You are on page 1of 14

TALQIN, TAHLILAN DAN TAWASUL DALAM IBADAH

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi


Tugas Akhir Semester II Mata Kuliah Ke-NU-an
Dosen Pengampu: H. Ahmad Yani, S.Ag., M.Pd.I



Disusun Oleh :
Partini
NIRM. 12.1532



JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURAKARTA
2013
ii

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur hanya milik Allah SWT, atas segala limpahan nikmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Dalam makalah ini, penulis menyajikan materi tentang bagaimana talqin,
tahlilan maupun tawasul yang biaya menjadi amalan kaum nahdliyin merupakan
masalah yang bersifat furuiyah (cabang) di dalam agama Islam. Berbagai amalan
tersebut dilaksanakan dalam rangka menambah amaliyah sehari-sehari yang
menjadi bagian dari fadhoilul amal.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis memohon saran dan kritik demi perbaikan
makalah ini selanjutnya. Akhirnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan pembaca pada umumnya.

Surakarta, 24 J uni 2013
Penulis
















iii

DAFTAR ISI

HALAMAN J UDUL ................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................ 2
C. Rumusan Masalah ................................................................... 2
D. Tujuan Penulisan ..................................................................... 3
E. Manfaat Penulisan ................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................... 4
A. Talqin ...................................................................................... 4
B. Tahlilan ................................................................................... 6
C. Tawasul ................................................................................... 8
BAB III PENUTUP ..................................................................................... 10
A. Kesimpulan ............................................................................. 10
B. Saran ....................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 11
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Beragama merupakan sebuah kebutuhan bagi manusia, dan orang yang
beragama pasti punya keinginan untuk melakukan pendekatan terhadap
Tuhannnya (Allah). J alan yang ditempuh dalam untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, dan untuk itu
biasanya dibutuhkan simbol, upacara, alat yang dilakukan dengan cara
berpikir yang bersifat kebendaan (materialism).
Indonesia dalam hal keagamaan cenderung lebih bersifat ritual-ritual
yang bersifat upacara, simbolisasi, misal: talqin dan memperingati wafatnya
orang-orang yang dimuliakan yang dibiasanya diberikan acara tahlilan. Dalam
acara tahlilan tersebut, seorang pemimpin tahlil juga membaca bacaan yang
disampaikan baginda Rasulullah maupun orang-orang yang shalih sebagai
perantara mereka menyampaikan maksud lebih mendekatkan diri kepada
Allah dengan harapan Allah mengabulkan doa yang mereka panjatkan.
Ritual keberagamaan dalam hal upacara-upacara peringatan sudah
demikian kuat akarnya. Islam datang ke Indonesia melalui proses
percampuran budaya yang mentradisi di masyarakat dengan kuat. Secara pelan
dan halus menjadikan ajaran Islam bisa diterima di masyarakat.
Tahlilan merupakan salah satu upacara peringatan yang bersifat religi
(sistem kepercayaan) yang dilakukan oleh sebagian besar mayoritas
masyarakat muslim di Indonesia, pada awalnya merupakan sebuah acara
peringatan untuk seorang yang meninggal dunia, yang diyakini oleh sebagian
besar masyarakat. Bahwa seorang tadi arwahnya kembali kerumahnya, maka
di dalam kamarnya dipersiapkan makanan dan minuman yang menjadi
kesukaannya dimasa hidup (sesajen), tapi oleh ajaran Islam (pasca tradisional)
model peringatan untuk (almarhum/almarhumah) tadi dirubah menjadi
upacara peringatan yang bersifat kumpulan bersama-sama (sosial) serta
membaca bacaan-bacaan suci dan mulia yang biasa di sebut dengan tahlilan.
2

Dalam dunia ide, penciptaan ide bacaan tahlil tersebut sangat rasional,
jika dilihat dari makanan dan minuman yang tadinya hanya dipersembahkan
untuk yang sifatnya sesajen belaka, telah diputar balikkan menjadi jamuan
untuk orang-orang yang hidup dan ikut tahlilan, dalam hal kebutuhan perut
para undangan tujuh harinya dan itu sangat rasional yang disesuaikan
dengan kadar iman masing-masing orang.
Kehidupan religius merupakan sebuah kenyataan dari sebuah agama di
dalam kehidupan manusia untuk dapat mengenal lebih dekat dengan Tuhannya
melalui ritual-ritual yang bersifat rasional meyakinkan, sehingga menjadi
kebutuhan kehidupan menjadi moralitas spiritual seorang manusia dalam
menjalankan kehidupannya yang fana ini dalam fungsinya sebagai sebagai
makhluk sosial, budaya, dan bertradisi.

B. Identifikasi Masalah
Adapun identifikasi masalah dalam makalah ini, antara lain :
1. Masyarakat Indonesia dalam tradisi keberagamaannya cenderung bersifat
ritual-ritual yang berupa upacara maupun simbolisasi. Begitu juga
masuknya tradisi Islam seperti talqin dan tahlilan yang menggantikan
tradisi yang bertentangan dengan syariat yang berkembang di masyarakat,
seperti judi atau sekadar berbicara yang tidak bermanfaat di tempat rumah
orang yang meninggal dunia.
2. Tahlilan merupakan salah satu upacara peringatan yang bersifat religi
(sistem kepercayaan) yang dilakukan oleh sebagian besar mayoritas
masyarakat muslim di Indonesia, yang dilakukan dalam rangka
mentalqinkan (membacakan) kalimat-kalimat thoyibah yang biasanya
diawali dengan tawasul kepada baginda Nabi Muhammad maupun orang-
orang yang shalih.

C. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, maka penulis dapat membuat rumusan masalah
sebagai berikut:
3

1. Apa makna talqin yang biasa dilakukan di masyarakat berkaitan dengan
orang yang menjelang sakaratul maut?
2. Apa makna dan tujuan tahlilan yang berkembang di masyarakat Indonesia?
3. Apa tujuan dari tawasul yang dilakukan oleh masyarakat melalui bacaan
yang disampaikan kepada baginda Nabi Muhammad maupun orang-orang
yang shalih?

D. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui makna tradisi talqin, tahlilan maupun tawasul.
2. Mengetahui dasar-dasar tradisi talqin, tahlilan maupun tawasul yang biasa
dilakukan di masyarakat.

E. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
Menambah wawasan keilmuan berkaitan dengan tradisi talqin, tahlilan
maupun tawasul yang berkembang di masyarakat.
2. Manfaat Praktis
Memenuhi tugas akhir semester II mata kuliah Ke-NU-an.













4

BAB II
PEMBAHASAN

A. Talqin
1. Makna Talqin
Secara bahasa, kata talqin adalah shighat masdar berasal dari akar
kata bahasa arab laqqana-yulaqqinu yang secara etimologis bermakna
mendikte, mengajarkan atau memahamkan secara lisan. Kata itu sama
maksudnya dengan kata allama, fahhama dan musyafahah yang berarti
memahamkan secara lisan kepada orang lain.
1

Dalam pengertian istilah, talqin dipahami sebagai bimbingan
mengucapkan kalimat syahadat atau kalimat yang baik yang dibisikkan
kepada seorang mukmin yang telah menampakkan tanda-tanda kematian
atau dalam keadaan sakaratul maut. Tujuan bimbingan itu adalah untuk
mengingatkan kepada orang yang akan meninggal tersebut dengan tauhid,
sehingga akhir ucapan yang keluar adalah kalimat tauhid, yakni La Ilaha
Illallah.
Perlunya talqin untuk melafalkan kalimat tauhid adalah karena
pada saat menjelang kematian merupakan saat yang menentukan, saat
paling kritis bagi iman seseorang. Karena, setiap orang selalu berharap
mati husnul khatimah, akhir kehidupan yang baik. Ini maknanya bahwa
setiap orang memang berharap mati dalam keadaan iman kepada Allah.

2. Dasar-Dasar Landasan Talqin
a. Hadits
Diriwayatkan oleh Imam At-Tabarani dalam Muhyidin Abdus
Shomad (2004: 210-211) di dalam hadits yang panjang yang berasal
dari Abi Umamah Al-Bahily
2
yang maksudnya, "Apabila aku mati
nanti, lakukan padaku sebagaimana yang disuruh oleh Rasulullah agar

1
Lihat Kamus Al-Muhith, Juz IV hal 268, dalam bahasa Arab yakni tafhim, artinya,
memahamkan atau memberi faham.
2
Lihat ImamAt-Thabrani, Kitab Mujam As Shaghir dan Mujam Al Kabir
5

dilakukan kepada mayit, Rasulullah telah memerintah kita dengan
sabda baginda: Apabila matinya seorang daripada kalanganmu, maka
tanamlah dan berdirilah seorang di kalangan kamu semua pada bagian
kepala dikuburnya kemudian katakan Wahai si fulan anak si fulanah
(binti ibunya), orang itu mendengarnya tetapi dia tidak akan
menjawab, kemudian katakan Wahai fulan anak fulanah maka dia
duduk, kemudian katakan Wahai fulan anak fulanah maka dia berkata
semoga Allah merahmati kamu tetapi kamu semua tidak merasakan
(apa yang telah berlaku pada si mayat), maka hendaklah dikatakan :
Ingatlah apa yang telah menyebabkan kamu dilahirkan ke dunia yaitu
syahadah tiada Tuhan melainkan Allah dan Nabi Muhammad itu
hamba-Nya dan rasul-Nya dan engkau telah meridhai dengan Allah
sebagai tuhanmu dan Islam itu agamamu dan Muhammad itu nabimu
dan Al-Quran itu petunjukmu maka malaikat mungkar dan nakir akan
mengambil tangannya lantas berkata: Mari bersama kami bawakan
kepada siapa yang telah ditalqinkan hujahnya
Menurut para ulama hadits dari Abi Umamah diatas bersifat
dhaif karena ada seorang perawi yang tidak mencukupi syarat-syarat
sebagai perawi hadits, tetapi dalam rangka fadha-ilul Amal, hadits ini
dapat digunakan sebagaimana yang diungkapkan sayyid Alawi bin
Abbas al-Maliki Al Hasani
3
:


) (
Sekalipun hadits tentang talqin itu merupakan hadits dhaif,
namun dapat diamalkan dalam rangka fadho-ilul amal. Lebih-lebih
hadits itu masuk pada kategori prinsip yang universal, yakni usaha

3
Bahkan ada yang mengatakan bahwa hadits dari Umamah itu tidak tergolong
sebagai hadits dhaif, karena kekurangan pada perawinya dapat dibantu dan dikuatkan
dengan hadits yang lain, sehingga dapat dikatakan sebagai hadits hasan lighoirihi. Lihat
H. M. A. Irsyad Thalib Lubis, Fatwa Beberapa Masalah Agama, hal. 59
6

seorang mukmin untuk memberi (dan membantu saudaranya, serta
untuk memperingatkannya karena peringatan itu akan dapat
bermanfaat kepada orang mukmin.

(Majmu Fatawi Wa Rasa-il, hal.
111)
b. Pendapat Ulama
Menurut imam Nawawi, sunnah mentalqinkan mayit yang
sudah meninggal sebagaimana disampaikannya di dalam kitab Al-
Adzkar: Membaca talqin untuk mayit sesudah dimakamkan adalah
perbuatan sunnah. Ini adalah pendapat sekelompok ulama serta
mayoritas ulama Syafiiyyah. Ulama yang mengatakan kesunahan ini
diantaranya bernama Abu Sad al-Mutawalli dalam kitabnya al-
Timmah, Syaikh Imam Abu al-Fath Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi, al-
Imam Abu al-Qasim al-Rafii dan lainnya. Al-Qadhi Husain menyitir
pendapatnya ini dari kalangan Syafiiyyah.
4


B. Tahlilan
1. Makna Tahlilan
Pengertian tahlil secara umum, tahlil secara bahasa adalah ucapan
laaillaha illallah yang artinya tiada tuhan melainkan Allah, bacaan ini
sering dilakukan seorang muslim atau muslimah ketika selesai
melaksanakan shalat fardhu, seperti shalat isya, shubuh, dzuhur, ashar dan
maghrib dan shalat-shalat sunnah yang sering dianjurkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Bacaan tahlil sering dilanjutkan oleh bacaan-bacaan
yang lainnya yaitu bacaan tasbih, tahmid.
Pengertian tahlil secara khusus adalah tahlilan yaitu doa-doa yang
dipanjatkan secara bersama-sama untuk mendoakan orang yang sudah
meninggal, hal ini tidak hanya bacaan tahlil tetapi diikuti atau dilengkapi
oleh bacaan yang dianjurkan oleh para ulama yaitu bacaan Fatihah atau
surat Al-Fatihah, surat Al-Ikhlas, surat Al-Falaq, surat An-Nas, ayat kursi
dan doa-doa yang lainnya.

4
Lihat Al-Adzkar An-Nawawiyah, hal. 206.
7

2. Dasar-dasar Landasan Tahlilan
a. Hadits
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahih-nya berasal
dari Abi Said Al Khudriy
5
yang berbunyi:


) (
Dari Abi Said Al-Khudriy r.a., ia berkata: Rasulullah SAW
bersabda: Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada
Allah SWT, kecuali mereka akan dikelilingi malaikat. Dan Allah SWT
akan memberikan rahmat-Nya kepada mereka, memberikan
ketenangan hati dan memujinya di hadapan makhluk yang ada di sisi-
Nya. (HR. Muslim)
b. Pendapat Ulama
Menurut Imam Syaukani dalam Muhyidin Abdus Shomad
(2004: 225) mengenai dibolehkannya tahlilan sebagaimana
pendapatnya yakni: Para sahabat juga mengadakan perkumpulan di
rumah-rumah mereka atau di masjid, melagukan syair, mendiskusikan
hadits, kemudian mereka makan dan minum padahal di tengah mereka
ada Nabi SAW. Maka siapa saja yang mengharamkan perkumpulan
yang di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan, maka sungguh ia telah
salah. Karena sesungguhnya bidah itu adalah sesuatu yang dibuat-buat
dalam masalah agama, sedangkan perkumpulan semacam ini tidak
tergolong bidah.
6






5
Lihat Shahih Muslim, No. 4868.
6
Lihat ImamSyaukani, ar-Rasa-il as-Salafiyah, hal. 46.
8

C. Tawasul
1. Makna Tawasul
Pemahaman tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat Islam
selama ini adalah bahwa tawassul adalah berdoa kepada Allah melalui
suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun
melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat
kepada Allah. J adi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk
menuju Allah SWT.
Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah menjadikan
perantaraan berupa sesuatu yang dicintainya dan dengan berkeyakinan
bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut.
Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa
perantaranya kepada Allah bisa memberi manfaat dan madlorot
kepadanya. J ika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan
perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlorot,
maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi
manfaat dan madlorot sesungguhnya hanyalah Allah semata.
Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa. Banyak sekali
cara untuk berdo'a agar dikabulkan Allah, seperti berdoa di sepertiga
malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan
mendahuluinya dengan bacaan alhamdulillah dan sholawat dan meminta
doa kepada orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha
agar do'a yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah SWT.
Dengan demikian, tawasul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan
merupakan keharusan.

2. Dasar-dasar Landasan Tawasul
a. Al-Quran
!,!., _ `.., 1. < -., ,l| ,.l ..> _ .,,.
l-l _>l. __
9

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah
pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-
Maidah: 35)
b. Hadits
Sahabat Umar bin Khaththab r.a., ketika melakukan shalat istisqa juga
melakukan tawasul yang artinya: Dari Anas bin Malik r.a., beliau
berkata: Apabila terjadi kemarau, sahabat Umar bin Khaththab
bertawasul dengan Abbas bin Abdul Muththalib, kemudian berdoa:
Ya Allah, kami pernah berdoa dan bertawasul kepada-Mu dengan
Nabi SAW, maka Engkau turunkan hujan. Dan sekarang kami
bertawasul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan. Anas
berkata: Maka turunlah hujan kepada kami.
7

c. Pendapat Ulama
Syekh Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitabnya
memperbolehkan tawassul kepada nabi Muhammad SAW tanpa
membedakan apakah Beliau masih hidup atau sudah meninggal. Beliau
berkata : Dengan demikian, diperbolehkan tawassul kepada nabi
Muhammad SAW dalam doa, sebagaimana dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Turmudzi, Rasulullah s.a.w. mengajari
seseorang berdoa: (artinya): Ya Allah sesungguhnya aku meminta
kepada-Mu dan bertawassul kepadamu melalui nabi-Mu Muhammad
yang penuh kasih, wahai Muhammad sesungguhnya aku bertawassul
denganmu kepada Allah agar dimudahkan kebutuhanku maka berilah
aku sya'faat". Tawassul seperti ini adalah bagus.
8






7
Lihat Shahih Bukhari, No. 954.
8
Lihat Ibnu Taimiyah, Fatawa, J ilid 3 hal. 276
10

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan,
diantaranya:
1. Dalam pengertian istilah, talqin dipahami sebagai bimbingan
mengucapkan kalimat syahadat atau kalimat yang baik yang dibisikkan
kepada seorang mukmin yang telah menampakkan tanda-tanda kematian
atau dalam keadaan sakaratul maut dengan tujuan mengingatkan yang
sudah mati maupun yang masih hidup.
2. Makna tahlilan secara bahasa yakni membaca kalimat Laa Ilaaha Illallah.
Sedangkan makna tahlil secara khusus adalah tahlilan yaitu doa-doa yang
dipanjatkan secara bersama-sama untuk mendoakan orang yang sudah
meninggal, hal ini tidak hanya bacaan tahlil tetapi diikuti atau dilengkapi
oleh bacaan-bacaan yang lain seperti surah dan lain-lain yang dianjurkan
oleh para ulama.
3. Tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat Islam selama ini adalah
bahwa tawassul adalah berdoa kepada Allah melalui suatu perantara, baik
perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh
yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah, sehingga
apa yang dimaksudkan lebih cepat terkabul.

B. Saran
Makalah ini semoga dapat dilengkapi lagi dan dikaji semakin
mendalam mengenai tradisi-tradisi amaliyah umat Islam terutama kalangan
nahdliyin sehingga kelemahan maupun kekurangan dalam penyusunan
makalah ini dapat dilengkapi dan disempurnakan.



11

DAFTAR PUSTAKA

Abdus Shomad, Muhyidin. 2004. Fiqh Tradisionalis. Malang: Pustaka Al Bayan
________. 2005. Tahlilan dalam Perspektif Al Quran dan Assunnah. J ember: PP.
Nurul Islam.
Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail. Shahih Bukhari, Maktabah
Syamilah.
Al-Hasani, Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki. 1978. Al-Manhal al-
Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif. Beirut: Darul Fikr.
Al-Naisaburi, Abi al-Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi. Shahih Muslim,
Maktabah Syamilah.
Al-Nawawi, Muhyidin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf. 1955. Al-Adzkar al-
Nawawiyah. Surabaya: Al-Hidayah.
Al-Syaukani, al-Imam Muhammad bin Ali. 1973. Al-Qawl al-Mufid fi Adillah al-
Ijtihad wa Taqlid. Beirut: Darul Qalam
Hasan, Muhammad Tholhah. 2005. Alussunnah Wal-Jamaah dalam Persepsi dan
Tradisi NU. J akarta: Lantabora Press.
Ibnu Taimiyah, Syaikh Ahmad bin Abdul Halim. Fatawa, J ilid 3 hal. 276
Lubis, Arsyad Thalib. 1976. Fatwa Beberapa Masalah Agama. Medan: Firma
Islamiyah.
Sabiq, Sayyid. 2006. Fiqih Sunnah. J akarta: Pena Pundi Aksara.

You might also like