Professional Documents
Culture Documents
com
I. Pendahuluan
Dimulai pada awal era 1980-an2 RRC mengalami tidak kurang daripada
keajaiban ekonomi. Pada tahun 2004, RRC merupakan negara dengan
pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia; Dengan GDP terbesar keempat di
dunia sebesar US$ 8,158 trilyun pada 2005, GDP sebesar kurang lebih US$
1.703 perkapita pada 2005, dan pertumbuhan ekonomi 9,2% setiap tahunnya.3
Aspek terpenting dari fenomena ini adalah sebuah sistem terbarunya yang
sangat unik. Sistem itu bukan jiplakan dari sistem ekonomi yang pernah ada,
melainkan sesuai dengan citarasa Cina yang khas (Prof. Michael Hough, 1995).
Sistem ekonomi baru itu akan menjamin pertumbuhan dan kemakmuran Cina
sampai abad ke-21. Dengan penduduk yang sekarang sudah mencapai sekitar
1,3 milyar (satu perlima total penduduk dunia), pasar terbesar dunia, RRC selalu
akan menyediakan peluang bisnis yang menggiurkan dan menguntungkan bagi
pengusaha manapun juga.
Pencapaian RRC moderen tidak lepas dari usaha Partai Komunis Cina
(PKC) yang mereformasi negaranya secara besar-besaran dan menciptakan
sistemnya yang unik: you Zhongguo tese de shehuizhuyi 有中国特色的社会主义,
atau Sosialisme yang bercirikan Cina. Pada bidang ekonomi, pidato Deng
Xiaoping yang dikenal sebagai “ucapan nanxun”4 dikristalisasikan dalam
Konggres Nasional PKC ke-14 (September 1992), yang kemudian melahirkan
rumusan shehuizhuyi shichang jingji 社会主义市场经济 (ekonomi pasar sosialis).
1
Penulis lepas dan praktisi Mandarin, alumnus program studi China FIB-UI, hingga saat ini
(2009) masih melanjutkan Master Hubungan Internasional-nya di FISIP-UI.
2
“Gaige kaifang” atau reformasi dan keterbukaan oleh Deng Xiaoping.
3
http://en.wikipedia.org/wiki/emerging superpowers-People’s Republic of China
4
“ucapan nanxun” adalah bentuk gagasan/pemikiran dari Deng Xiaoping yang mengacu kepada
solusi atas rendahnya pertumbuhan ekonomi Cina pada akhir tahun 1980-an hingga awal 1990-
an. Pidato ini diucapkannya ketika mengadakan perjalanan ke selatan bersama rombongan kecil
Sejak saat itu, kebijakan yang dituangkan dalam garis besar haluan negara ini,
mendasari pertumbuhan ekonomi RRC hingga saat ini.
Serba perubahan pada awal “era globalisasi” menuntut peninjauan ulang
atas tanggapan lama mengenai budaya bisnis suatu negara, tidak terkecuali
budaya bisnis Cina. Analisis para peneliti diharuskan untuk dapat menyajikan
dengan hidup dan tepat gambaran mengenai bisnis/perekonomian RRC pada
jaman moderen. “Informasi, yang mirip teknologi, cepat usang dan tidak relevan
lagi.” Pentingnya mempelajari cara belajar ini mengingatkan kita pada hakekat
pendidikan di era globalisasi, yang mencerminkan pendekatan yang sangat
praktis terhadap studi tentang Cina kontemporer.
Berangkat dari hal-hal tersebut ketertarikan penulis terhadap budaya RRC
moderen, memberikan banyak pertanyaan menantang yang menarik untuk
dibahas. Sebutlah kasus-kasus seperti konsistensi ideologi negara, perubahan
nilai-nilai kebudayaan, jaringan bisnis Cina, problem diaspora, dan lain-lain.
Namun, hal menarik yang dapat ditemukan ketika berbagai pertanyaan tersebut
akan dituangkan ke dalam suatu analisis mendalam, semuanya berangkat dari
satu hulu yang sama: Apa yang sedang terjadi pada Cina sekarang? Lebih jauh
lagi, pertanyaan tersebut kemudian membawa kita pada suatu usaha pencarian
pemahaman baru akan Cina yang ‘bertransformasi’, atau sama seperti pada
pameo yang belakangan sering kita dengar : “Sang Naga telah bangkit dari
tidurnya.”
Ditinjau dari angle kebudayaan, aspek terpenting dari fenomena yang
terjadi di Cina moderen dapat disajikan dalam suatu titik fokus tertentu, yang
diharapkan dapat memberikan pemahaman atas pertanyaan-pertanyaan dasar
seperti mengapa, kapan, bagaimana, apa, dan siapa; Bidang perekonomian
sebagai ujung tombak pembangunan negara melahirkan banyak elemen
kebudayaan baik itu simbol-simbol, cara interaksi, distribusi konsep, jaringan
bisnis, norma-etika bisnis, dan lain-lain. Ini semua yang kemudian dapat
mengantarkan kita pada pemahaman terhadap keberhasilan bisnis Cina di era
Politbiro. Saat itu, Deng Xiaoping sudah mengundurkan diri dari kepemimpinan pemerintahan
RRC.
globalisasi. Di satu sisi, pernyataan “Budaya Bisnis Cina Moderen” yang berhasil
mendongkrak kebangkitan RRC di mata dunia, mengandung makna yang sangat
luas bagi para peneliti, sebagian menilainya kontradiktif, sebagian lagi
menganggapnya sebagai suatu kewajaran. Dikatakan kontradiktif karena, Cina
sebagai salah satu kekuatan utama komunis dunia sejak 1949 jelas-jelas
mengharamkan konsep kapitalisme & individualisme dalam menjalankan
negaranya. Pada kenyataannya, saat ini ladang bisnis RRC yang potensial
benar-benar digarap pemerintahnya dan dibuka seluas-luasnya untuk pihak
asing (tetapi masih dengan kontrol yang ketat oleh PKC). Apalagi jika kita
menengok kembali pada nilai-nilai lama seperti Konfusianisme yang sangat
mempengaruhi pemikiran orang Cina hingga kini, 5 keberhasilan dunia bisnis di
RRC saat ini dapat dikatakan telah menyimpang sekali dari nilai-nilai lama dan
mencoreng ideologi asal (komunisme). Kewajaran itu sendiri dapat dikatakan
tercipta karena perkembangan jaman dan harga diri RRC yang tinggi di mata
dunia internasional.
Baik itu kontradiktif maupun tidak, studi terhadap budaya bisnis Cina itu
sendiri telah banyak menyita perhatian para peneliti belakangan ini. Tulisan kecil
ini dibuat sebagai salah satu bahan pemahaman terhadap RRC moderen,
khususnya tentang hubungan dalam bidang kebudayaan dan dunia bisnis Cina.
Ruang lingkup yang digunakan adalah RRC pada era 1980-an sampai dengan
2003, di luar kota Hongkong dan Shanghai.
5
Yuan Wang dan Rob Goodfellow dan Xin Shengzhang, Menembus Pasar Cina, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2000), hlm. 89.
6
H.B. Morse, The Guilds of China, (New York: Longmans, Green and Company, 1932), terutama
bab II.
7
Marion J. Levy & Guo Hengshi, The Rise of The Modern Chinese Business Class, (New York:
Institute of Pacific Relations, 1949), hlm. 19.
Sistem ekonomi pasar sosialis yang dilakukan di RRC sejak tahun 1992
8
memberikan banyak sekali kemajuan bagi masyarakat Cina moderen. Seperti
yang telah disinggung sebelumnya, bahwa sistem ekonomi Cina yang baru
memiliki keunikan yang tidak pernah ada di negara manapun di dunia, sistem ini
pun memiliki beberapa elemen-elemen penting yang lahir dari setiap aktivitas
berbudaya (melalui bisnis). Berikut beberapa elemen tersebut:
1. guanxi;
2. ganqing; dan
3. xinyong
8
I. Wibowo, Belajar Dari Cina, (Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2004), terutama Bab II.
Guanxi dapat muncul dalam berbagai bentuk. Bisa saja terjadi dalam
sebuah malam di tempat karaoke dengan pemimpin departemen pemadam
kebakaran setempat, agar proposal pengajuan ruang kerja baru dengan
komputerisasi yang mutakhir disetujui. Atau pada tingkat yang lebih tinggi,
guanxi bisa saja berarti datangnya eksekutif perusahaan asing untuk berjabat
tangan dengan menteri terkait yang menjadi kunci As dalam pengerjaan sektor
industri potensial.
9
Ibid., hlm. 177.
10
http://en.wikipedia.org/wiki/wu’er kai-xi
akan berhubungan langsung dengan rekan-rekan bisnisnya karena hal ini akan
meningkatkan kemutlakan peran pemilik di samping tetap menjaga reputasinya
sebagai pemilik perusahaan. Fenomena serupa terjadi hingga kini di
perusahaan-perusahaan milik etnis Cina di Asia Tenggara, seperti Singapura,
Malaysia, dan lain-lain. Sebaliknya, fenomena di Cina Daratan menunjukkan
bahwa kehadiran seorang pemimpin perusahaan dalam sebuah pertemuan
bisnis tidak selalu signifikan, karena keputusan final tetap dipegang oleh
komune/dewan eksekutif yang belum tentu hadir di pertemuan tersebut, yang
bisa saja mengakibatkan suatu pertemuan bisnis dengan tema yang sama dapat
terjadi berkali-kali dan mungkin sangat alot bagi pihak asing yang masuk ke
dalam lingkaran mereka. 11
Xinyong dapat tertuang dalam kontrak verbal di suatu transaksi bisnis.
Penandatanganan kontrak kadang-kadang tidak diperlukan, biasanya hanya
diperlukan dengan badan-badan pemerintah. Persetujuan verbal dianggap sudah
cukup. Jika pihak I mengatakan akan melakukan sesuatu maka dia tidak akan
ingkar. Bagi mereka ingkar adalah perbuatan yang dapat mencoreng mianzi. Jika
tersebar reputasinya akan jatuh dan tidak akan ada lagi yang bersedia bisnis
dengannya lagi (atau kehilangan lian).
11
Yuan Wang dan Rob Goodfellow dan Xin Sheng Zhang, op.cit., khususnya bab IV.
bisnis RRC kembali menggeliat. RRC masuk pada tahap baru, jauh berbeda
dibanding sebelumnya. Bahkan seorang Deng Xiaoping sekalipun menegaskan
dalam evaluasinya yang dikeluarkan pada September 1982 : “Kemiskinan bukan
sosialisme. Sosialisme berarti melenyapkan kemisikinan.”
Nilai-nilai bisnis masyarakat Cina berubah luar biasa sejak 1978. Sejak
saat itu makin banyak masyarakat yang memandang berkarier di bidang bisnis
sebagai profesi yang layak. Media mula-mula menyebut gejala ini sebagai
“demam bisnis”. Terlebih pada 1979 sampai 1997, banyak orang Cina
memandang bisnis sebagai jalan terbaik untuk memperoleh uang. Situasi ini juga
menimpa cendekiawan Cina yang kini memilih bisnis sebagai pilihan karier
terbaik dan menantang nilai tradisional yang memandang studi sebagai jalan
menuju birokrasi. Pergeseran budaya ini telah menjadi pokok pembicaraan
sebagian besar masyarakat Cina.
“Demam bisnis” mula-mula timbul pada 1984, yaitu ketika pasar kerja
paruh waktu melibatkan banyak karyawan perusahaan milik negara, petani di
pedesaan, mahasiswa, dan beberapa cendekiawan. Ledakan kedua yaitu sekitar
tahun 1990, yang ditandai hengkangnya pejabat-pejabat pemerintah, kader
partai, dan dosen-dosen perguruan tinggi ke sektor perdagangan.
Gejala yang dipicu oleh perubahan fundamental ini bermakna perubahan
yang luar biasa pada pola kepercayaan tradisional rakyat kebanyakan dan
cendekiawan Cina. “Demam bisnis” menandai berakhirnya satu nilai sosial yang
telah berumur 2.000 tahun, yaitu bahwa menjadi pejabat negara adalah tujuan
akhir yang wajar dari perjalanan akademis seseorang. Dalam waktu kurang dari
satu generasi, peran ilmuwan/cendekiawan Cina telah bergeser dari penjaga
pintu gerbang nilai Konfusian menjadi agen penggerak dan pembela perubahan
sosial yang terbesar di Cina.13
12
Pada perkembangannya, terminologi “komprador borjuis” digunakan ketua Mao dan kaum
komunis RRC lainnya untuk melabeli orang atau pihak-pihak yang dianggapnya kapitalis.
13
Yuan Wang dan Rob Goodfellow dan Xin Sheng Zhang, op.cit., terutama bab II.
Cina adalah salah satu bangsa tertua di dunia yang memiliki harga diri dan
martabat yang tinggi. Sejarah panjang yang terukir dalam perjalanan peradaban
mereka mencerminkan dinamika kebudayaan yang lahir dan mati seiring
berjalannya waktu. Oleh karena itu, tidak heran jika perubahan selalu terjadi.
Berbagai kejadian domestik hingga internasional yang mempengaruhi, terbukti
menempa masyarakat Cina untuk selalu beradaptasi dengan sekitarnya.
Masih hangat di benak masyarakat internasional saat Deng Xiaoping
mengumumkan kebijakan pintu terbukanya pada 1978. Di daratan Cina
masyarakat setempat begitu antusiasnya meneriakkan slogan reformasi.
Bagaimana mungkin sebuah negara komunis totaliter yang identik dengan
ejekan “Tirai Bambu” ini, tiba-tiba saja menyulap negaranya menjadi sebuah
pasar ekonomi bebas hampir serupa dengan para seterunya, negara-negara
Barat penganut kapitalisme? Ada dua hal signifikan yang dapat menjelaskan
fenomena ini: Globalisasi dan kebanggaan nasional.
Dalam dunia moderen yang semakin sempit ini, RRC melakukan
terobosan-terobosan baru dalam menjaga eksistensinya. Hal ini sangat erat
berkaitan dengan globalisasi. Perlu diketahui, bahwa RRC merupakan pemain
lama dalam globalisasi. Hal ini sudah dilakukannya sejak awal abad Masehi
dengan dibukanya jalur sutra, dan pada Dinasti Ming mengirimkan banyak
ekspedisi ke luar negri. Hanya saja, RRC dengan paradigma-nya yang inward-
looking, memiliki cara yang unik dalam menjalankan globalisasi. Ketika dunia
asing (Barat) menyentuh teritori dan otoritas Cina secara masif pada akhir abad
ke-19, Cina mengalami perubahan yang drastis. Konsep monarki runtuh dan
digantikan dengan konsep yang lebih moderen; demokrasi republik.
Perkembangan terakhir yang kita ketahui kini, RRC menjalankan ekonomi pasar
sosialis-nya. Menurut para elit politbiro RRC, Cina saat ini sedang mengalami
tahap awal sosialisme.
Kedua, semangat kebanggaan nasional. Ketika Cina dijajah dan “dibagi-
bagi” oleh bangsa Barat (juga Jepang) pada awal abad ke-20, kebencian
terhadap bangsa asing semakin menjadi-jadi. Pihak Cina yang dipimpin oleh Sun
Yat Sen berhasil merobohkan dinasti Qing dan mengarahkan Cina ke arah
kemerdekaan dengan konsep negara yang lebih moderen dan relevan. Sangat
disayangkan bahwa agresi Jepang dan konflik domestik (pertentangan kaum
nasionalis-komunis) pada era ini, harus menunda kemerdekaan Cina. Setelah
merdeka pada 1949, kaum komunis yang memimpin RRC, mutlak tampil sebagai
penguasa tunggal. Rakyat RRC di bawah kepemimpinan Mao Zedong dipenuhi
oleh gelombang “kediktatoran proletariat”, yang muncul sebagai semangat sosial
dalam menghadapi kekuatan asing di Cina. Akibatnya, segala hal yang berbau
Barat (atau produk kapitalisme) secara ekstrem dilarang dan dienyahkan. Dunia
bisnis RRC dikontrol secara terpusat oleh pemerintah. Baru pada era Deng, RRC
memeluk pendekatan yang berbeda dalam menghadapi globalisasi, namun
masih dengan isu yang sama; kebanggaan nasional. RRC mencapai keajaiban
ekonomi yang menakjubkan dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil.
Ladang bisnis pun digarap secara serius oleh pemerintah dan dibuka luas untuk
orang asing.
Dari sudut pandang budaya, RRC saat ini mengalami begitu banyak
perubahan, akan tetapi tidak semuanya merupakan nilai-nilai kebudayaan asing
yang diadaptasi. Pada budaya bisnisnya, tidak sedikit orang Cina yang
mensikretiskan nilai-nilai lama dengan nilai bisnis moderen. Ini semua tercermin
dalam elemen kebudayaan yang muncul dalam interaksi dan operasional
perusahaan/organisasi mereka.
BIBLIOGRAFI
Boisot, M. & Child J. From fiefs to clans and network capitalism: Explaining
China’s emerging economic order. USA : Administrative Science
Quarterly, 2000.
De Dreu, C. & Van de Vliert, E. Using conflict in organizations. Beverly Hills, CA:
Sage, 1997.
Ding, D.Z. In Search of Determinants of Chinese Conflict Management Styles in
Joint Ventures: An Integrated Approach. Paper, City University of
Hongkong : Hongkong, 1996.
Fishman, Ted. C. China Inc. USA: Simon & Schuster Inc, 2005.
Henderson, Callum. China on The Brink. Singapore: McGraw-Hill, 1999.
http://chinese-school.netfirms.com
http://en.wikipedia.org
Kirkbride, P.S. Tang, S.F.Y. & Westwood, R.I. Chinese conflict preferences and
negotiating behaviour: Cultural and Psychological influences.
Organizational Studies, 12, 365-386, 1991.
Levy, Marion J., Jr & Guo Hengshi. The Rise of The Modern Chinese
Business Class. New York: Institute of Pacific Relations, 1949.
Morse, H.B., The Guilds of China. New York: Longmans, Green and
Company, 1932.
Triandis, H.C., McCusker, C. & Hui, C.H. Multimethod probes of individualism
and collectivism. Journal of Personality and Social Psychology, 1990.
Whiteley, A. (Juli 2004). Mengelola Bisnis Pendidikan dalam Konteks Budaya
Cina. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Juli 2004.
Wibowo, I. Belajar Dari Cina. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Januari 2004.
Yuan, Wang & Goodfellow, Rob. & Xin ShengZhang. Menembus Pasar Cina.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Agustus 2000.