You are on page 1of 10

Pengertian dan Tujuan Pemecahan Masalah Matematika Pengertian dan Tujuan Pemecahan Masalah Matematika Polya (1981: 117)

mendefinisikan pemecahan masalah (problem solving) sebagai to s earch consciously for some action appropriate to attain a clearly conceived, but not immediately attainable, aim . Makna dari pernyataan tersebut adalah pemecahan masalah sebagai usaha sadar untuk mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, te tapi tujuan tersebut tidak segera dapat dicapai. Osborne & Kasten (1980: 54) menyatakan bahwa Problem solving is taught to develop methods of thinking and logigal reasoning . Maknanya adalah pemecahan masalah dia jar untuk mengembangkan metode-metode mengenai pemikiran dan logika penalaran. D alam NCTM (2000: 52), pemecahan masalah merupakan proses menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya pada situasi baru dan berbeda. Apabila dikaitkan dengan pernyataan Osborne & Kasten di atas, maka proses menerapkan pengetahuan matematika ini melibatkan keterampilan berpikir dan bernalar pada diri siswa. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu tingkat aktivitas intelektual yang sangat tinggi untuk mencari penyelesaia n masalah yang dihadapi dengan melibatkan keterampilan berpikir dan bernalar ser ta menggunakan bekal pengetahuan yang sudah dimiliki. NCTM (2000: 52 & 334) mengungkapkan tujuan pengajaran pemecahan masalah dari seb elum taman kanak-kanak hingga kelas XII sebagai berikut. build new mathematical knowledge through problem solving; solve problems that arise in mathematics and in other contexts; apply and adapt a variety of appropriate strategies to solve problems; monitor and reflect on the process of mathematical problem solving. Tujuan pengajaran pemecahan masalah secara umum adalah untuk: 1) membangun penge tahuan matematika baru melalui pemecahan masalah; 2) memecahkan masalah yang mun cul dalam matematika dan di dalam konteks-konteks lainnya; 3) menerapkan dan men yesuaikan bermacam strategi yang sesuai untuk memecahkan permasalahan; dan 4) me mantau dan merefleksikan proses dari pemecahan masalah matematika. NCTM (Posamentier & Stepelman, 1990: 109) menyatakan apa yang diharapankan setel ah siswa belajar memecahkan masalah sebagai berikut. In grades 9 12, the mathematics curriculum should include refinement and extensi on of methods of mathematical problem solving so that all students can: use with increasing confidence, problem-solving approaches to investigat e and understanding mathematical content; apply integrated mathematical problem-solving strategies to solve proble ms within and outside of mathematics; recognize and formulate problems within and outside of mathematics; apply the process of mathematical modeling to real-world problem situati ons. Setelah belajar memecahkan masalah matematika diharapkan siswa dapat: 1) menggun akan pendekatan pemecahan masalah untuk menyelidiki dan memahami isi matematika; 2) menggunakan perpaduan strategi pemecahan masalah untuk memecahkan masalah da lam atau di luar matematika; 3) mengenal dan merumuskan masalah dal am atau di luar matematika; dan 4) menggunakan proses pemodelan matematika untuk situasi masalah nyata. Peran Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran Matematika Matematika merupakan ilmu yang melatih cara berpikir dan mengolah logika yang be nar sesuai dengan aturan yang terdiri dari aksioma dan dalil-dalil. Proses berpi kir matematik dimulai dari penemuan informasi, pengolahan, penyimpanan, dan mema nggil kembali informasi tersebut dari ingatan. Berpikir matematik merupakan pela ksanaan kegiatan atau proses matematik (doing math) atau tugas matematika (mathe

matical task). Berkenaan dengan proses matematik, NCTM (2000: 29) menyatakan bah wa cara penting untuk memperoleh dan mempergunakan pengetahuan meliputi pemecaha n masalah (problem solving), penalaran dan pembuktian (reasoning and proof), kom unikasi (communication), koneksi (connections), penyajian dan (representation). Berkenaan dengan apa yang didapatkan siswa dari melakukan suatu pemecahan masala h, Herman Hudojo (2005: 128 129) mengatakan bahwa pemecahan masalah merupakan suat u hal yang esensial dalam pembelajaran matematika. Hal ini dikarenakan: 1. Siswa menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan, kemudian menganali sanya dan akhirnya meneliti kembali hasilnya; 2. Kepuasan intelektual akan timbul dari dalam merupakan hadiah intrinsik b agi siswa; 3. Potensi intelektual siswa meningkat; 4. Siswa belajar bagaimana melakukan penemuan dengan melalui proses melakuk an penemuan. Dalam perspektif historis kurikulum matematika, Stanick & Kilpatrick (Schoenfeld , 1992: 338) mengidentifikasi peran pemecahan masalah dalam pembelajaran matemat ika sebagai berikut. 1. Problem solving as context. Pemecahan masalah berfungsi sebagai konteks, maksudnya adalah masalah digunakan sebagai sarana untuk mengajarkan suatu topik matematika. Tujuan utama dari prose s ini adalah untuk memahami konsep matematika dan bukanlah pemecahan masalah itu sendiri. Masalah dalam pembelajaran matematika disini berperan sebagai: a) just ifikasi dalam mengajarkan matematika, maksudnya masalah yang berkaitan dengan pe ngalaman sehari-hari dapat meyakinkan guru dan siswa akan nilai matematika; b) m otivasi yang spesifik untuk suatu topik, maksudnya masalah digunakan untuk menge nalkan suatu topik melalui pemahaman secara eksplisit atau implisit; c) rekreasi , maksudnya masalah matematika menjadi tantangan atau permainan yang menyenangka n siswa agar semakin terampil dan mahir; dan d) usaha mengembangkan suatu ketera mpilan baru, maksudnya masalah diberikan dalam urutan tertentu untuk mengenalkan siswa pada materi baru dan sebagai konteks untuk bahan diskusi selanjutnya. 2. Problem solving as skill Pemecahan masalah sebagai keterampilan yaitu berupa kemampuan untuk memperoleh s olusi dari masalah yang dihadapinya. Meskipun pemecahan masalah dapat diinterpre tasikan sebagai suatu keterampilan, asumsi pedagogi dan epistemologi yang mendas arinya adalah keterampilan merupakan penguasaan suatu strategi atau teknik pemec ahan masalah. Siswa diajarkan suatu teknik pemecahan masalah sebagai materi pela jaran, kemudian diberikan tugas berupa latihan-latihan sehingga siswa dapat meng uasai teknik tersebut. Setelah memperoleh pengajaran pemecahan masalah seperti i ni, siswa dikatakan telah memiliki keterampilan pemecahan masalah sebaik penguas aannya terhadap fakta dan prosedur yang telah dipelajari. 3. Problem solving as art Pemecahan masalah sebagai seni dari matematika atau jantungnya matematika (heart of mathematics), maksudnya adalah matematika merupakan pemecahan masalah itu se ndiri. Pembelajaran matematika dimulai dari pemecahan masalah sebagai konteks un tuk memperkenalkan atau memahami suatu konsep atau prinsip matematika, kemudian konsep atau prinsip yang telah berhasil dipahami tersebut diterapkan dalam soalsoal pemecahan masalah untuk melatih keterampilan siswa. Pendapat tersebut didukung oleh pernyataan Lester (Branca, 1980: 3) bahwa: Proble m solving has been said to be at the heart of all mathematics . Makna dari pernyat aan ini adalah pemecahan masalah merupakan inti dari seluruh matematika, artinya kemampuan memecahkan masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar matematika . Lebih jauh Cooney, Davis, & Henderson (Herman Hudojo, 2005: 126) berpendapat b ahwa dengan mengajarkan siswa untuk menyelesaikan masalah, memungkinkan siswa me njadi lebih analitik dalam mengambil keputusan di dalam kehidupannya. Pada hakik atnya, belajar pemecahan masalah adalah belajar berpikir (learning to think) ata u belajar bernalar (learning to reason), yakni berpikir atau bernalar untuk meng

aplikasikan pengetahuan-pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya dalam rangka memecahkan masalah-masalah baru yang belum pernah dijumpai. Melalui pemecahan m asalah siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan beradaptasi t erhadap situasi belajar yang baru. Meningkatkan keterampilan pemecahan masalah siswa merupakan tujuan utama dalam p embelajaran matematika. Dalam memecahkan masalah matematika, siswa tidak hanya m enggunakan kemampuan matematika yang telah mereka miliki, tetapi juga meningkatk an pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang matematika. Hal ini mengakiba tkan pemecahan masalah dalam matematika dapat digunakan sebagai dasar pembelajar an konsep-konsep matematika, sehingga siswa dapat mengkonstruksi pengetahuan mer eka sendiri. Tahap-tahap Pemecahan Masalah Matematika Terdapat beberapa pendapat tentang proses pemecahan masalah matematika. Dewey (P osamentier & Stepelman, 1990: 110) mengungkapkan sebagai berikut. outlined five steps for problem solving. They were presented in the following or der. 1. Recognizing that a problem exists an awareness of a difficulty, a sense o f frustration, wondering or doubt. 2. Identifying the problem clarification and definition, including designati on of the goal to be sought, as defined by the situation which poses the problem . 3. Employing previous experiences, such as relevant information, former sol utions, or ideas to formulate hypotheses and problem-solving propositions. 4. Testing, successively, hypotheses or possible solutions. If necessary, t he problem may be reformulated. 5. Evaluating the solutions and drawing a conclusion based on the evidence. This involves incorporating the successful solution into one's existing understa nding and applying it to other instances of the same problem. Makna dari pernyataan di atas adalah terdapat lima langkah pemecahan masalah seb agai berikut: 1) mengenali adanya masalah, yaitu kesadaran atas suatu kesukar an, perasaan frustasi, keingintahuan, atau keraguan; 2) mengidentifikasi masalah , yaitu klarifikasi dan definisi, termasuk perumusan sasaran yang hendak dicapai sebagaimana ditentukan oleh situasi yang mengedepankan masalah itu; 3) memanfaa tkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, misalnya: informasi yang relevan, penyele saian-penyelesaian, atau gagasan-gagasan terdahulu untuk merumuskan hipotesis-hi potesis dan proposisi pemecahan masalah; 4) menguji hipotesis-hipotesis atau kem ungkinan-kemungkinan penyelesaian secara berurutan (jika perlu merumuskan kembal i masalah tersebut); dan 5) mengevaluasi penyelesaian-penyelesaian dan menarik k esimpulan berdasarkan bukti, yang melibatkan pemasukan penyelesaian ke dalam pem ahaman yang dimiliki orang tersebut dan menerapkannya pada bentuk-bentuk lain da ri masalah yang sama. Keterampilan berpikir yang dikembangkan dalam proses pemecahan masalah antara la in kemampuan siswa untuk memahami masalah dan merumuskan pertanyaan dalam masala h tersebut. Siswa juga perlu memahami kondisi dan variabel yang terlibat dalam m asalah tersebut. Proses untuk memahami kondisi dan variabel dalam masalah dapat terbantu dengan cara membuat model, diagram, gambar atau mendaftar ide-ide dalam urutan tertentu. Sejalan dengan itu, siswa perlu berpikir untuk memilih atau me nemukan data yang diperlukan untuk memecahkan masalah. Selanjutnya, siswa mengur aikan dalam bagian-bagian masalah yang perlu dipecahkan terlebih dahulu dan memi lih strategi pemecahan yang sesuai. Siswa harus dapat memberikan jawaban dalam b atasan yang relevan dengan data dalam masalah tersebut. Hal ini berarti, siswa m enyatakan jawaban secara lengkap sesuai dengan apa yang ditanyakan. Selanjutnya, siswa perlu mengevaluasi apakah jawaban yang diperolehnya tersebut masuk akal a tau cukup rasional. Proses ini mencakup usaha untuk membaca kembali apa masalahn ya dan menguji jawabannya tersebut pada kondisi dan variabel yang terdapat pada

masalah tersebut, mengujinya pada pertanyaan, atau melakukan estimasi untuk mene ntukan apakah jawabannya tersebut cukup masuk akal. Menurut Polya (1973: 5 6) terdapat empat fase dalam pemecahan masalah sebagai beri kut. four phases of the work. First, we have to understand the problem; we have to se e clearly what is required. Second, we have to see how the various items are con nected, how the unknown is linked to the data, in order to obtain the idea of the solution, to make a plan. Third, we carry out our plan. Fourth, we look back at the completed solution, we review and discuss it. Maknanya adalah empat fase dalam proses pemecahan masalah, yaitu: 1. Memahami masalah Siswa dapat mengidentifikasi kelengkapan data termasuk mengungkap data yang masi h samar-samar yang berguna dalam penyelesaian; 2. Menyusun rencana Siswa dapat membuat beberapa alternatif jalan penyelesaian untuk menuju jawaban; 3. Melakukan rencana Siswa dapat melaksanakan langkah 2) dan mencoba melakukan semua kemungkinan yang dapat dilakukan; dan 4. Memeriksa kembali kebenaran jawaban Siswa dapat melengkapi langkah-langkah yang telah dibuatnya ataupun membuat alte rnatif jawaban lain. Setiap langkah yang dilakukan selalu bersifat istimewa karena semuanya dapat mem bawa ide berbeda. Ide tersebut akan membongkar segala yang masih rahasia menjadi suatu jawaban. Selanjutnya, Polya (1973: 6) menyatakan bahwa It is generally use less to carry out details without having seen the main connection, or having mad e a sort of plan . Maknanya adalah siswa bisa saja mengalami kegagalan memperoleh hasil, karena ide siswa keluar dari keempat fase tersebut dan siswa membuat gene ralisasi yang tidak berkaitan dengan keseluruhan data soal. Oleh karena itu, sis wa perlu selalu meneliti setiap tahap yang telah dilakukan. Akibatnya, langkah-l angkah pemecahan dapat saja berubah-ubah atau kembali ke tahap sebelumnya, terga ntung kebutuhan siswa melewati keadaan yang masih rahasia menuju jalan keluar. Proses Heuristik dalam Pemecahan Masalah Matematika Pemecahan masalah merupakan aktivitas yang kompleks. Hal ini mencakup proses dal am memori untuk mengingat kembali fakta, penggunaan beragam keterampilan dan pro sedur, kemampuan untuk mengevalusi jalan berpikir dan kemajuan yang dicapai keti ka memecahkan masalah, dan kemampuan lainnya. Lebih jauh lagi, keberhasilan sisw a dalam memecahkan masalah sangat tergantung pada minat siswa, motivasi, dan kep ercayaan diri siswa. Oleh karena itu, pemecahan masalah meliputi koordinasi dari pengetahuan, pengalaman sebelumnya, intuisi, perilaku, keyakinan dan berbagai k emampuan lainnya. Rangkaian aktivitas berpikir siswa dan perilaku siswa selama memecahkan masalah dapat dianalisa berdasarkan model Polya (Gorman, 1974: 299; Lester, 1985: 45). P roses pemecahan masalah atau strategi pemecahan masalah ini disebut dengan heuri stic. Kata heuristik menurut Polya (1973: 112) sering disebut sketsa (outline). Strategi heuristik membuat keadaan masalah menjadi kelihatan belum jelas (samarsamar) dan terkadang belum sebagai jawaban yang sesungguhnya. Pemecahan masalah menggunakan strategi heuristik berarti proses pemecahan masalah menggunakan stra tegi-strategi agar dapat mengambil keputusan berdasarkan keputusan induktif, ana logi, peragaan, atau mensketsa gambar. Dengan kata lain, strategi heuristik Poly a dalam pemecahan masalah adalah mensketsa kerangka yang paling mungkin. Tujuan dari heuristik adalah untuk mempelajari metode dan aturan-aturan untuk memperole h solusi masalah, sehingga memungkinkan pemecah masalah untuk memperoleh pengert ian secara sistematis dari struktur masalah tersebut melalui usahanya sendiri.

Pada tahap memahami masalah, siswa perlu memahami dengan baik ruang lingkup dan hakikat masalah yang dihadapi. Untuk itu, siswa harus dapat mencari informasi ya ng relevan, mendefinisikan masalah dengan jelas dan menjelaskan dengan kata-kata nya sendiri. Tahap ini merupakan tahap yang penting dimana siswa mengembangkan p emaknaan dari representasi masalah yang dihadapi sebagai dasar untuk merencanaka n strategi pemecahan masalah (Lester, 1985: 46). Pada tahap menyusun rencana pemecahan masalah, siswa merumuskan solusi yang memu ngkinkan atau menyusun rencana pemecahan. Dalam hal ini, siswa perlu bimbingan u ntuk mengenali kapan suatu strategi dapat berguna, memilih strategi atau pendeka tan yang dipandangnya sesuai dengan masalah tersebut dan melakukan perbaikan ter hadap strateginya. Dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan ini terdapat aktivita s metakognitif untuk memantau kemajuan yang telah dicapai. Pada tahap evaluasi, siswa melakukan pengujian terhadap dugannya tersebut, melak ukan verifikasi terhadap solusi yang dihasilkan, hingga diperoleh solusi yang te pat bagi masalah tersebut. Dalam tahap ini, siswa tidak hanya melakukan pengecek an terhadap solusi yang diperolehnya, tetapi siswa juga bernalar secara indukti f untuk bisa memperoleh beberapa prinsip umum matematika dari solusi yang dipero lehnya. Untuk itu, perhatian guru hendaknya lebih diarahkan kepada usaha siswa m emperoleh solusi daripada kebenaran jawaban semata. Kegiatan diskusi interaktif antarsiswa, maupun antara siswa dan guru merupakan cara untuk saling mengutaraka n ide dalam usahanya memecahkan masalah. Dalam kesempatan ini, beragam strategi pemecahan masalah dikemukakan sehingga guru dapat memberikan perhatian terhadap struktur pengetahuan matematika siswa dalam proses memperoleh solusi. Polya memberi petunjuk kepada guru matematika untuk memecahkan masalah dengan st rategi heuristik, yaitu membuat keadaan agar terjadi penyuplai penemuan (serving t o discovery). Untuk mengefektifkan penerapan heuristik Polya ini, pemecah masala h harus mampu mengkonstruksi hubungan dalam masalah dengan tepat sesuai dengan s truktur matematika yang ada. Hal ini sesuai dengan pernyataan Silver & Smith (19 80: 146) To make effective use of Polya s heuristic suggestion, the problem solver must be able to construct or recall and appropriate problem related in mathemati cal structure to the problem at hand. . Strategi heuristik tidak berarti menjamin siswa sudah pasti terbantu pada saat m emecahkan masalah. Polya (1973: 172) menyatakan A reasonable sort of heuristic ca nnot aim at unfailing rules; but it may endeavor to study procedures (mental ope rations, moves, steps) which are typically useful in solving problems. . Maknanya, penyelenggaraan heuristik yang masuk akal tidak dapat terjadi setiap saat, teta pi dengan melakukan strategi heuristik berarti siswa berusaha keras mempelajari prosedur operasi yang telah digunakan dengan cara menukar-nukar langkah yang leb ih memungkinkan. Sebelum menemukan penyelesaian, siswa perlu mencari jejak langk ah-langkah sebelumnya, mengevaluasi prosedur yang dibuat sampai benar-benar dimen gerti, memilih cara yang paling benar, dan menentukan langkah yang terlengkap da lam eksplorasi masalah dan menyelesaikannya secara keseluruhan. Oleh karena itu, dalam mengimplementasikan suatu langkah, siswa harus berani menentukan bahwa ya ng dilakukan itu adalah benar, juga mampu memanfaatkan semua yang diperolehnya u ntuk menentukan atau memutuskan penyelesaian yang paling baik. Seperti itulah pe ran yang dilakukan seorang pemecah masalah yang menggunakan kognitif dan metakog nitifnya dalam melakukan operasi, penerapan intelektualnya, dan sanggup mengatur bagian-bagian masalah yang dimiliki secara tepat. Seandainya hanya sebagian dari strategi heuristik yang diterapkan dan seorang pe mecah masalah hanya mencoba dalam waktu relatif singkat, bisa saja siswa tersebu t sudah dapat mengungkap suatu masalah bahkan sampai keseluruhan dapat diselesai kan. Hal ini dapat terjadi jika siswa tepat memilih strategi heuristik yang coco k untuk dipakai. Tetapi siswa juga dapat mencoba-cobakan beberapa kunci meskipun membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu, betapa pentingnya mengetahui k unci yang sesuai. Hal ini sesuai pernyataan Schoenfeld (1980: 14) sebagai beriku

t: If problem solver have only the time to try a few of those keys, they may fail to unlock the problem even if the right key was at their disposal all long. Sel ecting the key is as important as knowing how to use it . Guru menyadari bahwa siswa membutuhkan banyak prosedur sebagai pedoman untuk men untaskan suatu masalah agar menemukan celah jalan keluar dari inti permasalahan. Terkadang siswa kehabisan akal dan siswa menjadi frustasi. Keadaan ini membutuh kan arahan dari guru agar siswa tetap mau berkreasi sehingga membantunya untuk m enemukan ide. Misalnya guru melakukan strategi heuristik sehingga siswa dapat me nemukan inti permasalahan (kunci persoalan atau ide utama) yang harus ditempuh. Berkaitan dengan ini, Suydam (1980: 43) menyatakan Children need and overall proc edure for attacking a problem; this provides a global sense of security. Then th ey need specific strstegies that they can apply within the global structure. Makn anya adalah hanya melalui strategi-strategi spesifik, siswa dapat menemukan ide yang membantunya keluar dari kesulitan. Ketika menentukan strategi spesifik yang dimaksud, guru dapat memperkenalkan metode heuristik mengenai kegiatan mentrans fomasi data soal menjadi sederhana, menyusun generalisasi dari transformasi ters ebut dan mengaplikasikannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suydam (1980: 40) T he heuristic method involves such factors as transformastion, goal reduction, an application; it is slower but more general and flexible. . Untuk menempuh tahap-tahap pemecahan masalah matematika, siswa berusaha mengarti kan bentuk simbol yang dihadapi dan menggunakan simbol-simbol tersebut berdasark an pemahamannya. Ketika mengartikan bentuk simbol yang dihadapi, guru dapat memp erhatikan kinerja siswanya, dan membiarkan siswa secara bebas menggunakan notasi yang ada atau mencoba menghubungkan bentuk-bentuk yang dihadapi. Siswa membutuh kan bantuan dalam pemikirannya berupa wawasan dan kata atau simbol atau notasi y ang perlu dipakainya. Brown (Franke & Carey, 1997: 84) mengisyaratkan bahwa dala m mengenal notasi, simbol ataupun istilah-istilah matematika, sebaiknya guru men jaga agar siswa tidak bingung, bahkan kalau bisa guru membantu mereka menterjema hkan suatu simbol atau notasi-notasi yang ada. Ada kalanya suatu masalah matematika memerlukan penyusunan pemecahan secara luar biasa dan membutuhkan penyelesaian yang unik. Oleh karena itu, sebaiknya siswa harus memiliki kreativitas yang tinggi dan diimbangi dengan semangat yang kontin u dalam mencari pemecahan masalah. Walaupun hubungan antara tingkat kreasi dan i ntelegensi bukanlah hal penentu, tetapi faktor kreativitas siswa yang tinggi dan oleh integritas gurunya maka kemampuan siswa lebih memungkinkan untuk memanfaat kan kreasi dalam melakukan pemecahan masalah. Kreativitas menemukan jawaban meru pakan kegiatan pemecahan masalah dan kreativitas dapat membenahi masalah yang ma sih kacau menjadi jawaban yang benar. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Posa mentier & Stepelman (1990: 131-132) sebagai berikut. If there is difficulty in teaching effective ways of using the techniques of pro blem solving, there is, perhaps, greather difficulty in teaching for creativity . O ne of the major difficulties is in defining the term itself. At one time, it was thought that creativity was a genetic capacity granted to the fortunate few, bu t now a number of psychologists have attempted to demonstrate that processes ass ociated with creativity are teachable (or, at least, encourageable). For our pur poses, we may define creativity as the ability to evolve unusual, highly useful or unique solutions to problems. Berdasarkan pendapat mengenai peran guru dalam membantu siswa melakukan pemecaha n masalah di atas, dapat disimpulkan bahwa guru harus berusaha melatih siswa aga r berani melakukan pemecahan sendiri. Proses pemecahan masalah diperkenalkan gur u kepada siswa melalui dialog yang mengakibatkan siswa terlibat dalam kreativita s mengkaji soal dan mengeksplorasinya hingga menuntaskan penyelesaian. Agar suat u soal memungkinkan untuk membuat siswa melakukan pemecahan masalah, guru harus mempersiapkan soal-soal yang sesuai dengan kemampuan siswa. Begitu pula karena m emecahkan masalah membutuhkan kreasi dan kreativitas yang tinggi, guru hendaknya

memperhatikan bantuan yang diberikan kepada siswa agar siswa tetap bersemangat menghadapi situasi-situasi yang sulit. Siswa disibukkan dengan aktivitas strateg i heuristik dan berusaha mendapatkan cara yang spesifik agar penemuan yang luar biasa dapat terjadi pada siswa. Polya berharap agar pada saat siswa memecahkan suatu masalah matematika, guru me mberi arahan melalui pertanyaan Apakah kamu tahu hubungan yang ada dalam masalah ini? . Oleh karena itu, guru perlu menyediakan pertanyaan-pertanyaan yang ditujuka n kepada siswa untuk mengontrol keadaan siswa, sehingga guru dapat memperbaiki k esalahan siswa. Apabila ditemukan beberapa cara yang dianggap benar, siswa perlu membedakan kelebihan dan kekurangan cara-cara tersebut, bahkan siswa nantinya m enetapkan sendiri cara yang paling sesuai. Apabila guru selalu mengarahkan siswa melalui pertanyaan Bagaimana cara kamu melakukannya? , maka secara eksplisit guru akan membentuk kemungkinan siswa untuk mencoba menemukan jawaban dengan cara sen diri. Selanjutnya, Polya (1973: 172 & 206) menganjurkan dalam melakukan pemecahan masa lah sebaiknya guru memiliki semangat yang tinggi, berintelegensi dan berintegrit as tinggi dalam memberikan pertanyaan atau pemberian anjuran yang akan membantu siswa. Untuk melakukan hal ini sangat diperlukan falsafah yang tidak memberikan langkah yang sudah jadi (harus samar-samar). Intelegensi yang diperlukan dalam p embelajaran pemecahan masalah adalah harus mampu memberikan pertanyaan dan pedom an yang membantu. Guru harus benar-benar mengerti dengan keterangan dan ilustras i contoh suatu pertanyaan yang diberikannya, dan lugas menempatkan pertanyaan it u untuk menggugah semangat kerja siswa. Kategori Kemampuan Siswa Kategori kemampuan siswa sangat erat kaitannya dengan perolehan hasil belajar. O leh karena itu, kategori kemampuan merupakan hal yang penting untuk diperhatikan khususnya dalam pengembangan pendekatan pembelajaran baru agar tercipta pembela jaran yang lebih berpusat pada siswa dengan hasil optimal. Perhatian tersebut te rutama ditujukan pada antisipasi untuk melakukan intervensi yang perlu dipersiap kan guru sesuai dengan latar belakang kemampuan siswa. Apabila berhadapan dengan sejumlah siswa yang tidak dipilih secara khusus kecerd asannya, maka diantara mereka terdapat siswa pandai, sedang, dan lemah, dimana s ebagian besar dari mereka mempunyai inteligensi sedang-sedang saja (normal). Den gan demikian, dari sekelompok siswa yang tidak dipilih secara khusus terdapat se jumlah siswa berbakat yang ada di atas kelompok sedang yang jumlahnya sama denga n siswa tidak berbakat yang ada dibawah kemampuan siswa sedang tersebut. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Grossnickle, Reckzeh, Perry et al (1983: 350) seb agai berikut Pupils in the top quarter of the norm group are among the rapid learn ers in mathematics, whereas the pupils who score in the lowest quarter are among the slow learners. The middle 50 percent are relatively homogeneous in their abi lities to achieve in mathematics. . Berdasarkan hasil tes siswa, dapat ditentukan seberapa besar jumlah siswa yang b erada pada kelompok atas, sedang, dan bawah. Menurut Suharsimi Arikunto (2006: 2 12), 27% skor teratas disebut kelompok atas (tinggi), 27% skor terbawah disebut kelompok bawah (rendah), dan sisanya merupakan kelompok sedang. Berdasarkan pendapat di atas, maka pengelompokan kemampuan siswa dalam penelitia n ini dibuat berdasarkan rata-rata nilai tes prasyarat dan nilai tes awal ruang dimensi tiga yang terdiri dari tiga kelompok kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Faktor-faktor yang dapat Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah Matematika Kemampuan pemecahan masalah siswa berkembang secara perlahan dan kontinu. Terdap at beberapa aspek dalam diri siswa yang perlu dikembangkan untuk menunjang kemam puannya dalam memecahkan masalah antara lain adalah: 1) strategi pemecahan masal

ah; 2) proses metakognitif; dan 3) keyakinan dan perilaku siswa terhadap matemat ika, yaitu mencakup kepercayaan diri, tekad, kesungguh-sungguhan dan ketekunan si swa dalam mencari pemecahan masalah. Strategi pemecahan masalah merupakan metode yang dapat diidentifikasi untuk mela kukan pendekatan dalam menyelesaikan masalah, sehingga suatu strategi pemecahan masalah dapat digeneralisasi. Pendekatan terhadap masalah juga mencakup usaha un tuk memahami masalah, mengidentiflkasi informasi yang relevan dan yang tidak rel evan, memilih strategi yang sesuai, serta menilai apakah jawaban yang dihasilkan tersebut rasional. Dalam proses memecahkan masalah, siswa perlu memantau jalan berpikirnya. Proses metakognitif ini, siswa menyadari bagaimana dan mengapa diri nya melakukan hal tersebut, siswa juga menyadari langkah yang diambil apakah ber jalan dengan baik atau menemui hambatan sehingga dapat mendorong siswa untuk mem ikirkan alternatif lain atau berusaha memahami kembali apa masalahnya. Sebagaima na halnya dengan strategi, kemampuan metakognitif ini juga dapat dipelajari. Key akinan diinterpretasikan sebagai pemahaman dan perasaan seseorang yang membentuk konseptualisasi dan keterikatan seseorang dengan matematika. Di samping penguas aan siswa akan beragam strategi pemecahan masalah dan pentingnya proses metakogn itif, bagaimana perasaan siswa tentang pemecahan masalah dan tentang matematika secara umum mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap usahanya untuk memecahka n masalah dan keberhasilannya dalam matematika. Menurut Gorman (1974: 312), faktor-faktor yang dapat meningkatkan kemampuan peme cahan masalah, antara lain adalah kemampuan mencari informasi yang relevan. Sisw a harus dapat membedakan informasi yang relevan dan yang tidak relevan terhadap masalah yang dihadapinya. Kemudian, faktor kemampuan dalam memilih pendekatan pe mecahan masalah. Pendekatan pemecahan masalah yang berdasarkan pada keterampilan bernalar berupa uji hipotesis lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan yang tidak berdasarkan pada keterampilan bernalar. Namun, terkadang strategi yang di gunakan untuk memperoleh solusi tidak selalu berjalan dengan baik sehingga siswa juga perlu memiliki fleksibilitas dalam memilih pendekatan dan fleksibilitas da lam berpikir. Di samping itu, objektivitas dan keterbukaan dalam berpikir juga d apat meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Objektivitas dapat m embantu siswa untuk bernalar secara logis. Schoenfeld (1992: 348) mensintesiskan lima aspek kognitif penting, yaitu: basis pengetahuan, strategi pemecahan masalah, monitoring dan kontrol, keyakinan dan k esungguhan, serta latihan-latihan. Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah terk ait dengan pengetahuan yang dimilikinya, yaitu pengetahuan yang tersimpan dalam memorinya, dan bagaimana pengetahuan tersebut dikembangkan. Basis pengetahuan ma tematika siswa meliputi pengetahuan informalnya tentang matematika dan pengetahu an intuitif, fakta dasar, definisi, prosedur algoritmik, prosedur rutin, pengeta huan tentang rumus-rumus, prinsip matematika atau aturan lain yang relevan. Pros es untuk mengakses pengetahuan yang tersimpan dalam memori tersebut dapat digamb arkan pada Bagan 1 (Schoenfeld, 1992: 351). Kegiatan memproses informasi tersebut bermula dari rangsang yang dapat diterima oleh indera manusia, yaitu informasi yang diperoleh dari penglihatannya, pendeng arannya atau perabaannya dari lingkungan di sekitarnya atau dari suatu penugasan . Kemudian, bila informasi tersebut tidak diabaikan akan diubah dalam bentuk yan g dapat diproses dalam otak manusia untuk disimpan dalam memorinya. Beberapa inf ormasi akan hilang atau tidak tersimpan, atau hanya tersimpan sementara dalam me mori jangka pendek dan beberapa akan bertahan dalam memori jangka panjang siswa. Pengetahuan matematika yang tersimpan dalam memori jangka panjang siswa inilah yang akan dimanfaatkan untuk mencari penyelesaian masalah. Penemuan untuk menyel esaikan masalah berdasarkan pengetahuan tergantung dari muatan dalam memori sisw a. Berdasarkan tingkatan pengetahuan siswa berkaitan dengan masalah yang dihadap inya, masalah dapat dibagi menjadi empat, yaitu: 1) sama sekali tidak mengetahui ; 2) mengetahui keberadaannya tetapi tidak secara detil; 3) mengetahui sebagian atau memiliki dugaan secara detil tetapi tidak terlalu yakin; dan 4) yak

in mengetahui. The Structure of Memory The Structure of Memory Dalam pembelajaran, setidaknya ada dua unsur yang terlibat yaitu siswa dan guru. Bagaimana keyakinan siswa tentang matematika dan bagaimana keyakinan guru tenta ng matematika tentu berpengaruh terhadap proses pembelajaran itu sendiri. Keyaki nan siswa tentang hakikat matematika antara lain: masalah matematika hanya memil iki satu jawaban benar, dan hanya ada satu cara yang benar untuk menyelesaikan m asalah matematika. Cara itu biasanya adalah cara yang sering diajarkan guru di k elas. Siswa umumnya juga berkeyakinan bahwa belajar matematika merupakan aktivit as terisolir dan individu, matematika yang dipelajari di sekolah hanya memiliki sedikit keterkaitan atau tidak terkait sama sekali dengan dunia nyata. Siswa ber kemampuan rata-rata tidak dapat diharapkan untuk bisa memahami matematika, sehin gga mereka merasa lebih mudah untuk menghafalkan saja dan menerapkannya secara m ekanistis tanpa pemahaman. Adapun keyakinan guru tentang matematika misalnya: ma tematika lebih merupakan ide dan proses berpikir daripada fakta, matematika akan lebih baik dipahami dengan cara menemukan kembali ide tersebut. Oleh karena itu , penemuan dan verifikasi merupakan proses yang penting dalam pembelajaran matem atika. Guru juga berkeyakinan bahwa tujuan utama dari belajar matematika adalah mengembangkan keterampilan bernalar yang penting bagi pemecahan masalah. Guru ha rus merancang dan mengelola aktivitas belajar yang bersifat terbuka dan informal agar siswa memiliki kebebasan untuk bertanya dan mengeksplorasi ide mereka send iri. Guru seharusnya mendorong siswa untuk membuat dugaan dan menalar sesuatu de ngan usahanya sendiri daripada menunjukkan kepada siswa bagaimana cara mencapai solusi atau jawaban. Guru seharusnya dapat menarik intuisi dan pengalaman siswa ketika menyajikan suatu materi agar menjadikannya lebih bermakna (Schoenfeld, 19 92: 359 360). Kemampuan pemecahan masalah merupakan keterampilan yang diperoleh siswa dari bel ajar matematika, sehingga latihan merupakan hal yang penting agar siswa semakin terampil. Semakin siswa berpengalaman dalam memecahkan beragam masalah, semakin baik pula kemampuan pemecahan masalahnya. Strategi pemecahan masalah yang biasa diajarkan dalam pembelajaran matematika, a ntara lain: strategi coba-coba atau menebak kemudian menguji, membuat gambar, me nggunakan model matematika, mencari pola, membuat tabel, membuat dan mengorganis ir data atau informasi, bekerja mundur, menalar dengan logika, mencoba pada masa lah analog yang lebih sederhana, menuliskan persamaan atau kalimat terbuka, meng gunakan kalkulator atau komputer, memperhitungkan segala kemungkinan, atau mengg unakan sudut pandang yang berbeda (Posamentier & Stepelman, 1990: 117 118). Akan l ebih baik bila siswa tidak hanya dilatih untuk menggunakan satu strategi dalam m emecahkan masalah. Untuk itu, siswa diberi kebebasan untuk melakukan dugaan dan pembuktian sendiri berdasarkan konsep-konsep matematika yang dimilikinya. Siswa hendaknya memiliki keterampilan untuk memilih sendiri strategi apa yang tepat un tuk masalah yang dihadapinya tersebut, siswa juga hendaknya dapat menggunakan st rategi tersebut pada beragam masalah yang melibatkan konteks yang berbeda dan ba gian yang berbeda dari matematika. Posamentier & Stepelman (1990: 132) memaparkan faktor-faktor yang dapat meningka tkan kreativitas siswa dalam memecahkan masalah dilihat dari aspek lingkungan be lajar dan guru, antara lain: 1) menyediakan lingkungan belajar yang mendorong ke bebasan siswa untuk berekspresi; 2) menghargai pertanyaan siswa dan ide-i denya; 3) memberi kesempatan bagi siswa untuk mencari dan menemukan solusi denga n caranya sendiri; dan 4) memberi penilaian terhadap orisinalitas ide siswa dan mendorong pembelajaran kooperatif yang mengembangkan kreativitas pemecahan masal ah siswa. Bentuk kegiatan pemecahan masalah secara berkelompok dinilai lebih efe ktif daripada dilakukan secara individual. Faktor lain yang dapat meningkatkan k emampuan pemecahan masalah dari aspek guru yaitu perlakuan motivasional terhadap

siswa seperti memberikan toleransi dan pengertian. Dengan demikian, faktor-faktor yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masal ah siswa adalah kemampuan memahami ruang lingkup masalah dan mencari informasi y ang relevan untuk mencapai solusi, kemampuan dalam memilih pendekatan pemecahan masalah atau strategi pemecahan masalah dimana kemampuan ini dipengaruhi oleh ke terampilan siswa dalam merepresentasikan masalah dan struktur pengetahuan siswa. Keterampilan berpikir dan bernalar siswa yaitu kemampuan berpikir yang fleksibe l dan objektif. Kemampuan metakognitif atau kemampuan untuk melakukan monitoring dan kontrol selama proses memecahkan masalah. Keyakinan yang positif tentang be lajar matematika. Perilaku siswa yang positif, yaitu mencakup kepercayaan diri, tekad, kesungguh-sungguhan dan ketekunan siswa dalam mencari pemecahan masalah s erta latihan-latihan. Berdasarkan uraian di atas, maka pemecahan masalah merupakan suatu subjek (mater i yang harus dipelajari), strategi pembelajaran dan merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam matematika yang harus dimiliki oleh siswa sehingga dapat m elakukan aktivitas matematika doing math dalam situasi di dalam maupun di luar pem belajaran. Selanjutnya, kemampuan memecahkan masalah matematika dalam penelitian ini merupakan kemampuan berpikir siswa dalam menyelesaikan soal matematika berd asarkan pada suatu kegiatan yang lebih mengutamakan pentingnya prosedur, strateg i, dan karakteristik yang ditempuh oleh siswa dalam menyelesaikan masalah sehing ga menemukan jawaban soal. Dalam penelitian ini, pemecahan masalah dianggap sebagai standar kemampuan yang harus dimiliki siswa setelah menyelesaikan suatu pembelajaran. Kemampuan memecah kan masalah menjadi target pembelajaran matematika yang sangat berguna bagi sisw a dalam kehidupannya. Melalui aktivitas pemecahan masalah, siswa dapat memperbai ki kemampuan dirinya melakukan semua ketentuan pemecahan masalah. Siswa menjadi biasa melakukan tahap-tahap pemecahan masalah matematika dan melengkapi keteramp ilan pendukung untuk menyelusuri setiap tahap pemecahan. Kemampuan pendukung ter sebut diantaranya berkolaborasi, melakukan kooperatif, bernegosiasi dengan sesam a teman dan guru. Sementara guru berperan sebagai fasilisator dan motivator, den gan setiap usaha yang dilakukannya tidak bersifat menilai tetapi hanya bersifat mendorong dan selalu menghargai setiap solusi yang diperoleh siswa.

You might also like