You are on page 1of 12

Kerajaan Gowa-Tallo; Ekspedisi Islam Oleh Serambi Madinah dari Timur

Sejarah Gowa tentu tidak dapat dipisahkan dengan Islam. Daerah ini menjadi salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang kini berpenduduk tidak kurang dari 600 ribu jiwa yang mayoritasnya adalah Muslim. Setelah Kerajaan Gowa-Tallo memeluk Islam, penyebaran Islam di Sulawesi dan bagian timur Indonesia sangat pesat. Kerajaan Gowa-Tallo berhasil menorehkan tinta emas sejarah peletakan dasar dan penyebaran Islam di bagian timur negeri ini. Kerajaan ini juga adalah kerajaan yang menerapkan syariah Islam. Karena itu, wajar kalau Gowa ini dikenal sebagai Serambi Madinah. Tulisan ini berupaya menyegarkan ingatan kita kembali tentang sejarah gemilang ini. Awal Masuknya Islam Penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya tidak bisa dilepaskan dari aktivitas perdagangan. Demikian halnya dengan kedatangan Islam di Gowa. Penyebaran Islam yang dilakukan oleh para pedagang dimungkinkan karena di dalam ajaran Islam tidak dibedakan antara tugas keagamaan seorang Muslim, sebagai penyebar nilai-nilai kebenaran, dan profesinya sebagai pedagang. Setiap Muslim, apapun profesinya, dituntut untuk menyampaikan ajaran Islam sekalipun satu ayat. Sekalipun para pedagang Muslim sudah berada di Sulawesi Selatan sejak akhir Abad XV, tidak diperoleh keterangan secara pasti, baik dari sumber lokal maupun sumber dari luar, tentang terjadinya konversi ke dalam Islam oleh salah seorang raja setempat pada masa itu, sebagaimana yang terjadi pada agama Katolik. Agaknya inilah yang menjadi faktor pendorong para pedagang melayu mengundang tiga orang mubalig dari Koto Tangah (Kota Tengah1) Minangkabau ke Makassar untuk mengislamkan elit Kerajaan Gowa-Tallo. Inisiatif untuk mendatangkan mubalig khusus ke Makassar sudah ada sejak Anakkodah Bonang (Nahkodah Bonang2). Ia adalah seorang ulama dari Minangkabau sekaligus pedagang yang berada di Gowa pada pertengahan Abad XVI (1525).

Keberhasilan penyebaran Islam terjadi setelah memasuki awal Abad XVII dengan kehadiran tiga orang mubalig yang bergelar datuk dari Minangkabau.3 Lontara Wajo menyebutkan bahwa ketiga datuk itu datang pada permulaan Abad XVII dari Koto Tangah, Minangkabau. Mereka dikenal dengan nama Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua (Makassar), yaitu: (1) Abdul Makmur, Khatib Tunggal, yang lebih populer dengan nama Datuk ri Bandang; (2) Sulaiman, Khatib Sulung, yang lebih populer dengan nama Datuk Patimang; (3) Abdul Jawad, Khatib Bungsu, yang lebih dikenal dengan nama Datuk ri Tiro. Ketiga ulama tersebut yang berasal dari Kota Tengah Minangkabau, diutus secara khusus oleh Sultan Aceh dan Sultan Johor untuk mengembangkan dan menyiarkan agama Islam di Sulawesi Selatan. Mereka terlebih dulu mempelajari kebudayaan orang Bugis-Makassar, di Riau dan Johor, tempat orang-orang Bugis-Makassar berdiam. Sesampainya di Gowa, mereka memperoleh keterangan dari orang-orang Melayu yang banyak tinggal di Gowa, bahwa raja yang paling dimuliakan dan dihormati adalah Datuk Luwu, sedangkan yang paling kuat dan berpengaruh ialah Raja Tallok dan Raja Gowa.4 Graaf dan Pigeaud mengemukakan bahwa Datuk ri Bandang sebelum ke Makassar lebih dulu belajar di Giri. Datuk ri Bandang dan temannya yang lain, ketika tiba di Makassar, tidak langsung melaksanakan misinya, tetapi lebih dulu menyusun strategi dakwah. Mereka menanyakan kepada orang-orang Melayu yang sudah lama bermukim di Makassar tentang raja yang paling dihormati. Setelah mendapat penjelasan, mereka berangkat ke Luwu untuk menemui Datuk Luwu, La Patiware Daeng Parabu. Datuk Luwu adalah raja yang paling dihormati, karena kerajaanya dianggap kerajaan tertua dan tempat asal nenek moyang raja-raja Sulawesi Selatan. Kedatangan Datuk Tellue mendapat sambutan hangat dari Datuk Luwu, La Patiware Daeng Parabu.5 Ekspedisi Islam oleh Kerajaan Gowa-Tallo Sejak agama Islam menjadi agama resmi di Gowa-Tallo, Raja Gowa Sultan Alauddin makin kuat kedudukannya. Sebab, beliau juga diakui sebagai Amirul Mukminin (kepala agama Islam) dan kekuasaan Bate Salapanga diimbangi oleh qadhi, yang menjadi wakil raja untuk urusan

keagamaan bahkan oleh orang-orang Makassar, Bugis dan Mandar yang telah lebih dulu memeluk agama Islam pada abad XVI. Sultan Alauddin dipandang sebagai pemimpin Islan di Sulawesi Selatan. Cara pendekatan yang dilakukan oleh Sultan Alauddin dan Pembesar Kerajaan Gowa adalah mengingatkan perjanjian persaudaraan lama antara Gowa dan negeri atau kerajaan yang takluk atau bersahabat yang berbunyi antara lain: barangsiapa di antara kita (Gowa dan sekutunya atau daerah taklukannya) melihat suatu jalan kebajikan, maka salah satu dari mereka yang melihat itu harus menyampaikan kepada pihak lainnya.6 Karena itu, dengan dalih bahwa Gowa sekarang sudah melihat jalan kebajikan, yaitu agama Islam, Kerajaan Gowa meminta kepada kerajaan-kerajaan taklukannya agar turut memeluk agama Islam. [Gus Uwik] Catatan Kaki:
1 Zainal Abidin, Andi, Prof. Mr. DR, Sejarah Sulawesi Selatan (hal:228-231), Hasanuddin University Press, 1999 2 ibid 3 Sewang, Ahmad, Prof. DR. H. MA, Makalah Empat Abad Islam di Sulawesi Selatan, Seminar Internasional dan Festival Kebudayaan, Pusat Kajian Islam (Centre For Middle Eastern Studies) Devisi Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora PKP Unhas dan Pemkot Makassar, 5-7 September 20007 4 Zainal Abidin, Andi, Prof. Mr. DR, Sejarah Sulawesi Selatan (hal:228-231), Hasanuddin University Press, 1999 5 Sewang, Ahmad, Prof. DR. H. MA, Makalah Empat Abad Islam di Sulawesi Selatan, Seminar Internasional dan Festival Kebudayaan, Pusat Kajian Islam (Centre For Middle Eastern Studies) Devisi Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora PKP Unhas dan Pemkot Makassar, 5-7 September 20007 6 H.A. Massiara Dg. Rapi, Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan (hal. 55-62), Lembaga Penelitian dan Pelestarian Sejarah dan Budaya Sulawesi Selatan TOMANURUNG, 1988.

Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Kerajaan Gowa-Tallo di seluruh Sulawesi Selatan, bahkan sampai kebagian timur Nusantara, telah memberikan pengaruh dan perubahan terhadap kehidupan sosial-masyarakat yang meliputi segala bidang; baik aspek politik, pemerintahan, ekonomi maupun sosial-budaya. Tentu perubahan ini mengarah pada islamisasi segala aspek kehidupan tersebut. Karena begitu kuatnya pengaruh Islam yang dikembangkan oleh para mubalig dengan dukungan para raja-raja yang telah memeluk Islam, maka rakyat kerajaan berbondong-bondong memeluk Islam tanpa dipaksa ataupun diancam. Ini bisa kita lihat dari bagaimana proses islamisasi di Sulawesi Selatan yang dimulai pada abad ke-17 ini dapat mengubah sendi-sendi Pangngadakkan (Makassar) atau Pangngaderreng (Bugis) yang menyebabkan pranata-pranata kehidupan sosial-budaya orang Makassar dan Bugis, Mandar dan lain-lain memperoleh warna baru, karena sara (syariah) telah masuk pula menjadi salah satu dari sendi-sendi adat-istiadat itu. Pangadakkang/Pangngaderreng adalah sistem pranata sosial yang berisi kitab undang-undang dasar tertinggi orang Bugis/Makassar.1 Sistem pranata sosial ini sudah lama mengakar dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat Bugis/Makassar. Sebelum Islam datang

Pangngadakkan ini terdiri 4 sendi yaitu: Ade (Adat istiadat), Rapang (Pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan), Wari (Sitem protokoler kerajaan), dan Bicara (Sistem hukum). Kemudian bertambah satu sendi lagi, yakni Sara (syariah Islam) setelah Islam resmi diterima sebagai agama kerajaan.2 Dalam praktiknya, 4 (empat) dari yang pertama dipegang oleh Pampawa Ade (Pelaksana Adat), yaitu Raja dan Pembantu-pembatunya; yang kelima dipegang oleh Parewa Sara (perangkat Syariat) dipimpin oleh Ulama, Imam, Kadi (Qodhi), dan para pembantunya. Kedua lembaga ini memiliki fungsi dan tugas sesuai dengan bidangnya masing-masing dan memiliki kekuasaan otonomi tersendiri. Pemimpin tertinggi Pampawa Ade adalah Raja yang khusus menangani pemerintahan. Pemimpin tertinggi Parewa sara adalah ulama yang menagani hal-hal yang berhubungan dengan syariah Islam. Adanya dikotomi tugas ini berimplikasi pada sistem pengaturan sosial selanjutnya, tetapi tidak berarti terjadi sekularisasi antara urusan Kerajaan

dan keagamaan (bukan pemisahan negara dengan Islam, pen.). Sebab, dalam praktiknya, keduanya saling mengisi atau beriringan; namun adat tetap tunduk pada ajaran (syariah) Islam. Yang terjadi kemudian adalah syariah Islam tetap bertoleransi pada adat sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan syariah Islam. Karena syariah Islam telah masuk ke dalam sistem Pangngadakkan/Pangngaderreng, maka wibawa dan kepatuhan rakyat pada Islam dan adat sama kuatnya.3 Syariah Islam di Bidang Sosial-Kemasyaraktan Beberapa contoh penerapan syariah Islam dalam undang-undang

Pangngadakkan/Pangngaderreng dapat dilihat di antaranya: 1. Perzinaan. Wanita atau pria yang berzina setelah menikah, yang dalam Islam dirajam, kemudian diterjemahkan dalam bentuk dicemplungkan hidup-hidup ke dasar laut.4 Jika yang bezina adalah pria atau wanita lajang maka dia dihukum cambuk.5 2. Kawin Lari (Silariang [Makassar]). Jika sepasang muda-mudi kawin lari (silariang) atau kabur, jika tiba di rumah Imam (Abballa imang/mabbola imang), ia akan dilindungi dari kejaran to masirina (mahram) demi menghargai otonomi Imam yang akan menikahkan mereka menurut syariah Islam. Jika ditemukan di luar rumah Imam, to masirina berhak menghukumnya sesuai dengan ketentuan adat karena berada di wilayah otonomi adat.6 3. Wanita dalam menerima tamu, safar dan berpakain. Terkait dengan para penjaga wanita Bugis-Makassar, istilah mahram diterjemahkan to masirina7 (diadopsi dari budaya siri) yang berfungsi menjaga dan melindungi nama dan harkat perempuan. Itulah sebabnya jika tidak ada to masirina di dalam rumah, wanita dilarang menerima tamu laki-laki. Begitu pula jika bepergian, dia harus dikawal oleh to

masirina (mahram) dan juga selalu menggunakan dua sarung, satu diikat dipinggang (appalikang [Makassar]) dan satunya lagi dipakai menutup kepala (berkerudung) atau abbongong (Makassar). Begitu juga dalam pakain adat Gowa, sebelum Islam, sudah dikenal pakain Baju Bodo (baju yang lengannya pendek), lalu setelah Islam menjadi agama Kerajaan Gowa, maka baju Bodo diganti menjadi Baju Labbu. Demikian seperti dituturkan oleh Andi Kumala Idjo, SH selaku putra mahkota pewaris tahta Kerajaan Gowa sekarang ini, yang menggantikan Raja Gowa ke-36 Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang (19461960).8 [Gus Uwik] Catatan kaki:
1 DR. Nurhayati Rahman, M.Hum, Makalah Syariat Islam dan Sitem Pangngaderreng, Seminar Internasional dan Festival Kebudayaan, Pusat Kajian Islam (Centre For Middle Eastern Studies) Devisi Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora PKP Unhas dan Pemkot Makassar, 5-8 September 2007 2 Idem. 3 Idem. 4 Idem. 5 Andi Kumala Idjo, SH. Wawancara, LF HTI Gowa, Desember 2007. 6 DR. Nurhayati Rahman, M.UmH, Makalah Syariat Islam dan Sitem Pangngaderreng, Seminar Internasional dan Festival Kebudayaan, Pusat Kajian Islam (Centre For Middle Eastern Studies) Devisi Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora PKP Unhas dan Pemkot Makassar, 5-8 September 2007. 7 Idem. 8 Andi Kumala Idjo, SH. Wawancara, LF HTI Gowa, Desember 2007.

Penerapan Syariah Di Kerajaan Wajo, setelah Arung Matowa (Raja) Wajo ke-XII yang bernama La Sangkuru Mulajaji memeluk Islam tahun 1610, Raja Gowa selanjutnya mengirim ulama Minangkabau, Sulaiman Khatib Sulung, yang sudah kembali dari Luwu. Khatib Sulung mengajarkan keimanan kepada Allah dan segala larangan-larangannya, seperti:
1

(1) dilarang mappinang rakka

(memberi sesajen pada apa saja); (2) dilarang mammanu-manu (bertenung tentang alamat baik-buruk melakukan suatu pekerjaan); (3) dilarang mappolo-bea (bertenung melihat nasib); (4) dilarang boto (berjudi); (5) dilarang makan riba (bunga piutang); (6) dilarang mappangaddi (berzina); (7) dilarang minum pakkunesse (minuman keras); (8) dilarang makan cammugumugu (babi); dan (8) dilarang mappakkere (mempercayai benda keramat). Setelah ketentuan-ketentuan ditetapkan maka Arung Matowa Wajo mempercayakan pengurusan dan penyusunan aparat sara (pejabat syariah, pen.) kepada Sulaiman Khatib Sulung. Sebagaimana sudah kita sebutkan sebelumnya, Parewa Sara inilah yang mendampingi Raja dalam menjalankan syariah Islam. Jika terjadi pelanggaran terhadap larangan-larangan di atas, pasti pelakunya akan dijatuhi hukuman/sanksi sesuai syariah Islam. Hal serupa juga terjadi pada seluruh Kerajaan di bawah kekuasaan Gowa ini. Sebabnya, secara umum berlaku sistem Pangngadakkan/Pangngaderreng selalu terdiri dari Pampawa Ade dan Parewa Sara. Bidang Hukum/Pperadilan Lembaga Pangngadakkan/pangngaderreng terdiri dari Pampawa Ade (pelaksan adat), yaitu Raja dan pembantu-pembantunya, dan Parewa Sara (pejabat syariah), yaitu Ulama, Qadhi, Imam, dan lain-lain. Kadi (Qadhi) inilah yang menjadi hakim. Dia mengadili segala perkara dalam penerapan syariah Islam. Sekalipun fungsi kadi (qadhi) ini tidak hanya mengadili perkara tentang syariah Islam, sebagai pejabat sara ia juga mengatur urusan upacara-upacara keagamaan (hari besar Islam, pen.) seperti Maulid Nabi Muhammad saw., Isra Mikraj Nabi, Sembahyang (Shalat, pen.) Id dan lain-lain yang diadakan di Istana Raja;2 juga urusan pernikahan dan urusan kematian terutama keluarga Raja.

Keberadaan kadi (qadhi), yang sering juga disebut kali, bisa kita jumpai setidaknya sebagai mewakili seluruh kerajan yang lain, yakni Kerajaan Gowa sebagai pemimpin kerajaan-kerajaan lainnya, diangkat seorang kali (kadi) dengan sebutan Daengta Kalia3 atau Daengta Kali Gowa.4 Di Kerajaan Bone juga diangkat kali (kadi) dengan sebutan Petta KaliE . Disebut Petta karena semua kali diangkat dari kalangan bangsawan. Petta adalah sebutan bangsawan berarti Tuanku. Di Kerajaan Wajo juga diangkat kali (kadi).5 Keberadaan qadhi (kadi/kali) yang sering juga disebut Daengta Kalia/Petta KaliE menunjukkan bahwa penerapan syraiah Islam sudah terlembaga dengan sitematis pada waktu itu. Bidang Politik dan Pemerintahan Pemberian gelar Sultan kepada Raja. Raja Gowa XIV I Mangarangi Daeng Manrabiah yang memeluk Islam pertama kali dari raja-raja Gowa bersama pamannya I Mallingkaan Daeng manyonri (Raja Tallo) selaku Mangkubumi (kepala pemerintahan/perdana menteri) Kerajaan Gowa. Kemudian I Mangarangi Daeng Manrabiah diberi gelar Sultan Alauddin, sedangkan I Mallingkaan Daeng Manyonri diberi gelar Sultan Awwalul Islam. Menurut Andi Kumala Idjo, SH, putra Mahkota Kerajaan Gowa sekarang, gelar Sultan ini diberikan oleh Mufti Makkah.6 Sejak Raja Gowa XIV itulah gelar Sultan diberikan kepada setiap raja Gowa berikutnya, semisal Raja Gowa XV I Mannuntugi Daeng Mattola Karaeng Lakiung, diberi gelar Sultan Malikussaid oleh Mufti Arabia. 7 Begitu pula Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang diberi gelar Sultan Hasanuddin. Demikian seterusnya. Pemberian gelar Sultan ini oleh Mufti Makkah/Arabia menunjukkan adanya hubungan struktural Kesultanan Gowa dengan Negara Khilafah Islamiah pada waktu itu. Makkah adalah bagian integral dari Kekhilafahan Islam, yakni Makkah sebagai wilayah kegubernuran (wali) dari Khilafah Islamiyah. Pada tahun 1605 saat Rja Gowa XIV telah memeluk Islam, masa itu Khilafah dipimpin oleh Khalifah Ahmad I (1603-1617) dari Kekhalifahan Bani Utsmaniyah. Menerapkan syariah Islam.

Setelah Islam menjadi agama resmi Kerajaan Gowa-Tallo, Kerajaan ini kemudian menerapkan syariah Islam melalui lembaga Parewa Sara (Pejabat Syariah, pen.) yaitu Ulama, Qadhi (Kali/Kadi), Imam, dst. Sekalipun masih tetap ada Lembaga Pampawa Ade (pelaksana Adat), yaitu raja dan pembatu-pembantunya, syariah tetap masih mengakomodasi hukum-hukum adat yang tidak bertentangan dengan syariah Islam. Contoh-contoh penerapannya sudah disebutkan di atas.

Kerajaan menyebarkan Islam. Penyebaran Islam dilakukan baik melalui pendekatan struktural maupun kultural. Pendekatan struktural dilakukan Kerajaan Gowa-Tallo dengan menyebarkan Islam kepada rakyat Gowa-Tallo dan juga segera menyebarkannya ke kerajaan-kerajaan lainnya. Adapun pendekatan kultural dilakukan dengan cara Kerajaan mengutus para mubalig ke seluruh pelosok-pelosok daerah. Perlu dicatat, bahwa penyebaran Islam oleh Kerajaan Gowa-Tallo kepada rakyat ataupun rajaraja memegang teguh prinsip mengajak dengan cara damai. Bisa kita lihat bagaimana Kerajaan Ajatappareng (Suppak, Sawitto, Rappang dan Sidenreng) memeluk Islam dengan cara damai setelah diajak oleh Gowa. Berbeda halnya ketika Kerajaan yang diajak oleh Gowa memeluk Islam, lalu menolak Islam, maka Gowa akan memeranginya, seperti yang dilakukannya terhadap Kerajaan Tellumpoccoe (Bone, Soppeng dan Wajo) sampai ditaklukkannya. Ini menunjukkan bahwa Gowa sebagai institusi pemerintahan menyadari kewajibannya untuk menyebarkan Islam kepada siapa saja dan dimana saja. Catatan kaki:
1

H.A. Massiara Dg. Rapi, Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan (hlm. 63-91), Lembaga

Penelitian dan Pelestarian Sejarah dan Budaya Sulawesi Selatan TOMANURUNG, 1988.
2

Ibid. Ibid. Ibid.

Ibid. Andi Kumala Idjo, SH. Wawancara, LF HTI Gowa, Desember 2007 H.A. Massiara Dg. Rapi, Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan (hlm. 63-91), Lembaga

Penelitian dan Pelestarian Sejarah dan Budaya Sulawesi Selatan TOMANURUNG, 1988.

Prinsip damai Kerajaan Gowa dalam menyebarluaskan Islam dapat dicermati ketika Raja Gowa XIV Sultan Alauddin bersama Mangkubumi (Raja Tallo) Sultan Awwalul Islam dan pasukannya mendatangi Bone untuk mengajak memeluk Islam. Mereka tiba di Bone dan mengambil tempat di Palette. La Tenriruwa, Raja Bone XI, adalah raja Bone yang pertama memeluk agama Islam. Setelah mengadakan pembicaraan antara Raja Gowa dan Raja Bone, rakyat Bone dikumpulkan di suatu lapangan terbuka karena Raja akan menyampaikan sesuatu kepada mereka. Berkatalah Raja Bone La Tenriruwa kepada rakyat banyak: Hai rakyat Bone, saya sampaikan padamu, bahwa kini Raja Gowa datang ke Bone menunjukkan jalan lurus bagi kita sekalian ialah agama Islam, mari kita sekalian terima baik Raja Gowa itu. Karena bagi saya sendiri sudah tidak ada kesangsian apa-apa. Saya sudah yakin benar bahwa Islam inilah agama yang benar, yaitu menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mengikut Nabi Muhammad saw. Selanjutnya Raja Bone La Tenriruwa berkata lagi: Memang ada kata sepakat moyang kami dengan Raja Gowa yang mengatakan, bahwa barangsiapa di antara kita mendapat kebaikan, dialah menuntun di depan. Raja Gowa berkata bahwa bila agama Islam diterima oleh kita, maka Gowa dan Bone adalah dua sejoli yang paling tangguh di tengah lapangan. Bila kita terima agama Islam, maka kita tetap pada tempat kita semula. Akan tetapi, bila kita diperangi dahulu dan dikalahkan, baru kita terima agama Islam, maka jelas rakyat Bone akan menjadi budak dari Gowa. Saya kemukakan keterangan ini, kata Raja Bone La Tenriruwa, bukan karena saya takut berperang lawan orang-orang Makassar. Tapi kalau semua kata-kata dan janji Raja Gowa itu diingkarinya, maka saya akan turun ke gelanggang, kita akan lihat saya ataukah Raja Gowa yang mati. Demikian isi pidato Raja Bone La Tenriruwa kepada rakyat banyak.1 Kalau kita mencermati petikan pidato di atas dapat dipahami, bahwa betapa Raja Gowa memiliki maksud yang baik kepada Raja Bone dan Rakyat Bone untuk hanya semata-mata agar memeluk Islam. Bahkan dikatakan kepada mereka, jika mau memeluk Islam maka Kerajaan Bone dan Gowa hidup sejoli yang saling menguatkan satu sama lain. Namun, sekalipun Raja Bone La Tenriruwa sudah memeluk Islam lalu mengajak rakyatnya, maka rakyatnya pun menolak bahkan Ade Pitue (Hadat Tujuh) memecat La Tenriruwa dari tahtanya, dan bermufakat mengangkat La Tenripale to Akkapeang menjadi raja Bone XII (1611-1625). Akhirnya, Raja Bone XII inilah yang berperang dengan Raja Gowa sehingga ditaklukkan oleh Gowa, kemudian mereka masuk Islam. Abdul Razak Daeng Patunru (1969: 21) menguraikan bagaimana Gowa mengajak kerajaankerajaan memeluk Islam, Pada hakekatnya Raja Gowa sebagai seorang Muslim dan memegang teguh prinsip agama Islam, bahwa penyebaran Islam harus dilakukan secara damai. Pada mulanya sama sekali tidak bermaksud untuk memaksa raja-raja menerima Islam, tetapi karena ternyata kepada Baginda, bahwa selain raja-raja itu menolak seruan Baginda, mereka pun

mengambil sikap dan tindakan yang nyata untuk menentang kekuasaan dan pengaruh Gowa yang sejak dahulu telah tertanam di tanah-tanah Bugis pada umumnya. Hubungan Kerajaan Gowa dengan Khilafah Islamiyah Hubungan Kerajaan Gowa dengan Khilafah Islamiyah pada waktu itu, yang dapat kita pahami adalah dalam hal pemberian gelar sultan kepada raja-raja Gowa yang diberikan oleh Mufti Makkah menurut penuturan Andi Kumala Idjo, SH sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya. Mirip dengan pernyataan Prof. DR. M. Ahmad Sewang, pakar Sejarah UIN Alauddin Makassar,2 bahwa memang pada masa kerajaan-kerajaan dulu telah masuk Islam, ada semacam pengakuan atau legitimasi yang harus datang dari Turki Utsmani sebagai spiritual power (Dunia Islam masa itu) kepada raja terpilih. Beliau mencontohkan legitimasi Sultan Buton oleh Turki Utsmani sekalipun beliau mengatakan tidak sejauh itu pernah membahas masalah ini. Hanya saja, Bapak Prof. Sewang menambahkan, bahwa Turki Utsmani adalah Khalifah. Selain itu yang dapat kita lihat adalah foto Raja Gowa yang ke-33, I Mallingkaan Daeng Nyonri Sultan Idris (1893-1895), yang terpajang di Museum Ballalompoa saat ini, menurut Andi Kumala Idjo, SH adalah pakaian Turki dilihat dari baju dan songkok Turkinya.3 [Gus Uwik] Catatan kaki: 1. H.A. Massiara Dg. Rapi, Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan (hlm. 63-91), Lembaga Penelitian dan Pelestarian Sejarah dan Budaya Sulawesi Selatan TOMANURUNG, 1988. 2. Prof. Dr. Ahmad Sewang, MA, Wawancara, LF HTI Gowa, Desember 2007 3. Andi Kumala Idjo, SH. Wawancara, LF HTI Gowa, Desember 2007 Sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2008/08/01/kerajaan-gowa-tallo-ekspidisi-islam-olehserambi-madinah-dari-timur-%E2%80%93-bagian-iv/

You might also like