You are on page 1of 25

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Preterm Premature Rupture of Membrane (PPROM) didefinisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan, dan pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu, dimana dalam keadaan normal, selaput ketuban pecah dalam proses persalinan (Valemhnska, 2009; Parry& Strauss, 1998). PPROM merupakan salah satu komplikasi sering pada kehamilan, yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal serta maternal (Parry& Strauss, 1998). Kejadian PPROM terjadi 3% dari semua kehamilan, dan menyebabkan 1 dari 3 persalinan prematur (Canfolat, 2011). Terjadinya ketuban yang pecah dalam proses persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi uterus dan peregangan berulang. Pecahnya selaput ketuban juga berkaitan dengan perubahan proses biokimia yang terjadi dalam kolagen matriks ekstra selular amnion, korion, dan apoptosis membran janin. Komplikasi yang disebabkan akibat PPROM pada usia kehamilan, antara lain infeksi maternal dan neonatal, persalinan prematur, hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin, gagalnya persalinan normal, atau meningkatnya insiden seksio sesaria (Saifuddin, 2008). Penegakan diagnosis pecahnya selaput ketuban pada kehamilan adalah dengan adanya cairan ketuban di vagina. Penentuan cairan ketuban dapat dilakukan dengan tes lakmus (Nitrazin test) yang menunjukkan perubahan warna menjadi warna biru. Selain itu, perlu ditentukan pula usia kehamilan dan ada atau tidaknya tanda-tanda infeksi. Penanganan pada PPROM tergantung pada diagnosis yang ditegakkan, yang terdiri dari penanganan konservatif dan penanganan aktif (Saifuddin, 2008). 1.2 Rumusan Masalah 1. 2. 3. Apa saja faktor predisposisi pada pasien ini sehingga terjadi PPROM ? Bagaimana prognosis pada pasien dan bayi ini? Apakah alat kontrasepsi yag cocok digunakan untuk pasien ini ? 1.3 Tujuan 1. Mengetahui faktor predisposisi pada pasien ini sehingga terjadi PPROM. 2. Mengetahui prognosis pada pasien dan bayi 3. Mengetahui alat kontrasepsi (KB) yang cocok digunakan untuk pasien ini.

1.4 Manfaat Penulisan laporan kasus ini dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman dokter muda mengenai PPROM dalam hal pelaksanaan anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang, penegakan diagnosis, penatalaksanaan, komplikasiserta monitoring PPROM.

3 Bab II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Ketuban 2.1.1 Anatomi Ketuban Selaput ketuban secara mikroskopis terdiri dari lima lapisan. Lapisan terdalam yang dibasahi cairan ketuban dibentuk oleh satu lapisan epithelial kuboidal yang melekat pada membran basalis yang melekat pada lapisan kompak aselular yang terdiri dari interstitial kolagen.Di luar lapisan kompak ini terdapat lapisan sel mesenkimal.Lapisan terluar dari ketuban adalah lapisan zona spongiosa.Lapisan terluar ketuban berhubungan langsung dengan lapisan chorion.Umbilical amnion melapisi tali pusat (Parry & Strauss, 1998). 2.1.2 Fisiologi cairan Ketuban Amnion manusia pertama kali dapat diidentifikasi pada sekitar hari ke-7 atau ke-8 perkembangan janin. Pada awalnya sebuah vesikel kecil yaitu amnion, berkembang menjadi sebuah kantung kecil yang menutupi permukaan dorsal mudigah. Cairan amnion pada keadaan normal berwarna putih agak keruh karena adanya campuran partikel solid yang terkandung di dalamnya yang berasal dari lanugo, sel epitel, dan material sebasea. Volume cairan amnion pada keadaan aterm adalah sekitar 800 ml, atau antara 400 ml -1500 ml dalam keadaan normal. Pada kehamilan 10 minggu rata-rata volume adalah 30 ml, dan kehamilan 20 minggu 300 ml, 30 minggu 600 ml. Pada kehamilan 30 minggu, cairan amnion lebih mendominasi dibandingkan dengan janin sendiri (Parry& Strauss, 1998). Cairan amnion merupakan komponen penting bagi pertumbuhan dan perkembangan janin selama kehamilan. Pada awal embryogenesis, amnion merupakan perpanjangan dari matriks ekstraseluler dan di sana terjadi difusi dua arah antara janin dan cairan amnion. Pada usia kehamilan 8 minggu, terbentuk uretra dan ginjal janin mulai memproduksi urin. Selanjutnya janin mulai bisa menelan. Eksresi dari urin, sistem pernafasan, sistem digestivus, tali pusat dan permukaan plasenta menjadi sumber dari cairan amnion. Telah diketahui bahwa cairan amnion berfungsi sebagai kantong pelindung di sekitar janin yang memberikan ruang bagi janin untuk bergerak, tumbuh meratakan tekanan uterus pada partus, dan mencegah trauma mekanik dan trauma termal (Parry& Strauss, 1998). Cairan amnion juga berperan dalam sistem imun bawaan karena memiliki peptid antimikrobial terhadap beberapa jenis bakteri dan fungi patogen tertentu. Cairan amnion adalah 98% air dan elektrolit, protein , peptide, hormon, karbohidrat, dan lipid. Pada beberapa

4 penelitian, komponen-komponen cairan amnion ditemukan memiliki fungsi

sebagai biomarker potensial bagi abnormalitas-abnormalitas dalam kehamilan. Beberapa tahun belakangan, sejumlah protein dan peptide pada cairan amnion diketahui sebagai faktor pertumbuhan atau sitokin, dimana kadarnya akan berubah-ubah sesuai dengan usia kehamilan. Cairan amnion juga diduga memiliki potensi dalam pengembangan medikasi stem cell (Parry& Strauss, 1998) 2.2 PPROM (Preterm Premature Rupture of Membrane) 2.2.1 Definisi Ruptur membran yang terjadi sebelum kehamilan aterm (sebelum usia 37 minggu gestasi), maka kondisi ini disebut sebagai preterm premature rupture of membranes (PPROM) atau oleh Saifuddin (2008) disebut sebagai ketuban pecah dini pada kehamilan premature. Hal ini berbeda dari keadaan normal dimana selaput ketuban akan pecah dalam proses persalinan (Saifuddin, 2008). 2.2.2 Epidemiologi Beberapa peneliti melaporkan hasil penelitian mereka dan didapatkan hasil yang bervariasi. Insidensi PPROM berkisar antara 3 % dari semua kehamilan (Canfolat, 2011). Hal yang menguntungan dari angka kejadian PROM yang dilaporkan, bahwa lebih banyak terjadi pada kehamilan yang cukup bulan dari pada yang kurang bulan, yaitu sekitar 95 %, sedangkan pada kehamilan tidak cukup bulan atau PPROM pada kehamilan preterm terjadi sekitar 34 % semua kelahiran prematur (Parry& Strauss, 1998). PPROM mempunyai kontribusi yang besar pada angka kematian perinatal pada bayi yang kurang bulan. Pengelolaan PPROM pada kehamilan kurang dari 34 minggu sangat komplek, bertujuan untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya prematuritas dan Respiratory Distress Syndrome (Parry& Strauss, 1998).

2.2.3 Etiologi dan Patofisiologi Etiologi dari PPROM bersifat multifaktorial (Parry and Strauss, 1998). Selain itu, yang penting untuk diingat adalah meskipun dengan berbagai karaktersitik yang berbeda dari PPROM dan pecahnya membran fetus secara normal selama proses persalinan, hanya

5 terdapat sedikit bukti bahwa mekanisme yang terlibat didalamnya tidak identik. Hal ini menyebabkan dimulainya suatu pandangan bahwa PPROM merupakan presentasi dari akselerasi atau proses yang berlebihan dari suatu mekanisme yang mengawali pecahnya ketuban secara spontan dalam proses persalinan (Parry and Strauss, 1998). Faktor pecahnya ketuban dini pada kehamilan prematur disebabkan berbagai macam mekanisme termasuk infeksi intra amnion. Faktor lainnya yang berpengaruh yaitu status sosioekonomi yang rendah, indeks massa tubuh yang rendah (kurang dari 19,8), defisiensi nutrisi dan kebiasaan merokok. Wanita dengan riwayat ketuban pecah dini pada kehamilan prematur sebelumnya memiliki resiko yang lebih tinggi untuk memiliki kehamilan prematur ketuban pecah dini. Banyak kasus ketuban pecah dini pada kehamilan prematur terjadi tanpa faktor resiko (Williams, 2012). Mekanisme ruptur dari fetal membran intrapartum telah dihubungkan dengan melemahnya membran secara menyeluruh akibat dari kontraksi dan peregangan yang berulang. Hal ini dapat dilihat berdasarkan kekuatan tegangan dari membran yang berkurang pada spesimen yang didapatkan setelah persalinan dibandingkan dengan spesimen yang didapatkan melalui sectio cesarean. Membran yang pecah secara dini, mengalami defek lokal dibandingkan perlemahan kekuatan tegangan secara menyeluruh (Parry and Strauss, 1998). Area sekitar daerah ruptur telah dideskripsikan sebagai zona terbatas dengan morfologi yang terganggu secara ekstrim (restricted zone of extreme altered morphology ) yang ditandai dengan pembengkakan dan ganguan pada jaringan kolagen fibrilar pada lapisan jaringan ikat amnion (compact, fibroblast, spongy layers).Karena zona ini tidak meliputi seluruh tempat terjadinya ruptur, maka, zona ini dapat muncul sebelum terjadinya pecah ketuban dan melambangkan titik awal pecahnya ketuban (Parry and Strauss, 1998; Jazayeri 2010). Defisiensi nutrisi juga menjadi faktor resiko ibu memiliki struktur kolagen abnormal dan telah dihubungkan dengan peningkatan resiko PPROM. Cross-links kolagen, yang dibentuk melalui beberapa seri reaksi yang diinisiasi enzim lysyl oxidase, meningkatkan kekuatan regangan dari kolagen fibrilar. Enzim lysyl oxidase diproduksi oleh sel mesenkim dari amnion. Lysyl oxidase merupakan enzim yang tembaga dependen, dimana ibu dengan PPROM memiliki konsentrasi tembaga yang lebih rendah dalam serum ibu dan serum tali pusat dibandingkan dengan ibu yang dilakukan amniotomi dalam persalinan. Hal yang serupa terjadi pada wanita yang memiliki konsentrasi ascorbic acid yang rendah, yang mana dibutuhkan untuk pembentukan struktur triple helical dari kolagen, memiliki insidensi PPROM yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu dengan konsentrasi ascorbic acid yang normal(Parry and Strauss, 1998; Medina, 2006).

6 Faktor lainnya adalah merokok, yang secara sendirian dapat meningkatkan resiko terjadinya PPROM. Merokok memiliki hubungan dengan menurunnya konsentrasi serum ascorbic acid.Selain itu, kadmium dalam tembakau telah terbukti meningkatkan metallothionein, protein pengikat logam, dalam trophoblast yang dapat menyebabkan sequestrasi dari tembaga.Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa penurunan ketersediaan tembaga dan ascorbic acid mungkin ikut berperan dalam pembentukan selaput ketuban yang abnormal pada perokok. Secara keseluruhan, menurunnya cross-links dari kolagen, kemungkinan karena defisiensi dalam diet ataupun gaya hidup dapat menjadi faktor resiko ibu untuk mengalami PPROM (Parry and Strauss, 1998). Faktor resiko lainnya adalah infeksi. Sebenarnya, telah lama diperdebatkan infeksi intrauterin merupakan penyebab atau konsekuensi dari PPROM. Terdapat bukti tidak langsung bahwa infeksi traktus genetalia mengawali pecah ketuban baik pada hewan dan manusia. Pada penelitian menggunakan kelinci, inokulasi pada serviks dengan Escherichia coli (E. coli) menghasilkan kultur cairan amnion yang positif pada 97% hewan coba dan persalinan preterm pada separuh dari hewan coba. Sebagai perbandingan kontrasnya, inokulasi serviks dengan salin tidak menyebabkan infeksi atau kelahiran preterm. Identifikasi mikroorganisme patologik pada flora vagina ibu segera setelah terjadi pecah ketuban menyediakan bukti yang mendukung konsep bahwa infeksi bakteri memiliki peranan dalam patogenesis PPROM. Juga, data epidemiologik menunjukkan hubungan antara kolonisasi traktus genetalia oleh streptococcus grup B, Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorrhoeae,dan mikroorganisme yang menyebabkan bakterial vaginosis (bakteri anaerobik vagina, Gardnerella vaginalis,spesies Mobiluncus, dan mycoplasma genetalia) dengan peningkatan resiko PPROM. Lebih lanjut lagi, pada beberapa penelitian dengan pengobatan antibiotik pada wanita yang terinfeksi menurunkan insiden PPROM. Mekanisme pecah selaput ketuban dengan infeksi intrauterin sebagai faktor resiko melibatkan beberapa mekanisme, yang mana setiap mekanisme menginduksi degradasi dari matriks ekstraseluler. Beberapa organisme yang biasanya terdapat sebagai normal flora vagina, termasuk Streptococcus grup B, Staphylococcus aureus, Trichomonas vaginalis,dan mikroorganisme yang menyebabkan bakterial vaginosis mensekresi protease yang dapat mendegradasi kolagen dan melemahkan keuatan regangan selaput ketuban.Selanjutnya, pada percobaan in vitro aktivitas proteolitik matriks selaput ketuban dapat dihambat dengan pemberian antibiotik (Parry& Strauss, 1998). Selain itu, respon inflamasi dari pasien juga ikut berperan sebagai mekanisme potensial lainnya yang mungkin dapat memberikan sebagian penjelasan mengenai hubungan antara infeksi bakteri pada traktus genetalia dan terjadinya PPROM. Respon inflamasi pasien yang

7 diperantarai oleh neutrofil polimorfonuklear dan makrofag akan memproduksi sitokin, matrix metalloproteinase, dan prostaglandin pada daerah infeksi. Sitokin inflamasi, termasuk interleukin-1 dan TNF (tumor necrosis factor ), yang diproduksi oleh monosit yang terstimulasi, akan meningkatkan ekspresi MMP-1 dan MMP-3 pada level transkripsional dan posttranslasi pada sel korion janin. Lebih lanjut, infeksi bakteri dan respon inflamasi pejamu akan menginduksi produksi prostaglandin oleh selaput ketuban, yang mana dianggap meningkatkan resiko terjadinya PPROM karena menyebabkan iritabilitas uterus dan degradasi kolagen selaput ketuban. Strain tertentu dari bakteria vagina memproduksi fosfolipase A 2 yang melepaskan prekursor prostaglandin, arachidonic acid, dari membran fosfolipid amnion. Lebih lanjut, seperti disebutkan diatas, respon imun pejamu terhadap infeksi bakteri termasuk produksi sitokin oleh monosit teraktivasi yang meningkatkan produksi prostaglandin E2 oleh sel korion. Peningkatan produksi prostaglandin E2 ini tampaknya melibatkan induksi cyclooxygenase II, enzim yang mengubah arachidonic acid menjadi prostaglandin. Walaupun pengaturan tepatnya dari sintesis prostaglandin E 2 dalam hubungannya dengan infeksi bakteri dan respon inflamasi pejamu tidak dipahami, dan hubungan langsung antara produksi prostaglandin dan PPROM tidak dapat dikembangkan, tetapi prostaglandin (khususnya prostaglandin E2dan prostaglandin F2) telah dianggap sebagai mediator dari persalinan pada semua mamalia. Juga, diketahui bahwa prostaglandin E2 menyebabkan terhentinya sintesis kolagen dalam selaput ketuban dan meningkatkan ekspresi MMP-1 dan MMP-3 pada fibroblast manusia (Parry and Strauss, 1998). Komponen lainnya dari respon pasien terhadap infeksi adalah produksi glukokortikoid. Pada kebanyakan jaringan kerja antiinflamasi dari glukokortikoid diperantarai oleh supresi produksi prostaglandin.Walaupun demikian, secara berlawanan pada beberapa jaringan, termasuk jaringan amnion, glukokortikoid menstimulasi produksi prostaglandin. Lebih lanjut lagi, dexametason menurunkan sintesis dari fibronektin dan kolagen tipe II pada kultur primer dari sel epitel amnion. Penemuan-penemuan ini mengarahkan pada kesimpulan bahwa produksi glukokortikoid sebagai respon terhadap stress akibat infeksi mikroba memfasilitasi terjadinya PPROM (Parry and Strauss, 1998). Selain hal-hal yang telah dijelaskan sebelumnya, hormon juga ikut terlibat dalam proses remodeling matriks ekstraseluler pada jaringan reproduksi. Hormon progesteron dan estradiol berperan menurunkan konsentrasi MMP-1 dan MMP-3 dan meningkatkan konsentrasi inhibitor metalloproteinase jaringan pada fibroblast serviks dari kelinci. Konsentrasi progesteron yang tinggi menurunkan produksi kolagenase pada fibroblast serviks hewan coba, meskipun konsentrasi progesteron dan estradiol yang rendah menstimulasi produksi kolagenase pada

8 hewan coba dengan kehamilan. Relaxin, sebuah hormon protein yang meregulasi remodeling dari jaringan ikat, diproduksi secara lokal oleh desidua dan plasenta, yang melawan efek inhibisi dari estradiol dan progesteron dengan meningkatkan aktivitas MMP-3 dan MMP-9 pada selaput ketuban. Ekspresi dari gen relaxin meningkat sebelum onset persalinan dalam selaput ketuban janin yang aterm. Berdasarkan penjelasan ini, adalah penting untuk mempertimbangkan peran estrogen, progesteron, dan relaxin dalam proses reproduksi meskipun keterlibatan hormonhormon ini dalam proses pecah ketuban masih harus dijelaskan lebih lanjut (Parry and Strauss, 1998). Overdistensi uterus akibat adanya polihidramnion atau kehamilan multifetus menginduksi peregangan selaput ketuban yang pada akhirnya meningkatkan resiko terjadinya PPROM. Peregangan mekanik dari selaput ketuban menyebabkan terjadinya up-regulation dari produksi beberapa faktor amnion, termasuk prostaglandin E2 dan interleukin-8. Peregangan juga meningkatkan aktivitas MMP-1 selaput ketuban. Seperti telah disebutkan sebelumnya, prostaglandin E2 dapat meningkatkan iritabilitas uterus, menurunkan sintesis kolagen selaput ketuban, dan meningkatkan produksi MMP-1 dan MMP-3 oleh fibroblast, sedangkan interleukin8, yang diproduksi oleh sel amnion dan korion, adalah bersifat kemotaktik bagi neutrofil dan dapat menstimulasi aktivitas kolagenase. Produksi interleukin-8, yang terdapat dalam konsentrasi rendah pada cairan amnion selama trimester kedua tetapi pada kehamilan lanjut didapatkan dalam konsentrasi yang tinggi, dihambat oleh progesteron. Oleh karenanya, produksi amnion berupa interleukin-8 dan prostaglandin E2 merupakan gambaran dari perubahan biokimia pada selaput ketuban yang mungkin dapat diinisiasi dengan kekuatan fisik (peregangan membran), merekonsiliasi hipotesis pecah ketuban yang diinduksi secara mekanik dan biokimia (Parry and Strauss, 1998; Medina, 2006). 2.2.4 Diagnosis Ibu harus selalu diperingatkan selama periode antepartum untuk mewaspadai keluarnya cairan dari vagina dan untuk segera melaporkan kejadian ini.Hal ini penting, untuk kemudian ditegakkannya segera diagnosis pecah ketuban karena 3 alasan. Pertama, bila bagian terbawah janin (presentasi janin) belum terfiksasi pada pelvis, kemungkinan prolaps dan kompresi dari tali pusat sangat meningkat. Kedua, persalinan mungkin akan segera terjadi bila kehamilan mendekati atau telah mencapai usia aterm. Ketiga, bila persalinan tertunda setelah terjadinya pecah ketuban, resiko infeksi intrauterin semakin meningkat seiring dengan peningkatan jarak waktu dengan persalinan (Parry& Strauss, 1998; ).

9 Diagnosis pecahnya selaput ketuban didapatkan dengan adanya cairan ketuban di vagina (Saifuddin, 2008). Juga pada pemeriksaan inspekulo, didiagnosa dengan ditemukannya genangan cairan amnion pada fornix posterior atau adanya cairan bening yang mengalir dari canalis servikalis. Meskipun terdapat beberapa tes diagnosis yang direkomendasikan untuk mendeteksi pecah ketuban, tidak ada yang sepenuhnya dapat diandalkan. Jika diagnosis tetap tidak dapat dipastikan, terdapat metode lain yang melibatkan pengukuran pH dari cairan vagina. Normalnya, pH dari sekresi vagina berkisar antara 4,5 sampai 5,5, sedangkan cairan amnion biasanya berkisar antara 7,0 sampai 7,5. Penggunaan indikator nitrazine untuk mengidentifikasi pecahnya ketuban merupakan metode yang sederhana dan cukup dapat diandalkan. Kertas tes diimpregnasi dengan pewarna, dan warna hasil reaksi strip kertas ini dengan cairan vagina diintepretasi dengan bagan warna standar (tes lakmus, perubahan warna merah menjadi biru(Saifuddin, 2008). PH diatas 6,5 adalah konsisten dengan ketuban pecah. Hasil tes positif palsu dapat terjadi dengan adanya darah, semen, atau bacterial vaginosis pada saat yang bersamaan, sedangkan hasil negatif palsu dapat terjadi bila cairan yang ada terlalu sedikit (American Academy of Pediatrics and American College of Obstetricians and Gynecologists, 2007). Penggunaan antiseptik alkalin juga dapat menaikkan pH vagina (Saifuddin, 2008; Divisi Fetomaternal, 2008). Tes lainnya meliputi pembentukan pola seperti bulu dari cairan vagina yang mengarah pada adanya cairan amnion bukannya sekresi serviks. Cairan amnion akan mengkristal dan membentuk pola seperti bulu akibat konsentrasi relatif dari natrium klorida, protein dan karbohidrat. Deteksi alpha-fetoprotein pada vagina juga telah digunakan untuk mengidentifikasi adanya cairan amnion oleh Yamada dan koleganya (1998). Identifikasi juga dapat dilakukan sesudah injeksi indigo carmine ke dalam kantong amnion melalui abdominal amniosentesis (Varney, 2004). Pemeriksaan lainnya dapat dilakukan dengan penggunaan ultrasound dimana adanya PPROM dapat dikonfirmasikan dengan adanya oligohidramnion (Saifuddin, 2008). 2.2.5 Penatalaksanaan Berdasarkan Pedoman Diagnosis Fetomaternal RSSA, 2008, tata laksana Preterm Premature Rupture of the Membrane: FWB baik Induksi maturasi paru: berikan betametason 24 mg IV atau dexamethason 2 x 16 mg IV selang 12 jam Berikan antibiotik Gentamycin 2x80 mg IV - Berikan tokolitik: ketoprofen 3 x 1 k/p

10 - Periksa jumlah leukosit - Terminasi kehamilan jika: induksi maturasi paru selesai atau terdapat tanda infeksi intra uterin Ketuban pecah dini pada kehamilan aterm atau preterm, baik dengan atau tanpa komplikasi harus dirujuk ke rumah sakit.Bila terdapat prolaps tali pusat, pasien dirujuk dengan posisi panggul lebih tinggi dari badannya, bila mungkin dengan posisi sujud.Kalau perlu kepala janin didorong ke atas dengan 2 jari agar tali pusat tidak tertekan kepala janin.Tali pusat di vulva dibungkus kain hangat yang dilapisi plastik. Bila ada demam atau dikhawatirkan terjadi infeksi saat rujukan atau ketuban pecah lebih dari 6 jam, berikan antibiotik seperti penisilin prokain 1,2 juta IU IM tiap 12 jam dan ampisilin 1 g peroral diikuti 500 mg tiap 6 jam atau eritromisin dengan dosis yang sama. (Saifuddin, 2008; Bruce 2010). 2.2.6 Komplikasi Setelah ketuban pecah normalnya segera disusul dengan persalinan. Pada kehamilan aterm 90% persalinan terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah (Saifuddi, 2008). Sedangkan berdasarkan Parry dan Strauss (1998) setelah terjadinya PROM, 70% ibu akan memulai persalinan dalam 24 jam dan 95% dalam 72 jam. Dengan perkembangan klinis yang relatif cepat kearah persalinan setelah terjadinya PPROM, maka tujuan dari penanganan PPROM adalah meminimalkan resiko infeksi intrautein tanpa meningkatkan insidens sectio cesarian. Karena, seperti telah dijelaskan sebelumnya, komplikasi yang mungkin timbul dari PPROM adalah infeksi maternal ataupun neonatal dan hipoksia karena kompresi tali pusat (Saifuddin, 2008; Bruce, 2010), meningkatnya insiden sectio cesarean, atau gagalnya persalinan normal. Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini yaitu dapat terjadi koriamnionitis dan pada bayi dapat terjadi septikemia, pneumonia, dan omfalitis. Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Korioamnionitis merupakan keadaan pada ibu di mana korion, amnion, dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri, yang merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan janin (Saifuddin, 2008). Terdapat berbagai macam organisme yang dapat menyebabkan korioamnionitis. Rute dari infeksi termasuk ascending infection dari traktus genetalia bagian bawah, penyebaran hematogenous dari darah ibu, penyebaran langsung dari endometrium atau tuba fallopi, dan kontaminasi iatrogenik selama prosedur invasif. Dari semua ini, ascendinginfection merupakan penyebab yang paling sering. Dimulai dengan masuknya organisme yang menimbulkan infeksi awal pada korion dan desidua disekitarnya pada area yang berada disekitar internal ostium. Hal ini dapat berkembang pada keterlibatan ketuban

11 pada seluruh ketebalannya (korioamnionitis). Organisme kemudian dapat menyebar sepanjang permukaan korioamnion dan menginfeksi cairan amnion. Juga dapat terjadi penyebaran lebih lanjut pada plasenta dan tali pusat (funitis) (Jazayeri, 2010). Infeksi pada janin dapat terjadi sebagai hasil penyebaran secara hematogen, aspirasi, penelanan atau kontak langsung lainnya dengan cairan amnion yang telah terinfeksi. Selain infeksi, dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan derajat oligohidramnion, yaitu semakin sedikit air ketuban, keadaan janin akan semakin gawat (Saifuddin, 2008).

12 BAB 3 LAPORAN KASUS 3.1 Identitas Reg Nama Umur Pekerjaan Pendidikan Suami Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat. Status Kehamilan Riwayat KB HPHT Tgl MRS 1. Subyektif Keluhan utama: keluar cairan jernih dari jalan lahir 10 November 2012 pukul 09.00 pasien mengeluh keluar cairan dari jalan lahir disertai kenceng-kenceng tapi jarang. Pasien pergi ke bidan, diperiksa dalam (VT) pembukaan 1 cm, ket (-), lalu dirujuk ke RSSA. Pasien berunding terlebih dahulu dengan suami dan keluarga mengenai transportasi dan pembiayaan. 10 November 2012 pukul 17.30 pasien berangkat ke RSSA. Pasien mengetahui dirinya hamil saat telat haid 1 bulan (April 2012) dengan tes kencing yang dilakukan sendiri, kemudian pasien periksa ke bidan. ANC dilakukan sebanyak 6 kali, pada bidan, terakhir tanggal 30 Oktober 2012. Ini adalah kehamilan kedua, kehamilan pertama abortus pada usia kehamilan 3 bulan, tidak dikuret pada bulan Agustus tahun 2011. :11076496 :Ny. PWL : 20 tahun :ibu rumah tangga :9 tahun :Tn. S : 25 tahun : 12 tahun :Pedagang : Desa Tasikmadu RT 02 RW 04 Lowokwaru Malang : Menikah (1x) : G2 P0000 Ab100 gr 34-36 minggu T/H : (-) : 8 Maret 2012 ~ 34-36 minggu : 10/11/2012 jam 18.01

Lama menikah: 3 tahun

13 Riwayat anyang-anyangan (-), riwayat keputihan (+) sejak 1 minggu terakhir, warna kekuningan, bau (+), gatal (+) pasien tidak berobat. Riwayat minum jamu, obat-obatan disangkal, tidak ada riwayat hipertensi, diabetes.

3. Objektif STATUS INTERNA Keadaan umum Kesadaran Tinggi badan Berat badan Tensi Nadi RR Suhu rectal Suhu axilla Kepala dan leher Thorax : baik : compos mentis : 145 cm : 50 kg : 110/70 mmHg : 80 x/menit : 20 x/menit : 36,7 C : 36,4 C : anemis / ,icterus / pembesaran kelenjar leher / : jantung s1s2 tunggal, m(-) paru vv vv vv Abdomen Ekstremitas Rh - --Wh - ---

: hepar/lien dalam batas normal, bising usus (+) normal : anemis -/- , edema /

STATUS OBSTETRI Abdomen : : 26 cm : letak bujur U : 160x / menit : 2170 gram : (+) jarang Striae gravidarum, coklat dan retakan putih elastik

Tinggi Fundus Uteri (TFU) Letak janin Bunyi Jantung Anak (DJJ) Taksiran Berat Janin (TBJ) His

Genitalia Eksterna : tampak aliran cairan ketuban (+)

14 Inspekulo : aliran cairan ketuban (+) dari OUE, tampak genangan cairan ketuban di forniks posterior. Dengan pemeriksaan kertas lakmus : didapatkan perubahan warna Pemeriksaan Dalam Pembukaan 1 cm Effacement 50% Hodge I Presentasi kepala Denominator masih tinggi Ketuban (-), jernih, bau (-), UPD~ batas normal

Pelvic score Dilatasi Effacement Station Posisi Konsistensi Total =0 =2 =0 =2 =2 =6

HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG: Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap Hb Leukosit PCV Trombosit. Urin Lengkap. pH. Glukosa. Protein. Keton. Bilirubin. 10,30 16.92 32 % 339.000 6.5 Negatif Trace 3+ Negatif

Urobilinogen. 3+

15 Nitrit. Leukosit. Darah. 40x Kristal. Bakteri. Ca Oksalat (+) 249 x 103 Negatif Negatif Negatif

Non Stressed TestCardiotocography (CTG) USG BPD. AC. FL. EFW. AFI. : 32.6 : 282 : 67.4 : 2173 gr : 8.64 Baseline rate 160 bpm Variability 5 1 bpm Acceleration : (+) Decceleration : (-) Hasil - kesimpulan: normal

Plasenta implantasi di corous posterior maturasi grade II 4. Assessment G2 P0000 Ab100 gravida 34-36 mgg T/H + PPROM 5. Planning - Bed Rest - Diet TKTP - Induksi maturasi paru dengan Dexamethason 2x16 mg IV selang 12 jam PDx PTx : : USG fetomaternal jam kerja, kultur urine serviks jam kerja

- Usul perawatan konservatif

16 - Tokolitik kaltrofen supp II (k/p) - Terapi injeksi : gentamycin 2x80 mg - Terapi oral : asam mefenamat 3x500 mg, isoxuprin 3x1, roborantia 1x1 - Jika perawatan konservatif gagal, pro expektatif pervaginam. Monitoring : Vital Signs, keluhan subyektif, aliran ketuban, his, DJJ T rectal /3 jam Tanda-tanda infeksi intrauterine KIE : 6. Follow Up Tanggal Subjekti f Objektif Assessment Planning Kondisi ibu, perawatan dan pengobatan, prognosis

17

11/11/2012 Pk 24.00

Kencen gkencen g semaki n sering.

KU : baik, CM T : 120/80 N : 88x/menit RR : 18x/menit T rec : 36.7oC T ax : 36.4oC K/L : an -/-, ict -/Thorak : c/ S1, S2 single, regular p/ Rh -, Wh Abd : TFU 26 cm, letak bujur U , BJA : 160x, TBJ = 2170 g, HIS (+) 10.3.30 / sedang kuat VT : 4 cm, eff 100%, H I, ketuban (-) jernih, presentasi kepala, denominator UUK jam 03.00, UPD ~dbn

G2 P0000 Ab 100 part 34-36 mgg T/H + Kala I fase aktif + partus prematurus + riwayat PPROM + perawatan konservatif gagal

PDx : PTx : Evaluasi 2 jam lagi, pro expectative per vaginam P Mo: Vital sign, keluhan, his, DJJ, kemajuan persalinan KIE : Ibu dalam kondisi sudah inpartu, perawatan konservatif untuk mempertahankan kehamilan gagal direncanakan janin dilahirkan, kondisi janin bila lahir nanti masih prematur dan perlu perawatan khusus di ruang bayi.

Tanggal

Subjekti f

Objektif

Assessment

Planning

18

1/11/2012 Pk 02.00

Kencang -kencang Teratur

KU : baik, CM T : 120/70 N : 88x/menit RR : 18x/menit T rec : 36.7oC T ax : 36.4oC K/L : an -/-, ict -/Thorak : c/ S1, S2 single, regular p/ Rh -, Wh Abd : TFU 26 cm, letak bujur U , BJA : 155x/menit (doppler), TBJ = 2170 g, HIS 10.3.35/Kuat VT : 8 cm, eff 100%, H I, ketuban (-), jernih, presentasi kepala, denominator UUK jam 02.00, UPD ~dbn

G2 P0000 Ab 100 part 3436 mgg T/H + Kala I fase aktif + partus prematurus + riwayat PPROM + perawatan konservatif gagal

PDx PTx: Evaluasi 2 jam lagi Pro expectative per vaginam P Mo: Vital signs, keluhan subyektif, his, DJJ, kemajuan persalinan. P Ed : KIE

19

11/11/2012 Pk 04.00

Kencang -kencang teratur

KU : baik, CM T : 120/70 N : 88x/menit RR : 18x/menit T rec : 36.7oC T ax : 36.4oC K/L : an -/-, ict -/Thorak : c/ S1, S2 single, regular p/ Rh -, Wh Abd : TFU 26 cm, letak bujur U , BJA : 160x/menit (doppler), TBJ = 2170 g, HIS 10.3.40/K VT : p : 8 cm, eff 100%, H III, ketuban (-), jernih, presentasi kepala, denominator UUK jam 01.00, UPD ~dbn

G2 P0000 Ab 100 part 34Kala I fase aktif + partus prematurus + riwayat PPROM + perawatan konservatif gagal

PDx : PTx: Pro P Mo: Vital sign, keluhan subjektif, His, DJJ Kemajuan Persalinan P Ed : KIE expectative per

36 mgg T/H + Evaluasi 2 jam lagi vaginam

05.05. Lahir bayi perempuan, BB 2400 gram, PB 45 cm, AS 7-9 Laporan Tindakan Persalinan Kala II Tindakan Spontan Belakang Kepala, tanggal 11 November 2012 05.00 - 05.05 WDDO G2 P0000 Ab 100 part 34-36 mgg T/H + Kala II+ partus prematurus + riwayat PPROM + perawatan konservatif gagal Pasien ingin mengejan. Dilakukan VT, pembukaan lengkap, UUK jam 01.00, HIII. Pasien ditidurkan dalam posisi litotomi. Bersamaan dengan his, ibu dipimpin mengejan (pada saat keala meregang vulva, dilakukan episiotomi mediolateral.

20 Dengan tangan kanan menahan perineum dan tangan kiri mengatur defleksi kepala dan dengan subocciput di bawah simpisis sebagai hipomoklion berturut- turut lahirlah ubun-ubun besar, rahim, mulut, dagu dan akhirnya lahirlah seluruh kepala. Kepala mengadakan putar paksi luar, mulut dan hidung bayi dibersihkan. Kepala dipegang secara biparietal ditarik curam ke bawah sampai bahu depan lahir kemudian dielevasi sampai bahu belakang lahir lalu ditarik sesuai arah sumbu panggul. Lahirlah bayi perempuan, BB 2400 gram, PB 45 cm, AS 7-9 pukul 05.05. Tali pusat diklem di dua tempat (5 cm dan 10 cm di atas abdomen bayi) dipotong di tengah-tengahnha, bayi dirawat. Plasenta dilahirkan secara peregangan tali pusat terkendali, berat 500 gram, ukuran diameter 20 cm, tebal 2 cm, panjang tali pusat 50 cm. Eksplorasi jalan lahir, segmen bawah rahim, serviks, vagina didapatkan luka episiotomi. Dilakukan penjahitan luka episiotomi. Kala III : Tanggal 11/11/2012 pukul 05.15 plasenta dilahirkan secara spontan dengan peregangan tali pusat terkendali, berat 500 gram, diameter 20 cm, tebal 2 cm, kalsifikasi (-), infark (-), panjang tali pusat 50 cm Kala IV : 2 jam post partum: 11/11/2012 pukul 07.15 Keluhan (-). KU : baik, CM TD : 120/70, N : 80x/menit, RR : 20x/menit Perdarahan 100 cc Abdomen : TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi uterus baik GE : luka jahitan + bertaut, perdarahan aktif tidak ada.

21 BAB 4 PEMBAHASAN 1. Faktor Predisposisi Preterm Premature Rupture of Membrane (PPROM) yaitu pecahnya ketuban pada saat usia kehamilan 22-37 minggu. Penanganan PPROM lebih rumit dibandingkan dengan PROM. Berbagai faktor diduga memiliki peran terhadap terjadinya PPROM, diantaranya dilatasi serviks yang terlalu awal, infeksi pada vagina, serviks atau membran di sekeliling fetus. Pada dasarnya penyebab PPROM belum diketahui. Berbagai faktor yang berperan dalam terjadinya PPROM diantaranya riwayat PPROM pada kehamilan sebelumnya, infeksi pada kantung amnion, infeksi lainnya pada ibu (Chlamidia, vaginosis bakterial), perdarahan pada trimester kedua dan ketiga, defisit nutrisi pada masa kehamilan, BMI rendah, status sosial ekonomi rendah serta merokok pada kehamilan (Williams, 2012). Pada pasien ini, dari data anamnesis didapatkan bahwa pasien mengeluh keputihan setiap hari sejak 1 minggu terakhir sebelum pasien datang untuk diperiksa di rumah sakit. Hal ini dapat berhubungan dengan adanya infeksi yang mungkin disebabkan higiene pasien yang kurang baik terkait dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah. Kemungkinan faktor predisposisi terjadinya PPROM pada pasien ini adalah disebabkan adanya infeksi. 4.4 Prognosis (pada ibu dan bayi) Prognosis pada pasien dengan PPROM ditentukan dari kapan terjadinya PPROM tersebut. Sebagaian besar pasien dengan PPROM yang terjadi pada usia kehamilan 34-37 minggu tidak mengalami komplikasi terkait dengan kelahiran prematur. Persentase survival rate pada pasien dengan PPROM pada sebelum usia kehamilan 22 minggu dan pada usia kehamilan antara 22 dan 26 minggu adalah 43 % dan 57 %. Sedangkan pada usia kehamilan diatas 30 minggu, persentasenya mencapai 97.5 persen. Komplikasi yang dapat timbul karena PPROM diantaranya adalah infeksi. PPROM dapat menyebabkan infeksi, baik pada ibu maupun pada bayi. Chorioamnionitis terjadi pada 13-60 persen kasus PPROM. Selain itu, PPROM juga dapat menyebabkan kompresi pada tali pusat serta abrupsi plasenta. Pada janin dapat ditemukan kontraktur dan deformitas terkait dengan adanya oligohidramnion, serta dapat juga terjadi hipoplasia pada paru-paru. Prognosis pasien pada kasus ini baik, oleh karena penatalaksanaan maupun bayi. yang diberikan telah sesuai dengan teori dan pedoman untuk penatalaksanaan kasus PPROM dan tidak didapatkan tanda-tanda adanya komplikasi pada ibu

22 4.5 Alat kontrasepsi yang cocok digunakan untuk pasien Kondisi kesehatan reproduksi pasien ini harus selalu diperhatikan, baik pada saat pasca persalinan maupun selanjutnya. Dari anamnesis diketahui bahwa pasien terdapat riwayat mengalami keputihan sejak satu minggu terakhir sampai pasien datang untuk melakukan pemeriksaan di rumah sakit. Hal ini dapat berhubungan dengan adanya infeksi yang mungkin disebabkan hygiene pasien yang kurang baik. Sehingga diperlukan edukasi tentang pentingnya hygiene pasien dan pemberian terapi di saat keputihan terjadi dan menimbulkan keluhan berkepanjangan. Kontrasepsi merupakan usaha untuk mencegah terjadinya kehamilan. Usaha-usaha tersebut dapat bersifat sementara, dapat juga bersifat permanen. Kontrasepsi yang ideal harus memenuhi syarat-syarat antara lain dapat dipercaya, tidak menimbulkan efek yang mengganggu kesehatan, daya kerja dapat diatur menurut kebutuhan, tidak menimbulkan gangguan sewaktu melakukan koitus, tidak memerlukan motivasi terus-menerus, mudah pelaksanaannya, murah, dan dapat diterima oleh pasangan yang bersangkutan (Saifuddin, 2008). Pasien ini merupakan wanita berusia 20 tahun, menikah satu kali selama 1 tahun, dan beum memilkki anak. Alat kontrasepsi yang dapat menjadi pilihan dari segi keamanan dan efektifitas adalah pil hormonal (membutuhkan keteraturan dalam penggunaannya) atau IUD.

23 BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan 1. Faktor predisposisi terjadinya PPROM pada pasien ini adalah infeksi genital (vulvovaginitis). 2. Penegakan diagnosis PPROM pada pasien ini sudah tepat. Dari anamnesa didapatkan pasien merasakan adanya cairan jernih yang keluar dari jalan lahir tetapi tidak disertai tanda-tanda inpartu dan bayi dalam keadaan preterm. Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya cairan yang mengalir keluar dari OUE, tes lakmus merah berubah warna menjadi biru, yang menunjukkan cairan bersifat basa. 3. Pilihan terapi pada pasien ini adalah dengan melakukan perawatan konservatif. Apabila perawatan konservatif gagal, dilakukan terminasi kehamilan pro ekspektatif per vaginam. 4. Prognosis pasien pada kasus ini baik, karena penatalaksanaan yang diberikan telah sesuai dengan teori dan pedoman serta tidak didapatkan tanda-tanda adanya komplikasi pada ibu maupun bayi. Kondisi kesehatan reproduksi pasien ini harus selalu diperhatikan, baik pada saat pasca persalinan maupun selanjutnya. Pilihan alat kontrasepsi (KB) yang digunakan berdasarkan segi keamanan dan efektifitasnya adalah pil hormonal atau IUD. 5.2 Saran 1. 2. Pentingnya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) tentang higiene supaya tidak terjadi infeksi saat kehamilan. Pentingya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) pada pasien yang mengalami (Preterm Premature Rupture of Membrane) PPROM untuk segera ke tempat pelayanan kesehatan untuk mendapatkan penanganan yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

24

Bruce,

Elizabeth.

2010.

Premature

rupture

of

the

Membrane.

http://www.compleatmother.com/prom.htm. Diakses 18 November 2012, pukul 20.20 Canfolat, Fuat Emre et al. 2011. Procalcitonin versus CRP as an early indicator of fetal infection in preterm premature rupture of membranes. The Turkish Journal of Pediatrics 2011. Turkey Divisi Fetomaternal. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Malang: Lab/SMF ObstetriGinekologi FKUB/RSSA Gofar, Abdul. 2010. Ketuban Pecah Dini. http://adulgopar.files.wordpress.com/2009/12/ketubanpecah-dini.pdf. Diakses 19 November 2012, pukul 20.20 Jazayeri, Alhazar. 2010. Premature Rupture of Membranes.

http://emedicine.medscape.com/article/261137-overview 2011. Diakses 19 November 2012, pukul 20.20 Medina, Hill. 2006. Preterm Prematre Rupture of Membranes: Diagnosis and Management. American Family Physician. http://www.aafp.org/afp. Diakses 18 November 2012, pukul 20.20 Miller, Jekel. 2009. Epidemiology of Spontaneous Premature Rupture of Membranes: Factors in Preterm Births. The Yale Journal of Biology and Medicine p241251.http://emedicine.medscape.com/article. Diakses 18 November 2012, pukul 20.20 Parry, S. dan Strauss, J. F. 1998. Premature Rupture of the Fetal Membranes. The New England 2012, pukul 20.20 Saifuddin, A. B., Rachimhadhi, T., Wikhjosastro, G. H.. 2008. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohadrjo. Edisi ke-4.Pt. Bina Pustaka Sarwono Prawirohadrjo. Jakarta. Journal of Medicine. 338:663-670. http://emedicine.medscape.com/article/261137-overview 2011. Diakses 18 November

25 Varney, Kriebs, Gegor. 2004. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta : EGC Velemhnska. 2009. Management of Pregnancy with Premature Rupture of Membrane (PROM). Journal of Health Sciences Management and Public Health. http://emedicine.medscape.com/article/261137-overview 2011. Diakses 18 November 2012, pukul 20.20

You might also like