You are on page 1of 6

1. Pengetahuan a.

Pengetahuan ibu tentang pengertian ISPA dan balita Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa proporsi tingkat pengetahuan ibu yang memiliki balita penderita ISPA tentang defenisi ISPA dan balita lebih dari separuh (68,9%) berada pada kategori rendah, hal ini sejalan dengan penelitian irma suryani (2008) di jorong koto agung kecamatan sitiung kabupaten dhamasraya, dimana sebagain besar (82,2%) responden memiliki tingkat pengetahuan yang rendah tentang pengertian ISPA. Sesuai dengan teori notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Dari kuesioner dapat diketahui bahwa sebanyak 18,9% ibu menjawab ISPA adalah penyakit demam, dan lebih dari separuh ibi (73%) ibu tidak setuju bahwa Ispa adalah infeksi aku mulai dari hidung sampai paru. Menurut depkes RI (2009), ispa (infeksi saluran pernafasan akut)adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari slauran nafas mulai dari hidung hingga kantong paru (alveoli) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus atau rongga disekitar hidung (sinus paranasal), hingga telinga tengah dan pleura. Dari wawancara yang dilakukan didapatkan bahwa rendahnya pengetahuan ibu yang memiliki anak balita penderita ISPA tentang pengertian ISPA dan balita dapat disebabkan oleh kurangnya informasi yang didapat, rendahnya minat dan motivasi. Rendahnya pengetahuan ibu tentang defenisi ispa dan balita sangat perlu mendapat perhatian serius dari petugas kesehatan di puskesmas, karena mengetahui dfenisi ispa merupakan tingkat pengetahuan paling dasar yaitu tahu (know) dan kunci awal untuk pengetahuan ispa pada balita. Apabila ibu telah mengetahui pengertian ispa dan balita, maka ibu akan lebih bisa merawat balita penderita ispa, hal ini sejalan dengan

pendapat mudlor (2002) pengetahuan meerupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Berdasarkan uraian diatas makan sangat perlu diupayakan peningkatkan pengetahuan ibu tentang ispa dengan usaha memberikan informasi kepada ibu melalui penyuluhan yang dilakukan oleh petugas kesehatan. Usaha ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan ibu tentang perawatan ispa pada balita.

b. Pengetahuan ibu tentang perawatan ispa pada balita Hasil analisis terhadap tingkat pengetahuan ibu tentang perawatan balita dengan ispa lebih dari separuh tergolong memiliki tingkat pengetahuan rendah yaitu 38 orang (51,4%). Hal ini sejalan dengan penelitian irma suryani (2008) bahwa lebih dari separuh (82,2%) tingkat pengetahuan ibu tentang ispa secara umum masih kurang di jorong koto agung kecamatan sitiung kabupaten damasraya. Menurut pendapat ahmad mudlor (2002) pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan sesorang. Seperti halnya tindakan ibu untuk melakukan perawatan ispa pada balita. Pada penelitian ini pengetahuan berperan dalam menentukan perilaku seseorang dalam melakukan perawatan terutama bagi ibu balita perlu pengetahuan untuk melakukan perawatan pada balita yang menderita ispa secara baik sesuai standar, karena dengan pengetahuan yang baik diharapkan perilaku sesorang akan baik pula. Rendahnya pengetahuan ibu tentang perawatan ispa dapat disebabkan oleh kurangnya informasi yang diperoleh responden tentang ispa baik melalui penyuluhan-penyuluhan dari petugas kesehatan maupun media masa. Dilihat dari tingakt pendidikan pada umumnya responden telah berpendidikan sedang. Meskipun pengetahuan bukan penyebab langsung terjadi ispa pada balita tapi bukan berarti pengetahuan tentang

perawatan ispa diabaikan melainkan ditingkatkan. Bila pengetahuan tentang ispa sudah baik maka kesadaran untuk berperilaku ke arah yang lebih baik akan muncul. Dengan demikian ibu dapat mencegah anak jatuh ke kondisi yang lebih parah yaitu pneumonia, sehingga balita dapat cepat sembuh. Berdasarkan uraian diatas maka sangat perlu diupayakan peningkatan pengetahuan ibu tentang ispa dengan usaha memberikan informasi kepada ibu balita melalui penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan oleh petugas kesehatan. Usaha ini diharapkan dapat menurunkan angka komplikasi akibat ispa dan angka kejadian ispa. Menurut notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa dengan memberikan informasi tentang kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang. Hal ini dapat mendorong responden untuk dapat lebih memahami tentang perawatan ispa, maka diharapkan pengetahuan ibu tentang ispa meningkat. Keterlibatan keluarga dalam memberikan perawatan balita dengan ispa sangat besar sehingga peran perawat komunitas sangat dibutuhkan untuk membina keluarga balita dengan ispa. 2. Sikap Hasil analisa terhadap sikap ibu tentang perawatan ispa pada balita lebih dari separuh ibu balita yaitu 39 orang (52,7%) bersikap negatif. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh irma suryani (2008) di jorong koto tangah kecamatan sitiung kabupaten dhamasraya menyimpulkan bahwa lebih dari sebagian (57,2%) ibu bersikap negatif terhadap perawatan ispa. Hal ini dapat disebabkan oleh rendahnya tingkat pengetahuan ibu tentang perawatan ispa pada balita yaitu sebanyak 51,4%. Sesuai dengan pendapat sarwono (2002) yang mengatakan pendidikan dapat mempengaruhi sesorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap.

Dari kuesioner terlihat bahwa sebanyak 43,2% ibu balita memiliki keyakinan bahwa ispa bukanlah penyakit berbahaya dan lumrah terjadi pada balita. Selain itu sebanyak 41,9% ibu berpendapat bahwa ispa dapat sembuh sendiri tanpa memerlukan perawatan. Notoatmodjo (2003) yang menjelaskan bahwa sikap yang utuh selain dipengaruhi oleh pengetahuan juga dipengaruhi oleh cara berfikir, keyakinan (kepercayaan), emosi, kebiasaan dan pengalaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh ibu mempunyai sikap negatif, hal ini berarti bahwa banyak ibu yang tidak menerima (receiving) dan menanggapi (responding) perawatan ispa pada balita. Dapat memungkinkan penyebab tingginya angka angka kejadian ispa karena sikap merupakan salah satu determinan terjadinya tindakan. Sesorang yang memiliki sikap negatif maka tindakannya pun akan berkurang dalam perawatan ispa pada balita. Hal ini sesuai dengan teori lawrence green yang menyatakan faktor-faktor predisposisi (predisposising factors), yaitu faktor yang mempermudah terjadinya perilaku sesorang antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi dan sebagainya. Di lain hal notoatmodjo (2003) mengemukakan bahwa sikap sesorang terhadap sesuatu disamping mempengaruhi oleh pengetahuan juga oleh motivasi dan minat. Oleh karena itu, dalam upaya peningkatan sikap ibu kearah yang lebih baik, maka perlu dilakukan penyuluhan, demistrasi perawatan isapa yang baik dan benar, melakukan kunjungan rumah untuk memotivasi ibu sehingga ibu mengerti akan bahaya ispa sehingga sikap ibu yang negatif dapat berubah kearah positif.

1. Perawatan ispa balita di rumah Hasil penelitian yang diperoleh sebagian besar (70%) ibu balita yang melakukan perawatan ispa yang baik pada balita di rumah, dan sebagian kecil (30%) memiliki pengetahuan kurang dalam hal perawatan ispa di rumah. Hasil penelitian Dona meutia arora (2005) di puskesmas nanggalo mengenai tingkat pengetahuan dan sikap keluarga tentang perawatan ispa di rumah baik adalah lebih dari separuh (55,1%). Demikian juga hasil penelitian rinawati zaini (2006) di puskesmas lima kaum kabupaten tanah datar tentang perawatan ispa di rumah adalah baik (52,28%) Notoatmodjo (2003), pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan sesorang dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang disebabakan oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Untuk menuju kesembuhan tersebut ibu (keluarga) memegang peranan penting, sesuai dengan tugas kesehatan keluarga.

2. Tingkat pengetahuan ibu tentang ispa Hasil penelitian menunjukkan lebih dari sebagian (52,2%) ibu mempunyai pengetahuan kurang terhadap ispa, oleh karena ibu kurang mengetahui tanda dan bahaya terhadap ispa, ibu tidak dapat melaksanakan tindakan keperawatan yang baik pada balita yang menderita ispa dan 47,5% yang memiliki pengetahuan baik terhadap ispa. Pengetahuan tersebut meliputi pengertian, penyebab, tanda dan gejala. Berbeda dengan hasil penelitian rinawati zaini (2006) di puskesmas lima kaum kabupaten tanah datar tentang pengetahuan ispa adalah baik (51,43%). Dilihat dari hasil penelitian sebagian besar ibu hanya berpendidikan sekolah dasar. Proses belajar pada individu merupakan keluarga, dan masyarakat tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mampu mengenal masalah kesehatan menjadi mampu. Notoatmodjo

(2003) pendidikan akan meningkatkan pengetahuan dan pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan sesorang untuk meningkatkan pengetahuan. Bahwa dengan memberikan informasi tentang kesehatan, dapat meningkatkan pengetahuan seseorang maka diharapkan pengetahuan responden akan meningkat. Pengetahuan yang rendah disebabkan karena kurangnya informasi yang didapat responden dan pemahaman tentang ispa. Hal ini berdampak pada penderita yang tidak menderita ispa akan dapat tertular oleh balita yang menderita ispa. Pengetahuan merupakan sesuatu yang dapat mempengaruhi perilaku sesorang. Apabila keluarga mempunyai pengetahuan yang baik tentang ispa maka keluarga akan cenderung dapat memberikan perawatan yang tepat pada anggota keluarga yang menderita ispa. Hal ini sesuai dengan pendapat njotoatmodjo (2003) bahwa perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tanpa didasari pengetahuan. Salah satu upaya

You might also like