You are on page 1of 14

The Meaning of Methodology merupakan bagian ke-empat dari buku W.

Lawrence Neuman yang berjudul Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Bab ini terdiri dari enam subbab, yaitu Introduction, The Three Approaches, Positivist Social Science, Interpretive Social Science, Critical Social Science, Feminist and Postmodern Research, dan yang terakhir adalah Conclusion. Neuman mengawali pembahasannya mengenai makna metodologi pada bab tersebut dengan menjelaskan mengenai perdebatan diantara para filosof dan para teoritisi klasik seputar makna sains dan dimanakah kedudukan sosiologi serta ilmu-ilmu sosial lainnya. Ia mengatakan bahwa jawaban dari pertanyaan mengenai apakah Ilmu Sosial dapat disetarakan sebagai dengan Ilmu Alam sebagai sains terletak pada metodologi penelitian yang digunakan. Metodologi penelitian itulah yang kemudian menjadikan Ilmu Sosial ilmiah. Neuman kemudian menjelaskan mengenai tiga pendekatan penelitian sosial. Tiga pendekatan tersebut adalah Positivisme (Positivism), Ilmu Sosial Interpretif (Interpretif Social Science), dan Ilmu Sosial Kritis (Critical Social Science).

Pendekatan-pendekatan tersebut dikatakan oleh Neuman berkait dengan tradisi berbeda dalam teori sosial dan adanya beragam teknik penelitian. Namun demikian, keterkaitan antara pendekatan-pendekatan tersebut dengan sains, teoriteori sosial, dan teknik penelitian tidaklah ketat. Ia serupa pula dengan research program, tradisi penelitian, dan paradigma ilmiah yang merupakan keseluruhan sistem berpikir. Pada bagian akhir bab keempat tersebut Neuman juga membahas mengenai pendekatan Feminisme dan Posmodernisme. Namun dapat dikatakan bahwa pada dasarnya kedua pendekatan tersebut merupakan pengembangan dari paradigma Ilmu Sosial Kritis sehingga pembahasan mengenai Pendekatan Kritis dirasakan telah cukup mewakili untuk dapat memahami mengenai pendekatan Feminisme dan Posmodernisme. Ketiga pendekatan dalam penelitian sosial tersebut memiliki karakteristik dan perbedaannya masing-masing. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut: Pendekatan Penelitian Kuantitatif Kualitatif

Paradigma Positivisme Ragam Logika

Paradigma Interpretif Hermeneutika, Constructionis m,

Paradigma Kritis Materialisme Dialektika, Class

Pendekat empirisme, The an Penelitia n Sosial accepted or conventional view, Postpositivisme,

Ethnometodolo Analysis, and gy, Cognitive, Idealist, Structuralisme

Naturalisme, The Phenomenologi covering law model, Behaviorisme cal, Subjectivist, and Qualitative Sociology Teori Sosial Terkait Structuralfunctional, Interaksionisme Teori Konflik, Simbolik, Feminist analysis, Radical psychotherapy, Teori Kritis Alasan Menemukan Memahami dan Mengungkap menggambarka mitos dan

Pilihan Rasional, mazhab Teori Pertukaran Chicago

Penelitia hukum sehingga

suatu peristiwa dapat diprediksi dan dikontrol

n makna dari suatu tindakan sosial

sebagai suatu upaya pemberdayaan guna merubah realitas sosial yang timpang

Sifat Dasar Realitas Sosial

Mengikuti pola yang terus berulang

Makna yang

Rekayasa

cair dari situasi konflik oleh yang terbentuk struktur yang oleh interaksi manusia tersembunyi

Sifat Dasar

Ketertarikan

Menciptakan

kreatif, beradaptasi dengan potensi yang belum disadari, terjebak oleh ilusi dan eksploitasi

terhadap diri dan makna dan

Manusia rasionalitas yang pemahaman dibentukan oleh kekuatan eksternal atas realitas sosial

Peran

Berbeda dan

Dasar untuk bertindak

kesadaran palsu yang

Common kurang ilmiah

Sense

dibandingkan dengan sains

menyembunyi kan kekuasaan dan kondisi objektif

Bentuk Teori

Logis, definisi interkoneksi dengan sistem deduktif,aksioma, dan hukum

Menggambarka Kritik yang n bagaimana sistem nilai mengungkap realitas

suatu kelompok sebenarnya dihasilkan dan berkelanjutan dan membantu untuk membuka jalan bagi dunia yang lebih baik

Kebenara Secara logis n berhubungan

Menggambarka Memberikan n secara tepat sarana untuk

Penjelasa dengan hukum n dan fakta

apa yang terjadi melakukan pada subjek yang diteliti perubahan

Bukti

Didasarkan pada

Terletak pada konteks dari

Berdasar pada informasi yang

yang baik ketepatan

observasi yang

interaksi sosial diberikan oleh teori yang mampu membuka selubung ilusi

bisa direka ulang yang cair

Posisi Nilai

Sains bebas nilai Nilai dan nilai hanya merupakan

Semua sains dimulai

digunakan ketika bagian yang tak dengan posisi memilih topik terpisahkan dari nilai, yang bisa kehidupan salah dan bisa

sosial: tidak ada jadi benar nilai yang salah, hanya berbeda Dari tabel tersebut diatas dapat diketahui karakteristik khas dari masing-masing pendekatan atau paradigma tersebut. Selain persamaan ketiga pendekatan diatas, yaitu sebagai alat untuk menganalisa permasalahan sosial, ketiganya memiliki perbedaan mendasar terutama dalam persoalan memaknai dan menerjemahkan sebuah realitas sosial. Positivisme misalnya, pendekatan yang dikembangkan oleh Auguste Comte tersebut cenderung memaknai realitas sosial

sebagai sesuatu yang konstan. Hal ini berarti bahwa realitas sosial memiliki pola yang teratur dan dapat dipelajari sehingga apa yang terjadi kemudian dapat diprediksi dan dikontrol. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa setiap peristiwa adalah sama dan dapat diterjemahkan dalam angkaangka dengan rumusan yang baku. Positivisme mengadopsi bagaimana cara Ilmu Alam melakukan penelitian serta landasan berpikirnya dan hal inilah yang kemudian menjadi kritik dari Pendekatan Interpretif dan Kritis. Posisi Pendekatan Interpretif dan Pendekatan Kritis dapat dikatakan sama ketika melihat bahwa Positivisme telah mereduksi karakteristik unik dari manusia yang memiliki akal menjadi serupa dengan benda mati yang menjadi objek studi Ilmu Alam, dimana hal tersebut berdampak pada pemaknaan terhadap realitas sosial yang dikatakan sebagai sesuatu dengan pola tertentu yang dapat diprediksi dan cenderung stabil dari masa ke masa. Berbeda dengan Pendekatan Interpretif maupun Pendekatan Kritis yang memaknai bahwa realitas sosial selalu berubah dan memiliki banyak makna yang bisa dilekatkan padanya yang berasal dari interaksi antarmanusia dalam suatu masyarakat.

Perbedaan dalam memaknai realitas sosial inilah yang kemudian menjadi alasan yang mendasari adanya perbedaan dalam menentukan tujuan dari dilakukannya sebuah penelitian sosial. Positivisme melakukan penelitian dengan tujuan untuk menemukan hukum alam (natural laws) yang dapat dipergunakan untuk memprediksi dan mengontrol terjadinya suatu peristiwa. Sementara itu, Pendekatan Interpretif lebih melihat bahwa tujuan dari sebuah penelitian sosial adalah untuk memahami dan menggambarkan makna dari suatu tindakan sosial. Berbeda dengan Pendekatan Kritis yang lebih berorientasi praktis, yaitu tidak hanya sekedar berhenti dalam tataran untuk mengetahui dan menggambarkan suatu peristiwa sosial secara utuh sebagaimana yang dilakukan oleh Pendekatan Interpretif, melainkan bahwa penelitian juga bermakna sebagai sarana untuk melakukan pemberdayaan dan melakukan perubahan. Ketika Positivisme melihat bahwa manusia merupakan makhluk rasional yang dibentuk oleh sebuah kekuatan eksternal, maka Pendekatan Interpretif dan Pendekatan Kritis melihatnya secara berbeda. Menurut keduanya, tindakan manusia atau suatu peristiwa sosial tidak hanya merupakan sesuatu yang didasarkan pada hukum sebab-akibat dan tidak

memberikan tempat bagi kehendak bebas manusia. Akan tetapi, baik Pendekatan Interpretif maupun Pendekatan Kritis mengakui adanya kehendak manusia, dimana manusia memiliki peran dalam menentukan dan memberikan makna pada tindakan sosialnya, dimana hal tersebut tidak sematamata dibentuk oleh kekuatan eksternal sebagaimana yang diyakini oleh Positivisme. Namun Pendekatan Kritis memberikan penekanan yang sedikit berbeda dengan Pendekatan Interpretif, yaitu dimana manusia sebagai aktor kreatif, terjebak dalam selubung ilusi dan eksploitasi yang kemudian membuatnya tidak menyadari akan potensi yang ada pada dirinya tersebut. Oleh karena itulah penelitian sosial, menurut Pendekatan Kritis, diperlukan agar manusia dapat tersadar dari kesadaran palsu yang dimilikinya dan kemudian memiliki daya untuk melakukan perubahan. Perbedaan dalam melihat sifat dasar manusia ini berpengaruh pula pada perbedaan ketiga pendekatan tersebut dalam memaknai sains dan common sense. Positivisme secara jelas membedakan kedua hal tersebut dan menempatkan sains diatas common sense. Dengan demikian, bagi sains, common sense menjadi tidak logis dan rasional dibandingkan dengan sains. Oleh karena itu ia tidak bisa dijadikan sebagai dasar

untuk menemukan kebenaran. Berbeda dengan Pendekatan Interpretif yang menempatkan common sense sebagai sesuatu yang sangat berperan bagi manusia dalam melakukan suatu tindakan yang kemudian membentuk sebuah realitas sosial. Oleh karena itu, common sense dapat dapat menjadi alternatif lain dari hukum positif untuk menginterpretasikan suatu realitas, dimana keberadaannya menjadi sumberdaya yang sangat penting untuk memahami masyarakat. Sementara itu, Pendekatan Kritis menempatkan common sense sebagai sesuatu yang membentuk manusia dan memberikan kesadaran palsu. Ia memberikan imaji yang menutupi realitas sebenarnya dan menjadikan realitas semu tersebut sebagai sesuatu yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat. Perbedaan-perbedaan tersebut berpengaruh pula pada bentuk teori yang dihasilkan. Teori yang dihasilkan oleh Pendekatan Positivisme cenderung mengikuti pola dari Ilmu Alam, yaitu logis, menggunakan hukum sebab akibat (determinisme), dan berpola deduktif. Ketika teori yang dihasilkan tidak mampu memenuhi rasionalitas dan pola yang ada, maka teori tersebut dikatakan kurang tepat. Sementara itu, Pendekatan Interpretif

menggunakan teori yang lebih menggunakan pola induktif dan ideograpis, yaitu suatu penggambaran yang utuh dan rinci mengenai suatu peristiwa. Ia berdasarkan pada ide voluntarisme, yaitu dimana kehendak bebas manusia memiliki peran yang cukup besar dalam menciptakan makna sosial. Sebuah teori dikatakan benar bagi Pendekatan Interpretif apabila ia mampu mengungkapkan gambaran utuh dari suatu peristiwa yang dikaji dan memiliki ketepatan dengan apa yang dirasakan oleh subjek penelitian. Teori Pendekatan Kritis berada diantara keduanya, yaitu determinisme dari Positivisme dan juga voluntarisme Pendekatan Interpretif. Pendekatan Kritis melihat bahwa teori yang dihasilkan dari penelitian sosial haruslah teori yang bersifat kritis. Teori tersebut dikatakan tepat apabila mampu menggugah kesadaran masyarakat dengan mengungkap makna yang sebenarnya dan dapat digunakan bagi suatu upaya pemberdayaan dan perubahan. Untuk menghasilkan teori yang akurat, diperlukan fakta atau bukti yang bagi Pendekatan Positivisme haruslah melalui observasi dan penelitian yang tepat dan dapat diulangi oleh lainnya. Pendekatan Interpretif mengatakan bahwa fakta yang akurat, terletak pada konteks makna dari situasi sosial yang

sangat cair. Hal ini berarti bahwa ia tidak bisa digeneralisir sebagaimana halnya yang dilakukan oleh Pendekatan Positivisme, melainkan bahwa setiap peristiwa adalah unik dan memiliki kandungan maknanya tersendiri. Sementara itu, bagi Pendekatan Kritis, ketepatan fakta diperoleh dari teori yang mampu mengungkap realitas sebenarnya. Dari apa yang diuraikan tersebut diatas, terlihat jelas bahwa posisi nilai bagi Pendekatan Positivisme adalah value-free. Ia tidak mengenal keberpihakan dan bahwa nilai hanya bermakna ketika menentukan topik penelitian. Berbeda dengan kedua pendekatan lainnya, yaitu Pendekatan Interpretif dan Pendekatan Kritis, dimana keduanya mengakui adanya nilai sebagian bagian dari sebuah realitas sosial. Namun ada sedikit perbedaan pada Pendekatan Interpretif dan Pendekatan Kritis, yaitu ketika Pendekatan Interpretif yang mempercayai adanya relativisme dalam nilai dan hal itu berarti bahwa setiap realitas sosial memiliki kebenaran berdasarkan pada konteksnya masing-masing. Hal ini berbeda dengan Pendekatan Kritis yang mengasumsikan bahwa nilai adalah penting sebagai titik tolak untuk melakukan sebuah penelitian. Ia berawal dari keberpihakan terhadap sesuatu yang dianggap benar. Bagi Pendekatan Kritis, subjektivisme

itulah yang pada dasarnya objektif dan dengan demikian sebuah penelitian sosial dapat memiliki implikasi nyata bagi adanya suatu perubahan karena pengetahuan, menurut Pendekatan Kritis, adalah sesuatu yang sangat powerfull dan bermanfaat bagi upaya-upaya pencerahan dan perubahan ke arah yang lebih baik. Pada akhirnya, ketiga pendekatan atau paradigma penelitian sosial yang diuraikan oleh Neuman tersebut pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua pendekatan, yaitu pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Pendekatan Positivisme merupakakan representasi dari pendekatan kuantitatif yang mengawali penelitian dari paradigma yang dipilih dan teori yang bersifat umum untuk kemudian dijabarkan kedalam proposisi serta konsep dengan variabel dan indikator serta teknis penelitian tertentu. Ia lebih bertujuan untuk menjelaskan sebuah realitas sosial dan fokus terhadap hubungan sebab-akibat yang ada. Sementara itu, Pendekatan Interpretif dan Pendekatan Kritis menggunakan alur berpikir dengan pendekatan kualitatif dimana sebuah kajian dimulai dari adanya suatu realitas sosial tertentu yang kemudian diklasifikan dan diverifikasi untuk kemudian diperoleh konsep dan teori serta paradigma yang terkait. Kedua pendekatan

tersebut bertujuan untuk memahami sebuah realitas sosial dan menemukan alasan yang melatar-belakangi munculnya realitas sosial tersebut. Namun sedikit berbeda dengan Pendekatan Interpretif, kajian dari Pendekatan Kritis lebih berorientasi praktis. Pendekatan Positivisme banyak digunakan dalam penelitian survey dan studi kasus kuantitatif. Sementara Pendekatan Interpretif dan Pendekatan Kritis lebih banyak digunakan antara lain dalam penelitian grounded, framing analysis, semiotika dan studi kasus kualitatif.

You might also like