You are on page 1of 36

PRESENTASI KASUS KETUBAN PECAH DINI DAN GAGAL DRIP

Oleh : PRIEZA NOOR AMALIA 1102009217

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI JAKARTA MEI 2013

BAB I PENDAHULUAN Ketuban pecah dini (KPD) atau Premature Rupture of Membrane (PROM) merupakan keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan. Namun, apabila ketuban pecah dini sebelum usia kehamilan 37 minggu, maka disebut sebagai ketuban pecah dini pada kehamilan prematur atau Preterm Premature Rupture of Membrane (PPROM). Pecahnya selaput ketuban tersebut diduga berkaitan dengan perubahan proses biokimiawi yang terjadi dalam kolagen matriks ekstraseluler amnion, korion dan apoptosis membran janin.1 Etiologi pada sebagian besar kasus dari KPD hingga saat ini masih belum diketahui. KPD pada kehamilan aterm merupakan variasi fisiologis, namun pada kehamilan preterm, melemahnya membran merupakan proses yang patologis. KPD sebelum kehamilan preterm sering diakibatkan oleh adanya infeksi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bakteri yang terikat pada membran melepaskan substrat, seperti protease yang menyebabkan melemahnya membran. Penelitian

terakhir menyebutkan bahwa matriks metaloproteinase merupakan enzim spesifik yang terlibat dalam pecahnya ketuban oleh karena infeksi.2 Menurut hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 20022003, angka kematian ibu di Indonesia sebesar 307 per 1000 kelahiran hidup atau setiap jam terdapat 2 orang ibu bersalin meninggal karena berbagai sebab. Salah satu penyebab langsung kematian ibu adalah karena infeksi sebesar 20-25% dalam 100.000 kelahiran hidup dan KPD merupakan penyebab paling sering menimbulkan infeksi pada saat mendekati persalinan.3 Prevalensi KPD berkisar antara 3-18 % dari seluruh kehamilan. Saat kehamilan aterm, 8-10 % wanita mengalami KPD dan 30-40 % dari kasus KPD merupakan kehamilan preterm atau sekitar 1,7% dari seluruh kehamilan. KPD diduga dapat berulang pada kehamilan berikutnya. Hal ini juga berkaitan dengan meningkatnya risiko morbiditas pada ibu maupun janin.2 Oleh sebab itu, klinisi yang mengawasi pasien harus memiliki pengetahuan yang baik mengenai anatomi dan struktur membran fetal, serta memahami patogenesis terjadinya ketuban pecah dini, sehingga mampu menegakkan diagnosis ketuban pecah dini secara tepat dan memberikan terapi secara akurat untuk memperbaiki luaran / outcome dan prognosis pasien ketuban pecah dini dan bayinya.

BAB II LAPORAN KASUS IDENTITAS Nama Pasien : Ny. R Umur Pendidikan Pekerjaan Agama Alamat Masuk RS No. CM : 22 tahun : SMP : IRT : Islam : Cilawu : 1 April 2013 : 01591163

Nama Suami : Bpk. D Umur Pendidikan Pekerjaan : 25 tahun : SMP : Buruh

Agama ANAMNESIS

: Islam

Keluhan Utama Keluar cairan dari jalan lahir sejak 12 jam SMRS Anamnesa Khusus G1P0A0 pasien datang ke RS mengaku hamil 9 bulan, mengeluh keluar cairan dari jalan lahir sejak 12 jam SMRA. Cairan berrwarna jernih dan tidak bau. Mules-mules dirasakan semakin sering dan kuat sejak 2 jam SMRS, disertai keluar lendir bercampur sedikit darah dari jalan lahir. Gerak janin masih dirasakan ibu. Riwayat Obstetri 1. Hamil ini. Riwayat Perkawinan Status Usia saat menikah : menikah pertama kali : istri : 22 tahun Suami : 25 tahun Haid HPHT Siklus Lama Banyaknya darah Nyeri haid Menarche usia : 21 Juni 2012 : teratur : 7 hari : biasa : tidak ada : 14 tahun

Kontrasepsi Terakhir Belum pernah Prenatal Care Ke bidan. Jumlah kunjungan PNC 3 kali. Terakhir PNC tidak diketahui. Keluhan selama Kehamilan Tidak ada

Riwayat Penyakit Dahulu Tidak ada. PEMERIKSAAN FISIK KU Nadi RR : Compos mentis : 92x/menit : 20x/menit Tensi : 120/80 mmHg

Suhu : 36,5 C Kepala : conjunctiva tidak anemis Sklera tidak ikterik Leher : tiroid : tidak ada kelainan KGB : tidak ada kelainan Thorak : Cor : BJ murni reguler Pulmo : Sonor, VBS kanan=kiri Abdomen : cembung lembut, DM (-), NT (-), PS/PP(-) Hepar : tidak teraba Lien : tidak teraba Ekstremitas : edema dan varises tidak ada pada kedua kaki

STATUS OBSTETRIK Pemeriksaan Luar TFU / Lingkar Perut : 34 cm Letak Anak His DJJ Inspekulo Perabaan Fornices Pemeriksaan Dalam Vulva Vagina Portio Pembukaan Ketuban Bag. Terendah Bishop Score 1. Posisi serviks = 1 (intermediate) 2. Konsistensi 3. Pendataran 4. Dilatasi 5. Stasion Total score = 2 (soft) = 1 (40-50%) = 1 (2 cm) = 1 (-2) (6) : tidak ada kelainan : tidak ada kelainan : tebal lunak : 2 cm :: kepala : kepala, punggung kanan : 1 x/10menit, lama his 10 detik : 128 x/menit : tidak dilakukan : tidak dilakukan

DIAGNOSIS (ASSESMENT) G1P0A0 39 minggu parturien aterm kala 1 fase laten dengan Ketuban Pecah Dini

RENCANA PENGELOLAAN / TINDAKAN -Cek lab darah rutin -Observasi KU, tanda vital, His, DJJ -Rencana partus pervaginam -Drip oksitosin 5 IU dalam 500 cc RL

PEMERIKSAAN PENUNJANG (LABORATORIUM) Tanggal 2 April 2013 1. HEMATOLOGI Darah Rutin Hemoglobin Hematokrit Lekosit Trombosit Eritrosit : 11 g/dL (12-16) : 36% (35-47) : 15.500/mm3 (3.800-10.600) : 183.000/mm3 (150.000-440.000) : 4,26 juta/mm3 (3,6-5,8)

Tanggal 3 April 2013 1. HEMATOLOGI Darah Rutin Hemoglobin Hematokrit Lekosit Trombosit Eritrosit : 10,8 g/dL (12-16) : 35% (35-47) : 15.100/mm3 (3.800-10.600) : 160.000/mm3 (150.000-440.000) : 4,54 juta/mm3 (3,6-5,8)

FOLLOW UP DOKTER TANGGAL 2 April 2013 CATATAN S: tidak ada keluhan O : KU : Compos Mentis Tensi : 120/80 mmHg Nadi :76x/menit RR : 20x/menit His : 4-5x/10/20 BJA : 137x/menit A : G1P0A0 parturien aterm kala 1 fase aktif, gagal drip oksitosin 2 April 2013 (POD 0) Post SC S:O :Tensi : 100/60 mmHg Nadi : 80x/menit RR : 20x/menit Suhu : afebris Abdomen : datar lembut DM (-) PS/PP (-) NT (+) BU (-) TFU : 2 jari di bawah pusat, kontraksi baik Perdarahan pervaginam (-) Lochia rubra Diuresis : 200cc LO : tertutup verband Jenis operasi : SCTP + IUD Anestesi : spinal -IVFD RL:D5 = 2:1 30gtt/menit -Cefotaxime 2x1 g IV -Ketoprofen 2x1 supp -Metronidazole 3x500 mg IV -Tidak puasa -Terlentang sampai dengan 24 jam post operasi -Mobilitas bertahap -Cek Hb pasca operasi -Transfusi s/d Hb >8g/dL -Observasi KU, tanda vital, perdarahan INSTRUKSI -Rencanakan SC atas indikasi gagal drip -Informed consent -Konsul anestesi -Hubungi OK EMG -Sedia darah

A : P1A0 partus maturus dengan SC atas indikasi gagal drip oksitosin 3 April 2013 (POD 1) S : tidak ada keluhan O : KU : compos mentis Tensi : 120/80 mmHg Nadi : 80x/menit RR : 20x/menit Suhu : afebris Abdomen : datar lembut NT (-), DM (-), PS/PP (-) TFU : 2 jari bawah pusat, kontraksi baik Perdarahan pervaginam : (+) Lochia rubra LO : tertutup verband BU : (+) A : P1A0 partus maturus dengan SC atas indikasi gagal drip oksitosin -IVFD RL:D5 = 2:1 30gtt/menit -Cefotaxime 2x1 g IV -Ketoprofen 2x1 supp -Metronidazole 3x500 mg IV -Mobilisasi

4 April 2013 (POD 2)

S : tidak ada keluhan O : KU : Compos Mentis Tensi : 110/70 mmHg Nadi : 80x/menit RR : 20x/menit Suhu : afebris Abdomen : datar lembut

-Lepas infus -Cefadroxil 2x500mg -Asam Mefenamat 3x500mg -Metronidazole 3x500 mg -Mobilisasi

10

NT (+), DM (-), PS/PP (-) ASI -/Perdarahan pervaginam : (+) BAK/BAB : +/+ LO : kering terawat A : P1A0 partus maturus dengan SC atas indikasi gagal drip oksitosin 5 April 2013 (POD 3) S : tidak ada keluhan O : KU : Compos Mentis Tensi : 110/70 mmHg Nadi : 84x/menit RR : 18x/menit Suhu : afebris Abdomen : datar lembut NT (+), DM (-), PS/PP (-) TFU : 2 jari di bawah pusat ASI -/Perdarahan pervaginam : (+) BAK/BAB : +/+ LO : kering terawat A : P1A0 partus maturus dengan SC atas indikasi gagal drip oksitosin -Lanjutkan -Boleh pulang

11

LAPORAN OPERASI Tanggal 2 April 2013 Operator Asisten 1 Ahli Anestesi Asisten Anestesi Jenis Anestesi Obat Anestesi Diagnosa Pra Bedah oksitosin Indikasi Operasi Diagnosa Pasca Bedah oksitosin Jenis Operasi Kategori Operasi Desinfeksi Kulit Laporan Operasi Lengkap : SCTP + insersi IUD : Besar : Povidone Iodine 10% : : Gagal drip oksitosin : P1A0 partus maturus dengan SC ec gagal drip : Dr. Arry : : dr. Hj. Hayati, Sp.An : Zr. Fitri : Spinal : Bunasta : G1P0A0 parturien aterm kala 1 fase aktif, gagal drip

Dilakukan tindakan a dan antiseptik pada abdomen dan sekitarnya Insisi mediana inferior 10 cm Setelah peritoneum dibuka, tampak dinding depan uterus SBR disayat konkaf, diperlebar dengan jari penolong ke kiri dan kanan

12

Jam 09.20 WIB : lahir bayi laki-laki dengan meluksir kepala BB : 3250 gram APGAR 1 : 6 PB : 51 cm 5 : 8

Disuntikkan oksitosin 10 IU intramural, kontraksi baik Jam 09.23 WIB : lahir plasenta dengan tarikan ringan pada tali pusat B : 500 gram Ukuran : 18x18x4 cm Lapis 2 dijahit jelujur interlocking Setelah yakin tidak ada perdarahan, rongga abdomen dibersihkan dari darah dan bekuan darah Fascia dijahit dengan PGA no 1 kulit subkutikuler Perdarahan saat operasi 400cc Diuresis 200cc

SBR dijahit 2 lapis; lapis 1 dijahit jelujur, sebelum dijahit diinsersi IUD

PERMASALAHAN 1. Apakah diagnosa ketuban pecah dini pada pasien ini sudah benar? 2. Bagaimana pengelolaan yang seharusnya pada pasien ini? 3. Bagaimana prognosis pada pasien ini? PEMBAHASAN 1. Pasien Ny. R usia 22 tahun datang ke UGD dengan keluhan utama keluar air dari jalan lahir. Setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka didapatkan diagnosis G1P0A0 39 minggu parturien aterm kala I fase laten dengan Ketuban Pecah Dini. Diagnosis KPD didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Berdasarkan anamnesis didapatkan keluhan yang sesuai dengan teori ,yaitu pasien mengeluhkan keluar air-air dari jalan lahir sejak 12 jam SMRS. Air-air tersebut jernih dan tidak berbau. Selain itu, pasien juga mulesmules dirasakan semakin sering, keluar lendir dan bercak darah dari jalan

13

lahir sejak 2 jam SMRS. Gerak janin masih dirasakan ibu menandakan bahwa janin masih hidup Berdasarkan teori, diagnosis KPD 90% dapat ditegakkan melalui anamnesis. Dari anamnesis didapatkan pasien merasa basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan yang banyak secara tiba-tiba dari jalan lahir. Cairan jernih dan tidak berbau menandakan kemungkinan besar adalah cairan ketuban. Mules makin sering menandakan adanya his walaupun belum teratur menandakan adanya reaksi dari kemungkinan pecahnya ketuban pada ibu. Teori Pasien merasa basah pada vagina. Mengeluarkan cairan banyak tiba -tiba dari jalan lahir. Warna cairan diperhatikan. His belum teratur atau belum ada. Kasus Pasien datang dengan keluhan keluar air-air dari jalan lahir Riwayat keluar air ketuban dari jalan lahir sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit. Cairan yang keluar jernih dan tidak Mules-mules dirasakan semakin sering, keluar lendir dan bercak darah dari jalan lahir sejak 2 jam SMRS Pada kasus, pemeriksaan fisik secara umum dalam batas normal, baik pemeriksaan tanda vital, maupun status generalisata dari pasien. Pada pasien tidak didapatkan adanya tanda-tanda infeksi. Suhu pasien normal yaitu 36.5 o C. Denyut nadinya juga dalam batas normal, yaitu 92 kali per menit. Berdasarkan teori, pemeriksaan fisik pada kasus KPD ini penting untuk menentukan ada tidaknya tanda-tanda infeksi pada ibu. Hal ini terkait dengan penatalaksanaan KPD selanjutnya dimana risiko infeksi ibu dan janin meningkat pada KPD. Umumnya dapat terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Selain itu juga didapatkan adanya nadi yang cepat.

14

Meskipun berdasarkan pemeriksaan tersebut dan penunjang, yaitu: laboratorium bahwa leukosit pasien meningkat menjadi 15.500/mm3, menunjukan adanya tanda infeksi pada ibu, yang memungkinkan proses infeksi berasal dari ketuban yang sudah terinfeksi akibat pecahnya ketuban yang sudah berlangsung 12 jam sebelum masuk rumah sakit. Namun, secara klinis tidak adanya infeksi yang meluas pada pasien Sehingga, rencana penatalaksanaannya sebagai KPD dengan tanpa ada tanda infeksi. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan inspekulo. Pemeriksaan ini tidak dilakukan karena sebelumnya pasien memiliki riwayat keluar air-air. Cairan yang keluar berwarna jernih mengalir. Pada kasus, pasien ini hanya dilakukan pemeriksaan dalam pada saat pertama kali datang untuk menentukan ada tidaknya pembukaan. Pada saat di lakukan pemeriksaan dalam pada pasien ini pembukaan portio masih 2 cm, dengan konsistensi tebal lunak, ketuban (-). Pemeriksaan dalam vagina dibatasi seminimal mungkin dan hanya dilakukan kalau KPD yang sudah dalam persalinan atau yang dilakukan induksi persalinan dan pada pasien dengan KPD akan ditemukan selaput ketubannya negatif. 2. Pada kasus ini, keluar air ketuban dari jalan lahir atau dalam hal ini pecahnya ketuban dicurigai terjadi 12 jam sebelum masuk rumah sakit, sementara belum ada tanda-tanda inpartu pada pemeriksaan dalam. Kebanyakan penulis sepakat mengambil 2 faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengambil sikap atau tindakan terhadap pasien KPD, yaitu umur kehamilan dan ada tidaknya tandatanda infeksi pada ibu. Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi pada ibu. Waktu pemberian antibiotik hendaknya diberikan segera setelah diagnosis KPD ditegakkan. Pada pasien baru mendapatkan antibiotik setelah dilakukan SC sehingga tidak mendapatkan antibiotik profilaksis. Antibiotik yang diberikan post SC merupakan pencegahan untuk mengatasi adanya infeksi pasca operasi,

15

Beberapa penulis menyarankan bersikap aktif (induksi persalinan) segera diberikan atau ditunggu sampai 6-8 jam dengan alasan pasien akan menjadi inpartu dengan sendirinya. Induksi dilakukan dengan memperhatikan Bishop score, jika > 5 induksi dapat dilakukan dan bila > 8 maka prediksi keberhasilan induksi akan makin tinggi, sebaliknya jika < 5, dilakukan pematangan serviks, jika tidak berhasil akhiri persalinan dengan seksio sesarea. Teori Kasus Pemberian antibiotik profilaksis dapat Pasien diberikan injeksi antibiotik menurunkan infeksi pada ibu Bila skor pelvik < 5, lakukan kemudian 5, induksi pematangan induksi. Bila skor pelvik > serviks, Cefotaxime 3 x 1gr Dilakukan oxytocin induksi dengan drip

persalinan. Bishop score pada pasien adalah 6, dengan mempertimbangkan bishop score > 5 dan usia kehamilan > 37 minggu maka dilakukan induksi persalinan segera. Induksi dilakukan dengan pemberian oksitosin karena mudah didapat dan efektif. Namun, setelah pemberian 3 kali (3 labu) oksitosin dalam 24 jam, pembukaan hanya mencapai hingga 8 cm dan kontraksi uterus masih tidak cukup adekuat (kurang dari 3 kali tiap 10 menit, tidak berdurasi sama dengan atau lebih dari 40 detik). Oleh karena itu, pasien ini dikatakan gagal drip. Ketidakberhasilan tersebut sesuai dengan prediksi bishop score, yaitu bishop score < 8 memiliki tingkat keberhasilan yang kecil. Sehingga pada pasien dengan gagal drip saat ini perlu dilakukan terminasi kehamilan dengan tindakan operasi SC. DJJ bayi 128x/menit menandakan tidak adanya kondisi gawat janin.

16

3. Prognosis quo ad vitam pada pasien ini bonam, karena keadaan umum dan tanda vital pasien sebelum dan sesudah pasien operasi baik, tidak ada tandatanda infeksi yang meluas sebelum dan setelahnya. Prognosis quo ad functionam ad bonam, karena hanya dilakukan operasi SC sehingga tidak merusak fungsi organ reproduksinya. Prognosis quo ad sananctionam ad bonam, karena berdasarkan tinjauan pustaka tidak didapatkan resiko permanen (internal) terjadinya ketuban pecah dini, sehingga kehamilan berikutnya dapat dicegah dengan menghindari adanya faktor dari luar (seperti infeksi) agar tidak terulang lagi.

17

BAB III PEMBAHASAN UMUM 3.1. KETUBAN PECAH DINI (KPD) Ketuban pecah dini atau spontaneus/early/premature rupture of membrans (PROM) merupakan pecahnya selaput ketuban secara spontan pada saat belum menunjukkan tanda-tanda persalinan / inpartu (keadaan inpartu didefinisikan sebagai kontraksi uterus teratur dan menimbulkan nyeri yang menyebabkan terjadinya efficement atau dilatasi serviks) atau bila satu jam kemudian tidak timbul tanda-tanda awal persalinan atau secara klinis bila ditemukan pembukaan kurang dari 3 cm pada primigravida dan kurang dari 5 cm pada multigravida. Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi kapan saja baik pada kehamilan aterm maupun preterm. Saat aterm sering disebut dengan aterm prematur rupture of membrans atau ketuban pecah dini aterm. Bila terjadi sebelum umur kehamilan 37 minggu disebut ketuban pecah dini preterm / preterm prematur rupture of membran (PPROM) dan bila terjadi lebih dari 12 jam maka disebut prolonged PROM.2 3.1.2. Etiologi KPD Secara teoritis pecahnya selaput ketuban disebabkan oleh hilangnya elastisitas yang terjadi pada daerah tepi robekan selaput ketuban dengan perubahan yang besar. Hilangnya elastisitas selaput ketuban ini sangat erat kaitannya dengan jaringan kolagen, yang dapat terjadi karena penipisan oleh infeksi atau rendahnya kadar kolagen. Kolagen pada selaput terdapat pada amnion di daerah lapisan kompakta, fibroblas serta pada korion di daerah lapisan retikuler atau trofoblas, dimana

3.1.1. Definisi KPD

18

sebagaian bear jaringan kolagen terdapat pada lapisan penunjang (dari epitel amnion sampai dengan epitel basal korion). Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh sistem aktifitas dan inhibisi intrleukin-1 dan prostaglandin. Adanya infeksi dan inflamasi menyebabkan bakteri penyebab infeksi mengeluarkan enzim protease dan mediator inflamasi interleukin-1 dan prostaglandin. Mediator ini menghasilkan kolagenase jaringan sehingga terjadi depolimerisasi kolagen pada selaput korion/amnion menyebabkan selaput ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan. Selain itu mediator terebut membuat uterus berkontraksi sehingga membran mudah ruptur akibat tarikan saat uterus berkontraksi.4 Sampai saat ini penyebab KPD belum diketahui secara pasti, tetapi ditemukan beberapa faktor predisposisi yang berperan pada terjadinya ketuban pecah dini, antara lain: 1. Infeksi Adanya infeksi pada selaput ketuban (korioamnionitis lokal) sudah cukup untuk melemahkan selaput ketuban di tempat tersebut. Bila terdapat bakteri patogen di dalam vagina maka frekuensi amnionitis, endometritis, infeksi neonatal akan meningkat 10 kali. Ketuban pecah dini sebelum kehamilan preterm sering diakibatkan oleh adanya infeksi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bakteri yang terikat pada membran melepaskan substrat seperti protease yang menyebabkan melemahnya membran. Penelitian terakhir menyebutkan bahwa matriks metalloproteinase merupakan enzim spesifik yang terlibat dalam pecahnya ketuban oleh karena infeksi.2 2. Defisiensi vitamin C Vitamin C diperlukan untuk pembentukan dan pemeliharaan jaringan kolagen. Selaput ketuban (yang dibentuk oleh jaringan kolagen) akan mempunyai elastisitas yang berbeda tergantung kadar vitamin C dalam darah ibu.2 3. Faktor selaput ketuban Pecahnya ketuban dapat terjadi akibat peregangan uterus yang berlebihan atau terjadi peningkatan tekanan yang mendadak di dalam kavum amnion, di samping juga ada kelainan selaput ketuban itu sendiri. Hal ini terjadi seperti pada sindroma Ehlers-

19

Danlos, dimana terjadi gangguan pada jaringan ikat oleh karena defek pada sintesa dan struktur kolagen dengan gejala berupa hiperelastisitas pada kulit dan sendi, termasuk pada selaput ketuban yang komponen utamanya adalah kolagen. Dimana 72 % penderita dengan sindroma Ehlers-Danlos ini akan mengalami persalinan preterm setelah sebelumnya mengalami ketuban pecah dini preterm.2 4. Faktor umur dan paritas Semakin tinggi paritas ibu akan makin mudah terjadi infeksi cairan amnion akibat rusaknya struktur serviks akibat persalinan sebelumnya.2 5. Faktor tingkat sosio-ekonomi Sosio-ekonomi yang rendah, status gizi yang kurang akan meningkatkan insiden KPD, lebih-lebih disertai dengan jumlah persalinan yang banyak, serta jarak kelahiran yang dekat.2 6. Faktor-faktor lain Inkompetensi serviks atau serviks yang terbuka akan menyebabkan pecahnya selaput ketuban lebih awal karena mendapat tekanan yang langsung dari kavum uteri. Beberapa prosedur pemeriksaan, seperti amniosintesis dapat meningkatkan risiko terjadinya ketuban pecah dini. Pada perokok, secara tidak langsung dapat menyebabkan ketuban pecah dini terutama pada kehamilan prematur. Kelainan letak dan kesempitan panggul lebih sering disertai dengan KPD, namun mekanismenya belum diketahui dengan pasti. Faktor-faktor lain, seperti : hidramnion, gamelli, koitus, perdarahan antepartum, bakteriuria, pH vagina di atas 4,5, stres psikologis, serta flora vagina abnormal akan mempermudah terjadinya ketuban pecah dini.2 Berdasarkan sumber yang berbeda, penyebab ketuban pecah dini mempunyai dimensi multifaktorial yang dapat dijabarkan sebagai berikut : Serviks inkompeten. Ketegangan rahim yang berlebihan : kehamilan ganda, hidramnion. Kelainan letak janin dalam rahim : letak sungsang, letak lintang. Kemungkinan kesempitan panggul : perut gantung, bagian terendah belum masuk pintu atas panggul, disproporsi sefalopelvik.

20

Kelainan bawaan dari selaput ketuban. Infeksi yang menyebabkan terjadi proses biomekanik pada selaput ketuban dalam bentuk proteolitik sehingga memudahkan ketuban pecah.5

3.1.3. Epidemiologi KPD Prevalensi KPD berkisar antara 3-18% dari seluruh kehamilan. Saat aterm, 810 % wanita hamil datang dengan KPD dan 30-40% dari kasus KPD merupakan kehamilan preterm atau sekitar 1,7% dari seluruh kehamilan. KPD diduga dapat berulang pada kehamilan berikutnya, menurut Naeye pada tahun 1982 diperkirakan 21% rasio berulang, sedangkan penelitian lain yang lebih baru menduga rasio berulangnya sampai 32%. Hal ini juga berkaitan dengan meningkatnya risiko morbiditas pada ibu atau pun janin. Komplikasi seperti : korioamnionitis dapat terjadi sampai 30% dari kasus KPD, sedangkan solusio plasenta berkisar antara 4-7%. Komplikasi pada janin berhubungan dengan kejadian prematuritas dimana 80% kasus KPD preterm akan bersalin dalam waktu kurang dari 7 hari. Risiko infeksi meningkat baik pada ibu maupun bayi. Insiden korioamnionitis 0,5-1,5% dari seluruh kehamilan, 3-15% pada KPD prolonged, 15-25% pada KPD preterm dan mencapai 40% pada ketuban pecah dini dengan usia kehamilan kurang dari 24 minggu. Sedangkan insiden sepsis neonatus 1 dari 500 bayi dan 2-4% pada KPD lebih daripada 24 jam.2 3.1.4. Patofisiologi KPD Pecahnya selaput ketuban saat persalinan disebabkan oleh melemahnya selaput ketuban karena kontraksi uterus dan peregangan yang berulang. Daya regang ini dipengaruhi oleh keseimbangan antara sintesis dan degradasi komponen matriks ekstraseluler pada selaput ketuban.2

21

Gambar 3.1. Gambar skematik struktur selaput ketuban saat aterm.2 Pada ketuban pecah dini terjadi perubahan-perubahan seperti penurunan jumlah jaringan kolagen dan terganggunya struktur kolagen, serta peningkatan aktivitas kolagenolitik. Degradasi kolagen tersebut terutama disebabkan oleh matriks metaloproteinase (MMP). MMP merupakan suatu grup enzim yang dapat memecah komponen-komponen matriks ektraseluler. Enzim tersebut diproduksi dalam selaput ketuban. MMP-1 dan MMP-8 berperan pada pembelahan triple helix dari kolagen fibril (tipe I dan III), dan selanjutnya didegradasi oleh MMP-2 dan MMP-9 yang juga memecah kolagen tipe IV. Pada selaput ketuban juga diproduksi penghambat metaloproteinase / tissue inhibitor metalloproteinase (TIMP). TIMP-1 menghambat aktivitas MMP-1, MMP-8, MMP-9 dan TIMP-2 menghambat aktivitas MMP-2. TIMP-3 dan TIMP-4 mempunyai aktivitas yang sama dengan TIMP-1.2 Keutuhan dari selaput ketuban tetap terjaga selama masa kehamilan oleh karena aktivitas MMP yang rendah dan konsentrasi TIMP yang relatif lebih tinggi. Saat mendekati persalinan keseimbangan tersebut akan bergeser, yaitu didapatkan kadar MMP yang meningkat dan penurunan yang tajam dari TIMP yang akan

22

menyebabkan

terjadinya

degradasi

matriks

ektraseluler

selaput

ketuban.

Ketidakseimbangan kedua enzim tersebut dapat menyebabkan degradasi patologis pada selaput ketuban. Aktivitas kolagenase diketahui meningkat pada kehamilan aterm dengan ketuban pecah dini. Sedangkan pada preterm didapatkan kadar protease yang meningkat terutama MMP-9 serta kadar TIMP-1 yang rendah.2 Gangguan nutrisi merupakan salah satu faktor predisposisi adanya gangguan pada struktur kolagen yang diduga berperan dalam ketuban pecah dini. Mikronutrien lain yang diketahui berhubungan dengan kejadian ketuban pecah dini adalah asam askorbat yang berperan dalam pembentukan struktur triple helix dari kolagen. Zat tersebut kadarnya didapatkan lebih rendah pada wanita dengan ketuban pecah dini. Pada wanita perokok ditemukan kadar asam askorbat yang rendah.2 Infeksi Infeksi dapat menyebabkan ketuban pecah dini melalui beberapa mekanisme. Beberapa flora vagina termasuk Streptokokus grup B, Stafilokokus aureus dan Trikomonas vaginalis mensekresi protease yang akan menyebabkan terjadinya degradasi membran dan akhirnya melemahkan selaput ketuban. Respon terhadap infeksi berupa reaksi inflamasi akan merangsang produksi sitokin, MMP, dan prostaglandin oleh netrofil PMN dan makrofag. Interleukin-1 dan tumor nekrosis faktor yang diproduksi oleh monosit akan meningkatkan aktivitas MMP-1 dan MMP-3 pada sel korion. Infeksi bakteri dan respon inflamasi juga merangsang produksi prostalglandin oleh selaput ketuban yang diduga berhubungan dengan ketuban pecah dini preterm karena menyebabkan iritabilitas uterus dan degradasi kolagen membran. Beberapa jenis bakteri tertentu dapat menghasilkan fosfolipase A2 yang melepaskan prekursor prostalglandin dari membran fosfolipid. Respon imunologis terhadap infeksi juga menyebabkan produksi prostaglandin E2 oleh sel korion akibat perangsangan sitokin yang diproduksi oleh monosit. Sitokin juga terlibat dalam induksi enzim siklooksigenase II yang berfungsi mengubah asam arakidonat menjadi prostalglandin. Sampai saat ini hubungan langsung antara produksi prostalglandin dan ketuban pecah dini belum diketahui, namun

23

prostaglandin terutama E2 dan F2 telah dikenal sebagai mediator dalam persalinan mamalia dan prostaglandin E2 diketahui mengganggu sintesis kolagen pada selaput ketuban dan meningkatkan aktivitas dari MMP-1 dan MMP-33. Indikasi terjadi infeksi pada ibu dapat ditelusuri metode skrining klasik, yaitu temperatur rektal ibu dimana dikatakan positif jika temperatur rektal lebih 38C, peningkatan denyut jantung ibu lebih dari 100x/menit, peningkatan leukosit dan cairan vaginal berbau.2

Tabel 3.1. Frekuensi gejala yang berhubungan dengan infeksi intra-amniotik.2 Hormon Progesteron dan estradiol menekan proses remodeling matriks ekstraseluler pada jaringan reproduktif. Kedua hormon ini didapatkan menurunkan konsentrasi MMP-1 dan MMP-3 serta meningkatkan konsentrasi TIMP pada fibroblas serviks dari kelinci percobaan. Tingginya konsentrasi progesteron akan menyebabkan penurunan produksi kolagenase pada babi walaupun kadar yang lebih rendah dapat menstimulasi produksi kolagen. Ada juga protein hormon relaxin yang berfungsi mengatur pembentukan jaringan ikat diproduksi secara lokal oleh sel desidua dan plasenta. Hormon ini mempunyai aktivitas yang berlawanan dengan efek inhibisi oleh progesteron dan estradiol dengan meningkatkan aktivitas MMP-3 dan MMP-9 dalam membran janin. Aktivitas hormon ini meningkat sebelum persalinan pada selaput ketuban manusia saat aterm. Peran hormon-hormon tersebut dalam patogenesis pecahnya selaput ketuban belum dapat sepenuhnya dijelaskan.2 Kematian Sel Terprogram

24

Pada ketuban pecah dini aterm ditemukan sel-sel yang mengalami kematian sel terpogram (apoptosis) di amnion dan korion terutama disekitar robekan selaput ketuban. Pada korioamnionitis terlihat sel yang mengalami apoptosis melekat dengan granulosit, yang menunjukkan respon imunologis mempercepat terjadinya kematian sel. Kematian sel yang terprogram ini terjadi setelah proses degradasi matriks ekstraseluler dimulai, menunjukkan bahwa apoptosis merupakan akibat dan bukan penyebab degradasi tersebut. Namun mekanisme regulasi dari apoptosis ini belum diketahui dengan jelas.2 Peregangan Selaput Ketuban Peregangan secara mekanis akan merangsang beberapa faktor di selaput ketuban seperti prostaglandin E2 dan interleukin-8. Selain itu peregangan juga merangsang aktivitas MMP-1 pada membran. Interleukin-8 yang diproduksi dari sel amnion dan korionik bersifat kemotaktik terhadap neutrofil dan merangsang aktifitas kolegenase. Hal-hal tersebut akan menyebabkan terganggunya keseimbangan proses sintesis dan degradasi matriks ektraseluler yang akhirnya menyebabkan pecahnya selaput ketuban.2

25

Gambar. 3.2. Mekanisme multifaktorial menyebabkan ketuban pecah dini.2 3.1.5 Diagnosis KPD Menegakkan diagnosis KPD secara tepat sangat penting, karena diagnosis yang positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkan bayi terlalu awal atau melakukan seksio yang sebetulnya tidak ada indikasinya. Sebaliknya diagnosis yang negatif palsu berarti akan membiarkan ibu dan janin mempunyai resiko infeksi yang akan mengancam kehidupan janin, ibu atau keduanya. Oleh karena itu, diperlukan diagnosis yang cepat dan tepat. Diagnosis KPD ditegakkan dengan cara : 1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik Anamnesa pasien dengan KPD merasa basah pada vagina atau mengeluarkan cairan yang banyak berwarna putih jernih, keruh, hijau, atau kecoklatan sedikitsedikit atau sekaligus banyak, secara tiba-tiba dari jalan lahir. Keluhan tersebut dapat disertai dengan demam jika sudah ada infeksi. Pasien tidak sedang dalam masa persalinan, tidak ada nyeri maupun kontraksi uterus. Riwayat umur kehamilan pasien lebih dari 20 minggu.4 Pada pemeriksaan fisik abdomen, didapatkan uterus lunak dan tidak adanya nyeri tekan. Tinggi fundus harus diukur dan dibandingkan dengan tinggi yang diharapkan menurut hari pertama haid terakhir. Palpasi abdomen memberikan perkiraan ukuran janin dan presentasi.4 2. Pemeriksaan dengan spekulum Pemeriksaan dengan spekulum pada KPD untuk mengambil sampel cairan ketuban di forniks posterior dan mengambil sampel cairan untuk kultur dan pemeriksaan bakteriologis.5 Tiga tanda penting yang berkaitan dengan ketuban pecah dini adalah : 1. Pooling 3. Ferning pakis.8 : Kumpulan cairan amnion pada fornix posterior. : Cairan dari fornix posterior di tempatkan pada objek glass dan 2. Nitrazine Test : Kertas nitrazin merah akan jadi biru. didiamkan dan cairan amnion tersebut akan memberikan gambaran seperti daun

26

Pemeriksaan spekulum pertama kali dilakukan untuk memeriksa adanya cairan amnion dalam vagina. Perhatikan apakah memang air ketuban keluar dari ostium uteri eksternum apakah ada bagian selaput ketuban yang sudah pecah. Gunakan kertas lakmus. Bila menjadi biru (basa) adalah air ketuban, bila merah adalah urin. Karena cairan alkali amnion mengubah pH asam normal vagina. Kertas nitrazine menjadi biru bila terdapat cairan alkali amnion. Bila diagnosa tidak pasti, adanya lanugo atau bentuk kristal daun pakis cairan amnion kering (ferning) dapat membantu. Bila kehamilan belum cukup bulan penentuan rasio lesitin-sfingomielin dan fosfatidilgliserol membantu dalam evaluasi kematangan paru janin. Bila kecurigaan infeksi, apusan diambil dari kanalis servikalis untuk pemeriksaan kultur serviks terhadap Streptokokus beta group B, Clamidia trachomatis dan Neisseria gonorea.4 3. Pemeriksaan dalam Pemeriksaan dalam dilakukan untuk menentukan penipisan dan dilatasi serviks. Pemeriksaan vagina juga mengindentifikasikan bagian presentasi janin dan menyingkirkan kemungkinan prolaps tali pusat. Periksa dalam harus dihindari kecuali jika pasien jelas berada dalam masa persalinan atau telah ada keputusan untuk melahirkan.4 4. Pemeriksaan penunjang Dengan tes lakmus, cairan amnion akan mengubah kertas lakmus merah menjadi biru. Pemeriksaan leukosit darah, bila meningkat > 15.000 /mm 3 kemungkinan ada infeksi. USG untuk menentukan indeks cairan amnion, usia kehamilan, letak janin, letak plasenta, gradasi plasenta serta jumlah air ketuban. Kardiotokografi untuk menentukan ada tidaknya kegawatan janin secara dini atau memantau kesejahteraan janin. Jika ada infeksi intrauterin atau peningkatan suhu, denyut jantung janin akan meningkat.

27

Amniosintesis digunakan untuk mengetahui rasio lesitin - sfingomielin dan fosfatidilsterol yang berguna untuk mengevaluasi kematangan paru janin.4 3.1.6. Penatalaksanaan KPD Konservatif Rawat di rumah sakit. Berikan antibiotik (ampisilin 4 x 500 mg atau eritromisin bila tidak tahan dengan ampisilin dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari). Jika umur kehamilan < 32 34 minggu, dirawat selama air ketuban masih keluar atau sampai air ketuban tidak keluar lagi. Jika umur kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes busa negatif : beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi dan kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah in partu, tidak ada infeksi, berikan tokolitik (salbutamol), deksametason dan induksi sesudah 24 jam. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan induksi. Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin). Pada usia kehamilan 32-34 minggu, berikan steroid untuk memacu kematangan paru janin dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomielin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari, deksametason i.m 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.6 Aktif Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal pikirkan seksio sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 50g intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali. Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika dosis tinggi dan persalinan diakhiri jika :

28

a. Bila skor pelvik < 5, lakukanlah pematangan serviks, kemudian induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea. b. Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam.6

Tabel. 3.2 Penatalaksanaan ketuban pecah dini.6

29

Gambar. 3.3 Alur penatalaksanaan ketuban pecah dini.5 3.1.7. Komplikasi KPD Persalinan Prematur Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi di dalam

30

24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu 50% persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu.1 Infeksi Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini. Pada ibu terjadi korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septikemia, pneumonia, omfalitis. Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Pada ketuban pecah dini prematur, infeksi lebih sering daripada aterm. Secara umum, insiden infeksi sekunder pada ketuban pecah dini meningkat sebanding dengan lamanya periode laten.1 Hipoksia dan Asfiksia Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan derajat oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat.1 Sindroma deformitas janin Ketuban pecah dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin, serta hipoplasia pulmonal.1 3.1.8. Prognosis KPD Ditentukan berdasarkan umur dari kehamilan, penatalaksanaan dan komplikasi-komplikasi yang mungkin timbul.2

3.2.

INDUKSI PERSALINAN

31

Tindakan induksi persalinan dilakukan bila hal tersebut dapat memberi manfaat bagi ibu dan atau anaknya.7 Indikasi: 1. Ketuban pecah dini dengan chorioamnionitis 2. Pre-eklampsia berat 3. Ketuban pcah dini tanpa diikuti dengan persalinan 4. Hipertensi dalam kehamilan 5. Gawat janin 6. Kehamilan postterm Kontra Indikasi: 1. Cacat rahim ( akibat sectio caesar jenis klasik atau miomektomi intramural) 2. Grande multipara 3. Plasenta previa 4. Insufisiensi plasenta 5. Makrosomia 6. Hidrosepalus 7. Kelainan letak janin 8. Gawat janin 9. Ragangan berlebihan uterus : gemeli dan hidramnion 10. Kontra indikasi persalinan spontan pervaginam:
o o o

Kelainan panggul ibu (kelainan bentuk anatomis, panggul sempit) Infeksi herpes genitalis aktif Karsinoma Servik Uteri

Pematangan Servik Pra Induksi Persalinan Tingkat kematangan servik merupakan faktor penentu keberhasilan tindakan induksi persalinan. Tingkat kematangan servik dapat ditentukan secara kuantitatif dengan BISHOP SCORE yang dapat dilihat pada tabel dibawah, Nilai > 8 menunjukkan derajat kematangan servik yang paling baik dengan angka keberhasilan

32

induksi persalinan yang tinggi. Umumnya induksi persalinan yang dilakukan pada kasus dilatasi servik 2 cm, pendataran servik 80% , kondisi servik lunak dengan posisi tengah dan derajat stasion -1 akan berhasil dengan baik. Akan tetapi sebagian besar kasus menunjukkan bahwa ibu hamil dengan induksi persalinan memiliki servik yang tidak favourable ( Skoring Bishop < 5 ) untuk dilakukannya induksi persalinan.

Induksi Persalinan Dengan Oksitosin7,8 Oksitosin adalah suatu obat yang paling sering digunakan di amerika serikat. Oksitosin adalah hormone polipeptida yang pertama kali di sintesis. Hampir semua wania mendapatkan oksitosin setelah melahirkan dan banyak yang juga mendapatkannya untuk induksi atau augmentasi persalinan. Menurut national center for health statistics, pada tahun 1995 lebih dari 1.3 juta amerika diberi oksitosin untuk merangsang persalinan (Ventura.,dkk.1997) Pada banyak kasus hanya terdapatperbedaan semantic antara induksi dan augmentasi persalinan. Induksi persalinan mengisyaratkan stimulasi kontraksi sebelum awitan spontan persalinan, dengan atau tanpa pecahnya ketuban. Augmentasi merujuk pada stimulasi kontraksi spontan yang dianggap kurang memadai kareana tidak terjadinya kemajuan pembukaan serviks dan penurunan janin. Bebrapa dokter menganggap augmentasi mencakup stimulasi kontraksi setelah pecah ketuban
33

spontan tanpa persalinan. Sementara sebagian dokter menggunakan regimen infus oksitosin yang berbeda-beda untuk masing masing hal diatas. Dosis Oksitosin7,8 Menurut American collage of obstetricians and Gynecologists (1999), regimen oksitosin yang manapun dapat digunakan untuk menginduksi persalinan. Beberapa regimen disajikan disajikan pada table di bawah ini. Pada athun 1984, ODriscoll dkk menjelaskan suatu protocol untuk penatalaksanaan aktif persalianan yang memerlukan oksitosin dengan dosis awal 6 mU permenit dan ditingkatkan 6 mU permenit setelah protocol ini di publikasikan selama tahun 1990an diadakan uji klinis yang membandingkan regimen dosis tinggi ( 4-6 mU/menit) Versus dosis rendah konvensiolnal (0.5-1.5 mU / menit) baik untuk induksi maupun augmentasi. Regimen Dosis (mU/mnt) Dosis rendah Dosis tinggi 0.5-1 1-2 6 awal Peningkatan bertahan (mU/mnt) 1 2 6,3,1 Interval dosis (mnt) 30-40 15 15-40 Dosis maksimum (mU/mnt) 20 40 42

Tehnik Pemberian Oksitosin Drip 1. Pasien berbaring di tempat tidur dan tidur miring kiri 2. Lakukan penilaian terhadap tingkat kematangan servik. 3. Lakukan penilaian denyut nadi, tekanan darah dan his serta denyut jantung janin 4. Catat semua hasil penilaian pada partogram 5. 2.5 - 5 unit Oksitosin dilarutkan dalam 500 ml Dekstrose 5% (atau PZ) dan diberikan dengan dosis awal 10 tetes per menit.

34

6. Naikkan jumlah tetesan sebesar 10 tetes permenit setiap 30 menit sampai tercapai kontraksi uterus yang adekuat. 7. Jika terjadi hiperstimulasi (lama kontraksi > 60 detik atau lebih dari 4 kali kontraksi per 10 menit) hentikan infus dan kurangi hiperstimulasi dengan pemberian:
o o

Terbutalin 250 mcg IV perlahan selama 5 menit atau Salbutamol 5 mg dalam 500 ml cairan RL 10 tetes permenit

1. Jika tidak tercapai kontraksi yang adekuat setelah jumlah tetesan mencapai 60 tetes per menit: 2. Naikkan konsentrasi oksitosin menjadi 5 unit dalam 500 ml dekstrose 5% (atau PZ) dan sesuaikan tetesan infuse sampai 30 tetes per menit (15mU/menit) 3. Naikan jumlah tetesan infuse 10 tetes per menit setiap 30 menit sampai kontraksi uterus menjadi adekuat atau jumlah tetesan mencapai 60 tetes per menit. Jika masih tidak tercapai kontraksi uterus adekuat dengan konsentrasi yang lebih tinggi tersebut maka:

Pada multipgravida : induksi dianggap gagal dan lakukan sectio caesar. Pada primigravida, infuse oksitosin dapat dinaikkan konsentrasinya yaitu :
o o

10 Unit dalam 400 ml Dextrose 5% (atau PZ) , 30 tetes permenit Naikkan jumlah tetesan dengan 10 tetes permenit setiap 30 menit sampai tercapai kontraksi uterus adekuat. Jika sudah mencapai 60 tetes per menit, kontraksi uterus masih tidak adekuat maka induksi dianggap gagal dan lakukan Sectio Caesar.

Jangan berikan oksitosin 10 Unit dalam 500 ml Dextrose 5% pada pasien multigravida dan atau penderita bekas sectio Caesar.

35

DAFTAR PUSTAKA

1. Soewarto, S. 2009. Ketuban Pecah Dini. Dalam: Winkjosastro H., Saifuddin A.B., dan Rachimhadhi T. (Editor). Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal. 677-680.
2. Ketuban Pecah Dini. 2011. Diambil dari situs http://www.scribd.com/doc/

59744828/ketuban-pecah-dini-2.html. diakses pada tanggal 16 Juli 2012.


3. Ketuban Pecah Dini. 2011. Diambil dari situs http://www.scribd.com/doc/

65772733/KPD.html. diakses pada tanggal 16 Juli 2012. 4. Gde Manuaba, I.B. Ketuban Pecah Dini (KPD). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan & Keluarga Berencana. Jakarta: EGC; 2001. Hal: 229-232.
5. Ketuban Pecah Dini. 2011. Diambil dari situs http://www.scribd.com/doc/

65476803/tinjauan-pustaka-KPD.html. diakses pada tanggal 16 Juli 2012. 6. Saifudin A.B. 2006. Ketuban Pecah Dini, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal : 218-220. 7. Cunningham FG (editorial) : Induction of labor in William Obstetrics, Mc GrawHill Companies 22nd. 2005. ed p 536 545. 8. Saiffudin AB (ed): Induksi dan Akselerasi persalinan dalam Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal YBPSP,Jakarta, 2002.

36

You might also like