You are on page 1of 21

TUGAS HUKUM HUMANITER (KONFLIK INTERNAL DI SIERRA LEONE)

1. Ronald R 2. Gita Mareta

2007200130 2007200169

3. Indriani D.H 2008200101 4. Andri A 2008200175

5. Alvin Summa 2008200190 6. Indri D.P 2 2008200273

Kelas A

Fakultas Hukum

Universitas Katolik Parahyangan Bandung 2013 BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PERISTIWA Sumber daya alam memegang peran kunci dalam konflik yang telah melanda sejumlah negara di Afrika beberapa dekade terakhir. Hal ini mendorong konflik kekerasan dan konflik bersenjata. Pendapatan dari eksploitasi sumber daya alam tidak hanya digunakan untuk mempertahankan pasukan tetapi juga untuk pengayaan pribadi dan membangun dukungan politik. Sierra Leone, atau nama resminya adalah Republik Sierra Leone, merupakan sebuah negara di Afrika Barat yang berbatasan langsung dengan negara Guinea di timur laut, dengan negara Liberia di tenggara, dan dengan Samudra Atlantik di barat daya. Sierra Leone merupakan negara yang mengandalkan sektor pertambangan sebagai tulang punggung perekonomiannya. Negara ini merupakan salah satu negara penghasil bauksit dan titanium terbesar di dunia, dan juga emas di dalamnya. Sierra Leone adalah salah satu negara bekas koloni Inggris pada abad ke-19. Pada saat itu Inggris sedang mengalami stagnasi dan depresi ekonomi karena sangat kekurangan sumber daya alam. Pada tahun 1930, sebuah tim survei geologi menemukan berlian di Distrik Kono. Sejak penemuan berlian ini, pemerintah kolonial mulai memanfaatkan berlian sebagai sumber pendapatan mereka. Pada awal tahun 1950-an, sejumlah besar penambang gelap dari negara-negara tetangga datang ke Sierra Leone. Pada tahun 1956, telah terdapat 75.000 penambang gelap yang melakukan penyelundupan berlian dalam skala besar. Tindakan dari para penambang gelap berlian ini telah menyebabkan kekacauan hukum dan peraturan di Sierra Leone. Peristiwa penyelundupan berlian dalam skala besar ini disebut dengan istilah Great Diamond Rush. Pada tahun 1961 , Sierra Leone memperoleh kemerdekaan dari pemerintah kolonial Inggris. Negara yang baru merdeka ini diperintah oleh Milton Margai dengan cara memerintah yang sama dengan pemerintah kolonial Inggris. Kemudian pada tahun 1967, Siaka Stevens memenangkan pemilihan umum dan menjadi Presiden Sierra

Leone berikutnya. Stevens memberikan dukungan kepada kelompok penambang gelap berlian. Selain itu, Stevens dan rekan-rekannya juga mengeksploitasi berlian untuk kepentingan pribadi mereka. Setelah Stevens pensiun, ia menunjuk Kepala Militer Mayor Jenderal Joseph Saidu Momoh sebagai penggantinya. Pemerintahan Momoh menunjukkan tanda-tanda kehancuran karena didominasi oleh sisa-sisa Rezim Stevens yang korup. Akibatnya, perekonomian negara menjadi kolaps sehingga negara kekurangan pendapatan fiskal dan rakyat kehilangan kesempatan ekonomi serta bantuan sosial. Sehingga pada akhirnya pemerintah Sierra Leone tidak mampu membayar gaji para guru-guru sekolah sehingga sistem pendidikan di negara tersebut menjadi hancur berantakan. Pada tahun 1991, Sierra Leone merupakan salah satu negara termiskin di dunia, walaupun memiliki sumbersumber pertambangan yang besar, termasuk diantaranya adalah berlian, emas, bauksit, dan bijih besi. Yang akan disorot dalam tulisan ini adalah mengenai perang sipil yang terjadi di Sierra Leone yang terjadi pada tahun 1991 hingga tahun 2002. Pihak yang terlibat dalam perang ini adalah Revolutionary United Front (RUF) yang dipimpin oleh Issa Sesay, Morris Kallon, dan Augustine Gbao, dengan dukungan dari National Patriotic Front of Liberia (NPFL) yang dipimpin oleh Charles Taylor dengan Pemerintah Sierra Leone. Perang ini dimulai tepatnya pada tanggal 23 Maret 1991, untuk menjatuhkan Pemerintahan Sierra Leone yang dipimpin oleh Mayor Jendral Joseph Saidu Momoh. Perang sipil ini menyelimuti Sierra Leone selama 11 tahun dan pada akhirnya mengakibatkan korban jiwa lebih dari 50.000 orang. Pada tahun-tahun pertama peperangan, pihak RUF menguasai bagian selatan dan timur Sierra Leone, yang merupakan daerah yang kaya akan tambang-tambang berlian. Berlian-berlian yang berhasil ditambang dan dikuasai inilah yang menjadi sumber dana bagi RUF untuk membeli senjata dan amunisi dari Guinea, Liberia, atau bahkan dari tentara Sierra Leone Army (SLA) atau tentara pemerintah Sierra Leone. Pada awalnya pemberontakan yang dilakukan oleh RUF dapat dipadamkan oleh SLA, tetapi RUF tetap memiliki kekuasaan di timur dan selatan Sierra Leone, dan mengganggu perekonomian pemerintah. Tidak lama kemudian pemerintah tidak mampu membayar gaji personil SLA dan akhirnya terjadi kudeta yang dipimpin oleh Kapten Valentine Strasser yang mengakibatkan jatuhnya pemerintahan Joseph Saidu Momoh di Sierra Leone. Lalu dibentuklah National Provisional Ruling Council (NPRC) oleh Strasser, yang menjanjikan peningkatan ekonomi, pengusiran RUF, dan

mengembalikan kedamaian di Sierra Leone. Pada awalnya NPRC mendapatkan dukungan besar dari masyarakat Sierra Leone, tetapi ternyata janji itu tidak bertahan lama. Pada bulan Maret tahun 1993, dengan bantuan besar dari Economic Community of West African States Monitoring Group (ECOMOG), sebuah pasukan militer multilateral dari negara-negara Afrika Barat, SLA berhasil menguasai distrik Koidu dan Kono yang merupakan penghasil berlian dan berhasil mendesak RUF hingga mencapai perbatasan Sierra Leone-Liberia. Dengan hasil tersebut, banyak pihak yang menduga bahwa perang telah selesai karena pasukan SLA telah menguasai daerah-daerah penghasil berlian. Tetapi pihak pemerintah sangat lalai dalam memperhatikan pasukan SLA, terutama pasukan di garis depan. Pemerintah membiarkan pasukan tersebut dalam kondisi yang memprihatinkan, sehingga para pasukan tersebut menolong dirinya sendiri dengan cara mencari berlian dan bahkan menjual senjata mereka kepada pasukan RUF demi mendapatkan uang tunai. Wilayah-wilayah yang awalnya merupakan wilayah kekuasaan dari RUF, berhasil dikuasai oleh SLA. Untuk memisahkan warga sipil dan pasukan pemberontak, SLA memindahkan penduduk-penduduk sipil ke kamp-kamp konsentrasi. Walaupun sebagai tentara pemerintah, tidak dipungkiri bahwa tentara SLA memiliki sikap yang sangat buruk. Setelah para penduduk sipil dievakuasi, tidak jarang terjadi penjarahan terhadap harta milik penduduk sipil yang telah ditinggalkan, dan juga tindakan-tindakan pelecehan seksual terhadap penduduk sipil. Karena sikap-sikap tentara SLA inilah yang menyebabkan banyak penduduk sipil yang lebih memilih untuk bergabung menjadi milisi RUF daripada harus melawan mereka. Pada tahun 1995, pemerintah Sierra Leone meminta bantuan atau lebih tepatnya menggunakan jasa tentara bayaran dari Afrika Selatan. Perusahaan penyedia tentara bayaran itu adalah Executive Outcomes, dengan bayaran sebesar $ 1.8 juta dolar. Executives Outcomes disewa untuk memenuhi tiga tujuan, yaitu yang pertama mengembalikan tambang berlian dan mineral kepada pemerintah, mencari dan menghancurkan markas besar dari RUF, dan menyebarkan propaganda kepada warga Sierra Leone agar kembali mendukung pemerintah. Pasukan Executives Outcomes terdiri dari 500 penasihat militer dan 3000 pasukan militer yang sangat terlatih. Operasi-operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Executives Outcomes berhasil memukul mundur pasukan RUF dalam waktu 10 hari. Pasukan Executives Outcomes menggungguli pasukan RUF di segala bidang. Hanya dalam waktu 7 bulan, pasukan Executives Outcomes dengan bantuan SLA dan batalion Kamajors, berhasil

menguasai tambang berlian di distrik Kangari Hills yang juga merupakan benteng pasukan RUF, dan menghancurkan pangkalan utama RUF di dekat daerah Bo. Karena kekalahankekalahan inilah yang akhirnya memaksa RUF menyatakan kekalahannya dan menandatangani perjanjian damai yang disebut Abidjan Peace Accord di Abidjan, Pantai Gading pada tanggal 30 November 1996. Dengan perginya Executives Outcomes, terjadi kudeta terhadap pemerintah yang dilakukan oleh kelompok yang bernama Armed Forces Revolutionary Council (AFRC) yang dipimpin oleh Major Johnny Paul Koroma, dan mengklaim sebagai pemerintah baru di Sierra Leone. Pemerintahan Junta AFRC/RUF banyak ditentang oleh kelompok sipil Sierra Leone, seperti persatuan pelajar, asosiasi jurnalis, kelompok wanita, dan juga lainnya, bukan hanya karena kekerasan yang dilakukan AFRC, tetapi juga terhadap pelanggaran hak-hak politik warga sipil dan juga hak asasi manusia. Dunia Internasional, termasuk juga PBB mengutuk kudeta tersebut. Para duta besar negara-negara lain ditarik dari Sierra Leone dan juga keanggotaan Sierra Leone di Commonwealth juga ditangguhkan. Pasukan militer negaranegara Afrika Barat (ECOMOG) juga meminta kepada AFRC/RUF untuk menyerahkan kembali pemerintahan kepada Presiden Kabbah secara damai. Atas intervensi dari militer ECOMOG, maka pihak AFRC/RUF mau menandatangani perjanjian damai sementara yang disebut dengan Conarky Peace Plan. Meskipun telah menyetujui perjanjian damai tersebut, pihak AFRC/RUF tetap melanjutkan pertempuran. Pada bulan Maret 1998, pasukan ECOMOG mengambil alih ibukota Sierra Leona, yaitu Freetown dan mengembalikan posisi pemerintahan presiden Kabbah, tetapi membiarkan AFRC/RUF pergi. Pada bulan Januari tahun 1999, AFRC/RUF melaksanakan operasi yang disebut Operation No Living Thing di Freetown untuk merampok, memperkosa, dan membunuh secara masif. Human Rights Watch melaporkan bahwa paling tidak ada 7.000 korban tewas dan diperkirakan setengahnya adalah warga sipil. Karena tidak mampu menghadapi AFRC/RUF, presiden Kabbah akhirnya terpaksa menandatangani perjanjian damai yang disebut dengan Lome Peace Accord. Isi dari perjanjian ini kurang lebih adalah untuk memberikan posisi strategis di pemerintahan bagi pimpinan AFRC/RUF yaitu Foday Sankoh dan juga memberikan amnesti kepada dirinya dan juga pasukannya atas segala perbuatan yang telah dilakukan. Setelah perjanjian tersebut, ternyata kondisi di Sierra Leone tetap tidak stabil karena banyak pemberontak yang menolak untuk mematuhi perjanjian tersebut.

Akhirnya PBB membentuk United Nations Mission to Sierra Leone (UNAMSIL) untuk memberikan bantuan pelucutan senjata. Berbeda dengan pasukan perdamaian sebelumnya, UNAMSIL dibekali dengan perlengkapan militer yang tidak main-main dan dengan jumlah pasukan hingga 17.500 orang, jumlah pasukan terbesar yang diterjunkan oleh PBB dalam suatu misi perdamaian. Tetapi jumlah pasukan yang besar ini tidak menyurutkan nyali pihak RUF, bahkan berani menyerang dan menyandera pasukan UNAMSIL. Tetapi pada akhirnya setelah sekian operasi-operasi yang dilakukan UNAMSIL, keadaan di Sierra Leone dapat dikendalikan. Pada tanggal 18 Januari 2002, presiden Kabbah menyatakan bahwa perang sipil telah berakhir, perang yang menyebabkan 50.000 orang kehilangan nyawanya.

B. Akar Permasalahan Konflik Sierra Leone


Konflik yang terjadi di suatu wilayah dapat dipahami dari berbagai perspektif, yaitu antara lain dari ; 1. Perspektif kebutuhan manusia, yang berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia fisik, mental, dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. 2. Perspektif identitas, yang berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. dan 3. Perspektif transformasi konflik, yang berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Greg Mitchell, menjelaskan mengenai eksploitasi berlian yang telah mencemari konflik internal di Sierra Leone. Menurut Mitchell, Sierra Leone adalah negara yang sangat kaya, namun diperintah oleh pemerintahan yang korup dan predator sehingga muncul gerakan pemberontakan revolusioner RUF yang meneror populasi sipil dan memperoleh keuntungan dari industri berlian Sierra Leone. Dalam tulisannya, Mitchell menjelaskan eksploitasi ekonomi terhadap berlian dalam tingkat lokal, regional dan internasional yang terjadi selama periode perang. Eksploitasi berlian itu sendiri dilakukan oleh RUF dan Presiden Liberia Charles Taylor.

B.1 Faktor Pemerintahan yang buruk Secara umum akar permasalahan pada perang internal di Sierra Leone telah dialami sejak awal pembentukan negaranya. Menurut Michael E.Brown kondisi domestik yang pada akhirnya dapat membawa suatu negara pada perang internal umumnya terletak pada persoalan mendasar yang telah berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Persoalan mendasar pada kasus perang internal di Sierra Leone ini terutama disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Bidang politik dan ekonomi. Oleh karena itu, usaha untuk menciptakan perdamaian di Sierra Leone harus diarahkan pada penyelesaian persoalan mendasar yang terjadi di negara tersebut. 2. Warisan historis dari pemerintah. Selain faktor persoalan mendasar tadi, faktor lain yang juga menjadi pemicu timbulnya konflik internal di Sierra Leone adalah warisan historis dari pemerintah, karena warisan historis tersebut, baik langsung maupun tidak langsung, juga turut berperan dalam membentuk struktur politik dan ekonomi di suatu negara. 3. Perdagangan budak. Konflik internal yang berlarut-larut di Sierra Leone berhubungan erat dengan sejarah negara ini yang merupakan bekas koloni Inggris. Motif pemerintah Inggris mendirikan koloni di Sierra Leone adalah untuk kepentingan ekonominya. Sebagian besar penduduk asli di benua Afrika sejak tahun 1750 telah dijadikan komoditas utama perdagangan budak oleh pemerintah kolonial. Ketika tahun 1787 perbudakan mulai dihapuskan dan Sierra Leone dijadikan sebagai tempat penampungan bagi budak-budak yang dibebaskan, pemerintah kolonial Inggris tetap berperan dalam struktur pemerintahan yang baru dibentuk di negara tersebut. Faktor persediaan sumber daya alam yang melimpah, terutama tambang berlian di Sierra Leone menjadi alasan Inggris untuk tetap menjalankan peran sebagai pemerintah kolonial dan meraih keuntungan dari sumber daya alam tersebut. Atas dasar kepentingan ekonomi

tersebut, maka peran pemerintah kolonial tidak dapat dipisahkan dari akar permasalahan yang terjadi dalam perang internal di Sierra Leone. Sejak periode perdagangan budak di benua Afrika, pertikaian antar kelompok etnik di Afrika sudah menjadi fenomena yang umum terjadi. Sebagian hal tersebut disebabkan oleh adanya politik adu domba dan kebijakan segregasi yang diterapkan oleh pemerintah kolonial untuk menciptakan pertikaian antar kelompok etnik. Kebijakan ini diberlakukan agar antar kelompok etnis tersebut tidak dapat mengadakan konsolidasi untuk menciptakan perlawanan terhadap pemerintah colonial. Dengan demikian kepentingan ekonomi untuk mengambil penduduk asli sebagai komoditas perdagangan budak tidak akan terganggu. Tetapi untuk periode selanjutnya, kepentingan penguasaan sumber daya alam akan menjadi faktor yang lebih dominan bagi keterlibatan pemerintah kolonial, seperti Inggris, di benua Afrika.

4. Karakteristik pemerintahan. Dalam kasus di Sierra Leone, pasca pemberian kemerdekaan dari pemerintah Inggris, karakteristik pemerintahannya memiliki kesamaan pola. Pertama, di bidang politik sejak awal seluruh pemerintah yang memimpin di Sierra Leone memiliki persamaan dalam praktek penyelenggaraannya negara. Sentralisasi power pada kelompok politik tertentu, misalnya SLPP atau APC, umumnya bernuansakan sentimen antar kelompok etnik meskipun secara keseluruhan sentralisasi ini tetap berfokus pada landasan penggolongan berdasarkan partai politik. Dalam hal ini setiap partai yang berkuasa di Sierra Leone memiliki kecenderungan untuk mempertahankan dominasi kelompoknya dengan cara mengeliminir kelompok politik lainnya. Seringkali sentimen antar kelompok politik ini meluas pada kecenderungan untuk menekan kelompok etnik yang minoritas. Kecepatan dan kemudahan yang dialami oleh Sierra Leone dalam memperoleh kemerdekaan membuat negara ini harus menghadapi tantangan yang besar. Kebanyakan negaranegara Afrika baru tersebut ditinggalkan untuk memerintah negara mereka sendiri tanpa manajer dan teknisi yang memiliki kemampuan yang mencukupi, baik dalam pemerintahan maupun bisnis. Sierra Leone semakin melemah pada tahun 1970-an dan 1980-an, dan kemudian collapse/hancur pada tahun 1990-an. Kegagalan negara Sierra Leone tidak hanya didorong oleh kevakuman kekuasaan yang mendadak saja, tetapi

juga berasal dari strategi para pemimpin politik yang disengaja untuk melemahkan struktur Negara, pelayanan masyarakat dan institusi ketika mereka memonopoli dan mengekploitasi sumber daya ekonomi. Semua pemerintahan yang pernah berkuasa di Sierra Leone, tidak memiliki kesiapan politik, sosial, ekonomi, dan pendidikan untuk memimpin Sierra Leone. Pada akhirnya hal ini berdampak pada ketidakmampuan mereka untuk menjalankan pemerintahan yang baik sehingga akibatnya Sierra Leone menjadi collapse/hancur dan lemah terhadap berbagai serangan pemberontakan yang berlarut-larut. Pergantian pemerintahan dari satu figur ke figur yang lainnya memenuhi kriteria yang lazim terjadi dalam politik di Afrika sebagai Big Man atau Strong Man. Figur pemimpin ini memiliki kemampuan untuk menguasai massa, cenderung manipulatif dalam memanfaatkan kelompok pendukungnya, dapat menjalankan kepemimpinannya secara otoriter ataupun dengan persuasif sesuai dengan kondisi yang diinginkannya. Pemimpin dengan model Big Man ini seringkali memegang kursi pemerintahan di banyak negara-negara Afrika; demikian pula halnya dengan yang terjadi di Sierra Leone. Sejak awal Albert Margai, Siaka Stevens, dan pemimpin Sierra Leone berikutnya memiliki kecenderungan untuk hal tersebut. B.2 Faktor Berlian Permasalahan dalam sektor berlian, baik secara langsung atau tidak langsung telah mencemari konflik di Sierra Leone. Pertama; berlian adalah insentif untuk melakukan kekerasan. Hal ini dipraktekkan baik oleh RUF dan tentara pemerintah. Kedua kelompok ini menunjukkan ketertarikan dalam penambangan berlian secara illegal. Pertempuran yang teratur dalam konflik internal ini memang jarang terjadi, namun pertempuran yang terjadi seringkali berlokasi di sekitar wilayah berlian. Ribuan penduduk sipil telah dijauhkan dan diusir dari wilayah yang kaya akan berlian oleh para pemberontak RUF. Kedua; berlian telah membantu dalam hal pembiayaan aksi kekerasan. Kelompok RUF telah menggunakan berlian untuk membeli persenjataan, baik dari tentara pemerintah maupun dari luar negara. Sejumlah pedagang berlian yang ikut memperoleh keuntungan dari aksi kekerasan, juga membantu membiayai aksi pemberontakan RUF. Ketiga; berlian juga telah membantu memperburuk konflik karena telah menimbulkan frustrasi yang diakibatkan oleh keuntungan yang tidak seimbang dari penambangan berlian. Secara historis, keuntungan berlian telah diperoleh lebih banyak oleh pihak luar. Alluvial Diamond Mining Scheme yang dibentuk pada tahun 1955

telah menciptakan kesempatan penambangan legal oleh penduduk lokal, namun demikian pada prakteknya yang mampu membeli perijinan dan peralatan dasar yang diperlukan adalah para pedagang, polisi setempat, para pejabat dan pegawai sipil. Mereka ini kemudian membagi keuntungan kepada rakyat biasa dengan syarat rakyat biasa berkewajiban untuk menggalinya. Warga Lebanon di Sierra Leone kemudian menggunakan akses superiornya untuk memperoleh modal sehingga dapat mendominasi sektor pertambangan berlian lokal yang baru. Di sisi lain, Siaka Stevens pada saat itu menawarkan kekebalan kepada para pendukung yang loyal pada penggalian berlian illegal. Sementara itu, para pemimpin di wilayah berlian menjadi semakin kaya karena berlian dan memperoleh keuntungan dari kemampuan mereka dalam mengolah perijinan dan menguasai wilayah yang terbaik. Keluarga penguasa pasti mempunyai hak kepemilikan di tanah yang kemudian akan mereka sewakan kepada orang lain berdasarkan keturunan, dimana kepemilikan utama tetap dipegang oleh keluarga penguasa untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Rendahnya pendapatan pajak yang diperoleh pemerintah dari penambangan berlian juga menjadi pemicu timbulnya konflik internal. Berlian selalu menjadi hal penggoda bagi para penyelundup karena bentuknya yang sangat kecil dan nilainya yang sangat berharga. Cara penyelundupan berlian hingga sampai ke pasar internasional ditentukan oleh kemudahan mereka untuk dibawa keluar dari satu negara ke negara lain secara tersembunyi. Perbatasan negara yang melintasi batas daratan Afrika Barat sangat lemah dan terisolasi sehingga para penyelundup, imigran dan pedagang dengan mudah dapat menyeberangi perbatasan untuk membawa barang-barang selundupan ke pasar. Pada jalur perlintasan resmi antara Sierra Leone, Guinea dan Liberia, terdapat 60-80 perbatasan yang tidak dijaga melalui semak-semak yang lebat, menyeberangi sungai dan melalui pegunungan, dimana ribuan mil dari daerah perbatasan sangat lemah dalam hal penjagaan sehingga seringkali terjadi penyelundupan berskala besar. Arus berlian selundupan yang keluar dari Afrika Barat sangat sulit untuk dilacak keberadaannya, sehingga komunitas internasional enggan menyalahkan penyelundupan kepada aktor lokal dan regional. Pada tahun 1999, ekspor resmi berlian Liberia hanya 8500 karat, padahal sebenarnya jumlah berlian yang diselundupkan hampir mencapai 80.000 karat. Secara historis, Liberia telah menjadi jalur utama bagi para penyelundup berlian. Liberia memperoleh berlian selundupan dari para penambang gelap di Sierra Leone dan juga dari kelompok pemberontak RUF. Dari

Liberia, berlian dapat dijual dengan mudah karena dollar Amerika adalah mata uang resminya dan dalam penjualannya hanya ada sedikit pengawasan dari Tel Aviv dan Antwerp. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara tingkat lokal, regional dan internasional dalam hal penyelundupan berlian. Perdagangan berlian adalah sebuah masalah yang sangat mengkhawatirkan karena adanya pencemaran ekonomi (selama berlangsungnya konflik tersebut, dapat dilihat bahwa akibat keuntungan yang besar dari berlian, rakyat Sierra Leone mengalami terror, pembunuhan dan kemiskinan) dalam konflik di Sierra Leone, yang sebagian besar disebabkan oleh berlian. Hal ini semakin memperburuk perekonomian Sierra Leone karena perang internal tersebut, sehingga Sierra Leone tercatat sebagai salah satu negara termiskin di dunia, menurut Bank Dunia.

C. Kasus posisi
1. Pada tahun 1930, telah ditemukan suatu deposit berlian dalam jumlah yang besar di bagian Timur Distrik Kono. Berlian ini kemudian menjadi komoditas ekspor terbesar di Sierra Leone, setelah kelapa sawit. Selanjutnya di tahun 1933, di daerah Marampa, Distrik Port Loko, dibangun sebuah pertambangan biji besi, yang kemudian juga mempunyai peran yang signifikan dalam total ekspor dari Sierra Leone. Besi dan berlian kemudian menjadi dua komoditas utama yang pada akhirnya sangat berperan dalam meningkatkan perekonomian Sierra Leone. 2. Pada tahun 1933, di daerah Marampa, distrik Port Loko dibangun sebuah pertambangan bijih besi, yang kemudian juga mempunya peran yang signifikan di Sierra Leone. Besi dan berlian menjadi dua komoditas utama yang sangat berperan untuk meningkatkan perekonomian di Sierra Leone. 3. Sekitar tahun 1951-1961 terjadi peralihan kekuasaan di Sierra Leone dimana pemerintah kolonial memberikan kursi pemerintahannya kepada beberapa warga negara Sierra Leone. Hal ini terlihat dari beberapa warga Sierra Leone menjadi menteri pada tahun 1953. Kementerian ini bertugas untuk mengatur pemerintahan dalam negeri, kecuali masalah hubungan luar negeri dan pertahanan. Dalam susunan kementerian tersebut Sir Milton Margai

merupakan salah satu warga negara Sierra Leone yang ada di dalamnya dan menjabat sebagai CHIEF MINISTER. 4. Sierra Leone memperoleh kemerdekaannya yang diberikan pemerintah kolonila inggris pada tahun 1961. Dari sejak itu Sierra Leone mewarisi sistem pemerintahan parlementer, dengan Milton Margai yang merupakan pimpinan Sierra Leone People Party yang ditunjuk sebagai Presiden. Milton Margai kemudian meninggal pada tahun 1964 dan di gantikan oleh adiknya Sir Albert Margai yang memimpin sierra Leone dari tahun 1964-1967. 5. Pada pemilihan umum 1967, Gubernur Jenderal Sierra Leone menetapkan Siaka Stevens, yang merupakan pemimpin partai All Peoples Conggers (APC), sebagai presiden Sierra Leone. Pada masa pemerintahannya di Sierra Leone, terdapat kesenjangan antara kelompok etnik Kreole di Freetown yang mendominasi sector politik dan ekonomi di awal periode colonial selama 150 tahun dengan kelompok lainnya yang mempunyai tingkat kependudukan yang lebih tinggi dan bersifat less developed. Selain itu juga terdapat kesenjangan di bidang ekonomi dan politik antara wilayah bagian utara Sierra Leone yang didominasi kelompok Temne dan Kriom, dengan wilayah bagian selatan yang di dominasi oleh kelompok yang menggunakan bahasa Mende.

6.

Pada pertengahan 1980-an kondisi domestic di Sierra Leone, ditandai dengan adanya tingkat inflasi yang tinggi dan menurunnya kekuasaan pemerintah, tidak tersedianya bahan pangan, meluasnya korupsi, dan juga semakin tingginya tingkat penggangguran pada generasi muda serta meningkatnya gerakan radikalisme dari mahasiswa.

7.

Stevens pensiun pada tahun 1985, dan ia menunjuk Mayor Jenderal Joseph Saidu Momoh menjadi penggantinya. Pada masa pemerintahan Momoh, terdapat kecenderungan meningkatnya jumlah penggangguran sehingga menjadi pemicu timbulnya kekerasan dan kriminalitas, serta penggunaan obatobatan terlarang, serta meningkatnya tingkat korupsi yang dilakukan oleh Momoh.

8.

Lemahnya kepemimpinan dari Momoh ini, kemudian di manfaatkan oleh dua pihak oposisi. Pertama ; Kopral Foday Sankoh yang memimpin pemberontakan melalui Revolutionary United Front (RUF) dan didukung oleh pasukan pemberontak National People Front (NPFL) di Liberia. RUF merupakan sebuah kelompok pemberontak yang berasal dari spillover pemberontakan di negara tetangga Liberia. Pada tahun 1987, terjadi percobaan kudeta terhadap pemerintah Momoh yang menandai awal dari kejatuhan pemerintahannya. Hal ini di dukung dengan sikap dendam Charles Taylor, warlodrs / tokoh perang Liberia ( menjadi presiden pada tahun 1997 ), yang diakibatkan oleh ditolaknya tawaran Taylor, untuk beroperasi di sebelah timur Sierra Leone dengan iming-iming uang , oleh Momoh.

9.

Pada tanggal 23 Maret 1991, RUF menyerang sebelah timur Sierra Leone dari Liberia. Pada saat ini lah konflik internal di Sierra Leona terjadi. Tujuan RUF melakukan aksi pemberontakan ini adalah untuk mengakhiri kekuasaan rezim APC yang telah berlangsung kurang lebih 24 tahun di Sierra Leone.

10.

Kedua; Kapten Valentine Strasser yang memimpin kelompok yang terdiri dari para tentara, melakukan aksi kudeta militer. Pada tahun 1992, Strasser berhasil menjatuhkan pemerintahan Momoh dan kemudian memerintah Sierra Leone melalui badan pemerintahan yang baru, The National Provisional Rulling Council (NPRC). Pada masa pemerintahannya Strasser menyewa EO (Executive Outcomes), perusahaan keamanan tentara bayaran dari Afrika Selatan, dengan tujuan membantu tentara pemerintahan untuk melawan RUF.

11.

Pada tahun 1991, pecah perang sipil antara pasukan pemerintah dan kelompok pemberontak di seluruh wilayah Sierra Leona. Tahun 1996 diadakan pemilihan umum multipartai yang dimenangkan oleh Ahmad Tejan Kabbah yang merupakan memimpin dari Sierra Leone People Party (SLPP), yang kemudian menjadi presiden Sierra Leone berikutnya. Pada masa pemerintahannya, presiden Kabbah menandatangani perjanjian damai Abidjan (Abidjan Peace Accord) dengan pihak RUF pada akhir November 1996.

Perjanjian ini menetapkan pembentukan pasukan penjaga perdamaian yang netral, penarikan EO dan penarikan semua pasukan asing dari Sierra Leona. Kelompok pemberontak utama, Revolutionary United Front (RUF), yang dipimpin Foday Sankoh, menandatangani gencatan senjata dengan presiden Ahmad Tejan Kabbah pada Mei 1999. Tanggal 29 April 2000 pasukan PBB digelar dalam kapasitasnya sebagai pasukan penjaga perdamaian. Pada awal Mei gencatan senjata dibatalkan karena RUF menawan 500 pasukan penjaga perdamaian PBB dan menyerang ibukota Freetown. 12. Pada tanggal 7 Mei 2000, 800 personil battalion ke-1 Parachute Regiment diterjunkan di Sierra Leone untuk memperkuat pasukan PBB. Batalion ini melakukan operasi militer yang tujuan pertama adalah mengamankan bandara internasional Sierra Leone di Lunghi sebelah utara ibukota Freetown, yang berhasil menagamankan bandara tanpa insiden. Kemudian, pada tanggal 25 Agustus 2000, kelompok geng milisi yang dikenal dengan sebutan West Side Boys berhasil menyandera 11 anggota Royal Irish Regiment British Army, 5 orang dilepaskan sebagai ganti permintaan telepon satelit. Para prajurit yang dibebaskan kembali dengan kisah penyiksaan, eksekusi pura-pura dan perampasan air dan makanan. Pemerintah inggris menyadari bahwa mereka harus bertindak cepat untuk menyelamatkan sandera yang masih ditawan. Operasi penyelamatan dinamakan Operasi BARRAS dilaksanakan pada tanggal 10 September 2000.

BAB II Kejahatan Kemanusiaan yang Terjadi Selama Perang Sipil Sierra Leone
Selama perang sipil yang terjadi 11 tahun di Sierra Leone, telah terjadi berbagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Salah satu yang terjadi adalah penggunaan tentara anak yang dilakukan oleh pihak RUF. Diperkirakan terdapat 10.000 tentara anak yang dimiliki, dan sebagian besar terlibat dalam konflik tersebut. Tentara anak ini umumnya digunakan untuk menyerang desa-desa dan menjaga tambang-tambang berlian dan gudang-gudang persenjataan milik RUF. Tentara anak ini digunakan secara luas oleh RUF, dan RUF melakukan tindakan pencucian otak terhadap anak-anak tersebut yang mengakibatkan mereka menjadi ganas. Ribuan anak-anak diculik dari desa mereka dan dipaksa menjadi tentara dan ada pula yang dijadikan prostitusi. Mereka yang dipilih menjadi tentara tidak jarang dipaksa untuk membunuh orang tua mereka sendiri. Disamping melakukan tindakan pencucian otak, para tentara anak ini dipaksa untuk mengkonsumsi kokain agar mereka tidak memiliki rasa takut. Selama perang tersebut, anggota-anggota militer RUF yang tertangkap oleh tentara pemerintah langsung dieksekusi mati. RUF sendiri tidak tinggal diam atas tindakan tersebut, para tentara pemerintah yang berhasil ditangkap oleh RUF, dipotong tangannya dengan mengirim pesan Kau tidak mengangkat senjata untuk menghadapi saudaramu. Dengan menggunakan parang, para anggota RUF juga memotong anggota tubuh warga sipil Sierra Leone, seperti tangan, lengan, dan juga kaki. Alasan tindakan ini adalah agar mereka tidak mampu lagi melakukan tindakan penambangan dan juga tidak akan mampu membantu pasukan pemerintah, termasuk juga supaya tidak bisa ikut serta dalam pemilihan umum. Pasukan RUF mengatakan bahwa terkadang mereka juga melakukan praktek kanibalisme

BAB III Para Pelaku Kejahatan Kemanusiaan


A. Charles Taylor Charles Taylor, atau nama lengkapnya adalah Charles McArthur Ghankay Taylor, adalah Presiden ke-22 Liberia. Selama jabatannya sebagai presiden, Charles Taylor dituduh telah melakukan kejahatan perang dan juga kejahatan terhadap kemanusiaan dalam keterlibatannya dalam Perang Sipil di Sierra Leone. Kejahatan yang dilakukannya selama perang sipil tersebut adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Tindakan Terorisme Pembunuhan Kekerasan Terhadap Kesehatan, Jiwa, dan Hidup Orang Lain Perkosaan Perbudakan Seksual Kekerasan Terhadap Martabat Orang Lain Menggunakan Anak-Anak Sebagai Tentara Perbudakan Dan Tindakan Penjarahan

Atas kejahatan-kejahatan tersebut, Charles Taylor dinyatakan bersalah oleh Special Court Of Sieraa Leone (SCSL) di Den Haag, dan dijatuhi hukuman penjara selama 50 tahun. B. Foday Sankoh Foday Saybana Sankoh adalah pendiri dan pemimpin kelompok pemberontak di Sierra Leone, Revolutionary United Front (RUF). Selama Perang Sipil di Sierra Leone, dia dituduh melakukan berbagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti

perkosaan, perbudakan seksual, pembunuhan, penggunaan tentara anak, dan perbudakan. Tetapi Foday Sankoh meninggal dunia akibat stroke pada saat sedang menunggu dilaksanakannya peradilan untuknya. C. Issa Sesay Issa Hasan Sesay, merupakan perwira senior dan komandan dari RUF dan AFRC/RUF. Pada tanggal 7 Maret 2003, dia didakwa oleh Special Court for Sierra Leone (SCSL) atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk di dalamnya adalah meneror warga sipil, pembunuhan brutal, kekerasan seksual, penggunaan tentara anak, penculikan, kerja paksa, penjarahan, dan penyerangan terhadap pasukan perdamaian PBB UNAMSIL. Dia akhirnya dijatuhi hukuman 40 tahun penjara oleh Special Court for Sierra Leone di Freetown, Sierra Leone. D. Morris Kallon Morris Kallon atau nama lainnya adalah Bilai Karim, adalah komandan dari RUF. Pada bulan Februari 2009 dia dinyatakan bersalah atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan dan dijatuhi hukuman penjara selama 40 tahun oleh Special Court for Sierra Leone di Freetown, Sierra Leone. E. Augustine Gbao Augustine Gbao adalah komandan dari RUF dari tahun 1991 hingga penangkapan terhadap dirinya pada tahun 2002. Pada bulan Februari 2009 dia dinyataka bersalah oleh Special Court For Sierra Leone atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan dan dijatuhi hukuman penjara selama 25 tahun.

F. Johnny Paul Koroma Johnny Paul Koroma adalah pemimpin dari kelompok AFRC/RUF. Selama pemerintahannya di Sierra Leone terjadi berbagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Setelah pemerintahan yang dipimpinnya jatuh, dia dilaporkan melarikan diri dan menjadi buronan. Diperkirakan dia telah meningal dunia pada tahun 2003.

BAB IV Peran PBB dalam Konflik Sierra Leone


A. Peran Diplomasi dan Mediasi Keterlibatan PBB dalam mengatasi konflik internal di Sierra Leone dimulai pada bulan November 1994. Diawali dengan permohonan dari Presiden Sierra Leone melalui surat kepada Sekjen PBB, untuk membantu memfasilitasi negosiasi antara pemerintahan Sierra Leone dengan RUF. Pada bulan Desember 1994, PBB kemudian mengadakan misi eksploratif untuk menganalisis konflik tersebut. Berdasarkan laporan dari tim misi eksploratif tersebut, dapat dikatakan bahwa negara tersebut mengalami banyak kerusakan dalam berbagai hal sebagai akibat dari konflik yang sudah berjalan selama tiga tahun. Baik secara politik, ekonomi, sosial, moral dan struktural, Sierra Leone telah mengalami suatu kemunduran. Salah satu faktor yang merupakan pemicu konflik tersebut adalah berlian. Hal ini terbukti pada tindakan yang dilakukan baik oleh RUF dan tentara pemerintah, dimana berlian telah membantu RUF dalam hal membiayai tindakan kekerasan yang dilakukan mereka. RUF menggunakan berlian untuk membeli persenjataan, baik dari tentara pemerintah, maupun dari luar negeri. Selain itu faktor pemerintahan yang lemah dan buruk juga memperparah keadaan di Sierra Leone dimana pemerintahan yang ada selama ini tidak dapat menjalankan pemerintahan yang baik sehingga akibatnya Sierra Leone menjadi collapse dan lemah terhadap berbagai serangan pemberontakan yang berlarut-larut. Berdasarkan data-data tersebut, PBB kemudian menunjuk utusan khusus dari Ethiopia, Berhanu Dinka, untuk menegosiasikan perjanjian yang mengutamakan dikembalikannya asas pemerintahan di tangan rakyat. Hal tersebut dilakukan karena selama ini rakyat tidak mendapat perlakuan yang adil dan tidak dapat menentukan nasibnya sendiri, yang diakibatkan oleh pemerintahan yang bersifat otoriter selama ini. Dalam hal ini PBB, bekerjasama dengan OAU (Organization of African Unity) dan ECOWAS (Economic Community of West African States), dengan diwakili utusannya masing-masing, melakukan mediasi dan perundingan untuk mencari penyelesaian dan mengembalikan kekuasaan sipil. Kerjasama ini dilakukan karena OAU dan ECOWAS

merupakan organisasi regional di Afrika. DK PBB dapat memberikan pengesahan operasi perdamaian kepada organisasi regional, karena organisasi regional memiliki peran yang penting dalam operasi perdamaian mengingat kedekatan wilayah dengan daerah konflik, organisasi regional memiliki kekhawatiran yang besar terhadap situasi yang terjadi dan akan berusaha untuk mencegah penyebaran konflik yang dapat membahayakan keseluruhan kawasan. Adanya kesamaan budaya, tradisi, geografi dan\ terkadang persamaan sejarah, agama dan kesamaan persenjataan dan pelatihan militer, yang dimiliki oleh organisasi regional, memberikan pengetahuan dan analisa yang lebih mendalam mengenai akar permasalahan, sehingga hal-hal ini juga menjadi faktor penting dalam mengatasi dan menghentikan konflik. Hasil dari proses perundingan tersebut terlihat dengan diadakannya Pemilu Sierra Leone pada Februari 1996, dengan kesepakatan kelompok tentara (dibawah pimpinan Brigadir Jenderal Julius Maada Bio) melepaskan kekuasaan pada pemenang pemilu tersebut, yaitu Ahmad Tejan Kabbah. Namun demikian, RUF tidak menyetujui atas hasil pemilu tersebut, karena kekuasaan di negara ini telah diambil oleh pemerintah sipil, sehingga konflik pun kembali terjadi. Pada bulan November 1996, Berhanu Dinka kembali melakukan negosiasi perjanjian perdamaian antara RUF (dibawah pimpinan Foday Sankoh) dan pemerintahan Sierra Leone, yang kemudian dikenal dengan Abidjan Accord/ Perjanjian Damai Abidjan, yang isinya antara lain; menetapkan pembentukan pasukan penjaga perdamaian yang netral dan penarikan semua pasukan asing dari Sierra Leone. Akan tetapi, perjanjian tesebut pun gagal terlaksana, karena setelah itu muncul gerakan militer dari RUF yang didukung dengan bergabungnya Mayor Jenderal Paul Karoma, yang merupakan pemimpin dari tentara Sierra Leone/Sierra Leone Army (SLA), yang kemudian membentuk pemerintahan Junta Militer, sehingga menyebabkan Presiden Kabbah dan seluruh staf pemerintahannya melarikan diri ke Guinea. Hal ini menunjukkan bahwa hukum tidak berlaku dan tidak dapat ditegakkan lagi di Sierra Leone. Melihat hal tersebut, pada tanggal 8 Oktober 1997, DK PBB kemudian mengeluarkan Resolusi 1132 yang isinya antara lain; memberlakukan sanksi terhadap junta AFRC, melarang segala bentuk impor terhadap perlengkapan militer dan minyak ke dalam Sierra Leone, serta menghimbau semua negara anggota untuk menyediakan bantuan teknis dan logistik dalam rangka mendukung dan membantu ECOWAS untuk menyelesaikan tanggungjawabnya pada implementasi dari resolusi ini. Selain itu dalam resolusi ini PBB juga

memberikan wewenang kepada ECOWAS untuk menjamin pelaksanaan embargo, dengan menggunakan pasukan ECOMOG (The Economic Community of West African States Monitoring Group). B. Peran Pasukan Perdamaian PBB Melengkapi diplomasi pencegahan, peran PBB yang lain pada konflik internal di Sierra Leone adalah peran operasi perdamaian melalui penempatan preventif dan pelucutan senjata preventif. Penempatan preventif/penempatan para pengawas perdamaian di lapangan dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya konflik yang dimaksudkan untuk menarik garis biru yang tipis (Thin Blue Line) , guna membantu menahan jangan sampai terjadi konflik dan membangun rasa saling percaya. Thin Blue Line sendiri ditujukan kepada penempatan pasukan pengawas perdamaian, yang dikenal dengan sebutan the blue helmet, secara merata di daerah konflik tersebut. Pelucutan senjata preventif berusaha untuk mengurangi jumlah senjata ringan di wilayah-wilayah konflik. Di El Salvador, Mozambique dan di tempat-tempat lain, upaya ini menghasilkan demobilisasi kekuatan-kekuatan bersenjata dan pengumpulan serta penghancuran senjata mereka yang terlibat sebagai bagian menyeluruh dari perjanjian damai. Menghancurkan senjata-senjata kemarin akan mencegah pemanfaatannya dalam peperangan di kemudian hari. Dalam kaitannya dengan konflik internal Sierra Leone, operasi perdamaian yang dilakukan oleh PBB dapat dikatakan telah meliputi dan mencakup tugas-tugas dan mandatmandat mulai dari yang sederhana (seperti bantuan terhadap kegiatan sipil, good offices dan lain-lain) sampai dengan yang sulit (seperti melakukan negosiasi, pengawasan gencatan senjata, kontrol senjata, demobilisasi dan reintegrasi, bantuan/pengembalian pengungsi, perlindungan terhadap bantuan kemanusiaan, melindungi korban sipil, menjaga kondisi agar tetap aman, menciptakan kondisi yang aman dan kontrol senjata secara paksa, dan lain-lain), sesuai dengan penjelasan diatas, melalui peran UNOMSIL dan UNAMSIL.

BAB 5 KESIMPULAN 1. Konflik ini merupakan campuran dari berbagai penyebab yang rumit. Akar penyebabnya secara esensial kemungkinan adalah masalah internal, tetapi menjadi lebih rumit karena terlibatnya masalah penyebrangan batas baik oleh negara atau kepentingan ekonomi, serta keterlibatan pelaku non-negara. 2. Konflik-konflik yang terjadi menunjukan kumpulan dari berbagai masalah diantaranya berupa pertikaian sipil dan ekspor ilegal sumber daya alam yang pada akhirnya mendorong pembelian senjata. 3. Pada umumnya negara-negara di Afrika Barat memiliki pemerintahan yang lemah karena mereka sebenarnya tidak memiliki kesiapan politik, sosial dan ekonomi untuk memimpin negaranya, sehingga pada akhirnya hal ini berdampak pada ketidakmampuan mereka untuk menjalankan pemerintahan dengan baik dan mengatasi berbagai pemberontakan. Hal inilah yang terjadi di Sierra Leone.

You might also like