You are on page 1of 24

KONSEP DASAR SPIRITUAL

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah mahluk yang paling tinggi derajatnya dibandingkan makhluk Tuhan yang lainnya. Mengapa demikian?, tentu jawabannya karena manusia telah diberkahi dengan akal dan pikiran yang bisa membuat manusia tampil sebagai khalifah dimuka bumi ini. Akal dan pikiran ini lah yang membuat manusia bisa berubah dari waktu ke waktu. Dalam kehidupan manusia sulit sekali dipredeksi sifat dan kelakuannya bisa berubah sewaktu-waktu. Kadang dia baik, dan tidak bisa bisa dipungkiri juga banyak manusia yang jahat dan dengki pada sesama manusia dan makhluk Tuhan lainnya. Setiap manusia kepercayaan akan sesuatu yang dia anggap agung atau maha, kepercayaan inilah yang disebut sebagai spriritual. Spiritual ini sebagai kontrol manusia dalam bertindak, jadi spiritual juga bisa disebut sebagai norma yang mengatur manusia dalam berperilaku dan bertindak. Dalam ilmu keperawatan spiritual juga sangat diperhatikan. Berdasarkan konsep keperawatan, makna spiritual dapat dihubungkan dengan kata-kata : makna, harapan, kerukunan, dan sistem kepercayaan (Dyson, Cobb, Forman, 1997). Dyson mengamati bahwa perawat menemukan aspek spiritual tersebut dalam hubungan seseorang dengan dirinya sendiri, orang lain, dan dengan Tuhan. Menurut Reed (1992) spiritual mencakup hubungan intra-, inter-, dan transpersonal. Spiritual juga diartikan sebagai inti dari manusia yang memasuki dan mempengaruhi kehidupannya dan dimanifestasikan dalam pemikiran dan prilaku serta dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, alam, dan Tuhan (Dossey & Guzzetta, 2000).

B. Tujuan Berdasarkan uraian latar belakang diatas kami dapat menarik kesimpulan tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1) Untuk menyelesaikan tugas mata kuliah. 2) Diharapkan dengan adanya makalah ini maka pembaca akan memahami apa itu spiritual, apa bentuknya dan sumber spiritual itu sendiri. 3) Mahasiswa bisa mengerti bagaimana konsep spiritual dalam keperawatan (kesehatan). C. Rumusan masalah Penulis dalam makalah ini ingin menyampaikan beberapa permasalah yang menjadi dasar penulisan makalah ini : a) Seberapa penting spiritual dalam kehidupan manusia? b) Apa yang menjadi sumber spiritual manusia itu sendiri? c) Bagaimana penerapan spiritual dalam ilmu kesehatan khususnya dalam makalah ini keperawatan. D. Metode penulisan Makalah ini disusun dengan menggunakan berbagai referensi yaitu dari pengambilan data dari website atau blog-blog yang membahas tentang spiritual. a. b. c. d. e. Metode penulisan makalah ini adalah sebagai berikut : Pendahuluan: latar belakang, tujuan, rumusan masalah, dan metode penulisan. Pengkajian Penutup: kesimpulan dan saran Daftar pustaka

PENGKAJIAN

A. Pengertian Spiritual Definisi spiritual lebih sulit dibandingkan mendifinisikan agama/religion, dibanding dengan kata religion, para psikolog membuat beberapa definisi spiritual, pada dasarnya spitual mempunyai beberapa arti, diluar dari konsep agama, kita berbicara masalah orang dengan spirit atau menunjukan spirit tingkah laku, kebanyakan spirit selalu dihubungkan sebagai faktor kepribadian. Secara pokok spirit merupakan energy baik secara fisik dan psikologi, Menurut kamus Webster (1963) kata spirit berasal dari kata benda bahasa latin Spiritus yang berarti nafas (breath) dan kata kerja Spirare yang berarti bernafas. Secara etimologi kata sprit berasal dari kata Latin spiritus, yang diantaranya berarti roh, jiwa, sukma, kesadaran diri, wujud tak berbadan, nafas hidup, nyawa hidup. Dalam perkembangannya, selanjutnya kata spirit diartikan secara lebih luas lagi. Para filosuf, mengonotasian spirit dengan (1) kekuatan yang menganimasi dan memberi energi pada cosmos, (2) kesadaran yang berkaitan dengan kemampuan, keinginan, dan intelegensi, (3) makhluk immaterial, (4) wujud ideal akal pikiran (intelektualitas, rasionalitas, moralitas, kesucian atau keilahian). Dilihat dari bentuknya, spirit menurut Hegel, paling tidak ada tiga tipe : subyektif, obyektif dan obsolut. Spirit subyektif berkaitan dengan kesadaran, pikiran, memori, dan kehendak individu sebagai akibat pengabstraksian diri dalam relasi sosialnya. Spirit obyektif berkaitan dengan konsep fundamental kebenaran (right, recht), baik dalam pengertian legal maupun moral. Sementara spirit obsolut yang

dipandang Hegel sebagai tingkat tertinggi spirit-adalah sebagai bagian dari nilai seni, agama, dan filsafat. Secara psikologik, spirit diartikan sebagai soul (ruh), suatu makhluk yang bersifat nir-bendawi (immaterial being). Spirit juga berarti makhluk adikodrati yang nir-bendawi. Karena itu dari perspektif psikologik, spiritualitas juga dikaitkan dengan berbagai realitas alam pikiran dan perasaan yang bersifat adikodrati, nir-bendawi, dan cenderung timeless & spaceless. Termasuk jenis spiritualitas adalah Tuhan, jin, setan, hantu, roh-halus, nilai-moral, nilai-estetik dan sebagainya. Spiritualitas agama (religious spirituality, religious spiritualness) berkenaan dengan kualitas mental (kesadaran), perasaan, moralitas, dan nilai-nilai luhur lainnya yang bersumber dari ajaran agama. Spiritualitas agama bersifat Ilahiah, bukan bersifat humanistik lantaran berasal dari Tuhan. Spiritual dalam pengertian luas merupakan hal yang berhubungan dengan spirit ,sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran yang abadi yang berhubungan dengna tujuan hidup manusia, sering dibandingkan dengan Sesuatu yang bersifat duniawi, dan sementara, Didalamnya mungkin terdapat kepercayaan terhadap kekuatan supernatural seperti dalam agama, tetapi memiliki penekanan terhadap pengalaman pribadi. Spiritual dapat merupakan eksperesi dari kehidupan yang dipersepsikan lebih tinggi, lebih kompleks atau lebih terintegrasi dalam pandangan hidup seseorang,dan lebih dari pada hal yang bersifat indrawi. Salah satu aspek dari menjadi spiritual adalah memiliki arah tujuan, yang secara terus menerus meningkatkan kebijaksanaan dan kekuatan berkehendak dari seseorang, mencapai hubungan yang lebih dekat dengan ketuhanan dan alam semesta dan menghilangkan ilusi dari gagasan salah yang berasal dari alat indra, perasaan, dan pikiran. Pihak lain mengatakan bahwa aspek spiritual memiliki dua proses, pertama proses keatas yang merupakan tumbuhnya

kekuatan internal yang mengubah hubungan seseorang dengan Tuhan, kedua proses kebawah yang ditandai dengan peningkatan realitas fisik seseorang akibat perubahan internal. Konotasi lain perubahan akan timbul pada diri seseorang dengan meningkatnya kesadaran diri, dimana nilai-nilai ketuhanan didalam akan termanifestasi keluar melalui pengalaman dan kemajuan diri, Apakah ada perbedaan antara spiritual dan religius? Spiritualitas dalah kesadaran diri dan kesadaran individu tentang asal, tujuan dan nasib. Agama dalah kebenaran mutlak dari kehidupan yang memiliki manifestasi fisik diatas dunia. Agama merupakan praktek prilaku tertentu yang dihubungkan dengan kepercayaan yang dinyatakan oleh institusi tertentu yang dihubungkan dengan kepercayaan yang dinyatakan oleh institusi tertentu yang dianut oleh anggota-anggotanya. Agama memiliki kesaksian iman, komunitas dan kode etik, dengan kata lain spiritual memberikan jawaban siapa dan apa seseorang itu (keberadaan dan kesadaran), sedangkan agama memberikan jawaban apa yang harus dikerjakan seseorang (prilaku atau tindakan). Seseorang bisa saja mengikuti agama tertentu, namun memiliki spiritualitas. Orangorang dapat menganut agama yang sama, namun belum tentu mereka memiliki jalan atau tingkat spiritualitas yang sama Spiritualitas adalah hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan Maha pencipta, tergantung dengan kepercayaan yang dianut oleh individu. Menurut Burkhardt (1993) spiritualitas meliputi aspek-aspek : 1) Berhubungan dengan sesuatau yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan, 2) Menemukan arti dan tujuan hidup, 3) Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri,

4) Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan yang maha tinggi. Mempunyai kepercayaan atau keyakinan berarti mempercayai atau mempunyai komitmen terhadap sesuatu atau seseorang. Konsep kepercayaan mempunyai dua pengertian. Pertama kepercayaan didefinisikan sebagai kultur atau budaya dan lembaga keagamaan seperti Islam, Kristen, Budha, dan lain-lain. Kedua, kepercayaan didefinisikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan Ketuhanan, Kekuatan tertinggi, orang yang mempunyai wewenang atau kuasa, sesuatu perasaan yang memberikan alasan tentang keyakinan (belief) dan keyakinan sepenuhnya (action), harapan (hope), harapan merupakan suatu konsep multidimensi, suatu kelanjutan yang sifatnya berupa kebaikan, dan perkembangan, dan bisa mengurangi sesuatu yang kurang menyenangkan. Harapan juga merupakan energi yang bisa memberikan motivasi kepada individu untuk mencapai suatu prestasi dan berorientasi kedepan. Agama adalah sebagai sistem organisasi kepercayaan dan peribadatan dimana seseorang bisa mengungkapkan dengan jelas secara lahiriah mengenai spiritualitasnya. Agama adalah suatu sistem ibadah yang terorganisir atu teratur. Definisi spiritual setiap individu dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman hidup, kepercayaan dan ide-ide tentang kehidupan. Spiritualitas juga memberikan suatu perasaan yang berhubungan dengan intrapersonal (hubungan antara diri sendiri), interpersonal (hubungan antara orang lain dengan lingkungan) dan transpersonal (hubungan yang tidak dapat dilihat yaitu suatu hubungan dengan ketuhanan yang merupakan kekuatan tertinggi). Adapun unsurunsur spiritualitas meliputi kesehatan spiritual, kebutuhan spiritual, dan kesadaran spiritual. Dimensi spiritual merupakan suatu penggabungan yang menjadi satu kesatuan antara unsur psikologikal, fisiologikal, atau fisik, sosiologikal dan spiritual.

B. Ajaran Spiritual : Sumber dan Coraknya Dalam perjalanan sejarah peradaban manusia, tercatat bahwa tradisi keagamaan merupakan sumber ajaran spiritual yang mengakar kuat dan mempengaruhi pola kehidupan pemeluknya. Untuk memahami fenomena spiritualitas, agaknya perlu memahami ajaran agama itu sendiri. Masing-masing agama memiliki ajaran spiritual berbeda walau hakekatnya berkecenderungan tidak jauh berbeda. Secara garis besar, dilihat dari sumber dan proses terjadinya spiritual atau nilai-nilai spiritual yang diyakini dan diamalkan, paling tidak terdapat beberapa tipe. The Encyclopedia of Religion menyebutkan tiga tipe ajaran spiritual (spiritual discipline) yaitu :

Pertama, spiritual heteronomy. Dalam corak spiritual ini, pencari atau pengamal spiritual cenderung menerima, memahami, meyakini atau mengamalkan acuan spiritual (nilai-nilai spiritual) yang bersumber dari otoritas luar (external authority). Pengamal ajaran spiritual heteronomik menerima, bersikap meyakini mentaati dan dan menerima saja, makna tanpa dan harus keabsahannya dalam wujud tindakan yang submisif dalam arti tinggal mengamalkan merefleksikan atau merasionalisasi makna ajarannya.

Kedua, spiritual otonom, yakni bentuk spiritualitas yang bersumber dari hasil refleksi diri sendiri. Corak spiritual ini bersifat selfcontained and independent of external authority, yakni dihasilkan dari dalam diri sendiri dan terbebas dari otoritas luar. Spiritual otonom sesungguhnya merupakan nilai spiritual yang dihasilkan oleh proses refleksi terhadap kemahabesaran Tuhan dan ciptaannya.

Ketiga, spiritual interaktif, yakni nilai spiritual atau spiritual yang terbentuk melalui proses interaktif antara dirinya sendiri dengan lingkungannya. Dengan demikian, corak spiritual ini bukan mutlak karena faktor internal maupun eksternal. Namun, lebih merupakan hasil dari proses dialektik antara potensi ruhaniah (mental, perasaan,

dan moral) di satu pihak dengan otoritas luar dalam bentuk tradisi, folkways, dan tatanan dunia yang mengitarinya. Bentuk-bentuk spiritual yang berkembang juga cenderung bervariasi. William K. Mahony, mengkategorikan dua bentuk ajaan spiritual. Pertama, ajaran spiritual esktatik, ajaran ini menganggap bahwa spiritual atau nilai-nilai spiritual dapat diperoleh melalui pengalaman esktatik. Yakni praktik memperoleh kegembiraan luar biasa (esktasi) dengan cara merampas (menjauhkan) diri dari bentuk kesenangan jasmani agar terbebas dari kungkungan tubuh jasmaniahnya (physical body). Kedua, ajaran spiritual konstraktif yang memandang bahwa untuk memperoleh nilai dan tingkat spiritualitas (maqam) tidak harus mengekslusi atau mengesampingkan realitas kesenangan hidup keseharian yang sesunguhnya. Thomas a Kempis, seorang biarawan pada abad 15 pernah mengajarkan pada muridnya tentang bagaimana cara memilki spirtualitas relijius yang tinggi. Ajaran sederhananya, misalnya Be simple, like the simple children of God, without deception, without envy, without murmuring, and without suspicion. 1. Menumbuhkan Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quatient) Menurut Jalaluddin Rahmat (2001), dalam kata pengantar pada buku SQ edisi Indonesia mengatakan, Sejak 1969, ketika Journal of Transpersonal Psychology terbit untuk pertama kalinya, psikologi mulai mengarahkan perhatiannya pada dimensi spiritual manusia. Penelitian dilakukan untuk memahami gelaja-gejala ruhaniah, seperti peak experience, pengalaman mistik, ekstasi, kesadaran ruhaniah, kesadaran kosmis, aktualisasi transpersonal, pengalaman spiritual, dan akhirnya kecerdasan spiritual. Dalam kerangka inilah, Zohar mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan di luar ego, atau jiwa sadar. Inilah kecerdasan yang kita perlukan bukan hanya untuk

mengetahui nilai-nilai yang ada, melainkan juga untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai baru. Zohar juga mengatakan, SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita. Akan tetapi seperti kata Jalaluddin Rahmat, Danah Zohar masih terikat dalam pemikiran psikologi dari angkatanangkatan sebelum psikologi transpersonal. Sedangkan menurut Khalil Khavari (Khavari, 2000, h. 23)., kecerdasan spiritual adalah fakultas dari dimensi nonmaterial kita-ruh manusia. Inilah intan yang belum terasah yang kita semua milikinya. Kita harus mengenalinya seperti apa adanya, menggosoknya hingga berkilap dengan tekad yang besar dan menggunakannya untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Seperti dua bentuk kecerdasan lainnya, kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan dan juga diturunkan. Akan tetapi, kemampuan untuk ditingkatkan tampaknya tidak terbatas. Danah Zohar menawarkan enam jalan untuk menumbuhkan kecerdasan kecerdasan spiritual antara lain . Jalan I : Jalan Tugas; Jalan II : Jalan Pengasuhan; Jalan III : Jalan Pengetahuan; Jalan IV : Jalan Perubahan Pribadi; Jalan V : Jalan Persaudaraan; Jalan VI : Jalan Kepemimpinan yang Penuh Pengabdian.Yang pada akhirnya semua jalan menuju dan berasal dari pusat yaitu kembali kedunia. Menurut Jalaluddin Rahmat ada berbagai teknik untuk mengungkapkan makna; tetapi ada lima situasi ketika makna membersit ke luar dan mengubah hidup kita-menyusun hidup kita yang porakporanda. Pertama, makna kita temukan ketika kita menemukan diri kita

(self

discovery); kedua,

makna

muncul

ketika

kita

menentukan

pilihan; ketiga, makna ditemukan ketika kita merasa istimewa, unik, dan tak tergantikan oleh orang lain;keempat, makna membersit dalam tanggung jawab; kelima, makna mencuat dalam situasi transendensi, gabungan dari keempat hal diatas. Dalam menumbuhkan spiritual dapat juga dengan memakai ESQ yang diperkenalkan oleh AG Agustian, dengan ESQ seseorang mampu mengendalikan emosinya karena di dalam dirinya mulai tumbuh hot spot (fitrah). Semakin baik ESQ seseorang tentu kemampuan mengendalikan diri akan semakin baik pula. Selain ESQ ada juga yang namanya Transenden Intelligency (TI) yang berarti kecedasan ruhaniah. Menurut Toto Tasmara (2001) salah satu indicator kecerdasan ruhaniah itu adalah taqwa. Orang yang bertaqwa menurut Tasmara adalah orang yang bertanggung jawab, memegang amanah dan penuh rasa cinta. Selain itu pada diri orang yang bertaqwa juga terdapat ciri : memiliki visi dan misi, merasakan kehadiran Allah Swt, berzikir dan berdoa, sabar, cenderung kepada kebaikan, memiliki empati, berjiwa besar, dan bersifat melayani. 2. Menumbuhkan Sifat Melayani Pada masa pergerakan para pemimpin kita tidak mau bekerja pada pemerintahan kolonial. Mereka para pemimpin pergerakan memilih usaha sendiri meskipun dengan ruang yang sempit pada waktu itu. Faham kepemimpinan pergerakan disikapi dan diamalkan sebagai kesempatan untuk melayani, bukan untuk dilayani. Akan tetapi faham ini tidak berlanjut pada masa sesudahnya, para birokrat ternyata bagaikan raja yang setiap saat harus siap untuk dilayani. Masyarakat yang sudah susah dan miskin terpaksa harus melayani mental para pemimpin yang rakus dan culas. Pelayanan kepada masyarakat yang seharusnya mudah dipersulit dengan birokrasi yang dibuat sesukanya. Mengutip catatan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti mengenai

fenomena birokrasi di Indonesia, kewenangan besar dimiliki birokrat sehingga hampir semua aspek kehidupan masyarakat ditangani birokrasi. Kewenangan yang terlalu besar itu bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai daripada melayani masyarakat. Akhirnya, wajar saja jika kemudian birokrasi lebih dianggap sebagai sumber masalah atau beban masyarakat ketimbang sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat. Fenomena itu terjadi karena tradisi birokrasi yang dibentuk lebih sebagai alat penguasa untuk menguasai masyarakat dan segala sumber dayanya. Dengan kata lain, birokrasi lebih bertindak sebagai pangreh praja daripada pamong praja. Bahkan kemudian terjadi politisasi birokrasi. Pada rezim Orde Baru, birokrasi menjadi alat mempertahankan kekuasaan. Dengan perubahan paradigma yang akhir-akhir ini sering terdengar bahwa kualitas pelayanan pada masyarakat merupakan salah satu masalah yang mendapat perhatian serius oleh aparatur pemerintah. Hal ini dibuktikan dalam keputusan MenPAN Nomer 81 Tahun 1993 kemudian dipertegas dengan inpres I/95, kemudian disusul dengan Surat Edaran Menko-Wasbang/PAN No. 56/MK.WASPAN/6/98.Dalam Disyaratkan kemampuan manajemen menganalisis pelayanan dan dikenal kepemimpinan-pelayan yaitu pemimpin yang lebih dulu melayani. mengembangkan kemampuan logika dan analitis termasuk mengenali ciri khas pemimpinpelayan yang bisa ditiru. Spears (1999) mengetengahkan ciri khas pemimpin-pelayan sebagai berikut : 1. Pemimpin-pelayan menyatakan tanggungjawab yang tidak terbatas untuk orang lain, dengan jalan kita menerima orang lain apa adanya, kita harus belajar memberikan empati;

2. Pemimpin-pelayan mengenal dirinya sendiri dengan baik, ciri khas ini adalah sebuah komitmen seumur hidup, tetapi merupakan landasan untuk menjadi pemimpin-pelayan; 3. Pemimpin-pelayan adalah pemegang wawasan yang membebaskan, ciri khas ini adalah kunci dari kegiatan pelayanan yang mendahulukan kepuasaan pelanggan karena mereka merasakan suatu nilai lebih apabila bergabung dengan kita; 4. Pemimpin-pelayan adalah pemakai bujukan, ciri khas ini pemimpinpelayan berusaha untuk tidak mengendalikan orang lain, pendekatan yang digunakan adalah berusaha mengembangkan pengertian; 5. Pemimpin-pelayan adalah pembangun masyarakat; 6. Pemimpin-pelayan menggunakan kekuasaan secara etis. Dalam manajemen pelayanan juga dikenal layanan sepenuh hati. Layanan sepenuh hati menurut Patricia patton dalam karyanya dalam edisi Indonesia (1998) berjudul EQ-Pelayanan Sepenuh Hati, mengatakan bahwa layanan sepenuh hati berasal dari dalam diri kita sendiri, bahwa sanubari merupakan tempat bersemanyamnya emosiemosi, watak, keyakinan-keyakinan, nilai-niai, sudut pandang, dan perasaan-perasaan. Dan bahwa dalam melakukan pelayanan sepenuh hati, ada tiga paradigma pengikat yang sejogianya dipahami oleh aparatur pelayan. Paradigma tersebut 1) bagaimana memandang diri sendiri, 2) bagaimana memandang orang lain, dan 3) bagaimana memandang pekerjaan. 3. Agama Sebagai Sumber Spiritualitas Ada adagium yang mengatakan bahwa agama boleh saja ditinggalkan orang, tapi spiritual akan selalu hidup dan bersemanyam di hati setiap orang sampai kapan pun. Disini berarti terdapat pembedaan antara agama atau keagamaan dengan spiritualitas. Agama berbicara tentang seperangkat nilai dan aturan perilaku yang telah melalui proses kodifikasi. Sementara spiritual bermakna jiwa yang paling dalam,

hakiki, substance, masih suci dan belum terkotak-kotak, bebas merambah kemana saja, dan didalamnya bersemayam sifat-sifat Ilahi (ketuhanan) yang lembut dan mencintai. Danah Zohar dan Ian Marshall mengatakan, SQ tidak mesti berhubungan dengan agama. Karena menurutnya sebagian orang, SQ mungkin menemukan cara pengungkapan melalui agama formal tetapi beragama tidak menjamin SQ tinggi. Banyak orang humanis dan ateis memiliki SQ sangat tinggi; sebaliknya, banyak orang yang aktif beragama memiliki SQ sangat rendah. SQ adalah kesadaran yang dengannya kita tidak hanya mengakui nilai-nilai yang ada, tetapi kita juga secara kreatif menemukan nilai-nilai baru. Sedangkan Jalaluddin berpendapat, sepanjang zaman manusia bertanya, siapakah aku ? Tradisi keagamaan menjawabnya dengan menukik jauh kedalam, wujud spiritual, ruh. Praktek-praktek keagamaan mengajarkan kita untuk menyambungkan diri kita dengan bagian diri kita yang terdalam. Psikologi modern menjawab dengan menengok ke dalam (tidak terlalu dalam), self, ego, eksistensi psikologis dan psikoterapi adalah perjalanan psikologis untuk menemukan diri ini. Psikologi transpersonal menggabungkan kedua jawaban ini. Ia mengambil pelajaran dari semua angkatan psikologi dan kearifan perennial agama. Selanjutnya Jalaluddin menambahkan, agama-agama berbicara tentang kesadaran spiritual yang luas dan multidimensi. Diri, eksistensi pikologis, hanyalah penampakan luar dari esensi spiritual kita. Penjelasan psikologis yang hanya berkutat pada penampakan luar jelas tidak memadai. Menyembuhkan ganguan mental dengan menggarap diri lahiriah kita sama saja dengan mendorong mobil mogok tanpa memperbaiki mesinnya. Marsha Sinetar (2000, hal. 17) mendefinisikan kecerdasan spiritual adalah pikiran yang mendapat inspirasi, dorongan, dan efektivitas yang terinspirasi, the is-ness atau penghayatan ketuhanan yang didalamnya kita semua menjadi bagian.

Menurut William James (1985) dalam Jalaluddin terdapat hubungan antara tingkah laku seseorang dengan pengalaman keagamaan yang dimilikinya. Artinya orang yang memiliki pengalaman keagamaan yang baik akan cenderung untuk berbuat baik karena agama pada prinsipnya adalah tuntunan bagi seseorang untuk mengerjakan hal-hal yang baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat (Jalaluddin, 2000 : 109). Selain itu, dengan pengalaman keagamaan juga orang terhindar dari perbuatan-perbuatan jahat, sikap dan prilaku amoral yang tidak dikehendaki.Agama mempunyai fungsi pengawasan sosial terhadap tingkah laku masyarakat. Agama merasa ikut bertanggung jawab atas adanya norma-norma yang baik yang diberlakukan untuk masyarakat. Dengan beragama maka setiap tingkah laku sesorang akan terkontrol, apapun agamanya dan siapapun pemeluknya, yang jelas tidak satupun agama mengarahkan pemeluknya kedalam perbuatan maksiat. Pengalaman keagamaan yang dimiliki Eistein bahwa, benda-benda angkasa yang jumlahnya sulit dibayangkan itu bergerak karena ada yang menggerakkan, membuat hatinya bergetar dan mengakui bahwa, Tuhan itu ada. Demikian halnya dengan pentolan Komunis Joseph Stalin yang banyak membunuh kaum agamawan, ternyata diakhir hayatnya minta didampingi oleh seorang pendeta dan berucap, pastor ajarkan saya berdoa.Dari kisah nyata diatas, jelaslah bahwa manusia tidak bisa melepaskan diri dari agama karena agama adalah kebutuhan manusia yang fitri. Ketika datang wahyu Allah yang menyeru manusia pada agama, maka seruan itu sejalan dengan kebutuhan yang fitri itu (Abuddin Nata, 2004: 16-17). Seruan untuk memeluk agama sebagai fitrah manusia dapat kita ketahui dalam firman Allah yang berbunyi : maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama; (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) iu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS. 30 : 30).

4. Membangun Spiritualitas Religius Terlepas dari realitas spiritualitas yang penuh dengan paradoks, adalah merupakan kewajiban bagi umat beragama untuk mengembangkan, menguatkan, atau menghidupkan kembali peran spiritualiatas religius. Spiritual religius, yang pada dasarnya merupakan bentuk spiritualitas yang bersumber dari ajaran Tuhan, diyakini memiliki kekuatan spiritual yang lebih kuat, murni, suci, terarah, dan abadi dibanding spiritual sekuler dengan berbagai coraknya. Pengembangan spiritualitas religius dengan demikian merupakan hal niscaya untuk diwujudkan ditengah kehidupan masyarakat. Terdapat beberapa pendekatan untuk mengembangkan spiritualitas religius : Pertama, melalui pendekatan teologik, yang dilakukan dengan cara melakukan elaborasi ajaran agama secara proporsional sehingga memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Dalam konteks ini, merupakan tugas ilmuwan, ulama, cendekiawan agama bekerjasama dengan para ahli untuk menyusun dan merancang pengembangan model-sistem ajaran yang selari dengan kebutuhan aktual dan konkret masyarakat itu sendiri. Kedua, melalui pendekatan psiko-politik yang dilakukan dengan cara membangun keteladanan nasional. Pengembangan spiritualitas religius, seperti nilai : kebersihan, kejujuran, keadilan, kesederhanaan, kepedulian, keikhlasan, cinta-kasih, dan lain-lain yang bersumber dari ajaran agama yang juga merupakan prinsipprinsip dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan diwujudkan melalui program keteladanan nasional cenderung lebih efektif ketimbang bentuk retorika apa pun. Ketiga, melalui pendekatan sosio-kultural, dengan cara membangun masyarakat religius yang sebenarnya. Dalam rangka ini, pendidikan agama perlu diwujudkan dalam bentuk pelatihan-pelatihan praktis

yang menekankan pada pengembangan moralitas dan akhlaqul karimah. C. Konsep Kesehatan Spiritual Kesehatan dengan kehidupan spiritual tertinggi atau kesejahteraan al, adalah 1985). rasa Rasa keharmonisan saling kedekatan antara diri dengan orang lain, alam dan (Hungemannet keharmonisan ini dicapai ketika seseorang menemukan keseimbangan antara nilai, tujuan, dan system keyakinan mereka dengan hubungan mereka di dalam diri mereka sendiri dan orang lain. Pada saat terjadi stress, penyakit, penyembuhan, atau kehilangan, sesorang mungkin akan berbalik kecara-cara lama dalam merespon atau menyesuaikan dengan situasi. Seringkali gaya koping ini terdapat dalam keyakinan atau nilai dasar orang tersebut. Keyakinan ini sering berakar dalam spiritualitas orang tersebut. Sepanjang hidup seorang individu mungkin tumbuh lebih spiritual, menjadi lebih menyadari tentang makna, tujuan dan nilai hidup. Spiritual dimulai ketika anak-anak belajar tentang diri mereka dan hubungan mereka dengan orang lain. Banyak orang dewasa mengalami pertumbuhan spiritual ketika memasuki hubungan yang langgeng. Kemampuan untuk mengasihi orang lain dan diri mereka sendiri secara bermakna adalah bukti dari kesehatan spiritual. Menetapkan hubungan dengan yang Maha Agung, kehidupan atau nilai adalah salah satu cara mengembangkan spiritualitas. Anakanak sering mulai dengan konsep tentang ketuhanan atau nilai seperti yang disuguhkan kepada mereka oleh lingkungan rumah mereka atau komunitas religius mereka. Remaja sering mempertimbangkan kembali konsep masa kanak-kanak mereka tentang kekuatan spiritual, dan dalam pencarian identitas, mungkin mempertanyakan tentang praktik atau nilai atau menemukan kekuatan spiritual sebagai motivasi untuk mencari makna hidup yang lebih jelas.

Sejalan dengan makin dewasanya seseorang, mereka sering instrospeksi diri untuk memperkaya nilai dan konsep ketuhanan yang telah lama dianut dan bermakna. Kesehatan spiritualitas yang sehat pada lansia adalah sesuatu yang memberikan kedamaian dan penerimaan tentang diri dan hal tersebut sering didasarkan pada hubungan yang langgeng dengan yang Maha Agung. Penyakit mengancam kesehatan spiritual. D. Masalah Spiritual Ketika penyakit, kehilangan, atau nyeri menyerang seseorang, kekuatan spiritual dapat membantu seseorang kearah penyembuhan atau pada perkembangan kebutuhan dan perhatian spiritual.selama penyakit atau kehilangan, misalnya saja, individu sering menjadi kurang mampu untuk merawat diri mereka sendiri dan lebih bergantung pada orang lain untuk perawatan dan dukungan. Distres spiritual dapat berkembang sejalan dengan seseorang mencari makna tentang apa yang sedang terjadi, yang mungkin dapat mengakibatkan seseorang merasa sendiri dan terisolasi dari orang lain. Individu mungkin mempertanyakan nilai spiritual mereka, mengajukan pertanyaan tentang jalan hidup seluruhnya, tujuan hidup, dan sumber dari makna hidup. 1. Penyakit Akut Penyakit yang mendadak, tidak diperkirakan, yang menghadapkan baik ancaman langsung atau jangka panjang terhadap kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan klien dapat menimbulkan distress spiritual bermakna. Penyakit atau cedera dapat dipandang sebagai hukuman, sehingga klien menyalahkan diri mereka sendiri karena mempunyai kebiasaan kesehatan yang buruk, gagal untuk mematuhi tindakan kewaspadaan keselamatan atau menghindari pemeriksaan kesehatan secara rutin. Konflik dapat berkembang sekitar keyakinan individu dan makna hidup.

Individu mungkin mempunyai kesulitan memandang masa depan dan dapat terpuruk tidak berdaya oleh kedukaan. Kemarahan bukan hal yang tidak wajar, dan klien mungkin mengekspresikannya terhadap Tuhan, keluarga, dan/atau diri mereka sendiri. Kekuatan spiritualitas klien mempengaruhi bagaimana mereka menghadapi penyakit mendadak dan bagaimana mereka dengan cepat beralih kearah penyembuhan. 2. Penyakit Kronis Seseorang dengan penyakit kronis sering menderita gejala yang melumpuhkan dan mengganggu kemampuan untuk melanjutkan gaya hidup normal mereka. Kemandirian dapat sangat terancam, yang mengakibatkan ketakutan, ansietas, kesedihan yang menyeluruh. Ketergantungan pada orang lain untuk mendapat perawatan rutin dapat menimbulkan perasaan tidak berdaya dan persepsi tentang penurunan kekuatan batiniah. Seseorang mungkin merasa kehilangan tujuan dalam hidup yang mempengaruhi kekuatan dari dalam yang diperlukan untuk mengahdapi perubahan fungsi yang dialami. Kekuatan tentang spiritualitas seseorang dapat mejadi factor penting dalam cara seseorang menghadapi perubahan yang diakibatkan oleh penyakit kronis. Keberhasilan dalam mengatasi perubahan yang diakibatkan oleh penyakit kronis dapat menguatkan seseorang secara spiritual. Reevaluasi tentang hidup mungkin terjadi. Mereka yang kuat secara spiritual akan membentuk kembali identitas diri dan hidup dalam potensi mereka. 3. Penyakit Terminal Penyakit terminal umumnya menyebabkan ketakutan terhadap nyeri fisik, ketidaktahuan, kematian, dan ancaman terhadap integritas (Turner et al, 1995). Klien mungkin mempunyai ketidak pastian tentang

makna kematian dan dengan demikian mereka menjadi sangat rentan terhadap distress spiritual. Tedapat juga klien yang mempunyai rasa spiritual tentang ketenangan yang memampukan mereka untuk menghadapi kematian tanpa rasa takut. Individu mempertanyakan yang mengalami penyakit terminal umum sering yang menemukan diri meraka menelaah kembali kehidupan mereka dan maknanya. Pertanyaan-petanyaan diajukan dapat mencakup, mengapa hal ini terjadi pada saya atau apa yang telah saya lakukan sehingga hal ini terjadi pada saya keluarga dan teman-teman dapat terpengaruhi sama halnya yang klien alami. Fryback (1992) melakukan penelitian untuk, mengetahui bagaimana individu dengan penykit terminal menggambarkan tentang kematian. Klien yang termasuk dalam penelitian mengidentifikasikan tiga domain kesehatan sebagai berikut: mental-emosi, spiritual dan fisik. Domain spiritual dipandang sebagai hal penting dalam hal kesehatan dan mencakup mempunyai hubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi, menghargai moralitas seseorang dan menumbuhkan aktualisasi diri. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa penelitian tersebut menunjukkan klien yang mempunyai penyakit terminalmempunyai persepsi dalam Keadaan tidak sehat,persepsi tersebut bukan karena penyakitnya tetapi karena sedang tidak mampu menjalani hidup mereka dengan sempurna dan tidak mampu melakukan hal-hal yang mereka inginkan. 4. Individuasi Ketika seseorang menjalani hidup mereka, sering mengajukan pertanyaan untuk menemukan dan memahami diri (mereka) sebagai hal yang berbeda tetapi juga dalam hubungan dengan orang lain. Psikolog Carl Jung (Storr, 1983) menggambarkan proses ini sebagai individuasi seseorang. Juga digambarkan sebagai krisis pertengahan

hidup, individuasi umumnya pada individu usia baya. Individuasi mungkin didahului oleh rasa kekosongan dalam hidup atau kurang mampu untuk memotivasi diri. Individuasi adalah pengalaman manusia yang umum yang ditandai oleh kebingungan, konflik, keputusasaan, dan perasaan hampa. Spiritualitas seseorang harus dipertahanka, karena individuasi tampaknya mendorong seseorang untuk mempertahankan aspek positif, life-asserting dari kepribadian. Kejadian seperti stress, keberhasilan atau kekurang berhasilan dalam pekerjaan, konflik perkawinan, atau penurunan kesehatan dapat menyebabkan seseorang mencari pemahaman diri yang lebih besar. 5. Pengalaman Mendekati Kematian Perawat mungkin menghadapi klien yang telah mempunyai pengalaman mendekati kematian (NDE/near death experience). NDE telah diidentifkasikan sebagai fenomena psikologis tentang idividu yang baik telah sangat dekat dengan kematian secara klinis atau yag telah pulih setelah dinyatakan mati. NDE tidak berkaitan dengan kelaianan mental (Basford, 1990). Orang yang mengalami NDE setelah henti jantung-paru, misalnya sering mengatakan cerita yang sama tentang perasaan diri mereka terbang di atas tubuh mereka dan melihat para pemberi perawatan kesehatan melakukan tindakan penyelamatan hidup. Sebagian besar individu menggambarkan bahwa mereka melewati terowongan kearah cahaya yang terang, dan merasakan suatu ketenangan yang dalam dan damai. Tidak bergerak kearah cahaya tersebut, sering mereka mengetahui bahwa belum waktunya untuk mati bagi mereka dan mereka kembali hidup. Klien yang telah mengalami NDE sering enggan untuk mendiskusikan hal ini, mereka berpikir bahwa keluarga atau pemberi perawatan kesehatan tidak dapat memahami. Isolasi dan depresi dapat terjadi sebagai akibat tidak menceritakanpengalamannya atau menerima penghakiman dari

orang lain ketika mereka menceritakannya. Namun demikian, imdividu yang mengalami NDE, dan mereka yang dapat mendiskusikannya dengan keluarga atau pemberi perawatan kesehatan, menemukan keterbukaan pada kekuatan pemgalaman mereka seperti yang dilaporkan. Mereka secara konsisten melaporkaaftereffect yang positif, termasuk sikap positif, perubahan nilai, dan perkembangan spiritual (Turner, 1995). Bila klien dapat hidup setelah henti jantung-paru, penting artinya bagi perawat untuk tetap terbuka dan memberi kesempatan kepada klien untuk menggali apa yang sudah terjadi.

PENUTUP A. Kesimpulan Penting bagi manusia untuk mempunyai keyakinan atau kepercayaan agar manusia mempunyai kontrol dalam kehidupannya. Spiritual atau kepercayaan bisa menumbuhkan kekuatan dari dalam diri manusia agar bisa bertahan dalam segala keadaan apapun. Spiritual juga bisa menumbuhkan kecerdasan emosional (EQ). Keyakinan spiritual sangat penting bagi perawat karena dapat mempengaruhi tingkat kesehatan dan perilaku self care klien. Keyakinan spiritual yang perlu dipahami ,menuntun kebiasaan hidup sehari-hari gaya hidup atau perilaku tertentu pada umumnya yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan mungkin mempunyai makna keagamaan bagi klien seperti tentang permintaan menu diet. Sumber dukungan, spiritual sering menjadi sumber dukungan bagi seseorang untuk menghadapi situasi stress. Dukungan ini sering menjadi sarana bagi seseorang untuk menerima keadaan hidup yang harus dihadapi termasuk penyakit yang dirasakan. Sumber kekuatan dan penyembuhan,individu bisa memahami distres fisik yang berat karena mempunyai keyakinan yang kuat. Pemenuhan spiritual dapat menjadi sumber kekuatan dan pembangkit semangat pasien yang dapat turut mempercepat proses kesembuhan. Sumber konflik pada situasi tertentu dalam pemenuhan kebutuhan spiritual pasien, bisa terjadi konflik antara keyakinan agama dengan praktik kesehatan seperti tentang pandangan penyakit ataupun tindakan terapi. Pada situasi ini, perawat diharapkan mampu memberikan alternatif terapi yang dapat diterima sesuai keyakinan pasien.

B. Saran Perlu banyak pembelajaran tentang spiritualitas karena spiritual sangat penting bagi manusia dalam berbagai hal. dalam ilmu kesehatan juga perlu ditingkatkan agar seorang tenaga kesehatan tidak salah mengambil sikap atau tindakan dalam menghadapi klien dengan gangguan spiritualitas. perhatian spiritualitas dapat menjadi dorongan yang kuat bagi klien kearah penyembuhan atau pada perkembangan kebutuhan dan perhatian spiritualitas. untuk itu seorang perawat tidak boleh mangesampingkan masalah spiritualitas klien.

DAFTAR PUSTAKA

Dr.liza,2011.konsep spiritual.sang obsesi. Jeany.blogs.spot.com-makalah konsep dasar spiritual. Rabu, 04 Januari 2012. Kurniawan,bayu.blogs.spot.com-kebutuhan November 25, 2011 http://zohrysmart.blogspot.com/2012/10/makalahspiritual.html spiritual pasien.

You might also like