You are on page 1of 24

KAMASUTRA BUGIS

(Domestifikasi dan Rekonsiliasi Ajaran Islam dengan Budaya Bugis tentang Adab Senggama Suami Istri dalam Kitta Assikalaibinengeng)

Sangat mungkin La Paddaga Abd al-Rahim tidak bermaksud melakukan dekonstruksi atas cara, etika atau adab senggama berhubungan (adab) seperti ditulis dalam naskah Kitab Kamasutra (India), Serat Centini (Jawa), Serat Nitimani (Jawa). Dalam isi naskah KA ini, Abd al-Rahim dengan sangat jelas memerikan secara konsistensi nuansa agama (sufistik) yang tidak ditemukan dalam Kamasutra, Serat Centini dan Serat Nitimani. Karena itu, Naskah KA ini bisa disebut sebagai Text goes beyond Kamasutra, Centini and Nitimani. Disebut seperti itu, karena ia tidak hanya mementingkan kenikmatan dan kepuasaan seks, tetapi lebih dari itu KA sekaligus mementingkan kualitas hubungan sampai pada pengaruhnya terhadap kualitas anak yang akan dilahirkan dan keterpeliharaan seorang istri baik jasmani maupun rohani.

A. Latar Belakang Teologi seksualitas dalam kajian naskah kuno khususnya dalam naskah Kitta Assikalaibinengeng (selanjutnay disebut KA) akan dikaji tidak dalam pengertian persaingan agama dengan budaya Bugis. Tetapi, KA akan diperbincangkan justru sebagai sebuah naskah berusaha merekonsiliasi adat atau tradisi Bugis dengan ajaran Fiqih tentang adab senggama (jima). Naskah KA yang akan diteliti ditulis pada abad ke 18 oleh La Paddaga Abd al-Rahim.1 Besar kemungkinan beliau adalah seorang Ulama penulis yang sekaligus sebagai ahli tarekat karena isi naskah KA banyak dibumbui dengan warna tasawuf.
1

S.Paeni, Katalog Nusantara: Sulawesi Selatan, (Makassar: Universitas Hasanuddin kerjasama the Ford Foundation, 2003).

Studi tentang manuskrip Bugis, Makassar dan Mandar yang kemudian lebih dikenal dengan nama lontaraq belum banyak terjamah baik oleh sarjana Lokal maupun sarjana Barat. Bagi Fachruddin A.Enre, lontaraq merupakan pustaka atau naskah yang berisikan sejarah, hukum atau pemerintahan.2 Dalam kaitan dengan keberadaan lontaraq, Muhlis Hadrawi seorang filolog dari Universitas Hasanuddin Makassar, menjelaskan bahwa terdapat kurang lebih 4.000 manuskrip kuno Bugis yang masih tersebar di beberapa sentra naskah seperti di Kabupaten Bone, Barru, Soppeng, Wajo, Sidrap, dan Sinjai yang belum terdokumentasi. Sementara hal yang sama juga berlaku untuk naskah kuno Makassar yang banyak tersebar di kabupten Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto.3 Perkembangan sejarah tradisi tulis orang Bugis dapat dibagi menjadi tiga zaman. Dalam hal ini, Ambo Enre membagi periodisasi menjadi masa awal (sampai pada tahun 1605). Periode awal berakhir setelah masuknya Islam di Sulawesi Seatan. Kedua, masa pertengahan (1605-1905) dimulai dengan masuknya Islam dan berakhir dengan takluknya semua kerajaan di Sulawesi Selatan di bawah kekuasaan Belanda.

Fachruddin Ambo Enre, Ritumpanna Welenrennge: Sebuah Episoda Sastra Bugis Klasik Galigo, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia kerjasama Ecole Francaise d Extreme Orient dan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1999). Muhlis Hadrawi, menyebutkan terdapat sejumlah 4.048 naskah kuno (lontara) lainnya telah terdokumentasi dan disimpan dalam bentuk mikrofilm di Badan Arsip Nasional Makassar dan masuk katalog. Lihat: Muhlis Hadrawi Naskah Kuno Bugis-Makassar Tak Tergarap dalam http://oase.kompas.com/read/xml/2009/04/19/01285570/manuskrip.bugis-makassar.tak.tergarap tanggal 19 April 2009. Diakses tanggal 4 Juni 2009
3

Ketiga, masa baru (1905-1942) berakhir pada masa pendudukan Jepang.4 Dari sini bisa dilihat bahwa titik singgung karya tulis Bugis keagamaan berada pada masa pertengahan yakni ketika Islam dianut sebagai agama kerajaan pada tahun 1605 oleh kerajaan Goa. Pada era tersebut, corak keislaman yang dikembangkan di daerah Bugis Makassar sangat bernuansa sufistik. Pengetahunan syariah belum terlalu ditonjolkan, kalupun ada hanya sebatas ibadah praktis saja. Sementara itu, sejarah awal perjumpaan Islam dengan masyarakat BugisMakassar berlangsung secara damai. Hal ini sangat mugkin terjadi karena warna Islam yang dibawa para dai (muballig) lebih bercorak tasawuf yang lebih akomodatif dibanding Islam-Syariah. Sementara itu, tasawuf5 merupakan tema dominan yang dibicarakan dalam koteks keislaman Nusantara. Hal ini disebabkan karena ajaran Islam yang dibawa para penganjur Islam pada abad ke 13 lebih banyak berkarakter sufi yang cukup kental. Tasawuf atau sufisme. Sekitar 4.000 manuskrip klasik BugisMakassar beraksara lontara dan Arab belum terdokumentasi. Sejumlah 4.048 lontara lainnya telah terdokumentasi dan disimpan dalam bentuk mikrofilm di Badan

Fachruddin Ambo Enre, Ritumpanna Welenrennge: Sebuah Episoda Sastra Bugis Klasik Galigo, (1999), h. 88. Secara etimologi kata tasawuf berarti bulu domba (wol). Pada mulanya, kata tasawuf ditunjukkan pada sekelompok orang yang ingin hudup sederhana dan menjalani hidup sebagai orangorang miskin dengan memakai kain suf (wol kasar). Lihat, Oman Fathurahman, Tanbih al-Masyi alMansub Ila Tariq al-Qusyasyiyy: Tanggapan As-Sinkili Terhadap Kontroversi Doktrin Wujudiyah di Aceh pada Abad XVII, (Suntingan Teks dan Analisa Isi), (Jakarta: Thesis pada Program Studi Susastra Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998), h. 1. Selanjutnya lihat pula, Harus Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Cet. VI; Jakarta: Universitas Hasanuddin, 1986), h. 72.
5

Arsip Nasional Makassar dan masuk katalog. Akan tetapi, katalog itu tidak lengkap atau keliru mendeskripsikan naskah sehingga menyulitkan peneliti. Dalam konteks tradisi tulis bangsa Bugis-Makassar, dikenal ada dua genre sastra sebagai tradisi tulis yakni Lontaraq (prosa) dan Sureq (puisi). Cense mendefinisikan lontaraq, sebagai naskah tulis tangan berisi silsilah, catatan hairan atau kumpulan berbagai catatan terutama yang menyangkut catatan. 6 Kalau definisi ini dipakai maka Kitta Assikalaibinengeng (selanjutnya dipakai KA) tidak bisa dikategorikan sebagai lontaraq. Sebabnya, karena struktur KA berbentuk narasiprosa. Untungnya, definisi lontaraq kemudian diperluas oleh A. Zainal dengan membuat kategori-kategori. Menurutnya, kategori tersebut dibagi menjadi lontarq attoriolong (sejarah), adeq (adat istiadat), ulu ada (perjanjian), allopi-loping (pelayaran), panguriseng (silisilah), pallaoruma (pertanian), dan lontaraq bilang (nujum-hisab).7 Oleh karena itu, KA ini merupakan genre sastra Bugis yang dikategorikan sebagai lontaraq ade, karena naskah ini menjelaskan tata krama dalam berhubungan suami istri. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha mengkaji salah satu naskah kuno Bugis Kitta Asikalaibinengeng (kit asiklaibienGE) yang boleh saja diklaim sebagai Kamasutra versi Bugis. Isi naskah kuno ini serupa tapi tidak sama dalam

Fachruddin Ambo Enre, Ritumpanna Welenrengnge: Sebuah Episoda Sastra Bugis Klasik Galigo, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia bekerjasama dengan Ecole Francaise dExtreme Orient dan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1999), h. 86.
7

Fachruddin Ambo Enre, Ritumpanna Welenrengnge: (1999), h. 86.

Kamasutra (India) atau Serat Centini dan Serat Nitimani (Jawa), Ars Amatoria, The Art of Love, (Romawi). Mencermati isi naskahnya, dapat dipastikan bahwa KA ditulis setelah kedatangan Islam di Nusantara yakni di atas tahun 1605. Di sinilah letak menariknya KA sebagai objek kajian dalam penelitian ini. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah persoalan yang terkait dengan naskah Kitta Assikalaibinengeng (KA) yang ditulis oleh La Paddaga Abd al-Rahim. Masalah yang merupakan kegelisahan intelektual peneliti adalah pandangan pengarang sebagai seorang Muslim tentang hubungan suami istri (jima) yang sesuai dengan ajaran Islam dan adatistiadat masyarakat Bugis. 1. Apakah naskah Kitta Assikalaibinengeng (KA) merupakan naskah tunggal atau multi? 2. Apakah naskah Kitta Assikalaibinengeng (KA) bernilai filologis sehingga memungkinkan untuk menghasilkan edisi teks? C. Tujuan Penelitian 1. Menentukan varian atau variasi naskah Kitta Assikalaibinengeng (KA) 2. Menelusuri nilai filologis naskah Kitta Assikalaibinengeng (KA) serta melakukan penyuntingan (edisi).

D. Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri atas lima bab. Bab pertama sebagai bab pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode dan sistematika penulisan. Bab pertama ini berfungsi sebagai petunjuk bagaimana penelitian ini dilakukan. Bab dua merupakan bab tentang kritik teks yang berusaha memerikan secara detail inventarisasi naskah dan deskripsi naskah. Bab ketiga edisi teks dan terjemahan KA berisi tentang tujuan dan metode suntingan teks KA, pertanggungan transliterasi, transliterasi KA serta terjemahan teks KA. Bab keempat penutup berisi kesimpulan-kesimpulan dan implikasi penelitian.

BAB II KRITIK TEKS

A. Pengantar Kritik teks terhadap naskah dalam Kitta Akkalaibinengeng (KA) diarahkan untuk menjelaskan varian sekaligus versi KA yang lebih utuh dan lengkap. Meskipun penulisan naskah pada dasarnya tunggal, termasuk Kitta Akkalaibinengeng (KA), namun fenomena penyalinan naskah pada era selanjutnya dilakukan secara berulangulang. Menurut, Achadiati Ikram seperti dikutip O. Fathurahman, justru karena proses penyalinan naskah yang berulang tersebut telah menimbulkan perbedaan, perubahan dan bahkan penyimpangan dari naskah pertama baik yang disengaja maupun yang tidak.8 Oleh karena itu, KA dipandang sebagai naskah multi seperti diakui sendiri oleh banyak filolog lokal termasuk Muhlis Hadrawi. Namun demikian, variasi bacaan bisa dipahami sebagai bentuk kreasi penyalin agar bisa diterima oleh pembacanya.9 B. Inventarisasi Naskah Dari hasil penelusuran naskah Kitta Assikalaibinengeng (KA) yang dalam Katalog Sulawesi Selatan disebut Bunga Rampai Lontara merupakan milik Bannase dari Lawo Kabupaten Soppeng yang tersimpan dalam Perpustakaan Utama
Oman Fathurahman, Tanbih al-Masyi al-Mansub Ila Tariq al-Qusyasyiyy: Tanggapan AsSinkili Terhadap Kontroversi Doktrin Wujudiyah di Aceh pada Abad XVII, (Suntingan Teks dan Analisa Isi), (1998), h. 9. Lihat pula, Achadiati Ikram, Filologia Nusantara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1997), h. 33.
9 8

Oman Fathurahman, Tanbih al-Masyi al-Mansub Ila Tariq al-Qusyasyiyy, (1998), h. 9

UNHAS

(Universitas

Hasanuddin)

dengan

kode

pencarian

No.

01/MKH/23/Unhas/UP. Naskah ini dapat ditemukan pada Rol. 45 No. 23. Perlu disampaikan bahwa naskah yang kami teliti diperoleh dari Museum Warisan Budaya dan Peradaban UIN Alauddin Makassar, yang sejatinya dibawa untuk kepentingan pelatihan tanpa melalui proses inventarisasi melalui katalog.10 Dan pada saat kami melakukan penelusuran naskah pada Perpustakaan Nasional, informasi yang diperoleh adalah bahwa naskah tersebut berikut variasinya hanya terdapat di Perpustakaan Universitas Hasanuddin Makassar dan mikrofilmnya dapat ditemui di Arsip Nasional. Keterbatasan waktu tidak memungkinkan kami untuk menelusuri ke tempat-tempat yang dimaksud. Namun, menurut Muhlis Hadrawi ketika melakukan penelusuran dalam rangka penelitian tesis, versi atau mungkin saja varian lain dari Kitta Assikalaibinengeng (KA) terdapat dalam Arsip Nasional. Menurut beliau, masih terdapat 26 versi lain. Seperti diakui Hadrawi, mulanya versi dan varian lain naskah KA adalah milik Raja Bone yang diambil (curi) oleh Belanda pada tahun 1905. Sayangnya, peneliti belum mempunyai akses untuk menggunakan naskah KA versi Raja Bone sebagai bahan interteks sampai proposal ini ditulis.11 Singkatnya, dalam proses inventarisasi naskah, kami hanya memiliki satu buah naskah sehingga tidak ada naskah pembanding.
Sangat disayangkan, karena terikat oleh agenda pelatihan, kami baru dapat mengakses katalog justru setelah tulisan ini ditransliterasi dan diterjemah. 11 Muhlis Hadrawi Naskah Kuno Bugis-Makassar Tak Tergarap dalam http://oase.kompas.com/read/xml/2009/04/19/01285570/manuskrip.bugis-makassar.tak.tergarap tanggal 19 April 2009. Diakses tanggal 4 Juni 2009
10

C. Deskripsi Naskah Naskah KA terdiri atas 350 halaman dengan menggunakan aksara Bugis dan Arab. Naskah KA berukuran 16,5 x 10,5 cm dan tersimpan dalam rol 45 nomor 23. Tulisan pada naskah ini menggunakan dua bahasa yakni Bugis dan Arab dengan menggunakan kertas dengan cap air (watermark) bergambar Gajah dan Pohon Kelapa. Dari segi struktur penulisan, La Paddaga Abd al-Rahim dalam naskah KA menggunakan 13 baris dalam satu halaman yang terdiri atas rata-rata 3 sampai 4 kata diluar tanda titik. Kolofon naskah KA ini diletakkan pada halaman terakhir. Pada bagian atas tertulis Qaul al-Haq kemudian diteruskan dengan kalimat salama majeppu sure bate limanna La Paddaga Abd al-Rahim sure appunangenna mutosa, kunie monro bicaranna allaibinengenna orowane makunraiyye, salama temarulle. Dari keterangan ini dipastikan bahwa penulis naskah ini adalah La Paddaga Abd al-Rahim. Halaman awal teks naskah KA tidak ditemukan sehingga tidak diketahui apakah naskah ini dimulai dengan basmalah dan assalamu alaikum sebagaimana lazimnya tulisan-tulisan yang bernuansa agama Islam. Dari segi isi naskah, belum dapat dipastikan corak tasawuf12 apakah yang mewarnai isi naskah ini terutama pada pasal assikalaibinengeng (adab atau etika senggama) suami istri.

Sangat patut diduga unsur sufistik atau warna tasawuf dalam naskah KA ini karena dalam kitab fiqih Jima penjelasan mendetail mengenai hubungan suami istri ini tidak ditemukan. Sementara itu, gerakan tasawuf baik yang beraliran Khalwati, Qadiriyah, Naqsyabandi sangat massif pada saat nasakah ini ditulis.

12

10

Kitab Assikelebenengeng, selanjutnya disebut KA, ditulis oleh Lapaddaga Abd al-Rahim yang berisi tata cara jima (hubungan suami istri) dalam konsep budaya Bugis. Naskah ini bisa juga disebut sebagai Kitab Kamasutra Bugis. Genre isi naskah ini sangat variatif karena ia berisi ajaran fiqih dan akhlak tetapi menggunakan tasawuf (sufistik) sebagai system penjelas. Kitab Assikelebenengeng (KA) ini menjelaskan bahwa kualitas hubungan itu jauh lebih baik dari pada frekuensi hubungan suami sitri. Menurut Kitab ini pemanasan (foreplay), konsetrasi, ketenangan dalam hubungan suami istri sangat penting. Di samping itu, KA juga memposisikan suami sebagai pihak yang lebih dominan dalam hubungan ini. Kitab ini tidak seperti buku-buku seks yang mengajarkan jenis dan gaya bersetubuh seperti buku Kamasutra versi India. KA merupakan kitab yang menjelaskan cara mengelola birahi seorang suami kearah yang lebih baik dan secara spiritual. Secara umum, KA menjelaskan bagaimana peran suami dalam hubungan suami istri, waktu-waktu yang baik dalam bersenggama, akomodasi ajaran fiqh (syariat Islam) dalam bersenggama, cara merawat tubuh pasangan suami-istri, tata cara (adab) berhubungan yang banyak dibumbui dengan nuansa sufistik misalnya mengelaborasi zikir dan nafas pada saat berhubngan. Klaim besar kitab ini adalah mencoba melakukan rekonsliasi antara ajaran Islam (fiqih nikah) dan adat dan budaya Bugis dalam dunia senggama suami istri. Singkatnya, substansi naskah Assikalaibineng menyajikan pengetahuan tentang hubungan seks mulai konsep filosofi seks, pengetahuan alat reproduksi,

11

tahapan atau prosedur hubungan, doa-doa, mantra-mantra, teknik perangsangan, posisi dan gaya persetubuhan, teknik sentuhan, penentuan jenis kelamin anak, pengendalian kehamilan, waktu baik dan buruk dalam persetubuhan, tata cara pembersihan tubuh, pengobatan kelamin, serta perlakuan-perlakuan seksual lainnya.

12

BAB III SUNTINGAN TEKS KITTA AKKALAEBINENGENG (KA)

A. Tujuan dan Metode 1. Tujuan Tujuan pokok edisi teks ini adalah menyajikan teks KA yang dapat dipahami dengan jelas, sehingga kandungan isinya dapat bermanfaat bagi pembaca secara luas. 2. Metode Dalam proses pengeditan digunakan metode kritik, sehingga kesalahan penulisan dalam teks asli akan dibetulkan dengan mempertimbangkan konteks bacaan. Seperti telah dipaparkan sebelumnya, naskah KA memiliki banyak versi (multi). Namun, karena katerbatasan waktu, pada saat penyusunan proposal ini kami belum dapat menelusuri versi-versi lainnya sehingga untuk sementara kami mengasumsikan naskah KA ini sebagai naskah tunggal. B. Pertanggungjawaban Transliterasi Teks KA yang menjadi objek penelitian ini ditulis dengan menggunakan bahasa dan aksara Bugis yang hanya bisa dibaca dan difahami oleh kalangan tertentu saja. Oleh karena itu, pengalihaksaraan (transliterasi) ke dalam aksara Latin akan sangat membantu masyarakat luas, khususnya bagi mereka yang tidak dapat membaca aksara Bugis.

13

Kegiatan transliterasi ini meliputi pemberian pungtuasi, titik, koma, titik koma, tanda hubung dan pembagian paragraf, karena teks KA tidak menggunakan tandatanda yang dikenal dalam bahasa Indonesia tersebut. Bahkan, penggunaan tanda baca . yang biasanya digunakan sebagai tanda titik pada naskah-naskah Bugis umumnya, dan biasanya memiliki fungsi sebagai tanda akhir kalimat, ternyata pada naskah KA tanda tersebut justru digunakan sebagai pemisah kata, sehingga setiap kata diselingi dengan tanda .. Berikut ini beberapa prinsip yang dijadikan landasan dalam proses penyuntingan: 1. Pembagian paragraf yang dibuat berdasarkan kesatuan ide serta penggunaan pungtuasi, dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman isi teks. 2. Perbaikan teks meliputi penggantian, penambahan, dan penghapusan bacaan yang dianggap menyimpang. Bacaan pengganti diusahakan berasal dari teks pendukung, dan jika tidak dijumpai, maka bacaan langsung diperbaiki berdasarkan konteks bacaan, sedangkan bacaan teks standar yang diganti, diletakkan dalam aparat kritik. 3. Nomor di akhir sebuah kata, yang ditulis agak naik ke atas, menunjukkan adanya catatan dalam aparat kritik mengenai kata tersebut. 4. Kata dari teks pendukung ditulis dalam aparat kritik hanya jika berbeda dengan kata pada teks standar. 5. Dalam suntingan teks KA ini, ada beberapa tanda yang digunakan, yaitu: - (angka) : untuk menandai nomor halaman pada teks asli, seperti (1).

14

- () - //

: untuk menandai adanya teks yang hilang : untuk menandai bacaan yang diganti dan bersumber pada teks pendukung.

- \\

: untuk menandai bacaan yang diganti atau ditambahkan dan tidak berdasar pada teks pendukung.

- <>

: untuk menandai bacaan yang ditambahkan, dan berasal dari teks pendukung.

6. Pemakaian huruf besar pada awal kalimat atau penyebutan lain didasarkan pada sistem EYD dalam bahasa Indonesia. C. Transliterasi Pedoman transliterasi yang digunakan adalah sebagai berikut: Bugis
k g G K p b m P t d n R

Latin
Ka Ga Nga Ngka Pa Ba Ma Mpa Ta Da Na Nra

Bugis
c j N C y r l w s a h

Latin
Ca Ja Nya Nca Ya Ra La Wa Sa A ha

15

Aksara Bugis hanya memiliki huruf vokal dengan pola sebagai berikut: a= a ai= i au= u ea= e ao= o aE=

(seperti bunyi e dalam kata lemari) Meskipun dalam aksara bugis tidak dikenal huruf mati (konsonan), maupun huruf panjang (maad) dan dobol (tasydiid), namun dalam bahasa tutur ada. Sehingga dalam proses transliterasi naskah KA ini, penulis melakukan penyesuaian dengan bahasa tutur dengan berpedoman pada konteks bacaan. Adapun untuk bunyi panjang dan tasydid, ditulis dengan cara berikut: = bunyi a panjang = bunyi i panjang = bunyi u panjang = bunyi o panjang = bunyi e panjang = bunyi panjang tasydid ditandai dengan huruf dobol, seperti tukk Contoh: Transliterasi yang Naskah asli Transliterasi Murni disesuaikan dengan bahasa tutur tuka u i auln u Tukui uluna Tukki ulunna

16

D. Alih Aksara []13 namasrna Ali dena namette nalaona nalw, tukki ulunna, tukk ajna, pitumpenni pitungngesso. Naiyya Iptima lani teddi Ali, iya napuada Iptima: otokko mai munyamngiwi ininnawmu. Makkadai Ali: Iyapa kuwto mupissngipa sur paddiatungmu ri Allah tala. Makkadai Iptima: Otokomai kupissngiko, nabitta sallallahu alihi wasallama missngngi, naiyye mallinrungnge malekae mani missngngi. Makkadai Ali: ..Patima, mutroi dsa ri Alla Tala telluttaunni (2) sibawmu muinappa mupodangnga. Makkadai Iptima: millaud dampengnga ri Alla Tala kuettpa rko tkkupissngiko, kumangingng mennang tjengngi pammse rko, nade adammu. tokko mai kupangjuko lao ri Nabitta ri pallawangnna wanuawae. Monro natokkonna Ali mla jenne smpjang nainappa massmpjang. Napurna massmpjang nalaona ribolna Nabitta,naenrena tdang, nacabbruna Nabitta mtai menettunna. Nakkadna Nabitta SAW: (3) ga muakkattai Ali? Makkadai Ali: iyya wakkattai mettana madsa ri Alla Tala tkku palttuna paddeatunna ri Alla Tala Iptima, nabitta mani missngngi alttuknna, tamasei lloa tapaissengiya puang gauknna. Nacabberna Nabita SAW nakkadna: ..Ali, nko ri pallae mula bua-bua iyya mupojie mupoleyangngngi benmu. Makkadai Ali: Tania bua-bua wakkattai lao rdi. Makkadai Nabitta: naoko muala bua-bua. Naoni Ali mala pansa, nanrei cipue napoleyangngngi Iptima (4) cipue. Apa iyya sarana makkunraiyye

13

Halaman 1 pada naskah asli telah hilang.

17

ripoleyngengngi napojie, mao cedde mua. Nanaona Nabitta ri pallana naobbni Ali, makkadai Nabitta: ..Ali, naono mai muitai ilmu eppe ripallailaingeng eppe rimakkunrai eppe napanurungnge Alla Tala. Sewwaniritu, masarolebbi, pakeanna nabitta napammanarngngngngi natakkajnnna Ali pattttkiwi pakita uke. Nakkedana Nabitta: Ali ja mupalembai ri krtasae atimmuna missngngi, makkadai Ali: pagruna puang, makkadai nabitta: (5) Ali muissnniga ilmu mangoloe ri Alla Tala ammulanna nyawae, ammulanna mannie, apa iyya missngngi ammulangnge, ri Alla Taala, apa iyya mannie plei ri Alla Tala sibwa elona mato (6) pannssaengngi allaibinengngnge narekko loki (31) massta

makkunraitta. Takarwai bubunna, takkadana:

alpuko

tttong ribubunna Iptima, takarwasi arna takkadasi: Muhamma mallbba di arna Iptima, tapallesi pakkarawta riposna takkadasi: Nabi Adam mallbba di posna Iptima, makkadasiki: puang timpakngnga tangna babanna penddinna Iptima mupatabbukkarkka penddinna Iptima, takarwasi babangnge takkadasi: ale alusuna Ali mattama sju ri ale alusuna Iptima, tomakkadasi: Patima tinppai bunga sibollmu (32) nauttama lasurla nattmmu nyawae, tapauttamani kallta angkanna purae dipanre pso, nainappasi passi, taroksngngi ribabangnge rikatawwanna makkunraie, iyyanae okinae , tapauttamasi paimng kallta, nappasta taparolai, muttamai nappasta taputtama toi kallta angkanna wekka tllu, tarampssi kallta tarampttsi nappasta. Marakko waliwali muparisaliwng lngi manninna iblis. Mupadecengiwi paimng

18

muparolaiwi nappasmu angka pakkullmu. Narekko napoleino pendding manyamng (33) padecengini parengngrrangmu ri Alla Tala mupattungk tungkkenni intinna mannimmu saddaewe narekko pjani musdding mitti mannimmu puadani rilalng atimmu manni iyakkasang asng tongngtongmmu mannie. Puppungngi alemu mujaji. Manni mani mnika murampenni kallmu, muwakkatnningngi katawwammu musapprui mutenr toi babangnge, mupadecengiwi pappssmu narekko murampngngi jarimmu, musinrui wekka tllu babangnge, mugasai datujari muakkadna: junnu memngngi atikku massatinja ribadakku, ala junnu ala mappakajunnu, ala cuci ala mappakacuci, Nabi Muhamma (34) mapaccikku. Paddiyla mani diparw mani

diyapparewki, two diparadde two diapparaddki, alusu dipassewwa alusu, dipassewwai mattapp di rupakku, maccaiyy ri ulku, jaji cenninrra nasalipriya ulng tpu, tmmte tmmatowa, two mallo pulna . Taisi temmni

nainappana mkii alepue di posna makkunraiyye di ulu atinna, di eddana, diki dapangngi ri bubunna (35) Iyyanaritu riyasng orowne maissng, makkunrai manrpi. Iyyatnaritu goncinna tangna surugae. Mussi wekka tllu mubcai dowangnge dena ritu namalr makkunraimmu ( 56). E. Terjemah Naskah [] Ali dalam keadaan malu dan tidak berbicara sepatah kata pun, kemudian dia pergi berbaring dengan melipat kaki dan kepala selama tujuh hari tujuh malam.

19

Fatimah pergi membangunkan dan berkata: bangunlah, salurkan hasratmu. Ali menjawab: Saya akan bangun setelah kamu memberitahukan Sure Paddiatummu14 kepada Allah SWT. Fatimah pun berkata: Bangunlah, akan kusampaikan, Nabi SAW yang mengetahuinya, sedangkan yang tersembunyi hanya malaikat yang mengetahuinya. Ali berkata: Wahai Fatimah, engkau membiarkan dosa kepada Allah, dan baru memberitahukanku setelah tiga tahun kita bersama. Fatimah pun berkata: Saya mohon ampun kepada Allah SWT dan juga kepadamu karena tidak memberitahukanmu akan hal ini, aku telah jenuh menunggu Pammase12 darimu, tapi engkau hanya diam. Bangunlah, saya akan mempersiapkanmu menuju kepada Nabi yang berada di antara dua benua. Maka bangunlah Ali mengambil air sembahyang, lalu melaksanakan shalat. Setelah shalat, dia menghadap kepada Rasulullah SAW. Nabi pun tersenyum melihat menantunya, dan berkata: Apa tujuan kamu Ali? Ali menjawab: Telah lama saya berdosa kepada Allah SWT karena tidak menyampaikan harapan Fatimah kepada Allah, hanya Rasulullah SAW yang mengetahui caranya, maka aku mengharap sudilah kiranya Rasulullah memberitahukanku. Nabi tersenyum dan berkata: Hai Ali, turunlah ke taman dan petik buah-buahan yang engkau sukai dan persembahkan kepada istrimu. Ali pun berkata: Bukanlah buah buahan yang kuharapkan darimu. Nabi berkata: turunlah memetik buah-buahan. Maka Ali pun turun mengambil buah nangka, dia memakannya sebagian dan membawakan Fatimah (3) sebagian. Karena perempuan senang apabila diberikan
Penggalan ini sengaja tidak diterjemahkan karena dikhawatirkan akan mereduksi maknanya, sebab tidak ditemukan kata yang benar-benar sepadan dalam bahasa Indonesia.
14

20

sesuatu yang disukai, walau cuma sedikit. Kemudian Nabi turun ke taman dan memanggil Ali. Beliau berkata: Wahai Ali, kemarilah dan perhatikan empat ilmu yang berbeda yang diturunkan oleh Allah tentang wanita. Yang pertama, yang paling afdhal, pakaian Rasulullah yang diwarikan kepada kita. Ali pun terkesima memperhatikan tulisan itu. Lalu Nabi berkata: Wahai Ali, jangan salin dalam kertas, tapi tanamkan dalam hatimu, lalu Ali berkata: Kalau begitu, ajarilah aku!. Lalu Nabi berkata: (5) Wahai Ali, apakah engkau telah mengetahui tentang keluasan pengetahuan Allah, asal usul nyawa, asal usul mani, karena yang mengetahui semua itu adalah Allah, karena mani berasal dari Allah begitu juga dengan kehendak (6) yang menjelaskan tentang kehidupan suami istri. Jika anda (31) ingin berhubungan dengan istri, sentuh ubun-ubunnya sambil membaca

alif berdiri di ubun-ubun Fatimah, selanjutnya raba dadanya dengan membaca Muhammad terhampar di dada Fatimah, lalu pindahkan rabaan ke arah pusarnya sambil membaca: Nabi Adam terhampar di pusar Fatimah, lalu membaca: Ya Allah, bukakanlah pintu perasaan Fatimah, bukakanlah pintu hatinya, selanjutnya rabahlah pintu sambil mengucapkan: tubuh halus Ali masuk bersujud dalam tubuh halus Fatimah, lalu membaca Ya Fatimah, bukalah kelopak bunga sibollomu (32) agar lasurula masuk dan jiwa menyatu, selanjutnya masukkanlah kalammu hingga batas khitanan, lalu keluarkan dan gunakan (kalammu itu, ed.) menulis lafal dipintu kemaluan istri, masukkan kembali

kalammu sambil menarik nafas. Tarik nafasmu setiap kali memasukkan kalam, lakukan hingga tiga kali, lalu cabut sambil menghembuskan nafas, jauhkan Iblis.

21

Selanjutnya, perbaiki kembali dengan mengatur nafas dan melanjutkannya sesuai kemampuanmu. Saat engkau merasakan orgasme (33) konsentrasikan pikiranmu kepada Allah, setiap tetes ucapkan , jika air mani telah berhenti menetes, ucapkan dalam hati manni iyakkasang nama hakikimu wahai mani, himpunlah dirimu hingga menjadi. (Baca) manni mani manika sambil mencabut kalammu, pegang dan usap sambil menekan pintu, tekan dengan baik-baik saat menarik tanganmu mengusap pintu itu tiga kali, sentuh dengan jari tengah sambil mengucapkan: Junub hatiku beristinja dijasadku, Muhammad kesucianku. Mani dikembalikan, mani yang kembali, hidup yang ditanam hidup yang menanam, ruh yang ditauhidkan dan ruh yang mentauhidkan, bercahaya di wajahku, bersinar pada kulitku, menjadi pengasihan, aku diselimuti bulan purnama, tak akan mati tak akan tua, selalu muda . Isap dan telan lalu tulislah alif di pusar istri, ulu hati, pangkal kerongkongan, dan tulis dhamma pada bagian ubun-ubun. Itulah yang disebut lelaki (suami) yang berpengetahuan dan wanita (isteri) yang arif. Dan ini pulalah kunci pintu surga. Tekan tiga kali sambil membaca ( abtaziiwimunaa) niscaya istri anda akan awet.

22

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Naskah Kitta Assikalaibinengeng (KA) memiliki sejumlah versi dan varian, hingga mencapai 26 versi yang sebagian besarnya terdapat dalam koleksi Perpustakaan Hasanuddin Makassar dan dalam bentuk mikrofilm di Arsip Nasional. Meski demikian, yang ditemukan dalam penelitian ini masih terbatas pada satu naskah. 2. Naskah Kitta Assikalaibinengeng (KA) memiliki nilai filologis sehingga memungkinkan untuk disunting. Dan dengan demikian dapat diakses oleh masyarakat luas, termasuk mereka yang tidak memahami aksara dan bahasa Bugis. B. Implikasi Penelitian Naskah-naskah keagamaan yang tertulis dalam bahasa Bugis memiliki arti penting baik dalam memperkaya khazanah budaya nusantara maupun dalam memahami corak pemikiran keislaman yang berkembang di tanah air. Oleh karena itu, perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, terutama para akademisi yang bernaung di bawah payung Departemen Agama.

23

Perlunya kerja sama yang harmonis dan terarah antara pihak Litbang Departemen Agama dengan lembaga-lembaga pendidikan tinggi agama di daerah dalam meningkatkan kuantitas maupun kualitas penelitian naskah-naskah keagamaan, baik melalui pelatihan yang berkesinambungan, maupun dalam bentuk pendanaan.

24

DAFTRAR PUSTAKA

S. Paeni, Katalog Nusantara: Sulawesi Selatan, Makassar: Universitas Hasanuddin kerjasama the Ford Foundation, 2003 Ambo Enre, Fachruddin, Ritumpanna Welenrennge: Sebuah Episoda Sastra Bugis Klasik Galigo, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia kerjasama Ecole Francaise dExtreme Orient dan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1999 Hadrawi, Muhlis, Naskah Kuno Bugis-Makassar Tak Tergarap dalam http://oase.kompas.com/read/xml/2009/04/19/01285570/manuskrip.bugismakassar.tak.tergarap tanggal 19 April 2009. Diakses tanggal 4 Juni 2009 Fathurahman, Oman, Tanbih al-Masyi al-Mansub Ila Tariq al-Qusyasyiyy: Tanggapan As-Sinkili Terhadap Kontroversi Doktrin Wujudiyah di Aceh pada Abad XVII, (Suntingan Teks dan Analisa Isi), Jakarta: Thesis pada Program Studi Susastra Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998 Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Cet. VI; Jakarta: Universitas Hasanuddin, 1986 Achadiati Ikram, Filologia Nusantara, Jakarta: Pustaka Jaya, 1997

You might also like