You are on page 1of 17

I. Pendahuluan Hampir setiap hari saya melihat, membaca, dan mendengar masalah korupsi ini.

Mulai dari kejaksaan, kepolisian, bea cukai, dirjen pajak, dan lain-lainnya. Saya tidak tahu kenapa media memblow-up segala sesuatu tentang KKN ini. Apakah karena kebebasan pers atau karena tidak dapat bagian. Coba bayangkan, jika anda tiap hari disuguhi tayangan kayak gini apa tidak bosen ? Saya saja sampai bosan mendengar segala sesuatu yang berbau kolusi, korupsi, dan nepotisme ini. Memang sudah banyak tindakan yang dilakukan oleh kaum putih untuk melawan kaum hitam. UUD-RI Tahun 1945 adalah Negara Hukum yang Demokratis, namun prilaku korupsi yang kian meluas dan dilakukan secara terorganisir dan sistematis memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat menjadikan negara ini sebagai salah satu negara terkorup di dunia, sehingga ketentuan yang menyatakan negara hukum yang demokratis hanya merupakan ketentuan normatif, karena tidak dapat di lihat dalam kenyataan. Para pelaku perbuatan yang dipandang koruptif pada umumnya tidak terjangkau oleh hukum, bahkan ada yang kerap berlindung di balik asas legalitas dan biasanya dilakukan oleh mereka yang memiliki high level educated and status dalam kehidupan masyarakat.

Kejahatan-kejahatan koruptif yang tidak terjangkau oleh hukum, pada umumnya terdiri dari dua tipe, yaitu (a) Perbuatan yang tidak dikualifisir sebagai kejahatan dalam arti hukum akan tetapi sangat merugikan masyarakat, (b) Perbuatan yang menurut hukum dikualifisi dan dirumuskan sebagai kejahatan, namun aparat penegak hukum karena politik dan ekonomi ataupun karena keadaan sekitar perbuaan yang dilakukan menyebabkan laporan atau penuntutan sulit diadakan atau tidak dilakukan. Korupsi lebih banyak terjadi pada sektor publik, yang sering dianggap masalah sosial yang serius, yang dilebih ditentukan oleh faktor lingkungan kelembagaan dibandingkan karena rendahnya kompensasi. Sistem hukum Indonesia secara umum tidak dipandang positif, badan yudikatif dan kejaksaan juga dianggap sebagai lembaga publik yang paling korup. Masyarakat umumnya menentang adanya praktek korupsi, mereka memandang korupsi sebagai masalah sosial yang serius,yang disamakan dengan penyakit yang harus diberantas, namun kenyataan apabila dihadapkan dengan berbagai situasi korupsi yang kongkrit, mereka memandang korupsi sebagai sesuatu yang normal dan akan dibayar atau sesungguhnya mereka lega dan membayar atau menerima uang dan hadiah. Oleh karenanya tidak heran kalau korupsi dikatakan sudah menjadi budaya di Indonesia, karena disadari atau tidak praktek korupsi sering terlihat dengan mata telanjang di sekitar kita

(mungkin sekarangpun sedang terjadi praktek korupsi) dan tampa disadari kita sudah masuk kedalam lingkaran koruptor, disisi lain keengganan sebagian besar warga masyarakat melaporkan pelaku koruptor (pejabat negara, birokrat, konglomerat, aparat penegak hukum dan lain sebagainya) yang melakukan korupsi, merupakan suatu fenomena tersendiri. Budaya korupsi seakan memperoleh lahan yang subur karena sifat masyarakat yang lunak hingga permisif terhadap berbagai penyimpangan moral, lebih-lebih bila Korupsi dianggap sebagai perkara biasa dan wajar terjadi dalam kehidupan para penguasa dan pengelola kekuasaan yang ada.

II.Perumusan Masalah

Korupsi adalah masalah nasional dan musuh kita semua, karena semua pihak harus memeranginya, bukan hanya pemerintah saja. Meskidemikian, pemerintah dapat mengakomodasi pemberantasan korupsi tersebut. Kesejahteraan bagi seluruhrakyat Indonesia akan terwujudkan bila korupsi dapat diberantas.Uang negara yang diselamatkan bisa untuk membangun infrastruktur,pergerakan ekonomi, air bersih, irigasi dan membangun perdesaan. Semisal DPR yang meminta pemerintah memberantasan korupsi,seharusnya di rumah rakyat juga harus memulainya. Jangan sampai dalam agenda anggaran DPR ada yang mengarah kepada perbuatankorupsi. DPR jangan sekadar menjadikan pemberantasan korupsisebagai jargon politik. Pemberantasan korupsi yang utama adalah bagaimana penegakan hukum, sehingga perluada konsistensi penindakan, jangan pilih bulu. Kalau ada yangmelakukannya, siapapun orangnya, harus ditindak, sehingga tidak ada pembedaan. Namun, saat ini, kita lihat kenyataan di lapangan banyak yang melakukan korupsi bebas-bebas saja, sindirnya.

Bahkan, dalam penegakan hukum terlihat ada inkonsistensim,seperti dalam kasus dugaan suap Anggodo Widjojo. Beberapa waktusebelumnya, Jaksa Agung dan Kapolri yang pernah mengeluarkanpernyataan di depan DPR dan wartawan bahwa rekaman antara AriMuladi dengan Ade Raharja ada. Namun, di saat pengadilanmenghendaki rekaman itu, yang satu mengatakan ada dan yang lainmengatakan tidak. Dari sini jelas ada inkonsistensi dan ucapanmereka tidak bisa dipegang, entah yang mana berkata jujur dan yangberbohong, ujar Dimyati. Jika masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan perkataanpejabat tinggi negara, itu tidak baik buat negara. Pemimpin haruspaham dengan sabda pandito ratu, jangan sampai pemimpininkonsistensi dalam bicara dan penegakan hukum. Semua harus kembalikepada nilai dasar negara, yaitu Pancasila yang secara konsistendan dijabarkan secara nyata oleh semua lapisan. Sementara itu, dilihat dari akibatnya, korupsi telah menimbulkan kerugian yang luar biasa, terutama perekonomian negara dan kesejahteraan rakyat. Memang, penanganan korupsi di Indonesia selama ini telah menjadikan hukum pidana sebagai senjata utama. Sehingga perumusan korupsi sebagai tindak pidana menjadi penting. Begitu pula dengan perangkat-perangkat

dan prosedur penegakannya. Tetapi kenyataannya, mekanisme hukum pidana ini telah mempunyai masalahnya sendiri. Baik itu dari rumusan deliknya, maupun penegakannya. Rumusan korupsi yang ada sekarang ini dapat dikatakan kurang layak untuk disebut sebagai rumusan tindak pidana. Pertama, rumusannya dapat menjangkau ke mana-mana sehingga perbuatan apa pun yang diangggap 'dapat merugikan' keuangan atau perekonomian negara bisa dijerat dengan rumusan korupsi (Lihat: Pasal 2 ayat 1 UU No.31/1999). Selain itu, unsur kerugian keuangan/perekonomian negara sangat tergantung pada interpretasi aparat penegak hukum, dengan demikian sangat subyektif. Rumusan semacam ini bertentangan dengan prinsip yang terkandung dalam asas legalitas, terutama lex certa dan lex scripta. Meskipun rumusan tersebut belum memadai, tetapi seperti kata pepatah "hukum yang baik akan menjadi buruk jika berada di tangan aparat yang buruk, sebaliknya hukum yang buruk akan menjadi baik jika di tangan orang yang baik". Jadi sebenarnya, kekurangan rumusan korupsi dapat diabaikan jika penanganan korupsi berada di tangan yang baik. Permasalahan penanganan korupsi bukan pada rumusannya, tetapi oleh siapa ! dan dila kukan dengan cara bagaimana. Seperti ungkapan, "Sapu yang kotor tidak dapat dipakai untuk membersihkan".

Selama ini, pemberantasan korupsi mengandalkan hukum sebagai panglimanya, terutama hukum pidana. Mengandalkan hukum berarti penyelesaiannya bermuara pada pengadilan. Tetapi, kenyataannya pengadilan masih belum bisa menjadi lembaga yang dapat dipercaya. Ia masih ditempatkan sebagai lembaga yang terus dicurigai sebagai tempat berlangsungnya korupsi dalam wujud lainnya, yaitu: mafia peradilan. Penyelesaian korupsi tetap dipaksakan melalui satu-satunya jalur yang tersedia, yaitu: pengadilan, meskipun diketahui betapa bobroknya lembaga tersebut, baik dari proses pemeriksaan awal sampai pemeriksaan di dalam pengadilan. Permasalahan penanganan korupsi selama ini sebenarnya terletak pada manajemennya. Dengan kata lain, selama ini belum ada manajemen penangan korupsi yang baik. Cerminan tidak adanya manajemen yang baik terlihat nyata ketika penanganan korupsi diserahkan sepenuhnya pada KPK - yang minim sumber daya meskipun pemberantasan telah menjadi agenda utama pemerintah. Pemerintah tampak lepas tangan dengan kinerja-kinerja KPK dan agenda-agenda pemberantasan korupsi. Pengadilan - sebagai muara penyelesaian kasus dibiarkan tetap bobrok tanpa perbaikan yang memadai. Padahal, dalam situasi membangun tegaknya rule of law, seharusnya pengadilan benar-benar dijadikan lembaga

yang imun terhadap praktik-praktik korupsi, putusan pengadilan yang layak itulah sebagai salah satu cerminan tegaknya demokrasi, dalam artian tegaknya rule of law. Tapi kenyataannya, sampai hari ini cita-cita menciptakan pengadilan yang bersih masih jauh panggang dari api. Di sisi lain, Mahkamah Agung sibuk membangun bentengnya sendiri, seolah tutup mata terhadap situasi yang terjadi. Sebaliknya, tampak sangat anti terhadap reformasi untuk menciptakan pengadilan yang bersih. Kalaupun terjadi reformasi, perba! ikan cuma berkutat pada masalah teknis semata. Sementara itu, ! watak otoritarianisme warisan orde baru maupun watak korup masih belum tersentuh. Termasuk di situ bagaimana menciptakan pengadilan yang bersih jika hukum tetap dijadikan sebagai panglima pemberantasan korupsi. Sebaik apapun rumusan delik korupsi, jika tidak ada manajemen penanganan korupsi yang baik, maka selama itu pula korupsi tetap tak akan tertangani

III. Analisis

Pemberantasan korupsi, yang merupakan salah satu butir tuntutan reformasi, sampai saat ini belum menjadi prioritas utama program aksi pemerintah. Alih-alih bisa memberantas korupsi, pemerintah tampaknya malah terjebak dalam perilaku korup itu sendiri. Bahkan seperti disinyalir banyak pihak, realitas bau busuk korupsi di sekeliling mereka tercium kian tajam. Sedikitnya ada dua penyebab ketidakmampuan (impotensi) pemerintah memberantas korupsi. Pertama, korupsi sangat lekat dengan kekuasaan, kewenangan dan pemilikan senjata, dimana kesemuanya dimiliki oleh pemerintah beserta jajaran perangkat hukumnya seperti kejaksaan, kepolisian, kehakiman dan sejumlah lembaga pengawasan. Artinya, pihak yang paling potensial melakukan korupsi adalah pemerintah. Pada saat perilaku korup sudah menjadi budaya pemerintahan, maka setiap usaha pemberantasan korupsi sama halnya dengan bunuh diri. Kedua, pemberantasan korupsi sulit dilakukan karena perilaku korup merupakan suatu hubungan dualitas struktur (bukan sistem) dan pelaku. Karena sifatnya yang merupakan dualitas, pelaku dan struktur saling mengandaikan. Jika korupsi bersifat dualisme, pelaku dan struktur akan saling bertentangan. Namun karena berbentuk dualitas, pelaku dan struktur saling mengandaikan dan keduanya merupakan faktor yang

berperan penting dalam perkembagan praktik-praktik korupsi tersebut. A. Dualitas Struktur dan Pelaku Perilaku korup pada dasarnya merupakan struktur yang terdapat dalam rasio pelaku sebagai hasil sedimentasi dari perulangan praktik korupsi yang berjalan dari waktu ke waktu. Praktik korupsi yang bisa dilakukan berulang-ulang oleh pelaku ini, memiliki implikasi pada terbaliknya cara pikir. Nikmat pribadi karena pemilikan materi yang berlimpah, disertai dengan miskinnya kesadaran moral, akhirnya menyeret pelaku pada keyakinan bahwa melakukan korupsi lebih rasional dibanding menghindarinya. Semakin banyak pengalaman korupsi, semakin wajar dan rasional pula perilaku tersebut di mata pelakunya. Penilaian masyarakat yang telah terkena dampak kapitalisme dan materialisme, yang meletakan standar kesuksesan seseorang dari harta kekayaan yang dimiliki, menambah kuat rasionalitas korupsi ini. Standar ini memicu semangat pelaku untuk memiliki materi yang sebanyak-banyaknya dengan cara apapun, bahkan dengan cara yang melanggar aturan dan hukum. Kita dapat mengatakan bahwa keserakahan terhadap materi ini juga diakibatkan oleh implikasi dari budaya kapitalisme yang sangat mengagungkan harta milik. Sejumlah pengamat menilai bahwa biang keladi korupsi adalah kapitalisme serta sekutu sejarahnya, yaitu, kolonialisme. Meskipun

kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan kapitalisme, namun hampir tidak dapat dipungkiri bahwa munculnya fenomena kerakusan akan harta di masyarakat kontemporer, yang sebagian diantaranya mengakibatkan tindakan korupsi, sebagian disumbang oleh budaya kapitalisme. Struktur perilaku korup yang telah terbentuk dalam rasio pelaku tersebut kemudian menjadi sarana praktik sosial berikutnya. Berdasarkan pada rasionalitas bahwa tindakan korupsi adalah normal, wajar, dan telah membudaya, pelaku tidak segan-segan lagi melakukan korupsi selanjutnya. Seperti telah dikatakan di atas, rasionalitas menjadi terbalik, perilaku korupsi menjadi rasional, sedangkan tindakan menghindari korupsi malah menjadi tidak rasional karena berarti menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan materi. Rasionalitas subjektif pelaku seperti ini pada akhirnya akan menular pada orang-orang di sekitarnya. Pada saat perilaku korup telah menjadi rasionalitas subjektif dari banyak pelaku, berarti telah terbentuk semacam rasionalitas objektif bahwa normal dan wajar saja melakukan korupsi. Apabila rasionalitas perilaku korupsi telah mendekati tahap objektif ini, perilaku korupsi cenderung dilakukan dengan sangat sistematis. Dengan tidak malu-malu, pelaku seperti ini mencari orang yang bisa diajak kerjasama melakukan korupsi. Hal ini mematahkan asumsi bahwa karakteristik korupsi adalah

dilakukan secara diam-diam dan personal. Asumsi tersebut mengatakan bahwa seseorang tidak akan berani mengajak orang lain berbuat korupsi karena orang yang diajak tersebut akan tahu perilaku korup yang dilakukannya. Seiring dengan bertambah sistematis dan terorganisirnya perilaku korupsi, akhirnya tindakan tercela tersebut dilakukan dalam suatu jaringan kerja. Dengan tidak malu-malu, mereka mengatur strategi agar ada aliran uang masuk ke dalam rekening jaringan tersebut untuk kemudian dibagi-bagi diantara mereka. Dalam satu tulisannya, Kwik Kian Gie mengemukakan tiga contoh kasus korupsi, dimana terlihat bahwa praktik korupsi telah dijalankan dengan tersistematis. Pertama, berdasarkan informasi dari seorang wartawan investigatif asing, Kwik mengungkapkan bahwa jaringan korupsi tersistematis terdapat juga di Bappenas dan melibatkan pejabat dari lembaga internasional. Pejabat dari lembaga internasional tersebut bekerjasama dengan beberapa pejabat Bappenas memanfaatkan dana utangan yang masih belum terpakai (dalam catatan Kwik yang berasal dari informasi wartawan tersebut, besar dana utangan yang belum terpakai ketika itu sebesar US$ 600 juta) untuk menciptakan proyek-proyek yang pasti disetujui. Proyekproyek tersebut tentu diwarnai mark-up dan pembocoran dengan sepengetahuan para ahli asing tersebut, karena mereka tergabung dalam komplotan koruptor itu.

Kedua, Kwik mengungkapkan bahwa ada suatu bank BUMN yang memiliki sistem yang sangat bagus. Dari transaksi perbankan sehari-hari, para pejabat bank tersebut mengetahui bahwa setiap kliring antar cabang yang dilakukannya tidak pernah menghasilkan saldo kliring antar cabang yang nihil. Berdasarkan kesepakatan mereka, dibuat rekening khusus yang berfungsi sebagai keranjang sampah supaya semua buku ditutup dengan saldo kliring nol. Ternyata, menurut Kwik, saldo rekening tersebut luar biasa besarnya. Akhirnya dibuat suatu sistem dan program komputer yang kerjanya membagi isi rekening tersebut ke seluruh rekening direksi sampai kepala bagian bank tersebut secara adil dan rapi. Ketiga, Kwik mengungkapkan korupsi yang terjadi di perpajakan, dimana pendapatan pajak secara keseluruhan untuk Tahun Anggaran 2003 sekitar 240 triliun rupiah. Korupsi di perpajakan berawal dari penentuan jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak yang ditentukan bersama antara pejabat pajak dan wajib pajak. Kwik mencontohkan bahwa pada saat jumlah pajak sudah disetujui, misalnya sebesar 400 juta, sering kali yang masuk ke kas negara hanya, misalnya 100 juta. Pembayar pajak diberi tanda terima dari kas negara dan dijamin tidak diganggu lagi. Dari contoh tersebut terlihat bahwa 75 persen pajak dikorupsi oleh pejabat pajak yang tentu saja ini tidak dilakukan sendiri, melainkan dalam suatu jaringan. Kalau diasumsikan bahwa yang dikorupsi hanya 50 persen dan penerimaan pajak tahun 2003 yang

berjumlah sebesar 240 triliun, maka kita akan tahu bahwa korupsi di perpajakan mencapai angka 240 triliun, suatu angka yang luar biasa besarnya. Tiga contoh tersebut menggambarkan betapa sistematisnya praktik korupsi yang dilakukan oleh orangorang pemerintah. Korupsi telah dilakukan dengan berlandaskan pada kesepakatan bersama para pengambil kebijakan di organisasi tersebut. Luar biasa, korupsi telah terstruktur dalam setiap rasio pelaku sehingga telah menjadi rasio objektif dalam organisasi. Apabila terus berlangsung, struktur tersebut akan berkembang dan tertanam semakin kuat, dan akan menjadi sarana praktik korupsi berikutnya. Rantai dualitas struktur dan pelaku korupsi ini hanya bisa diputus dengan mengubah struktur dalam rasio pelaku. B. Perubahan Struktur Perubahan yang harus dilakukan agar korupsi dapat diberantas, atau paling tidak, dapat diminimalisir, adalah dengan mengubah struktur yang ada dalam rasionalitas pelaku dengan cara menanamkan pengertian bahwa tindakan korupsi adalah melanggar hukum dan moralitas. Untuk mengubah struktur, kita terlebih dahulu harus mengenali apa itu struktur. Struktur terdiri dari aturan dan sumber daya. Struktur ini di satu sisi terbentuk dari perulangan praktik sosial, di sisi lain membentuk praktik sosial itu sendiri. Struktur yang terdiri dari aturan dan sumber daya ini, pada akhirnya dapat dilihat sebagai sifat

atau ciri-ciri dari sistem sosial. Dengan kata lain, sistem sosial merupakan pelembagaan dari struktur, yang terdiri dari aturan dan sumber daya. Jadi, struktur korupsi adalah aturan dan sumber daya yang terdapat dalam rasio pelaku sebagai hasil sedimentasi dari perulangan praktik korupsi yang berjalan dari waktu ke waktu. Struktur yang terbentuk dari perulangan praktik korupsi ini, selanjutnya akan menjadi sarana praktik korupsi berikutnya. Struktur korupsi ini pada akhirnya dapat dilihat sebagai sifat atau ciri-ciri dari sistem yang korup. Sistem yang korup merupakan pelembagaan dari struktur korupsi, yaitu aturan-aturan dan sumber daya yang korup. Berdasarkan uraian tersebut, menghilangkan korupsi hanya bisa dilakukan dengan perubahan yang sistemik. Perubahan sistemik ini hanya bisa dilakukan dengan melakukan perubahan struktur. Kita harus membongkar struktur tersebut dan mempretelinya bagian per bagian. Setelah ditemukan bagian per bagiannya, kita dapat melakukan perubahan pada tiap bagian tersebut. C. Catatan Akhir Pemberantasan korupsi harus dilakukan secara sistemik dengan cara melakukan perubahan pada struktur dan pelaku yang dualitas hubungan keduanya menentukan wajah sistem. Upaya memerangi korupsi ini harus digerakan serta didukung sepenuhnya oleh presiden dan

pejabat yang menduduki posisi-posisi kunci seperti menteri, kepala kepolisian, kepala kejaksaan, Ketua Mahkamah Agung, dan Ketua-Ketua Pengadilan, selain tentunya, ketua dan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka harus mengedepankan supremasi hukum di atas kekuasaan dan kepentingan lainnya. Selain itu, diperlukan suatu kelompok pengawas yang secara konsisten melakukan pengawasan terhadap penguasa dan jajaran pemerintahannya. Kita membutuhkan lembaga seperti ICW di setiap Kabupaten/Kota untuk mengawasi perilaku penguasa dan pemerintahan daerah tersebu

Daftar pustaka: Kian Gie, Kwik. Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan. http://www.indonesiahouse.org/focus/corruption/010603Kwik_Berantas.htm

You might also like