You are on page 1of 11

Efek Samping Terapi Cairan;

Hasil Penelitian
Robert G. Hahn Department of Anesthesiology and Intensive Care, Karolinska Institue, South Hospital, Stockholm, Sweden PENDAHULUAN Hasil dari terapi cairan dapat dievaluasi melalui banyak cara. Yang paling sering adalah untuk mempelajari berapa banyak volume darah yang telah ditambahkan atau dengan kata lain bagaimana cairan tersebut dapat memperbaiki status kardiovaskular. Tetapi jarang didapatkan adanya laporan mengenai efek cairan yang diberikan sebagai hasil dari seluruh penanganan pembedahan (hasil akhir). Salah satu alasan sebagai pandangan relatif mengapa studi ini dibuat adalah bahwa keberhasilan penanganan pembedahan bergantung dari banyak faktor. Untuk menangani faktor-faktor lainnya, dibutuhkan pasien dalam jumlah yang besar. Namun demikian, beberapa studi dilakukan, dalam bentuk meta analisis, yang berarti bahwa pemeriksa telah mengamati literatur dan menggabungkan hasil dari studi berbeda yang memiliki kriteria ketetapan awal yang sama. Tujuan dari dilakukannya hal ini adalah untuk menemukan hasil yang belum didapatkan dari studi lain yang dilakukan dalam jumlah kecil secara terpisah. Beberapa penelitian yang membandingkan terapi cairan dalam penelitian tunggal telah dipublikasikan pada tahun pertama dari milenium baru. Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa efek dari terapi cairan pada hasil status klinik adalah sangat penting. Dengan menghubungkan antara pemberian cairan sesuai dengan ketetapan awal dengan hasil pada penelitian prospektif dapat memberikan bukti yang kuat. Ini merupakan alasan untuk mempercayai bahwa penelitian seperti ini akan lebih banyak dan sering ditemukan pada beberapa tahun mendatang.

ALBUMIN Untuk beberapa dekade, infus intravena abumin pada konsentrasi iso-onkotik 5 % atau larutan hiperonkotik 20% telah menjadi terapi koloid yang populer. Di Eropa, bagaimanapun juga penggunaannya mulai dikurangi pada tahun 1980an, karena biaya terapi albumin lebih mahal dibandingkan dengan koloid sintetik. Lebih lanjut lagi, tidak terlihat adanya keuntungan dari pemberian albumin dibandingkan koloid sintetik yang .(1,2) Pada tahun 1998, Cochrane Collaboration di Inggris mempublikasikan sebuah meta analisis pada 1419 pasien dari 30 penelitian dimana albumin telah digunakan. Hasilnya mengejutkan, sebab terapi albumin terlihat dapat meningkatkan mortalitas. Angka resiko relatif yang dapat menyebabkan kematian adalah 1,46 ketika albumin diberikan untuk mengatasi hipovolemia, 1,69 bila indikasinya adalah hipoalbuminemia dan 2,46 saat albumin diberikan untuk luka bakar. (3,4) Debat secara terbuka dimulai di British Medical Journal selama musim gugurtahun 1998. Kritik difokuskan pada kenyataan bahwa tidak ada alternatif lain selain pemberian albumin. Pada penelitian, albumin dapat dibandingkan dengan kristaloid, koloid lain, atau tidak diberikan terapi sama sekali. Kualitas penelitian yang tergabung dalam meta analisis juga sangat bervariasi. Beberapa dari penelitian tersebut menggunakan infus albumin dengan jumlah sesuai dengan ketetapan awal, dan volume yang diberikan ini cukup besar, dimana sekarang para anestesiologis biasanya mentitrasi dosis albumin dengan respon hemodinamik, setidaknya bila albumni diberikan untuk mengatasi hipovolemia. Dengan demikian, penelitian yang terkait sepenuhnya mencerminkan praktek modern dalam pemberian cairan koloid pada akhir tahun 1990an. Bagaimanapun juga, di saat yang sama dengan berlangsungnya debat, praktek peneliti juga berubah dengan cepat. Di Inggris, penggunaan albumin berkurang 40 % selama beberapa bulan sejak dipublikasikannya tinjauan mengenai hasil penelitian tersebut.

Tinjauan lain dengan topik yang sama dipublikasikan 3 tahun kemudian

(6)

Tinjauan sistematik dari literatur ini, yang disponsori oleh industri albumin, meliputi 3504 pasien dari 55 penelitian, dimana penelitian ini jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan penelitian Cochrane. Terdapat beberapa ayara yang tercantumkan, yang paling penting adalah bahwa teteapi seharusnya diacak antara pembelian albumin dan cairan kristaloid. Hasil ini pada umumnya menunjukkan kecenderungan terhadap peningkatan mortalitas setelah pemberian infus albumin, tetapi perbedaanya dengan terapi kristaloid secara statistik tidak sama dengan begitu signifikan (Resiko kematian relatif adalah 1,11 dengan tingkat kepercayaan 95%, internal 0,95-1,25). Resiko kematian relatif secara statistik juga tidak sama dengan begitu meningkat pada sugrup lainnya, resiko relatif adalah 1,12 ketika albumin digunakan untuk tindakan operatif dan trauma, 1,76 untuk luka bakar, 1,59 untuk hipoalbuminemia, 0,93 untuk asites dan 1,19 pada neonatus. Bagaimana juga, perbedaan-perbedaan penting tersebut hanya diperlihatkan tergantung pada seberapa baik penelitian tersebut dilaksanakan. Penulis mengevaluasi kualitas ke-4 aspek, yaitu studi acak kematian sebagai hasil akhir, cross-over, dan jumlah pasien yang diteliti. Resiko berkaitan dengan makin sedikit pengguanaan albumin, makin baik penelitian tesebut dilaksanakan. Sebagai contoh, kelima penelitian yang dilakukan secara blinded segera memperlihatkan penurunan mortalitas dari penggunaan albumin (resiko relatif 0,73). Ke-17 penelitian lain yang tolak ukurnya adalah kematian sebagai hasil akhir tidak sama dengan menunjukkan peningkatan mortalitas (resiko relatif 1,0). Alasan dari hasil tersebut diperkirakan karena angka mortalitas tidak sama dengan dicatat begitu baik pada penilitan lainnya. Cross-over diartikan bahwa tetapi secara acak dapat tertukar bila pasien diduga berada dalam keadaan kritis. Pada semua kasus, ini bisa berarti bahwa pasien yang seharusnya dijadwalkan untuk mendapat tetapi kristaloid malah mendapat albumin sebagai gantinya, karena itu hal ini menunjukkan penggunaan albumin pada pasien yang kritis. Beberapa perubahan pada terapi tidak

diperhitungkan secara ilmiah jika tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui angka mortalitas. Bagaimanapun juga, kebanyakan penelitian mengenai terap[i cairan biasanya difokuskan pada masalah lainnya. Penelitian yang bebas dari efek pertukaran tidak menunjukkan peningkatan mortalitas dari penggunaan albumin (resiko relatif 1,04) sangat berbeda dengan penelitian lainnya (resiko relatif 1,43). Resiko kematian yang berkaitan dengan penggunaan albumin terlihat lebih tinggi pada penelitian yang lebih besar, yang mungkin dapat dijelaskan dengan publikasi secara selektif. Hal ini berarti bahwa penelitian-penelitian telah yang menunjukkan hasil yang mengejutkan, pada kasus ini berarti bahwa penggunaaan albumin berbahaya lebih disukai untuk dipublikasikan dibandingkan penelitian dengan hasil yang netral. Publikasi selektif tentu saja dapat menjadi masalah dengan meta analisis dan penggambaran sebuah penelitian seharusnya dinilai berdasarkan masalah-masalah yang sering ditanyakan dibandingkan dengan hasil yang diperoleh. Karakteristik yang tidak menguntungkan dari penelitian meta analisis ini adalah bahwa tidak terlihat adanya ahli anestesiologi yang berperan pada proyek ini. Padahal semestinya dapat dicegah adanya kesalahan-kesalahan. Sebagai contoh, penelitian Cochrane menggunakan baik terapi cairan koloid maupun cairan kristaloid sebagai terapi kontrol. Tinjauan berikutnya mengenai albumin termasuk juga terapi dengan cairan isotonik dan cairan hipertonik pada kelompok kontrol, walaupun ada bukti yang menunjukkan bahwa cairan hipertonik mempengaruhi sistem imun dan dianggap makin sedikit cairan yang dibutuhkan untuk mencapai efek volume yang spesifik. Hasil yang sedikit membingungkan dari penelitian mengenai albumin menggambarkan dilihat. (7,8) Penelitian meta analisis mengenai albumin mendorong dilakukannya penelitian di Australia dan New Zealand (penelitian mengenai evaluasi penggunaaan larutan salin dibandingkan dengan albumin) dengan penelitian yang besar, prospektif fakta bahwa meta analisis seharusnya dibaca dengan jelas dan kritis. Guildelines telah mempublikasikan hal-hal spesifik apa saja yang perlu untuk

dan acak yang dibandingkan hasil penelitian dari penanganan kritikal sebagai terapi dengan pemberian albumin 4 % atau dengan larutan salin
(9)

. Jumlah pasien adalah

7000 orang dan tidak ada perbedaan hasil yang ditutupi. Pada faktanya, angka mortalitas setelah 28 hari pada tiap kelompok hampir sama (726 banding 729). Penulis menyimpulkan bahwa albumin tidak meningkatkan resiko kematian. Penelitian ini juga mengalami kritikan karena alternatif selain diberikannya albumin 4 % adalah lebih sering digunakannnya Ringer Laktat atau larutal Ringer Asetat dibandingkan dengan larutan salin. TERAPI KRISTALOID DIBANDINGKAN DENGAN KOLOID Dua penelitian meta analisis dari akhir tahun 1990an mengindikasikan bahwa penggantian volume dengan cairan koloid berkaitan dengan tingginya angka mortalitas dibandingkan dengan penggunaan cairan kristaloid. Schierhout dan Robert
(10)

, yang bekerja pada kelompok cochrame yang menuliskan mengenai tinjauan

albumin, mengumpulkan hasil dari 37 uji coba kontrol acak yang meliputi 1622 pasien. Kebanyakan dari penelitian ini sana dengan penelitian yang termasuk dalam hasil dari tinjauan albumin sebelumnya (4). Pasien yang di teliti dikelompokkan pasien yang akan di operasi dan mengalami trauma atau luka bakar. Angka resiko kematian pada kelompok koloid adalah 24% dan di kelompok kristaloid adalah 20% memberikan hasil resiko relatif sebesar 1,29 untuk menyebabkan kematian dengan terapi cairan koloid (tingkat kepercayaan 95% interval 0,94-1,77). Penelitian meta analisis lainnya, yang dituliskan choi dkk (11) meninjau 105 penelitian dan menemukan 17 penelitian yang berhubungan pada 814 pasien. Tidak ada perbedaan angka mortalitas yang berarti antara penggunaan cairan koloid dan kristaloid, tetapi didapatkan angka mortalitas yang lebih rendah untuk resusitasi kristaloid pad subkelompok pasien trauma (resiko relatif 0,93, tingkat kepercayaan 95% interval 0,17-0,89).

Pada meta-analisis lama, velanovich(12) juga menyimpulkan bahwa cairan kristaloid lebih baik digunakan untuk mengatasi trauma karena pilihan cairan ini berhubungan dengan mortalitas yang rendah,yaitu 12,3% dibandingkan dengan cairan koloid. Ketika pasien non trauma diteliti, bagaimanapun juga, terdapat perbedaan besar 7,8% dengan terapi menggunakan cairan koloid. Hasil akhirnya adalah didapatkan perbedaan angka mortalitas relatif sebesar 5,7% untuk terapi dengan cairan kristaloid. Meta-analisis dari tahun 1989 ini didasarkan hanya dari delapan penelitian,kebanyakan dari penelitian ini juga termasuk dalam tinjauan dari akhir tahun 1990-an. MORBIDITAS SEBAGAI HASIL AKHIR Hasil dari terapi cairan tersebut dengan segera menjadi nyata selama proses resusitasi dapat digambarkan dalam istilah lain dari pada mortalitas. Komplikasi operasi termasuk diantaranya sepsis, gagal ginjal, edema paru, dan waktu perawatan rumah sakit yang memanjang. Dan mungkin juga dipercayai bahwa komplikasi semacam itu hanya sedikit jumlahnya pada tindakan operatif rutin yang dapat membuat komplikasi tersebut bermakna sebagai hasil akhir dari evaluasi terapi cairan. Jika morbiditas dicatat dengan seksama, bagaimanapun juga komplikasi juga biasa ditemukan. Dengan menggunakan survey nine point, Bennet-Guerrero dkk
(13)

mencatat adanya angka komplikasi sebesar 27 % pada 438 pasien yang menjalani

operasi elektif rutin. Diantara semua komplikasi yang ditemukan pada pasien, masalah gastrointestinal (51 %) dan paru (25 %) lebih sering didapatkan (Tabel 1). Tanda-tanda penting untuk memprediksi adanya morbiditas postoperatif adalah kehilangan banyak darah dalam jumlah besar dan asidosisnya sementara variabel hemodinamik secara relatif kurang begitu penting. Arief
(14)

melaporkan adanya perkembangan edema paru sebesar 7,6 % dari

8195 pasien yang menjalani operasi besar pada dua rumah sakit pendidikan pada tahun 1993. Angka mortalitas pada kelompok ini adalah 11,9 %, dimana penulis berdasar pada adanya retensi cairan lebih daripada 67 ml/kg/hari. Pasien yang

menjalani operasi besar mnerimia hampir 10 L cairan intravena selama 27 jam pertama setelah operasi. Pemberian volume yang berlebihan dengan menggunakan cairan kristaloid diketahui dapat menyebabkan reduksi sementara dari kapasitas total paru-paru, dimana peningkatan resiko edema paru post operatif sebagai respon terhadap pemberian cairan selama tindakan operatif telah menjadi masalah utama setelah operasi paru (15). Juga terdapat penelitian prospektif yang berkaitan dengan pengaturan volume cairan dan jenis cairan yang mengakibatkan timbulnya morbiditas. Lobo dkk
(16)

meneliti secara acak pasien post operatif yang telah menjalani operasi reseksi kolon elektif dengan memberikan 3 L air perhari dan 154 mmol Natrium perhari (kelompok konvensional) dan 2 L air dan 77 mmol Natrium (kelompok terbatas). Kelompok terbatas terlihat lebih berespon terhadap perbaikan fungsi gastrointestinal, komplikasi dan waktu rawat inap. Perbedaan spesifik dilaporkan walaupun terdapat fakta bahwa tiap penelitian hanya terdiri dari 10 pasien. Brandstrup dkk
(17)

membandingkan komplikasi setelah operasi kolon pada

172 pasien secara acak dengan metode restriktif dan program standar cairan. Penggantian cairan berikutnya yang meliputi kehilangan cairan rongga ke-3 dan juga termasuk preload sebelum induksi anestesi epidural, sementara kelompok terbatas hanya diberikan penggantian cairan untuk kehilangan ruang eksternal. Pasien pada kelompok terbatas juga diberikan furosemid segera setelah berat postoperatifnya melebihi 1 kg. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien pada kelompok cairan bebas memiliki insiden yang lebih tinggi tinggi untuk mengalami komplikasi kardiopulmonal. Lebih daripada itu, terdapat 3 kasus sepsis pada kelompok kontrol tetapi tidak ditemukan pada kelompok cairan yang terbatas. Hasil yang sama kemudian didapatkan pada penelitian lain yang berkaitan dengan operasi intraabdominal oleh Nisanevich dkk
(18)

. Pasien menerima program cairan yang

terbatas, 4 ml/kg/jam dengan cairan Ringer Laktat, yang mengalami lebih sedikit komplikasi, waktu rawat inap yang pendek dan waktu flatus yang lebih cepat

daripada pasien yang dikelompokkan dalam program bebas yang mendapat cairan tiga kali lebih banyak. Tabel 1 Survey Evaluasi Morbiditas Postoperatif Kriteria membutuhkan suplemen oksigen atau bantuan pernapasan suhu > 38C atau mendapat terapi dengan antibiotik oligouri,peningkatan serum kreatinin >30%, atau penggunaan kateter urine Gastrointestinal Kardiovaskular tidak dapat mentoleransi diet enteral untuk semua penyebab tes diagnostik atau terapi untuk iskemia miokard atau infark, hipotensi arteri yang membutuhkan loading volume cairan atau terapi farmakologik, aritmia jantung, atau edema jantung paru Saraf Komplikasi luka Hematologi defisit fokal baru, bingung atau koma membutuhkan eksplorasi operatif atau drainase pus dari luka operasi membutuhkan transfusi dari produk darah Nyeri luka membutuhkan opioid parenteral atau anestesi regional Bennet-Guerrero dkk menggunakan data ini pada hari ke-5, 8 dan 15 setelah operasi elektif resiko sedang Sumber: dari referensi 13 Pada penelitian Studi di Perancis dari 29 pasien perawatan intensif, didapatkan bahwa pemberian infus dengan menggunakan Hydroxyethylstarch (HES) lebih sering menyebabkan gagal ginjal akut daripada infus dengan gelatin
(19)

Jenis Morbiditas Paru Infeksi Ginjal

. Cairan

yang digunakan adalah HES, dengan berat molekul 200 kDA dan derajat substitusi adalah 0,6. Bagaimanapun juga, saat ini produk tersebut tidak direkomendasikan oleh

pabrik HES Eropa. Penelitian ini dan juga yang telah dilaporkan sebelumnya oleh Lobo (16) menunjukkan adanya perbedaan signifikan secara statistik terhadap insidens komplikasi, tergantung bagaimana pengelolaan terapi cairan, dapat diperoleh dengan meneliti pasien dengan jumlah relatif terbatas. Lebih banyak penelitian jenis ini yang sementara dijalankan. Angka morbiditas post operatif yang relatif tinggi setelah operasi besar, antara 25 % dan 50 %, didapatkan melalui laporan evaluasi yang teliti menjadikan cara ini sebagai pendekatan terbaik untuk mengevaluasi strategi perioperatif. Waktu rawat inap menjadi hasil akhir pengganti yang mencerminkan morbiditas tetapi hasil ini kurang memberikan informasi
(13,20)

. Perubahan besar pada terapi cairan sebaiknya

dievaluasi menggunakan follow up morbiditas sebelum dilakukannya tindakan klinikal. Mortalitas yang diukur 30 hari setelah operasi sebaiknya dilaporkan, tetapi gambaran yang dihasilkan biasanya sangat rendah untuk membuat adanya perbedaan. TUJUAN TERAPI CAIRAN Hasil operasi juga berkaitan dengan beberapa metode pengawasan yang digunakan untuk memandu terapi cairan pada pasien perseorangan berdasarkan pada tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Disini, kita tidak berkompromi dengan jenis dan volume infus cairan yang digunakan, tetapi lebih kepada efeknya terhadap tubuh. Tidak dilakukannya maintenance daripada penurunan perlahan tekanan darah selama operasi mungkin menjadi tujuan terbesar terapi cairan saat ini. Penurunan tajam dari tekanan arteri mengindikasikan bahwa volume intravaskular rendah, tetapi reaksi ini terjadi bila jumlah hipovolemi mencapai 1 L pada pria dewasa ketika sadar. Jumlah aliran darah menjadi berkurang pada fase awal, dan tekanan arteri oleh karena itu diperhatikan hanya sebagai petunjuk kasar mengenai status volume
(21)

. Tekanan

arteri juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti efek langsung dari anestesia.

Ekskresi urine juga menjadi petunjuk lain yang biasa digunakan untuk mengawasi pemberian cairan , yang diperlihatkan oleh fakta bahwa anestesia dan tindakan operatif dapat menghambat diuresis dengan hebat selama operasi mengindikasikan adanya hipovolemia. Lebih banyak teknik pengukuran memuaskan yang telah digunakan. Mythen dan Webb
(23,24) (22)

. Ketika kateter

kandung kemih dipasang, walaupun demikian, aliran urine dari tiap waktu ke waktu

mengoptimalkan pasien jantung dengan mengawasi pH mukosa

lambung. Penurunan pH menjadi bukti kuat dari ketidakcukupan perfui jaringan. Berdasarkan masalah nyata yang dihadapi dapat diatasi dengan menempatkan tonometer dengan tepat, metode monitoring ini merupakan cara terbaik untuk perawatan intensive daripada untuk pengaturan perioperatif. Bagaimanapun juga, hasil yang didapatkan kemudian menguatkan fakta bahwa keadaan hipovolemia dan asidosis dapat menimbulkan komplikasi dan memperpanjang waktu rawat inap. Tekanan vena sentralis dan tekanan arteri pulmonal telah digunakan untuk mengoptimalkan terapi cairan perioperatif. Verm dkk
(25)

menggunakan respon

tekanan ini terhadap uji pemberian cairan (200 ml HES selama 10 menit) untuk memeriksa apakah sistem kardiovaskular telah cukup terisi pada pasien yang akan menjalani operasi untuk fraktur tulang pinggul akut. Hanya pasien yang mengalami hipovolemia ringan yang akan memperlihatkan peningkatan curah jantung sebagai respon terhadap loading volume cairan, dan loading cairan yang baru diberikan hingga curah jantung tidak meningkat lagi. Pasien-pasien yang dioptimalkan berdasarkan prinsip ini dapat dipulangkan pada fase awal dari rumha sakit dibandingkan pasien lainnya yang dirawat berdasarkan cara reguler secara rutin. Terapi cairan selama tindakan operatif dapat diawasi langsung dari curah jantung. Sinclair dkk
(26)

dapat mengurangi waktu rawat inap dari pasien yang

menjalani operasi untuk fraktur tulang pinggul akut dengan memamndu terapi cairan menggunakan metode Esofageal dari Doppler untuk menjaga volume yang diinginkan. Gan dkk
(27)

menggunakan metode esofageal dari Doppler pada pasien

10

yang menjalani beragam jenis operasi besar elektif. Kembalinya fungsi normal saluran cerna dengan cepat dan masa rawat inap yang pendek (lima berbanding tujuh hari) telah dilaporkan dari pasien yang menerima tujuan terapi cairan. Perbedaan besar antara kelompok penelitian dan kelompok kontrol mengenai responnnya terhadap jumlah cairan yang diinfuskan adalah bahwa kelompok awal menerima cairan tiga kali sebanyak cairan HES, sementara kedau kelompok menerima kira-kira 4,4 L larutan Ringer Laktat selama operasi. Mythen dan Webb
(24)

juga

memperlihatkan bahwa optimalisasi cairan menggunakan metode esofageal Doppler menambah perfusi dari lambung, seperti yang diukur oleh tonometri lambung. Cara lama tapi dengan pendekatan yang sama adalah utnuk mengoptimalkan pengangkutan oksigen, yang telah diteliti sebelumnya oleh kelompok shoemaker. Menghitung pengangkutan oksigen membutuhkan gambaran curah jantung dan sebagai tambahan, contoh darah arteri untuk menentukan gas darah swerta dengan pengukuran konsentrasi hemoglobin. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cara yang lebih invasif dan komplex ini untuk memonitor terapi cairan yang memiliki efek yang menguntungkan pada pasien yang menjalani operasi resiko tinggi, termasuk mungkin juga mengurangi mortalitas (28-30) .

11

You might also like