You are on page 1of 10

Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak sekali masalah kesehatan masyarakat yang timbul di Indonesia akibat perilaku

masyarakat yang semakin kompleks. Faktor pelayanan kesehatan dari pemerintah sangat menentukan pemecahan solusi yang tepat bagi penangan permasalahan tersebut. Program obat generik merupakan salah satu terobosan yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut. Pemerintah mencanangkan program obat generik dengan maksud untuk memberikan kemudahan dalam akses pelayanan kesehatan masyarakat, karena telah disadari bahwa tingkat perekonomian dan daya beli masyarakat rendah. Di samping itu, tujuan dicanangkannya obat generik ialah untuk memberikan alternatif obat yang terjangkau dan berkualitas kepada masyarakat. Ironis memang ketika ditemukan sejumlah bukti bahwa pelaksanaan program obat generik tidaklah semudah apa yang dicanangkan pemerintah selama ini. Banyak faktor yang justru menimbulkan masalah baru dalam pelaksanaan program obat generik. Masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui apa itu obat generik, dan perbedaannya dengan obat yang lainnya. Masyrakat masih menganggap mana mungkin ada obat yang berkhasiat dengan harga yang murah. Banyak masyarakat yang tidak mengerti tentang obat dan kualitasnya. Ketika mendengar obat generik, umumnya orang akan langsung mengasumsikannya sebagai obat kelas dua, artinya mutunya kurang bagus. Obat generik pun kerap dicap obat bagi kaum tak mampu. Betulkah asumsi ini?[1] Kurangnya informasi seputar obat generik merupakan salah satu faktor penyebab obat generik dipandang sebelah mata. Padahal dengan beranggapan demikian, selain merugikan pemerintah, pihak pasien sendiri menjadi tidak efisien dalam membeli obat. Membeli obat tidaklah bisa disamakan dengan membeli barang rumah tangga. Umumnya harga barang rumah tangga sebanding dengan kualitasnya, di mana semakin mahal harganya maka semakin bagus kualitasnya. Edukasi ke masyarakat mengenai obat generik menjadi perlu dan wajib untuk dilakukan.Sosialisasi yang digencarkan pemerintah sepertinya belum mengena di masyrakat luas. Di samping itu harga dari obat generik juga menjadi permasalah dalam pelaksanaan program obat generik yang diagungkan pemerintah. Karena pemerintah dituntut untuk dapat menyediakan obat yang berkualitas dengan harga yang murah. Berdasarkan penjelasan dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka pembahasannya dapat difokuskan dalam 6 permasalahan yaitu sebagai berikut :

Kualitas obat generik masih diragukan. Krisis kepercayaan yang menimpa masyarakat dalam penggunaan obat generik. Ketidakpahaman masyarakat tentang obat generik. Kurangnya sosialisasi dari pemerintah dan tenaga medis tentang obat generik. Program obat generik belum diterapkan secara maksimal. Ketersediaan obat generik berkualitas dan penentuan harga yang tepat masih diragukan. Penulisan karya tulis ini disusun dengan tujuan: Untuk meneliti apa yang menjadi penyebab kekurang efektifannya program obat generik. Untuk mengetahui kualitas yang terkandung dalam obat generik. Untuk mengevaluasi peranan pemerintah, dinas kesehatan yang terkait ataupun tenaga medis dalam pelaksanaan program obat generik. Untuk memberi solusi yang tepat terhadap pelaksanaan program obat generik. LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Obat Generik

Obat generik adalah obat yang telah habis masa patennya, sehingga dapat diproduksi oleh semua perusahaan farmasi tanpa perlu membayar royalti. Ada dua jenis obat generik, yaitu obat generik bermerek dagang dan obat generik berlogo yang dipasarkan dengan merek kandungan zat aktifnya. Dalam obat generik bermerek, kandungan zat aktif itu diberi nama (merek). Zat aktif amoxicillin misalnya, oleh pabrik A diberi merek inemicillin, sedangkan pabrik B memberi nama gatoticilin dan seterusnya, sesuai keinginan pabrik obat. Dari berbagai merek tersebut, bahannya sama: amoxicillin.[2] Menurut DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) periode 2006-2009, secara internasional obat hanya dibagi menjadi menjadi 2 yaitu obat paten dan obat generik. Obat paten adalah obat yang baru ditemukan berdasarkan riset dan memiliki masa paten yang tergantung dari jenis obatnya. Menurut UU No. 14 Tahun 2001 masa berlaku paten di Indonesia adalah 20 tahun. Selama 20 tahun itu, perusahaan farmasi tersebut memiliki hak eksklusif di Indonesia untuk memproduksi obat yang dimaksud. Perusahaan lain tidak diperkenankan untuk memproduksi dan memasarkan obat serupa kecuali jika memiliki perjanjian khusus dengan pemilik paten.

Setelah obat paten berhenti masa patennya, obat paten kemudian disebut sebagai obat generik (generik= nama zat berkhasiatnya). Nah, obat generik inipun dibagi lagi menjadi 2 yaitu generik berlogo dan generik bermerk (branded generic). Tidak ada perbedaan zat berkhasiat antara generik berlogo dengan generik bermerk. Bedanya, yang satu diberi merk, satu lagi diberi logo ungkap DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes. Obat generik berlogo yang lebih umum disebut obat generik saja adalah obat yang menggunakan nama zat berkhasiatnya dan mencantumkan logo perusahaan farmasi yang memproduksinya pada kemasan obat, sedangkan obat generik bermerk yang lebih umum disebut obat bermerk adalah obat yang diberi merk dagang oleh perusahaan farmasi yang memproduksinya.[3] 2.2 Sejarah Obat Generik di Indonesia Obat Generik Berlogo (OGB) diluncurkan pada tahun 1991 oleh pemerintah yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kelas menengah ke bawah akan obat. Jenis obat ini mengacu pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) yang merupakan obat esensial untuk penyakit tertentu. Harga obat generik dikendalikan oleh pemerintah untuk menjamin akses masyarakat terhadap obat. Oleh karena itu, sejak tahun 1985 pemerintah menetapkan penggunaan obat generik pada fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah. Harga obat generik bisa ditekan karena obat generik hanya berisi zat yang dikandungnya dan dijual dalam kemasan dengan jumlah besar, sehingga tidak diperlukan biaya kemasan dan biaya iklan dalam pemasarannya. Proporsi biaya iklan obat dapat mencapai 20-30%, sehingga biaya iklan obat akan mempengaruhi harga obat secara signifikan. Mengingat obat merupakan komponen terbesar dalam pelayanan kesehatan, peningkatan pemanfaatan obat generik akan memperluas akses terhadap pelayanan kesehatan terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah.[4]

2.3 Landasan Hukum Menurut dr. Marius Widjajarta, SE, UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah menguraikan apa yang menjadi hak-hak seorang pasien, antara lain: Hak untuk informasi yang benar, jelas dan jujur.

Hak untuk jaminan kemanan dan keselamatan. Hak untuk ganti rugi. Hak untuk memilih. Hak untuk didengar. Hak untuk mendapatkan advokasi. Hak-hak yang diatur oleh perundang-undangan. Perlindungan hak pasien juga tercantum dalam pasal 32 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yaitu: a) memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di

Rumah Sakit; b) c) d) memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien; memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi; memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar

profesi dan standar prosedur operasional; e) memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar

dari kerugian fisik dan materi; f) g) mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan; memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan

peraturan yang berlaku di Rumah Sakit; Pasien mempunyai hak untuk memilih pengobatan dan memilih dokter. Jadi, hendaknya pasien meminta obat generik ketika berobat ke dokter dan ingatkan dokter bahwa jika dokter tidak memberikan informasi yang benar, jujur dan jelas maka dokter bisa melanggar UU No. 8 tahun 1999. Sebagaimana penjelasan tentang sub sistem upaya kesehatan dan sediaan farmasi dalam Sistem Kesehatan Nasional juga mempertegas bahwa pasien berhak menerima upaya kesehatan dengan didukung oleh ketersediaan obat yang berkualitas baik dengan harga yang terjangkau. BAB III METODE PENULISAN

Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, penyusun menggunakan metode deskriptif dan induktif. Menganalisis data yang ada yang bersumber dari artikel-artikel tentang temuan fakta di lapangan, browsing di internet maupun literatur-literatur yang berhubungan dengan penulisan karya tulis ini. Membahas secara deskriptif temuan-temuan yang ada secara umum atau universal, kemudian dibahas secara spesifik dan lebih khusus tentang permasalahan yang timbul di masyarakat terhadap pelaksanaan program obat generik, dan membantu menemukan solusi permasalahan tersebut dengan mencoba melibatkan fungsi dan peranan pemerintah serta dinas kesehatan terkait. BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN MASALAH

4.1 Kualitas Obat Generik Berbicara mengenai obat generik tidaklah terlepas dari wacana tentang kualitas dan khasiatnya. Orang sering mengira bahwa mutu obat generik kurang dibandingkan obat bermerk. Harganya yang terbilang murah membuat masyarakat tidak percaya bahwa obat generik sama berkualitasnya dengan obat bermerk. Padahal generik atau zat berkhasiat yang dikandung obat generik sama dengan obat bermerk. Orang kan makan generiknya bukan merknya, karena yang menyembuhkan generiknya, ungkap dr. Marius Widjajarta, SE. Mutu obat generik tidak berbeda dengan obat paten karena bahan bakunya sama. Ibarat sebuah baju, fungsi dasarnya untuk melindungi tubuh dari sengatan matahari dan udara dingin. Hanya saja, modelnya bajunya beraneka ragam. Begitu pula dengan obat. Generik kemasannya dibuat biasa, karena yang terpenting bisa melindungi produk yang ada di dalamnya. Namun, yang bermerek dagang kemasannya dibuat lebih menarik dengan berbagai warna. Kemasan itulah yang membuat obat bermerek lebih mahal. Kualitas obat generik yang disebut tidak genit tapi menarik oleh dr. Marius ini tidak kalah dengan obat bermerk karena dalam memproduksinya perusahaan farmasi bersangkutan harus melengkapi persyaratan ketat dalam Cara-cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang dikeluarkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Selain itu juga ada persyaratan untuk obat yang disebut uji Bioavailabilitas/Bioekivalensi (BA/BE). Obat generik dan obat bermerk yang diregistrasikan ke BPOM harus menunjukkan kesetaraan biologi (BE) dengan obat

pembanding inovator. Inovator yang dimaksud adalah obat yang pertama kali dikembangkan dan berhasil muncul di pasaran dengan melalui serangkaian pengujian, termasuk pengujian BA. Studi BA dan atau BE seharusnya telah dilakukan terhadap semua produk obat yang berada di pasaran baik obat bermerk maupun obat generik. Namun, pemerintah dalam hal ini BPOM masih fokus pada pelaksanaan CPOB, ungkap DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes.[5] Obat dibuat dari bahan-bahan tertentu, yang setelah diteliti sekian lama, ditemukan zat inti berkhasiat terapetik. Zat ini yang secara umum disebut generik. Setelah disetujui oleh otoritas kesehatan, dari bahan generik ini, bisa dibuat obat generik. Respon terapetik dapat diartikan sebagai hasil kerja obat hingga mencapai efek yang diinginkan dari penggunaan obat tersebut. Permasalahannya ialah obat generik hanya mengandung salah satu manfaat dari yang dikehendakinya saja. Berbeda dengan obat paten yang harganya mahal biasanya bersifat multifunction. Beberapa contoh nama obat generik yang berdedar di masyarakat paracetamol, gliserilguaiakolat, dekstrometorfan, difenhidramin, chlorpheniramin maleat (CTM), amoksisilin, eritromisin, gentamisin. Jadi tidak heran, jika seorang pasien penderita flu berat diberikan obat generik oleh sang dokter maka ia harus meminum banyak jenis obat tersebut, berbeda halnya dengan pasien dengan keluhan yang sama meminum obat paten yang harganya jauh di atas obat generik ia hanya cukup minum beberapa obat saja. Di samping itu obat generik hanya meningkatkan ambang batas kesakitan saja karena sifatnya yang terapetik. Namun itu semua kembali ke sistem imun tubuh seseorang dalam melawan virus penyakit yang menyerang. 4.2 Paradigma Masyarakat Seperti yang telah dibahas di sub bab sebelumnya, bahwa sebenarnya obat generik memiliki kualitas yang sama dan cukup baik dengan obat lainnya, hanya yang membedakan sifat obatnya saja. Namun untuk masalah khasiat obat generik mempunyai khasiat yang sama dengan obat jenis lainnya. Tapi fakta yang ditemukan ialah kebanyakan masyarakat belum percaya bahwa obat generik memiliki khasiat yang sama dengan obat lainnya. Mereka masih berpikir mana mungkin ada obat dengan harga yang murah namun memiliki kualitas yang bagus. Banyak cerita yang ditemukan di lapangan bahwa beberapa kasus, pasien tidak mengalami kesembuhan yang cepat ketika dia mengkonsumsi obat generik, namun ketika dia beralih ke obat paten yang harganya jauh di atas obat generik ia langsung merasakan kesembuhan. Sebenarnya untuk masalah kesembuhan dipengaruhi oleh sistem imun tubuh dan sugesti seseorang dalam melawan penyakitnya. Seperti misalnya sugesti bahwa obat generik tidaklah manjur, maka menurut ilmu psikologi itu akan mempengaruhi motivasi dan emosi seseorang

dalam menjalani proses kesembuhannya dan itu tidaklah mereka sadari, begitupun sebaliknya.

4.3 Ketidakpahaman Masyarakat Karena Kurangnya Sosialisasi Buat apa beli mereknya, yang penting khasiatnya kata sebuah iklan dalam mempromosikan obat generik. Namun persepsi masyarakat terhadap obat generik tidak jauh berubah. Masyarakat tetap menganggap bahwa obat generik adalah obat kelas bawah dan bermutu rendah. Sebaliknya mereka berpendapat bahwa obat paten adalah obat yang sangat bagus mutunya bila dibandingkan dengan obat generik. Pandangan masyakat yang memandang obat paten sebagai obat bagus tentu tidaklah sepenuhnya salah, tetapi menganggap obat generik sebagai obat kelas bawah dan bermutu rendah inilah yang tidak benar. Pandangan rendah terhadap obat generik jelas menimbulkan masalah dalam pelayanan kesehatan di tanah air. Salah satu penyebabnya adalah penggunaan istilah obat paten yang salah di masyarakat, serta telah mengalami pergeseran makna. Istilah obat paten bagi masyarakat di Indonesia langsung dikaitkan dengan kualitasnya, karena kata-kata paten dalam keseharian masyarakat bermakna top atau paling bagus. Sehingga secara langsung memandang obat paten adalah obat paling bagus dan sebaliknya obat generik adalah obat berkualitas rendah.[6] Kondisi ini menyebabkan banyak orang yang tidak mampu membeli obat, penyakitnya tidak bisa terobati karena lebih mempercayai obat paten. Kurangnya informasi seputar obat generik adalah salah satu faktor penyebab obat generik dipandang sebelah mata. Padahal dengan beranggapan demikian, selain merugikan pemerintah, pihak pasien sendiri menjadi tidak efisien dalam membeli obat. Pandangan rendah masyarakat terhadap obat generik ini diperparah oleh dokter pada preaktek pribadi dan pelayanan swasta yang hampir tidak pernah memberikan informasi apalagi memberikan resep obat generik tersebut. Akhirnya menjadi asumsi bahwa obat generik adalah obat yang berkualitas rendah karena jarang disarankan oleh dokter. Dengan memandang rendah mutu obat generik, masayarakat atau pasien merasa tidak puas terhadap pelayanan kesehatan bila mendapat obat generik. Masyarakat menganggap pengobatan yang diberikat bukanlah pelayanan maksimal. Pandangan rendah ini juga berimbas kepada pandangan masyarakat pada pengobatan di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Puskesmas yang menyediakan pelayanan kesehatan terdepan dengan memberikan obat generik dianggap sebagai tempat berobat masyarakat kelas bawah. Puskesmas yang

seharusnya menjadi pusat pelayan kesehatan menyeluruh mulai kedokteran pencegahan dan pengobatan tidak dapat berjalan dengan baik. Masyarakat yang mempunyai biaya yang cukup untuk berobat lebih cenderung untuk berobat langsung ke dokter spesialis atau ke rumah sakit besar, meskipun penyakitnya hanya pegal-pegal atau batuk pilek biasa. Pada sebagian masyarakat, perilaku dan gaya berobat seperti ini merupakan suatu prestise dan sebaliknya mereka gengsi untuk berobat ke Puskesmas. Pada kelompok masyarakat yang mempunyai Asuransi Kesehatan (Askes) yang harus mendapatkan rujukan untuk berobat ke Rumah Sakit (RS) besar tidak jarang datang ke Puskesmas bukan untuk menceritakan keluhannya, tetapi datang langsung untuk meminta surat rujukan. Mereka menilai berobat ke ke RS adalah hak mereka. Padahal jika kasus yang dirujuk bukanlah penyakit yang membutuhkan pemeriksaan dan pengobatan lebih lanjut justru akan merugikan pasien itu sendiri, karena dengan banyaknya kasus dan kunjungan di RS, dokter akan lebih fokus pada kasus-kasus tingkat lanjut. Juga, pengobatan yang didapat di RS juga tidak akan jauh berbeda dengan di Puskesmas yang mungkin hanya dengan merek obat yang berbeda. Oleh karena itu, untuk mengubah citra kurang baik pada obat generik dan Puskesmas harus dilakukan upaya menyeluruh mulai dari pendidikan terhadap masyarakat tentang obat dan pelayanan kesehatan, perilaku petugas kesehatan, hingga kebijakan pelayanan. Salah satu usaha untuk memperbaiki pandangan masyarakat terhadap obat generik dan Puskesmas adalah melalui penyuluhan. Masyarakat harus diberikan pemahaman tentang apa dan bagaimana obat generik itu sebenarnya. Bahkan harus diusahakan dapat memasyarakatkan penggunaan istilah obat bermerek sebagai pengganti istilah obat paten. Sebagaimana tugas dan fungsi puskesmas dalam melaksanakan Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) ialah: 1. Pusat Penggerak Pembangunan Berwawasan Kesehatan 2. Pusat Pemberdayaan Masyarakat 3. Pusat Pelayanan Kesehatan Strata Pertama Puskesmas diharapkan dapat membina dan memberikan sosialisasi terhadap masyarakat tentang kegunaan obat generik yang sebenarnya. Tidak lupa dibantu dengan Dinas Kesehatan terkait yang saling bekerja sama dengan puskesmas dan para tenaga medis yang saling terintegrasi di dalamnya.

Memang ada beberapa obat yang hanya dipasarkan dengan nama dagang tertentu, tetapi biasanya obat ini adalah untuk penatalaksanaan penyakit tingkat lanjut. Harus diakui juga, ada beberapa keuntungan berobat dengan obat bermerek bila obat tersebut merupakan obat kombinasi, karena bila dengan obat generik tentu harus mengkonsumsi lebih dari satu macam obat. Namun memandang rendah obat generik adalah suatu kesalahan. Bahkan bila penyakit hanya membutuhkan obat tertentu maka memberikan obat tunggal (non kombinasi) dan obat generik adalah pilihan yang tepat. Para pelayan kesehatan terutama pada pusat pelayan kesehatan swasta juga harus memberikan informasi yang benar, objektif dan jelas tentang obat generik pada pasien, dan pasien juga seharusnya dapat menentukan pilihan untuk mendapatkan obat generik. Selanjutnya, semua komponen masyarakat mulai dari pejabat, anggota dewan, hingga rakyat biasa harus memahami dan menghargai pelayanan kesehatan kepada Puskesmas. Puskesmas harus dihargai sebagai pelayanan kesehatan terdepan bukan hanya bagi masyarakat berekonomi lemah. 4.4 Ketersediaan, Distribusi dan Harga Obat Generik Menurut berita yang dilansir oleh Metronews.com; Pemerintah melonggarkan aturan distribusi obat generik dengan memperbolehkan pabrik obat dan atau pedagang besar farmasi (PBF) menambahkan biaya distribusi pada harga obat generik yang disalurkan ke daerah di luar Pulau Jawa dan Bali. Ketentuan itu tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.03.01/Menkes/146/I/2010 tanggal 27 Januari 2010 tentang harga obat generik. PBF yang mendistribusikan obat generik ke daerah regional I termasuk DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Lampung dan Banten, tidak boleh menambahkan biaya distribusi ke harga obat. Penambahan biaya distribusi hanya diperbolehkan pada penyaluran obat generik ke daerahdaerah yang berada pada regional II, III dan IV. Untuk regional II mencakup Pulau Sumatra, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung dan Nusa Tenggara Barat, dapat menambahkan biaya distribusi maksimum lima persen. Sementara untuk di regional III seperti Nanggroe Aceh Darussalam, Kalimantan, dan Sulawesi dapat menambahkan biaya distribusi maksimal 10 persen.[7] Kementerian Kesehatan telah menerbitkan peraturan baru tentang peresepan dan distribusi obat generik untuk menggalakkan penggunaan obat generik dalam pelayanan kesehatan publik. Hal itu dilakukan karena tingkat penggunaan obat

generik belum sesuai harapan. Bahkan menurut catatan Kementerian Kesehatan, penggunaan obat generik mengalami penurunan bermakna dalam beberapa tahun terakhir. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, dalam lima tahun terakhir pasar obat generik turun dari Rp 2,525 triliun (10% dari pasar obat nasional) menjadi Rp 2,372 triliun (7,2% dari pasar obat nasional). Padahal pasar obat nasional meningkat dari Rp 23,590 triliun pada 2005 menjadi Rp 32,938 triliun tahun 2009. Ketersediaan obat esensial generik di sarana pelayanan kesehatan juga baru mencapai 69,74% dari target 95%. Meski tingkat peresepan obat generik di Puskesmas sudah mencapai 90%, namun tingkat peresepan obat generik di rumah sakit umum masih 66% sementara di rumah sakit swasta dan apotek hanya 49%.[8] Jadi, Untuk sehat tidak harus dengan obat mahal. Dan obat generik bukan obat murahan, tetapi obat yang dijual dengan harga tidak mahal. [1] DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes. Obat Generik, Harga Murah Tapi Mutu Tidak Kalah. http://medicastore.com/obat_generik/ [2] Majalah Farmaca, Badan POM. Obat Generik. http://wapedia.mobi/id/Obat_generik [3] DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes. Loc.cit [4] Ibid [5] Ibid [6] Hardisman. Obat Generik dan Puskesmas: Terlalu Dipandang Rendah. http://hardi-dasman.blogspot.com/2008/09/obat-generik-dan-puskesmasterlalu.html [7] Metronews. Aturan Distribusi Obat Generik Diperlonggar. http://metrotvnews.com/index.php/metromain/news/2010/02/07/10303/AturanDistribusi-Obat-Generik-Diperlonggar [8] Solo Pos, 22 Feb 2010. Pemerintah inspeksi distribusi obat generik http://www.solopos.com/2010/channel/nasional/pemerintah-inspeksi-distribusi-obatgenerik-15420

You might also like