You are on page 1of 12

BAB II TINJAUAN TEORI

2.1

Pengertian Pelestarian Filosofi pelestarian didasarkan pada kecenderungan manusia untuk

melestarikan nilai-nilai budaya pada masa yang telah lewat namun memiliki arti penting bagi generasi selanjutnya. Namun demikian tindakan pelestarian makin menjadi kompleks jika dihadapkan pada kenyataan sebenarnya. Tindakan pelestarian yang dimaksudkan guna menjaga karya seni sebagai kesaksian sejarah, kerap kali berbenturan dengan kepentingan lain, khususnya dalam kegiatan pembangunan. James Mastron (1982) mengungkapkan bahwa hal ini menggambarkan begitu kompleksnya masalah yang ada dalam aktivitas pelestarian. Lewat kajian historis terhadap peristiwa-peristiwa penting di masa lampau, kita yang hidup sekarang bisa mempelajari pola tingkah laku ( behavioral patterns) manusia dan menganalisisnya demi kepentingan hidup kita sekarang dan masa-masa selanjutnya. Sejarah eksistensi sebuah peradaban tidak hanya dapat ditelusuri lewat historiografi ataupun catatan aktivitas pejuangan masyarakatnya. Selain misalnya memerinci kajian geologis, masih banyak saksi bisu lainnya yang bisa menceritakan perjalanan masa lalu sebuah kota, terutama ketika kota tersebut mengalami masa kejayaan. Salah satu dari saksi bisu itu adalah bangunan-bangunan tua, yang banyak di antaranya menyimpan catatan sejarah autentik. Pelestarian secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu usaha atau kegiatan untuk merawat, melindungi dan mengembangkan objek pelestarian yang memiliki nilai guna untuk dilestarikan. Namun sejauh ini belum terdapat pengertian yang baku yang disepakati bersama. Berbagai pengertian dan istilah pelestarian coba diungkapkan oleh para ahli perkotaan dalam melihat permasalahan yang timbul berdasarkan konsep dan persepsi tersendiri. Berikut pernyataan para ahli :

1.

Nia Kurmasih Pontoh (1992:36), mengemukakan bahwa konsep awal pelestarian adalah konservasi, yaitu upaya melestarikan dan melindungi sekaligus memanfaatkan sumber daya suatu tempat dengan adaptasi terhadap fungsi baru, tanpa menghilangkan makna kehidupan budaya. 12

2.

Eko

budihardjo

(1994:22),

upaya

preservasi

mengandung

arti

mempertahankan peninggalan arsitektur dan lingkungan tradisional/kuno persis seperti keadaan asli semula. Karena sifat prservasi yang stastis, upaya pelestarian memerlukan pula pendekatan konservasi yang dinamis, tidak hanya mencakup bangunannya saja tetapi juga lingkungannya (conservation areas) dan bahkan kota bersejarah (histories towns). Dengan pendekatan konservasi, berbagai kegiatan dapat dilakukan, menilai dari inventarisasi bangunan bersejarah kolonial maupun tradisional, upaya pemugaran (restorasi), rehabilitasi, rekonstruksi, sampai dengan revitalisasi yaitu memberikan nafas kehidupan baru. 3. Dalam Piagam Burra Tahun 1981 (Sumargo, 1990), disepakati istilah konservasi sebagai istilah bagi semua kegiatan pelestarian, yaitu segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultral yang dikandungnya terpelihara dengan baik. Konservasi dapat meliputi segala kegiatan pemeliharaan dan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat dapat pula mencakup preservasi, restorasi, rekontruksi, adaptasi dan revitalisasi. 4. Mundardjito (2002) : Terbentuknya suatu kota dalam banyak sisi dapat dilihat sebagai suatu produk dari perkembangan kebudayaan di dalamnya terdapat perwujudan ideologi sosial serta perkembangan teknologi yang membantu mengkonstruksikan suatu daerah menjadi kota yang kita kenal kini. Artinya, terbentuknya kota sedikit banyak berdasarkan atas pengetahuan, norma, kepercayaan dan nilai-nilai budaya dari masyarakatnya di masa lalu.

2.2

Manfaat Pelestarian Sebagaimana telah digariskan dalam Undang Undang Republik Indonesia No.

5 Tahun 1992, perlindungan terhadap benda cagar budaya dan situs, bertujuan melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia, mengingat bahwa benda cagar budaya memiliki arti penting bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

13

Pelestarian bangunan bersejarah juga merupakan suatu pendekatan yang strategis dalam pembangunan kota, karena pelestarian menjamin kesinambungan nilai-nilai kehidupan dalam proses pembangunan yang dilakukan manusia. Manfaat pelestarian juga dikemukakan oleh beberapa ahli di bidang pelestarian di antaranya : a. Menurut Budihardjo dalam Thamrin (1988 : 11), terdapat beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari pelestarian bangunan dan kawasan bersejarah di antaranya : 1. Pelestarian memperkaya pengalaman visual, menyalurkan hasrat untuk kontinuitas, memberi kaitan yang berarti dengan masa lalu, serta memberi pilihan untuk tinggal dan bekerja di samping lingkungan modern. 2. Pada saat perubahan dan pertumbuhan terjadi secara cepat seperti sekarang, kelestarian lingkungan lama memberi suasana permanen yang menyegarkan. 3. Pelestarian memberi keamanan psikologis bagi seseorang untuk dapat melihat menyentuh dan merasakan bukti-bukti fisik sejarah. 4. Kelestarian mewariskan arsitektur, menyediakan catatan historis tentang masa lalu dan melambangkan keterbatasan masa hidup manusia. 5. Kelestarian lingkungan lama adalah salah satu aset komersial dalam kegiatan wisata internasional. 6. Dengan dilestarikannya warisan yang berharga dalam keadaan baik maka generasi yang akan datang dapat belajar dari warisan-warisan tersebut dan menghargainya sebagaimana yang dilakukan pendahulunya. b. Menurut Shirvani (1985:44-45) terdapat beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari pelestarian bangunan dan kawasan bersejarah di antaranya : 1. Manfaat kebudayaan yaitu sumber-sumber sejarah yang dilestarikan dapat menjadi sumber pendidikan dan memperkaya estetika. 2. Manfaat ekonomi yaitu adanya peningkatan nilai property, peningkatan pada penjualan ritel dan sewa komersil, penanggulangan biaya-biaya relokasi dan peningkatan pada penerima pajak serta pendapatan dari sektor pariwisata. 3. Manfaat sosial dan perencanaan, karena upaya pelestarian dapat menjadi kekuatan yang tepat dalam memulihkan kepercayaan masyarakat. c. Menurut (Gufron, 1994:21), manfaat pelestarian diantaranya : 1. Warisan sejarah yang mengganbarkan kebesaran atau peristiwa yang terjadi di zamannya.

14

2. Memperkaya seni budaya setempat dan nasional, yang dapat menggambarkan jati diri bangsa. 3. Sebagai bukti kelengkapan sejarah perkembangan arsitektur di kota tersebut. 4. Merupakan hasil prestasi sejarah arsitektur di kota tersebut. 5. Sebagai bahan kajian yang sangat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, terutama yang menyangkut masalah perkotaan. 6. Merupakan bukti hasil prestasi sejarah penataan kota di kota tersebut. 7. Adanya bangunan bersejarah dengan bentuk arsitektur yang unik dan menarik dapat dijadikan studi perbandingan oleh para arsitek dan perencana kota dalam mendesain bangunan dan menata lingkungannya. 8. Tetap terjaganya keutuhan elemen pembentuk citra dan estetika kota tersebut. 9. Sebagai orientasi lokasi yang jelas bagi masyarakat sehingga mereka mengetahui di bagian mana mereka berada. 10. Pelestarian bangunan dan kawasan bersejarah dapat dijadikan paket wisata bagi turis asing dan lokal yang ingin mengenang peristiwa masa lalu. Pelaksanaan upaya pelestarian bangunan bersejarah di beberapa negara telah menunjukan hasil yang tidak terlalu mengecewakan. Banyak negara-negara Eropa yang merasakan keuntungan dari upaya pelestarian dengan mendapat tambahan pendapatan dari sektor pariwisata disamping terjaganya kesinambungan peninggalan sejarah elemen-elemen pembentuk citra dan estetika kota-kotanya. 2.3 Masalah Pelestarian Dalam pelaksanaan pelestarian bangunan dan kawasan bersejarah, selain terdapat manfaatnya ada juga berbagai masalah yang di hadapi. Beberapa masalah diantaranya: :Pelestarian sering dianggap penghambat perubahan dan kemajuan baik dari segi material maupun imajinasi. Di Inggris pelestarian dianggap menimbulkan destorsi terhadap situasi pasar sehingga mengurangi probabilitas kepentingan umum. Para developer dan ekonom memandang pelestarian sebagai suatu yang menghambat pertumbuhan alam dan perubahan dari suatu daerah kehidupan modern.

15

Menurut Iskandar dalam tulisannya Problem Pelestarian Warisan Budaya (Konstruksi, Mei 1996) mengemukakan beberapa masalah dalam pelestarian warisan budaya yang dapat diidentifikasi diantaranya : 1. Masalah Historis Secara historis, upaya pelestarian bangunan hanya dianggap sebagai pekerjaan arkeolog dan tidak berkontribusi bagi pembangunan masa depan. Dalam kultur modern yang beriorentasi ke masa depan, maka memelihara warisan sejarah hanya dianggap pemborosan. Padahal, warisan arsitektur lama adalah sumber ilham bagi ilmu pengetahuan untuk kini dan masa depan yang berkarakter dan jati diri yang khas serta selaras dengan lingkungan kultural maupun fisiknya. 2. Masalah Sosial dan Budaya Cara berpikir tentang pelestarian bangunan yang sempit dan naf, kadangkadang diakibatkan oleh prasangka negatif dalam aspek sosial budaya atau bahkan religi. Sebagai contoh, konservasi bangunan kolonial dinilai merendahkan martabat bangsa karena mengingat bahwa kita pernah dijajah. 3. Masalah Ekonomi Pelestarian bangunan bersejarah dianggap tidak efektif terhadap anggaran yang dikeluarkaan dan terlihat mewah, sejarah dianggap masa lalu yang tidak memiliki makna apa-apa. 4. Masalah Teknologi dan Sumber Daya Pelestarian bangunan khususnya untuk bangunan-bangunan monumental yang sudah tua membutuhkan anggaran dan teknologi yang tinggi. Upaya pelestarian bangunan bersejarah seolah berbenturan dengan orientasi mencari keuntungan ekonomi. 5. Masalah Hukum dan Peraturan Pemerintah Meskipun sudah ada peraturan menyangkut pelestarian lingkungan dan bangunan bersejarah, namun masih terdapat kelemahan pada faktor lingkup, sanksi, pengawasan dan evaluasinya. Banyaknya pelanggaran terjadi dan peraturan serta sanksinya tidak memadai atau tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya untuk menangani pelanggaran itu. 2.4 Kriteria Pelestarian

16

Dalam menentukan apakah suatu bangunan, artefak, situs, kawasan, dan benda bersejarah lainnya termasuk dalam obyek yang perlu dilestarikan, digunakan kriteriakriteria pelestarian. Berikut terdapat kriteria-kriteria pelestarian diantaranya : 2.4.1 1. Kriteria Umum Estetika Bangunan Istilah estetika dapat digunakan untuk mengganti pengertian indah, bagus , menarik atau mempesona (Lubis, 1990 : 96). Penilaian estetika suatu bangunan sangat tergantung dari perasaan, pikiran, pengaruh lingkugan dan norma yang bekerja pada diri pengamat. Estetika suatu bangunan sangat terkait erat dengan penampilan bangunan, wajah bangunan dan tampak bangunan yang kita lihat dengan mata sebelum dirasakan kesan estetisnya dalam perasaan. Dalam menilai estetika suatu bangunan. 2. Contoh dari gaya/langgam arsitekutur tertentu (kejamakan) Kejamakan suatu bangunan dinilai dari seberapa jauh karya arsitetur tersebut mewakili suatu ragam atau jenis khusus yang spesifik, mewakili kurun waktu sekurang-kurangnya 50 tahun. Dalam hal ini ragam/lagam yang spesifik yang pada arsitektur bangunan-bangunan bersejarah (Ellisa, 1996) : Langgam arsitektur Klasik/Kolonial (Neoklasik/ Art Deco/ Gothic/ Renaisans/ Romanik. Langgam arsitektur Kolonial tropis (langgam arsitektur Klasik yang telah diadaptasi dengan iklim tropis di Indonesia). Langgam arsitektur Eklektik/Indisch Style (langgam arsitektur Klasik/Kolonial tropis yang mengandung unsur tradisional Melayu atau daerah lainnya di Indonesia). 3. Langgam arsitektur campuran (Klasik/Kolonial dengan Cina, Islam, atau India, atau campuran diantaranya) Kelangkaan Kriteria kelangkaan menyangkut jumlah dari jenis bangunan peninggalan sejarah dari langgam tertentu. Tolak ukur kelangkaan yang digunakan adalah bangunan dengan langgam arsitektur yang masih asli sesuai dengan asalnya. Yang termasuk kategori langgam arsitektur yang masih asli (Ellisa, 1996) :

17

1. Langgam arsitektur Klasik/Kolonial (Neoklasik/ Art Deco/ Gothic/ Renaisans/Romanik. 2. Langgam arsitektur Cina 3. Langgam arsitektur melayu 4. Langgam arsitektur India 5. Langgam arsitektur Malaka (Melayu-Cina) 6. Langgam arsitektur Islam 4. Keistimewaan/Keluarbiasaan Tolak ukur yang digunakan untuk menilai keitimewaan/keluarbiasaan suatu bangunan adalah bangunan yang memiliki sifat keistimewaan tertentu sehingga memberikan kesan monumental, atau merupakan bangunan yang pertama didirikan untuk fungsi tertentu (misalnya Mesjid pertama, Gereja pertama, Sekolah pertama, dll). Kesan monumental suatu bangunan dinilai dari skala monumental yang dimiliki bangunan tersebut. Pengertian skala dalam arsitektur adalah suatu kualitas yang menghubungkan banguna atau ruang dengan kemampuan manusia dalam memahami bangunan atau ruang tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan skala menumental adalah suatu skala ruang yang besar dengan suatu obyeknya yang mempunyai nilai tertentu, sehingga manusia akan merasakan keagungan dalam ruangan. Dengan melihat bangunan yang memiliki skala menumental diharapkan pengamat akan merasa terkesan (impressed) dan kagum, tetapi bukannya merasa takut karena merasa kecil dan rapuh. 5 Peranan sejarah Tolak ukur yang digunakan untuk menilai bangunan yang memilki peranan sejarah adalah : Bangunan atau lokasi yang berhubungan dengan masa lalu kota dan bangsa, merupakan suatu peristiwa sejarah, baik sejarah Kota Bandung, Nasional, maupun sejarah perkembangan kota . Bangunan atau lokasi yang berhubungan dengan orang terkenal atau tokoh penting. 6. Bangunan hasil pekerjaan seorang arsitek tertentu, dalam hal ini arsitek yang berperan dalam perkembangan arsitektur di Indonesia pada masa Kolonial. Penguat kawasan disekitarnya sejarah

18

Tolak ukur yang digunakan adalah bangunan yang menjadi landmark bagi lingkungannya, dimana kehadiran bangunan tersebut dapat meningkatkan mutu/kualitas dan citra lingkungan sekitarnya. Beberapa keadaan yang dapat memudahkan pengenalan terhadap suatu bangunan sehingga dapat menjadi ciri dari suatu landmark antara lain adalah (lynch, 1992 : 79-83) : Bangunan yang terletak disuatu tempat yang strategis dari segi visual, yaitu di persimpangan jalan utama atau pada posisi tusuk sate dari suatu pertigaan jalan. Bentuknya istimewa karena besarnya, panjangnya, keindahannya, ketinggiannya, atau karena keunikan bentuk. Jenis penggunaannya, semakin banyak orang yang menggunakannya maka akan semakin mudah pula pengenalan terhadapnya. Sejarah perkembangannya yaitu semakin besar peristiwa sejarah yang terkait terhadapnya maka semakin mudah pula pengenalan terhadapnya. 2.4.2 1. Kriteria Menurut Para Ahli Menurut Catanese (dalam Pontoh, 1992 : 36), kriteria yang perlu diperhatikan dalam menentukan obyek pelestarian mencakup : 1. Estetika : berkaitan dengan nilai arsitektural, meliputi bentuk, gaya, struktur, tata kota, mewakili prestasi khusus atau gaya sejarah tertentu. 2. Kejamakan : obyek yang akan dilestarikan mewakili kelas dan jenis khusus. Tolak ukur kejamakan ditentukan oleh bentuk suatu ragam atau jenis khusus yang spesifik. 3. Kelangkaan : kelangkaan suatu jenis karya yang merupakan sisa warisan peninggalan terahir dari gaya tertentu yang mewakili jamannya dan tidak dimiliki daerah lain. 4. Keluarbiasaan : suatu obyek konservasi yang memiliki bentuk menonjol, tinggi dan besar. Keistimewan memberi tanda atau ciri kawasan tertentu. 5. Peranan sejarah : lingkungan kota atau bangunan yang memiliki nilai sejarah, suatu peristiwa yang mencatat peran ikatan simbolis suatu rangkaian sejarah, dan babak perkembangan suatu kota.

19

6. Memperkuat kawasan : kehadiran suatu obyek atau karya akan mempengaruhi kawasan-kawasan sekitarnya dan bermakna untuk meningkatkan mutu dan citra lingkungannya. 2. Menurut Haryoto Kunto dalam buku "Wajah Bandoeng Tempo Doloe" 1. Sesuai dengan "Monumenten Ondonantie" tahun 1931, yaitu bangunan yang sudah berumur 50 tahun atau lebih, yang "kekunoannya" (antiquity) dan "keasliannya" telah teruji. 2. Ditinjau dari segi estetika dan seni bangunan, memiliki "mutu" cukup tinggi (master piece) dan mewakili gaya corak-bentuk seni arsitektur yang langka. 3. Bangunan atau monumen, yang representetif mewakili jamannya. 4. Monumen/Bangunan mempunyai anti dan kaitan sejarah dengan Kota Bandung, maupun peristiwa nasional/internasional. 3. Snyder dan Catanese (1979) Sebagai pengkajian suatu kawasan/bangunan kuno/bersejarah guna

dikonservasi memiliki 6 (enam) tolak ukur yaitu dilihat dari segi : 1. Kelangkaan (karya sangat langka, tidak memiliki oleh daerah lain). 2. Kesejarahan (lokasi Peristiwa bersejarah yang penting), Estetika (memiliki keindahan bentuk, struktur, atau ornament). 3. Superlativitas (tertua, tertinggi, terpanjang), Kejamakan (karya yang tipikal, mewakili suatu jenis atau ragam bangunan tertentu). 4. Kualitas Pengaruh (keberadaannya akan meningkatkan citra lingkungan sekitarnya). 4. Pontoh (1992 :37) Kriteria dalam memperimbangkan obyek yang akan dikonservasi dapat pula dikategorikan sebagai berikut 1. Nilai (value) dari obyek, mencakup nilai estetik yang didasarkan pada kualitas bentuk maupun detilnya. Suatu obyek yang unik dan karya yang mewakili gaya zaman tertentu, dapat digunkan sebagai contoh suatu obyek konservasi. 2. Fungsi obyek dalam lingkungan kota, berkaitan dengan kualitas lingkungan secara menyeluruh, obyek merupakan bagian dari kawasan bersejarah dan sangat berharga bagi kota. Obyek juga merupakan tengeran

20

(landmark) yang memperkuat karakter kota yang memiliki keterkaitan emosional dengan warga setempat. 3. Fungsi lingkungan dan budaya : penetapan kriteria konservasi tidak terlepas dari keunikan pola hidup suatu lingkungan social tertentu yang memiliki tradisi kuat. Sesuatu obyek akan berkaitan erat dengan fase perkembangan wujud budaya tersebut.

Untuk skala yang lebih luas, yaitu bagian kota atau wilayah, kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan obyek pelestarian adalah (Pontoh, 1992 : 37) : 1. Kriteria Arsitektural : suatu kota atau kawasan yang akan dipreservasikan atau konservasikan memiliki kriteria kualitas arsitektur yang tinggi, disamping memiliki proses pembentukan waktu yang lama atau keteraturan dan kebanggaan (elegance). 2. Kriteria Historis : kawasan yang dikonservasikan memiliki nilai historis dan kelangkaan yang memberikan inspirasi dan referensi bagi kehadiran bangunan baru, meningkatkan vitalitas bahkan menghidupkan kembali keberadaannya yang memudar. 3. Kriteria Simbolis : kawasan yang memiliki makna simbolis paling efektif bagi pembentukan citra suatu kota. 5. Attoe (dalam Catanese & Snyder 1992 : 423-424) Perbedaan kualitas dan tingkat pentingnya dalam menentukan obyek pelestarian didasarkan pada lima pertimbangan sebagai berikut : 1. Karena dianggap yang pertama : bangunan yang dianggap sebagai bangunan yang pertama dibangun, misalnya gereja pertama, bangunan bertingkat pertama, dan lain-lain. 2. Karena menurut sejarah patut diperhatikan : bangunan yang memiliki kaitan dengan peristiwa atau tokoh sejarah tertentu. 3. Karena patut dicontoh : bangunan yang merupakan hasil karya besar dengan prestasi khusus untuk golongannya dan karena keistimewaannya ini patut dicontoh. 4. Karena tipikal : bangunan yang melambangkan tradisi kebudayaan, yaitu mencerminkan kedaan sebenarnya, cara kehidupan dan cara melakukan sesuatu pada sesuatu tempat dan suatu waktu tertentu. 21

5. Karena langka : bangunan yang unik dan langka dan merupakan warisan terahir dari suau tipe bangunan.

2.5

Lingkup Kegiatan Pelestarian Lingkup kegiatan pelestarian mencakup objek-objek yang dianggap sesuatu

yang patut dijaga karena terdapat nilai-nilai ilmu pengetahuan dan manfaat lain bagi kehidupan umat manusia sehingga ditetapkan sebagai objek pelestarian. Berikut lingkup kegiatan pelestarian diantara : 1. Lingkungan alami (Natural Area) ; daerah pesisir, daerah pertanian hutan, daerah archeologis dan lain-lain. 2. Kota dan Desa (Town and Villages) seperti Williamsburg, Deerfield, dan Nantucket di USA atau west Wycmbe dan Lacock di Inggris. 3. Garis cakrawala dan koridor pandang (Skylines and View Corridor) seperti pengendalian terhadap ketinggian bangunan dan pengarahan pandangan terhadap view dan vista yang baik. 4. Kawasan (Districts) seperti kawasan yang mewakili gaya tradisi tertentu yang dilindungi terhadap kehancuran dan penambahan figure-figur baru. 5. Wajah jalan (Street-Scapes) seperti pelestarian fasade bangunan-bangunan dan perlengkapan jalan. 6. Bangunan (Buildings) merupakan obyek pelestarian yang paling tua dan paling lazim. 7. Benda dan penggalan seperti puing-puing akibat ledakan, bagian tembok kota, fasade bangunan, trem listrik, kereta kabel, dan sebagainya. Attoe (1986), mengklasifikasikan objek pelestarian secara lebih bervariasi. Lingkup pelestarian tidak hanya terbatas pada bangunan, melainkan mencakup : 1. 2. 3. 4. Lingkungan alami seperti kawasan pesisir, kehutanan, kawasan arkeologi dan sebagainya. Kota dan desa Garis langit (sky line) dan koridor pandang (view corridor). Kawasan yang mewakili gaya tradisi tertentu dan patut dilindungi.

22

5. 6. 7.

Wajah jalan (streetscape) seperti pelestarian fasade bangunan dan kelengkapan jalan. Bangunan tua yang memenuhi kriteria untuk dilestarikan. Benda seperti puing sejarah, trem listrik, kereta kabel dan sebagainya yang memiliki arti penting.

23

You might also like