You are on page 1of 27

Contoh bentuk-bentuk Tradisi Budaya Jawa. 1. Slametan.

Slametan berasal dari kata slamet yang berarti selamat, bahagia, sentausa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insideninsiden yang tidak dikehendaki. Sementara itu, menurut Clifford Geertz slamet berarti gak ana apa-apa (tidak ada apa-apa), atau lebih tepat tidak akan terjadi apa-apa (pada siapa pun). Konsep tersebut dimanifestasikan melalui praktik-praktik slametan. Slametan adalah kegiatan-kegiatan komunal Jawa yang biasanya digambarkan oleh ethnografer sebagai pesta ritual, baik upacara di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang lebih besar, mulai dari tedak siti (upacara menginjak tanah yang pertama), mantu (perkawinan), hingga upacara tahunan untuk memperingati ruh penjaga. Dengan demikian, slametan merupakan memiliki tujuan akan penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga untuk menahan kekuatan kekacauan (talak balak). Slametan dalam skala kecil yang dilakukan oleh individu atau keluarga tampak ketika mereka mulai membangun rumah, pindahan, ngupati (slametan mendoakan calon bayi yang masih umur empat bulan dalam kandungan), mithoni (slametan untuk calon bayi yang masih umur tujuh bulan dalam kandungan), puputan (lepas pusar), dan masih banyak lainnya. Skala yang lebih besar dapat dijumpai praktik-praktik seperti bersih desa, resik kubur, dan lainnya. Menurut Pamberton praktik yang sarat dengan makna slametan dengan sajen (sesaji) tersebut dilaksanakan dengan maksud agar dapat membangun kembali hubungan dengan roh, terutama dengan ruh penunggu desa (dhanyang). Dengan kata lain, bersih desa bertujuan untuk menjalin hubungan damai dengan dunia ruh setempat1[2]. Dapat dipahami bahwa slametan seringkali merupakan pesta komunal sebagaimana disebutkan pada slametan dalam skala besar. Hanya saja, slametan bentuk ini (skala) besar justru tidak tampak nilai kebersamaannya, tetapi yang menonjol adalah pesta ritual pembagian
1

buah tangan, jajan pasar, dalam bentuk makanan. Yang menarik adalah ketika warga desa mendatangi slametan bukanlah kemungkinan untuk makan bersama sebagai wujud kebersamaan, tetapi justru keinginan untuk membawa pulang makanan bertuah (berkat). Slametan dimaknai sebagai sebuah konsep dan ritual yang selanjutnya dimaknai dalam bingkai yang lebih luas, yakni penciptaan tata, tertib, aman (selamat), dan wilujeng (selamat). Bahkan, Orde Baru yang syarat dengan tradisi Jawa , menginterpretasikan konsep ini dengan menciptakan satuan-satuan pengamanan dengan maksud menciptakan ketertiban, in order condition, dengan dalih keselamatan bangsa2[3].

Praktik Ritual Slametan; Beberapa Kasus Dalam makalah ini akan ditampilkan beragam ritual slametan, yang menurut penulis merupakan representasi dari slametan yang skupnya kecil (individual) dan slametan kolosal (melibatkan orang banyak). Hal ini penting karena jenis ritual slametan dalam tradisi Jawa sangat banyak. a. Ngupati dan Mithoni Dalam tradisi Jawa, terdapat slametan yang bernama ngupati atau kupatan. Ngupati berasal dari kata kupat, yakni nama makanan yang terbuat dari beras dengan daun kelapa (janur) sebagai pembungkus. Slametan ini biasanya dilakukan di saat usia kehamilan sekitar 4 (empat) bulan. Tradisi ngupati adalah slametan yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan, agar anak yang masih dalam kandungan ibu tersebut memiliki kualitas baik, sesuai dengan harapan orangtua. Slametan ini biasanya menggunakan kupat sebagai hidangan utama. 3[4] Dalam slametan ini, penyelenggara (tuan rumah) mengundang tetangga dekat, sekitar radius 50 meter untuk berdoa kepada Tuhan yang kemudian dilanjutkan dengan menyuguhkan kupat dan berbagai variasi lauk dan sayur sebagai pelengkap hidangan.

2 3

Tradisi serupa dapat dijumpai dengan istilah mithoni. Mithoni berasal dari kata pitu (tujuh). Sebuah ritual hajat slametan pada saat usia kehamilan tujuh bulan. Dalam acara tersebut, disiapkansebuah kelapa gading yang digambari wajah dewa Kamajaya dan Dewi Kamaratih. Maksud dan tujuannya agar bayi memiliki wajah seperti Dewa Kamajaya jika laki-laki, dan seperti Dewi Kamaratih jika perempuan. Di samping kelapa gading, dalam slametan tersebut disajikan kluban/ kuluban/uraban/ gudangan (campuan antara taoge, kacang panjang, bayam, wortel, kelapa parut yang dibumbui), lauk-pauk (ikan, tempe, tahun), dan rujak buah. Kepercayaan mitologi dari sebagian masyarakat Jawa, di saat ibu (yang mengandung bayi yang di-slameti) makan rujak, jika dia merasa pedas atau kepedasan, maka besar kemungkinan bayi yang dikandung adalah laki-laki, demikian juga sebaliknya. Dalam acara mithoni, ibu tertua mulai memandikan ibu yang mengandung (mithoni) dengan air kembang (bunga) setaman (air yang ditaburi bunga mawar, melati, kenanga, dan kanthil). Proses ini disebut tingkeban, di mana ibu yang mengandung (mithoni) berganti tujuh kain (baju). Setelah selesai, dilanjutkan dengan berdoa dan makan nasi dengan urap dan rujak. Slametan ini sebagaimana disebut di atas sebagai upaya untuk memohon kepada Tuhan agar anak yang dikandung nantinya menjadi anak yang dapat mikul duwur mendhem jero (mengangkat derajat) orangtua dan keluarga4[5]. b. Brokohan Saat kelahiran dibeberapa tempat di daerah Jawa diadakan upacara adat brokohan dan sudah menjadi tradisi turun temurun yang masih dilestarikan masyarakat. Brokohan adalah salah satu upacara adat Jawa untuk menyambut kelahiran bayi. Upacara adat ini mempunyai makna sebagai ungkapan syukur dan sukacita karena kelahiran itu selamat 5[6]. Upacara adat seperti ini merupakan warisan kebudayaan nenek moyang khususnya pada zaman Hindu-Budha, sejak masuknya Islam ke Jawa tradisi ini diubah namanya oleh para Wali menjadi brokohan yang di ambil
4 5

dari bahasa arab barokah yang berarti mengharap berkah dari Tuhan. Upacara brokohan ini memiliki berbagai tujuan yaitu : 1. Mensyukuri karunia Allah 2. Memohon agar bayinya mendapat banyak karunia Allah 3. Terima kasih kerpada seluruh famili dan kerabat Upacara brokohan diselenggarakan pada sore hari setelah kelahiran anak dengan mengadakan selamatan atau kenduri yang dihadiri oleh dukun perempuan (dukun beranak), para kerabat, dan ibu-ibu tetangga terdekat. Setelah kenduri selesai, para hadirin segera membawa pulang sesajian yang telah didoakan. Sesajian dikemas dalam besek dan encek, yaitu suatu wadah yang terbuat dari sayatan bambu yang di anyam6[7]. Sesajian serta maknanya yang dipersiapkan pada upacara brokohan, antara lain: Dhawet cendol gula jawa lambang kesegaran dan kelancaran usaha hidup dan kemanisan hidup dan syukur atas kelahiran bayi Jenang abang dan putih lambang kemanunggalan ayah ibunya Sekul ambeng: nasi dicampur lauk pauk jeroan atau iwak sakiris (daging seiris), pecel dicampur lauk ayam matang lambang kekuatan besar lahir batin Telur ayam kampung mentah sebanyak jumlah neptu lahir lambang pasaran lahir Kembang setaman, mengandung makna kesucian Kelapa melambangkan ketahanan fisik Ingkung melambangkan si bayi yang baru lahir Beras melambangkan kemakmuran dan kecukupan pangan Jajanan pasar melambangkan kekayaan7[8] c. Mantenan Dalam tradisi Jawa, mantenan atau pernikahan merupakan peristiwa penting, selain kelahiran dan kematian, sehingga ada upacara khusus untuk menyambutnya. Garis besar adat pernikahan Jawa memang sama, misalnya adanya lamaran, siraman, midodareni, panggih, dan sebagainya.
6 7

a . Tepangan dan tembung Jaman dulu, pasangan suami isteri dijodohkan oleh orang tuanya; sekarang, cara itu sudah tidak dipakai lagi. Remaja yang telah dewasa, berkenalan, saling mengungkap perasaan, lalu berpacaran (jadian), dalam arti ingin menikah. Untuk menuju jenjang pernikahan, orang tua harus terlibat. Remaja pria, sebaiknya menyampaikan keinginan untuk menikah pada orang tua remaja wanita (dan orang tuanya sendiri, tentu saja), sehingga orang tua remaja wanita merasa dihormati dan tenang jika anaknya, misalnya, diajak pergi. Tahap berikutnya, adalah orang tua remaja pria tepangan (berkenalan) dengan orang tua remaja wanita; dan menyampaikan maksud hati anaknya untuk ngembunembun enjing ajejawah sonten (mengharap embun turun di pagi hari, dan hujan turun di sore hari), atau mengharap sesuatu yang menyenangkan, yaitu ingin menikahi anak orang tua remaja wanita. Ukara ngembun-embun enjing ajejawah sonten juga merupakan wangsalan. Dalam Bahasa Jawa nama embun pagi adalah awun-awun , hujan gerimis sore hari disebut rerabi ; maksudnya nyuwun rabi atau minta menikah8[9]. Setelah kedua keluarga sepakat melangsungkan saat hajat pernikahan, dilakukan acara puncak, yaitu mantenan a) Pasang Tarub dan blekketepe Sehari-dua hari sebelum upacara pernikahan, mulai dipasang tarub atau terob di rumah orang tua wanita. Tarub berarti 1) kajang (anyaman bambu) yang dipasang sebagai atap, 2) berkumpul. Jadi, pasang tarub berarti memasang kajang tempat tamu berkumpul. Sekarang, yang dipakai bukan kajang , tetapi tratag dari terpal (kain tebal tahan air). Tarub merupakan keratabasa ditata dimen murub (ditata agar menyala), maksudnya diatur agar menerangi lingkungan. Dalam Bahasa Arab taarub berarti pengumuman atau tanda akan ada hajat. . Selain itu juga dipasang blekketepe . Blekketepe adalah anyaman daun kelapa tua (bukan janur). Pelepah daun kelapa dibelah dua membujur, lalu dianyam, dipasang di atas pintu depan. Ini menandakan, bahwa keluarga itu akan mempunya hajat mantu.. Pada kiri kanan pintu masuk tarub dipasang tuwuhan (tumbuhan)9[10]. Tuwuhan terdiri atas

8 9

1. Pisang Raja suluh Dipakai Pisang Raja suluh (matang) lengkap dengan batang, daun dan setandan buahnya yang matang, besar-besar, jumlah sisirnya genap, sebanyak 2 batang, dipasang di kiri kanan pintu masuk tarub. Pisang raja mengandung harapan agar pasangan yang akan menikah kelak akan mulia dan terhormat seperti raja, dan mempunyai sifat hambeg para marta , mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Dipilih pisang yang matang, agar pasangan yang akan menikah memiliki pemikiran dewasa 2. Tebu wulung, dua batang Tebu ini berwarna wulung (ungu), dan dipakai batang tebu utuh, lengkap dengan daunnya. Tembung (kata) tebu wulung merupakan kerata basa Ante ping kalbu wu juding lelung an ; maksudnya, pasangan baru itu sudah mantap (antep ) hati (kalbu ) untuk mewujudkan (wujud ) perjalanan (lunga ) menuju kehidupan yang baru. 3. Cengkir Gading Cengkir adalah buah kelapa muda, di dalamnya berisi air kelapa yang bersih Ini lambang kesucian dan hasrat membantu sesama. 4. Ron randu lan pari sewuli Ron randu adalah daun randu, sedang pari sewuli adalah padi seikat. Randu melambangkan sandang (pakaian), dan par i melambangkan pangan (makanan).Ini mengandung doa agar pasangan baru itu selalu tercukupi sandang dan pangannya 5. Ron-ronan Terdiri atas berbagai dedaunan, antara lain ron salam, maja, alang-alang , apa-apa, kara (kacang-kacangan), kluwih, dadap srep , ringin Daun apa-apa termasuk kacang-kacangan, anak daunnya tiga. Di daerah Pasundan disebut hahapaan , di Madura disebut pok-kepokan. Daun salam , maja , alang-alang , dan apa-apa melambangkan slam et aja ana alang an apa-apa, atau selalu selamat, tidak ada halangan apa pun selama kehidupan pasangan baru itu. Dipakai juga daun kara dengan harapan tidak ada sikara (cobaan), sukreta (siksaan), atau perkara (kesulitan) yang menghalangi kehidupan. Daun kluwih , melambangkan harapan agar pasangan baru itu selalu diberi kaluwihan (kelebihan), baik harta, benda, maupun ilmu, untuk membantu sesama.

Daun dadap srep ; mengandung doa agar pasangan baru diberi sumerep (mengetahui, melihat, pengetahuan) yang baru dan manfaat. Dadap srep juga mengandung arti permohonan agar keluarga pasangan baru selalu asrep atau sejukhidupnya. Ron ringin (beringin), mengandung doa agar semua pepengin (keinginan)-nya terkabul. Tajuk daun beringin yang rimbun melambangkan pengayoman 6. Janur Janur adalah daun kelapa muda Keratabasa janur adalah seja - tine memancarkan cahaya, memancarkan aura b) Siraman Siraman berasal dari kata siram yang berarti mandi, biasanya siraman dilakukan di kamar mandi, tetapi jika terlalu sempit dapat dilakukan di tempat lain, dengan persiapan seperlunya. 1. Pecah kendi Setelah siraman, dilakukan upacara pecah kendi. Ibu pengantin putri (atau juru rias) memecahkan kendi yang berisi toya perwitosari sambil berkata Niat ingsun ora mecah kendi, nanging mecah pamore anakku (nama penganten putri). Pecah pamor-e berarti sudah dewasa. Ini melambangkan, ibu sudah siap melepaskan anak gadisnya yang sudah dewasa. 2. Pangkas dan tanem rikma Rambut (rikma ) penganten dipotong (pangkas ) sedikit, lalu ditanam di belakang rumah. Ini berarti penganten putri tetap menjadi bagian dari keluarga besar orang tuanya, sekali pun telah berkeluarga sendiri (sungguh-

sungguh) nur (cahaya, sinar). Ini berarti, pasangan baru itu, nantinya benar-benar

3. Gendongan Kedua orangtua pengantin menggendong anak mereka untuk terakhir kali, dari tempat siraman ke kamar penganten, melambangkan sudah ngentaske anaknya 4. Midodareni

Midodareni berlangsung di kamar penganten putri, pada malam hari sebelum panggih. Acara midodareni terdiri atas tantingan , dan turunnya kembar mayang. Sementara itu, di luar, berlangsung acara srah-srahan, jonggolan dan wilujengan ini adalah bentuk permohonan keselamatan 5. Pasrah sanggan Pasrah sanggan atau srah-srahan berasal dari kata srah atau serah dan sanggan . Srah-srahan berarti menyerahkan. Sanggan berasal dari kata sangga , yang berarti 1) melipat tangan, 2) menjalani (misalnya hukuman), 3) membiayai; di sini, sangga tukon , dari kata tuku (membeli). Kata tukon di sini, tidak dalam arti membeli, tetapi lebih bersifat ikut membiayai upacara. Uba rampe pasrah sanggan ini diserahkan oleh keluarga pihak kakung pada keluarga pihak putri. Uba rampe srah-srahan terdiri atas: a. Kalpika atau cincin, kalau bisa yang penampangnya berbentuk lingkaran (tidak nyigar penjalin , atau setengah lingkaran), dan lingkaran cincinnya utuh, tidak terpotong. Ini melambangkan kasih sayang yang abadi, tidak pernah putus b. Ageman putri sakpengadeg atau pakaian wanita lengkap, seperti kebaya, nyamping batik, sepatu, selop, dan sebagainya Ini berarti, suami akan menutupi kekurangan, kelemahan atau aib isterinya c. Rerenggan pelik-pelik terdiri atas perhiasan, seperti gelang, kalung, cincin, antinganting Ini melambangkan, bahwa suami akan menjaga, melindungi, dan merawat cahaya, dan keindahan istrinya d. Jadah, wajik, lapis abang putih melambangkan sumsum yang merah dan tulang yang putih, yang saling terikat / kakung dan putri sudah menjadi loro-loroning atunggal e. Woh-wohan melambangkan kakung dan putri menginginkan adanya wohing ngurip , atau buah kehidupan, yaitu kebahagiaan dunia akhirat setelah menikah f. Suruh temu rose-e lan pisang raja Sirih ini melambangkan, bahwa pasangan itu sudah bertemu atau menyatu hatinya. Pisang raja, mengandung makna, nantinya pasangan itu menjaga keluhuran dan kesucian budi dan martabat mereka seperti raja g. Cengkir Gading melambangkan kesetiaan

h. Urip-urip berupa sepasang ayam, atau bebek atau angsa sebagai lambang pasangan baru itu akan bertanggung jawab atas kehidupan keluarganya10[11] c) Pasrah tampi penganten kakung Pasrah berarti menyerahkan, sedang tampi berarti menerima. Keluarga calon penganten kakung menyerahkan calon penganten kakung pada keluarga calon penganten putri untuk di-ijab kabul-kan. Secara administrasi, status calon penganten kakung harus satu domisili dengan calon penganten putri, sehingga calon penganten kakung harus pindah sementara ke domisili calon penganten putri d) Ijab kabul Nikah adalah persetujuan pria dan wanita untuk bersuami-isteri. Ijab adalah kalimat menikahkan yang diucapkan oleh fihak wali (wakil) penganten putri, kabul berarti ucapan tanda persetujuan dinikahkan, yang dilakukan oleh penganten kakung. Jadi, ijab kabul adalah proses menikahkan oleh wali penganten putri, yang disetujui oleh penganten kakung. Akad adalah perjanjian, jadi akad nikah berarti perjanjian untuk menikah Setelah acara agama ini, dilakukan acara adat, yaitu panggih . Setelah ijab kabul, orang tua penganten kakung, nyanggrah (dari kata sanggrah , istirahat) di rumah kerabat atau tetangga yang dekat. Selama panggih, orang tua penganten kakung (besan), tidak boleh menyaksikan. Tetapi, sekarang, banyak yang melanggar adat ini. Nantinya, pada acara mertuwi. orang tua penganten kakung akan dijemput untuk mengikuti acara selanjutnya e) Liru kembar mayang Setelah ijab kabul, yang merupakan acara agama, diteruskan dengan acara adat Jawa. Rombongan penganten kakung memasuki rumah penganten putri dan rombongan penganten kakung diterima oleh keluarga penganten putri, Panggih diawali dengan liru kembar mayang . Liru berarti menukar. Penganten kakung beserta rombongan datang membawa sepasang kembar mayang kakung yang dibawa oleh dua satriya kembar . Penganten putri beserta rombongan juga membawa sepasang kembar mayang putri yang dibawa oleh dua putri domas . Ke empat remaja itu saling menukarkan kembar mayang . Ini merupakan lambang, bahwa keluarga kakung menyatu dengan keluarga putri dan sebaliknya. Nantinya, kembar mayang putri dibuang atau dilarung, sedang kembar mayang kakung tetap mengikuti upacara,
10

diletakkan di samping pelaminan. Ini melambangkan, bahwa kakung akan menjadi imam atau pemimpin keluarga11[12].

f)

Panggih Setelah ijab kabul , dan liru kembar mayang , acara berikutnya adalah panggih atau temu atau bertemu. Panggih adalah tanda, bahwa penganten kakung dan putri sudah resmi menjadi garwa atau suami istri sah secara adat Jawa.

g) Ngunduh mantu Hakekatnya, mantenan adalah tanggung jawab keluarga putri. Kadang-kadang, pihak kakung (apalagi jika tempat tinggal kedua orang tua berjauhan), ingin mengadakan mantenan juga ; yang disebut ngunduh manten atau ngunduh mantu . Ngunduh berarti mengunduh, atau memetik. Ada juga yang menyebut boyong manten . Tidak ada acara spesifik dalam ngunduh mantu, penganten boleh berpakaian adat Jawa atau model barat12[13] d. Kematian Berkenaan dengan kematian ada macam-macam tradisi Jawa yang mempercayai eksistensi roh setelah berpisah dari raga, yang ditujukan sebagai penghormatan terakhir : 1) Brobosan, Upacara brobosan diselenggarakan dihalaman rumah orang yang meninggal, sebelum dimakamkan, dan dipimpin oleh anggota keluarga yang paling tua. Upacara tradisional ini merupakan pengejawantahan sesanti (pepetah) Mikul dhuwur mendhem jero ( menjunjung tinggi, menghormati, mengenang jasa-jasa almarhum semasa hidupnya dan memendam hal-hal yang kurang baik dan tidak perlu diungkit-ungkit )13[14] 2) Tigang dinten yaitu tiga hari meninggalnya Almarhum/ mah, Pitong Dinten yaitu tujuh hari meninggalnya Almarhum/ mah, Petang Puluh Dinten yaitu Empat Puluh hari meninggalnya Almarhum/ mah, Nyatos Dinten yaitu seratus hari meninggalnya Almarhum/ mah, Mendhak yaitu setahun dan Dua Tahun meninggalnya Almarhum/ mah, Nyewu yaitu Seribu hari meninggalnya Almarhum/ mah, Kol (Kol kolan) yaitu peringatan setelah Seribu hari dan
11 12 13

peringatan ini bertepatan dengan hari dan bulan meninggalnya Almarhum/ mah dan semua acara sebagaimana tersebut diatas dilakukan dengan mengundang tetangga dan kerabat masudnya untuk kirim doa/ mendoakan Almarhum/ ah agar kehidupannya di akhirat selamat dan bahagia dan dilanjutkan dengan shodaqohan yang bertujuan dengan shodaqoh semua hajat keluarga yang ditujukan kepada Almarhum/ ah dapat terkabul. Contoh simbolisasi dalam kematian adalah : Daun kelor / dadhap srep yang menyertai pemandian mayit, kelor (Lungsur dosa-dosanya), dadhap srep (menghadap dengan tenang), Kelapa Muda : mempunyai arti Toyo wening/ toyo suci (air yang melambangkan keheningan dan kesucian) Payung melambangkan tanda belas kasih cinta sanak keluarga terhadap orang yang baru saja meninggal, Kembang Setaman bermakna penghormatan kepada jenazah dan untuk mengenang kebaikan-kebaikan yang dilakukan selama hidupnya dan juga suatu upaya keluarga untuk mendoakan agar arwahnya diterima Tuhan Read more: http://bambangindrayana.blogspot.com/2013/02/nilai-filosofis-dalam-tradisibudaya.html#ixzz2WmyNJJFc

Ketupat-Bakda Syawal, Simbol Kesempurnaan


KETUPAT bagi masyarakat Jawa tak hanya sekadar makanan, tetapi juga bagian tak terpisahkan dengan tradisi sejak dahulu kala. Tak percaya, coba bertanya kepada seseorang, mereka pasti akan mengingat tradisi yang dirayakan satu minggu setelah perayaan Idul Fitri, Bakda Syawal atau Bakda Kupat. Ketupat bahkan dipakai untuk memberi nama perayaan tersebut. Karena itu, Bakda Syawal pun sering disebut dengan nama Bakda Kupat. Kemarin, masyarakat Solo dan sekitar merayakan tradisi tersebut. Setelah perayaan Lebaran pada 6-7 Desember berlangsung seminggu, Jumat kemarin saatnya merayakan Bakda Syawal. Gaung perayaan pun sudah terasa dua hari menjelang hari H. Karena itu jangan heran bila selongsong ketupat dijumpai di mana-mana. Tak hanya di rumah, di pasar-pasar juga ada. Sebab, memang selongsong tersebut diperjualbelikan. Yang ahli membuat bungkus ketupat, kini waktu yang tepat untuk mengais rezeki.

Jangan kaget pula, bila sulit menemukan nasi saat perayaan Bakda Syawal, lantaran untuk sementara makanan pokok sehari-hari itu diganti dengan lontong ketupat. Ya bahannya memang sama dari beras, tapi rasanya lain di lidah. Wah sungguh lezat bila dilengkapi opor. Simbol Belum diketahui sejak kapan tradisi itu ada. Hanya saja lantaran perayaan itu berkaitan dengan Idul Fitri, kemungkinan tradisi itu ada sejak agama Islam masuk ke Jawa. Sumanto SKar MS, dosen Kebudayaan Jawa Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, menyatakan belum ada kepastian sejak kapan tradisi itu mulai berlangsung. ''Memang belum ada jejak, mulai kapan tradisi itu berlangsung.'' Meski demikian dia mengemukakan, jika memandang sebuah tradisi sebagai sebuah budaya (Jawa), itu akan selalu identik dengan simbolsimbol, sama halnya dengan perayaan tradisi Bakda Kupat. Masyarakat Jawa sering menggunakan simbol bila memandang sesuatu hal. Begitu juga dengan ketupat yang dalam pandangannya merupakan simbol kesempurnaan. ''Jika dicermati, bentuk ketupat itu hampir mirip dengan bentuk stupa di Candi Borobudur. Dan, bentuk itu perlambang pencapaian kesempurnaan hidup.'' Dalam kaitan itu, tentu saja dilakukan setelah seseorang menjalani puasa sebulan penuh dan kemudian mencapai kesempurnaan pada Idul Fitri. Masyarakat Jawa lalu menyimbolkan hal itu dengan ketupat. ''Fitri itu artinya bersih. Pada seseorang yang mencapai kesempurnaan hidup, kebersihan akan selalu ada padanya.'' Jika sudah mencapai taraf kesempurnaan, dosen yang juga Pembantu Ketua I STSI Surakarta tersebut menjelaskan, seseorang akan dapat mengendalikan hawa nafsunya. Selain sebagai simbol kesempurnaan, ujar dia, ada juga masyarakat Jawa yang meyakini Bakda Kupat adalah saat lebaran hewan berkaki empat. ''Sebab, ada masyarakat Jawa yang mengatakan kupat itu jarwadasa suku papat (kaki empat). Karena itu kemudian terjadi saat Bakda Syawal, sapi atau kerbau dikalungi ketupat.'' Namun lepas dari itu semua, dengan tetap bertahan tradisi itu, berarti masyarakat Jawa masih mau nguri-uri budayanya.

Tradisi Nyadran masyarakat Jawa


Bagi masyarakat Jawa, kegiatan tahunan yang bernama nyadran atau sadranan merupakan ungkapan refleksi sosial-keagamaan. Hal ini dilakukan dalam rangka menziarahi makam para leluhur. Ritus ini dipahami sebagai bentuk pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang. Nyadran dalam tradisi Jawa biasanya dilakukan pada bulan tertentu, seperti menjelang bulan Ramadhan, yaitu Sya'ban atau Ruwah. Nyadran dengan ziarah kubur merupakan dua ekspresi kultural keagamaan yang memiliki kesamaan dalam ritus dan objeknya. Perbedaannya hanya terletak pada pelaksanaannya, di mana nyadran biasanya ditentukan waktunya oleh pihak yang memiliki otoritas di daerah, dan pelaksanaannya dilakukan secara kolektif. Tradisi nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Mahakuasa atas segalanya. Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental islami. Budaya masyarakat yang sudah melekat erat menjadikan masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan itu. Dengan demikian tidak mengherankan kalau pelaksanaan nyadran masih kental dengan budaya Hindhu-Buddha dan animisme yang diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam oleh Wali Songo. Secara sosio-kultural, implementasi dari ritus nyadran tidak hanya sebatas membersihkan makam-makam leluhur, selamatan (kenduri), membuat kue apem, kolak, dan ketan sebagai unsur sesaji sekaligus landasan ritual doa. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi keluarga dan sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya, dan keagamaan. Prosesi ritual nyadran biasanya dimulai dengan membuat kue apem, ketan, dan kolak. Adonan tiga jenis makanan dimasukkan ke dalam takir, yaitu tempat makanan terbuat dari daun pisang, di kanan kiri ditusuki lidi (biting). Kue-kue tersebut selain dipakai munjung/ater-ater (dibagi-bagikan) kepada sanak saudara yang lebih tua, juga menjadi ubarampe (pelengkap) kenduri. Tetangga dekat juga mendapatkan bagian dari kue-kue tadi. Hal itu dilakukan sebagai ungkapan solidaritas dan ungkapan kesalehan sosial kepada sesama. Selesai melakukan pembersihan makam, masyarakat kampung menggelar kenduri yang berlokasi di sepanjang jalan menuju makam atau lahan kosong yang ada di sekitar makam leluhur (keluarga). Kenduri dimulai setelah ada bunyi kentongan yang ditabuh dengan kode dara muluk (berkepanjangan). Lalu seluruh keluarga dan anak-anak kecil serta remaja hadir dalam acara kenduri itu. Tiap keluarga biasanya akan membawa makanan sekadarnya, beragam jenis, lalu duduk bersama dalam keadaan bersila. Kemudian, kebayan desa membuka

acara, isinya bermaksud untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada warga yang sudah bersedia menyediakan makanan, ambengan, dan lainlain termasuk waktunya. Setelah itu, Mbah Kaum (ulama lokal) yang sudah dipilih menjadi rois, maju untuk memimpin doa yang isinya memohon maaf dan ampunan atau dosa para leluhur atau pribadi mereka kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Doanya menggunakan tata cara agama Islam, warga dan anak-anak mengamini. Suasana ceria anak-anak tergambar dengan semangat melafalkan amin sambil berteriak. Selesai berdoa, semua yang hadir mencicipi makanan yang digelar. Pada saat itu ada yang tukar-menukar kue, ada yang asyik ngobrol dengan kanan-kiri, maklum beberapa warga pulang dari perantauan hadir dalam kenduri. Biasanya Mbah Kaum diberi uang wajib dan makanan secukupnya, sedangkan yang tak hadir atau si miskin diberi gandhulan, nasi, kue yang dikemas khusus kemudian diantar ke rumah yang sudah disepakati diberi gandhulan. Dari tata cara tersebut, jelas nyadran tidak sekadar ziarah ke makam leluhur, tetapi juga ada nilai-nilai sosial budaya, seperti budaya gotongroyong, guyub, pengorbanan, ekonomi. Bahkan, seusai nyadran ada warga yang mengajak saudara di desa ikut merantau dan bekerja di kota-kota besar. Di sini ada hubungan kekerabatan, kebersamaan, kasih sayang di antara warga atau anggota trah. Di samping itu, semakin jelas adanya nilai transformasi budaya dan tradisi dari yang tua kepada yang muda. Mengenai pola keberagamaan yang ada di Jawa, C Geertz (1981) melalui penelitiannya di Mojokerto menghasilkan sebuah konsep keberagamaan masyarakat yang bersifat abangan, santri, dan priayi. Ketiganya merupakan akumulasi dari hasil akulturasi budaya lokal masyarakat, Hidhu-Buddha dengan nilai-nilai Islam. Pola interaksi antara budaya lokal dan nilai Islam menjadikan Islam warna-warni. Nyadran merupakan ekspresi dan ungkapan kesalehan sosial masyarakat di mana rasa gotong- royong, solidaritas, dan kebersamaan menjadi pola utama dari tradisi ini. Ungkapan ini pada akhirnya akan menghasilkan sebuah tata hubungan vertikal-horizontal yang lebih intim. Dalam konteks ini, maka nyadran akan dapat meningkatkan pola hubungan dengan Tuhan dan masyarakat (sosial), sehingga akhirnya akan meningkatkan pengembangan kebudayaan dan tradisi yang sudah berkembang menjadi lebih lestari. Dalam konteks sosial dan budaya, nyadran dapat dijadikan sebagai wahana dan medium perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan nasionalisme (Gatot Marsono). Dalam prosesi ritual atau tradisi nyadran kita akan berkumpul bersama tanpa ada sekat-sekat dalam kelas sosial dan status sosial, tanpa ada perbedaan agama dan keyakinan, golongan ataupun partai.

Nyadran menjadi ajang untuk berbaur dengan masyarakat, saling mengasihi, saling menyayangi satu sama lain. Nuansa kedamaian, humanitas dan familiar sangat kental terasa. Apabila nyadran ditingkatkan kualitas jalinan sosialnya, rasanya Indonesia ini menjadi benar-benar rukun, ayom-ayem, dan tenteram. Nyadran dalam konteks Indonesia saat ini telah menjelma sebagai refleksi, wisata rohani kelompok masyarakat di tengah kesibukan sehari-hari. Masyarakat, yang disibukkan dengan aktivitas kerja yang banyak menyedot tenaga sekaligus (terkadang) sampai mengabaikan religiusitas, melalui nyadran, seakan tersentak kesadaran hati nuraninya untuk kembali bersentuhan dan bercengkrama dengan nilai-nilai agama: Tuhan.

Kebiasaan Orang Jawa


September 1, 2008 oleh ay Saya orang jawa dan banyak sekali kebiasaan-kebiasaan orang jawa di sekitar saya yang terbilang unik bahkan sama sekali nggak nyambung kalo pake logika. Untuk contohnya yang sering dilakukan orang tua kepada anaknya ketika makan. Nach apabila anak makan dan tidak dihabiskan pasti bilang seperti ini nek ra ditelaske, kuthuke mati (kalo tidak dihabiskan anak ayamnya mati), kalo dipikir2 apa hubungannya antara makanan tidak dihabiskan dengan anak ayam mati???? itu yang membuat saya kepikiran sampe sekarang . Selain itu juga ada kebiasaan unik lagi yakni antara cabe dengan geles gede (cepat besar). Banyak sekali orang jawa yang meyakini kalo anak kecil berani makan cabe nanti cepat besar. Nach loe apa nggak tambah penasaran lagi+bingung juga heran, apa hubungannya coba antara cabe dengan cepat besar??? mang ada cabe yang bikin pertumbuhannya cepat (cepat besar), kalo mau pertumbuhan yang cepet mah gizinya harus tercukupi. Mbok makan cabe sampe 1 kg pun gak bakal cepet gede yang ada perut mules hehehehe. Oh ya saya juga masih inget sampe sekarang yang bikin geli dan tertawa sendiri. Dulu pas masih kecil ya umuran masih bau kencur, sering banyak orang bilang nek dolan ojo adohadoh mengko ndak digondol montor pelet (kalo maen jangan jauh-jauh nanti ndak dibawa mobil pelet). Tau mobil pelet??? Orang dulu yang masih -maaf- kolot, mobil pelet itu mobil

yang ada bermusik dengan bantuan toa sehingga musik terdengar kemana-mana. Padahal waktu itu yang make mobil kaya gityu mobil yang jualan jamu keliling, masak mobil jualan jamu dibilang mobil pelet, yang bener saja. Jujur sampe saya besar sampe umur saya yang hampir kepala 2 ini belum pernah melihat yang namanya mobil pelet. Heran kenapa orang dulu banyak bilang kaya gitu kalo ndak ada buktinya ya, jian aneh bener . Yach sebenarnya kreatif juga walaupun nggak nyambung . Itu dilakukan orang tua tempo dulu bahkan sampe sekarang pun masih ada juga kebiasaan seperti itu dan semata-mata dilakukan agar si anak menurut (baiknya). Celoteh diatas sekedar refresh aja di hari pertama puasa. Semoga puasa pertama ini berkesan

KEBUDAYAAN MASYARAKAT JAWA


Suku bangsa jawa adalah suku bangsa terbesar di indonesia. Jumlahnya mungkin ada sekitar 90 juta atau lebih. Mereka berasal dari pulau jawa dan terutama ditemukan di provinsi jawa tengah dah jawa timur, tetapi di provinsi jawa barat banyak ditemukan suku jawa, terutama dikabupaten indramayu dan cirebon yang mayoritas masyarakatnya merupakan orang-orang jawa yang berbahasa dan berbudaya jawa. Dan di wilayah-wilayah lain juga terdapat populasi mereka. Suku jawa juga memiliki sub-suku, yaitu seperti osing dan tengger bahasa jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara yang biasa dikenal dengan ungguh-ungguh. Hal tersebutlah yang membedakan antara bahasa jawa yang dianggap kasar dan halus. Sedangkan kepercayaan suku jawa yaitu sebagian besar menganut agama islam. Tetapi yang menganut agama protestan dan khatolik juga banyak. Mereka juga terdapat di daerah pedesaan. Selain itu juga ada penganut agama buddha dan hindu, ada pula agama kepercayaan suku jawa yang disebut sebagai agama kejawen. Kepercayaan ini terutama berdasarkan kepercayaan animisme. Sedangkan profesi suku jawa di indonesia mempunyai pekerjaan disegala bidang, terutama pegawai negri sipil dan militer. Orang jawa agak lemah dalam bidang bisnis dan industri, dan tidak asing lagi masyarakat jawa lebih menonjol di bidang pertanian sebagai petani. Orang jawa memiliki stereotipe sebagai sukubangsa yang sopan dan halus, akan tetapi mereka juga terkenal sebagai suku bangsa yang tertutup dan tidak mau terus terang. Ini disebabkan karena mereka tidak ingin terjadi konflik. Karena itulah mereka justru cenderung diam dan tidak membantah bila terjadi perbedaan pendapat. Namun tidak semua orang jawa memiliki sikap tertutup, banyak juga terdapat masyarakat suku jawa yang memiliki watak lugas, terbuka, terus terang, apa adanya, dan tidak suka basa-basi. Masyarakat jawa juga terkenal akan pembagian golongan-golongan sosialnya. Pada tahun 1960-an seorang pakar antropologi amerika yg bernama Clifford Geertz membagi masyarakat jawa menjadi tiga kelompok yaitu kaum santri, abangan dan priyayi. Kelompok santri adalah penganut islam yang taat, sedangkan kelompok abangan adalah kelompok penganut islam secara nominal atau penganut kejawen, dan kaum priyayi adalah kaum bangsawan atau yang sering kita sebut sebagai kaum darah biru. Orang jawa juga terkenal dengan budaya seninya terutama dipengaruhi oleh agama hindubuddha, yaitu pementasan wayang. Repertoar cerita wayang atau lakon sebagian besar

berdasarkan wiracarita ramayana dan mahabrata. Tetapi pengaruh islam dan dunia barat ada pula.

KARAKTER KHAS SUKU JAWA DENGAN TRADISI TRADISINYA


Diposkan oleh pamomong semar , 10:22 AM 5 Comments so far

Suku Jawa merupakan salah satu suku terbesar yang berdiam di negara Indonesia. Sebagai buktinya, kemana pun Anda melangkah kan kaki ke bagian pelosok penjuru negeri ini, Anda pasti akan menemukan suku-suku Jawa yang mendiami kawasan tersebut meskipun terkadang jumlahnya minorotas,dengan kata lain di mana ada kehidupan di seluruh Indonesia Orang Jawa selalu ada. Suku Jawa hidup dalam lingkungan adat istiadat yang sangat kental. Adat istiadat Suku Jawa masih sering digunakan dalam berbagai kegiatan masyarakat. Mulai masa-masa kehamilan hingga kematian. Di dalam hal ini di manapun Suku Jawa berada akan selalu dilaksanakan dan di jadkan Ugeman atau Pathokan dalam kehidupannya. Banyak yang bisa di gali dari literatur literatur yang sdh ada bahwa suku jawa punya banyak keaneka ragaman ciri khas dan budaya beserta tradisi tradisinya Dan bila kita seumpama sebagai suku lain yang ada di Indonesia akan sangat dengan mudahnya berinteraksi dengan suku jawa di karenakan suku ini mempunyai sifat dan karakter yang sangat santun dalam bermasyarakat dengan di terimanya suku Jawa sebagai bagian dari anggota masyarakat oleh suku lain di seluruh Indonesia.

Sifat dan Karakter Orang Jawa Suku jawa diidentikkan dengan berbagai sikap sopan, segan, menyembunyikan perasaan alias tidak suka langsung-langsung, menjaga etika berbicara baik secara konten isi dan bahasa perkataan maupun objek yang diajak berbicara. Dalam keseharian sifat Andap Asor terhadap yang lebih tua akan lebih di utamakan, Bahasa Jawa adalah bahasa berstrata, memiliki berbagai tingkatan yang disesuaikan dengan objek yang diajak bicara. Suku Jawa umumnya mereka lebih suka menyembunyikan perasaan. Menampik tawaran dengan halus demi sebuah etika dan sopan santun sikap yang dijaga. Misalnya saat bertamu dan disuguhi hidangan. Karakter khas seorang yang bersuku Jawa adalah menunggu dipersilahkan untuk mencicipi, bahkan terkadang sikap sungkan mampu melawan kehendak atau keinginan hati. Suku Jawa memang sangat menjunjung tinggi etika. Baik secara sikap maupun berbicara. Untuk berbicara, seorang yang lebih muda hendaknya menggunakan bahasa Jawa halus yang terkesan lebih sopan. Berbeda dengan bahasa yang digunakan untuk rekan sebaya maupun yang usianya di bawah. Demikian juga dengan sikap, orang yang lebih muda hendaknya betul-betul mampu menjaga sikap etika yang baik terhadap orang yang usianya lebih tua dari dirinya, dalam bahasa jawa Ngajeni Ciri khas Narimo ing pandum adalah salah satu konsep hidup yang dianut oleh Orang Jawa. Pola ini menggambarkan sikap hidup yang serba pasrah dengan segala keputusan yang ditentukan oleh Tuhan. Orang Jawa memang menyakini bahwa kehidupan ini ada yang mengatur dan tidak dapat ditentang begitu saja.

Setiap hal yang terjadi dalam kehidupan ini adalah sesuai dengan kehendak sang pengatur hidup. Kita tidak dapat mengelak, apalagi melawan semua itu. Inilah yang dikatakan sebagai nasib kehidupan. Dan, nasib kehidupan adalah rahasia Tuhan, kita sebagai makhluk hidup tidak dapat mengelak. Orang Jawa memahami betul kondisi tersebut sehingga mereka yakin bahwa Tuhan telah mengatur segalanya.
Pola kehidupan orang jawa memang unik. Jika kita mencoba untuk menelusuri pola hidup orang jawa, maka ada banyak nilai positif yang kita dapatkan. Bagi orang jawa, Tuhan telah mengatur jatah penghidupan bagi semua makhluk hidupnya, termasuk manusia. Setiap hari kita melihat banyak orang yang keluar rumah, seperti juga, banyak burung yang keluar sarang untuk mencari penghidupan. Pagi mereka keluar rumah dan sore pulang dengan kondisi yang lebih baik

Urip Ora Ngoyo Konsep hidup nerimo ing pandum ( ora ngoyo ) selanjutnya mengisyaratkan bahwa orang Jawa hidup tidak terlalu berambisi. Jalani saja segala yang harus di jalani. Tidak perlu terlalu ambisi untuk melakukan sesuatu yang nyata-nyata tidak dapat di lakukan. Orang Jawa tidak menyarankan hal tersebut. Hidup sudah mengalir sesuai dengan koridornya. Kita boleh saja mempercepat laju aliran tersebut, tetapi laju tersebut jangan terlalu drastis. Perubahan tersebut hanya sebuah improvisasi kita atas kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Orang Jawa mengatakan dengan istilah jangan ngoyo. Biarkan hidup membawamu sesuai dengan alirannya. Jangan membawa hidup dengan tenagamu! Bagi orang jawa hidup dan kehidupan itu sama dengan kendaraan. Dia akan membawa kita pada tujuan yang pasti. Orang jawa memposisikan diri sebagai penumpang. Kendaraan atau hiduplah yang membawa mereka menuju kehidupan yang lebih baik. Mereka tidak membawa kendaraan tersebut, melainkan dibawa oleh kendaraan. Seperti air di dalam saluran sungai, jika mereka mengalir biasa, maka kondisinya aman dan nyaman. Tetapi ketika alirannya dipaksa untuk besar, maka aliran sungai tersebut tidak aman lagi bagi kehidupan. Orang Jawa memahami hal tersebut sehingga menerapkan konsep hidup jangan ngoyo. Ngoyo artinya memaksakan diri untuk melakukan sesuatu. Jika kita memaksakan diri untuk melakukan sesuatu, maka kemungkinan besar kita akan mengalami sesuatu yang kurang baik, misalnya kita akan sakit. Rasa sakit terjadi karena ada pemaksaan terhadap kemampuan sesungguhnya yang kita miliki. Ciri khas lain yang tak bisa di tinggalkan adalah sifat Gotong royong atau saling membantu sesama orang di lingkungan hidupnya apalagi lebih kentara sifat itu bila kita bertandang ke pelosok pelosok daerah suku Jawa di mana sikap gotong royong akan selalu terlihat di dalam setiap sendi kehidupannya baik itu suasana suka maupun duka.

Pola kehidupan orang jawa memang telah tertata sejak nenek moyang. Berbagai nilai luhur kehidupan adalah warisan nenek moyang yang adi luhung. Dan, semua itu dapat kita ketahui wujud nyatanya. Bagaimana eksistensi orang jawa terjaga begitu kuat sehingga sampai detik ini polapola tersebut tetap diterapkan dalam kehidupan. Pola hidup kerjasama ini dapat kita ketemukan pada kerja gotongroyong yang banyak diterapkan dalam masyarakat Jawa. Orang Jawa sangat memegang teguh pepatah yang mengatakan: ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Ini merupakan konsep dasar hidup bersama yang penuh kesadaran dan tanggungjawab. Kita harus mengakui bahwa kehidupan orang jawa memang begitu spesifik. Dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia, bahkan yang ada di dunia, orang Jawa mempunyai pola hidup yang berbeda. Kebiasaan hidup secara berkelompok menyebabkan rasa diri mereka sedemikian dekat satu dengan lainnya, sehingga saling menolong merupakan sebuah kebutuhan. Mereka selalu memberikan pertolongan kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan. Bahkan dengan segala cara mereka ikut membantu seseorang keluar dari permasalahan, apalagi jika sesaudara atau sudah menjadi teman. Ngajeni Pada Orang Yang Lebih Tua Dan, yang tidak dapat kita abaikan adalah sikap hidup orang Jawa yang menejunjung tinggi nilai-nilai positif dalam kehidupan. Dalam interaksi antar personal di masyarakat, mereka selalu saling menjaga segala kata dan perbuatan untuk tidak menyakiti hati orang lain.

Mereka begitu menghargai persahabatan sehingga eksistensi orang lain sangat dijunjung sebagai sesuatu yang sangat penting. Mereka tidak ingin orang lain atau dirinya mengalami sakit hati atau terseinggung oleh perkataan dan perbuatan yang dilakukan sebab bagi orang Jawa, ajining diri soko lathi, ajining rogo soko busono artinya, harga diri seseorang dari lidahnya (omongannya), harga badan dari pakaia - See more at:

http://pamomongs.blogspot.com/2012/03/karakter-khas-suku-jawa-dengantradisi.html#sthash.bkZ2Z2FL.dpuf

Menengok Lebih Jauh Tradisi Nyumbang Masyarakat Jawa


OPINI | 13 April 2013 | 16:26 Dibaca: 199 Komentar: 1 0

Akhir-akhir ini tampaknya sedang Musim Kawinan . Terbukti, setumpuk undangan pernikahan dari rekan kerja ada di laci meja kerja saya. Dari si Santi, mas Erwan, kang Ari, mbak Dewi, Bu Rita, dan lainnya. Belum lagi undangan dari teman di luar kota via SMS. Mungkin, bulan ini memang bulan baik bagi masyarakat Jawa untuk melangsungkan pernikahan. Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, mereka masih percaya akan pentingnya

Itungan Jawa. Hal tersebut dianggap sakaral. Hari atau bulan yang baik dan yang dipantang, orang cenderung mematuhinya dan tidak berani melanggar. Kembali ke undangan. Dengan menumpuknya undangan tersebut, tentu saja saya harus mengalokasikan pos tambahan dalam anggaran pengeluaran keluarga. Ya, kebutuhan untuk Nyumbang. Pada masyarakat Jawa, dikenal semacam tradisi untuk menghadiri acara suatu hajatan, misalnya Pernikahan, Khitanan, Ruwatan, Kelahiran, dan lain sebagainya. Pada saat menghadiri acara tersebut, biasanya membawa Cangkingan atau buah tangan untuk yang punya hajat. Kebanyakan berupa makanan atau Sembilan bahan pokok. Tradisi inilah yang dikenal masyarakat Jawa dengan istilah Nyumbang. Adapula yang menyebutnya dengan istilah Lagan ataupun Jagong. Seiring berkembangnya jaman, banyak masyarakat Jawa tidak lagi Nyumbang menggunakan barang atau makanan. Mereke lebih memilih Nyumbang berupa uang sebagai penggantinya . Hal itu dengan alasan kepraktisan. Orang tidak mau repot-repot mententeng beras, gula,minyak goreng, atau lainnya. Cukup dengan sebuah amplop, sudah dapat dimasukkan ke saku celana. Jauh lebih praktis. Namun, di daerah tertentu ( biasanya di kampung ) ada juga yang masih Nyumbang berupa barang. Mengenai besaran jumlah uang atau barang untuk Nyumbang ke Shohibul Hajat , sebenarnya tidak ada aturan baku. Sebab pada hakekatnya, Nyumbang bersifat suka rela atau seikhlasnya saja. Biasanya orang akan mengikuti kebiasaan pada masyarakat tersebut. Sebab, antara daerah yang satu dengan daerah lainnya terkadang memiliki besaran yang berbeda. Semisal begini : Di daerah A , Nyumbang untuk ukuran umum ( bukan keluarga, kerabat atau sahabat ) standarnya 40 -50 ribu rupiah. Tetapi di daerah B, dengan 20- 30 ribu saja sudah cukup. Biasanya ketika Nyumbang berupa uang, maka dibagian luar amplop akan di cantumkan nama dan alamat orang yang menyumbang. Namun, ada pula yang sengaja tidak dicantumkan. Kalau dicermati lebih jauh lagi berkaitan hal tersebut, ternyata ada hal unik. Kebanyakan dari amplop yang tak beridentitas, bernilai kecil atau lebih kecil dari umumya. Pun sebaliknya jika amplop bernilai besar, hampir dapatkan dipastikan bahwa nama si penyumbang dicantumkan. Hal tersebut wajar dan sah-sah saja. Sebab masyarakat Jawa masih mengenal Mbalekke Sumbang atau mengembalikan.. Maksudnya adalah, ketika si A Nyumbang kepada kita sebesar 200 ribu misalnya, maka kelak jika si A mempunyai hajat, maka kita Nyumbang minimal 200 ribu.

Akan tetapi, hal tersebut bukanlah suatu keharusan. Artinya, jika kita Nyumbang dibawah 200 ribu pun boleh-boleh saja. Namun demkian, orang Jawa tidak akan lepas dari sifat Pekiwuh, Rikuh, Ora Penak.. Masak dulu kita dikasih 200 ribu, sekarang kok kita mau ngasih 100 ribu, yo ora penak to, mungkin begitu kata mereka. Yang jelas, apapun wujudnya dan berapapun nilainya kita Nyumbang, yang terpenting adalah keihlasan dan kerelaan. Nyumbang kecil tetapi ikhlas akan lebih baik dari pada Nyumbang besar tapi tidak Ikhlas. Yang paling baik adalah Nyumbang besar dengan Ikhlas. Sedangkan, Nyumbang dalam pengertian luas sebernatnya merupakan wujud daripada kepedulian sosial. Ketika tetangga, saudara, maupun teman sedang mempunyai hajat, tentu saja mereka membutuhkan bantuan. Bantuan dalam arti disini, bukan hanya sekedar materi. Sedikit tenaga, pikiran, dan gagasan kita, akan sangat berarti bagi mereka yang mempunyai Hajat. Tuhan menciptakan manusia untuk saling tolong menolong antar sesama.

Adat Istiadat Masyarakat Jawa Tengah


Ada beberapa adat istiadat yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa Tengah. Mupu adalah salah satu di antaranya. Mupu berarti memungut anak. Tujuannya agar kelak juga dapat menyebabkan hamilnya ibu yang memungut anak. Pada saat si ibu hamil, jika mukanya tidak kelihatan bersih dan secantik biasanya, disimpulkan bahwa anaknya adalah laki-laki. Jika sebaliknya, maka anaknya perempuan. Pada saat usia kehamilan 7 bulan, diadakan acara nujuh bulanan atau mitoni. Pada acara ini disiapkan sebuah kelapa gading dengan gambar wayang Dewa Kamajaya (jika laki-laki akan tampan seperti Dewa Kamajaya) dan Dewi Kamaratih (jika perempuan akan cantik seperti Dewi Kamaratih), gudangan (sayuran) yang dibumbui, lauk lainnya, serta rujak buah. Ketika bayinya lahir, diadakan slametan, yang dinamakan brokohan. Pada brokohan ini biasanya disediakan nasi tumpeng lengkap dengan sayur dan lauknya. Ketika bayi berusia 35 hari, diadakan acara slametan selapanan. Pada acara ini rambut sang bayi dipotong habis. Tujuannya agar rambut sang bayi tumbuh lebat. Adat selanjutnya adalah tedak-siten. Adat ini dilakukan pada saat sang bayi berusia 245 hari. Ini adalah adat di mana sang bayi untuk pertama kalinya menginjakkan kaki ke atas tanah. Setelah si anak berusia menjelang 8 tahun, namun masih belum mempunyai adik, maka

dilakukan acara ruwatan. Ini dilakukan untuk menghindarkan bahaya. Ketika menjelang remaja, tiba waktunya sang anak ditetaki atau dikhitan. Orang Jawa kuno sejak dulu terbiasa menghitung dan memperingati usianya dalam satuan windu atau setiap 8 tahun. Peristiwa ini dinamakan windon.

Tradisi masyarakat jawa

Ciblon Ciblon adalah jenis kesenian yang hanya dapat dilakukan di dalam air, baik kolam maupun sungai. Ciblon biasa dilakukan dengan menepuk-nepukan tangan ke dalam air sehingga menghasilkan suara yang nyaring dan enak didengar. Ciblon ini biasa dilakukan oleh warga yang tinggal di pinggir sungai, untuk menghilangkan kelelahan setelah mencuci, ciblon biasanya dilakukan sambil mandi di sungai atau di kolam. Seperti di kolam / umbul yang tidak jauh dari rumah saya, yaitu umbul pluneng, seni ciblon dipentaskan sebagai pertunjukan kesenian pada umumnya. pentas seni Ciblon diselenggarakan setiap tahun sebagai tanda syukur kepada Tuhan atas terssedianya air yang melimpah di wilayah Pluneng. Pentas seni Ciblon diselenggarakan apada malam hari di pemandian Tirtomulyana dihadapan ratusan penonton. bersama dengan musik ciblon ini biasanya diiringi oleh lagu-lagu daerah, yang isinya tentang ucapan rasa syukur kepada Tuhan. Pementasan Seni ciblon juga disertai dengan pementasan seni rakyat yang lain, seperti karawitan, tarian, srunthul, dolanan anak, dan sarasehan. Padusan Padusan diartikan sebagai mandi besar sebelum menyambut bulan Ramadahan, dalam tradisi rakyat yang diselenggarakan setiap tahunnya ini, para warga di Pluneng berkumpul di Pemamandian untuk bersuci menyambut bulan Ramadahan secara bersama-sama, mereka terjun ke dalam air dan mandi bersama, tanpa membeda-bedakan status sosial, hal ini ditujukan untuk mempererat hubungan antar warga sekaligus sebagai ritual pensucian diri. Nyadran / Sadranan Nyadran merupakan tradisi yang diadakan setiap tahunnya, tepatnya beberapa hari sebelum bulan Ramadhan. Tradisi Nyadran diadakan oleh penduduk lokal sebagai tanda syukur ke hadirat Tuhan YME atas rezeki yang telah dilimpahkan. Nyadran juga diselenggarakan sebagai upacara untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Hidangan dalam tradisi Nyadran berupa nasi, sayuran dan buah-buahan. Merti Desa Merti Desa merupakan sebuah prosesi tradisi lokal dalam bentuk kegiatan bersih desa. Kegiatan ini dilakukan werga secara gotong royong, tujuannya supaya senantiasa mendapat berkah dan perlindungan dari Tuhan YME. Sambatan Sambatan merupakan kegiatan yang dilakukan para warga secara gotong royong dalam rangka memperbaiki salah satu rumah warga.

Kumbakarnan Tradisi ini merupakan kegiatan yang dilakukan para warga dalam rangka mempersiapkan hajatan yang akan diadakan salah satu warganya, khususnya hajatan perkawinan. Dalam tradisi kumbakarnan, para warga dikumpulkan dan diberi tanggung jawab untuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Istilah Kumbakarnan sendiri muncul karena pada tradisi ini, warga yang datang disediakan makanan yang berlimpah, layaknya ketika raja Kumbakarna akan diangkat menjadi senopati perang dalam perang Bharatayuda. Miwit Miwit merupakan tradisi lokal yang diadakan oleh para petani, tradisi miwit dilaksanakan sebelum petani mulai memanen padi di sawahnya, tradisi ini diadakan secara individual, yaitu petani yang akan panen memasak berbagai macam sayur(biasanya gudangan atau pecel) untuk dibagikan kepada anak-anak yang mengikuti miwit. Upacara Miwit diadakan di sawah yang akan dipanen padinya. Sebagai tanda syukur kepada Tuhan YME, petani meletakkan sebungkus nasi lengkap dengan sayuran di sudut-sudut sawah.
Sinoman, Tradisi Jawa yang Nyaris Terlupakan

Saya dilahirkan menjadi salah satu bagian dari suku terbesar di Indonesia yakni Suku Jawa. Kedua orang tua saya yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur telah membuat darah Jawa mengalir di dalam diri ini. Apalagi saya juga tinggal di Kota Salatiga yang meskipun terkenal dengan sebutan "Indonesia Mini" saking majemuknya penduduk di kota kecil ini, tapi lingkungan saya tinggal masih didiami oleh mayoritas orang-orang Jawa yang mau tak mau membuat nilai-nilai dan tradisi-tradisi Jawa masih terasa di aspek kehidupan saya. Yah, meskipun tidak sekuat dan seintens pengaruh ke-Jawa-an masyarakat di Surakarta, Jogjakarta atau pedesaan akan tetapi sedikit-sedikit beberapa tradisi Suku Jawa masih saya jalankan hingga detik ini. Salah satu tradisi dari beraneka ragam tradisi Suku Jawa yang sering saya lakukan adalah tradisi sinoman. Ada yang tahu apa itu Sinoman? Pada dasarnya sinoman sebenarnya merupakan salah satu bentuk dari budaya Jawa yang sangat mendasar yakni gotong royong. Sinoman adalah sebutan bagi orang-orang yang menjadi juru laden atau orang-orang yang melayani para tamu manakala ada hajatan (acara besar seperti pernikahan atau khitanan) yang tengah dilakukan oleh tetangga atau apabila tengah ada acara di kampung (halal bihalal, tujuhbelasan, dsb). Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh para pemuda dan pemudi desa meskipun terkadang para orang tua juga ikut membantu. Pekerjaan para sinoman benar-benar bagaikan pramusaji, manakala hidangan telah selesai dipersiapkan para sinoman harus segera bergerak untuk membagikan hidangan tersebut ke para tamu satu per satu lalu setelah para tamu selesai menyantap hidangan para sinoman pun bergerak kembali dengan mengambil piring, gelas ataupun mangkok yang ditinggalkan oleh para tamu dan segera diberikan kepada para tukang cuci piring. Hap hap hap semua tamu harus terlayani dengan baik dan tidak boleh ada tumpukan piring kotor di sekitar tempat hajatan. Sinoman itu cukup melelahkan bahkan terkadang kalau pas apes ya bisa sangat melelahkan. Itu semua tergantung dari jumlah tamu undangan, jumlah hidangan, serta jumlah personel para sinoman. Coba saja dibayangkan, misalnya dalam suatu acara pernikahan yang mengundang sekitar 500-an tamu undangan. Itu berarti dalam satu sesi makan akan ada 500 hidangan yang harus diantar kepada para tamu dan akan ada 500 piring kotor yang harus diambil kembali. Itu baru satu sesi, padahal biasanya di kampung saya sesi makan itu bisa berkali-kali lo mulai dari minuman, makanan ringan (snack), makan besar, barulah makan

penutup. Sadis. Untuk itulah biasanya jumlah personel sinoman harus disesuaikan dengan jumlah para tamu. Idealnya sih menurut saya untuk acara pernikahan dengan mengundang 500-an orang setidaknya membutuhkan 15-20 personel sinoman itu saja terkadang masih keteteran kemana-mana. Sayangnya, jumlah pemuda pemudi di kampung saya terus berkurang sehingga misalnya tanpa dibantu bapak-bapak dan ibu-ibu yang lain, kami para pemuda pemudi yang melakukan sinoman pasti sehabis acara usai akan menggelepar kelelahan. Huhuhuh.

Salah satu hal yang unik dari tradisi sinoman adalah biasanya para sinoman memakai seragam. Umumnya sih menggunakan atasan berupa kemeja/hem berwarna putih dan bawahan berupa celana/rok berwarna hitam. Hal ini digunakan agar para sinoman mudah dikenali oleh pemilik acara hajatan, panitia dan juga para tamu. Sekarang sih untunglah model atasan bawahan putih hitam tergantikan dengan atasan batik dan bawahan hitam. Voila, entah kenapa saya sekarang agak sensi kalau melihat warna putih hitam yang bagi saya tak ubahnya pakaian para pekerja magang dan juga mengingatkan saya akan sidang skripsi (skripsi apa kabar? tidaak *curhat berdarah*). Belum lagi memakai atasan warna putih itu menurut saya tidak cocok karena pekerjaan seorang sinoman sangat rentan terkena noda-noda membandel dari kuah hidangan atau minuman. Sebel aja gitu. Hal unik lainnya adalah sinoman dilakukan secara sukarela. Tidak ada kewajiban bagi pemilik acara hajatan untuk membayar para sinoman meskipun terkadang ada yang berbaik hati memberikan kompensasi berupa uang atau rokok (dan saya bukan seorang perokok, boleh saya minta mentahnya saja? *eh*). Pekerjaan sinoman sejatinya murni dilakukan untuk menolong tetangga kita yang tengah membutuhkan bantuan saja. Salah satu imbalan tak resmi yang diberikan oleh para pemilik acara hajatan biasanya adalah para sinoman dibebaskan untuk mengambil makan dan minuman sepuasnya. Asyik! Heheh.

Baru-baru ini, saya dan para pemuda di kampung saya menjalani tugas sebagai sinoman di acara pernikahan salah seorang tetangga kami. Waktu datang ke rapat panitia, saya kaget bukan main. Tamu diperkirakan 700-an orang dengan 12 personel sinoman, prasmanan dan acara pernikahan dilaksanakan di gedung! Benar saja, di hari H-nya semuanya pun terlihat kacau. Tamu yang datang melebihi jumlah undangan sedangkan hidangan dan alat-alat makan yang disediakan tidak sebanyak orang yang datang. Hal ini diperparah dengan sedikitnya petugas cuci piring sehingga piring, gelas dan mangkok kotor pun terus menumpuk. Yang kelabakan? Semua orang! Termasuk para sinoman. Saya dan tetanggatetangga yang lain pun terus hilir mudik mengambil piring-piring kotor yang ditinggalkan para tamu, menyodorkan ke para tukang cuci piring, mengambil kembali piring yang telah dicuci dan diserahkan kembali ke petugas penjaga stand makanan. Semuanya dilakukan serba cepat dan berulang-ulang. Argh! Untung saja, kekacauan tersebut tidak mengganggu acara pernikahan yang tengah dilaksanakan. Tidak pula terlihat para tamu undangan yang marahmarah secara frontal walau saya yakin di dalam hati mungkin ada rasa kekecewaan mereka. Catatan saja sih, acara pernikahan itu adalah acara sakral yang seharusnya tidak tercoreng oleh hal-hal sepele semacam itu. Untuk itulah, semuanya harus diperhitungkan dengan matang sampai hal-hal terkecil. Well, semua orang harus ikutan berbahagia kan?

Sinoman. Salah satu tradisi asli Suku Jawa yang mungkin nyaris dilupakan oleh orang dewasa ini. Fenomena penggunaan catering dalam acara hajatan, membuat peran sinoman tergantikan oleh para pramusaji dari pengusaha catering yang tentunya lebih profesional. Padahal, banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari tradisi sinoman. Sinoman telah mengajarkan saya untuk selalu ikhlas dalam menolong sesama sesuai dengan nilai gotong royong yang terpatri kuat bagi orang-orang Jawa. Tradisi sinoman juga membuat saya lebih dekat dengan para tetangga yang lain dalam caranya sendiri. Kerjasama dan semangat melayani orang lain tanpa pamrih. Inilah yang seharusnya tetap diuri-uri oleh masyarakat Jawa kini yang kemudian nilai-nilai dan pelajarannya diterapkan dalam keseharian mereka. Jadi, masih adakah tradisi sinoman di daerah anda?

Tradisi Suran (Suroan) Masyarakat Jawa


Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh Apa kabar sobat Adiluhur? Tanpa begitu kita sadari, ternyata waktu berjalan begitu cepat. Rasanya baru kemarin hari raya Idul Fitri kita rayakan, belum begitu terasa sudah sampai pada hari raya Idul Adha kemarin. Sekarang kita malah sudah memasuki babak baru dalam sistem kalender hijriyah maupun Jawa. Meskipun telat, saya ingin mengucapkan "Selamat Tahun Baru Hijriyah 1434H" pada sobat semua. Semoga apa yang sudah kita lalui di tahun 1433 H kemarin bisa kita jadikan bahan untuk introspeksi diri demi memperbaiki kehidupan kita ditahun yang akan kita jalani ini. Berbicara tentang tahun baru hijriyah yaitu bulan Muharram dalam kalender Islam atau bulan Sura dalam sistem kalender Jawa, khususnya bagi masyarakat Jawa dan sekitarnya, pasti tidak lepas dari berbagai macam ritual dan tradisi-tradisi yang sudah berlangsung secara turun temurun. Tradisi-tradisi tersebut menurut masyarakat merupakan sebuah perayaan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan begitu banyak rahmat dan karunia-Nya kepada makhluk didunia ini. Bulan Muharram/Sura merupakan bulan yang istimewa bagi masyarakat Jawa, bulan yang keramat dan suci. Untuk itulah beberapa orang yang masih setia melestarikan Budaya Jawa menjadikan bulan ini sebagai bulan untuk mensucikan diri dengan ritual-ritual seperti tirakatan khususnya pada saat malam satu Sura kemarin, berpuasa, semedi dan berbagai ritual lain. Bagi mereka yang memiliki benda-benda pusaka seperti keris, tombak, akik dan lainlain, mereka juga mengadakan ritual pembersihan benda pusaka tersebut dengan dimandikan pakai air kembang. Penamaan bulan Sura dalam penanggalan Jawa sebenarnya juga diambil dari istilah Islam. Dalam Islam, ada yang namanya hari 'Asyura yang jatuh pada tanggal 10 Muharram dimana pada hari itu terjadi peristiwa-peristiwa penting yang dialami para nabi-nabi terdahulu. Untuk itu Rasulullah SAW menyuruh umatnya untuk melakukan puasa sunnah pada tanggal 10 Muharram. Tidak heran jika masyarakat Jawa juga melakukan puasa pada bukan Sura karena selain menjadi tradisi juga merupakan perintah dari Rasulullah SAW. Bagi anak muda, terutama di daerah tempat tinggal saya, bulan Sura juga merupakan bulan yang penuh hiburan. Karena di bulan ini masyarakat-masyarakat pedesaan mengadakan ritual yang dinamakan Ruwat Bumi dengan melakukan selamatan masal dan ditutup dengan acara

hiburan seperti pagelaran wayang kulit, tarian lengger, calung, kuda kepang (embeg), campur sari dan lainnya untuk menghibur masyarakat. Hiburan ini biasanya diselenggarakan selama satu hari satu malam. Bahkan dibeberapa tempat, ada yang menyelenggarakan sampai 2 sampai 3 hari khususnya untuk lenggeran. Di desa saya sendiri ada tradisi khusus yang sudah jarang saya temukan di desa-desa tetangga yaitu selamatan weton untuk memperingati hari kelahiran seseorang. Biasa kami menyebutkan bahwa bulan Sura adalah bulan yang penuh bubur. Karena selamatan weton ini menggunakan bubur sebagai hidangan selamatan. Selamatan ini diselenggarakan oleh setiap warga dengan waktu yang berbeda-beda tergantung hari kelahiran anggota keluarganya. Intinya semua tradisi dan ritual Suran ini adalah untuk memperingati tahun baru hijriyah. Berbagai tradisi tersebut tujuannya tidak lain adalah sebagai ungkapan para syukur kepada Tuhan yang masih memberi kesempatan untuk menikmati kehidupan didunia sampai tahun kembali berganti. Bagi saya pribadi, tidaklah penting segala tradisi dan ritual tersebut tapi untuk menjaga kelestarian budaya jangan pula kita meninggalkannya asal jangan jadikan halhal tersebut untuk kemusyrikan. Yang terpenting dalam setiap pergantian tahun adalah bagaimana kita menyikapinya. Apa saja yang pernah kita perbuat di tahun sebelumnya, apakah sudah baik dan sesuai dengan ajaran yang kita anut atau belum. Jika belum, mari kita perbaiki perilaku kita di tahun yang akan kita jalani, jika sudah, kita jadikan tahun yang ini untuk lebih memperbaikinya lagi. Orang yang hari ini lebih baik dari hari kemarin adalah orang yang beruntung, orang yang hari ini sama dengan hari kemarin adalah orang yang merugi, dan orang yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin adalah orang yang celaka Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh

You might also like