You are on page 1of 6

ANALISA RESEP

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepenitraan Klinik Ilmu Farmasi Kedokteran

Oleh Bambang Purwono I1A098029 Pembimbing Isnaini S. St. Apt

BAGIAN / INSTALASI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM BANJARBARU Mei 2004 BAB I

PENDAHULUAN

Resep yang berasal dari bahasa latin Reserpe ( disingkat R) yang berarti ambillah, menurut peraturan MenKes RI No. 224/1990 memiliki pengrtian sebagai berikut : Resep merupakan permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi atau dokter hewan kepada APA ( Apoteker Pengelola Apotik ) untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai peraturan perundang undangan yang berlaku Penulisan resep merupakan tindakan terakhir dari dokter untuk penderitanya setelah menentukan anamnesis, diagnosis, prognosis, dan terapi yang akan diberikan. Terapi dapat berupa profilaktik, simptomatik, dan kausatif. Terapi ini diwujudkan dalam bentuk resep.(2) Menurut peraturan Menkes RI No. 224/1990, resep merupakan suatu permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan kepada APA (Apoteker Pengelola Apotik) untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai peraturan perudang-undagan yang berlaku. Resep berasal dari bahasa latin Recipe yang disingkat (R/) yang berarti ambillah. Dalam arti sempit resep merupakan permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan untuk membuatkan obat dalam bentuk sediaan tertentu dan menyerahkannya pada penderita.(3) Dokter umum maupun dokter spesialis tidak ada pembatasan mengenai jenis obat yang boleh diberikan kepada penderitanya, sedangkan dokter gigi hanya boleh menuliskan resep berupa jenis obat yang berkaitan dengan penyakit gigi. Juga dokter hewan hanya boleh menuliskan resep untuk keperluan hewan semata. (2) Resep merupakan perwujudan akhir dari kompetisi, pengetahuan, dan keahlian dokter dalam menerapkan pengetahuannya dalam bidang farmakologi dan terapi. Selain

sifat-sifat obat yang diberikan dan dikaitkan dengan variabel penderita, maka dokter menulis resep perlu juga mengetahui penyerapan dan nasib obat dalam tubuh, eksresi obat, toksikologi dan penentuan dosis regimen yang rasional bagi setiap penderita secara individual.(2) Fungsi resep adalah sebagai perwujudan cara terapi, merupakan dokumen legal, catatan terapi, dan media komunikasi. Menurut peraturan pemerintah kertas resep harus disimpan, diatur menurut urutan tanggal dan nomor urut pembuatan, serta harus disimpan sekurang-kurangnya selama tiga tahun untuk kemungkinan penelusuran kembali bila terjadi sesuatu akibat dari obat yang diberikan. Setelah lewat tiga tahun, resep-resep oleh apotik boleh dimusnahkan dengan membuat berita acara pemusnahan (S.K.Menkes RI no 280/MenKes/SK/V/1981 mengenai penyimpanan resep di apotik). Resep dituliskan diatas suatu kertas resep. Ukuran kertas yang ideal ialah lebar 10-12 cm dan panjang 15-18 cm. Blangko kertas resep hendaknya disimpan ditempat yang aman untuk menghindarkan dicuri untuk disalahgunakan oleh orang yag tidak bertanggung jawab, antara lain dengan menuliskan resep palsu meminta obat bius.(2) Resep harus ditulis dengan lengkap, supaya dapat memenuhi syarat untuk dibuatkan obatnya diapotik. Model resep yang lengkap, terdiri dari : 1. Superscriptio, terdiri dari nama, alamat dan umur pasien. Simbol R/ (singkatan dari recipe) yang berarti harap ambil pada setiap nama obat/komposisi obat. 2. Inscriptio, memuat nama setiap jenis/bahan obat yang dibarikan serta jumlahnya. a). Jenis/bahan obat dalam resep terdiri dari: Remedium cardinale atau obat pokok yang mutlak harus ada. Obat pokok ini dapat berupa bahan tunggal, tapi dapat juga berupa beberapa bahan. Remedium adjuvant yaitu bahan yang membantu kerja obat pokok, tidak mutlak harus ada dalam suatu resep.

Corrigens hanya kalau diperlukan untuk memperbaiki rasa, warna, atau bau obat (corrigens saporis, coloris, dan odoris). Constituens atau vehikulum seringkali perlu terutama kalau resep berupa komposisi dokter sendiri bukan obat jadi. b). Jumlah bahan obat dalam resep dinyatakan dalam satuan berat untuk bahan padat (mikrogram, miligram, gram) dan satuan isi untuk cairan (tetes, mililiter, liter). Perlu diingat bahwa menuliskan angka tanpa keterangan lain, yang dimaksud adalah gram. 3. Subscriptio, memuat cara pembuatan (nama dan jumlah sediaan obat). Inscriptio dan subscriptio sama-sama disebut Praescriptio atau Ordonatio. 4. Signatura/transcriptio, memuat petunjuk cara pembuatan obat. Resep dokter praktek swasta, dikatakan sah jika terdapat nama, ijin praktek, alamat praktek, dan rumah, serta paraf dokter yang bersangkutan setelah setiap signatura. Khusus untuk obat psikotropika dan golongan narkotika harus ditandatangani. Sedangkan resep dokter rumah sakit/klinik/poliklinik, dikatakan sah jika terdapat nama dan alamat rumah sakit/klinik/poliklinik, nama dan tanda tanga/paraf dokter penulis resep tersebut serta bagian/unit di rumah sakit. Bahasa latin digunakan dalam resep, tidak saja untuk penulisan nama obat tetapi juga untuk ketentuan mengenai pembuatan atau bentuk obat, termasuk petunjuk aturan pemakaian obat yang pada umumnya ditulis berupa singkatan. Alasan penggunaan bahasa latin ini antara lain adalah karena bahasa latin merupakan bahasa yang mati, bahasa internasional dalam profesi kedokteran dan kefarmasian, menghindari dualisme, serta dalam hal-hal tertentu karena faktor psikologis, ada baiknya penderita tidak perlu mengetahui bahan obat yang diberikan kepadanya. (1) Adapun kaidah penulisan resep adalah :

1. Untuk penulisan nama obat dapat dituliskan dalam bentuk baku/aslinya (baik nama generik atau sinonimnya), obat jadi (standar/DOEN/generik berlogo) maupun obat paten. 2. Penulisan jumlah atau satuan obat : Berat : g(gram), mg(miligram), mcg(mikrogram) Volume : l(liter), ml(ililiter) Satuan international : SI, IU Persentase (%) : b/b; b/v; v/v; v/b Keempatnya ditulis dengan angka arab (1,2 dan seterusnya) 3. Alat penakar Sendok makan (15ml) : C, sendok teh (5 ml) : Cth, sendok bubur (8ml) : Cp, Tetesan (gtt/drops)(0,05 ml). Kekurangan pengetahuan dari ilmu mengenai obat-obatan dapat mengakibatkan bertambahnya toksisitas obat yang diberikan, terjadi interaksi antara obat satu dengan yang lain dan dengan makanan, tidak tercapai efektivitas obat yang dikehendaki, serta meningkatnya ongkos pengobatan bagi penderita.(3) Penyusunan suatu resep dikatakan rasional jika memenuhi 5 tepat : 1. Tepat obat : obat dipilih berdasarkan rasio manfaat-resiko, rasio manfaat harga, dan rasio terapi. 2. Tepat dosis : Obat ditentukan oleh faktor obat (fiska, kimia, dan toksisitas); cara pemberian obat (oral, parenteral, rektal, lokal dan sebagainya); faktor penderita (umur, berat badan, jenis kelamin, ras, toleransi, obesitas, sensitifitas individual dan keadaan patofisiologis). 3. Tepat bentuk sediaan obat : Bentuk sediaan yang dipilih mempunyai efek terapi yang optimal, efek samping minimal, dengan memperhatikan harga obat.

4. Tepat cara dan waktu penggunaan : Obat dipilih berdasarkan daya kerja obat, bioavailabilitas, serta pola hidup pasien (pola makan, tidur, defekasi dan lain-lain). 5. Tepat keadaan penderita : Obat disesuaikan dengan keadaan penderita, apakah anak-anak, geriatri, ibu hamil/menyusui, obesitas dan malnutrisi. Peresepan obat yang tidak rasional merupakan masalah yang kadang-kadang terjadi karena maksud baik dan perhatian dokter. Peresepan yang irasional dikelompokkan menjadi : (1) 1. Peresepan mewah, yaitu pemberian obat baru dan mahal padahal tersedia obat tua yang lebih murah yang sama efektif dan amannya, pengobatan simptomatik untuk keluhan remeh sehingga dana untuk penyakit berat tersedot, atau penggunaan obat dengan nama dagang walaupun tersedia obat generik yang sama baiknya. 2. Peresepan berlebihan, yaitu yang mengandung obat yang tidak diperlukan, dosis terlalu tinggi, pengobatan terlalu lama atau jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan. Terdapat beberapa jenis obat yang diberikan tanpa indikasi yang jelas dan tepat. Golongan obat tersebut adalah antibiotik, kortikosteroid, obat penurun berat badan, antikolesterol, vitamin dan tonikum, vasodilator, obat untuk memperbaiki metabolisme otak dan sediaan dermatologis. 3. Peresepan salah, yaitu obat diberikan untuk diagnosis yang keliru, obat yang dipilih tidak sesuai indikasi, penyediaan diapotik/RS salah, atau tidak disesuaikan dengan kondisi medis, genetik, lingkungan dan faktor lain yang ada. 4. Peresepan kurang, yaitu tidak memberikan obat yang diperlukan, dosis tidak mencukupi atau pengobatan terlalu singkat. 5. Polifarmasi, yaitu penggunaan dua atau lebih obat padahal satu obat sudah mencukupi atau pengobatan setiap gejala secara terpisah padahal [engobatan terhadap penyakit primernya sudah dapat mengatasi semua gejala.

You might also like