You are on page 1of 80

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri, mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2003). Menurut UU No. 4 tahun 1965 pasal 1 dinyatakan sebagai berikut : Seorang dapat dinyatakan sebagai seorang jompo atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain. Menurut UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia, dikatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas. Jumlah lansia di dunia mencapai lebih dari 629 juta jiwa (satu dari 10 orang berusia lebih dari 60 tahun) dan pada tahun 2025 lanjut usia diperkirakan akan mencapai 1,2 milyar. Banyaknya jumlah lansia ini akan berdampak pada meningkatnya angka morbiditas atau kesakitan pada lansia karena dengan pertambahan usia atau proses menua akan menimbulkan perubahan perubahan pada struktur dan fisiologis dari berbagai sistem organ. Salah satu masalah utama yang terjadi pada lanjut usia adalah nyeri punggung bawah (Nugroho, 2008).

Nyeri punggung bawah di dunia sering dialami oleh lansia dengan angka yang cukup tinggi (Wikipedia, 2011). Angka kejadian nyeri punggung bawah di beberapa negara berkembang seperti di Indonesia berkisar antara 15-20% dari total populasi, yang sebagian besar merupakan nyeri punggung bawah akut maupun kronik. Penelitian kelompok studi nyeri PERDOSSI (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia) pada bulan Mei 2002 menunjukkan jumlah penderita nyeri pinggang sebesar 18,37% dari seluruh pasien nyeri. Di daerah pantai utara Jawa ditemukan keadaan nyeri punggung bawah sebesar 8,2% pada pria dan 13,6% pada wanita. Di Rumah Sakit Jakarta, Yogyakarta dan Semarang kejadiannya sekitar 5,4-5,8% dengan umur terbanyak 45-65 tahun. Rata-rata angka kejadian nyeri punggung bawah terjadi pada umur 55-64 tahun (Meliala, 2003). Nyeri punggung bawah merupakan keluhan yang sangat umum dan sering terjadi. Nyeri punggung bawah adalah rasa nyeri yang dirasakan di daerah punggung bawah dapat merupakan nyeri lokal maupun nyeri radikuler atau keduanya. Nyeri ini terasa diantara sudut iga terbawah sampai lipat bokong bawah yaitu di daerah lumbal atau lumbosakral dan sering disertai dengan penjalaran nyeri ke arah tungkai dan kaki (Meliala, 2003). Nyeri punggung bawah sebenarnya dapat diatasi bukan hanya dengan pengobatan saja melainkan dapat diatasi dengan terapi konservatif lainnya seperti dengan terapi modalitas yaitu terapi non farmakologis (Haryanto, 2003). Terapi non farmakologis sebagai bagian dari rehabilitasi medik telah ribuan tahun digunakan sebagai sarana terapi. Terapi non farmakologis banyak membantu

mengatasi nyeri akut maupun kronik, dari sekian banyak terapi modalitas yang paling sering dipergunakan, bahkan dikerjakan oleh masyarakat sendiri di rumah. Pemanasan superfisial lokal merupakan modalitas yang efektif dan telah umum digunakan untuk menghilangkan nyeri pada berbagai kondisi muskuluskeletal. Salah satu modalitas terapi panas adalah inframerah yang sering digunakan karena harganya tidak terlalu mahal dan praktis (Haryanto, 2003). Ketika suatu jaringan mengalami cedera, atau kerusakan mengakibatkan dilepasnya bahan-bahan yang dapat menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamin, ion kalium, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang akan mengakibatkan respons nyeri. Rasa nyeri tersebut ditimbulkan oleh adanya akumulasi sisa-sisa hasil metabolisme yang menumpuk di jaringan. Penumpukan zat sisa hasil metabolisme tersebut dihilangkan dengan pemasan yang cukup untuk mendilatasikan pembuluh darah agar zat-zat tersebut ikut keluar. Salah satu metode yang digunakan untuk memperoleh panas adalah dengan radiasi khususnya inframerah. Penyinaran inframerah merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri. Pengaruh inframerah pada pengurangan rasa nyeri adalah panas yang dihasilkan akan menyebabkan terjadinya peningkatan temperatur pada area yang diterapi, dengan demikian terjadi dilatasi pembuluh darah yang diikuti peningkatan aliran darah kapiler sehingga pembuangan hasil-hasil metabolisme semakin baik (Potter dan Perry, 2006). Lancarnya sirkulasi darah maka zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh ikut juga terbuang, nyeri akan berkurang diikuti dengan spasme otot berkurang sehingga akan merilesasikan otot (Haryanto, 2003).

Selain penggunaan inframerah, dilakukan terapi stimulasi kutaneus untuk nyeri punggung bawah. Stimulasi kutaneus adalah masase yang diberikan tidak secara spesifik menstimulasi reseptor tidak nyeri pada bagian reseptor yang sama seperti reseptor nyeri tetapi dapat mempunyai dampak melalui system control dessenden. Masase tersebut dapat membuat pasien merasa lebih nyaman karena masase dapat membuat relaksasi otot dan dapat menghambat pembentukan substansi P sebagai media untuk menghambat terjadinya respons nyeri melalui penutupan gerbang respons nyeri (menurut teori gate control). Dengan terjadinya penutupan gerbang tersebut, secara teori nyeri pasien akan mengalami penurunan. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Banjar Tebongkang, Desa Singakerta, Kecamatan Ubud diperoleh bahwa pada tahun 2011 terdapat 97 orang Lansia yang terdiri dari 53 orang (54,6%) perempuan dan 44 orang (45,4%) laki-laki, 49 orang (52,1%) diantaranya mengalami nyeri punggung bawah. Dari hasil wawancara yang peneliti lakukan terhadap 10 orang lansia, dikatakan bahwa lansia dalam mengatasi nyeri punggung bawah 2 orang (20%) dengan senam lansia setiap sore, 2 orang (20%) menggosok punggung dengan balsem dan 6 orang (60%) mengkonsumsi obat natrium diklofenak tablet, paracetamol dan vitamin B1 yang diperoleh saat datang ke Posyandu Lansia yang rutin dilakukan setiap bulan di Banjar Tebongkang. Pada lansia telah terjadi proses penurunnan daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan dari luar tubuh, sehigga pemberian obat-obatan yang secara terus menerus dapat merugikan bagi tubuh mereka sendiri.

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang perbedaan pengaruh stimulasi kutaneus dan inframerah terhadap nyeri pada lansia yang mengalami nyeri punggung bawah di Banjar Tebongkang, Desa Singakerta, Kecamatan Ubud Tahun 2011. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka akan timbul pertanyaan Apakah ada perbedaan pengaruh stimulasi kutaneus dan inframerah terhadap nyeri punggung bawah pada Lansia di Banjar Tebongkang, Desa Singakerta, Kecamatan Ubud Tahun 2011? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Umum Mengetahui perbedaan pengaruh stimulasi kutaneus dan inframerah terhadap tingkat nyeri punggung bawah pada Lansia di Banjar Tebongkang, Desa Singakerta, Kecamatan Ubud Tahun 2011. 2. a. Tujuan Khusus Mengidentifikasi skala nyeri punggung bawah pada Lansia sebelum diberikan stimulasi kutaneus b. Mengidentifikasi skala nyeri punggung bawah pada Lansia sebelum diberikan terapi inframerah c. Mengidentifikasi skala nyeri punggung bawah pada Lansia setelah diberikan stimulasi kutaneus

d.

Mengidentifikasi skala nyeri punggung bawah pada Lansia setelah diberikan terapi inframerah

e.

Menganalisa perbedaan pengaruh antara pemberian stimulasi kutaneus dan terapi inframerah terhadap nyeri punggung bawah pada Lansia

D.

Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini dapat ditinjau dari dua aspek yaitu segi teoritis

dan praktis sebagai berikut : 1. a. Teoritis Manfaat yang diperoleh untuk memperdalam ilmu pengetahuan dan menambah wawasan tentang kondisi nyeri punggung bawah b. Memberikan informasi tentang kondisi nyeri punggung bawah yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat 2. a. Praktis Hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman bagi staf Puskesmas atau penyelenggaran Posyandu Lansia atau keluarga dalam memberikan terapi modalitas yang berguna untuk perawatan nyeri punggung bawah b. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan, khususnya dalam hal nyeri punggung bawah E. Keaslian Penelitian

1.

Dina (2003) dalam penelitiannya yang berjudul Perbedaan Penurunan Skala Nyeri antara Bekam Kering, Kompres Panas Kering dan Inframerah Radiasi pada Penderita Nyeri Punggung Bawah, penelitian ini menggunakan penelitian quasi eksperimen dengan teknik purposive sampling. Uji yang digunakan adalah Anova dan diperoleh hasil bahwa terapi radiasi memberikan pengaruh yang paling baik dalam menurunkan nyeri punggung (p=0,00). Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu terletak pada variabel yang diteliti dan uji statistik yang digunakan.

2.

Menurut Sumartini (2008) dalam penelitian tentang Pengaruh Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage Terhadap Intensitas Nyeri Osteoartritis Pada Lansia Di Panti Werdha Griya Asih Lawang. Desain yang digunakan adalah pra eksperimental dengan pendekatan one group pre testpost test. Subyek penelitian adalah lansia yang berusia 55 tahun ke atas di Panti Werdha Griya Asih Lawang Malang, didapatkan subyek penelitian sebanyak 10 orang yang ditentukan dengan tehnik purposive sampling. Tehnik pengumpulan data menggunakan metode wawancara dan observasi. Berdasarkan uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test dengan = 0,05 didapatkan p value < (0,011 < 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage mempunyai pengaruh terhadap intensitas nyeri osteoartritis pada lansia di Panti Werdha Griya Asih Lawang Malang. Perbedaan dengan penelitian terletak pada variabel yang diteliti, lokasi, jumlah sampel.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. 1. Konsep Lanjut Usia Pengertian Terdapat beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tentang definisi lanjut usia , yaitu: a. Lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa, terdiri dari fase prasenium yaitu lansia yang berusia antara 5565 tahun, dan fase senium yaitu lansia yang berusia lebih dari 65 tahun (Jos Masdami dalam Nugroho, 2008). b. Lanjut usia adalah orang tua yang berusia lebih dari 60 tahun (UU No.13 tahun 1998). Dilihat dari batasan lanjut usia di atas, dapat disimpulkan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah berumur lebih dari 55 tahun. 2. Teori Penuaan

Penuaan adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki/mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides, 1994 dalam Nugroho, 2008). Terjadinya proses penuaan dijelaskan dalam beberapa teori penuaan antara lain :

a.

Teori Biologi Teori ini mengungkapkan adanya berbagai perubahan pada tingkat seluler

yang menyebabkan terjadinya penurunan fungsi biologis tubuh. Teori penuaan secara biologis dijelaskan dalam teori-teori berikut: 1) Teori Genetic Clock Menurut teori ini, penuaan telah terprogram secara genetik untuk spesies tertentu. Di dalam nuklei (inti sel) tiap spesies memiliki suatu jam genetik yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu dan jika habis putarannya maka proses replikasi sel akan berhenti (Nugroho, 2008). 2) Teori Error Castastrophe (Mutasi Somatik) Menurut hipotesis ini, penuaan disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang beruntun dalam proses transkripsi maupun translasi sepanjang kehidupan dalam waktu yang cukup lama. Kesalahan tersebut menyebabkan terjadinya reaksi metabolisme yang salah, dengan demikian mengurangi fungsional sel (Nugroho, 2008). Kesalahan dalam proses translasi akan menyebabkan katastrop (Suhana, 1994; Constanstinides, 1994 dalam Nugroho, 2008).

3)

Rusaknya Sistem Imun Tubuh Menurut teori ini, mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca

translasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya (Nugroho, 2008). b. Teori Penuaan akibat Metabolisme Menurut teori ini perpanjangan umur berhubungan dengan tertundanya proses degenerasi. Perpanjangan umur antara lain disebabkan karena menurunnya salah satu atau beberapa proses metabolisme. Terjadi penurunan pengeluaran hormon yang merangsang proliferasi sel (Nugroho, 2008). c. Kerusakan akibat Radikal Bebas Radikal bebas dapat merusak karena sangat reaktif serta dapat bereaksi dengan DNA, protein, dan asam lemak tak jenuh. Walaupun tubuh memiliki penangkal, sebagian radikal bebas tetap lolos, bahkan makin lanjut usia, makin banyak radikal bebas terbentuk sehingga proses perusakan terus terjadi, kerusakan organel sel semakin banyak dan akhirnya sel akan mati (Nugroho, 2008). d. Teori Psikologi Keadaan psikologi sangat mempengaruhi fungsi dan aktivitas

neurohormonal dan seluler. Teori tersebut antara lain: 1) Teori Kebutuhan Maslow

10

Tidak semua orang bisa mencapai kebutuhan yang tertinggi. Kondisi ini sekaligus menyebabkan adanya perbedaan tingkat stress pada manusia yang selanjutnya berakibat pada perbedaan proses penuaannya (Lueckkeenotte, 1996). 2) Course of Human Life Seseorang dalam berhubungan dengan lingkungan ada tingkat

maksimumnya sehingga pengalaman yang diperoleh dalam hidup sangat berbeda dan selanjutnya berpengaruh terhadap kemampuan antisipasinya menghadapi stresor hidup. 3. Perubahan-Perubahan Pada Lansia Menurut Nugroho (2008), perubahan yang terjadi pada lansia ; a. Perubahan atau kemunduran biologis Adapun beberapa perubahan yang secara biologis terjadi pada usia lanjut, yaitu kulit menjadi tipis, kering, keriput dan tidak elastis lagi. Fungsi kulit sebagai penjaga suhu tubuh lingkungan dan mencegah kuman-kuman penyakit masuk, rambut mulai rontok, putih, kering, dan tidak mengkilap, gigi mulai habis, penglihatan dan pendengaran kurang, mulai lelah, gerakan menjadi lamban dan kurang lincah, keterampilan tubuh menghilang, disana sini terjadi timbunan lemak terutama bagian perut dan panggul, jumlah sel otot berkurang, jumlah jaringan ikat bertambah, fungsinya menurun, dan kekuatannya berkurang, pembuluh darah khusus di bagian jantung dan otak mengalami kekakuan, lapisan intim menjadi kasar akibat merokok, hipertensi, diabetes mellitus, kadar kolesterol tinggi, dan lain-lain yang memudahkan timbulnya pengumpulan darah dan trombosis, tulang

11

pada proses menua, kadar kapur atau kalsium menurun akibatnya tulang menjadi keropos dan mudah patah, dan seks menurun dengan bertambahnya umur. b. Perubahan atau kemunduran kemampuan kognitif Selain perubahan-perubahan yang terjadi secara biologi, pada lansia juga terjadi kemunduran kemampuan secara kognitif, antara lain mudah lupa karena ingatan tidak berfungsi dengan baik, ingatan kepada hal-hal di masa muda lebih baik daripada yang terjadi pada tuanya yang pertama dilupakan adalah namanama, orientasi umum dan persepsi terhadap waktu dan ruang atau tempat juga mundur, erat hubungannya dengan daya ingatan yang sudah mundur dan juga karena pandangan yang sudah menyempit, meskipun telah banyak memiliki pengalaman skor yang dicapai dalam tes-tes intelegensia menjadi lebih rendah sehingga lansia tidak mudah untuk menerima hal-hal yang baru. c. Perubahan psikososial Secara psikososial lansia juga mengalami beberapa perubahan yang cukup berarti, yaitu akibat ketidaksiapan lansia yang menghadapi masa pensiun, nilai seseorang sering diukur dari produktivitasnya selain itu identitas pensiun dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan, selain itu lansia akan mulai merasakan atau sadar akan kematian yang nantinya akan mempengaruhi perubahan dalam cara hidup, kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosial, rangakaian dari kehilangan yaitu kehilangan hubungan dengan teman, keluarga, serta hilangnya kemampuan atau ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri, dan perubahan konsep diri.

12

4.

Faktor Kesehatan Lanjut Usia Faktor kesehatan meliputi kesehatan fisik dan keadaan psikis lanjut usia.

Faktor kesehatan fisik meliputi kondisi fisik lanjut usia dan daya tahan fisik terhadap serangan penyakit. Faktor kesehatan psikis meliputi penyesuaian terhadap kondisi usia lanjut. a. Kesehatan fisik Keadaan fisik merupakanfaktor utama dari kegelisahan manusia. Kekuatan fisik, panca indera, potensi dan kapasitas intelektual mulai menurun pada tahaptahap tertentu (Nugroho, 2008). Kemunduran fisik ditandai dengan beberapa serangan penyakit seperti gangguan pada sirkulasi darah, persendian, sistem pernafasan, neurologik, metabolik, neoplasma dan mental. Sehingga keluhan yang sering terjadi adalah mudah letih, mudah lupa, gangguan saluran pencernaan, saluran kencing, fungsi indera, dan menurunnya konsentrasi. b. Kesehatan psikis Dengan menurunnya berbagai kondisi dalam diri orang lanjut usia secara otomatis akan timbul kemunduran psikis. Salah satu penyebab menurunnya kesehatan psikis adalah menurunnya pendengaran. Dengan menurunnya fungsi dan kemampuan pendengaran bagi orang lanjut usia maka banyak dari mereka yang gagal dalam menangkap isi pembicaraan orang lain sehingga mudah menimbulkan perasaan tersinggung, tidak dihargai dan kurang percaya diri. 5. Pelayanan Kesehatan Lanjut Usia Mengingat berbagai kekhususan perjalanan dan penampilan penyakit pada usia lanjut seperti dikemukan di atas, terdapat dua prinsip utama yang harus

13

dipenuhi guna melaksanakan pelayanan kesehatan pada lansia, yaitu pendekatan holistik serta tata kerja dan tatalaksana secara tim (Nugroho, 2008). a. Pendekatan holistik Prinsip holistik pada pelayanan kesehatan usia lanjut sangat unik karena menyangkut berbagai aspek yaitu ; seorang penderita lanjut usia harus dipandang sebagai manusia seutuhnya meliputi juga lingkungan kejiwaan, dan sosial ekonomi. Hal ini ditunjukkan antara lain bahwa aspek diagnostik penyakit pada penderita lansia, menggunakan tata cara khusus yang disebut sebagai assesment geriatri, yang bukan saja meliputi seluruh sistem tapi akan tetapi menyangkut aspek kejiwaan dan status sosial ekonomi (Nugroho, 2008). b. Pendekatan kerja dan tatalaksana tim Tata kerja dan tata laksana secara tim merupakan bentuk kerjasama multidisipliner yang bekerja secara interdisipliner dalam mencapai tujuan pelayanan geriatri yang dilaksanakan. B. 1. Konsep Nyeri Punggung Bawah Pengertian Nyeri Punggung Bawah Bagian punggung berupa sebuah struktur kompleks terdiri daripada tulang, otot, dan jaringan-jaringan lain yang membentuk bahagian posterior tubuh, dari leher sehingga ke tulang pelvis. Bagian tengah berupa kolumna spinal, yang tidak hanya menyokong bagian atas tubuh tetapi berupa tempat letaknya dan perlindungan saraf tunjang (spinal cord), jaringan saraf-saraf sensitif yang membawa sinyal - sinyal yang mengatur pergerakkan tubuh dan membawa impuls impuls sensasi. Tulang-tulang vertebra, terdiri daripada 30 tulang, tersusun satu

14

di atas satu laginya, membentuk kolumna spinalis. Setiap tulang tersebut mempunyai suatu lubang yang agak bulat, yang apabila tersusun mengikut aturan yang benar membentuk suatu saluran yang mengelilingi saraf spinalis. Saraf spinalis menurun dari tapak otak dan mengekstensi sehingga sedikit di bawah tulang - tulang interkostal. Nervus-nervus kecil (akar) masuk dan keluar dari saraf spinalis melalui ruang-ruang di antara vertebra. Disebabkan tulangtulang spinal terus berkembang lama selepas saraf spinalis mencapai panjang maksimalnya semasa awal pertumbuhan kanak-kanak, akar saraf spinalis (nerve roots) untuk punggung bawah dan ektremitas bawah memanjang beberapa inci menuruni kolumna spinalis sebelum keluar. Gumpalan saraf-saraf akar ini digelar pada awalnya oleh pakar-pakar anatomi sebagai cauda equine, atau ekor kuda (horses tail). Ruangan di antara vertebra dilindungi oleh tulang rawan yang bulat dan lembut yang disebut cakram intervetebral (intervertebral disk) yang meningkatkan fleksibilitas pada punggung bawah dan berfungsi sebagai pemampat tekanan sepanjang kolumna spinalis untuk melindungi tulang-tulang vertebra semasa pergerakkan tubuh. Jaringan-jaringan ligamen dan tendon memegang tulang-tulang vertebra di tempatnya dan melekatkan otot-otot kepada kolumna spinalis. Punggung bawah mempunyai fungsi yang penting pada tubuh manusia, antaranya memberi sokongan struktur, pergerakkan, dan proteksi untuk jaringan-jaringan tubuh. Semasa berdiri, punggung bawah berperan menyokong berat tubuh bagian atasnya. Semasa seseorang bongkok, ektensi, atau rotasi pada bagian pinggang, punggung bawah membantu melaksanakan gerakan. Oleh karena itu, apabila

15

terdapat kelainan pada struktur-struktur yang berperan menahan berat tubuh, dapat terdeteksi semasa berdiri tegak atau melakukan pergerakkan. Selain itu, punggung bawah berperan melindungi jaringan lunak sistem saraf pusat yang mempersarafi bahagian lumbar serta ekstremitas bawah, serta organ - organ daerah pelvis dan abdomen. Nyeri punggung bawah, atau lumbago, berupa kelainan muskuloskeletal yang sering ditemukan, yang mempengaruhi hampir setiap orang pada suatu waktu dalam kehidupan. Nyeri punggung bawah berupa penyebab paling utama tenaga kerja mengambil cuti sakit atau mempunyai disabilitas berbanding penyakitpenyakit lain. Nyeri punggung bawah ini bisa akut, subakut, atau kronis berdasarkan durasi (Mahadewa dan Maliawan, 2009). Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal yang disebabkan oleh stimulus tertentu, nyeri bersifat subyektif dan sangat bersifat individual. Stimulus nyeri dapat bersifat fisik dan atau mental (Potter dan Perry, 2006). Setiap orang memiliki cara yang berbeda beda dalam menangani nyeri. Pada Lansia cenderung memendam nyeri yang diallami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal yang alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan (Potter dan Perry, 2006). 2. Penyebab Nyeri Punggung Bawah Punggung adalah bagian kompleks yang tersusun dari 33 tulang belakang, lebih dari 30 otot, ligamen (penguat sendi) yang terdiri atas bermacam-macam sendi dan terdapat diskus (bantalan sendi) di tiap ruas tulangnya.

16

Terdapat beberapa penyebab medikal dari nyeri punggung bawah antara lain : obesitas, stress, depresi, ketergantungan alkohol dan analgetik, kelainan muskuloskeletal, sistem saraf, sistem vaskuler dan psikogenik, dan beban kerja yang berat (Smeltzer dan Bare, 2002). Selain itu terdapat beberapa penyebab yang menyebabkan timbulnya nyeri punggung bawah antara lain.

a.

Umur Dalam suatu penelitian diperoleh data yang menunjukkan bahwa

kelompok yang rentan terkena nyeri punggung yaitu pada umur diatas 80 tahun. b. Jenis kelamin Masalah punggung bawah dilaporkan mengenai jenis kelamin wanita dan laki-laki dengan perbandingan hampir sama. Secara keseluruhan wanita lebih banyak mengalami nyeri punggung bawah dibandingkan pria karena kepadatan tulang yang kurang dan beberapa faktor luar yang mempengaruhinya. Wanita cenderung memiliki peluang yang bertambah untuk mengajukan keluhan dan menjadi kompensasi untuk pengobatan nyeri punggung bawah yang mahal. c. Kebugaran jasmani Pekerja dengan kebugaran jasmani yang lemah akan berisiko mengalami cedera punggung. Dalam penelitian prospektif terhadap 1.652 pemadam kebakaran melaporkan frekuensi cedera yang dialami kelompok pekerja yang kurang bugar sebanyak sepuluh kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan

17

kelompok pekerja yang sebagian masih bugar. Mereka menyimpulkan bahwa kebugaran jasmani dan penyesuaian berperan dalam mencegah terjadinya cedera punggung. d. Faktor psikososial Berbagai penelitian menunjukkan pentingnya tingkat pendidikan sebagai faktor prognostik nyeri punggung dan penyakit muskuluskeletal lain. Penjelasan yang diberikan hal ini adalah pria yang memiliki pendidikan yang terbatas dan pekerjaan dengan bayaran yang rendah lebih mungkin melakukan pekerjaan barat atau pekerjaan yang menimbulkan getaran atau beban lain terhadap tulang belakang. Faktor sosial lain yang ditemukan pada pasien dengan nyeri punggung adalah depresi, alkoholism, bekerja terlalu keras, ketidakmampuan membangun kontak emosi, dan riwayat operasi punggung. e. Perubahan radiografis Pada pasien yang lebih tua, bukti radiologis berupa degenerasi diskus dapat ditemukan dan penting secara klinis. 3. a. 1) Reaksi terhadap nyeri Respons Fisiologis Terhadap Nyeri Stimulasi Simpatik : (nyeri ringan, moderat, dan superficial)

a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate b) Peningkatan heart rate c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP d) Peningkatan nilai gula darah e) Diaphoresis

18

f) Peningkatan kekuatan otot g) Dilatasi pupil h) Penurunan motilitas GI 2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam);

a) Muka pucat b) Otot mengeras c) Penurunan HR dan BP d) Nafas cepat dan irreguler e) Nausea dan vomitus f) Kelelahan dan keletihan. b. Respons Tingkah Laku Terhadap Nyeri Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup: 1) Pernyataan mendengkur) 2) 3) Ekspresi wajah (meringis, menggeletukkan gigi, menggigit bibir) Gerakan tubuh (gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan) 4) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (menghindari verbal (mengaduh, menangis, sesak nafas,

percakapan, menghindari kontak sosial, penurunan rentang perhatian, fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri) Meinhart & McCaffery dalam Purwandari (2008) mendeskripsikan tiga fase pengalaman nyeri: a) Fase antisipasi (fase yang terjadi sebelum nyeri diterima).

19

Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien. Contohnya adalah: sebelum dilakukan tindakan bedah, perawat

menjelaskan tentang nyeri yang nantinya akan dialami oleh klien pasca pembedahan, dengan begitu klien akan menjadi lebih siap dengan nyeri yang nanti akan dihadapi.

b) Fase sensasi Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya pencegah nyeri, sebelum nyeri datang. Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.

20

Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.

c) Fase akibat (aftermath) Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang. 4. Skala Nyeri Menurut Smeltzer dan Bare (2002), skala nyeri dapat diterangkan pada bagan dibawah ini: Skala Intensitas Nyeri Numerik 0-10

5 Nyeri Sedang 21

10 Nyeri Paling Hebat

Tidak Ada Nyeri

Gambar 2.1. Skala Intensitas Nyeri Numerik (Smeltzer dan Bare, 2002) Berdasarkan skala nyeri di atas dapat diterangkan deskripsi nyeri sebagai berikut (Augustinus, 2003): a. b. Skor 10 jika nyeri dirasakan sangat dan tidak dapat dikontrol oleh klien Skor 9, 8, 7 Sangat nyeri tetapi masih dapat dikontrol oleh klien dengan aktifitas yang bisa dilakukan. c. d. e. f. g. h. i. 5. Skor 6 jika nyeri seperti terbakar atau ditusuk-tusuk Skor 5 jika nyeri seperti tertekan atau bergerak. Skor 4 jika nyeri seperti kram atau kaku. Skor 3 jika nyeri seperti perih atau mules. Skor 2 jika nyeri seperti melilit atau terpukul. Skor 1 jika nyeri seperti gatal, tersetrum atau nyut-nyutan Skor 0 jika tidak ada nyeri. Klasifikasi Nyeri Punggung Bawah Nyeri punggung bawah dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat gangguan atau penyebabnya. Sering terdapat lebih dari satu penyebab, seperti misalnya trauma yang mencetuskan nyeri pada penderita sebelumnya sudah mempunyai kelainan kongenital pada vertebrae, fraktur kompresi pada seseorang yang sebelumnya sudah menderita osteoporosis, degenerasi atau metastasis ke tulang dari suatu tumor ganas (Long, 1996). Berdasarkan etiologinya nyeri punggung bawah dapat dibedakan menjadi

22

a.

Kongenital Kelainan kongenital bukan penyebab nyeri punggung yang penting. Spina

bifida jarang menimbulkan keluhan nyeri punggung bawah. Pada faset tripismus, arah sendi faset yang berlawanan akan membatasi gerakan dan dapat mengakibatkan subluksasi karena degenerasi sendi faset, serta dapat menimbulkan nyeri punggung bawah terutama pada gerakan mendadak. Pada lumbalisasi (terdapat lebih dari lima vertebrae lumbal), kolumna vertebralis lumbal menjadi lebih panjang, sehingga tekanan dan tarikan pada otot dan ligamen menjadi lebih besar. Pada sakralis/hemisakralisasi, vertebrae L5 seluruhnya atau sebagian menjadi satu dengan os sakrum sehingga pergerakan menjadi terbatas (sindrom bertolotti), akibatnya setiap pergerakan yang berlebihan atau melampaui batas akan menimbulkan nyeri punggung bawah. b. Tumor Menyebabkan nyeri punggung bawah yang lebih dirasakan pada waktu berbaring atau pada waktu malam. Dapat disebabkan oleh tumor jinak seperti osteoma, penyakit paget, osteoblastoma, hemangioma, neurioma, meningioma, atau tumor ganas, baik primer (mieloma multiple) maupun sekunder (metastasis karsinoma payudara, prostat, paru, tiroid, ginjal dan lain-lain). Metastasis tumor ganas sangat sering ke corpus vertebrae karena banyak mengandung pembuluh darah vena. Tumor-tumor ini merangsang ujung-ujung saraf sensibel dalam tulang dan menimbulkan rasa nyeri lokal atau menjalar ke sekitarnya, dapat terjadi fraktur patologi. c. Trauma

23

Trauma dan gangguan mekanik merupakan penyebab utama nyeri punggung bawah. Orang yang tidak terbiasa melakukan pekerjaan otot atau sudah lama tidak melakukannya dapat menderita nyeri punggung bawah akut (lumbar strain acute), atau melakukan pekerjaan dengan sikap yang salah dalam waktu lama akan menimbulkan nyeri punggung bawah kronik (lumbar strain chronic). Hal yang sama juga bisa didapatkan pada wanita hamil, orang gemuk, memakai sepatu dengan tumit terlalu tinggi.

d.

Toksik Keracunan logam berat, misalnya radium. Pengobatan dengan penggunaan

radium secara berlebihan akan membawa dampak bagi tubuh, salah satunya juga bisa membawa dampak pada nyeri tulang. e. Gangguan metabolik Osteoporosis dapat disebabkan oleh kurangnya aktivitas atau imobilisasi lama, pasca menopause, malabsopsi atau intake rendah kalsium yang lama, hipopituitarisme, akromegali, penyakit cushing, hipertiroidisme/ tirotoksikosis, osteogenesis imperfekta, gangguan nutrisi misalnya kekurangan protein, defisiensi asam askorbat, idiopatik, dan lain-lain. f. Radang (inflamasi) Radang inflamasi yang sering terjadi sebagai penyebab nyeri punggung bawah adalah artritis reumatoid, spondilitis ankilopoetika. Kelainan pada artikulus sakroiliaka merupakan bagian dari poliartritis reumatoid yang juga didapatkan di

24

tempat lain. Kelainan tersebut menimbulkan nyeri setempat dan nyeri alih. Tertuama ditemukan pada laki-laki usia 20-30 tahun, berlangsung secara kronik progresifsampai terjadi ankilosis, etiologinya tidak diketahui. Rasa nyeri pada spondilitis ankilopoetika timbul akibat terbatasnya gerakan pada kolumna vertebralis, artikulus sakroiliaka, artikulus kostovertebralis dan penyempitan foramen intervetebralis. Proses nyeri di daerah pungung bawah biasanya lambat laun akan menjalar ke atas. Foto polos tulang belakang dari penderita spondilitis ankilopoetika akan memperlihatkan bamboo spine.

g.

Degenerasi Beberapa penyebab nyeri punggung bawah akibat proses penuaan yaitu

spondilitis (spondilartosis deformans), osteoartritis, hernia nukleus pulposus, stenosis spinal, nerve of entrapment syndrome. h. Infeksi Akut kuman piogenik (stafilokokus, strepto kokus, salmonella). Kronik spondilitis TB (penyakit Pott), jamur, osteomielitis kronik. i. Gangguan sirkulasi Aneurisma aorta abdominal terjadi pada bagian aorta yang melewati perut. Salah satu penyebab aneurisma aorta abdominal adalah adanya infeksi yang disebabkan oleh jamur dan bakteri. Infeksi tersebut akan menyebar sampai ke punggung bawah dan nantinya akan menimbulkan nyeri. 6. Gejala Nyeri Punggung Bawah Manifestasi klinis dari nyeri punggung bawah adalah :

25

a.

Pasien mngeluh baik nyeri punggung bawah akut atau nyeri punggung bawah kronis (berlangsung lebih dari dua bulan atau tanpa perbaikan) dan keletihan

b.

Nyeri menjalar sepanjang radiks saraf (skiatika) : meningkat dengan gerakan

c. d.

Nyeri berkaitan dengan meluruskan tungkai (iritasi radiks spinal) Spasme otot paravertebral (sangat meningkatkan tonus otot punggung postural) dengan kehilangan sejumlah kurva lordosis lumbar dan kemungkinan deformitas spinal

e.

Radikulopati (masalah radiks saraf) atau nyeri punggung kronis (Smeltzer dan Bare, 2002).

7.

Pencegahan Penderita nyeri punggung bawah dengan nyeri sedang sampai berat,

subakut maupun kronik pada umumnya berkonsultasi dengan dokter. Penderita sebaiknya diterapi secara optimal untuk menghilangkan nyeri dan memfasilitasi aktivitas fisik dan peningkatan kualitas hidup. Pencegahan nyeri punggung bawah merupakan tindakan terpenting dalam usaha menanggulangi penyakit. Motonya ialah mencegah lebih baik dari mengobati. Hal pertama yang bisa dilakukan untuk mencegah nyeri punggung bawah pada lansia adalah dengan membimbing lansia melakukan kegiatan seharihari dengan baik dan benar, karena nyeri punggung bawah sering akibat postur yang salah serta akibat beban di tulang belakang, selain itu pencegahan juga bisa dengan melatih lansia untuk hidup rileks dengan olahraga secara teratur,

26

mendengarkan musik santai, menjalankan agamanya, membaca, berekreasi, dan menekuni hobi. Selain itu bagi lansia yang sudah mengalami nyeri punggung bawah, pencegahan tetap bisa dilakukan dengan beberapa cara, seperti jangan mengangkat, mendorong atau menarik sesuatu yang memiliki beban yang berat, jangan membungkuk atau berjongkok saat beraktivitas, usahakan supaya tidak bersin, batuk ataupun mengedan secara berlebihan, hindari lansia naik turun tangga ataupun pekerjaan fisik yang mengeluarkan tenaga yang ekstra, jangan menggunakan sepatu bertumit tinggi pada lansia dianjurkan agar menggunakan korset pinggang jika rasa sakit bertambah pada sikap duduk, berdiri dan berjalan untuk mempercepat kesembuhan, anjurkan lansia untuk duduk dengan sikap yang benar, berusaha berdiri dengan sikap yang baik, berusaha melakukan latihan secara teratur, tidur yang cukup, berusaha mengurangi berat badan jika kegemukan, dan jangan biarkan lansia melakukan aktivitas yang mengganggu punggung. Selain pencegahan di atas, nyeri punggung bawah pada lansia dapat ditangani dengan terapi farmakologis dan non farmakologis. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan terapi non farmakologis sebagai modalitas dalam menangani nyeri. Mennurut Potter dan Perry (2006), terapi non farmakologis meliputi relaksasi, teknik distraksi, massage, kompres hangat, stimulasi listrik, sampai radiasi. Dari beberapa terapi di atas peneliti membandingkan dua terapi modalitas yang sering dipakai untuk nyeri punggung bawah yaitu terapi stimulasi kutaneus dan terapi inframerah.

27

C. 1.

Terapi Penghangat Inframerah Pengertian Terapi Penghangat Inframerah Inframerah merupakan salah satu alat yang sudah lazim sekali digunakan

oleh para pelayanan kesehatan, salah satunya perawat. Inframerah adalah radiasi elektromagnetik dari panjang gelombang lebih panjang dari cahaya tampak, tetapi lebih pendek dari gelombang radio. Sinar Inframerah adalah radiasi elektromagnetik dari panjang gelombang lebih panjang dari cahaya tampak, tetapi lebih pendek dari radiasi gelombang radio. Namanya berarti "bawah merah" (dari bahasa Latin infra, "bawah"), merah merupakan warna dari cahaya tampak dengan gelombang terpanjang. Radiasi inframerah memiliki jangkauan tiga "order" dan memiliki panjang gelombang antara 700 nm dan 1 mm (Wikipedia, 2011). 2. . Karakteristik Inframerah Inframerah memiliki beberapa karakteristik, seperti tidak dapat dilihat oleh manusia, tidak dapat menembus materi yang tidak tembus pandang, dapat ditimbulkan oleh komponen yang menghasilkan panas, dan panjang gelombang pada inframerah memiliki hubungan yang berlawanan atau berbanding terbalik dengan suhu. Ketika suhu mengalami kenaikan, maka panjang gelombang penurunan (Wikipedia, 2011). 3. Efek Fisiologis Inframerah Efek fisiologis yang ditimbulkan oleh inframerah adalah peningkatan

proses metabolisme, vasodilatasi pembuluh darah, pigmentasi, dan berpengaruh

28

terhadap saraf sensoris yang akan membentuk efek sedatif akibat pemanasan dari inframerah tersebut, selain itu inframerah juga akan memberi pengaruh terhadap jaringan otot yang berdampak pada relaksasi serta mengaktifkan kelenjar keringat. 4. Indikasi Inframerah Beberapa indikasi yang diperbolehkan untuk diberikan terapi inframerah adalah kondisi peradangan setelah subakut (combustio, muscle sprain, muscle strain, trauma sinovitis), arthritis (reumathoid arthritis, osteoarthritis, mialgia, lumbago, neuralgia, neuritis), gangguan sirkulasi darah (tromboangitisobliterans, tromboplebitis, renal disease), penyakit kulit (foliculitis, furuncolosi, wound), persiapan exercise, dan massage. 5. Kontra Indikasi Inframerah Terdapat beberapa hal yang menjadi kontraindikasi dari terapi inframerah, antara lain daerah yang insufisiensi pada darah, seperti hemofili, gangguan kulit seperti tumor kulit, krusta, kanker kulit, cacar kulit, serta adanya penyakit penyerta seperti kanker tulang, TBC tulang bahkan stroke. 6. Kegunaan Inframerah dalam Kesehatan Inframerah diantaranya : a. b. Sebagai diatermi pada penderita arthritis Emisi inframerah fotografi dimana radiasi yang dipancarkan oleh tubuh kemudian ditangkap/dideteksi sebagai termogram memiliki beberapa peranan dalam bidang kesehatan

29

c.

Reflective infra red phortography yaitu menggunakan panjang gelombang 700-900 nm, untuk menunjukkan aliran vena pada kulit

d.

Juga dipergunakan untuk fotografi terhadap pupil mata tanpa suatu rangsangan

e. f. 7. a.

Mengaktifkan molekul air dalam tubuh Meningkatkan metabolisme tubuh Prinsip Pemberian Terapi Inframerah Persiapan alat Terapi mempersiapkan alat inframerah, mengecek kelengkapan alat-alat

dan terapis mengecek kabel agar tidak bersilangan.

b.

Persiapan pasien Sebelum dilakukan terapi dengan inframerah pasien diberi penjelasan

tujuan terapi dan kontraindikasinya. Dijelaskan pula bahwa panas yang dirasakan walau hanya sedikit namun tetap menimbulkan reaksi di dalam jaringan. Lakukan tes panas dan dingin pada daerah yang akan diterapi untuk memastikan ada tidaknya gangguan sensibilitas kulit. Pakaian di daerah yang akan diterapi (punggung bawah) harus dilepaskan. Posisi pasien tengkurap dengan kepala ditopang oleh bantal juga dibawah kaki, selain itu bisa dengan posisi duduk sehingga pasien merasa nyaman. c. Pelaksanaan terapi Setelah persiapan alat dan pasien selesai daerah yang akan diterapi bebas dari kain dan posisikan lampu inframerah sejajar pada lumbal, alat dinyalakan

30

dengan waktu 10 menit disesuaikan dengan amabang toleransi dari pasien terhadap panas, dan perhatikan jarak lampu dengan daerah yang diterapi sekitar 30 cm, kemudian dicek dengan menanyakan langsung kepada pasien apakah sudah mulai hangat, posisi kabel tidak boleh bersilangan dan bersentuhan dengan pasien. d. Evaluasi sesaat Setelah selesai terapi ditanyakan apakah nyeri menurun atau berkurang dibanding sebelum terapi, apakah timbul rasa mual, pusing, keringat dingin, juga mengamati apakah ada tanda kemerahan karena terlalu panas. Apabila terjadi halhal seperti di atas agar terapi dihentikan sementara sampai lansia siap kembali untuk diberikan terapi inframerah (Haryanto, 2003). Agar hasil yang dicapai lebih optimal, pelaksanaan terapi ini dapat dilakukan setiap hari dan biasanya efek terapis dapat dicapai setelah hari ke 6-9. 8. Hubungan antara Sinar Inframerah terhadap Penurunan Nyeri Punggung Bawah Ketika suatu jaringan mengalami cedera, atau kerusakan mengakibatkan dilepasnya bahan-bahan yang dapat menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamin, ion kalium, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang akan mengakibatkan respons nyeri. Rasa nyeri tersebut ditimbulkan oleh adanya akumulasi sisa-sisa hasil metabolisme yang menumpuk di jaringan. Penumpukan zat sisa hasil metabolisme tersebut dihilangkan dengan pemasan yang cukup untuk mendilatasikan pembuluh darah agar zat-zat tersebut ikut keluar. Salah satu

31

metode yang digunakan untuk memperoleh panas adalah dengan radiasi khususnya infra merah. Penyinaran inframerah merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri. Pengaruh inframerah pada pengurangan rasa nyeri adalah panas yang dihasilkan akan menyebabkan terjadinya peningkatan temperatur pada area yang diterapi, dengan demikian akan terjadi dilatasi pembuluh darah yang diikuti dengan peningkatan aliran darah kapiler sehingga pembuangan hasil-hasil metabolisme semakin baik (Potter dan Perry, 2006). Dengan lancarnya sirkulasi darah maka zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh ikut juga terbuang, sehingga nyeri akan berkurang diikuti dengan spasme otot berkurang sehingga akan merelaksasikan otot (Haryanto, 2003). D. 1. Stimulasi Kutenaues Pengertian Stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan untuk menghilangkan nyeri, bekerja dengan cara mendorong pelepasan endorfin, sehingga memblok transmisi stimulus nyeri. Cara lainnya adalah dengan mengaktifkan transmisi serabut saraf sensori A-beta yang lebih besar dan lebih cepat, sehingga menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan A-delta berdiameter kecil sekaligus menutup gerbang sinap untuk transmisi impuls nyeri (Potter & Perry, 2006). Slow-Stroke Back Massage adalah tindakan masase punggung dengan usapan yang perlahan selama 3-10 menit (Potter & Perry, 2006). 2. Proses fisiologis stimulasi kutaneus sebagai pereda nyeri

32

Sumber : Serpell (2002) Pain. Pemberian masase sebagai penghilang respons nyeri pada pasien fraktur ekstremitas dapat dijelaskan dengan teori Gate control . Teori control gerbang nyeri menjelaskan variasi persepsi nyeri terhadap stimulasi yang identik. Prinsip dasar dari control gerbang nyeri ( Melzack, Wall, 1996 ) sebagai berikut: a. Baik serabut sensorik bermielin besar (L) yang membawa informasi mengenai rasa raba dan propriosepsi dari perifer (serat A delta dan A beta maupun serat kecil ( S ) yang membawa informasi mengenai nyeri [serat A-delta dan C ]) menyatu di kornu dorsalis medulla spinalis. b. transmisi Transmisi impuls saraf dari serat-serat afferent ke sel sel (T) medulla spinalis di kornu dorsalis dimodifikasi oleh suatu

mekanisme gerbang di sel-sel substansia glatinosa. Apabila gerbang tertutup impuls nyeri tidak dapat diteruskan. Sebaliknya bila gerbang terbuka impuls

33

nyeri merangsang sel T di kornu dorsalis dan kemudian naik ke medulla spinalis menuju otak., tempat impuls tersebut dirasakan sebagai nyeri. c. Mekanisme gerbang spinal dipengaruhi jumlah relatif aktifitas dari serat afferent primer berdiameter besar (L) dan berdiameter kecil (S). Aktifitas berserat besar cenderung menghambat transmisi nyeri (menutup Gerbang), sedangkan serat kecil cenderung mempermudah transmisi nyeri (membuka gerbang ). Aferent berdiameter besar merangsang neuron-neuron substansia glatinosa inhibitorik sehingga input masuk ke sel T berkurang sehingga nyeri dihambat. Sebaliknya aktifitas serat berdiameter kecil menghambat sel sel substansia gelatinosa inhibitorik yang mendorong

peningkatan transmisi aferen primer kesel T yang menyebabkan peningkatan rangsangan nyeri. d. Mekanisme gerbang spinal dipengaruhi oleh impuls saraf yang turun dari otak. Aspek mekanisme didasarkan pada banyaknya faktor psikologis yang diketahui mempengaruhi nyeri dan pada fakta bahwa kornu dorsalis medulla dipengaruhi beberapa jalur yang turun dari otak. Berbagai sistem modulasi nyeri dessendens yang melibatkan nucleus-nukleus batang otak dan neuron serotogenik dan noradrenergic yang berproyeksi

kesubstansia gelatinosa. e. Apabila keluaran dari selsel T medulla spinalis melebihi

suatu ambang kritis, terjadi pengaktifan sistem aksi untuk perasaan dan respon nyeri. Bila pengaktifan ini terjadi input sensorik akan disaring , aktifitas sensorik dan afektif berkelanjutan hingga ke tingkat SSP.

34

Teori pengendalian gerbang ini, menjelaskan hubungan massage atau stimulasi kutaneus bagian yang nyeri setelah suatu cedera dapat menurunkan intensitas nyeri, karena aktifitas serat besar dirangsang dengan stimulasi

kutaneus, sedangkan aktifitas berdiameter kecil tertutup. a) Pengaruh sistem limbik terhadap respons nyeri. Bebeberapa struktur limbik terutama berhubungan dengan sifat-sifat afektif dari sensasi sensorik yakni apakah sensasi yang menyenangkan atau yang tak menyenangkan. Kualitas afektif ini juga disebut ganjaran atau hukuman, atau kepuasan atau antipati. Perangsangan listrik pada area limbik tertentu menimbulkan rasa senang atau rasa puas pada binatang yang juga dapat terjadi pada manusia (Guyton, 1997), sedangkan perangsangan listrik pada regio lainnya malah menimbulkan rasa panik, rasa nyeri, rasa takut, usaha mempertahankan diri, reaksi menghindar, elemen-elemen hukuman lainnya. Derajat perangsangan kedua sistem yang saling berlawanan ini sangat mempengaruhi pola perilaku binatang. Sistem limbik sebagai pusat ganjaran menjelaskan cara yang telah dipakai untuk menentukan tempat area ganjaran dan area hukuman yang spesifik di dalam otak. Dengan memakai kera sebagai binatang percobaan, telah di temukan pusatpusat ganjaran utama yang ternyata terletak di sepanjang rangkaian berkas bagian medial otak depan, khususnya pada nuclei lateral dan nuclei ventromedial hipotalamus. Anehnya nuklei lateral ini juga terlibat dalam area ganjaran

malahan, merupakan yang paling poten dari seluruhnya karena bila area ini diberi rangsangan yang lebih kuat maka timbul rasa marah. Namun keadaan ini memang

35

berlaku untuk sebagian besar area, yang bila di beri rangsangan lebih lemah dapat menimbulkan rasa ganjaran dan bila diberi rangsangan lebih kuat akan timbul rasa hukuman. Pusat ganjaran yang kurang peka, yang mungkin merupakan pusat kedua dalam hipotalamus, dapat di jumpai pada septum, amigdala, beberapa area tertentu dalam thalamus dan ganglia basalis, dan meluas ke bawah kebagian tegmentum basal dari mesensefalon.. Rasa terhukum ditemukan area yang paling poten bagi rasa terhukum dan kecenderungan untuk menghindar, yaitu terdapat di area kelabu sentral di sekeliling akuaduktus sylvius dalam mesensefalon dan yang menyebar ke atas ke zone periventrikular dari hipotalamus dan thalamus. Area rasa terhukum yang tak begitu kuat di temukan di beberapa lokasi amigdala dan hipokampus. Sangatlah menarik terutama bahwa perangsangan pada pusat rasa terhukum ini seringkali dapat menghambat pusat- pusat ganjaran dan pusat rasa senang secara sempurna, di mana hal ini menunjukkan bahwa rasa terhukum dan rasa takut dapat terjadi mendahului rasa senang dan rasa ganjaran. Pola marah merupakan suatu pola emosi yang melibatkan pusat pusat rasa terhukum pada hipothalamus dan struktur limbik lainya, pola ini juga mempunyai ciri-ciri tersendiri. Pada binatang normal, fenomena rasa marah ini terutama dicegah oleh adanya keseimbangan aktivitas dari nuclei ventromedial hipotolamus .selain itu ,hipokampus ,amigdala ,dan bagian anterior korteklimbik ,terutama girus singulata anterior dan girus sub kalosal ,dapat membantu menekan fenomena rasa marah

36

ini. Sebaliknya ,bila bagian sistim limbik ini luka atau rusak ,maka binatang (juga manusia) menjadi lebih peka terhadap serangan rasa marah. Sebenarnya pola emosional yang berlawanan dapat juga terjadi bila pusat rasa ganjaran dirangsang :yakni timbul ketenangan (placidity) dan kejinakan (tameness). Hampir segala sesuatu yang kita lakukan berkaitan dengan rasa ganjaran dan rasa terhukum .bila kita melakukan tindakan yang ternyata mendapat ganjaran, maka kita meneruskan tindakan tersebut, namum bila ternyata menyebabkan kita terhukum, kita akan menghentikan tindakan tersebut.oleh

karma itu, tak pelak lagi pusat rasa ganjaran dan pusat rasa terhukum merupakan salah satu hal terpenting dari seluruh alat rengatur aktivitas tubuh,h asrat ,rasa enggan ,dan motivasi kita. Dalam hal ini pusat ganjaran dan hukuman dari system limbic merupakan suatu respons emosional dari seseorang yang dapat meniadakan efek yang diinginkan dari stimulasi kutaneus sebagai metode pengganti dalam meredakan nyeri dengan memanfaatkan teori gate control. 3. Pengaruh Stimulasi Kutaneus terhadap Nyeri Pengaruh stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage meliputi (Kusyati, 2006) : a. Pelebaran pembuluh darah dan memperbaiki peredaran darah di dalam jaringan tersebut. Dengan cara ini penyaluran zat asam dan bahan makanan ke sel-sel diperbesar dan pembuangan dari zat-zat yang tidak terpakai akan diperbaiki. Jadi akan timbul proses pertukaran zat yang lebih baik. Aktifitas sel yang meningkat akan mengurangi rasa sakit dan akan menunjang proses

37

penyembuhan luka, radang setempat seperti abses, bisul-bisul yang besar dan bernanah, radang empedu, dan juga beberapa radang persendian. b. Pada otot-otot, memiliki efek mengurangi ketegangan. c. d. Meningkatkan relaksasi fisik dan psikologis. Penggunaan stimulus kutaneus yang benar dapat mengurangi persepsi nyeri dan membantu mengurangi ketegangan otot yang dapat meningkatkan nyeri. e. Penurunan intensitas nyeri, kecemasan, tekanan darah, dan denyut jantung secara bermakna 4. Petunjuk (Priharjo, 1993; Potter & Perry, 2006)

a. Perawat harus bertanya pertama kali apakah klien menyukai usapan punggung karena beberapa klien tidak menyukai kontak secara fisik. b. Perlu diperhatikan kemungkinan adanya alergi atau kulit mudah terangsang, sebelum memberikan lotion. c. Hindari untuk melakukan masase pada area kemerah-merahan, kecuali bila kemerahan tersebut hilang sewaktu dimasase. d. Masase punggung dapat merupakan kontraindikasi pada pasien imobilitas tertentu yang dicurigai mempunyai gangguan penggumpalan darah.

Identifikasi juga faktor-faktor atau kondisi seperti fraktur tulang rusuk atau vertebra, luka bakar, daerah kemerahan pada kulit, atau luka terbuka yang menjadi kontraindikasi untuk masase punggung. Pada klien yang mempunyai riwayat hipertensi atau disritmia, kaji denyut nadi dan tekanan darah.

38

5.

Metode (Potter & Perry, 2006) Tehnik untuk stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage dilakukan

dengan beberapa pendekatan, tetapi salah satu metode yang dilakukan ialah dengan mengusap kulit klien secara perlahan dan berirama dengan tangan dengan kecepatan 60 kali usapan per menit. Kedua tangan menutup suatu area yang lebarnya 5 cm pada kedua sisi tonjolan tulang belakang, dari ujung kepala sampai area sakrum. Tehnik ini berlangsung selama 3-10 menit. Untuk meningkatkan efek yang lebih optimal metode ini dapat dilakukan setiap 2-3 hari sekali. 6. Prosedur Pelaksanaan (Potter & Perry, 2006)

a. Subyek penelitian dipersilahkan untuk memilih posisi yang diinginkan selama intervensi, bisa tidur miring, telungkup, atau duduk. b. Buka punggung klien, bahu, dan lengan atas. Tutup sisanya dengan selimut. c. Peneliti mencuci tangan dalam air hangat. Hangatkan losion di telapak tangan atau tempatkan botol losion ke dalam air hangat. Tuang sedikit losion di tangan. Jelaskan pada responden bahwa losion akan terasa dingin dan basah. Gunakan losion sesuai kebutuhan. d. Lakukan usapan pada punggung dengan menggunakan jari-jari dan telapak tangan sesuai dengan metode di atas. Jika responden mengeluh tidak nyaman, prosedur langsung dihentikan. e. Akhiri usapan dengan gerakan memanjang dan beritahu klien bahwa perawat mengakhiri usapan.

39

i. Bersihkan kelebihan dari lubrikan dari punggung klien dengan handuk mandi. Ikat kembali gaun atau bantu memakai baju/piyama. Bantu klien posisi yang nyaman. j. 7. Letakkan handuk yang kotor pada tempatnya dan cuci tangan. Stimulasi Kutaneus dalam Menurunkan Nyeri Punggung Bawah Degenerasi pada kartilago artikuler dan hipertrofi tulang atau pertumbuhan tulang berlebih dalam bentuk taji/tonjolan tulang yang terjadi pada penyakit osteoartritis atau nyeri punggung bawah akan menimbulkan pergesekan yang merangsang nyeri. Sendi adalah salah satu organ yang banyak memiliki reseptor nyeri (Guyton & Hall, 1997). Stimulus nyeri yang mencapai ambang nyeri akan menyebabkan aktivasi reseptor dan terjadi penjalaran impuls nyeri oleh serabut saraf A delta dan C. Adanya impuls ini akan menyebabkan gerbang nyeri di substansia gelatinosa terbuka. Namun dengan pemberian stimulasi kutan berupa usapan punggung, dimana stimulus ini direspons oleh serabut A beta yang lebih besar, maka stimulus ini akan mencapai otak lebih dahulu, dengan demikian akan menutup gerbang nyeri sehingga persepsi nyeri tidak timbul. Di samping itu, sistem kontrol desenden juga akan bereaksi dengan melepaskan endorphin yang merupakan morfin alami tubuh sehingga persepsi nyeri tidak terjadi. E. Mekanisme Penurunan Nyeri 1. Teori Pengendalian Gerbang (Gate Control Theory) Teori pengendalian gerbang (Melzack & Wall, 1982 dalam Potter & Perry, 2006) menjelaskan mengapa terkadang sistem saraf pusat menerima stimulus

40

berbahaya

dan

terkadang,

meskipun

pada

kerusakan

jaringan

hebat,

mengabaikannya. Teori ini mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau bahkan dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Mekanisme pertahanan/gerbang ini dapat ditemukan di sel-sel gelatinosa substansia di dalam kornu dorsalis pada medula spinalis, talamus dan sistem limbik (Clancy & Mc Vicar, 1992 dalam Potter & Perry, 2006). Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar terapi menghilangkan nyeri.

Gambar 2.2 Ilustrasi skematik Teori Pengendalian Gerbang (Sumber: Kozier, 2004)

41

Transmisi impuls nyeri melalui pintu gerbang sumsum tulang belakang dipengaruhi oleh: a. Aktifitas serabut sensori. Gerbang akan terbuka dengan adanya perangsangan serabut A delta dan C yang melepaskan substansi P untuk mentransmisi impuls melalui mekanisme gerbang. Sinyal nyeri ini bisa diblok dengan stimulasi serabut A beta. Serabut saraf A beta adalah serat saraf bermielin yang besar sehingga mengantarkan impuls ke sistem saraf pusat jauh lebih cepat daripada serabut A delta atau serabut C. Serabut ini berespon terhadap masase ringan pada kulit, pergerakan dan stimulasi listrik (Kenworthy et al, 2002). Ketiga hal ini, dalam bahasa non fisiologi, membuat otak tetap sibuk sehingga mencegahnya untuk terlalu terganggu dengan impuls yang datang dari sumber nyeri. Serabut ini banyak terdapat di kulit sehingga stimulasi kulit dapat menurunkan persepsi nyeri (Guyton & Hall, 1997). Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut A beta, maka gerbang akan menutup. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut (Potter & Perry, 2006). b. Neuroregulator: endorphin Neuroregulator atau substansi yang mempengaruhi transmisi stimulus saraf memegang peranan yang penting dalam suatu pengalaman nyeri. Substansi ini ditemukan di lokasi nosiseptor, di terminal saraf dalam kornu dorsalis pada medula spinalis. Neuroregulator dibagi menjadi 2 kelompok, yakni

neurotransmiter dan neuromodulator. Neurotransmiter seperti substansi P

42

mengirim impuls listrik melewati celah sinaps di antara 2 serabut saraf. Serabut saraf tersebut adalah eksitator dan inhibitor. Neuromodulator memodifikasi aktivitas neuron dan menyesuaikan atau memvariasikan transmisi stimulus nyeri tanpa secara langsung mentransfer tanda saraf melalui sebuah sinap (Potter & Perry, 2006). Neuromodulator diyakini tidak bekerja secara langsung, yakni dengan meningkatkan dan menurunkan efek neurotransmiter tertentu. Endorphin (berasal dari kata endogenous morphin) dan juga enkefalin, serotonin, noradrenalin dan gamma-aminobutyric acid (GABA) adalah contoh neuromodulator. Enkefalin dan endorphin diduga dapat menghambat impuls nyeri dengan memblok transmisi impuls ini di dalam otak dan medula spinalis. Kadarnya yang berbeda diantara individu menjelaskan mengapa stimuli nyeri yang sama dirasakan berbeda oleh orang yang berbeda. Kadar ini dikendalikan oleh gen (Guyton & Hall, 1997; Potter & Perry, 2006). Tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter & Perry, 2006). 2. Agen Anastetik dan Analgesik Spesifik Terdapat 3 kelompok obat analgesik (pereda nyeri) yang tersedia untuk menangani nyeri, kelompok pertama adalah non-opioid termasuk paracetamol dan Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OANS), yang dipertimbangkan untuk diberikan sebelum beralih ke kelompok kedua yaitu opioid, dan kelompok ketiga adalah adjuvan. Analgesik adjuvan adalah obat-obat yang tidak diklasifikasikan sebagai analgesik, tetapi dapat digunakan untuk menangani nyeri pada situasi tertentu, misalnya antidepresan dan antikonvulsan yang biasanya digunakan untuk

43

penanganan nyeri neuropatik. Agens analgesik dapat diberikan dalam berbagai jalan seperti parenteral, oral, rektal, transdermal, dan intraspinal.

BAB III KERANGKA KONSEP A. Kerangka Konsep Adapun kerangka konsep dari penelitian ini diterangkan dengan skema yang tertera dibawah ini:
Penatalaksanaan Nyeri : a. Penatalaksanaan farmakologis ; analgetik, antiinflamasi, relaksan otot, salf, minyak hangat Stimulasi Kutaneus b. Penatalaksanaan Non Farmakologis : TENS Ultrasound terapi MWD (Microwave diathermy) Terapi Infra Merah

Usapan punggung meningkatkan aliran darah ke kapiler Mengaktivasi pelepasan sistem endorphin dalam darah

Panas peningkatan temperatur daerah lokal tempat terapi Dilatasi arteriol dan peningkatan aliran darah ke kapiler

44

Endorphin sebagai analgetik dalam darah relaksasi Menurunkan ambang nyeri dan meningkatkan relaksasi otot Nyeri Punggung Bawah

Pembuangan sisa hasil metabolisme

Spasme otot berkurang, relaksasi

Nyeri Keterangan : Diteliti : Tidak diteliti

Tidak Nyeri : Alur

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel. 1. Variabel penelitian Variabel penelitian adalah suatu ukuran atau ciri yang dimiliki oleh kelompok tersebut (Rafii dalam Nursalam, 2008). Menurut Sugiyono (2007), variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. a. Variabel bebas (independent variable) Variabel bebas adalah variabel yang nilainya menentukan variabel lain (Nursalam, 2008). Variabel bebas adalah menjadi sebab timbulnya atau berubahnya variabel terikat (dependent variabel) sehingga variabel independent adalah variabel yang mempengaruhi (Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah stimulasi kutaneus dan terapi inframerah.

45

b.

Variabel terikat (dependent variable) Variabel terikat adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain

(Nursalam, 2008). Variabel ini disebut variabel respons, output, kriteria dan konsekuen. Variabel ini merupakan akibat adanya variabel bebas (dependent variable) (Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini variabel yang berubah karena perlakuan terapi non farmakologis adalah nyeri punggung bawah pada lansia. 2. Definisi Operasional Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati dari sesuatu yang didefinisikan tersebut (Nursalam, 2008). Definisi operasional variabel penelitian ini dapat dilihat pada tabel sebagai berikut: Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian
No. 1 Variabel Independen Variable : -Terapi Penghangat Inframerah Definisi Operasional Penghangatan yang diberikan pada punggung bawah responden dengan menggunakan alat inframerah selama 10 menit dengan jarak 30 cm dari punggung bawah responden selama 9 hari dengan pencahayaan lampu infra merah 150 watt Usapan pada punggung bawah responden dengan menggerakkan jari-jari tangan dan telapak tangan yang dilumuri lotion selama 10 menit selama 9 hari dengan frekuensi 3 hari sekali Rasa nyeri yang daerah punggung diukur dengan verbal deskriptive dirasakan di bawah yang skala nyeri scale (VDS) Parameter Alat Ukur Indikator Pemberian inframerah selama 10 menit dengan jarak 30 cm pada daerah yang nyeri dengan pencahayaan lampu 150 watt Pemberian usapan telapak tangan dan jari selam sepuluh menit dengan tangan yang diberi losion Terdapat perbedaan hasil terapi yaitu nyeri Skala Pengukuran Nominal

Lampu IR Observasi sejajar pada punggung bawah, lansia diberikan dengan waktu 10 menit.

-Terapi stimulasi kutaneus

Punggung diusap Observasi dengan gerakan memutar dan mengusap punggung dengan jari dan telapak tangan Lansia akan Wawancara ditanya skala nyeri sebelum diberikan terapi

Nominal

Dependent Variable : Nyeri Punggung

Interval

46

Bawah

sebelum dan 9 hari setelah sedangkan perlakuan setelah terapi dilakukan 30 menit setelah pemberian terapi pada hari ke-9

dan nyeri.

tidak

C.

Hipotesis Hipotesa adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan

penelitian (Nursalam, 2008). Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan pengaruh inframerah dan stimulasi kutaneus terhadap nyeri punggung bawah pada lansia.

BAB IV METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah termasuk penelitian quasi eksperimen dengan menggunakan rancangan pre test post test with control group design. Pre test post test with control group design adalah eksperimen yang dilaksanakan pada dua kelompok yaitu perlakuan dan kontrol. Observasi sebelum perlakuan pada kelompok I disebut (O1) dan observasi setelah perlakuan pada kelompok I disebut O2, sedangkan observasi sebelum diberikan perlakuan pada kelompok II disebut O3 dan setelah perlakuan pada kelompok II disebut O4. Pretest Perlakuan Posttest

O1 -------------------------------------------X1--------------------------------O2

47

O3 -------------------------------------------X2--------------------------------O4 Gambar 4.1 Desain Penelitian Keterangan : O1 O2 O3 O4 X1 X2 : nilai pretest (sebelum diberikan terapi inframerah) : nilai posttest (setelah diberikan terapi inframerah) : nilai pretest (sebelum diberikan terapi stimulasi kutaneus) : nilai posttest (setelah diberikan terapi stimulasi kutaneus) : perlakuan terapi inframerah : terapi stimulasi kutaneus

B.

Kerangka Kerja
Populasi Semua Lansia yang tinggal di Banjar tebongkang Desa Singa Kerta yang Mengalami Nyeri Punggung Bawah sebanyak 49 orang

Kriteria Inklusi Sampel Berjumlah 44 orang dengan 22 diberi perlakuan stimulasi kutaneus dan 22 orang diberi terapi infra merah

Kriteria Eksklusi

Pengukuran skala nyeri sebelum diberikan terapi terapi stimulasi kutaneus dan terapi infra merah

Kelompok yang diberi stimulasi Kutaneus adalah lansia dengan nomor genap dan diberikan terapi 10 menit selama 9 hari dengan frekuensi 3 hari sekali

Kelompok yang diberi penghangatan infra adalah lansia dengan nomor ganjil diberikan terapi selama 10 menit setiap hari dengan jarak 30 cm diberikan 9 hari dengan pencahayaan lampu infra merah 150 watt

48

Pengukuran skala nyeri setelah diberikan terapi stimulasi kutaneus dan infra merah setelah pemberian terapi selama 10 menit setelah hari ke 9

Analisis Penelitian

Penyajian hasil penelitian

C.

Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Banjar Tebongkang, Desa Singakerta mengingat

jumlah lansia yang mengalami nyeri punggung bawah cukup banyak.

D. 1. Populasi

Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2007). Populasi dalam penelitian ini adalah semua lansia yang mengalami nyeri punggung bawah di Banjar Tebongkeng Desa Singakerta tahun 2011. 2. Sampel penelitian Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu yang dianggap mewakili populasinya (Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah lansia yang mengalami nyeri punggung bawah di Desa

49

Tebongkeng, Desa Singakerta. Sampel yang dipilih sesuai dengan kriteria sebagai berikut: a. 1) 2) 3) b. 1) 2) 3) 4) Kriteria inklusi Umur >60 tahun Mengalami nyeri punggung bawah Kooperatif dan bersedia menjadi responden Kriteria eksklusi Lansia dengan penyakit penyerta seperti fraktur di daerah tulang belakang Lansia yang mendapat terapi analgetik Lansia dengan penyakit kulit di daerah punggung bawah Lansia dengan luka lecet di daerah punggung bawah

3.

Besar Sampel Slovin dalam Prasetya (2005), menghitung jumlah sampel yang digunakan

dalam penelitian dengan rumus sebagai berikut.


n= N 1 + N (e 2 )

Keterangan:

n =Besar Sampel
N =Besar Populasi e =Tingkat Kesalahan (0,05) Jumlah populasi yaitu lansia yang mengalami nyeri punggung bawah di Banjar Tebokang, Desa Singakerta adalah sebanyak 49 orang. Dari jumlah tersebut maka

50

dapat dihitung sampel yang akan dipakai dalam penelitian ini sebagai berikut (Prasetya, 2005):
n= 49 1 + 49(0,05 2 )
49 1 + 49.0,0025 49 1 + 0,1225 49 1,1225

n=

n=

n=

n = 43,65 n = 44 orang (dibulatkan)


Jadi sampel dalam penelitian adalah berjumlah 44 orang. 4. Teknik Sampling Dalam menentukan jumlah sampel, teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik probability sampling yaitu dengan sistematic random sampling yaitu diambil 44 orang dari 49 orang lansia yang mengalami nyeri punggung bawah dengan ketentuan kelompok yang diberi stimulasi kutaneus adalah responden yang bernomor genap sedangkan yang diberikan terapi inframerah yang bernomor ganjil. E. Jenis dan cara pengumpulan data 1. Jenis data yang dikumpulkan Berdasarkan cara memperolehnya, data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer dalam penelitian ini adalah data

51

yang secara langsung diperoleh dari obyek penelitian (Riwidikdo, 2007), yaitu hasil wawancara terhadap skala nyeri lansia di Banjar Tebongkang, Desa Singakerta. Jenis data yang dikumpulkan adalah data kuantitatif. 2. Cara pengumpulan data Pengumpulan data merupakan kegiatan penelitian untuk mengumpulkan data (Hidayat, 2009). Peneliti dalam penelitian ini melakukan langkah pengumpulan data sebagai berikut : a. Peneliti membawa surat ijin penelitian yang dipersiapkan oleh institusi kepada Kepala Puskesmas II Ubud serta Kepala Desa Singakerta b. Setelah surat ijin dikeluarkan oleh Kepala Puskesmas, selanjutnya peneliti melakukan pendekatan kepada Kepala Puskesmas dan Kepala Desa atau pemegang program Kesehatan Lansia di Puskesmas II Ubud c. Sosialisasi dengan peneliti pendamping dan pengawas tentang teknik dan pelaksanaan penelitian dan mempersiapkan tiga orang peneliti pendamping dari mahasiswa keperawatan dan satu orang pengawas dari Puskesmas II Ubud untuk pengumpulan data. d. Melakukan pendekatan terhadap sampel penelitian sesuai kriteria inklusi dengan daftar nama lansia serta menentukan sampel sesuai dengan ketentuan yaitu stimulasi kutaneus diambil pada responden dengan nomor genap dan terapi inframerah diambil pada responden dengan nomor ganjil. Setelah sampel diperoleh, dilakukan penyampaian maksud dan tujuan peneliti kepada para lansia di Banjar Tebongkang untuk kesediannya secara sukarela menjadi responden dalam penelitian ini dengan menandatangani informed consent.

52

e. Mengukur skala nyeri pada sampel sebelum diberikan terapi stimulasi kutaneus dan terapi inframerah f. Melakukan terapi stimulasi kutaneus kepada sampel dengan nomor genap dan memberikan terapi inframerah pada sampel dengan nomor ganjil sesuai dengan prosedur dan dilakukan selama 9 hari g. Melakukan pengukuran skala nyeri setelah pemberian terapi selama 10 menit pada hari ke-9 diberikan stimulasi kutaneus dan terapi inframerah h. Peneliti mengumpulkan data yang telah didapat i. Melakukan tabulasi dan analisis data 3. a. Instrumen pengumpul data Alat penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu lampu inframerah 150 watt, alat untuk memeriksa sensibilitas kulit, meja khusus, kamera digital, dan checklist stimulasi kutaneus dan inframerah. b. Bahan penelitian Bahan penelitian yang digunakan adalah alat tulis dan lembar pengkajian. F. Pengolahan dan Analisa Data 1 Teknik pengolahan data Langkah-langkah dalam pengolahan data: a. Editing Editing dilakukan dengan mengecek kelengkapan pedoman observasi yang telah diisi. Jika terdapat data yang belum terisi akan dilakukan crosscheck terhadap data tersebut melalui wawancara ulang terhadap responden ataupun

53

penelusuran catatan observasi pasien. Dalam penelitian ini editing dilakukan sebanyak satu kali yaitu pada sampel nomor 8 pada responden dengan stimulasi kutaneus dimana data skala nyeri setelah diberikan stimulasi kutaneus belum lengkap, sehingga dilakukan crosscheck terhadap responden yang bersangkutan. b. Scoring Angket yang sudah terkumpul, dilakukan pengkodean untuk memudahkan dalam memasukkan ke dalam program analisis. Dalam hal ini skoring dilakukan dengan memberikan skor 1 kepada pada responden dengan skala nyeri tingkat ringan, 2 untuk skala nyeri sedang dan 3 untuk skala nyeri tingkat berat. c. Entry Kegiatan memasukkan data ke dalam program komputer untuk mencegah risiko kehilangan data. Entry ini dilakukan dengan melakukan penyimpanan data ke dalam master tabel data dalam bentuk program sheet, yang kemudian di transfer ke dalam matrik program SPSS 16.0 untuk selanjutnya dilakukan analisis. Selain itu, untuk menjaga risiko kehilangan data, data yang telah ditabulasi disimpan ke dalam bentuk CD sehingga jika terjadi kehilangan data pada komputer dapat dilakukan backup dengan mudah. 2. Teknik analisa data Analisa data dilakukan setelah semua data terkumpul. Proses analisa data penelitian ini yaitu: a. Analisis univariat dilakukan melalui : Analisis Univariat

54

1)

Deskripsi data skala nyeri pasien nyeri punggung bawah yang diberikan terapi inframerah dideskripsikan dengan menghitung rata-rata nyeri, nilai minimal dan maksimal dari seluruh responden dan disajikan dalam bentuk tabel frekuensi

2)

Deskripsi data skala nyeri pasien nyeri punggung bawah yang diberikan stimulasi kutaneus dideskripsikan dengan menghitung rata-rata skala nyeri, nilai minimal dan maksimal dari seluruh responden dan disajikan dalam bentuk tabel frekuensi.

3)

Deskripsi perubahan skala nyeri pada stimulasi kutaneus dan terapi infra merah dideskripsikan dengan menghitung rata-rata, nilai minimal dan maksimal dari perubahan atau perbedaan skala nyeri yang kemudian disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi

b.

Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan kedua variabel baik penelitian komparatif maupun korelatif. Adapun analisis bivariat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Analisis pengaruh pemberian stimulasi kutaneus terhadap perubahan skala nyeri Sebelum dilakukan pengujian statistik pengaruh pemberian stimulasi kutaneus dengan perubahan skala nyeri, dilakukann uji normalitas data terhadap data sebelum dan sesudah diberikan stimulasi kutaneus dengan menggunakan uji Kolmogorov smirnov, jika data berdistribusi normal (p value>0,05), maka dilakukan uji statistik parrametrik dengan uji t paired sample tes, namun jika data

55

tidak berdistribusi normal (p value<0,05) maka dilakukan uji non parametrik dengan uji wilcoxon. 2) Analisis pengaruh pemberian terapi infra merah terhadap perubahan skala nyeri Sebelum dilakukan pengujian statistik pengaruh pemberian terapi infra merah dengan perubahan skala nyeri, dilakukann uji normalitas data terhadap data sebelum dan sesudah diberikan terapi infra merah dengan menggunakan uji Kolmogorov smirnov, jika data berdistribusi normal (p value>0,05), maka dilakukan uji statistik parrametrik dengan uji t paired sample tes, namun jika data tidak berdistribusi normal (p value<0,05) maka dilakukan uji non parametrik dengan uji wilcoxon.

3) Analisis perbedaan skala nyeri dengan pemberian stimulasi kutaneus dan terapi infra merah Analisis perbedaan antara intensitas nyeri pasien nyeri punggung bawah yang diberi stimulasi kutaneus dengan terapi inframerah dilakukan dengan membedakan selisih dari skala nyeri sebelum dan sesudah diberikan perlakuan. Seslisih atau beda skala nyeri tersebut dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan uji statistik Kolomogorv Smirnov, jika data berdistribusi normal (pvalue>0,05), maka dilakukan uji paramterik dengan menggunakan uji t independent sample, namun jika data tidak berdistribusi normal (pvalue<0,05) dilakukan dengan uji non parametrik dengan uji Mann Whitney.

56

Hasil analisi dari ketiga uji bivariat di atas yang diperoleh dari program komputer dengan uji statistik (misalnya dengan penggunaan produk SPSS) dapat disimpulkan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Jika nilai t hitung < t tabel, Z hitung < Z tabel, U hitung< U tabel atau p< (0,05), maka dapat disimpulkan Ho ditolak dan hal ini berati bahwa terdapat perbedaan intensitas nyeri antara pemberian terapi inframerah dengan terapi stimulasi kutaneus 2. Jika nilai t hitung > t tabel, Z hitung > Z tabel, U hitung >U tabel dan p > , maka dapat disimpulkan Ho diterima dan hal ini berati bahwa tidak terdapat perbedaan intensitas nyeri antara pemberian terapi inframerah dengan terapi stimulasi kutaneus.

57

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A Hasil Penelitian

1. Kondisi lokasi penelitian Desa Singakerta terdiri dari 13 Banjar dengan jumlah penduduk sebanyak 865 jiwa. Penelitian ini dilakukan di Banjar Tebongkang, Desa Singakerta, Kecamatan Ubud yang merupakan wilayah kerja Puskesmas II Ubud. Pada tahun 2011 terdapat 97 orang Lansia yang terdiri dari 53 orang (54,6%) perempuan dan 44 orang (45,4%) laki-laki, 49 orang (52,1%) (Data Register Posyandu Lansia Banjar Tebongkang, 2011). 2. Hasil pengamatan terhadap obyek penelitian a. Gambaran skala nyeri pada lansia nyeri punggung bawah sebelum diberi stimulasi kutaneus

58

Gambar 5.1 Gambaran Nyeri Punggung Bawah pada Lanjut Usia sebelum Diberikan Stimulasi Kutaneus di Banjar Tebongkang, Desa Singakerta Kecamatan Ubud Dalam penelitian ini, skala nyeri pasien sebelum diberikan stimulasi kutaneus yang terdiri dari 22 orang seluruhnya tergolong kategori sedang dengan rentang skala nyeri berkisar 4-6 dan rata-rata 4,7. b. Gambaran skala nyeri pada lansia nyeri punggung bawah sebelum diberi terapi inframerah

59

Gambar 5.2 Gambaran Nyeri Punggung Bawah pada Lanjut Usia sebelum Diberikan Terapi Infra Merah di Banjar Tebongkang, Desa Singakerta Kecamatan Ubud Berdasarkan gambar diatas, menunjukkan bahwa sebelum diberikan terapi inframerah, dari 22 orang responden sebagian besar mengalami nyeri dengan kategori nyeri tingkat sedang yaitu sebanyak 19 orang (86%) dan sebagian kecil adalah berat yaitu sebanyak tiga orang (14%). Ditinjau dari nilai skala nyeri diperoleh bahwa rata-rata nyeri lanjut usia sebelum diberikan terapi inframerah adalah 5 dengan rentang skala nyeri berkisar 4-7. c. Gambaran skala nyeri pada lansia nyeri punggung bawah setelah diberi stimulasi kutaneus

60

Gambar 5.3 Gambaran Nyeri Punggung Bawah pada Lanjut Usia setelah Diberikan Stimulasi Kutaneus di Banjar Tebongkang, Desa Singakerta Kecamatan Ubud

Berdasarkan diagram di atas, dari 22 orang responden yang diberikan stimulasi kutaneus diperoleh bahwa sebagian besar responden berada dalam kategori nyeri tingkat sedang yaitu sebanyak 15 orang (68%) dan terdapat tujuh orang (32%) yang tergolong kategori nyeri tingkat ringan. Dilihat dari nilai skala nyeri diperoleh rata-rata nyeri setelah diberikan stimulasi kutaneus adalah 3,5 dengan rentang nilai 2-5.

61

d.

Skala nyeri setelah diberikan terapi infra merah

Gambar 5.4 Gambaran Nyeri Punggung Bawah pada Lanjut Usia setelah Diberikan Infra Merah di Banjar Tebongkang, Desa Singakerta Kecamatan Ubud Berdasarkan gambar di atas, dari 22 orang responden yang diberikan inframerah diperoleh bahwa skala responden sebagian besar tergolong kategori ringan dan sebagian lagi adalah sedang yaitu masing - masing 11 orang (50%). Dilihat dari nilai skala nyeri, nilai rata-rata skala nyeri setelah diberikan infra merah adalah 3 dengan rentang nilai berkisar antara 1-5.

62

e. stimulasi kutaneus

Perbedaan skala nyeri sebelum dan sesudah diberikan

Tabel 5.1 Skala Nyeri Pada Lansia Sebelum dan Sesudah Stimulasi Kutaneus Di Banjar Tebongkang, Kecamatan Ubud Indikator Rata-rata Nilai Minimal Nilai Maksimal Sebelum Stimulasi Kutaneus 4,7 4 6 Setelah Stimulasi Kutaneus 3,5 2 5 Beda 1,1 0 2

Berdasarkan tabel di atas, sebelum diberikan stimulasi kutaneus terlihat bahwa rata-rata skala nyeri responden adalah 4,7 dengan rentang 4-6, setelah diberikan stimulai kutaneus terlihat bahwa rata-rata nyeri menjadi 3,5 dengan rentang nilai 2-5. Terlihat pula bahwa dengan pemberian stimulai kutaneus terjadi penurunan skala nyeri dengan rata-rata sebesar 1,1 dengan rentang penurunan 0-2. f. infra merah Tabel 5.2 Skala Nyeri pada Lansia Sebelum dan Sesudah Diberikan Terapi Infra Merah di Banjar Tebongkang Sebelum Terapi Indikator Infra Merah Infra Merah Setelah Terapi Beda Perbedaan skala nyeri sebelum dan sesudah diberikan terapi

63

Rata-rata Nilai Minimal Nilai Maksimal

5 4 7

3 1 5

2 0 3

Tabel di atas menunjukkan bahwa skala nyeri responden sebelum diberikan terapi infra merah adalah 5 dengan rentang nilai 4-7, setelah diberikan terapi infra merah nilai rata-rata nyeri menjadi 3 dengan rentang nilai berkisar antara 1-5. Terlihat pula bahwa dengan pemberian infra merah terjadi penurunan nyeri sebesar 2 dengan rentang penurunan nyeri berkisar antara 0-3. 4. Hasil analisis data Hasil analisis uji bivariat terhadap data dalam penelitian ini yang terdiri dari data skala nyeri sebelum dan sesudah diberikan stimulasi kutaneus dan inframerah telah dilakukan uji normalitas data dengan Kolmogorov Smirnov sehingga diperoleh hasil bahwa data tidak berdistribusi normal (p value = 0,000), sehingga uji bivariat dilakukan dengan uji wilcoxon, sedangkan untuk mengetahui perbedaan pengaruh pemberian stimulasi kutaneus dan inframerah terhadap nyeri punggung bawah dilakukan dengan uji Mann Whitney. Untuk analisis pengaruh dari variabel yang diteliti dapat dilihat pada bahasan berikut. a. Analisis pengaruh stimulasi kutaneus pada perubahan skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah Pada gambar 5.4 ditunjukkan bahwa pemberian stimulasi kutaneus dapat menurunkan nyeri rata-rata sebesar 1,1 poin dengan rentang penurunan 0-2 poin. Rata-rata skala nyeri menurun dari 4,7 menjadi 3,5, sedangkan rentang skala nyeri berubah dari 4-6 menjadi 2-5. Terlihat bahwa secara deskriptif stimulasi kutaneus

64

sebagian besar menyebabkan penurunan nyeri pada lansia. Hal tersebut didukung dengan hasil uji statistik non parametrik dengan Wilcoxon yang menunjukkan nilai Z sebesar -3,729 dengan nilai p value sebesar 0,000 (<0,05) yang berarti bahwa terdapat perbedaan nyeri sebelum dan sesudah diberikan stimulasi kutaneus atau dengan kata lain stimulasi kutanues berpengaruh terhadap perubahan skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah. Nilai Z sebesar -3,729 (nilai negatif) yang berarti bahwa pemberian stimulasi kutaneus menyebabkan penurunan skala nyeri (tabel 5.3).

Gambar 5.4. Perbedaan Skala Nyeri sebelum dan Sesudah diberikan Terapi Stimulasi Kutaneus pada Lansia dengan Nyeri Punggung Bawah di Banjar Tebongkang

65

Tabel 5.3 Nilai Uji Statistik Pengaruh Stimulasi Kutaneus Terhadap Skala Nyeri Pada Lansia Dengan Nyeri Punggung Bawah Di Banjar Tebongkang No. 1 2 3 4 b. Indikator Rata-rata perubahan skala nyeri Nilai Z Nilai p value Nilai p signifikansi Kolmogorov Smirnov Nilai 1,1 -3,729 0,000 0,000

Analisis pengaruh terapi infra merah pada perubahan skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah

Gambar 5.5 Perbedaan Skala Nyeri sebelum dan Sesudah diberikan Terapi Inframerah pada Lansia dengan Nyeri Punggung Bawah di Banjar Tebongkang

66

Gambar di atas menunjukkan bahwa pemberian terapi inframerah dapat menurunkan nyeri sebesar 2 poin dengan rentang penurunan nyeri berkisar antara 0-3 poin. Rata-rata skala nyeri sebelum diberikan terapi inframerah menurun dari 5 menjadi 3, sedangkan rentang nilai setelah diberikan inframerah berubah dari 47 menjadi 1-5. Secara deskriptif, dengan terapi inframerah dapat menyebabkan penurunan nyeri pada responden dengan nyeri punggung bawah. Hal tersebut didukung dengan analisis statistik dengan uji Wilcoxon diperoleh nilai Z=-3,993 dengan nilai p value sebesar 0,000 (<0,05) yang berarti bahwa ada perbedaan skala nyeri sebelum dan sesudah diberikan infra merah atau dengan kata lain pemberian infra merah berpengaruh terhadap perubahan skala nyeri pada responden dengan nyeri punggung bawah. Nilai Z negatif menunjukkan bahwa pemberian terapi infra merah memberikan efek yang negatif terhadap skala nyeri yaitu menurunkan skala nyeri (hasil dapat dilihat pada tabel 5.4). Tabel 5.4 Nilai Uji Statistik Pengaruh Terapi Infra Merah Terhadap Skala Nyeri Pada Lansia Dengan Nyeri Punggung Bawah Di Banjar Tebongkang No. 1 2 3 4 c. Indikator Rata-rata perubahan skala nyeri Nilai Z Nilai p value Nilai p signifikansi Kolmogorov Smirnov Nilai 2,0 -3,993 0,000 0,000

Analisis perbedaan perubahan skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah yang diberikan stimulasi kutaneus maupun terapi infra merah

67

Gambar 5.6 Perbedaan Penurunan Nilai Skala Nyeri pada Lansia dengan Nyeri Punggung Bawah yang Diberikan Stimulasi Kutaneus dan Terapi Inframerah di Banjar Tebongkang Berdasarkan gambar di atas, terlihat bahwa dari 44 responden yang dibandingkan, dimana 22 orang diberi stimulasi kutaneus dan 22 orang diberi inframerah. Dari gambar tersebut terlihat bahwa terapi inframerah memiliki efektivitas yang lebih besar daripada stimulasi kutaneus. Hal tersebut terlihat dari lebih besarnya perbedaan nyeri yang dialami oleh responden yang dilakukan terapi inframerah. Untuk mengetahui perbedaan skala nyeri pada pemberian terapi inframerah dan stimulasi kutaneus maka dilakukan uji statistik dengan menggunakan Mann Whitney. Hasil uji statistik dengan Mann Whitney menunjukkan nilai U sebesar 112,5 dan nilai signifikansi sebesar 0,001 (Tabel 5.5). Nilai tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan perubahan skala nyeri pada pemberian stimulasi kutaneus dengan terapi infra merah. Nilai rata-rata

68

perubahan skala nyeri pada stimulasi kutaneus adalah 1,1 sedangkan pada terapi infra merah sebesar 2,0 yang ditunjukkan pada tabel sebelumnya.Sehingg dapat disimpulkan bahwa pemberian sinar infra merah lebih efektif dalam menurunkan skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah (Hasil dapat dilihat pada tabel 5.5). Tabel 5.5 Nilai Uji Statistik Perbedaan Perubahan Skala Nyeri Pada Lansia Dengan Nyeri Punggung Bawah Yang Diberikan Stimulasi Kutaneus Maupun Terapi Infra Merah Di Banjar Tebongkang No. 1 2 3 B. 1. Indikator Nilai U Mann Whitney Nilai p value Nilai p signifikansi Kolmogorov Smirnov Nilai 112,5 0,001 0,000

Pembahasan Skala diberikan Stimulasi Kutaneus dan Inframerah Dari 22 orang responden yang merupakan lansia dengan nyeri punggung Nyeri Sebelum

bawah sebelum diberikan stimulasi kutaneus seluruhnya (100%) tergolong kategori sedang dengan rata-rata 4,7 dan rentang skala nyeri 4-6, demikian pula pada responden sebelum diberikan inframerah yang berjumlah sebanyak 22 orang responden sebagian besar mengalami nyeri tingkat sedang yaitu sebanyak 19 orang (86%) dan sebagian kecil adalah berat yaitu sebanyak 3 orang (14%). Dilihat dari skala nyeri diperoleh rata-rata skala nyeri sebesar 5 dengan rentang nilai 4-7. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Potter dan Perry (2006) yang menyatakan bahwa ketika suatu jaringan mengalami cedera atau kerusakan mengakibatkan dilepaskannya bahan-bahan yang dapat menstimulus reseptor

69

nyeri seperti serotonin, histamin, ion kalium, bradikinin, prostaglandin dan substansi P yang akan mengakibatkan respons nyeri. Selain hal tersebut, adanya sifat lansia yang cenderung tertutup sehingga tidak mau mengungkapkan nyeri yang dirasakan dan tidak mendapat pengobatan akan membawa dampak pada peningkatan skala nyeri yang dirasakan. Hal tersebut sesuai dengan pendpat Potter dan Perry (2006), yang menyatakan bahwa lansia cenderung memendam nyeri yang dialami karena mereka menganggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan, selain itu akan berdampak buruk bagi kesehatan lansia tersebut. . 2. diberikan Stimulasi Kutaneus Dari 22 responden yang telah diberikan stimulai kutaneus diperoleh bahwa ssebagian besar responden berada dalam kategori tingkat sedang sebanyak 15 oang 968%) dan terdapat 7 orang (32%) yang tergolong kategori nyeri tingkat ringan. Dilihat dari skala nyeri diperoleh rata-rata nyeri setelah diberikan stimulasi kutaneus adalah 3,5 dengan rentang 2-5. Berdasarkan hasil analisis dengan uji non parametrik test, dengan uji Wilcoxon diperoleh nilai Z sebesar -3,729 dengan nilai p value sebesar 0,000 (<0,05) yang berarti bahwa terdapat perbedaan nyeri sebelum dan sesudah diberikan stimulasi kutaneus atau dengan kata lain stimulasi kutanues berpengaruh terhadap perubahan skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah. Nilai Z sebesar -3,729 (nilai negatif) yang berarti bahwa pemberian stimulasi kutaneus menyebabkan penurunan skala nyeri. Skala Nyeri Setelah

70

Hal tersbut sesuai dengan teori Melzack dan Wall (1996), melalui teori Gate control. Teori control gerbang nyeri menjelaskan variasi persepsi nyeri terhadap stimulasi yang identik. Prinsip dasar dari control gerbang nyeri sebagai berikut: baik serabut sensorik bermielin besar (L) yang membawa informasi mengenai rasa raba dan propriosepsi dari perifer (serat A delta dan A beta maupun serat kecil ( S ) yang membawa informasi mengenai nyeri [serat A-delta dan C ) menyatu di kornu dorsalis medulla spinalis, transmisi impuls saraf dari serat-serat afferent ke sel sel transmisi (T) medulla spinalis di kornu dorsalis dimodifikasi oleh suatu mekanisme gerbang di sel-sel substansia glatinosa. Apabila gerbang tertutup impuls nyeri tidak dapat diteruskan. Sebaliknya bila gerbang terbuka impuls nyeri merangsang sel T di kornu dorsalis dan kemudian naik ke medulla spinalis menuju otak., tempat impuls tersebut dirasakan sebagai nyeri. Mekanisme gerbang spinal dipengaruhi jumlah relatif aktifitas dari serat afferent primer berdiameter besar (L) dan berdiameter kecil (S). Aktifitas berserat besar cenderung menghambat transmisi nyeri (menutup Gerbang), sedangkan serat kecil cenderung mempermudah transmisi nyeri (membuka gerbang ). Aferent berdiameter besar merangsang neuron-neuron substansia glatinosa inhibitorik sehingga input masuk ke sel T berkurang sehingga nyeri dihambat. Sebaliknya aktifitas serat berdiameter kecil menghambat sel sel substansia gelatinosa inhibitorik yang mendorong peningkatan transmisi aferen primer ke sel T yang menyebabkan peningkatan rangsangan nyeri. Mekanisme gerbang spinal dipengaruhi oleh impuls saraf yang turun dari otak. Aspek mekanisme didasarkan pada banyaknya faktor psikologis yang diketahui

71

mempengaruhi nyeri dan pada fakta bahwa kornu dorsalis medulla dipengaruhi beberapa jalur yang turun dari otak. Berbagai sistem modulasi nyeri dessendens yang melibatkan nucleusnukleus batang otak dan neuron serotogenik dan noradrenergic yang berproyeksi kesubstansia gelatinosa. Apabila keluaran dari selsel T medulla spinalis melebihi suatu ambang kritis, terjadi pengaktifan sistem aksi untuk perasaan dan respon nyeri. Bila pengaktifan ini terjadi input sensorik akan disaring , aktifitas sensorik dan afektif berkelanjutan hingga ke tingkat SSP. Teori pengendalian gerbang ini, menjelaskan hubungan massage atau stimulasi kutaneus bagian yang nyeri setelah suatu cedera dapat menurunkan intensitas nyeri, karena kutaneus, sedangkan aktifitas serat besar dirangsang dengan stimulasi

aktifitas berdiameter kecil tertutup. Jadi berdasarkan

penjelasan tersebut jelaslah terbukti dari hasil penelitian ini yang dilakukan dengan uji wilcoxon bahwa stimulasi kutaneus yang dilakukan pada lansia dengan nyeri punggung bawah akan dapat menurunkan skala nyeri. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Adhyati (2011) yang berjudul Pengaruh stimulus kutaneus slow stroke back massage terhadap intensitas nyeri pada penderita low back pain di kelurahan Aek Gerger Sidodadi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang menunjukan adanya perbedaan signifikan antara sebelum dan sesudah intervensi, dengan tingkat kepercayaan 95% didapatkan nilai t=7,071 (t>1,96) yang berarti bahwa perbedaan tersebut dapat diterima dengan nilai perbedaan rata-rata (mean) sebesar 1,43 (SD=0,53), dimana wilayah perbedaan tersebut berada pada rentang 0,93-1,92.

72

Sehingga dapat disimpulkan bahwa stimulus kutaneus slow stroke back massage mempengaruhi intensitas nyeri penderita low back pain (LBP). Ditambahkan pula oleh Sumartini (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh Stimulasi Kutaneus: Slow-Stroke Back Massage Terhadap Intensitas Nyeri Osteoartritis Pada Lansia Di Panti Werdha Griya Asih Lawang, menyebutkan bahwa pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage mempunyai pengaruh terhadap intensitas nyeri osteoartritis pada lansia di Panti Werdha Griya Asih Lawang Malang (Uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test dengan = 0,05 didapatkan p value < (0,011 < 0,05). Berdasarkan kedua penelitian di atas, maka jelas bahwa stimulasi kutaneus berpengaruh terhadap perubahan skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah.

3. diberikan Inframerah

Skala

Nyeri

Setelah

Dari 22 orang responden yang diberikan inframerah diperoleh bahwa sebagian tergolong kategori ringan yaitu sebanyak 11 orang (50%) dan sebagian lagi tergolong kategori sedang (50%). Dilihat dari skala nyeri, diperoleh nilai ratarata skala nyeri setelah diberikan stimulai kutaneus adalah 3 dengan rentang skala nyeri 1-5. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai Z=-3,993 dengan nilai p value sebesar 0,000 (<0,05) yang berarti bahwa ada perbedaan skala nyeri sebelum dan sesudah diberikan infra merah atau dengan kata lain pemberian infra merah berpengaruh terhadap perubahan skala nyeri. Nilai Z negatif menunjukkan

73

bahwa pemberian terapi infra merah memberikan efek yang negatif terhadap skala nyeri yaitu menurunkan skala nyeri. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan pendapat Potter dan Perry (2006), yang menjelaskan bahwa penyinaran inframerah merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri. Pengaruh inframerah pada pengurangan rasa nyeri adalah panas yang dihasilkan akan menyebabkan terjadinya peningkatan temperatur pada area yang diterapi, dengan demikian akan terjadi dilatasi pembuluh darah yang diikuti dengan peningkatan aliran darah kapiler sehingga pembuangan hasil-hasil metabolisme semakin baik (Potter dan Perry, 2006). Dengan lancarnya sirkulasi darah maka zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh ikut juga terbuang, sehingga nyeri akan berkurang diikuti dengan spasme otot berkurang sehingga akan merelaksasikan otot (Haryanto, 2003). Jadi jelaslah bahwa terapi infra merah dapat menurunkan nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah. Menurut Haryanto (2003), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat peningkatan ambang nyeri setelah pemberian ifnra merah pada tempat pemberian infra merah dan sisi kontra lateral serta dapat bertahan 15 menit setelah penghentian sinar infra merah (0=0,014). Jadi jelas bahwa dengan pemberian terapi infra merah dapat menurunkan skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah. 4. dengan stimulasi kutaneus dan infra merah Perbedaan skala nyeri

74

Dilihat dari perbedaan perubahan nyeri yang terjadi pada lansia yang diberikan terapi stimulasi kutaneus dan terapi infra merah yang berasal dari 22 orang responden diberi stimulasi kutanues dan 22 orang diberikan inframerah menunjukkan nilai U dari uji Mann Whhitney sebesar 112,5 dan nilai signifikansi sebesar 0,001. Nilai tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan perubahan skala nyeri pada pemberian stimulasi kutaneus dengan terapi infra merah. Nilai rata-rata perubahan skala nyeri pada stimulasi kutaneus adalah 1,1 sedangkan pada terapi infra merah sebesar 2,0, maka dapat disimpulkan bahwa pemberian sinar infra merah lebih efektif dalam menurunkan skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah. Menurut Dewi, Hanny, dan Adi (2006) dalam penelitiannya yang berjudul Perbedaan Penurunan Skala Nyeri Antara Bekam Kering, Kompres Panas Kering dan Infrared Radiasi Pada Penderita Nyeri Punggung Bawah menyebutkan bahwa setelah dilakukan uji Tukey didapatkan informasi bahwa terapi radiasi infra merah memberikan pengaruh paling baik dalam menurunkan nyeri punggung bawah dengan p =0,00 dan alpha 0,05. Berdasarkan penelitian tersebut jelas disebutkan bahwa infra merah dipandang memiliki efektivitas yang lebih baik untuk menurunkan skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah. Namun, penggunaan stimulasi kutaneus juga tidak boleh ditinggalkan karena dilihat dari segi ekonomis sertak kemudahan dalam pelaksanaannya stimulasi kutaneus jauh lebih murah dibandingkan dengan infra merah. C. Keterbatasan Penelitian.

75

Dalam penelitian ini, terdapat beberapa keterbatasan baik peneliti maupun desain yang digunakan. Dilihat dari sampel yang digunakan, dalam penelitian ini sampel yang digunakan masih minimal serta homogenitas sampel tidak dapat dilakukan. Hal tersebut dikarenakan masih adanya perbedaan jenis kelamin dalam penelitian ini yang dapat mengurangi hasil dari pengukuran tingkat nyeri pada lanjut usia. Pada kelompok populasi, perlakuan yang diberikan juga tidak mampu dikontrol secara sama artinya suhu ruangan, tindakan sebelumnya (ada tidaknya penggunaan terapi yang lain) yang diduga dapat mempengaruhi hasil penelitian masih belum dilakukan kontrol oleh peneliti. Sehingga untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan kontrol secara ketat terhadap berbagai faktor yang mampu mempengaruhi ambang nyeri responden dan digunakan dengan sampel yang homogen.

76

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan 1. Skala nyeri sebelum diberikan stimulasi kutaneus Sebelum diberikan stimulasi kutaneus terlihat bahwa dari 22 orang lansia yang diteliti menunjukkan rata-rata skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah adalah 4,7 dengan rentang skala nyeri 4-6 dan seluruh lansia tergolong kategori nyeri tingkat sedang, 2. Skala nyeri sebelum diberikan inframerah Skala nyeri lansia sebelum diberikan terapi infra merah pada 22 orang lanjut usia dengan nyeri punggung bawah adalah 5 dengan rentang nilai 4-7 dan sebagian besar tergolong kategori nyeri tingkat sedang yaitu sebanyak 19 orang (86%) dan sebagian kecil adalah berat yaitu sebanyak tiga orang (14%).

3.

Skala nyeri setelah diberikan stimulasi kutaneus Setelah diberikan stimulai kutaneus terlihat bahwa rata-rata nyeri dari 22

orang lansia dengan nyeri punggung bawah menjadi 3,5 dengan rentang nilai 2-5

77

dan sebagian besar lanjut usia berada dalam kategori nyeri tingkat sedang yaitu sebanyak 15 orang (68%) dan terdapat tujuh orang (32%) yang tergolong kategori nyeri tingkat ringan.

4.

Skala nyeri setelah diberikan inframerah Setelah diberikan terapi infra merah pada 22 orang lansia dengan nyeri

punggung bawah menunjukkan nilai rata-rata nyeri menjadi 3 dengan rentang nilai berkisar antara 1-5 dan sebagian terdiri dari ringan dan sebagian lagi adalah sedang yaitu masing-masing 11 orang (50%). 5. bawah Dengan pemberian stimulai kutaneus pada 22 orang lanjut usia dengan nyeri punggung bawah terjadi penurunan skala nyeri dengan rata-rata sebesar 1,1 dengan rentang penurunan 0-2. Pemberian stimulasi kutaneus dapat menurunkan nyeri sebanyak 17 orang (77%), sedangkan hanya 5 orang (23%) yang mengalami nyeri yang menetap. Berdasarkan hasil analisis dengan uji non parametrik test, dengan uji Wilcoxon diperoleh nilai Z sebesar -3,729 dengan nilai p value sebesar 0,000 (<0,05) yang berarti bahwa terdapat perbedaan nyeri sebelum dan sesudah diberikan stimulasi kutaneus atau dengan kata lain stimulasi kutanues berpengaruh terhadap perubahan skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah. Nilai Z sebesar -3,729 (nilai negatif) yang berarti bahwa pemberian stimulasi kutaneus menyebabkan penurunan skala nyeri. Pengaruh pemberian stimulasi kutaneus terhadap nyeri punggung

78

6. bawah

Pengaruh pemberian terapi inframerah terhadap nyeri punggung

Dengan pemberian infra merah pada 22 orang lansia dengan nyeri punggung bawah terjadi penurunan nyeri sebesar 2 dengan rentang penurunan nyeri berkisar antara 0-3. Pemberian terapi inframerah dapat menurunkan nyeri sebanyak 20 orang (91%), sedangkan hanya dua orang (9%) yang mengalami nyeri yang menetap. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai Z=-3,993 dengan nilai p value sebesar 0,000 (<0,05) yang berarti bahwa ada perbedaan skala nyeri sebelum dan sesudah diberikan infra merah atau dengan kata lain pemberian infra merah berpengaruh terhadap perubahan skala nyeri. Nilai Z negatif menunjukkan bahwa pemberian terapi infra merah memberikan efek yang negatif terhadap skala nyeri yaitu menurunkan skala nyeri. 7. Perbedaan pengaruh antara pemberian stimulasi kutaneus dan terapi inframerah terhadap nyeri punggung bawah pada lansia Dilihat dari perbedaan perubahan nyeri yang terjadi pada lansia yang diberikan terapi stimulasi kutaneus dan terapi infra merah dari hasil statistik menunjukkan nilai U sebesar 112,5 dan nilai signifikansi sebesar 0,001. Nilai tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan perubahan skala nyeri pada pemberian stimulasi kutaneus dengan terapi infra merah. Nilai rata-rata perubahan skala nyeri pada stimulasi kutaneus adalah 1,1 sedangkan pada terapi infra merah sebesar 2,0, maka dapat disimpulkan bahwa pemberian sinar infra merah lebih efektif dalam menurunkan skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah.

79

B. Saran 1. Puskesmas Ubud II Pada penelitian ini ditemukan bahwa penggunaan infra merah lebih efektif jika dibandingkan dengan penggunaan stimulasi kutaneus, namun dilihat dari aspek ekonomis penggunaan stimulasi kutaneus dapat digunakan karena stimulasi kutaneus juga efektif untuk menurunkan skala nyeri pada lansia dengan nyeri punggung. Maka dari itu kepada pihak Puskesmas agar memberikan informasi tentang teknik pereda nyeri pada lansia dengan nyeri punggung bawah yang tepat. 2. Penyelenggara Posyandu Lansia Diharapkan kepada penyelenggara Posyandu Lansia agar menyediakan terapi infra merah secara gratis untuk lansia dengan nyeri punggung bawah sehingga nyeri punggung bawah pada lansia dapat diminimalisasi dengan cepat. 3. Peneliti selanjutnya Dilihat dari sampel yang digunakan, dalam penelitian ini sampel yang digunakan masih minimal serta homogenitas sampel tidak dapat dilakukan, sehingga untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan kontrol secara ketat terhadap berbagai faktor yang mampu mempengaruhi ambang nyeri responden dan digunakan dengan sampel yang homogen. Selain itu, pengkajian nyeri dilakukan secara obyektif dengan menggunakan indikator-indikator dari respons nyeri yang dialami pasien seperti perubahan tekanan darah, denyut nadi dan lainlain.

80

You might also like