You are on page 1of 17

www.sinopaxsinica.blogspot.

com

BUDAYA BISNIS RRC PADA ERA GLOBALISASI


ditulis oleh : Denis L. Toruan1

I. Pendahuluan

Dimulai pada awal era 1980-an2 RRC mengalami tidak kurang daripada
keajaiban ekonomi. Pada tahun 2004, RRC merupakan negara dengan
pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia; Dengan GDP terbesar keempat di
dunia sebesar US$ 8,158 trilyun pada 2005, GDP sebesar kurang lebih US$
1.703 perkapita pada 2005, dan pertumbuhan ekonomi 9,2% setiap tahunnya.3
Aspek terpenting dari fenomena ini adalah sebuah sistem terbarunya yang
sangat unik. Sistem itu bukan jiplakan dari sistem ekonomi yang pernah ada,
melainkan sesuai dengan citarasa Cina yang khas (Prof. Michael Hough, 1995).
Sistem ekonomi baru itu akan menjamin pertumbuhan dan kemakmuran Cina
sampai abad ke-21. Dengan penduduk yang sekarang sudah mencapai sekitar
1,3 milyar (satu perlima total penduduk dunia), pasar terbesar dunia, RRC selalu
akan menyediakan peluang bisnis yang menggiurkan dan menguntungkan bagi
pengusaha manapun juga.
Pencapaian RRC moderen tidak lepas dari usaha Partai Komunis Cina
(PKC) yang mereformasi negaranya secara besar-besaran dan menciptakan
sistemnya yang unik: you Zhongguo tese de shehuizhuyi 有中国特色的社会主义,
atau Sosialisme yang bercirikan Cina. Pada bidang ekonomi, pidato Deng
Xiaoping yang dikenal sebagai “ucapan nanxun”4 dikristalisasikan dalam
Konggres Nasional PKC ke-14 (September 1992), yang kemudian melahirkan
rumusan shehuizhuyi shichang jingji 社会主义市场经济 (ekonomi pasar sosialis).

1
Penulis lepas dan praktisi Mandarin, alumnus program studi China FIB-UI, hingga saat ini
(2009) masih melanjutkan Master Hubungan Internasional-nya di FISIP-UI.
2
“Gaige kaifang” atau reformasi dan keterbukaan oleh Deng Xiaoping.
3
http://en.wikipedia.org/wiki/emerging superpowers-People’s Republic of China
4
“ucapan nanxun” adalah bentuk gagasan/pemikiran dari Deng Xiaoping yang mengacu kepada
solusi atas rendahnya pertumbuhan ekonomi Cina pada akhir tahun 1980-an hingga awal 1990-
an. Pidato ini diucapkannya ketika mengadakan perjalanan ke selatan bersama rombongan kecil

© April 2006, Denis L. Toruan 1


www.sinopaxsinica.blogspot.com

Sejak saat itu, kebijakan yang dituangkan dalam garis besar haluan negara ini,
mendasari pertumbuhan ekonomi RRC hingga saat ini.
Serba perubahan pada awal “era globalisasi” menuntut peninjauan ulang
atas tanggapan lama mengenai budaya bisnis suatu negara, tidak terkecuali
budaya bisnis Cina. Analisis para peneliti diharuskan untuk dapat menyajikan
dengan hidup dan tepat gambaran mengenai bisnis/perekonomian RRC pada
jaman moderen. “Informasi, yang mirip teknologi, cepat usang dan tidak relevan
lagi.” Pentingnya mempelajari cara belajar ini mengingatkan kita pada hakekat
pendidikan di era globalisasi, yang mencerminkan pendekatan yang sangat
praktis terhadap studi tentang Cina kontemporer.
Berangkat dari hal-hal tersebut ketertarikan penulis terhadap budaya RRC
moderen, memberikan banyak pertanyaan menantang yang menarik untuk
dibahas. Sebutlah kasus-kasus seperti konsistensi ideologi negara, perubahan
nilai-nilai kebudayaan, jaringan bisnis Cina, problem diaspora, dan lain-lain.
Namun, hal menarik yang dapat ditemukan ketika berbagai pertanyaan tersebut
akan dituangkan ke dalam suatu analisis mendalam, semuanya berangkat dari
satu hulu yang sama: Apa yang sedang terjadi pada Cina sekarang? Lebih jauh
lagi, pertanyaan tersebut kemudian membawa kita pada suatu usaha pencarian
pemahaman baru akan Cina yang ‘bertransformasi’, atau sama seperti pada
pameo yang belakangan sering kita dengar : “Sang Naga telah bangkit dari
tidurnya.”
Ditinjau dari angle kebudayaan, aspek terpenting dari fenomena yang
terjadi di Cina moderen dapat disajikan dalam suatu titik fokus tertentu, yang
diharapkan dapat memberikan pemahaman atas pertanyaan-pertanyaan dasar
seperti mengapa, kapan, bagaimana, apa, dan siapa; Bidang perekonomian
sebagai ujung tombak pembangunan negara melahirkan banyak elemen
kebudayaan baik itu simbol-simbol, cara interaksi, distribusi konsep, jaringan
bisnis, norma-etika bisnis, dan lain-lain. Ini semua yang kemudian dapat
mengantarkan kita pada pemahaman terhadap keberhasilan bisnis Cina di era

Politbiro. Saat itu, Deng Xiaoping sudah mengundurkan diri dari kepemimpinan pemerintahan
RRC.

© April 2006, Denis L. Toruan 2


www.sinopaxsinica.blogspot.com

globalisasi. Di satu sisi, pernyataan “Budaya Bisnis Cina Moderen” yang berhasil
mendongkrak kebangkitan RRC di mata dunia, mengandung makna yang sangat
luas bagi para peneliti, sebagian menilainya kontradiktif, sebagian lagi
menganggapnya sebagai suatu kewajaran. Dikatakan kontradiktif karena, Cina
sebagai salah satu kekuatan utama komunis dunia sejak 1949 jelas-jelas
mengharamkan konsep kapitalisme & individualisme dalam menjalankan
negaranya. Pada kenyataannya, saat ini ladang bisnis RRC yang potensial
benar-benar digarap pemerintahnya dan dibuka seluas-luasnya untuk pihak
asing (tetapi masih dengan kontrol yang ketat oleh PKC). Apalagi jika kita
menengok kembali pada nilai-nilai lama seperti Konfusianisme yang sangat
mempengaruhi pemikiran orang Cina hingga kini, 5 keberhasilan dunia bisnis di
RRC saat ini dapat dikatakan telah menyimpang sekali dari nilai-nilai lama dan
mencoreng ideologi asal (komunisme). Kewajaran itu sendiri dapat dikatakan
tercipta karena perkembangan jaman dan harga diri RRC yang tinggi di mata
dunia internasional.
Baik itu kontradiktif maupun tidak, studi terhadap budaya bisnis Cina itu
sendiri telah banyak menyita perhatian para peneliti belakangan ini. Tulisan kecil
ini dibuat sebagai salah satu bahan pemahaman terhadap RRC moderen,
khususnya tentang hubungan dalam bidang kebudayaan dan dunia bisnis Cina.
Ruang lingkup yang digunakan adalah RRC pada era 1980-an sampai dengan
2003, di luar kota Hongkong dan Shanghai.

Budaya Bisnis Masyarakat Cina Tradisional

Pembahasan mengenai budaya bisnis RRC pada masa moderen tidak


dapat dilepaskan dari kaitannya dengan kebudayaan masyarakat Cina
tradisional. Pembahasan akan aspek ini memberikan pemahaman yang lebih
mendalam dan sistematis.
Momentum kebangkitan para kaum bisnis Cina sudah dimulai pada akhir
abad kesembilan belas, tepatnya pada era awal kejatuhan dinasti Qing. Hal ini

5
Yuan Wang dan Rob Goodfellow dan Xin Shengzhang, Menembus Pasar Cina, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2000), hlm. 89.

© April 2006, Denis L. Toruan 3


www.sinopaxsinica.blogspot.com

dapat dibuktikan dengan munculnya kelas komprador pada struktural


masyarakat Cina saat itu. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa sebelum masa
ini kaum bisnis Cina tidak/belum pernah ada. Golongan pedagang sudah dikenal
di Cina sejak runtuhnya feodalisme dinasti Zhou (1122-246 SM). Saat itu dan
hingga seterusnya, golongan ini eksis di masyarakat Cina, namun menempati
posisi sosial yang paling rendah. Masyarakat Cina tradisional menggunakan
sistem hierarkis dalam memandang nilai pekerjaan seseorang. Penekanannya
kepada nilai tenaga kerja (buruh) dan nilai bahan mentah. Berikut adalah empat
lapisan sosial yang terdapat pada masyarakat Cina tradisional, dari strata yang
paling rendah hingga ke yang paling tinggi :
1. Kaum pedagang, pemain teater, tentara, pelacur
2. Kaum pengrajin (tukang batu, tukang kayu, dll)
3. Kaum petani
4. Kaum literati dan elit pemerintahan
Fungsi kaum pedagang pada masyarakat Cina tradisional dalam
hubungannya dengan sistem strata sosial tersebut hanyalah sebatas sebagai
pengelola pasar, pelatihan magang, dan ritual pemujaan. 6 Mereka tidak pernah
menentang sistem sosial yang sudah berjalan seperti itu, dan berharap dapat
meningkatkan status sosial keluarganya dengan mendidik anak-anaknya agar
dapat menjadi bagian dari kaum terpelajar.
Siapa atau apa yang membuat sistem sosial pada masyarakat Cina
tradisional berlaku seperti itu? Sistem masyarakat Cina tradisional sangat
dipengaruhi oleh nilai-nilai lama seperti Konfusianisme. Ajaran yang muncul
pada dinasti Zhou Timur ini mengajarkan suatu ideal tentang bagaimana suatu
negara seharusnya dijalankan, dengan menekankan kepada pendidikan moral
berdasarkan suatu sistem yang hierarkis. Hal ini dapat kita lihat dari konsep-
konsep seperti Wu-lun (lima hubungan), empat konvensi moral, dan lain-lain.
Terkhusus mengenai yang disebut terakhir, Konfusius mengajarkan bahwa
negara (Cina) harus dijalankan secara hierarkis, yaitu: Cina dibangun

6
H.B. Morse, The Guilds of China, (New York: Longmans, Green and Company, 1932), terutama
bab II.

© April 2006, Denis L. Toruan 4


www.sinopaxsinica.blogspot.com

berdasarkan negara keluarga, satu organisasi sosial yang otokratis, hierarkis,


dan tidak demokratis. Kemakmuran bersama dicapai dari hasil-hasil pertanian.
Kestabilan suatu negara dapat dijamin dengan hierarki yang jelas. Dengan kata
lain, yang lebih rendah taat kepada yang lebih tinggi, dan yang lebih tinggi
menunjukkan kemurahan hati sebagai balasan terhadap kesetiaan tersebut.
Dalam konvensi moralnya Konfusius juga mengajarkan tentang paham
kolektivisme. Menurutnya, kolektivisme ini menentukan status individu yang
ditentukan oleh hubungannya dengan sistem hierarki. Oleh karena itu, orang
yang beretika Konfusian akan bertindak sesuai dengan harapan orang lain
daripada harapan/keinginannya pribadi, sehingga mereka selalu bersedia
bekerjasama. Individu tidak terpisah dari struktur sosial, melainkan sebagai
komponen etis dari suatu bangunan sosial yang lebih besar. Semua hal yang
disebut inilah yang mendasari atas berjalannya sistem sosial pada masyarakat
Cina tradisional.
Telah diketahui bahwa kaum pedagang menempati posisi terbawah dari
strata sosial masyarakat Cina tradisional. Kaum yang dianggap ‘berkemampuan’
lebih, atau ‘lihai’, dan selalu bernafsu mengejar keuntungan sendiri oleh
masyarakat Cina tradisional ini, jelas-jelas diposisikan sebagai golongan inferior
pada masyarakat, sama seperti yang dikemukakan oleh Guo Hengshi pada
sebuah esainya yang berjudul The Early Development of The Modern Chinese
Business Class: “Treacherous Merchant was the usual phrase for traders or
middlemen. All material innovation and prosperity was renounced by the great
teaching of Confucius and his followers. From time to time, merchants were
7
actually suppressed, especially when they appeared to mount in power.”
Konsep pembagian tenaga kerja pada masyarakat Cina tradisional semata-mata
berdasar atas dikotomi : literati dan petani. Literati berperan dalam menjalankan
pemerintahan, petani diperintah dan memproduksi hasil bumi untuk mendukung
para superordinatnya. Akibatnya, prestise kaum literati pada strata sosial lebih
tinggi dibanding golongan lainnya, karena mereka dikatakan ‘bekerja dengan

7
Marion J. Levy & Guo Hengshi, The Rise of The Modern Chinese Business Class, (New York:
Institute of Pacific Relations, 1949), hlm. 19.

© April 2006, Denis L. Toruan 5


www.sinopaxsinica.blogspot.com

pikiran’, dan petani yang ‘menggunakan tangannya’ menempati posisi di


bawahnya. Semua aktivitas penghidupan selain pengolahan tanah dianggap
tidak lazim dan tanpa dukungan moral.

II. Keunikan Budaya Bisnis Cina

Sistem ekonomi pasar sosialis yang dilakukan di RRC sejak tahun 1992
8
memberikan banyak sekali kemajuan bagi masyarakat Cina moderen. Seperti
yang telah disinggung sebelumnya, bahwa sistem ekonomi Cina yang baru
memiliki keunikan yang tidak pernah ada di negara manapun di dunia, sistem ini
pun memiliki beberapa elemen-elemen penting yang lahir dari setiap aktivitas
berbudaya (melalui bisnis). Berikut beberapa elemen tersebut:
1. guanxi;
2. ganqing; dan
3. xinyong

II.I. Guanxi (关系)


Secara harafiah, guanxi berarti hubungan. Makna ini dapat digunakan
untuk setiap jenis hubungan. Dalam budaya bisnis Cina guanxi dapat diartikan
sebagai ‘koneksi’. ‘Koneksi’ di sini bermakna sebagai suatu jaringan hubungan di
antara bermacam-macam personal, kelompok / badan yang saling bekerjasama
dan mendukung satu sama lain. Mental para pebisnis Cina sangat dekat
maknanya dengan sebuah pameo dari Barat, “You scratch my back, I’ll scratch
yours.” Di mana pun, kapan pun, dalam mengurus segala hal, orang Cina selalu
“kao guanxi”, artinya pakai koneksi. 9

Tanpa memperhitungkan pengalaman seseorang atau sebuah badan di


negara asalnya, guanxi adalah jaminan akan kelancaran berbisnis di Cina.
Guanxi dapat meminimalisir kemungkinan gagal suatu badan dalam berbisnis di
Cina dan hambatan-hambatan lainnya seperti ‘prosedur bayangan’, dan lain-lain,
jika didapatkan secara tepat. Seringkali guanxi yang benar-benat tepat

8
I. Wibowo, Belajar Dari Cina, (Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2004), terutama Bab II.

© April 2006, Denis L. Toruan 6


www.sinopaxsinica.blogspot.com

dihubungkan dengan pihak yang berwenang (pejabat setempat / pemerintah)


yang nantinya akan sangat menentukan eksistensi badan (perusahaan) tersebut
di Cina dalam jangka panjang.

Guanxi dapat muncul dalam berbagai bentuk. Bisa saja terjadi dalam
sebuah malam di tempat karaoke dengan pemimpin departemen pemadam
kebakaran setempat, agar proposal pengajuan ruang kerja baru dengan
komputerisasi yang mutakhir disetujui. Atau pada tingkat yang lebih tinggi,
guanxi bisa saja berarti datangnya eksekutif perusahaan asing untuk berjabat
tangan dengan menteri terkait yang menjadi kunci As dalam pengerjaan sektor
industri potensial.

II.II. Ganqing (感情)

Secara harafiah ganqing berarti perasaan. Dalam budaya bisnis Cina


konsep ganqing masih berhubungan dekat dengan guanxi. Ganqing
merefleksikan suasana umum dari hubungan sosial dari dua orang atau dua
badan yang saling berinteraksi. Seseorang dapat dikatakan memiliki ganqing
yang baik jika hubungannya dengan orang lain tersebut baik, selain track-record
hubungan yang baik di antara keduanya. Sedangkan ganqing yang mendalam
adalah terdapatnya ikatan perasaan / hubungan batin yang dalam pada
hubungan sosial itu sendiri.
Contoh dari ganqing sering ditemukan pada pernyataan-pernyataan
pemerintah Cina dan seringkali salah diterjemahkan ketika diaplikasikan pada
konteks ini. Perkataan atau tindakan yang dapat melukai perasaan orang Cina
sepatutnya dihindari jika ingin terus bekerjasama (berbisnis) dengan mereka.
Konsep ganqing juga dekat sekali maknanya dengan konsep ‘muka’ dalam
budaya Cina.
Konsep ‘muka’ dalam kebudayaan Cina mengacu kepada dua hal yang
berbeda tapi saling berhubungan, yaitu mianzi 面子 dan lianzi 脸子. Lian adalah
kepercayaan masyarakat dalam karakter moral seseorang. Sedangkan mianzi

9
Ibid., hlm. 177.

© April 2006, Denis L. Toruan 7


www.sinopaxsinica.blogspot.com

merepresentasikan persepsi sosial terhadap prestise seseorang. Konsep


menjaga muka sangat penting halnya dalam hubungan sosial masyarakat Cina
karena muka mewakili kekuasaan dan pengaruh. Kehilangan lian berakibat pada
hilangnya kepercayaan sosial terhadap seseorang. Dan kehilangan mianzi
berakibat pada kehilangan wibawa dan wewenang seseorang. Contoh
gampangnya, gosip tentang seseorang yang mencuri dari kas toko; Ia akan
kehilangan lian bukan mianzi. Pada kejadian lainnya, memotong pembicaraan
bos/atasan seseorang menyebabkannya kehilangan mianzi bukan lian.
Orang Cina berusaha sebisa mungkin menghindari suatu konflik dalam
melanggengkan hubungan dengan sesamanya. Ketika mereka menghindari
konflik biasanya orang Cina akan berusaha untuk tidak menyebabkan seseorang
kehilangan mianzi-nya, yaitu dengan tidak memunculkan kenyataan-kenyataan
yang memalukan ke hadapan publik. Sebaliknya, ketika mereka ingin menantang
suatu wewenang atau orang lain dalam suatu komunitas tertentu, orang Cina
akan berusaha menyebabkan orang tersebut kehilangan lian atau mianzi. Satu
contoh publik akan hal ini yaitu saat Tragedi Tian’anmen 1989 di mana Wu’er
Kaixi mencemooh PM Li Peng karena datang terlambat untuk bertemu dengan
para demonstran. Akibatnya, Li Peng kehilangan mianzi karena dia terlihat
datang terlambat dan menjadi figur pemerintah yang sangat tidak populer di
10
mata kalangan publik Cina, khususnya menyangkut peristiwa Tian’anmen.
Konsep serupa juga ditemukan pada kebudayaan Jepang dan Korea.

II.III. Xinyong (信用)

Dalam istilah bahasa Inggris, xinyong disebut sebagai gentlemen’s


agreement (Cheng, 1985). Xinyong dalam budaya bisnis Cina bermakna sebagai
sebuah jaringan antar pribadi.
Bagi orang Cina, kepercayaan antarpribadi merupakan hal yang
terpenting. Para pengusaha etnis Cina biasanya hanya berhubungan komersial
dengan orang yang sudah mereka kenal. Oleh karena itu, reputasi seseorang
penting artinya bagi transaksi bisnis. Dahulu, para pebisnis Cina secara pribadi

10
http://en.wikipedia.org/wiki/wu’er kai-xi

© April 2006, Denis L. Toruan 8


www.sinopaxsinica.blogspot.com

akan berhubungan langsung dengan rekan-rekan bisnisnya karena hal ini akan
meningkatkan kemutlakan peran pemilik di samping tetap menjaga reputasinya
sebagai pemilik perusahaan. Fenomena serupa terjadi hingga kini di
perusahaan-perusahaan milik etnis Cina di Asia Tenggara, seperti Singapura,
Malaysia, dan lain-lain. Sebaliknya, fenomena di Cina Daratan menunjukkan
bahwa kehadiran seorang pemimpin perusahaan dalam sebuah pertemuan
bisnis tidak selalu signifikan, karena keputusan final tetap dipegang oleh
komune/dewan eksekutif yang belum tentu hadir di pertemuan tersebut, yang
bisa saja mengakibatkan suatu pertemuan bisnis dengan tema yang sama dapat
terjadi berkali-kali dan mungkin sangat alot bagi pihak asing yang masuk ke
dalam lingkaran mereka. 11
Xinyong dapat tertuang dalam kontrak verbal di suatu transaksi bisnis.
Penandatanganan kontrak kadang-kadang tidak diperlukan, biasanya hanya
diperlukan dengan badan-badan pemerintah. Persetujuan verbal dianggap sudah
cukup. Jika pihak I mengatakan akan melakukan sesuatu maka dia tidak akan
ingkar. Bagi mereka ingkar adalah perbuatan yang dapat mencoreng mianzi. Jika
tersebar reputasinya akan jatuh dan tidak akan ada lagi yang bersedia bisnis
dengannya lagi (atau kehilangan lian).

III. Budaya Bisnis RRC pada Masa Moderen

Angin perubahan pada RRC moderen secara kebudayaan dapat


dikatakan dimulai sejak kejatuhan dinasti Qing, yaitu saat pengaruh asing masuk
secara masif ke daratan Cina dan mempengaruhi segala aspek kehidupan
secara signifikan. Salah satu contohnya adalah dengan diberlakukannya
Perjanjian Nanking yang sangat memberatkan bangsa Cina dan mengharuskan
Cina untuk membuka diri terhadap dunia luar. Tercatat pada era ini dasar bagi
perekonomian dan kebudayaan Cina moderen telah mengalami perubahan yang
berarti. Kebudayaan lama mulai ditanggalkan dan nilai-nilai yang dianggap
sudah tidak relevan lagi dienyahkan. Salah satu buktinya adalah wusi yundong

11
Yuan Wang dan Rob Goodfellow dan Xin Sheng Zhang, op.cit., khususnya bab IV.

© April 2006, Denis L. Toruan 9


www.sinopaxsinica.blogspot.com

(peristiwa 4 Mei 1919), yang berusaha menghapuskan Konfusianisme di Cina


serta merubah dunia kesusastraan dan sosial-kebudayaan masyarakat Cina.
Cina sejak dahulu penuh dengan nilai-nilai revolusioner.
Budaya bisnis Cina moderen sendiri mengalami perubahan yang
signifikan sejak era tadi. Secara garis besar, gejolak di Cina pada awal abad
kedua puluh memunculkan kelas baru di masyarakat Cina yang disebut dengan
kelas komprador. Golongan ini bertugas mewakili hubungan dagang antara
pemerintah Cina (saat itu masih dipegang Dinasti Qing) dan pihak Barat atau
negara asing lainnya.12 Saat itu, di tengah-tengah masyarakat sendiri
pertentangan konsep antara bisnis dan nilai-nilai patriotisme (bukan lagi nilai
moral), masih hangat sekali. Sebagian masyarakat Cina masih mengharamkan
bisnis (apalagi) dengan pihak barbar/asing, sebagian lagi marah karena diinjak-
injak martabatnya oleh bangsa asing sehingga mereka mencari alternatif-
alternatif dalam mengatasi penghinaan semacam ini. Kelas komprador lah yang
mengawali sepak terjang Cina dalam dunia bisnis moderen.
Pada perkembangannya ketika kaum komunis mutlak menguasai
pemerintahan Cina daratan, dunia bisnis Cina (dalam konteks ini individu
maupun badan swasta) untuk sekali lagi kembali ditekan. Segala individu
maupun badan swasta yang melakukan bisnis tanpa otorisasi elit kaum komunis
pasti akan dicap sebagai antek-antek kapitalis atau dengan kata lain
bertentangan dengan nilai-nilai kaum revolusioner. Begitu ekstremnya tindakan
kaum revolusioner Cina hingga kesusastraan Cina pun dijadikan alat
propaganda untuk mendukung komunisme, salah satunya dengan menyerang
para kapitalis atau individu yang dianggap sebagai oposisi. Sejak merdeka
(1949) hingga sebelum diberlakukannya gaige kaifang (1979), RRC memeluk
“ekonomi terencana secara pusat” yang menempatkan negara pada posisi
sentral. Selama 30 tahun itulah dunia bisnis RRC stagnan.
Baru pada Desember 1978, yaitu ketika Kongres XI Partai Komunis Cina
mengesahkan rumusan gaige kaifang atau kebijakan reformasi dan keterbukaan,

© April 2006, Denis L. Toruan 10


www.sinopaxsinica.blogspot.com

bisnis RRC kembali menggeliat. RRC masuk pada tahap baru, jauh berbeda
dibanding sebelumnya. Bahkan seorang Deng Xiaoping sekalipun menegaskan
dalam evaluasinya yang dikeluarkan pada September 1982 : “Kemiskinan bukan
sosialisme. Sosialisme berarti melenyapkan kemisikinan.”

III.I. Demam Bisnis Cina Moderen

Nilai-nilai bisnis masyarakat Cina berubah luar biasa sejak 1978. Sejak
saat itu makin banyak masyarakat yang memandang berkarier di bidang bisnis
sebagai profesi yang layak. Media mula-mula menyebut gejala ini sebagai
“demam bisnis”. Terlebih pada 1979 sampai 1997, banyak orang Cina
memandang bisnis sebagai jalan terbaik untuk memperoleh uang. Situasi ini juga
menimpa cendekiawan Cina yang kini memilih bisnis sebagai pilihan karier
terbaik dan menantang nilai tradisional yang memandang studi sebagai jalan
menuju birokrasi. Pergeseran budaya ini telah menjadi pokok pembicaraan
sebagian besar masyarakat Cina.
“Demam bisnis” mula-mula timbul pada 1984, yaitu ketika pasar kerja
paruh waktu melibatkan banyak karyawan perusahaan milik negara, petani di
pedesaan, mahasiswa, dan beberapa cendekiawan. Ledakan kedua yaitu sekitar
tahun 1990, yang ditandai hengkangnya pejabat-pejabat pemerintah, kader
partai, dan dosen-dosen perguruan tinggi ke sektor perdagangan.
Gejala yang dipicu oleh perubahan fundamental ini bermakna perubahan
yang luar biasa pada pola kepercayaan tradisional rakyat kebanyakan dan
cendekiawan Cina. “Demam bisnis” menandai berakhirnya satu nilai sosial yang
telah berumur 2.000 tahun, yaitu bahwa menjadi pejabat negara adalah tujuan
akhir yang wajar dari perjalanan akademis seseorang. Dalam waktu kurang dari
satu generasi, peran ilmuwan/cendekiawan Cina telah bergeser dari penjaga
pintu gerbang nilai Konfusian menjadi agen penggerak dan pembela perubahan
sosial yang terbesar di Cina.13

12
Pada perkembangannya, terminologi “komprador borjuis” digunakan ketua Mao dan kaum
komunis RRC lainnya untuk melabeli orang atau pihak-pihak yang dianggapnya kapitalis.
13
Yuan Wang dan Rob Goodfellow dan Xin Sheng Zhang, op.cit., terutama bab II.

© April 2006, Denis L. Toruan 11


www.sinopaxsinica.blogspot.com

IV. Budaya Perusahaan Cina Moderen

Globalisasi memacu setiap negara di dunia untuk terus meng-update


sistem yang dimilikinya dan bersaing agar dapat terus survive, tidak terkecuali
RRC. Terpengaruh oleh pandangan pemikir dan praktisi manajemen Barat,
sejumlah manajer senior Cina mulai menimbang-nimbang kemungkinan untuk
mengembangkan budaya perusahaan yang khas Cina untuk masa kini. Mereka
menilai bahwa model yang baru harus menyempurnakan budaya tradisional
maupun budaya perekonomian pasar yang kompetitif dan sedang berkembang.
Sejak saat itu, muncullah identitas perusahaan Cina yang unik. Identitas tersebut
mencerminkan budaya tradisional Cina dan nilai-nilai moderen yang dipengaruhi
oleh perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang sangat cepat. Berikut beberapa
aspek unik tersebut:

1. Susunan Organisasi - “Dua Kendali”


Perbedaan terbesar antara susunan organisasi kebanyakan perusahaan
di Cina dan semua perusahaan Barat adalah adanya sistem manajemen pararel
di perusahaan Cina. Yang pertama adalah sistem administrasi dan yang kedua
adalah struktur kepemimpinan internal yang melibatkan orang-orang di
lingkungan Partai Komunis. Manajer Cina sering menyebut sistem ini sebagai
sistem “dua kendali”. Sebelum Reformasi Perusahaan pada tahun 1984, seorang
sekretaris Partai Komunis mengawasi semua perusahaan Cina. Setelah 1984,
seorang manajer umum juga diberi tanggung jawab mengelola perusahaan.
Sejak saat itu sekretaris Partai Komunis dan manajer umum dituntut untuk
memikul tanggung jawab yang sama (sistem pararel). Dengan sistem pararel,
Partai Komunis mempunyai wakil hampir di setiap badan usaha milik negara,
perusahaan bersama, dan perusahaan patungan. Tanggung jawab pokok Partai
Komunis adalah mengawasi dan menjamin arah strategi perusahaan serta turut
serta dalam pengambilan keputusan penting, terutama yang menyangkut
karyawan. Di beberapa perusahaan kecil, direktur eksekutif bisa saja merangkap

© April 2006, Denis L. Toruan 12


www.sinopaxsinica.blogspot.com

menjadi pimpinan perusahaan sekaligus sekretaris Partai Komunis. Akan tetapi,


di kebanyakan perusahaan milik negara dan usaha patungan besar, jabatan
direktur eksekutif dan sekretaris Partai Komunis dipegang oleh orang yang
berbeda. Penerapan sistem pararel sering menimbulkan beda pendapat di
antara kedua manajemen itu.

2. Fungsi Organisatoris - “Masyarakat Kecil”


Salah satu ciri manajemen Cina yang menonjol adalah peranan organisasi
yang sangat besar dalam kehidupan, baik profesional maupun pribadi para
karyawan. Kebanyakan perusahaan di Cina tidak hanya memberi kesempatan
kerja dan gaji kepada para karyawan, tetapi juga harus menyediakan segala
macam keperluan materiil karyawan termasuk asuransi kesehatan, perumahan,
perawatan anak, sekolah, dan hiburan. Bahkan, beberapa perusahaan besar
milik negara membuka toko eceran di sekitar lingkungan kerja untuk melayani
para karyawan. Fungsi organisatoris perusahaan Cina serupa dengan fungsi
suatu masyarakat kecil. Kebanyakan perusahaan Cina (setidaknya karyawan
BUMN) mengetahui dengan jelas bahwa perusahaan yang dapat dipercaya
harus memperhatikan semua segi kehidupan karyawan, termasuk lingkungan
kerja dan keluarga mereka. Di samping menangani masalah pengembangan dan
dan operasi perusahaan sehari-hari, seorang direktur eksekutif harus
menyediakan banyak waktu dan tenaga untuk membina kesejahteraan pribadi
para karyawan. Seorang direktur eksekutif yang dapat dipercaya harus terampil
memimpin tim manajemen yang bertanggung jawab atas pusat perawatan anak,
penyediaan fasilitas perumahan yang terbatas, dan mengatur penyediaan
makanan pada kesempatan istimewa dan pesta-pesta. Bahkan, ia diharapkan
bisa meredakan perselisihan keluarga atau antarpribadi yang serius. Peranan
seorang manajer senior di perusahaan Cina sangat rumit.

3. Nilai-nilai perusahaan Cina


Manajemen perusahaan di Cina masih terpengaruh oleh nilai-nilai
Konfusian, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui

© April 2006, Denis L. Toruan 13


www.sinopaxsinica.blogspot.com

sosialisasi dalam keluarga. Walaupun pemerintah berusaha meniadakan nilai-


nilai lama melalui Revolusi Kebudayaan (1964-1976), pengaruh itu masih kuat
hingga kini. Berikut beberapa karakteristik yang menjadi nilai-nilai perusahaan
Cina tersebut :
 Orientasi Manajemen pada “Prestasi Bersama”
Para manajer Cina memegang teguh prinsip berorientasi pada
kelompok atau kepentingan bersama. Tuntutan atas pengakuan
prestasi individu biasanya ditolak. Meskipun penelitian terakhir
menyebutkan bahwa motivasi karyawan Cina untuk mengukir prsetasi
diri menguat sejak pertengahan dekade 1990-an, tapi sikap
berorientasi pada kelompok ini masih menjadi hal yang utama dalam
manajemen perusahaan. Para manajer yang menganut etika
manajemen non-kompetitif ini, tetap berpandangan bahwa setiap
individu hendaknya bekerjasama secara selaras dengan yang lainnya
sehingga mendukung organisasi tersebut.
 Ketidakpercayaan dalam organisasi
Dalam banyak organisasi para manajer Cina tidak sepenuhnya
mempercayai bawahan, antara lain karena alasan nilai hierarkis.
Mereka menganggap organisasi sebagai sistem keluarga . Dari sudut
pandang budaya, menurut sistem ini bawahan diperlakukan sebagai
“anak-anak” yang bergantung dan tidak dapat dipercayai sepenuhnya.
Di sisi lain, manajer umum Cina dipandang sebagai “orangtua” yang
harus menjaga dan mengawasi “anak-anak”-nya. Oleh karena itu,
banyak perusahaan di RRC yang dijalankan hanya oleh satu figur
ayah yang kuat. Segala keputusan penting perusahaan diambil secara
mutlak oleh senior/para manajer atas perusahaan.
 Kerjasama berdasarkan kepatuhan dan pentingnya keserasian
hubungan
Para manajer Cina bekerja dalam lingkungan kerja yang semi otoriter.
Dengan sistem manajemen yang top-down itu, para bawahan
diharapkan tunduk sepenuhnya dan menjalankan instruksi manajer

© April 2006, Denis L. Toruan 14


www.sinopaxsinica.blogspot.com

mereka dengan sungguh-sungguh. Kompromi dan kepatuhan


bawahan merupakan nilai budaya Cina yang fundamental. Pada
dimensi yang sama, hubungan ini diharapkan dapat selalu selaras
sehingga mendukung operasional organisasi tersebut. Oleh sebab itu,
para manajer Cina seringkali lebih banyak memperhatikan hubungan
pribadi di lingkungan kerja dibanding tugas yang ada. Pada dimensi
yang lebih luas, konsep guanxi selalu menjadi acuan utama
perusahaan dalam interaksinya dengan organisasi lain.

V. Budaya Bisnis RRC, Globalisasi, dan Semangat Kebanggaan Nasional

Cina adalah salah satu bangsa tertua di dunia yang memiliki harga diri dan
martabat yang tinggi. Sejarah panjang yang terukir dalam perjalanan peradaban
mereka mencerminkan dinamika kebudayaan yang lahir dan mati seiring
berjalannya waktu. Oleh karena itu, tidak heran jika perubahan selalu terjadi.
Berbagai kejadian domestik hingga internasional yang mempengaruhi, terbukti
menempa masyarakat Cina untuk selalu beradaptasi dengan sekitarnya.
Masih hangat di benak masyarakat internasional saat Deng Xiaoping
mengumumkan kebijakan pintu terbukanya pada 1978. Di daratan Cina
masyarakat setempat begitu antusiasnya meneriakkan slogan reformasi.
Bagaimana mungkin sebuah negara komunis totaliter yang identik dengan
ejekan “Tirai Bambu” ini, tiba-tiba saja menyulap negaranya menjadi sebuah
pasar ekonomi bebas hampir serupa dengan para seterunya, negara-negara
Barat penganut kapitalisme? Ada dua hal signifikan yang dapat menjelaskan
fenomena ini: Globalisasi dan kebanggaan nasional.
Dalam dunia moderen yang semakin sempit ini, RRC melakukan
terobosan-terobosan baru dalam menjaga eksistensinya. Hal ini sangat erat
berkaitan dengan globalisasi. Perlu diketahui, bahwa RRC merupakan pemain
lama dalam globalisasi. Hal ini sudah dilakukannya sejak awal abad Masehi
dengan dibukanya jalur sutra, dan pada Dinasti Ming mengirimkan banyak
ekspedisi ke luar negri. Hanya saja, RRC dengan paradigma-nya yang inward-

© April 2006, Denis L. Toruan 15


www.sinopaxsinica.blogspot.com

looking, memiliki cara yang unik dalam menjalankan globalisasi. Ketika dunia
asing (Barat) menyentuh teritori dan otoritas Cina secara masif pada akhir abad
ke-19, Cina mengalami perubahan yang drastis. Konsep monarki runtuh dan
digantikan dengan konsep yang lebih moderen; demokrasi republik.
Perkembangan terakhir yang kita ketahui kini, RRC menjalankan ekonomi pasar
sosialis-nya. Menurut para elit politbiro RRC, Cina saat ini sedang mengalami
tahap awal sosialisme.
Kedua, semangat kebanggaan nasional. Ketika Cina dijajah dan “dibagi-
bagi” oleh bangsa Barat (juga Jepang) pada awal abad ke-20, kebencian
terhadap bangsa asing semakin menjadi-jadi. Pihak Cina yang dipimpin oleh Sun
Yat Sen berhasil merobohkan dinasti Qing dan mengarahkan Cina ke arah
kemerdekaan dengan konsep negara yang lebih moderen dan relevan. Sangat
disayangkan bahwa agresi Jepang dan konflik domestik (pertentangan kaum
nasionalis-komunis) pada era ini, harus menunda kemerdekaan Cina. Setelah
merdeka pada 1949, kaum komunis yang memimpin RRC, mutlak tampil sebagai
penguasa tunggal. Rakyat RRC di bawah kepemimpinan Mao Zedong dipenuhi
oleh gelombang “kediktatoran proletariat”, yang muncul sebagai semangat sosial
dalam menghadapi kekuatan asing di Cina. Akibatnya, segala hal yang berbau
Barat (atau produk kapitalisme) secara ekstrem dilarang dan dienyahkan. Dunia
bisnis RRC dikontrol secara terpusat oleh pemerintah. Baru pada era Deng, RRC
memeluk pendekatan yang berbeda dalam menghadapi globalisasi, namun
masih dengan isu yang sama; kebanggaan nasional. RRC mencapai keajaiban
ekonomi yang menakjubkan dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil.
Ladang bisnis pun digarap secara serius oleh pemerintah dan dibuka luas untuk
orang asing.
Dari sudut pandang budaya, RRC saat ini mengalami begitu banyak
perubahan, akan tetapi tidak semuanya merupakan nilai-nilai kebudayaan asing
yang diadaptasi. Pada budaya bisnisnya, tidak sedikit orang Cina yang
mensikretiskan nilai-nilai lama dengan nilai bisnis moderen. Ini semua tercermin
dalam elemen kebudayaan yang muncul dalam interaksi dan operasional
perusahaan/organisasi mereka.

© April 2006, Denis L. Toruan 16


www.sinopaxsinica.blogspot.com

BIBLIOGRAFI

Boisot, M. & Child J. From fiefs to clans and network capitalism: Explaining
China’s emerging economic order. USA : Administrative Science
Quarterly, 2000.
De Dreu, C. & Van de Vliert, E. Using conflict in organizations. Beverly Hills, CA:
Sage, 1997.
Ding, D.Z. In Search of Determinants of Chinese Conflict Management Styles in
Joint Ventures: An Integrated Approach. Paper, City University of
Hongkong : Hongkong, 1996.
Fishman, Ted. C. China Inc. USA: Simon & Schuster Inc, 2005.
Henderson, Callum. China on The Brink. Singapore: McGraw-Hill, 1999.
http://chinese-school.netfirms.com
http://en.wikipedia.org
Kirkbride, P.S. Tang, S.F.Y. & Westwood, R.I. Chinese conflict preferences and
negotiating behaviour: Cultural and Psychological influences.
Organizational Studies, 12, 365-386, 1991.
Levy, Marion J., Jr & Guo Hengshi. The Rise of The Modern Chinese
Business Class. New York: Institute of Pacific Relations, 1949.
Morse, H.B., The Guilds of China. New York: Longmans, Green and
Company, 1932.
Triandis, H.C., McCusker, C. & Hui, C.H. Multimethod probes of individualism
and collectivism. Journal of Personality and Social Psychology, 1990.
Whiteley, A. (Juli 2004). Mengelola Bisnis Pendidikan dalam Konteks Budaya
Cina. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Juli 2004.
Wibowo, I. Belajar Dari Cina. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Januari 2004.
Yuan, Wang & Goodfellow, Rob. & Xin ShengZhang. Menembus Pasar Cina.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Agustus 2000.

© April 2006, Denis L. Toruan 17

You might also like