan N dan P. Sehingga penggunaan fungi pelarut P dan mikoriza dapat menghemat 50 persen pemupukan P (Hutami, 2000).

D. Tiens Golden Harvest TIENS GOLDEN HARVEST berbahan akktif Mikroba Indegenous asli Indonesia ramah lingkungan (tidak mengandung logam berat As, Pb, Hg, Cd dan Mikroba Patogen, Salmonella Sp ) telah dipersiapkan serta dirancang untuk pembangunan dunia pertanian yang berkelanjutan. Bahwa perpaduan TIENS GOLDEN HARVEST dengan pupuk kimia aka selalu dicari dan dibutuhkan petani karena sudah terbukti dan teruji ( menjaduikan produktivitas tinggi dan ramahlingkungan). Kandungan TIENS GOLDEN HARVEST1. Azobacter sp2. Mikroba pelarut fosfat3. Azospirilum sp4. Mikroba Pendegradasi Selulose5. Lactobacillus sp6. Pseudomonas spp = 34,70 ppm ; K = 1700 ppm ; C organik = 0,92 % ; N = 0,04 % ; Fe = 44,3 ppm ; Mn = 0,23 ppm ; Cu = 0,85 ppm ; Zn = 3,7 ppm Tiens Golden Harvest adalah sebuah Teknologi modern sebagai Pupuk penyubur tanah dan tanaman, serta telah banyak dipakai oleh banyak pembudidaya BELUT dan terbukti dapat mempercepat proses fermentasi pupuk kompos dan juga mempercepat proses pada persiapan media budidaya BELUT dan pemeliharaanya. Dengan menggunakan pupuk hayati Tiens Golden Harvest yang dibuat dengan teknologi Agricultural Growth Promoting Inoculant (AGPI), suatu inokulan campuran yang berbentuk cair, mengandung hormon tumbuh indole acetic acid serta mikroba indigenous (mikroba tanah setempat) asli indonesia, yang sangat dibutuhkan dalam proses penyuburan tanah secara biologi antara lain Azospirillum, Azotobacter, mikroba pelarut P, Lactobacillus, dan mikroba pendegrasi selulosa. Mikroba dan enzim tersebut dapat bekerja secara maksimal dan dapat mengubah unsur hara yang tadinya sulit untuk diserap tanaman menjadi unsur hara yang mudah diserap oleh tanaman sehingga penggunaan pupuk menjadi sangat efisien. Teknologi ini adalah asli Indonesia yang merupakan hasil riset bertahun-tahun dari seorang ahli biologi tanah yang bernama Dr.Ir.Lukman Gunarto MSc. yang tidak kenal lelah untuk mengembangkan dan mengenalkan teknologi ini, yang mempunyai tujuan untuk meringankan beban petani dengan masalah biaya produksi pertanian sekarang ini sangatlah mahal. Produk ini Sudah teruji Dan terbukti mampu menghemat biaya produksi pertanian sampai 40% dan sanggup meningkatkan produksi atau hasil pertanian antara 15% hingga 70%. Keunggulan dan Keuntungan dari Tiens Golden Harvest : (1) Biaya produksi efisien (2) Hasil panen optimal (3) Dipadukan dengan pupuk kimia bisa menghemat sebesar 40% s/d 50% (4) Mengurangi timbulnya gulma pada tanaman padi (5) Dapat memecah pestisida dengan residu s/d 0% (6) Penampilan tanaman lebih sehat dan segar (7) Kesuburan lahan terjaga E. Migro Plus Teknologi yang digunakan adalah generasi terbaru, yaitu menggunakan Mikroba strain terbaru yang bekerja lebih efektif dan efisien. Produk-produk yang menggunakan teknologi terbaru ini

adalah produk yang diproduksi oleh MiG corp. yaitu : pupuk hayati MiG-6PLUS, probiotik MiG ternak, Migro Tambak dan probiotik Migro Suplemen. Menggunakan mikroorganisme dengan strain terbaru. Proses produksi dengan kontrol kualitas yang sangat ketat oleh orang-orang yang ahli pada bidangnya. Bahan baku yang digunakan sudah memiliki sertifikat dari sucofindo. Kemasan yang digunakan eksklusif (tidak ada di pasaran), sehingga keaslian produk MiG corp. sampai ke tangan konsumen lebih terjamin. Hormon tumbuh Indole Acetic Acid serta mikroba indegenous (mikroba tanah setempat) asli indonesia, yang sangat dibutuhkan dalam proses penyuburan tanah secara biologi antara lain Azospirillum sp, Azotobacter sp, mikroba pelarut P, Lactobacillus sp, dan mikroba pendegradasi selulosa serta Pseudomonas sp. Hormon tumbuh berfungsi untuk memacu pertumbuhan akar serabut sehingga penyerapan hara menjadi optimal, penambat Nitrogen dari udara, melepaskan P yang terikat di dalam tanah, dan menguraikan bahan organik yang terdapat di tanah, juga terdapat mikroba Pseudomonas sp, yang berfungsi untuk menguraikan residu pestisida yang jatuh di tanah. Apabila setiap aplikasi kurang dari 2 liter MiG-6PLUS per hektar, populasi mikroba untuk menambatkan N, pelarut P dan pendegradasi selulosa tidak cukup untuk mengambil unsur-unsur tadi atau dengan kata lain, unsur N, P dan K tidak dapat diambil dengan jumlah yang seharusnya dapat diambil oleh mikroorganisme tersebut, sehingga kebutuhan hara oleh tanaman menjadi tidak terpenuhi Karena pada tanaman padi terdapat fase pertumbuhan, pembentukan anakan dan primordial, dimana pada fase tersebut tanaman membutuhkan hara yang cukup untuk tumbuh kembangnya, apabila pada fase tersebut tanaman kurang mendapat pasokan hara, dipastikan hasil yang akan diperoleh dari tanaman tersebut akan kurang baik. Lahan pertanian yang ideal harus memenuhi syarat kesetimbangan, yaitu unsur fisik (bajak/cangkul), kimia (pupuk kimia maupun kandang) dan biologi (mikroorganisme). Jadi lahan pertanian tetap harus diberikan Pupuk (kimia atau kandang), tetapi penggunaanya dikurangi sampai dengan 50% dari biasanya (pertanian konvensional, tanpa MiG-6PLUS) Perlu diketahui bahwa kandungan udara di sekitar kita adalah 79% Nitrogen dan 21% Oksigen. Mikroba yang terdapat dalam MiG-6PLUS, ada yang berfungsi sebagai penambat N, mikroba inilah yang akan menambatkan N dari udara. Kemudian terdapat juga bakteri selulolitik, bakteri ini berfungsi mendegradasi selulosa yang berasal dari jerami, daun-daun atau bahan-bahan organik lain. Hasil dari pendegradasian tersebut, akan mendapatkan K dan unsur lain. Kandungan P di tanah Indonesia menurut hasil penelitian para ahli tanah adalah masih banyak atau jenuh karena unsur tersebut masih terikat oleh mineral liat tanah, jadi tidak dapat termanfaatkan langsung oleh tanaman. Disinilah fungsi dari mikroba pelarut P tersebut, karena mikroba tersebut akan melarutkan/melepaskan ikatan Phosphat dalam mineral liat tanah, sehingga unsur P dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Menurut penelitian Dr. Lukman Gunarto, menggunakan 6 liter MiG-6PLUS pada 1 Ha lahan sawah, 3 kali aplikasi akan menghasilkan Nitrogen (N2) sebesar 90 kg atau sebanding dengan 200kg Urea, P sebesar 50kg atau sebanding dengan 100kg SP36/TSP dan K sebesar 50kg atau sebanding dengan 83kg KCL, hal inilah yang menjadi acuan mengapa setelah menggunakan MiG-6PLUS dapat menghemat penggunaan pupuk kimia. Penggunaan MiG-6PLUS tidak boleh dicampur dengan bahan-bahan kimia dan dilarutkan dengan air PAM (mengandung kaporit). Karena kandungan yang terdapat dalam MiG-6PLUS merupakan mahluk hidup, apabila

penggunaannya disatukan dengan bahan-bahan kimia, akan menyebabkan tidak optimalnya mikroorganisme tersebut bekerja. Caranya sangat mudah, cukup disemprotkan pada tanah atau media tanam lainya atau disiramkan disekitar akar tanaman dengan dosis tertentu, dosis yang dianjurkan adalah 10ml pupuk hayati MiG-6PLUS dengan maksimum 2 liter air. Tidak masalah, apabila dosis yang diberikan terlalu banyak tidak akan membuat tanaman itu sakit, rusak atau mati. Malahan tanaman menjadi semakin subur. Produk-produk yang di keluarkan MiG corp. telah dikhususkan untuk budidaya tertentu agar hasil yang didapatkan menjadi optimal seperti: pupuk hayati MiG-6PLUS khusus untuk pertanian. Bersambung ke bagian 6 yang dapat dilihat pada pustaka dibawah ini: Pustaka: Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri & Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com. Diposkan oleh Dr. Ir. Abdul Madjid, MS di 21:08 0 komentar Label: Biologi Tanah

TEKNOLOGI PUPUK HAYATI FUNGI PELARUT FOSFAT (Bagian 6)


Teknologi Pupuk Hayati Fungi Pelarut Fosfat (FPF)* Oleh: Rodiah** dan Madjid*** (Bagian 6 dari 6 tulisan) Keterangan: * Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati pada Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. ** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. *** Dosen Pengasuh Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. (Bagian 6 dari 6 tulisan) VI. KESIMPULAN (1) Fosfat merupakan unsur hara makro essensial untuk pertumbuhan tanaman kedua setelah N dan merupakan faktor pembatas dalam produksi tanaman. (2) Mikrobia yang berperanan dalam pelarutan fosfat adalah jamur antara lain: Aspergillus niger, A. candidus, Fusarium, Penicillum, Schlerotium & Phialotobus. Sedangkan dari golongan

aktinomisetes adalah Streptomyces sp. (3) Mikroorganisme pelarut fosfat mampu mengubah senyawa fosfat anorganik tidak larut menjadi bentuk terlarut yaitu Aspergillus awamori, Pennicillium digitatum, aspergillus niger, scwanniomycetes occidentalis, Aspergillus niger, Trichoderma viridae, Penicillium sp., dan Chaetomium sp. (4) Penggunaan pupuk hayati bertujuan untuk meningkatkan jumlah mikroorganisme dan mempercepat proses mikrobologis untuk meningkatkan ketersediaan hara, sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman. VII. DAFTAR PUSTAKA Anas, I., E. Premono dan R. Widyastuti. 1993. Peningkatan efisiensi pemupukan P dengan menggunakan mikroorganisme pelarut P. Pusat Antar Universitas IPB. Bogor. Alexopoulos, C. J., Mims, C.W. and M. Blackwell, M. 1996. Introductory Mycology (4th Ed). John Wiley and Sons, New York, USA. 868p. Baniks, S. 1982. Available phosphate content of an alluvial soils as influenced by inoculation of some isolated phosphate-solubilizing microorganism. Plant soil 60 : 353-364. Buresh, R.J., Smithson, P.C. and Hellums, D.T. 1997. Building soil phospharus capital in Africa. P. 111-149. In. R.J. Buresh et al. (eds). Replenishing soil fertility in Africa SSSA Spec. Publ. 51. SSSA, Madison, WI. Carroll, G.C. and Wicklow, D.T. 1992. The fungal community: Its organization and Role in the Ecosystem. Marcel Deker, Inc., New York. Chonkar and Subba rao. 1967. Phosphate Solubilizing by fungi associated with legume root modules. Canadian, J. Microbial. 13 : 749-752. Dhandhun Baratha. 2004. Hubungan Antarainokulasi Fungi Pelarut Fosfat, Pemberian Sumber C dan Waktu Inkubasi Terhadap Ketersedian P Pupuk Fosfat Alam. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dickinson, J. R. and Schweizer, M. 1999. The metabolism and molecular physiology of Saccharomyces cerevisiae. Philadelphia, PA. 1-44 pp. Dix, N.J. and Webster, J.W. 1995. Fungal Ecology. Chapman & Hall. London. 334-337. Edson L., Souchie, L., Orivaldo J. Saggin, J., Eliane M.R. S., Eduardo F.C. Campello, Rosario Azcn Jose M. Barea. 2006. Communities of P-solubilizing bacteria, fungi and arbuscular mycorrhizal fungi in grass pasture and secondary forest of Paraty, RJ Brazil. http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0001-37652006000100016

Gressel, N and J.G. McColl. 1997. Phosporus mineralization and organic matter decomposition: A critical review. In. K.E. Giller and G. Cadisch (eds). Driven by nature p.297-312. CAB International. Goenadi, D.H., Siswanto and Sugiarto, Y. 2000. Bioactivation of Poorly Soluble Phosphate Rocks with a Phosphorus-Solubilizing Fungus. Soil Science Society of America Journal 64:927932. Hawksworth, D.L. 1991. the fungal dimension of biodiversity: magnitude, significance and conservation. Mycology research 95, 641-655. Hawksworth, D.L., Kirk, P.M., Sutton, B.C. and Pegler, D.N. 1995. Ainsworth and Bisbys Dictionary of the fungi (8th Ed.). CAB International, Wallingford, United Kingdom. 616p. Hutami, S.; Saraswati, R.; Sunarlim, N.; Riyanti, E.I. 2000. Peningkatan efisiensi pemupukan pada kedelai dengan pupuk mikroba pelarut fosfat dan mikoriza Prosiding Lokakarya Penelitian dan Pengembangan Produksi Kedelai di Indonesia, Jakarta (Indonesia), 6-7 Aug 1996 (Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor (Indonesia). Isaac, S., Frankland, J.C., Watling, R. and Whalley, A.J.S. 1993. Aspects of tropical mycology. Cambridge University Press, Cambridge, U.K. Jenis pupuk P. Bio - Fertilizer [Biosol-P] www.indiamart.com/jayenterprises/fertilizers.html Joffe, A.Z. 1986. Fusarium Species: Their biology and toxicology. John Willey & Sons, Inc. New York. 588 pp. Lestari, P. 1994. Pengaruh Fungi Pelarut fosfat terhadap serapan hara P dan pertumbuhan tanaman jagung. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Maningsih, G dan I. Anas. 1996. peranan Aspergillus Niger dan bahan organic dalam transformasi P anorganik tanah. Dalam Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk. Badan Litbang pertanian. Puslittanak. 14 : 31-36. Merton, F and Brotzman, H. 1979. Phytopathogenic fungi: A scanning electron stereoscopic survey. University of Missouri Columbia Extension Division. Columbia, Missouri. 204 pp. Nelson, P.E. 1983. Fusarium Species: An Illustrated manual of identification. The Pennsylvania state University Press. University Park. 193 pp. Paul, E.A dan Clark, F.E. 1989. Soil Microbiology and Biochemistry Academic Press, Inc. New York. USA. Perbedy, J.F. 1987. Pennicilium and Acremonium. Plenum Press, New York. Phaff, H.J., Miller, M.W and Mrak, E.M. 1968. The life of yeast. Harvard university Press. Cambridge, Mass. 23-30, 83-123 pp.

Premono, E. M. 1994. Jasad Renik Pelarut Fosfat, pengaruhnya terhadap P tanah dan efisiensi pemupukan P tanaman tebu. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ramirez, C. 1982. manual and atlas of pennicillia. Elsevier biomedical press, New York. Stevenson, F.J. 1986. Cycles of soil carbon, nitrogen, phosporus, sulphur, micronutrients. John Willey & Sons, New York. 380 p. Subba Rao, N.S. 1977. Soil Microorganism and Plant Growth. Oxford and IBH Publishing Co, New Delhi. Tombe, M. 2008. Sekilas Pupuk Hayati. Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi Webster, J. 1970. Introduction to fungi. Cambridge university Press. Cambridge. 202-204. Yuwono, N. W. 2006. Pupuk Hayati. Universitas Gadjah Mada. [http://nasih.staff.ugm.ac.id/] Diposkan oleh Dr. Ir. Abdul Madjid, MS di 20:57 0 komentar Label: Biologi Tanah

Selasa, 2009 Mei 26


Prospek Pupuk Hayati Mikoriza
PROSPEK PUPUK HAYATI MIKORIZA Oleh: Novriani * dan Madjid** Keterangan: * Dosen Universitas Batu Raja yang sedang mengikuti pendidikan strata S2, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Palembang, Indonesia. ** Dosen Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Palembang, Indonesia. I. PENDAHULUAN Mikroba-mikroba tanah banyak yang berperan di dalam penyediaan maupun penyerapan unsur hara bagi tanaman. Tiga unsur hara penting tanaman, yaitu Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K) seluruhnya melibatkan aktivitas mikroba. Hara N tersedia melimpah di udara. Kurang lebih 74% kandungan udara adalah N. Namun, N udara tidak dapat langsung dimanfaatkan tanaman. N harus ditambat atau difiksasi oleh mikroba dan diubah bentuknya menjadi tersedia bagi tanaman. Mikroba penambat N ada yang bersimbiosis dan ada pula yang hidup bebas. Mikroba penambat N simbiotik antara lain : Rhizobium sp yang hidup di dalam bintil akar tanaman kacangkacangan (leguminose). Mikroba penambat N non-simbiotik misalnya: Azospirillum sp dan Azotobacter sp. Mikroba penambat N simbiotik hanya bisa digunakan untuk tanaman leguminose saja, sedangkan mikroba penambat N non-simbiotik dapat digunakan untuk semua

jenis tanaman. Mikroba tanah lain yang berperan di dalam penyediaan unsur hara adalah mikroba pelarut fosfat (P) dan kalium (K). Tanah pertanian kita umumnya memiliki kandungan P cukup tinggi (jenuh). Namun, hara P ini sedikit/tidak tersedia bagi tanaman, karena terikat pada mineral liat tanah. Di sinilah peranan mikroba pelarut P. Mikroba ini akan melepaskan ikatan P dari mineral liat dan menyediakannya bagi tanaman. Banyak sekali mikroba yang mampu melarutkan P, antara lain: Aspergillus sp, Penicillium sp, Pseudomonas sp dan Bacillus megatherium. Mikroba yang berkemampuan tinggi melarutkan P, umumnya juga berkemampuan tinggi dalam melarutkan K. Kelompok mikroba lain yang juga berperan dalam penyerapan unsur P adalah Mikoriza yang bersimbiosis pada akar tanaman. Setidaknya ada dua jenis mikoriza yang sering dipakai untuk biofertilizer, yaitu: ektomikoriza dan endomikoriza. Mikoriza berperan dalam melarutkan P dan membantu penyerapan hara P oleh tanaman. Selain itu tanaman yang bermikoriza umumnya juga lebih tahan terhadap kekeringan. Contoh mikoriza yang sering dimanfaatkan adalah Glomus sp dan Gigaspora sp. Beberapa mikroba tanah mampu menghasilkan hormon tanaman yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Hormon yang dihasilkan oleh mikroba akan diserap oleh tanaman sehingga tanaman akan tumbuh lebih cepat atau lebih besar. Kelompok mikroba yang mampu menghasilkan hormon tanaman, antara lain: Pseudomonas sp dan Azotobacter sp. Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) adalah salah satu tipe cendawan pembentuk mikoriza yang akhir-akhir ini cukup populer mendapat perhatian dari para peneliti lingkungan dan biologis. Cendawan ini diperkirakan pada masa mendatang dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif teknologi untuk membantu pertumbuhan, meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman terutama yang ditanam pada lahan-lahan marginal yang kurang subur atau bekas tambang/industri. Istilah mikoriza diambil dari Bahasa Yunani yang secara harfiah berarti jamur (mykos = miko) dan akar (rhiza). Jamur ini membentuk simbiosa mutualisme antara jamur dan akar tumbuhan. Jamur memperoleh karbohidrat dalam bentuk gula sederhana (glukosa) dari tumbuhan. Sebaliknya, jamur menyalurkan air dan hara tanah untuk tumbuhan. Mikoriza merupakan jamur yang hidup secara bersimbiosis dengan sistem perakaran tanaman tingkat tinggi. Walau ada juga yang bersimbiosis dengan rizoid (akar semu) jamur. Asosiasi antara akar tanaman dengan jamur ini memberikan manfaat yang sangat baik bagi tanah dan tanaman inang yang merupakan tempat jamur tersebut tumbuh dan berkembang biak. Jamur mikoriza berperan untuk meningkatkan ketahanan hidup bibit terhadap penyakit dan meningkatkan pertumbuhan (Hesti L dan Tata, 2009) Mikoriza dikenal dengan jamur tanah karena habitatnya berada di dalam tanah dan berada di area perakaran tanaman (rizosfer). Selain disebut sebagai jamur tanah juga biasa dikatakan sebagai jamur akar. Keistimewaan dari jamur ini adalah kemampuannya dalam membantu tanaman untuk menyerap unsur hara terutama unsur hara Phosphates (P) (Syibli, 2008). Mikoriza merupakan suatu bentuk hubungan simbiosis mutualistik antar cendawan dengan akar tanaman. Baik cendawan maupun tanaman sama-sama memperoleh keuntungan dari asosiasi ini. infeksi ini

antara lain berupa pengambilan unsur hara dan adaptasi tanaman yang lebih baik. Dilain pihak, cendawan pun dapat memenuhi keperluan hidupnya (karbohidrat dan keperluan tumbuh lainnya) dari tanaman inang (Anas, 1997). Cendawan Mikoriza Arbuskular merupakan tipe asosiasi mikoriza yang tersebar sangat luas dan ada pada sebagian besar ekosistem yang menghubungkan antara tanaman dengan rizosfer. Simbiosis terjadi dalam akar tanaman dimana cendawan mengkolonisasi apoplast dan sel korteks untuk memperoleh karbon dari hasil fotosintesis dari tanaman (Delvian, 2006). CMA termasuk fungi divisi Zygomicetes, famili Endogonaceae yang terdiri dari Glomus, Entrophospora, Acaulospora, Archaeospora, Paraglomus, Gigaspora dan Scutellospora. Hifa memasuki sel kortek akar, sedangkan hifa yang lain menpenetrasi tanah, membentuk chlamydospores (Morton, 2003). Marin (2006) mengemukakan bahwa lebih dari 80% tanaman dapat bersimbiosis dengan CMA serta terdapat pada sebagian besar ekosistem alam dan pertanian serta memiliki peranan yang penting dalam pertumbuhan, kesehatan dan produktivitas tanaman. Berdasarkan struktur dan cara cendawan menginfeksi akar, mikoriza dapat dikelompokkam ke dalam tiga tipe : 1. Ektomikoriza 2. Ektendomikoriza 3. Endomikoriza Ektomikoriza mempunyai sifat antara lain akar yang kena infeksi membesar, bercabang, rambutrambut akar tidak ada, hifa menjorok ke luar dan berfungsi sebagi alat yang efektif dalam menyerap unsur hara dan air, hifa tidak masuk ke dalam sel tetapi hanya berkembang diantara dinding-dinding sel jaringan korteks membentuk struktur seperrti pada jaringan Hartiq. Ektendomikoriza merupakan bentuk antara (intermediet) kedua mikoriza yang lain. Ciri-cirinya antara lain adanya selubung akar yang tipis berupa jaringan Hartiq, hifa dapat menginfeksi dinding sel korteks dan juga sel-sel korteknya. Penyebarannya terbatas dalam tanah-tanah hutan sehingga pengetahuan tentang mikoriza tipe ini sangat terbatas. Endomikoriza mempunyai sifat-sifat antar lain akar yang kena infeksi tidak membesar, lapisan hifa pada permukaan akar tipis, hifa masuk ke dalam individu sel jaringan korteks, adanya bentukan khusus yang berbentuk oval yang disebut Vasiculae (vesikel) dan sistem percabangan hifa yang dichotomous disebut arbuscules (arbuskul) (Brundrett, 2004). Hampir sebagian besar jenis tumbuhan berasosiasi dengan jamur tipe AM (Arbuskul Mikoriza), mulai dari paku-pakuan, jenis rumput-rumputan, padi, hingga pohon rambutan, mangga, karet, kelapa sawit, dll. Sedangkan beberapa keluarga (family) pohon tingkat tinggi yang biasa dijumpai pada tahap suksesi akhir bersimbiosa dengan jamur EM (Ekto Mikoriza), misalnya jenis-jenis meranti, kruing, kamper (jenis-jenis Dipterocarapaceae), pasang, mempening (jenisjenis Fagaceae), pinus, beberapa jenis Myrtaceae (jambu-jambuan) dan beberapa jenis legum. Struktur anatomi AM berbeda dengan EM. Akar yang bersimbiosa dengan EM memiliki struktur

khas berupa mantel (lapisan hifa) yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Struktur mikoriza tersebut berfungsi sebagai pelindung akar, tempat pertukaran sumber karbon dan hara serta tempat cadangan karbohidrat bagi jamur. Hifa jamur EM tidak masuk ke dalam dinding sel tanaman inang. Sedangkan akar yang bersimbiosa dengan AM, harus diamati dibawah mikroskop, karena struktur arbuskular atau vesicular terbentuk di dalam sel tanaman inang dan hanya dapat diamati di bawah mikroskop setelah dilakukan perlakuan khusus dan pewarnaan. Struktur arbuskular dan vesicular berfungsi sebagai tempat cadangan karbon dan tempat penyerapan hara bagi tanaman. Miselium eksternal terdapat pada tipe EM dan AM, merupakan perpanjangan mantel ke dalam tanah. Suatu simbiosis terjadi apabila cendawan masuk ke dalam akar atau melakukan infeksi. Proses infeksi dimulai dengan perkecambahan spora didalam tanah. Hifa yang tumbuh melakukan penetrasi ke dalam akar dan berkembang di dalam korteks. Pada akar yang terinfeksi akan terbentuk arbuskul, vesikel intraseluler, hifa internal diantara sel-sel korteks dan hifa ekternal. Penetrasi hifa dan perkembangnnya biasanya terjadi pada bagian yang masih mengalami proses diferensissi dan proses pertumbuhan. Hifa berkembang tanpa merusak sel (Anas, 1998). Hampir semua tanaman pertanian akarnya terinfeksi cendawan mikoriza. Gramineae dan Leguminosa umumnya bermikoriza. Jagung merupakan contoh tanaman yang terinfeksi hebat oleh mikoriza. Tanaman pertanian yang telah dilaporkan terinfeksi mikoriza vesikular-arbuskular adalah kedelai, barley, bawang, kacang tunggak, nenas, padi gogo, pepaya, selada, singkong dan sorgum. Tanaman perkebunan yang telah dilaporkan akarnya terinfeksi mikoriza adalah tebu, teh, tembakau, palem, kopi, karet, kapas, jeruk, kakao, apel dan anggur (Rahmawati, 2003). Cendawan ini membentuk spora di dalam tanah dan dapat berkembang biak jika berassosiasi dengan tanaman inang. Sampai saat ini berbagai usaha telah dilakukan untuk menumbuhkan cendawaan ini dalam media buatan, akan tetapi belum berhasil. Faktor ini merupakan suatu kendala yang utama sampai saat ini yang menyebabkan CMA belum dapat dipoduksi secara komersil dengan menggunakan media buatan, walaupun pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman sangat mengembirakan. Spora cendawan ini sangat bervariasi dari sekitar 100 mm sampai 600 mm oleh karena ukurannya yang cukup besar inilah maka spora ini dapat dengan mudah diisolasi dari dalam tanah dengan menyaringnya (Pattimahu, 2004). Cendawan CMA membentuk organ-organ khusus dan mempunyai perakaran yang spesifik. Organ khusus tersebut adalah arbuskul (arbuscule), vesikel (vesicle) dan spora. Berikut ini dijelaskan sepintas lalu mengenai struktur dan fungsi dari organ tersebut serta penjelasan lain (Pattimahu, 2004). 1. Vesikel (Vesicle) Vesikel merupakan struktur cendawan yang berasal dari pembengkalan hifa internal secara terminal dan interkalar, kebanyakan berbentuk bulat telur, dan berisi banyak senyawa lemak sehingga merupakan organ penyimpanan cadangan makanan dan pada kondisi tertentu dapat berperan sebagai spora atau alat untuk mempertahankan kehidupan cendawan. Tipe CMA vesikel memiliki fungsi yang paling menonjol dari tipe cendawan mikoriza lainnya. Hal ini dimungkinkan karena kemampuannya dalam berasosiasi dengan hampir 90 % jenis tanaman,

sehingga dapat digunakan secara luas untuk meningkatkan probabilitas tanaman (Pattimahu, 2004). 2. Arbuskul Cendawan ini dalam akar membentuk struktur khusus yang disebut arbuskular. Arbuskula merupakan hifa bercabang halus yang dibentuk oleh percabangan dikotomi yang berulang-ulang sehingga menyerupai pohon dari dalam sel inang (Pattimahu, 2004). Arbuskul merupakan percabangan dari hifa masuk kedalam sel tanaman inang. Masuknya hara ini ke dalam sel tanaman inang diikuti oleh peningkatan sitoplasma, pembentukan organ baru, pembengkokan inti sel, peningkatan respirasi dan aktivitas enzim. Hifa intraseluler yang telah mencapai sel korteks yang lebih dalam letaknya akan menembus dinding sel dan membentuk sistem percabangan hifa yang kompleks, tampak seperti pohon kecil yang mempunyai cabang-cabang yang dibenamkan Arbuskul. Arbuskul berperan dua arah, yaitu antara simbion cendawan dan tanaman inang. Mosse dan Hepper (1975) mengamati bahwa struktur yang dibentuk pada akar-akar muda adalah Arbuskul. Dengan bertambahnya umur, Arbuskul ini berubah menjadi suatu struktur yang menggumpal dan cabang-cabang pada Arbuskul lama kelamaan tidak dapat dibedakan lagi. Pada akar yang telah dikolonisasi oleh CMA dapat dilihat berbagai Arbuskul dewasa yang dibentuk berdasarkan umur dan letaknya. Arbuskul dewasa terletak dekat pada sumber unit kolonisasi tersebut. 3. Spora Spora terbentuk pada ujung hifa eksternal. Spora ini dapat dibentuk secara tunggal, berkelompok atau di dalam sporokarp tergantung pada jenis cendawannya. Perkecambahan spora sangat sensitif tergantung kandungan logam berat di dalam tanah dan juga kandungan Al. kandungan Mn juga mempengaruhi pertumbuhan miselium. Spora dapat hidup di dalam tanah beberapa bulan sampai sekarang beberapa tahun. Namun untuk perkembangan CMA memerlukan tanaman inang. Spora dapat disimpan dalam waktu yang lama sebelum digunakan lagi (Mosse, 1981). Mirip dengan cendawan patogen, hifa cendawan CMA akan masuk ke dalam akar menembus atau melalui celah antar sel epidermis, kemudian apresorium akan tersebar baik inter maupun intraseluler di dalam korteks sepanjang akar. Kadang-kadang terbentuk pula jaringan hifa yang rumut di dalam sel-sel kortokal luar. Setelah proses-proses tersebut berlangsung barulah terbentuk Arbuskul,vesikel dan akhirnya spora (Mosse, 1981). Schubler et al. (2001) dengan menggunakan data molekuler telah menetapkan kekerabatan diantara CMA dan cendawan lainnya. CMA sekarang menjadi filum tersendiri, yang memiliki perbedaan tegas, baik ciri-ciri genetika maupun asal-usul nenek moyangnya, dengan Ascomycota dan Basidiomycota. Taksonomi CMA berubah menjadi filum Glomeromikota yang memiliki empat ordo yaitu 1) Archaeosporales (famili Arachaeosporaceae dan Geosiphonaceae), 2)

Paraglomerales (famili Para-glomerace), 3) Diversisporales (famili Acaulosporaceae, Diversisporaceae, Gigaspora-ceae, dan Pacisporaceae) dan 4) Glomerales (famili Glomerace). Dewasa ini filum Glomeromikota disepakati memiliki dua belas genus yaitu Archaeo-spora, Geosiphon, Paraglomus, Gigaspora, Scutellospora, Acaulospora, Kuklospora, Intraspora, Entrophospora, Diversipora, Pacispora, dan Glomus sp. CMA tidak memiliki inang yang spesifik. Fungi yang sama dapat mengkolonisasi tanaman yang berbeda, tetapi kapasitas fungi untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman bervariasi. Satu spesies fungi dipertimbangkan efisien ketika pada beberapa kondisi lingkungan yang berbeda: 1) dapat mengkolonisasi akar secara cepat dan ekstensif, 2) mampu berkompetisi dengan mikroorganisme yang lain untuk tempat menginfeksi dan mengabsorpsi nutrisi. 3) segera membentuk miselium secara ekstensif dan ekstraradikal, 4) mengabsorpsi dan mentransfer nutrisi ke tanaman, 5) meningkatkan keuntungan non nutrisi kepada tanaman, seperti agregasi dan stabilisasi tanah. Walaupun demikian, biasanya evaluasi hanya mencakup respon tanaman terhadap inokulasi fungi yang berbeda. Oleh karena itu, jarang sekali satu spesies akan efisien pada semua kondisi lingkungan, sehingga memungkinkan bahwa inokulasi multi-spesies menunjukan hasil yang terbaik dibandingkan dengan hanya satu spesies. Hal ini menunjukan adanya kerjasama coexist secara harmonis di dalam akar (Sagin Junior & Da Silva, 2006). CMA beradaptasi secara edaphoclimatic serta dengan kondisi kultur teknis tanaman. CMA yang beradaftasi dengan baik tersebut merupakan fungi indigen yang terseleksi dari ekosistem pada tanaman tersebut. Selanjutnya fungi indigen yang terisolasi harus dievaluasi dalam kaitan respon inokulasi untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman pada kondisi tanah yang berbeda. (Sagin Junior & Da Silva, 2006). Hal ini sejalan dengan penelitian lapangan yang dilakukan Lukiwati (2007) dan Sieverding (1991) bahwa keberhasilan inokulasi CMA tergantung kepada spesies CMA indegen serta potensi dari inokulan sendiri. Lebih jauh dikemukakan bahwa keefektifan populasi CMA indigen berhubungan dengan beberapa faktor seperti status hara tanah, tanaman inang, kepadatan propagula, serta kompetisi antara CMA dan mikroorganisme tanah lainnya. Kepadatan CMA tidak dipengaruhi oleh jenis tanaman penutup tetapi dipengaruhi interaksi antara jenis tanaman penutup dengan interval kedalaman tanah. Kepadatan CMA tertinggi terdapat pada tanaman penutup herba (Chromolaena odorata dan Stoma malabathricum) dengan interval kedalaman 0 5 cm. Sedangkan kepadatan terendah terdapat pada tanaman penutup rumput dengan kedalaman 5-15 cm. Hal ini menunjukan bahwa kedalaman tanah merupakan faktor penting dalam identifikasi dan isolasi propagula CMA (Handayani et al., 2002).

Tingkat kolonisasi akar merupakan prasyarat CMA pada tanaman inang. Tingkat kolonisasi di lapangan tergantung pada spesies tanaman inang, kondisi tanah serta spesies CMA indigen. Persentase kolonisasi juga tergantung kepada kepadatan akar tanaman. Lebih jauh dikatakan bahwa tingkat kolonisasi memberikan gambaran seberapa besar pengaruh luar terhadap hubungan akar dan CMA (Sieverding, 1991).

II. PERKEMBANGAN PENELITIAN MIKORIZA Banyak faktor biotik dan abiotik yaang menentukan perkembangan CMA. Faktor-faktor tersebut antar lain suhu, tanah, kadar air tanah, pH, bahan organik tanah, intensitas cahaya dan ketersediaan hara, logam berat dan fungisida. Berikut ini faktor tersebut diuraikan satu persatu. Suhu Suhu yang relatif tinggi akan meningkatkan aktivitas cendawan. Untuk daerah tropika basah, hal ini menguntungkan. Proses perkecambahan pembentukan CMA melalui 3 tahap yaitu perkecambahan spora di tanah, penetrasi hifa ke dalam sel akar dan perkembangan hifa di dalam korteks akar. Suhu optimum untuk perkecambahan spora sangat beragam tergantung pada jenisnya (Mosse, 1981). Suhu yang tinggi pada siang hari (35 0C) tidak menghambat perkembangan akar dan aktivitas fisiologi CMA. Peran mikoriza hanya menurun pada suhu diatas 40 0C. suhu bukan merupakan faktor pembatas utama bagi aktivitas CMA. Suhu yang sangat tingi lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman inang (Mosse, 1981). Kadar Air tanah Untuk tanaman yang tumbuh di daerah kering, adanya CMA menguntungkan karena dapat meningkatkaan kemampuan tanaman untuk tumbuh dan bertahan pada kondisi yang kurang air. Adanya CMA dapat memperbaiki dan meningkatkan kapasitas serapan air tanaman inang. Vesser et al., (1984) mengamati kenampakan aneh pada bibit tanaman alpukat (Acacua raddiana) yang dinikolasi dengan CMA.pada tengah hari, saat kelembapan air rendah, daun bibit alpukat ber CMA tetap terbuka sedangkan tanaman yang tidak dinokulasi tertutup. Hal ini manandakan bahwa tanaman yang tidak berCMA memiliki evapotranspirasi yang lebih besar dari tanaman ber CMA. Meningkatnya kapasitas serapan air pada tanaman alpukat ber CMA menyebabkan bibit lebih tahan terhadap pemindahan. Ada beberapa dugaan mengapa tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan diantaranya adalah : (1) adanya mikoriza menyebabkan resistensi akar terhadap gerakan air menurun sehingga transport air ke akar meningkat, (2) tanaman kahat P lebih peka terhadap kekeringan, adanya CMA menyebabkan status P tanaman meningkat sehingga menyebabkan daya tahan terhadap kekeringan meningkat pula, (3) adanya hifa ekternal menyebabkan tanaman ber CMA lebih mampu mendapatkan air daripada yang tidak ber CMA, tetapi jika mekanisme ini yang terjadi berarti kandungan logam-logam tanah lebih cepat menurun. Penemuan akhir-akhir ini yang menarik adalah adanya hubungan antara potensial air tanah dan aktivitas mikoriza. Pada tanaman ber mikoriza jumlah air yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 gram bobot kering tanaman lebih sedikit dari pada tanaman yang tidak bermikoriza, karena itu (4) tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan barangkali karena pemakaian air yang lebih ekonomis, (5) pengaruh tidak langsung karena adanya miselium ekternal menyebabkan CMA mampu dalam mengagregasi butir-butir tanah sehingga kemampuan tanah menyimpan air

meningkat (Rotwell, 1984). pH tanah Cendawan pada umunya lebih tahan terhadap perubahan pH tanah. Meskipun demikian daya adaptasi masing-masing spesies cendawan CMA terhadap pH tanah berbeda-beda karena pH tanah mempengaruhi perkecambahan, perkembangan dan peran mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman (Mosse, 1981). Bahan Organik Bahan organik merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang penting disamping bahan anorganik, air dan udara. Jumlah spora CMA tampaknya berhubungan erat dengan kandungan bahan organik di dalam tanah. Jumlah maksimum spora ditemukan pada tanah-tanah yang mengandung bahan organik 1-2 persen sedangkan paada tanah-tanah berbahan organik kurang dari 0.5 persen kandungan spora sangat rendah (Anas, 1997). Residu akar mempengaruhi ekologi cendawan CMA, karena serasah akar yang terinfeksi mikoriza merupakan sarana penting untuk mempertahankan generasi CMA dari satu tanaman ke tanaman berikutnya. Serasah tersebut mengandung hifa, vesikel dan spora yang dapat menginfeksi CMA. Disaamping itu juga berfungsi sebagai inokulan untuk generasi tanaman berikutnya (Anas, 1997). Cahaya dan Ketersediaan Hara Anas (1997) menyimpulkan bahwa intensitas cahaya yang tinggi dengan kekahatan nitrogen ataupun fospor sedang akan meningkatkan jumlah karbohidrat didalam akar sehingga membuat tanaman lebih peka terhadap infeksi oleh cendawaan CMA. Derajat infeksi terbesar terjadi pada tanah-tanah yang mempunyai kesuburan yang rendah. Pertumbuhan perakaran yang sangat aktif jarang terinfeksi oleh CMA. Jika pertumbuhan dan perkembangan akar menurun infeksi CMA meningkat. Peran mikoriza yang erat dengan penyedian P bagi tanaman menunjukan keterikatan khusus antara mikoriza dan status P tanah. Pada wilayah beriklim sedang konsentrasi P tanah yang tinggi menyebabkan menurunnya infeksi CMA yang mungkin disebabkan konsentrasi P internal yang tinggi dalam jaringan inang (Anas., 1997). Penagruh Logam Berat dan Unsur lain Pada tanah-tanah tropika sering permasalahan salinitas dan keracunan alumunium maupun mangan. Sedikit diketahui pangaruh CMA pada pengambilan sodium, klor, alumunium dan mangan. Disamping itu pengetahuan mengenaai pengaruh masing-masing ion tersebut terhadap

terhadap CMA secara langsung maupun dalam hubungannya dengan pertumbuhan tanaman atau metabolisme inang belum banyak yang diketahui. Mosse (1981) mengamati infeksi CMA lebih tinggi pada tanah yang mengalami kekahatan Mn daripada yang tidak. Pada percobaan dengan menggunakan tiga jenis tanah dari wilayah iklim sedang didapatkan bahwa pengaruh menguntungkan karena adanya CMA menurun dengan naiknya kandungan Al di dalam tanah. Alumunium di ketahui menghambat muncul jika ke dalam larutan tanah ditambahkan kalsium (Ca). Jumlah Ca di dalam larutan tanah rupa-rupanya mempengaruhi perkembangan CMA. Tanaman yang ditumbuhkan pada tanah yaang memilik derajat infeksi CMA yang rendah (Happer et al., 1984 dalam Anas, 1997). Hal ini mungkin karena peran Ca2+ dalam memelihara integritas membran sel. Beberapa spesies CMA diketahui mampu beradaptasi dengan tanah yang tercemar seng (Zn), tetapi sebagian besar spesies CMA peka terhadap kandungan Zn yang tinggi. Pada beberapa penelitian lain diketahui pula bahwa strain-strain cendawan CMA tertentu toleran terhadap kandungan Mn, Al, dan Na yang tinggi (Mosse, 1981). Fungisida Fungisida merupakan racun kimia yang dirakit untuk membunuh cendawan penyebab penyakit pada tanaman. Rupa-rupanya di samping mampu memberantas cendawan penyebab penyakit, fungisida Agrosan, Benlate, Plantavax, meskipun dalam konsentrasi yang sangat rendah (2.5 mg per g tanah) menyebabkan turunnya kolonisasi CMA yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman dan pengambilan P (Manjunath dan Bagyaraj, 1984). Pemakaian fungisida menjadi dilematis, di satu pihak jika fungisida tidak dipakai maka tanaman yang terserang cendawan bisa mati atau merosot hasilnya, tetapi jika dipakai membunuh cendawan CMA yang sangat berguna bagi pertumbuhan tanaman. Pada masa depan perlu dicari satu cara untuk mengendalikan penyakit tanaman tanpa menimbulkan pengaruh yang merugikan terhadap jasad renik berguna di dalam tanah. Praktek pengendalian secara biologis perlu mendapat perhatian lebih serius karena memberikan dampak negatif yang mampu bertindak sebagai pengendali hayati yang aktif terhadap serangan patogen akar (Marx, 1982 dalam Anas, 1997). Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkecambahan spora cendawan mikoriza. Kondisi lingkungan dan edapik yang cocok untuk perkecambahan biji dan pertumbuhan akar tanaman biasanya juga cocok untuk perkecambahan spora cendawan. Cendawan pada umumnya memiliki ketahanan cukup baik pada rentang faktor lingkungan fisik yang lebar. Mikoriza tidak hanya berkembang pada tanah berdrainase baik, tapi juga pada lahan tergenang seperti pada padi sawah (Solaiman dan Hirata, 1995). Bahkan pada lingkungan yang sangat miskin atau lingkungan yang tercemar limbah berbahaya, cendawan mikoriza masih memperlihatkan eksistensinya (Aggangan et al, 1998). Sifat cendawan mikoriza ini dapat dijadikan sebagai dasar dalam upaya bioremidiasi lahan kritis. Ekosistem alami mikoriza di daerah tropika (tropical rain forest), dicirikan oleh keragaman

spesies yang sangat tinggi, khususnya dari jenis ektomikoriza (Munyanziza et al 1997). Hutan alami yang terdiri dari banyak spesies tanaman dan umur yang tidak seragam sangat mendukung perkembangan mikoriza. Konversi hutan untuk lahan pertanian akan mengurangi keragaman jenis dan jumlah propagul cendawan, karena perubahan spesies tanaman, jumlah bahan organik yang dihasilkan, unsur hara dan struktur tanah. Hutan multi spesies berubah menjadi hutan monokultur dengan umur seragam sangat berpengaruh terhadap jumlah dan keragaman mikoriza. Selang waktu antara pembukaan lahan dengan tanaman komersial berikutnya biasanya cukup lama dan tanah dibiarkan dalam keadaan kosong sehingga terjadi perubahan drastis pada iklim mikro yang cendrung kering. Akumulasi perubahan lingkungan mulai dari pembabatan hutan, pembakaran, kerusakan struktur dan pemadatan tanah akan mengurangi propagul cendawan mikorisa. Praktek pertanian seperti pengolahan tanah, cropping sistem, ameliorasi dengan bahan organik, pemupukan dan penggunaan pestisida sangat berpengaruh terhadap keberadaan mikoriza (Zarate dan Cruz, 1995). Pengolahan tanah yang intensif akan merusak jaringan hifa ekternal cendawan mikoriza. Penelitian McGonigle dan Miller (1993), menunjukkan bahwa pengolahan tanah minimum akan meningkatkan populasi mikoriza dibanding pengolahan tanah konvensional. Usahatani tumpangsari jagung-kedelai juga diketahui meningkatkan perkembangbiakan cendawan VAM. Ameliorasi tanah dengan bahan organik sisa tanaman atau pupuk hijau merangsang perkembangbiakan cendawan VAM. Dalam budidaya tradisional, pengolahan tanah berulang-ulang dan panen menyebabkan erosi hara dan bahan organik dari lahan tersebut dan ini berpengaruh terhadap populasi AM. Dalam pertanian modern yang menggunakan pupuk dan pestisida berlebihan (Rao, 1994) serta terjadinya kompaksi tanah oleh alsintan (McGonigle dan Miller, 1993) berpengaruh negatif terhadap mikoriza. Konsekuensinya adalah produktivitas sistem pertanian akan sangat tergantung pada pupuk buatan dan pestisida. Pemanfaatan CMA termasuk ke dalam kelompok endomikoriza pada beberapa tanaman komersial telah menunjukkan hasil yang cukup baik terlihat dari beberapa penelitian berikut ini: Inokulasi CMA pada apel dapat meningkatkan kandungan P pada daun dari 0,04 menjadi 0, 1 9% (Gededda et al. 1984). Penggunaan CMA (Glomus etunicatum dan Gigaspora margarita) dapat meningkatkan pertumbuhan beberapa jenis bibit apel dan mendorong pertumbuhan tanaman di pembibitan (Matsubara et al. 1996). Pada tanaman pisang, inokulasi mikoriza juga mampu meningkatkan pertambahan tinggi tanaman serta kandungan hara N, P, K, dan Ca pada daun (Muas dan Jumjunidang 1994). Inokulasi CMA pada bibit jeruk dapat memacu pertumbuhannya (Jawal et al. 2005). Dalam pemanfaatan CMA pada suatu tanaman, jenis dan macam inokulum yang digunakan cukup menentukan dalam keberhasilan pencapaian sasaran. Penggunaan inokulum CMA campuran yang terdiri dari beberapa spesies tampaknya lebih efektif daripada penggunaan spesies tunggal (Camprubi dan Calvet, 1996). Untuk tanaman manggis, CMA campuran yang berasal dari daerah Padang, Sawahlunto Sijunjung, dan Limapuluh Kota mampu mempercepat pertumbuhan semaian manggis sekitar 40% dibandingkan dengan semaian yang tidak diinokulasi dengan mikoriza (Muas et al. 2002).

Inokulasi species CMA juga berpengaruh terhadap tinggi bibit hanya pada umur 4 dan 20 MST, jumlah daun pada umur 4, 8 dan 28 MST, bobot kering tajuk, bobot kering total dan serapan Ptajuk bibit kelapa sawit. Secara umum pemberian CMA belum dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit dan serapan P-tajuk Inokulasi G. manihotis pada perakaran bibit kelapa sawit menurunkan secara nyata tinggi bibit pada umur 4 dan 20 MST berturut-turut sebesar 37.7% dan 4.5% dibandingkan dengan kontrol, sedangkan inokulasi G. aggregatum tidak berbeda dengan kontrol. Demikian pula terhadap jumlah daun pada umur 4 dan 8 MST, G. manihotis menurunkan jumlah daun berturut-turut sebesar 40% dan 8.7% dibandingkan dengan kontrol, sedangkan inokulasi G. aggregatum tidak berbeda dengan kontrol. Pada umur 28 MST kedua species CMA meningkatkan jumlah daun secara nyata masing- masing sebesar 5.2% dibandingkan dengan kontrol.

III. PEMANFAATAN MIKORIZA Tanaman yang bermikoriza tumbuh lebih baik dari tanaman tanpa bermikoriza. Penyebab utama adalah mikoriza secara efektif dapat meningkatkan penyerapan unsur hara baik unsur hara makro maupun mikro. Selain daripada itu akar yang bermikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan yang tidak tersedia bagi tanaman (Anas, 1997). Selain daripada membentuk hifa internal, mikoriza juga membentuk hifa ekternal. Pada hifa ekternal akan terbentuk spora, yang merupakan bagian penting bagi mikoriza yang berada diluar akar. Fungsi utama dari hifa ini adalah untuk menyerap fospor dalam tanah. Fospor yang telah diserap oleh hifa ekternal, akan segera dirubah manjadi senyawa polifosfat. Senyawa polifosfat ini kemudian dipindahkan ke dalam hifa internal dan arbuskul. Di dalam arbuskul. Senyawa polifosfat ini kemudian dipindahkan ke dalam hifa internal dan arbuskul. Di dalam arbuskul senyawa polifosfat dipecah menjadi posfat organik yang kemudian dilepaskan ke sel tanaman inang. Adanya hifa ekternal ini penyerapan hara terutama posfor menjadi besar dibanding dengan tanaman yang tidak terinfeksi dengan mikoriza. Peningkatan serafan posfor juga disebabkan oleh makin meluasnya daerah penyerapan, dan kemampuan untuk mengeluarkan suatu enzim yang diserap oleh tanaman. Sebagai contoh dapat dilihat pengaruh mikoriza terhadap pertumbuhan berbagai jenis tanaman dan juga kandungan posfor tanaman (Anas, 1997). Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan adanya simbiosis ini adalah: 1) miselium fungi meningkatkan area permukaan akuisisi hara tanah oleh tanaman, 2) meningkatkan toleransi terhadap kontaminasi logam, kekeringan, serta patogen akar, 3) memberikan akses bagi tanaman untuk dapat memanfaatkan hara yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman (Gentili & Jumpponen, 2006). Selanjutnya Sagin Junior dan Da Silva (2006) mengungkapkan bahwa adanya mikoriza berpengaruh terhadap: 1) adanya peningkatan absorpsi hara, sehingga waktu yang diperlukan untuk mencapai akar lebih cepat,

2) meningkatkan toleransi terhadap erosi, pemadatan, keasaman, salinitas, 3) melindungi dari herbisida, serta 4) memperbaiki agregasi partikel tanah. Cumming dan Ning (2003) mengemukakan bahwa simbiosis CMA berperan penting dalam resistansi tanaman terhadap Al. Pengaruh ini terutama terlihat pada peningkatan serapan hara yang diperlukan tanaman (P, Cu, dan Zn). Selain itu, CMA mereduksi akumulasi elemen lain seperti Al, Fe, dan Mn yang menjadi masalah pada tanah masam. Penelitian oleh Lee dan George (2001) menunjukkan bahwa hara P, Zn, dan Cu diserap dan ditransportasikan ke tanaman inang oleh hifa CMA dan sebaliknya unsur-unsur Cd dan Ni tidak ditransportasikan oleh hifa ke tanaman inang. Hal ini menunjukan bahwa kolonisasi CMA dapat melindungi tanaman dari pengaruh toksik unsur Cd dan Ni tersebut. Pada kedelei, infeksi CMA menstimulasi penyerapan Zn. Dengan adanya CMA, konsentrasi Zn pada daun lebih tinggi. Konsentrasi Cu lebih tinggi pada tanaman dengan CMA dibandingkan dengan tanaman tanpa CMA pada tahap awal pertumbuhan, tetapi menurun pada saat berbunga dan setelah itu meningkat lagi (Raman dan Mahadevan, 2006). Hal ini sejalan dengan Pacovsky et al. (1986) yang mengemukakan bahwa adanya penurunan penyerapan Mn dan Fe sedangkan P, Zn dan Cu meningkat. Perbaikan pertumbuhan tanaman karena mikoriza bergantung pada jumlah fosfor yang tersedia di dalam tanah dan jenis tanamannya. Pengaruh yang mencolok dari mikoriza sering terjadi pada tanah yang kekurangan fosfor. Efisiensi pemupukan P sangat jelas meningkat dengan penggunaan mikoriza. Hasil penelitian Mosse (1981) menunjukkan bahwa tanpa pemupukan TSP produksi singkong pada tanaman yang tidak bermikoriza kurang dari 2 g, sedangkan ditambahkan TSP pada takaran setara dengan 400 kg P/ha, masih belum ada peningkatan hasil singkong pada perlakuan tanpa mikoriza. Hasil baru meningkat bila 800 kg P/ha ditambahkan. Pada tanaman yang diinfeksi mikoriza, penambahan TSP setara dengan 200 kg P/ha saja telah cukup meningkatkan hasil hampir 5 g, penambahan pupuk selanjutnya tidak begitu nyata meningkatkan hasil. Manfaat lain pada tanaman yang diberi mikoriza adalah : 1. Peningkatan Ketahanan terhadap Kekeringan Tanaman yang bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan dari pada yang tidak bermikoriza. Rusaknya jaringan korteks akibat kekeringan dan matinya akar tidak akan permanen pengaruhnya pada akar yang bermikoriza. Setelah periode kekurangan air (water stress), akar yang bermikoriza akan cepat kembali normal. Hal ini disebabkan karena hifa cendawan mampu menyerap air yang ada pada pori-pori tanah saat akar tanaman tidak mampu lagi menyerap air. Penyebaran hifa yang sangat luas di dalam tanah menyebabkan jumlah air yang diambil meningkat (Anas, 1997). Jaringan hifa ekternal dari mikoriza akan memperluas bidang serapan air dan hara. Disamping itu ukuran hifa yang lebih halus dari bulu-bulu akar memungkinkan hipa bisa menyusup ke pori-pori

tanah yang paling kecil (mikro) sehingga hifa bisa menyerap air pada kondisi kadar air tanah yang sangat rendah (Killham, 1994). Serapan air yang lebih besar oleh tanaman bermikoriza, juga membawa unsur hara yang mudah larut dan terbawa oleh aliran masa seperti N, K dan S. sehingga serapan unsur tersebut juga makin meningkat. Kendala pokok pembudidayaan lahan kering ialah keterbatasan air, baik itu curah hujan maupun air aliran permukaan. Notohadinagoro (1997) mengatakan bahwa tingkat kekeringan pada lahan kering sampai batas tertentu dipengaruhi oleh daya tanah menyimpan air. Tingkat kekeringan berkurang atau lamanya waktu tanpa kekurangan air (water stress) bertambah panjang apabila tanah mempunyai daya simpan air besar. Sebaliknya tingkat kekeringan meningkat, atau lamanya waktu dengan kekurangan air bertambah panjang apabila tanah mempunyai daya simpan air kecil. Lama waktu tanpa atau dengan sedikit kekurangan air menentukan masa musim pertumbuhan tanaman, berarti lama waktu pertanaman dapat dibudidayakan secara tadah hujan. Inokulasi mikoriza yang mempunyai hifa akan membantu proses penyerapan air yang terikat cukup kuat pada pori mikro tanah. Sehingga panjang musim tanam tanaman pada lahan kering diharapkan dapat terjadi sepanjang tahun. Sejumlah percobaan telah membuktikan hubungan saling menguntungkan, yaitu adanya cendawan mikoriza sangat meningkatkan efisiensi penyerapan mineral dari tanah. Cendawan MVA mempunyai hubungan mutualistik dengan tanaman inang, dengan jalan memobilisasi fosfor dan hara mineral lain dalam tanah, kemudian menukarkan hara ini dengan karbon inang dalam bentuk fotosintat. 2. Lebih Tahan terhadap Serangan Patogen Akar Mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui perlindungan tanaman dari patogen akar dan unsur toksik. Imas et al (1993) menyatakan bahwa struktur mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi bagi terjadinya patogen akar. Terbungkusnya permukaan akar oleh mikoriza menyebabkan akar terhindar dari serangan hama dan penyakit. Infeksi patogen akar terhambat. Tambahan lagi mikoriza menggunakan semua kelebihan karbohidrat dan eksudat akar lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok bagi patogen. Dilain pihak, cendawan mikoriza ada yang dapat melepaskan antibiotik yang dapat mematikan patogen (Anas,1997). Mekanisme perlindungan dapat diterangkan sebagai berikut : 1. Adanya selaput hifa (mantel) dapat berfungsi sebagai barier masuknya patogen. 2. Mikoriza menggunakan hampir semua kelebihan karbohidrat dan eksudat lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok untuk patogen. 3. Cendawan mikoriza dapat mengeluarkan antibiotik yang dapat mematikan patogen. 4. Akar tanaman yang sudah diinfeksi cendawan mikoriza, tidak dapat diinfeksi oleh cendawan patogen yang menunjukkan adanya kompetisi. Mikoriza juga dapat melindungi tanaman dari ekses unsur tertentu yang bersifat racun seperti logam berat (Killham, 1994). Mekanisme perlindungan terhadap logam berat dan unsur beracun yang diberikan mikoriza dapat melalui efek filtrasi, menonaktifkan secara kimiawi atau penimbunan unsur tersebut dalam hifa cendawan. Khan (1993) menyatakan bahwa VAM dapat terjadi secara alami pada tanaman pioner di lahan buangan limbah industri, tailing tambang batubara, atau lahan terpolusi lainnya. Inokulasi dengan inokulan yang cocok dapat mempercepat

usaha penghijauan kembali tanah tercemar unsur toksik. Mikoriza juga bisa memberikan kekebalan bagi tumbuhan inang. Mikoriza ini menjadi pelindung fisik yang kuat, sehingga perakaran sulit ditembus penyakit (patogen), sebab jamur ini mampu membuat bahan antibotik untuk melawan penyakit. Mikoriza sangat mengurangi perkembangan penyakit busuk akar yang disebabkan oleh Phytopthora cenamoni. Demikian pula mikoriza telah dilaporkan dapat mengurangi serangan nematode. Jika terhadap jasad renik berguna, CMA memberikan sumbangan yang menguntungkan, sebaliknya terhadap jasad renik penyebab penyakit CMA justru berperan sebagai pengendali hayati yang aktif terutama terhadap serangan patogen akar (Huang et al., 1993). Interaksi sebenarnya antara CMA, patogen akar, dan inang cukup kompleks dan kemampuan CMA dalam melindungi tanaman terhadap serangan patogen tergantung spesies, atau strain cendawan CMA dan tanaman yang terserang (Mosse, 1981). Namun demikian tidak selamanya mikoriza memberikan pengaruh yang menguntungkan dari segi patogen. Pada tanaman tertentu, adanya mikoriza menarik perhatian zoospora Phytopthora, sehingga tanaman menjadi lebih peka terhadap penyakit busuk akar. 3. Produksi Hormon dan zat Pengatur Tumbuh Telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa cendawan mikoriza dapat menghasilkan hormon seperti, sitokinin dan giberalin. Zat pengatur tumbuh seperti vitamin juga pernah dilaporkan sebagai hasil metabolisme cendawan mikoriza (Anas, 1997). Cendawan mikoriza bisa membentuk hormon seperti auxin, citokinin, dan giberalin, yang berfungsi sebagai perangsang pertumbuhan tanaman. 4. Manfaat Tambahan dari Mikoriza Penggunaan inokulum yang tepat dapat menggantikan sebagian kebutuhan pupuk. Sebagai contoh mikoriza dapat menggantikan kira-kira 50% kebutuhan fosfor, 40% kebutuhan nitrogen, dan 25% kebutuhan kalium untuk tanaman lamtoro (De la cruz, 1981 dalam Husin dan Marlis, 2000). Penggunaan mikoriza lebih menarik ditinjau dari segi ekologi karena aman dipakai, tidak menyebabkan pencemaran lingkungan. Bila mikoriza tertentu telah berkembang dengan baik di suatu tanah, maka manfaatnya akan diperoleh untuk selamanya. Mikoriza juga membantu tanaman untuk beradaptasi pada pH yang rendah. Demikian pula vigor tanaman bermikoriza yang baru dipindahkan kelapang lebih baik dari yang tanpa mikoriza (Anas, 1997). Mikoriza berpegaruh juga dari segi fisik, yaitu dengan adanya hifa eksternal mikoriza banyak mengandung logam berat, dan daerah tambang memberikan harapan tersendiri untuk digunakan pada proyek rehabilitasi/reklamasi daerah bekas tambang. Bahkan ada mikoriza yang menginfeksi tanaman yang tumbuh di dalam air. Hasil penelitian sementara staf Jurusan Tanah,

Fakultas Pertanian IPB menunjukkan bahwa dari akar padi sawah juga dapat diinokulasi mikoriza tertentu. Bila ini benar, maka tidak mustahil mikoriza akan memegang peranan sangat penting dalam pengembangan pertanian di Indonesia (Anas, 1997). 5. Perbaikan Struktur Tanah. Mikoriza merupakan salah satu dari jenis jamur. Jamur merupakan suatu alat yang dapat memantapkan struktur tanah. Cendawan mikoriza melalui jaringan hifa eksternal dapat memperbaiki dan memantapkan struktur tanah. Sekresi senyawa-senyawa polisakarida, asam organik dan lendir oleh jaringan hifa eksternal yang mampu mengikat butir-butir primer menjadi agregat mikro. "Organic binding agent" ini sangat penting artinya dalam stabilisasi agregat mikro. Kemudian agregat mikro melalui proses "mechanical binding action" oleh hifa eksternal akan membentuk agregat makro yang mantap. Wright dan Uphadhyaya (1998) mengatakan bahwa cendawan VAM mengasilkan senyawa glycoprotein glomalin yang sangat berkorelasi dengan peningkatan kemantapan agregat.. Menurut Hakim, et al (1986) faktor-faktor yang terlibat dalam pembentukan struktur adalah organisme, seperti benang-benang jamur yang dapat mengikat satu partikel tanah dan partikel lainnya Selain akibat dari perpanjangan dari hifa-hifa eksternal pada jamur mikoriza, sekresi dari senyawa-senyawa polysakarida, asam organik dan lendir yang di produksi juga oleh hifa-hifa eksternal, akan mampu mengikat butir-butir primer/agregat mikro tanah menjadi butir sekunder/agregat makro. Agen organik ini sangat penting dalm menstabilkan agregat mikro dan melalui kekuatan perekat dan pengikatan oleh asam-asam dan hifa tadi akan membentuk agregat makro yang mantap (Subiksa, 2002). Prinsip kerja dari mikoriza ini adalah menginfeksi sistem perakaran tanaman inang, memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman yang mengandung mikoriza tersebut akan mampu meningkatkan kapasitas dalam penyerapan unsur hara (Iskandar, 2002). Konsentrasi glomalin lebih tinggi ditemukan pada tanah-tanah yang tidak diolah dibandingkan dengan yang diolah. Glomalin dihasilkan dari sekresi hifa eksternal bersama enzim-enzim dan senyawa polisakarida lainnya. Pengolahan tanah menyebabkan rusaknya jaringan hifa sehingga sekresi yang dihasilkan sangat sedikit. Pembentukan struktur yang mantap sangat penting artinya terutama pada tanah dengan tekstur berliat atau berpasir. Thomas et al (1993) menyatakan bahwa cendawan VAM pada tanaman bawang di tanah bertekstur lempung liat berpasir secara nyata menyebabkan agregat tanah menjadi lebih baik, lebih berpori dan memiliki permeabilitas yang tinggi, namun tetap memiliki kemampuan memegang air yang cukup untuk menjaga kelembaban tanah.. Struktur tanah yang baik akan meningkatkan aerasi dan laju infiltrasi serta mengurangi erosi tanah, yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Dengan demikian mereka beranggapan bahwa cendawan mikoriza bukan hanya simbion bagi tanaman, tapi juga bagi tanah. Pembentukan struktur tanah yang baik merupakan modal bagi perbaikan sifat fisik tanah yang lain. Sifat-sifat fisik tanah yang diperbaiki akibat terbentuknya struktur tanah yang baik seperti perbaikan porositas tanah, perbaikan permeabilitas tanah serta perbaikan dari pada tata udara

tanah. Perbaikan dari struktur tanah juga akan berpengaruh langsung terhadap perkembangan akar tanaman. Pada lahan kering dengan makin baiknya perkembangan akar tanaman, akan lebih mempermudah tanaman untuk mendapatkan unsur hara dan air, karena memang pada lahan kering faktor pembatas utama dalam peningkatan produktivitasnya adalah kahat unsur hara dan kekurangan air. Akibat lain dari kurangnya ketersediaan air pada lahan kering adalah kurang atau miskin bahan organik. Kemiskinan bahan organik akan memburukkan struktur tanah, lebih-lebih pada tanah yang bertekstur kasar sehubungan dengan taraf pelapukan rendah. 6. Meningkatkan Serapan Hara P Hal sangat penting, yaitu Mikoriza juga diketahui berinteraksi sinergis dengan bakteri pelarut fosfat atau bakteri pengikat N. Inokulasi bakteri pelarut fosfat (PSB) dan mikoriza dapat meningkatkan serapan P oleh tanaman tomat (Kim et al,1998) dan pada tanaman gandum (Singh dan Kapoor, 1999). Adanya interaksi sinergis antara VAM dan bakteri penambat N2 dilaporkan oleh Azcon dan Al-Atrash (1997) bahwa pembentukan bintil akar meningkat bila tanaman alfalfa diinokulasi dengan Glomus moseae. Sebaliknya kolonisasi oleh jamur mikoriza meningkat bila tanaman kedelai juga diinokulasi dengan bakteri penambat N, B. japonicum.cendawan mikoriza ini memiliki enzim pospatase yang mampu menghidrolisis senyawa phytat (my-inosital 1,2,3,4,5,6 hexakisphospat). Phytat adalah senyawa phospat komplek, phytat tertimbun didalam tanah hingga 20%-50% dari total phospat organik, merupakan pengikat kuat (chelator) bagi kation seperti Kalsium (Ca++), Magnesium (Mg++), Seng (Zn++), Besi (Fe++), dan protein. Phytat di dalam tanah merupakan sumber phosphat, dengan bantuan enzim phospatase phytat dapat dihidrolisis menjadi myoinosital, phosphor bebas dan mineral, sehingga ketersediaan phosphor dan mineral dalam tanah dapat terpenuhi. Dengan demikian cendawan mikoriza terlibat dalam siklus dan dapat memanen unsur P. Di beberapa negara terungkap bahwa beberapa jenis tanaman memberikan respon positif terhadap inokulasi cendawan mikoriza (MVA). Tanaman bermikoriza dapat menyerap P, dalam jumlah beberapa kali lebih besar dibanding tanaman tanpa mikoriza, khususnya pada tanah yang miskin P. Disamping itu tanaman yang terinfeksi MVA ternyata daya tahan tanaman dan laju fotosintesis lebih tinggi dibanding tanaman tanpa MVA, meskipun konsentrasi P pada daun rendah (kekurangan). Dengan adanya hifa (benang-benang yang bergerak luas penyebarannya), maka tanaman menjadi lebih tahan kekeringan. Hifa cendawan ini memiliki kemampuan istimewa, disaat akar tanaman sudah kesulitan menyerap air, hifa jamur masih mampu meyerap air dari pori-pori tanah. Secara alami mikoriza terdapat secara luas, mulai dari daerah artik tundra sampai ke daerah tropis dan dari daerah bergurun pasir sampai ke hutan hujan tropis, yang melibatkan lebih dari 80% tumbuhan yang ada (Subiksa, 2002). Perkembangan kehidupan mikoriza berlangsung di dalam jaringan akar tanaman inang, setelah didahului dengan proses infeksi akar. Prihastuti et al., (2006) menyatakan bahwa lahan kering masam di Lampung Tengah banyak mengandung mikoriza vesikular-arbuskular, yang diindikasikan dengan tingginya tingkat infeksi akar, yaitu mencapai 70,5090,33%. Lahan kering masam merupakan lahan yang kurang produktif, namun

sangat luas ketersediaannya dan berpotensi untuk dikembangkan (Sudaryono, 2006). Lahan kering masam merupakan lahan yang perlu diupayakan kesuburannya untuk digunakan sebagai areal tanam komoditi pangan. Mikoriza mampu tumbuh dan berkembang dengan baik pada lingkungan yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan mikroba tanah lainnya (Keltjen, 1997). Semakin banyak tingkat infeksi akar yang terjadi, memungkinkan jaringan hifa eksternal yang dibentuk semakin panjang dan menjadikan akar mampu menyerap fosfat lebih cepat dan lebih banyak (Stribley, 1987). Mikoriza mempunyai peranan yang cukup besar dalam meningkatkan produktivitas tanaman di lahan marginal maupun dalam menjaga keseimbangan lingkungan (Aher, 2004). Dengan demikian inokulasi mikoriza diharapkan dapat membantu dalam merehabilitasi lahan kritis, yang sampai saat ini belum ada usaha pelestarian lahan kritis secara maksimal. Hubungan timbal balik antara cendawan mikoriza dengan tanaman inangnya mendatangkan manfaat positif bagi keduanya (simbiosis mutualistis). Karenanya inokulasi cendawan mikoriza dapat dikatakan sebagai 'biofertilization", baik untuk tanaman pangan, perkebunan, kehutanan maupun tanaman penghijauan (Killham, 1994). Bagi tanaman inang, adanya asosiasi ini, dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi pertumbuhannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, cendawan mikoriza berperan dalam perbaikan struktur tanah, meningkatkan kelarutan hara dan proses pelapukan bahan induk. Sedangkan secara langsung, cendawan mikoriza dapat meningkatkan serapan air, hara dan melindungi tanaman dari patogen akar dan unsur toksik. Nuhamara (1994) mengatakan bahwa sedikitnya ada 5 hal yang dapat membantu perkembangan tanaman dari adanya mikoriza ini yaitu : 1. Mikoriza dapat meningkatkan absorpsi hara dari dalam tanah 2. Mikoriza dapat berperan sebagai penghalang biologi terhadap infeksi patogen akar. 3. Meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan kelembaban yang ekstrim 4. Meningkatkan produksi hormon pertumbuhan dan zat pengatur tumbuh lainnya seperti auxin. 6. Menjamin terselenggaranya proses biogeokemis. Dalam kaitan dengan pertumbuhan tanaman, Plencette et al dalam Munyanziza et al (1997) mengusulkan suatu formula yang dikenal dengan istilah "relatif field mycorrhizal depedency" (RFMD) : RFMD = [ (BK. tanaman bermikoriza - BK. tanaman tanpa mikoriza) / BK. Tanaman tanpa mikoriza ] x 100 % Namun demikian, respon tanaman tidak hanya ditentukan oleh karakteristik tanaman dan cendawan, tapi juga oleh kondisi tanah dimana percobaan dilakukan. Efektivitas mikoriza dipengaruhi oleh faktor lingkungan tanah yang meliputi faktor abiotik (konsentrasi hara, pH, kadar air, temperatur, pengolahan tanah dan penggunaan pupuk/pestisida) dan faktor biotik (interaksi mikrobial, spesies cendawan, tanaman inang, tipe perakaran tanaman inang, dan kompetisi antar cendawan mikoriza). Adanya kolonisasi mikoriza dengan respon tanaman yang rendah atau tidak ada sama sekali menunjukkan bahwa cendawan mikoriza lebih bersifat parasit (Solaiman dan Hirata, 1995).

7. Peranan Mikoriza Pada Perbaikan Lahan Kritis 7.1. Lahan yang ditumbuhi tanaman Alang-Alang Padang alang-alang tersebar luas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pulau besar lainnya. Lahan alang-alang pada umumnya adalah tanah mineral masam, miskin hara dan bahan organik, kejenuhan Al tinggi. Disamping itu padang alang-alang juga memiliki sifat fisik yang kurang baik sehingga kurang menguntungkan kalau diusahakan untuk lahan pertanian. Alang-alang dikenal sebagai tanaman yang sangat toleran terhadap kondisi yang sangat ekstrim. Diketahui bahwa alang-alang berasosiasi dengan berbagai cendawan mikoriza arbuscular seperti Glomus sp., Acaulospora dan Gigaspora (Widada dan Kabirun ,1997). Kemasaman dan Al-dd tinggi bukan merupakan faktor pembatas bagi cendawan mikoriza tersebut, tapi merupakan masalah besar bagi tanaman/tumbuhan. Dengan demikian cendawan mikoriza ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman pangan. Kabirun dan Widada (1994) menunjukkan bahwa inokulasi MVA mampu meningkatkan pertumbuhan, serapan hara dan hasil kedelai pada tanah Podsolik dan Latosol. Pada tanah Podsolik serapan hara meningkat dari 0,18 mg P/tanaman menjadi 2,15 mg P/tanaman., sedangkan hasil kedelai meningkat dari 0,02 g biji/tanaman menjadi 5,13 g biji/tanaman. Pada tanah Latosol serapan hara meningkat dari 0,13 mg P/tanaman menjadi 2,66 mg P/tanaman, dan hasil kedelai meningkat dari 2,84 g biji/tanaman menjadi 5,98 g biji/tanaman. Penelitian pemupukan tanaman padi menggunakan perunut 32P pada Ultisols menunjukkan bahwa serapan hara total maupun yang berasal dari pupuk meningkat nyata pada tanaman yang diinokulasikan dengan cendawan VAM (Ali et al, 1997). Disamping untuk tanaman pangan, penghutanan kembali lahan alang-alang juga sangat diperlukan untuk memperbaiki kondisi hidrologi di wilayah tersebut dan daerah hilirnya. Kegagalan program reboisasi yang dilakukan di lahan alang-alang dapat diatasi dengan menginokulasikan mikoriza pada bibit tanaman penghijauan. Bibit yang sudah bermikorisa akan mampu bertahan dari kondisi yang ekstrim dan berkompetisi dengan alang-alang. Penelitian Ba et al (1999) yang dilakukan pada tanah kahat hara menunjukkan bahwa inokulasi ektomikoriza pada bibit tanaman Afzelia africana dapat meningkatkan pertumbuhan bibit dan serapan hara oleh tanaman hutan tersebut (Tabel 1 ). Pentingnya mikoriza didukung oleh penemuan bahwa tanaman asli yang berhasil hidup dan berkembang 81% adalah bermikoriza. Pada lahan alang-alang yang sistem hidrologinya telah rusak, persediaan air bawah tanah menjadi masalah utama karena tanahnya padat, infiltrasi air hujan rendah, sehingga walaupun curah hujan tinggi tapi cadangan air bawah permukaan tetap sangat terbatas. Pengalaman menunjukkan bahwa kondisi ini merupakan salah satu sebab kegagalan program transmigrasi lahan kering. Petani transmigran kesulitan untuk mendapatkan air bersih dan tanaman (khususnya tanaman pangan) sering gagal panen karena stres air. Tanaman yang bermikoriza terbukti mampu bertahan pada kondisi stres air yang hebat. Hal ini disebabkan karena jaringan hipa eksternal akan memperluas permukaan serapan air dan mampu menyusup ke pori kapiler sehingga serapan air untuk kebutuhan tanaman inang meningkat.

Morte et al (2000) menunjukkan bahwa tanaman Helianthenum almeriens yang diinokulasi dengan Terfesia claveryi mampu berkembang menyamai tanaman pada kadar air normal yang ditandai berat kering tanaman, net fotosintesis, serta serapan hara NPK. Penelitian lain menunjukkan bahwa tanaman narra (Pterocarpus indicus) (Castillo dan Cruz, 1996) dan pepaya (Cruz et al, 2000) bermikoriza memiliki ketahanan yang lebih besar terhadap kekeringan dibandingkan tanaman tanpa mikoriza yang ditandai dengan kandungan air dalam jaringan dan transpirasi yang lebih besar, meningkatnya tekanan osmotik, terhidar dari plasmolisis, meningkatnya kandungan pati dan kandungan proline (total dan daun) yang lebih rendah selama stress air. 7.2 Lahan dengan Salinitas Tinggi Tanah yang memiliki salinitas sedang sampai tinggi banyak ditemukan di daerah yang beriklim kering dimana curah hujan jauh lebih rendah dari laju evapotranspirasi sehingga terjadi akumulasi garam mudah larut di dekat permukaan tanah. Salinitas tinggi juga dapat ditemukan di daerah-daerah pantai dimana air pasang laut secara periodik akan menggenangi lahan tersebut. Di daerah tertentu dimana air tawar susah didapat, kadang-kadang terpaksa menggunakan air bersalinitas tinggi sebagai air irigasi. Dalam kondisi salinitas tinggi, jarang ada tanaman yang dapat tumbuh dengan baik, karena keracunan NaCl atau potensial osmotik yang rendah dalam sel dibandingkan dengan larutan tanah. Dengan demikian maka perlu dicari tanaman yang toleran terhadap salinitas atau memodifikasi lingkungan sehingga tanaman mampu bertahan dibawah kondisi demikian. Cendawan VAM seperti Glomus spp mampu hidup dan berkembang dibawah kondisi salinitas yang tinggi dan menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap penurunan kehilangan hasil karena salinitas (Lozano et al, 2000). Mekanisme perlindungannya belum diketahui dengan pasti, tapi diduga disebabkan karena meningkatnya serapan hara immobil seperti P, Zn dan Cu (Al-Kariki, 2000). Lebih lanjut Al-Kariki (2000) mendapatkan bahwa tanaman tomat yang diinokulasi dengan mikoriza pertumbuhannya lebih baik dibanding dengan tanpa mikoriza. Konsentrasi P dan K rata-rata lebih tinggi sedangkan konsentrasi Na rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan tanaman tanpa mikoriza. Hal ini berarti bahwa cendawan VAM dapat sebagai filter bagi unsur hara tertentu yang tidak dikehendaki oleh tanaman. Peneliti lain, Lozano et al (2000) membandingkan efektivitas Glomus deserticola dengan Glomus sp lainnya yang merupakan cendawan autochthonous lahan salin. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Glomus deserticola lebih efektif dari Glomus sp. 3. Bioremediasi Tanah Tercemar Pencemaran lingkungan tanah belakangan ini mendapat perhatian yang cukup besar, karena globalisasi perdagangan menerapkan peraturan ekolabel yang ketat. Sumber pencemar tanah umumnya adalah logam berat dan senyawa aromatik beracun yang dihasilkan melalui kegiatan pertambangan dan industri. Senyawa-senyawa ini umumnya bersifat mutagenik dan karsinogenik yang sangat berbahaya bagi kesehatan (Joner dan Leyval, 2001). Bioremidiasi tanah tercemar

logam berat sudah banyak dilakukan dengan menggunakan bakteri pereduksi logam berat sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa cendawan memiliki kontribusi yang lebih besar dari bakteri, dan kontribusinya makin meningkat dengan meningkatnya kadar logam berat (Fleibach, et al, 1994). Cendawan ektomikoriza dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap logam beracun dengan melalui akumulasi logam-logam dalam hifa ekstramatrik dan "extrahyphae slime" ( Galli et al, 1994 dan Tam, 1995 dalam Aggangan et al, 1997) sehingga mengurangi serapannya ke dalam tanaman inang. Namun demikian, tidak semua mikoriza dapat meningkatkan toleransi tanaman inang terhadap logam beracun, karena masing-masing mikoriza memiliki pengaruh yang berbeda. Pemanfaatan cendawan mikoriza dalam bioremidiasi tanah tercemar, disamping dengan akumulasi bahan tersebut dalam hifa, juga dapat melalui mekanisme pengkomplekan logam tersebut oleh sekresi hifa ekternal. Polusi logam berat pada ekosistem hutan sangat berpengaruh terhadap kesehatan tanaman hutan khususnya perkembangan dan pertumbuhan bibit tanaman hutan (Khan, 1993). Hal semacam ini sangat sering terjadi disekitar areal pertambangan (tailing dan sekitarnya). Kontaminasi tanah dengan logam berat akan meningkatkan kematian bibit dan menggagalkan prgram reboisasi. Penelitian Aggangan et al (1997) pada tegakan Eucalyptus menunjukkan bahwa Ni lebih berbahaya dari Cr. Gejala keracunan Ni tampak pada konsentrasi 80 umol/l pada tanah yang tidak dinokulasi dengan mikoriza sedangkan tanah yang diinokulasi dengan Pisolithus sp., gejala keracunan terjadi pada konsentrasi 160 umol/l. Isolat Pisolithus yang diambil dari residu pertambangan Ni jauh lebih tahan terhadap kadar Ni yang tinggi dibandingkan dengan Pisolithus yang diambil dari tegakan eucaliptus yang tidak tercemar logam berat. Upaya bioremediasi lahan basah yang tercemar oleh limbah industri (polutan organik, sedimen pH tinggi atau rendah pada jalur aliran maupun kolam pengendapan) juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan tanaman semi akuatik seperti Phragmites australis. Oliveira et al, (2001) menunjukkan bahwa P. australis dapat berasosiasi dengan cendawan mikoriza melalui pengeringan secara gradual dalam jangka waktu yang pendek. Hal ini dapat dijadikan strategi pengelolaan lahan terpolusi (phytostabilisation) dengan meningkatkan laju perkembangan spesies mikotropik. Penelitian Joner dan Leyval (2001) menunjukkan bahwa perlakuan mikoriza pada tanah yang tercemar oleh polysiklik aromatic hydrocarbon (PAH) dari limbah industri berpengaruh terhadap pertumbuhan clover, tapi tidak terhadap pertumbuhan reygrass. Dengan mikoriza laju penurunan hasil clover karena PAH dapat ditekan. Tapi bila penambahan mikoriza dibarengi dengan penambahan surfaktan, zat yang melarutkan PAH, maka laju penurunan hasil clover meningkat. Tanaman yang tumbuh pada limbah pertambangan batubara diteliti Rani et al (1991) menunjukkan bahwa dari 18 spesies tanaman setempat yang diteliti, 12 diantaranya bermikoriza. Tanaman yang berkembang dengan baik di lahan limbah batubara tersebut, ditemukan adanya "oil droplets" dalam vesikel akar mikoriza. Hal ini menunjukkan bahwa ada mekanisme filtrasi, sehingga bahan beracun tersebut tidak sampai diserap oleh tanaman.

Hasil Penelitian-Penelitian dalam Pemanfaatan Mikoriza Dari penelitian ini dilakukan untuk mengetahui respon tanaman jagung terhadap inokulasi jamur Mikoriza Vesikular Arbuskular (Gigaspora margarita) dan sludge cair di tanah Andisol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi Gigaspora margarita memberikan hasil yang terbaik terhadap hampir semua parameter meningkatkan kandungan P dalam jaringan tanaman, efisiensi penyerapan P, mempercepat umur berbunga tanaman jagung, meningkatkan N tanah setelah percobaan, dan meningkatkan hasil tanaman jagung (Bintoro M et al., 2000). Menurut Wachjar et al (2002), dari hasil percobaan yang dilakukan bahwa pemberian CMA berpengaruh terhadap jumlah daun, bobot kering dan serapan P pada tajuk bibit kelapa sawit, tetapi tidak terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit pada umur 20 MST. Penelitian yang dilakukan oleh Balai Penelitian Tanaman Tropika (2007), tentang pengembangan tanaman manggis dalam skala luas masih terkendala pada lambatnya laju tumbuh tanaman, baik pada fase bibit maupun setelah tanam di lapang. Lambatnya laju pertumbuhan tersebut akibat kurang baiknya sistem perakaran. Tanaman manggis memiliki sistem perakaran lateral yang relatif sedikit dan miskin akan bulu-buku akar, mengakibatkan penyerapan hara dan air dari dalam tanah sangat terbatas. Penggunaan CMA sebagai alat biologis dalam bidang pertanian dapat memperbaiki pertumbuhan, produktivitas, dan kualitas tanaman tanpa menurunkan kualitas ekosistem tanah. Hasil dari penggunaan CMA untuk pembibitan manggis di Sawahlunto, dapat memacu pertumbuhan bibit manggis sekitar 50% lebih cepat dibandingkan dengan tidak diinokulasi CMA. Inokulasi CMA pada tanaman dilakukan dengan cara meletakkannya ke bidang perakaran. Inokulum tersebut merupakan media pengadaan spora (biasanya pasir atau zeolit) yang mengandung spora CMA dan potongan-potongan akar tanaman inang. Cara ini mempunyai kelemahan di antaranya bobotnya cukup berat sehingga kurang praktis, sulit dan cukup mahal transportasinya. Untuk itu para peneliti mengemas spora CMA ke dalam bentuk yang lebih prakits dan sederhana dengan dosis spora yang diketahui secara pasti agar mudah diaplikasikan. Spora CMA dikemas ke dalam kapsul dengan menggunakan Carier (bahan pencampur) yang tebaik dari tanah hitam. Spora CMA yang dikemas dalam kapsul ini mempunyai daya simpan cukup lama, karena dalam waktu 18 bulan masih cukup infektif dan efektif dalam memacu pertumbuhan bibit manggis. Cara aplikasi kapsul ini juga sangat mudah yaitu dengan membuat lubang dengan sebilah bambu sebesar pensil di sebelah kiri atau kanan bibit manggis sedalam 4-5 cm, selanjutnya kapsul bermikoriza tersebut dimasukkan ke dalam lubang dan lubang ditutup kembali dengan tanah. Percobaan untuk mengetahui serapan P dan pertumbuhan tanaman tembakau Deli dengan inokulasi berbagai jenis mikoriza vesikular arbuskular dan pemberian pupuk kandang ayam pada tanah Inceptisol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat koleksi IPB dengan pemberian pupuk kandang ayam ternyata memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap serapan P, derajat infeksi akar dan pertumbuhan tanaman tembakau Deli dibandingkan dengan inokulasi berbagai jenis mikoriza vesikular arbuskular yang lain (Simangunsong S.S, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Husnal et al (2007), tentang peranan mikoriza pada tanaman jati,

misalnya jati bukti keunggulannya dengan menggunakan pupuk hayati mikoriza. Hanya dalam usia kurang dari lima tahun, diameter batang tanaman jati bermikoriza di lahan penelitiannya seluas satu hektare, telah mencapai sekitar 10 sentimeter. Ukuran ini sama dengan tanaman jati berumur 12 tahun yang dibudidayakan tanpa menggunakan mikoriza. Indikasi tersebut membuat usia tebang tanaman jati muna maupun spesies jati lainnya dapat lebih singkat dari 40-60 tahun menjadi 15-20 tahun dengan garis tengah 30 sentimeter. "Untuk apa menanam jati super yang belum teruji kualitasnya. Selain itu, jati super bukan spesies khas Sulawesi Tenggara," ujar Husna yang menentang pengembangan jati super dalam upaya melindungi spesies genetik jati muna. Dengan teknologi mikoriza, berharap jati muna yang telah dikenal berkualitas tinggi itu dapat dikembangkan sebagai tanaman massal seperti tanaman komoditas perkebunan. Tujuannya, selain untuk meningkatkan pendapatan rakyat juga sekaligus melestarikan serta meningkatkan populasi kayu jati muna sebagai ciri khas daerah Sulawesi Tenggara. Untuk mewujudkan harapannya, ia mengelola persemaian jati seluas dua hektare yang menghasilkan bibit jati muna bermikoriza. Bibit tersebut disalurkan kepada warga yang berminat mengembangkan tanaman jati muna. Penelitian lain tentang varietas tebu menggunakan Ps 58 dan pupuk mikoriza digunakan Biofer 2000-N. Lokasi penelitian ditetapkan pada tanah Alfisol, dengan kadar P tersedia "rendah" ; 8,72 ppm dan tanah Inceptisol, dengan kadar P tersedia "sangat tinggi" ; 69,5 ppm. Pupuk mikoriza mampu meningkatkan kadar P nira, sebesar 38,84 % - 71,65 %. Peningkatan kadar P nira, diikuti dengan peningkatan rendemen tebu sebesar 4,76 % -21,15 %. Pupuk mikoriza mampu meningkatkan produktivitas gula (hablur) sebesar 13,66 % - 67,90 %. Kenaikan produktivitas hablur di tanah dengan P tersedia "rendah" lebih tinggi sebesar 27,80 % - 40,11 % dibanding di tanah dengan P tersedia "sangat tinggi". Cara aplikasi pupuk mikoriza terbaik dengan cara dicampur dengan pupuk dasar. Aras takaran pupuk mikoriza adalah 8 ku/ha di tanah dengan P tersedia rendah dan 4 ku/ha di tanah dengan P tersedia tinggi. Pemakaian pupuk mikoriza dapat mengurangi aras takaran pupuk SP-36 sebesar 25 50 % (Adinurani et al., 2008). Aplikasi pupuk hayati cendawan mikoriza arbuskula pada budidaya tanaman ubi kayu sangat berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman. Penerapan teknologi produksi inokulum cendawan mikoriza arbuskula secara langsung di lapangan (on farm production) akan sangat banyak membantu, mengingat beberapa kendala apabila inokulum tersebut dibutuhka n dalam jumlah yang cukup banyak. Dengan teknologi ini beberapa keuntungan yang diperoleh diantaranya ialah dapat segera langsung diaplikasikan tanpa tranportasi yang cukup jauh dan dapat diperoleh inokulum dalam jumlah yang banyak yaitu sekitar 4 ton per 25 m 2 lahan produksi inokulum. Alur Pembuatan Metoda atau cara produksi inokulum mikoriza dan aplikasi secara langsung di lahan atau on farm production adalah sebagai berikut : 1. Persiapan Lahan Diperlukan bedengan berukuran 25 m 2 untuk menghasilkan 4 000 kg inokulum berupa

campuran tanah, spora dan akar terinfeksi. Sebaiknya dipilih lahan yang kurang subur yang dekat dengan areal penanaman. 2. Sterilisasi Lahan Pada lahan di atas disebarkan 50-60 g dazomet granular per m2, diaduk merata, lalu disiram air untuk melarutkan butiran dazomet dan ditutup plastik. Perlakukan berikutnya adalah pencangkulan, selain untuk meratakan hasil, juga untuk menguapkan sisa fumigasi.Lima hari kemudian, bedeng tersebut dapat digunakan. 3. Inokulasi Pada tiap lubang yang dibuat, diberikan starter inokulumdari jenis cendawan mikoriza yang akan dikembang biakkan. Tanaman inang dapat berupa jagung, sorgum atau pueraria. Untuk menjamin terjadinya infeksi pada media pengecambahan dapat diberi inokulum sebagai perlakuan pra-inokulasi sebelum ditanam di bedeng perbanyakan. 4. Multiplikasi Perawatan tanaman perlu dilakukan selama pertumbuhan tanaman di lahan atau bedeng pembiakan. Setelah tanaman inang keluar bunga (jantan atau betina) sebaiknya digunting agar tanaman dapat merangsang terbentuknya spora cendawan mikoriza di lahan tersebut. 5. Panen Inokulum Setelah tanaman inang mengering, tanah bedeng tersebut sudah dapat digunakan sebagai inokulum. Pengambilan tanah sebagai inokulum dilakukan hingga kedalaman sebatas lapisan olah yang telah dilakukan sebelumnya (20-30 cm). 6. Pemakaian hasil Hasil panen dapat langsung diaplikasikan pada tanaman ubi kayu dengan dosis 200 g per tanaman. Stek ubi kayu ditanamkan pada lubang tersebut tepat diatas permukaan inokulum yang diberikan. Manfaat 1. Mengurangi ketergantungan petani pada pupuk kimia yang harganya relatif mahal 2. Aplikasi inokulum cukup dilakukan satu kali untuk beberpa musim tanam. 3. Memberikan respon yang positif pada tanaman (Balai Penelitian Ilmu dan Teknologi, 2008).

APLIKASI MIKORIZA VESIKULAR ARBUSKULAR DALAM PROGRAM REBOISASI Perhatian utama pada cendawan mikoriza vesikular arbuskular, karena peranannya sebagai simbion perakaran dari hampir semua jenis tanaman, dan kesuksesannya sebagai jaringan penyerap nutrisi utama dari beragam tanaman, termasuk yang digunakan dalam program reboisasi di Indonesia. Dalam rangka pelaksanaan program ini, telah diberikan Asosiasi

Mycorrhizal Indonesia, yang memberikan informasi dan berbagai teknik untuk para ilmuwan Indonesia yang meneliti dan bekerja dengan objek jamur ini secara kelompok di IPB. Proyek reboisasi juga mendukung pengadaan koleksi germ plasm dari spesies asli jamur mikoriza arbuskular di IPB, yang akhirnya dikembangkan secara komersil. Dalam teknik pemberian mikoriza, dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain; (1) menggunakan tanah yang sudah mengandung mikoriza, (2) menggunakan akar yang mengandung mikoriza, (3) menggunakan miselia cendawan, dan (4) menggunakan spora mikoriza yang sudah dikemas dalam bentuk kapsul. Inokulum (bahan yang mengandung mikoriza) diberikan bersama pada waktu persemaian. Pada lahan yang sudah pernah diinokulasi dengan inokulum mikoriza, untuk penanaman berikutnya tidak perlu diinokulasi lagi, karena masih dapat bertahan untuk periode selanjutnya. Banyak ahli dari berbagai negara mencoba menumbuhkan (menginokulasikan) mikoriza secara buatan. Di IPB, ahli mikoriza telah membuatnya dalam bentuk tablet dan sudah diujicobakan pada tanah di daerah Lampung, Kalimantan, dan di kebun percobaan kampus Dermaga. Percobaan diterapkan pada bibit-bibit tanaman industri, dan hasilnya tanaman yang diberi pil tablet mikoriza pada akarnya, dapat tumbuh dua sampai tiga kali lebih cepat. Tablet ini dibuat dari cendawan, dengan cara diambil dari mikoriza yang dibentuknya, kemudian dimurnikan dari jamur-jamur lain yang berada disekelilingnya. Setelah teruji kemurniannya, jamur ini ditumbuhkan pada media buatan dari tanah dan bahan-bahan organik untuk dijadikan bahan baku pil. Untuk membuat tablet, biomassa jamur yang terdiri dari benang-benang miselia itu, ditumbuk halus bersama media tumbuhnya. Selanjutnya bubuk yang mengandung bibit jamur itu dicetak menjadi batang-batang silinder panjang dengan diameter 0,7 sentimeter. Untuk melindungi dari kontaminasi cendawan jenis lain, racikan bubuk itu dimasukan kedalam kapsul. Pil mikoriza ini hanya cocok untuk bibit tanaman. Aturan pakainya sederhana, satu tablet untuk satu bibit. Setelah itu pil dipecah-pecah, dicampurkan dengan tanah yang dipakai untuk menumbuhkan bibit tanaman. Setelah diberikan pada bibit tanaman, cendawan akan tumbuh dan menempel pada akar tanaman. Miselianya dapat menutup permukaan akar dan tumbuh mengikuti perkembangan akar, lebih mudah menangkap air tanah dan zat-zat hara, dengan demikian tanaman tumbuh lebih bongsor. Pengaruh yang jelas terlihat karena adanya mikoriza adalah tanaman pinus. Benang-benang miselia yang menempel pada akar pinus, mampu menambah daya tahan akar tanaman. Diposkan oleh Dr. Ir. Abdul Madjid, MS di 03:47 0 komentar Label: Biologi Tanah

Rabu, 2007 November 21


Fungi Tanah
Secara umum berdasarkan sifat hubungan antara fungi dengan akar tanaman, maka fungi tanah dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1)Parasitik, yaitu: fungi tanah yang sebagian atau seluruh hidupnya dapat menyebabkan penyakit pada akar tanaman, seperti: penyakit bercak akar kapas, (2)Saprophitik, yaitu: fungi tanah yang semasa hidupnya mendapatkan makanan (energi) dari

dekomposisi bahan organik tanah. Fungi kelompok ini tidak menyebabkan penyakit pada akar tanaman. (3)Simbiotik, yaitu: fungi tanah yang semasa hidupnya berada pada akar-akar tanaman dan hubungannya dengan akar tanaman membentuk hubungan yang saling menguntungkan, seperti: Mycorhiza atau jamur akar. Mycorhiza Mycorhiza adalah fungi yang hidup pada permukaan akar- akar tanaman dan bersifat saling menguntungkan antara Mycorhiza dengan akar tanaman. Berdasarkan perkembangan hifanya pada akar tanaman, mycorhiza dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1)Endomycorhiza, yaitu: Mycorhiza yang perkembangan hifanya dapat memasuki sel-sel akar tanaman, (2)Ektomycorhiza, yaitu: Mycorhiza yang perkembangan hifanya tidak memasuki sel-sel akar tanaman tetapi hanya menyear pada permukaan akan dan memasuki ruang antar sel-sel akar tanaman, dan (3)Ektendomycorhiza, yaitu: Mycorhiza yang perkembangan hifanya menyerupai kedua kelompok Mycorhiza diatas. Endomycorhiza Beberapa genus dari Endomycorhiza yang telah banyak diteliti adalah: (1)Gigaspora, (2)Glomus, (3)Acaulospora, (4)dll Diposkan oleh Dr. Ir. Abdul Madjid, MS di 17:44 Label: Biologi Tanah

Organisme Tanah (Bagian II)


Secara umum organisme tanah dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) Fauna (hewan) tanah, dan (2) Flora (tumbuhan) tanah. Fauna Tanah Hewan atau fauna tanah diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: (1) Makro Fauna, yaitu: semua hewan tanah yang dapat dilihat langsung dengan mata tanpa bantuan mikroskop. Makro fauna terdiri dari: (a)hewan-hewan besar pelubang tanah seperti: tikus dan kelinci, (b) cacing tanah, (c) Arthropoda, meliputi: Crustacea (kepiting tanah dan udang tanah), Chilopoda (kelabang), Diplopoda (kaki seribu), Arachnida (lebah, kutu, dan kalajengking)dan Insekta (belalang, jangkrik, semut, dan rayap), (d)Moluska. (2)Mikro Fauna Mikro fauna terdiri dari: (a) Protozoa, seperti: amoeba, flagelata, dan ciliata, dan (b)Nematoda, seperti: omnivorous dan Predaceus. Flora Tanah

Tumbuhan atau flora tanah diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: (1) Makro Flora, yaitu: akar dari tumbuhan tingkat tinggi yang berada dalam tanah. (2) Mikro Flora, yaitu flora tanah yang dapat dilihat lebih jelas dan rinci dengan bantuan mikroskop, terdiri dari: (a) bakteri, (b) fungi, (c) actinomycetes, dan (d) algae. Selain itu, menurut Verstraete (1980) dalam bukunya yang berjudul: Introduction to Soil Microbiology, bahwa berdasarkan ukuran, organisme tanah dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1) Makrobia, yaitu organisme tanah yang berukuran lebih dari 10 mm, (2) Mesobia, yaitu organisme tanah yang ukurannya antara 0,2 mm s/d 10 mm, dan (3) Mikrobia, yaitu organisme tanah yang ukurannya kurang dari 0,2 mm. Diposkan oleh Dr. Ir. Abdul Madjid, MS di 17:19 Label: Biologi Tanah

Selasa, 2007 November 20


Mikrobia Pelarut Fosfat (MPF)
Pengertian Mikrobia Pelarut Fosfat Mikrobia pelarut fosfat atau disingkat dengan MPF merupakan terjemahan dari bahasa inggris Phosphate Solubilizing Microorganisme. Mikrobia Pelarut fosfat (MPF) merupakan mikroorganisme dalam tanah yang hidup bebas yang dapat melarutkan fosfat anorganik tanah dari bentuk tidak tersedia bagi tanaman menjadi bentuk-bentuk fosfat yang tersedia bagi tanaman. Pengelompokan Mikrobia Pelarut Fosfat Mikrobia pelarut fosfat (MPF) terdiri dari: (1) Bakteri Pelarut Fosfat (BPF), dan (2) Fungi Pelarut Fosfat (FPF). Suku kata bakteri pelarut fosfat (BPF) berasal dari terjemahan Phosphate Solubilizing Bacteria (PSB). Bakteri pelarut fosfat (BPF) merupakan Bakteri tanah yang memiliki kemampuan untuk melarutkan fosfat anorganik tanah dari bentuk-bentuk fosfat yang tidak tersedia bagi tanaman menjadi bentuk-bentuk fosfat yang tersedia bagi tanaman. Contoh beberapa bakteri pelarut fosfat: Pseudomonas, Bacillus, dll. Sedangkan suku kata fungi pelarut fosfat (FPF) berasal dari terjemahan Phosphate Solubilizing Fungi (PSF). Fungi pelarut fosfat (BPF) merupakan fungi tanah yang memiliki kemampuan untuk melarutkan fosfat anorganik tanah dari bentuk-bentuk fosfat yang tidak tersedia bagi tanaman menjadi bentuk-bentuk fosfat yang tersedia bagi tanaman. Contoh beberapa fungi pelarut fosfat: Pinicillium, Aspergillus, dll. Zona Hidup Mikrobia Pelarut Fosfat Mikrobia pelarut fosfat baik tergolong bakteri pelarut fosfat (BPF) maupun fungi pelarut fosfat (FPF) hidup dilapisan tanah bagian atas atau top soil. Populasi mikrobia pelarut fosfat lebih banyak ditemukan terutama pada zona rhizosphere. Populasi bakteri pelarut fosfat pada tanah yang subur melebihi 100.000 bakteri per gram tanah.

Manfaat Mikrobia Pelarut Fosfat untuk Pertanian Keberadaan mikrobia pelarut fosfat dalam zona rhizosphere tanaman memberikan dua manfaat, yaitu: (1) mampu meningkatkan kelarutan P anorganik, dan (2) dapat menekan fiksasi P dengan menonaktifkan Al3+ dan Fe2+ tanah. Pesan Student Bisnis: http://klikdynasis.net/?id=AB148 Diposkan oleh Dr. Ir. Abdul Madjid, MS di 18:09 Label: Biologi Tanah Posting Lebih Baru Posting Lama Halaman Muka Langgan: Entri (Atom)

You might also like