You are on page 1of 30

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Nyeri merupakan suatu keadaan yang tidak nyaman dan menyiksa bagi penderitanya, namun terkadang nyeri dapat digunakan sebagai tanda adanya kerusakan jaringan. Inflamasi merupakan manifestasi dari terjadinya kerusakan jaringan, dimana nyeri merupakan salah satu dari gejalanya. Karena dipandang merugikan maka inflamasi memerlukan obat untuk

mengendalikannya. Obat yang dikenal sebagai analgetik-narkotik sangat berguna untuk meredakan dan menghilangkan rasa nyeri. Semua analgesiknarkotik dapat menimbulkan adiksi. maka usaha penyelidik untuk

mendapatkan suatu analgesik yang ideal masih tetap diteruskan ( Neal, 2006). Analgesik adalah kelompok obat yang memiliki aktivitas menekan atau mengurangi rasa nyeri. Efek ini dapat dicapai dengan berbagai cara : menekan kepekaan reseptor nyeri terhadap rangsangan mekanik, termik, listrik, atau kimiawi dipusat atau perifer atau dengan cara menghambat pembentukan prostaglandin sebagai mediator sensasi nyeri (Warsito, 2011). Metode-metode pengujian aktivitas analgesik dilakukan dengan menilai kemampuan zat uji untuk menekan atau menghilangkan ras nyeri yang diinduksi pada hewan percobaan (mencit, tikus, marmot), yang meliputi induksi secara maknik, termik, elekrik, dan secara kimia. Metode pengujian dengan induksi nyeri secara mekanik atau termik lebih sesuai untuk mengevaluasi obat-obat analgetik kuat. Pada umumnya daya kerja analgetika dinilai pada hewan dengan mengukut besarnya peningkatan stimulus nyeri yang harus diberikan sampai ada respon nyeri atau jangka waktu ketahanan hewan terhadap stimulasi nyeri atau juga peranan frekuensi respon nyeri (Kelompok Kerja Phytomedica, 1993).

1.2 Rumusan Masalah 1. Apa respon yang ditimbulkan oleh bahan kimia pada percobaan mencit? 2. Apa respon yang ditimbulkan oleh obat analgetika pada percobaan mencit? 3. Apa respon yang ditimbulkan oleh reaksi termis (hot plate 51 C) pada percobaan mencit? 4. Apa perbandingan hambatan respon nyeri yang ditimbulkan antara kelompok yang diberi obat dengan kelompok kontrol? 1.3 Tujuan 1. Mengamati respon nyeri pada mencit yang ditimbulkan oleh bahan kimia. 2. Mengamati respon menjilat kaki depan atau meloncat (merupakan respon nyeri pada mencit) yang ditimbulkan reaksi termis menggunakan hot plate 51 C. 3. Mengamati hambatan respon nyeri yang timbul setelah pemberian obat analgesik. 4. Membandingkan hambatan respon nyeri yang timbul pada kelompok yang diberi obat dengan kelompok kontrol. 5. Menjelaskan mekanisme kerja obat- obat analgesik. 1.4 Manfaat 1. Mengetahui respon yang ditimbulkan oleh bahan kimia pada percobaan mencit. 2. Mengetahui respon yang ditimbulkan oleh obat analgetika pada percobaan mencit. 3. Mengetahui respon yang ditimbulkan oleh reaksi termis (hot plate 51 C) pada percobaan mencit. 4. Mengetahui perbandingan hambatan respon nyeri yang ditimbulkan antara kelompok yang diberi obat dengan kelompok kontrol pada percobaan mencit. 5. Mengetahui mekanisme kerja obat- obat analgetika.

BAB 2 ALAT, BAHAN dan CARA KERJA 2.1 Alat dan Bahan : Alat : - Lempeng hot plate - Baskom tempat mencit Bahan: - 2 ekor mencit - Metampiron 100mg/cc - Asam asetat 0.6% - Larutan CMC 1% - Kodein - Larutan PZ 2.2 Cara Kerja : 1. Menimbang mencit dan mengelompokkan sesuai obat yang akan diberikan. Kelompok I (kontrol), Kelompok II (metampiron) dan Kelompok III (kodein) 2. Kelompok I diberi CMC 1% dan kelompok II diberi metampiron 100mg/cc 3. Menunggu 30 menit, setelah itu diberi asam asetat 0.6% secara intra peritoneal kemudian ditunggu selama 5 menit. 4. Setelah 5 menit, mencit dimasukkan ke baskom. Kemudian jumlah liukan mencit dihitung dan dicatat tiap 5 menit selama 30 menit. 5. Untuk mencit kelompok III diberikan kodein per oral, kemudian menunggu 30-45 menit. Kemudian menaruh mencit tersebut ke lempeng hot plate dengan suhu 51o C

6. Waktu yang tertera di hot plate dicatat dimulai saat mencit diletakkan ke hot plate hingga menjilat kaki

BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA

3.1 NSAID 3.1.1 Definisi Non-Steroid Anti-Inflamasi, NSAID, merupakan kelompok obat antiinflamasi dan analgesik yang meliputi aspirin, turunan asam propionat (misalnya ibuprofen, fenbrufen, ketoprofen) dan obat-obatan serupa (misalnya diklofenak, difusinal, etodolac, indometasin, meloxicam, prioxicam, sulindac , ketorolac dan asam mefenamat) (Jean, 2009). Tujuan NSAID adalah untuk menekan peradangan dan nyeri dengan menghambat jalur siklooksigenase dan mencegah pelepasan mediator inflamasi (misalnya prostacyclins, prostaglandin dan tromboksan); digunakan untuk mengendalikan peradangan akut dan nyeri (misalnya jaringan lunak atau tulang cedera), peradangan kronis (misalnya terkait dengan osteo-atau rheumatoid arthritis) (Jean, 2009). Efek samping dari penggunaan jangka panjang termasuk mengurangi penyembuhan, kekebalan terganggu, peningkatan kerentanan terhadap infeksi, atrofi epidermis (penipisan kulit), edema perifer, memar dan pendarahan kecenderungan (yaitu efek antiplatelet), iritasi lambung dan / atau ulserasi, tinnitus dan anemia (sekunder untuk perdarahan gastrointestinal) (Jean, 2009). Kontraindikasi NSAID pada penyakit jantung iskemik, penyakit serebrovaskular, penyakit arteri perifer dan gagal jantung, pasien dengan angina atau penyakit jantung iskemik, atau mereka yang berisiko kecelakaan serebrovaskular (stroke) disarankan untuk mengambil aspirin 75mg setiap hari, NSAID saja mungkin tidak memadai untuk mengontrol nyeri pasca operasi (Jean, 2009).

3.1.2 Mekanisme NSAID Mekanisme NSAID dapat dibagi menjadi tiga, dilihat dari efek yang terjadi pada saat peradangan, nyeri, dan demam (Dugowson, et al., 2006). a. Anti-inflammatory effect NSAID menyebabkan efek anti-inflamasi melalui penghambatan

prostaglandin G / H sintase, atau siklooksigenase, yang merupakan enzim yang mengkatalisis transformasi asam arakidonat menjadi prostaglandin dan tromboksan. Enzim ini memiliki dua bentuk, yaitu: cox-1 dan cox-2. Penghambatan selektif cox-2 menyebabkan penurunan efek samping GI. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa aktivasi sel endotel dan ekspresi molekul adhesi sel berperan dalam sirkulasi sel pada peradangan. NSAID dapat menghambat ekspresi molekul-molekul adhesi sel dan dapat langsung menghambat aktivasi dan fungsi neutrofil. b. Analgesic effect Meskipun NSAID diklasifikasikan sebagai analgesik ringan, NSAID memiliki efek yang lebih signifikan pada nyeri akibat meningkatnya sensitisasi perifer yang terjadi selama peradangan. Secara khusus, diyakini bahwa peradangan menyebabkan penurunan ambang respon nociceptors polimodal. c. Antipyretic effect NSAID menyebabkan efek antipiretik mereka dengan penghambatan sintesis prostaglandin E2 (PGE2), yang bertanggung jawab untuk memicu hipotalamus untuk meningkatkan suhu tubuh selama peradangan. (Dugowson, et al., 2006).

3.1.3 Metampiron Metampiron di Indonesia lebih dikenal dengan nama antalgin. Metampiron termasuk salah satu obat derivat metan sulfonat dari amidopyrin yang berkhasiat sebagai analgetik-antipiretik dan antiinflamasi. Analgesik adalah obat untuk

menghilangkan rasa nyeri dengan cara meningkatkan nilai ambang nyeri di sistem syaraf pusat tanpa menekan kesadaran, sedangkan antipiretik merupakan obat

yang menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Jadi analgetik-antipiretik adalah obat yang mengurangi rasa nyeri dan serentak menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Sedangkan antiinflamasi adalah mengatasi inflamasi atau peradangan (Tjay dan Kirana, 2007). Dalam perdagangan, biasanya metampiron diformulasikan dalam bentuk tablet dengan dosis untuk dewasa 500-1000 mg, 3-4 kali sehari dan untuk anakanak 250-500 mg, 3-4 kali sehari. (Widodo,U.,dkk, 1993).

Gambar 1. Struktur Metampiron

Rumus Struktur Nama Kimia

: C13H16N3NaO4S.H2O : Natrium 2,3-dimetil-1-fenil-5-pirazolon-4-

metilaminometanasulfonat Berat Molekul Pemerian Kelarutan Identifikasi : 351,37 : Serbuk hablur, putih atau putih kekuningan. : Larut dalam air dan HCl 0,02 N. : Pada 3 ml larutan 10% b/v, tambahkan 1 ml sampai 2 ml asam klorida 0,02 N dan 1 ml besi (III) klorida 5% b/v terjadi warna biru yang jika dibiarkan berubah menjadi merah kemudian tidak berwarna.

Susut Pengeringan

: Tidak lebih dari 5,5%; lakukan pengeringan pada suhu 105C hingga bobot tetap menggunakan 250 mg zat.

Syarat Kadar

: Metampiron mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 101,0% C13H16N3NaO4S, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.

Sinonim

: Metampiron (Ditjen POM, 2006).

Farmakologi metampiron Metampiron termasuk derivat metan sulfonat dari amidopyrin yang mudah larut dalam air dan cepat diserap ke dalam tubuh. Bekerja secara sentral di otak dalam menghilangkan nyeri, menurunkan demam dan menyembuhkan rheumatik. Metampiron mempengaruhi hipotalamus dalam menurunkan sensitifitas reseptor rasa sakit dan thermostat yang mengatur suhu tubuh (Lukmanto, 1986). Farmakodinamika metampiron Sebagai analgetika, obat ini hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang, misalnya sakit kepala dan juga efektif terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi. Efek analgetiknya jauh lebih lemah dari efek analgetik opiat, obat ini tidak menimbulkan ketagihan (adiksi) dan efek samping sentral yang merugikan. Sebagai antipiretik, obat ini akan menurunkan suhu badan hanya pada keadaan demam. Kerja analgetik metampiron lebih besar dibandingkan dengan kerja antipiretik yang dimilikinya. Sedangkan efek antiinflamasinya sangat lemah (Ganiswara,1981). Farmakokinetik metampiron Fase farmakokinetik adalah perjalanan metampiron mulai titik masuk ke dalam badan hingga mencapai tempat aksinya. Metampiron mengalami proses ADME yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi yang berjalan secara simultan langsung atau tidak langsung melintasi sel membrane (Anief, 1990). Pada pemberian secara oral senyawa diserap cepat dan sempurna dalam saluran cerna. Terdapat 60% metampiron yang terikat oleh protein plasma, masa paru dalam plasma 3 jam. Obat ini dimetabolisme di hati menjadi metabolit utama dan diekskresi melalui ginjal (Widodo, 1993).

Efek yang tidak diharapkan Pada pemakaian yang teratur dan untuk jangka waktu yang lama penggunaan obat yang mengandung metampiron kadang-kadang dapat

menimbulkan kasus agranulositosis fatal. Untuk mendeteksi hal tersebut, selama penggunaan obat ini perlu dilakukan uji darah secara teratur (Lukmanto, 1986). Efek samping lain yang mungkin terjadi ialah urtikaria, leukopenia, trombopenia. Terutama pada pasien usia lanjut terjadi retensi Na dan air dengan edema. Pada kelebihan dosis, terjadi hipotensi, nafas terengah-engah, torus otot meninggi, rahang menutup, kehilangan kesadaran dan serangan kram/kejang cerebral (Widodo, 1993). 3.2 Opioid 3.2.1 Definisi Analgesik Opioid Analgesik merupakan obat yang digunakan untuk menghilangkan nyeri, yang dapat diakibatkan oleh suatu mediator inflamasi atau suatu rangsangan pada pusat nyeri di sistem saraf pusat (CNS) (Eriksen J et al, 2006). Analgesik opioid adalah obat yang daya kerjanya meniru opioid endogen dengan memperpanjang aktivasi dari reseptor-reseptor opioid. Penggunaan analgesik opioid ini pada umumnya yaitu untuk menagani nyeri hebat, namun obat ini juga dapat menyebabkan efek samping yang sering terjadi apabila obat ini digunakan tanpa ada indikasi klinis, misalnya ketergantungan karena opioid dapat meyebabkan suatu sensasi euforia (Hojsted J and Sjogren P, 2007). Opioid dapat diklasifikasikan berdasarkan efek yang dihasilkan setelah mengenai reseptor. Dengan cara ini opioid dapat dianggap sebagai agonis, parsial agonis dan antagonis. Agonis berinteraksi dengan reseptor untuk menghasilkan respon maksimal dari reseptor. Sebaliknya antagonis mengikat reseptor tapi tidak menghasilkan respon fungsional, sementara pada saat yang sama mencegah agonis mengikatkan diri ke reseptor (misalnya, nalokson). Agonis parsial mengikat reseptor tetapi hanya mendapatkan respon fungsional parsial (buprenorphine).

3.2.2 Mekanisme Kerja Analgesik Opioid Mekanisme kerja obat analgetik merupakan sebuah mekanisme fisiologis tubuh terhadap zat-zat tertentu. Obat analgetik bekerja di dua tempat utama, yaitu di perifer dan sentral. Analgetik opioid (analgetik central) bekerja di SSP, memiliki daya penghalang nyeri yang hebat sekali yang bersifat depresan umum (mengurangi kesadaran) dan efek sampingnya dapat menimbulkan rasa nyaman (euforia). Obat ini khusus di gunakan untuk penghalau rasa nyeri hebat (Eriksen J et al, 2006). Golongan obat AINS bekerja diperifer dengan cara menghambat pelepasan mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi. Sedangkan analgetik opioid bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi (Hutchinson K et al, 2007). Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat yang mengalami metabolisme melalui siklooksigenase. Prostaglandin yang lepas ini akan menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses inflamasi, edema, rasa nyeri lokal dan kemerahan (eritema lokal). Selain itu juga prostaglandin . meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap suatu rangsangan nyeri (nosiseptif) (Hutchinson K et al, 2007). Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat. Obat AINS memblok aksi dari enzim COX yang menurunkan produksi mediator prostaglandin, dimana hal ini menghasilkan kedua efek yakni baik yang positif (analgesia, antiinflamasi) maupun yang negatif (ulkus lambung, penurunan perfusi renal dan perdarahan). Aktifitas COX dihubungkan dengan dua isoenzim, yaitu ubiquitously dan constitutive yang diekspresikan sebagai COX-1 dan yang diinduksikan inflamasi COX-2. COX-1 terutama terdapat pada mukosa lambung, parenkim ginjal dan platelet. Enzim ini penting dalam proses homeostatik seperti agregasi platelet, keutuhan mukosa gastrointestinal dan fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat inducible dan diekspresikan terutama pada tempat trauma (otak dan ginjal) dan

menimbulkan inflamasi, demam, nyeri dan kardiogenesis. Regulasi COX-2 yang transien di medulla spinalis dalam merespon inflamasi pembedahan mungkin penting dalam sensitisasi sentral (Eriksen J et al, 2006). 3.2.3 Codeine Gambaran Umum Seperti morfin, codein merupakan jenis opioid yang berasal dari poppy plant. Codein dimetabolisme sebagian morfin, diyakini menjelaskan efek analgesik. Codein merupakan opioid yang paling sering digunakan degan digabungkan penggunaannya bersama non-opioid untuk mengatasi nyeri. 30 mg codein dikombinasikan dengan aspirin sama dengan efek analgesic 65 mg codein. Kombinasi dari obat mempunyai keuntungan mengurangi jumlah opioid yang dibutuhkan untuk meringankan rasa nyeri dan penghapusan nyeri lelalui mekasime yang berbeda, inhibisi sistesis prostanoid, dan inhibisi opioid dari transmisi nociceptive. Ketika diberikan sendiri (tanpa ditambahkan apa-apa), secara oral codein mempunyai sekitar satu sampai lima kali potensi dari morfin untuk mengatasi nyeri. Pemberian codein secara intravena mempunyai tendensi lebih hebat untuk merilis histamine dan menyebabkan vasodilatasi dan hipotensi daripada morfin. Oleh karena itu penggunaan codein secara intravena jarang sekali dilakukan. Codeinn sedikit adiktif dan menyebabkan sedikit euphoria (Welch, 2008). Indikasi Codein digunakan untuk terapi simptomatis batuk non-produktif. Codein merupakan obat reference standard dalm penelitian obat batuk lain. Dalam dosis antitusif biasa, codein memiliki efek analgesic ringan dan efek sedative. Efek analgesic codein ini dapat dimanfaatkan untuk batuk yang disertai dengan nyeri dan ansietas (Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2004). Codein diindikasikan untuk perawatan nyeri dari tingkat mild (ringan) sampai moderate (sedang) dan digunakan juga untuk antitussive. Codein digunakan secara luas sebagai antitussive opioid karena pada dosis antitusive

mempunyai efek samping yang sedikit dan mempunyai oral bioavailability yang bagus (Welch, 2008). Codein (metil morfin) masih merupakan antitusif yang paling banyak digunakan di klinik. Uji klinik terkontrol telah memperlihatkan keefektifan codein dalam batuk eksperimen dan batuk patologik akut dan kronis (Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2004). Sediaan Codein terdapat dalam bentuk tablet codein sulfat atau codein fosfat berisi 10,15, dan 20 mg. dosis biasa dewasa: 10-30 mg setiap 4-6 jam. Dosis yang lebih besar tidak lagi menambah efek secara proporsional. Dosis anak: 1-1,5 mg/kg BB/hari dalam dosis terbagi (Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2004). Farmakokinetik Codein diserap baik pada pemberian oral dan puncak efeknya ditemukan 1 atau 2 jam, dan berlangsung selama 4-6 jam. Metabolism terutama di hepar, dan diekskresi ke dalam urine dalam bentuk tidak berubah, diekskresi komplet setelah 24 jam. Dalam jumlah kecil ditemukan dalam air susu ibu (Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2004). Farmakodinamik Kodein bertindak terpusat. Codein memiliki efek analgesik, yang dianggap terutama karena konversi metabolik parsialnya dengan morfin. Kodein memiliki sekitar seperenam aktifitas analgesik dari morfin (Anonim, 2005).

Efek samping, Interaksi Obat dan Dosis Berlebih Efek samping dan interaksi obat dengan codein sama dengan morfin, meskipun codein kurang intens. Overdose pada anak-anak menghasilkan efek yang sama seperti overdose morfin, seperti depresi nafas, miosis, dan coma ; gejala-gejala tersebut dapat diterapi dengan pemberian naloxone (Welch 2008).

Dosis kecil (10-30 mg) codein sering digunakan sebagai obat batuk, jarang ditemukan efek samping, dan kalau ada tidak lebih tinggi dari placebo. Efek samping dapat berupa mual, pusing, sedasi, anoreksia, dan sakit kepala. Dosis lebih tinggi (60-80 mg) dapat menimbulkan kegelisahan, hipotensi ortostatik, vertigo, dan midriasis. Dosis lebih besar lagi (100-500 mg) dapat menimbulkan nyeri abdomen atau konstipasi. Kadang-kadang timbul reaksi alergi, seperti dermatitis, hepatitis, trombopenia, dan anafilaksis. Depresi pernafasan dapat terlihat pada dosis 60 mg dan depresi nyata terjadi pada dosis 120 mg setiap beberapa jam. Oeh karena itu, dosis tinggi berbahaya untuk penderita dengan kelemahan pernafasan, khususnya penderita dengan retensi CO2. Dosis fatal codein ialah 800-1000 mg. Kelebihan dosis paling sering terjadi pada anak-anak, dan terutama harus diperhatikan pada neonaus dengan perkembangan hepar dan ginjal yang belum sempurna atau dengan diuresis yang berkurang sehingga dapat terjadi efek kumulatif yang memperdalam koma atau mempercepat kematian. Antagonis opioid seperti nalokson dapat bermanfaat untuk terapi kelebihan dosis. Potensi ketergantungan relative rendah dibandingkan jenis opioid lain. Untuk dapat menimbulkan ketergantungan fisik, codein harus diberikan dalam dosis tinggi setiap beberapa jam untuk jangka waktu lama, mungkin 1 bulan atau lebih (Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2004). 3.3 Nyeri 3.3.1 Definisi Nyeri adalah suatu gejala dalam merasakan subyek dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan serta termasuk suatu komponen sensori, komponen diskriminatori, respon-respon yang mengantarkan ataupun reaksireaksi yang ditimbulkan oleh stimulus dalam suatu kasus nyeri. Secara umum nyeri merupakansuatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Menurut

International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual

maupun

potensial,

atau

menggambarkan

kondisi

terjadinya

kerusakan

(Rinaningsih, 2011). Nyeri sangat penting sebagai mekanisme proteksi tubuh yang timbul bilamana jaringan sedang dirusak dan menyebabkan individu bereaksi untuk menghilangkan rangsang nyeri ini (Rinaningsih, 2011). Pada Pertemuan Ilmiah Nasional I (PB PAPDI), menyatakan nyeri sebagai perasaan atau pengalaman emosional yang disebabkan dan berhubungan dengan terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Persepsi nyeri sangat bersifat individual, banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor non fisik, bukan hanya merupakan gangguan fisik tetapi merupakan kombinasi dari faktor fisiologis, patologis, emosional, psikologis, kognitif, lingkungan dan sosial (Isbagio, 2003). 3.3.2 Fisiologi Nyeri Ada tiga jenis sel saraf dalam proses penghantaran nyeri yaitu sel syaraf aferen atau neuron sensori, serabut konektor atau interneuron dan sel saraf eferen atau neuron motorik.Sel-sel syaraf ini mempunyai reseptor pada ujungnya yang menyebabkan impuls nyeri dihantarkan ke sum-sum tulang belakang dan otak. Reseptor-reseptor ini sangat khusus dan memulai impuls yang merespon perubahan fisik dan kimia tubuh. Reseptor-reseptor yang berespon terhadap stimulus nyeri disebut nosiseptor. Stimulus pada jaringan akan merangsang nosiseptor melepaskan zat-zat kimia, yang terdiri dari prostaglandin, histamin, bradikinin, leukotrien, substansi p, dan enzim proteolitik. Zat-zat kimia ini akan mensensitasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls ke otak (Torrance & Serginson, 1997). Kornu dorsalis dari medula spinalis dapat dianggap sebagai tempat memproses sensori. Serabut perifer berakhir disini dan serabut traktus sensori asenden berawal disini. Juga terdapat interkoneksi antara sistem neural desenden dan traktus sensori asenden. Traktus asenden berakhir pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan impuls-impuls dipancarkan ke korteks serebri. Agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada sistem asenden harus diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak dalam kulit dan organ

internal. Terdapat interkoneksi neuron dalam kornu dorsalis yang ketika diaktifkan, menghambat atau memutuskan taransmisi informasi yang menyakitkan atau yang menstimulasi nyeri dalam jaras asenden. Seringkali area ini disebut gerbang. Kecendrungan alamiah gerbang adalah membiarkan semua input yang menyakitkan dari perifer untuk mengaktifkan jaras asenden dan mengaktifkan nyeri. Namun demikian, jika kecendrungan ini berlalu tanpa perlawanan, akibatnya sistem yang ada akan menutup gerbang. Stimulasi dari neuron inhibitor sistem asenden menutup gerbang untuk input nyeri dan mencegah transmisi sensasi nyeri (Torrance & Serginson, 1997). 3.3.3 Mekanisme Nyeri / Fisiologi Nyeri Teori Gate Control yang dikemukakan Melzack dan Wall merupakan teori yang komprehensif dalam menjelaskan transmisi dan persepsi nyeri.1 Dalam teori ini dijelaskan bahwa Substansia Gelatinosa (SG), yaitu suatu area dari sel-sel khusus pada bagian ujung dorsal serabut saraf sumsum tulang belakang (spinal cord) yang berperan sebagai mekanisme pintu gerbang (gating mechanism).

Mekanisme pintu gerbang ini dapat memodifikasi dan merubah sensasi nyeri yang datang sebelum sampai di korteks serebri dan menimbulkan persepsi nyeri (Lavelle, 1988).

Gambar 1.. Teori Gate Control (Walton, 1998)

Prinsip dasar Teori Gate Control (gambar 1), yaitu : (Walton, 1998) 1. Masuknya aktivitas saraf aferen dimodulasi oleh mekanisme pembukaan / penutupan gerbang (gating mechanism) di dalam tanduk dorsal korda spinalis dan batangotak. Gerbang ini merupakan inhibitor atau fasilitator bagi aktivitas sel Transmisi (T) yang membawa aktivitas lebih jauh sepanjang jalur saraf. 2. Gerbang dipengaruhi oleh derajat relatif dari aktivitas serabut beta A dengan diameter besar, serabut delta A diameter kecil serta serabut C. Serabut beta A diameter besar diaktifkan oleh stimuli tidak berbahaya dan pada aktifitas serabut aferen besar cenderung menutup gerbang sedangkan aktifitas serabut kecil cenderung membukanya. 3. Mekanisme kontrol serabut saraf desendens dari tingkatan yang lebih tinggi di susunan saraf pusat dipengaruhi oleh proses kognitif, motivasional dan afektif.Derajat mekanisme yang lebih tinggi ini juga memodulasi gerbang. Aktivitas di dalam serabut aferen besar tidak hanya cenderung menutup gerbang secara langsung tetapi juga mengaktifkan mekanisme kontrol pusat yang menutup gerbang. 4. Saat gerbang terbuka dan aktivitas di dalam aferen yang baru masuk cukup untuk mengaktifkan sistem transmisi, dua jalur asendens utama diaktifkan. Yang pertama adalah jalur sensoris-diskriminatif, yang bersambung dengan korteks somatosensoris serebri melalui thalamus ventroposterior. Jalur ini memungkinkan penentuan tempat nyeri. Kedua, jalur asendens yang melibatkan informasi retikuler melalui sistem thalamus dan limbus medial. Jalur ini berurusan dengan rasa tidak enak, penolakan (aversif) dan aspek emosional dari nyeri. Jalur desendens, selain berpengaruh pada gerbang tanduk dorsal, dapat juga berinteraksi dengan kedua sistem asendensini. Didapat banyak asosiasi antara rasa nyeri dan depresi. Penderita depresi sering mengeluh adanya rasa nyeri dan sebagian besar penderita nyeri kronik menjadi depresif. Terkadang didapatkan kesulitan menemukan penyebab yang primer (seperti masalah nyeri atau masalah depresinya) dan dalam menentukan

faktor psikologis yang mengeksaserbasi rasa nyeri. Hal ini mempunyai implikasi terapeutik dan memberi dasar rasional terhadap penggunaan obat yang meringankan atau menghilangkan kecemasan.Sering hal ini sama efektifnya dengan analgetik dalam menanggulangi rasa nyeri (Lumantobing, 2001). 3.3.4 Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Mekanisme Nyeri 1. Nyeri fisiologis, terjadinya nyeri oleh karena stimulasi singkat yang tidak merusak jaringan, misalnya pukulan ringan akan menimbulkan nyeri yang ringan. Ciri khas nyeri sederhana adalah terdapatnya korelasi positif antara kuatnya stimuli dan persepsi nyeri, seperti semakin kuat stimuli maka semakin berat nyeri yang dialami (Meliala, 2003). 2. Nyeri inflamasi, terjadinya nyeri oleh karena stimuli yang sangat kuat sehingga merusak jaringan. Jaringan yang dirusak mengalami inflamasi dan menyebabkan fungsi berbagai komponen nosiseptif berubah. Jaringan yang mengalami inflamasi mengeluarkan berbagai mediator inflamasi, seperti: bradikinin, leukotrin, prostaglandin, purin dan sitokin yang dapat mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor secara langsung maupun tidak langsung. Aktivasi nosiseptor menyebabkan nyeri, sedangkan sensitisasi nosiseptor menyebabkan hiperalgesia. Meskipun nyeri merupakan salah satu gejala utama dari proses inflamasi, tetapi sebagian besar pasien tidak mengeluhkan nyeri terus menerus. Kebanyakan pasien mengeluhkan nyeri bila jaringan atau organ yang berlesi mendapat stimuli, misalnya: sakit gigi semakin berat bila terkena air es atau saat makan, sendi yang sakit semakin hebat bila digerakkan (Meliala, 2003). 3. Nyeri neuropatik adalah nyeri yang didahului dan disebabkan adanya disfungsi primer ataupun lesi pada sistem saraf yang diakibatkan: trauma, kompresi, keracunan toksin atau gangguan metabolik. Akibat lesi, maka terjadi perubahan khususnya pada Serabut Saraf Aferen (SSA) atau fungsi neuron sensorik yang dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya, sehingga menimbulkan gangguan keseimbangan. Gangguan keseimbangan tersebut

dapat melalui perubahan molekuler sehingga aktivasi SSA (mekanisme perifer) menjadi abnormal yang selanjutnya menyebabkan gangguan fungsi sentral (mekanisme sentral) (Meliala, 2003).

Berdasarkan Kemunculan Nyeri Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu :
1. Nyeri akut, nyeri yang biasanya berhubungan dengan kejadian atau

kondisi yang dapat dideteksi dengan mudah. Nyeri akut merupakan suatu gejala biologis yang merespon stimuli nosiseptor (reseptor rasa nyeri) karena terjadinya kerusakan jaringan tubuh akibat penyakit atau trauma Nyeri ini biasanya berlangsung sementara, kemudian akan mereda bila terjadi penurunan intensitas stimulus pada nosiseptor dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. Contoh nyeri akut ialah nyeri akibat kecelakaan atau nyeri pasca bedah (Isbagio, 2003).
2. Nyeri kronik, nyeri yang dapat berhubungan ataupun tidak dengan

fenomena patofisiologik yang dapat diidentifikasi dengan mudah, berlangsung dalam periode yang lama dan merupakan proses dari suatu penyakit. Nyeri kronik berhubungan dengan kelainan patologis yang telah berlangsung terus menerus atau menetap setelah terjadi penyembuhan penyakit atau trauma dan biasanya tidak terlokalisir dengan jelas (Meliala, 2003; Isbagio, 2003) .Nyeri wajah atipikal adalah salah satu nyeri kronik (Nuartha, 2003). Berdasarkan Klasifikasi Nyeri Wajah Nyeri pada wajah ataupun rongga mulut dapat diklasifikasikan dalam 3 kategori yaitu:
1. Nyeri somatik, nyeri yang dapat dihasilkan dari stimulasi reseptor-reseptor

neural ataupun saraf-saraf periferal. Jika stimulasi bermula dari bagian superfisial tubuh, karakteristik klinisnya, seperti: nyeri dengan kualitas menstimulasi, lokalisasi nyeri yang tepat, adanya hubungan yang akurat

antara tempat lesi dan sumber nyeri serta cara menghilangkan nyeri yang temporer dengan aplikasi anestesi topikal. Jika stimulasi bermula dari bagian dalam tubuh, karakteristik klinisnya, seperti: nyeri dengan kualitas mendepresikan, lokalisasi beragam dari nyeri yang menyebar, lokasi dari nyeri bisa ataupun tidak berhubungan dengan tempat lesi, sering menunjukkan efek-efek sekunder dari perangsangan pusat (Lavelle, 1988).
2. Nyeri neurogenik, nyeri yang dihasilkan dalam sistem sarafnya sendiri,

reseptor saraf ataupun stimulasi serabut yang tidak diperlukan. Karakteristik klinis dari nyeri neurogenik, yaitu: nyeri seperti membakar dengan kualitas menstimulasikan, lokalisasi baik, adanya hubungan yang tertutup diantara lokasi dari nyeri dan lesi, pengantaran nyeri mungkin dengan gejala-gejala sensorik, motorik dan autonomic (Lavelle, 1988).
3. Nyeri psikogenik, nyeri yang dapat memunculkan intensifikasi nyeri

somatik atau neurogenik dan juga merupakan suatu manifestasi psikoneurotik. Karakteristik dari nyeri psikogenik, seperti: lokasi nyeri selalu tidak mempunyai hubungan dengan suatu penyebab yang mungkin, tindakan klinis dan respon pada pengobatan mungkin non fisiologis, tidak diharapkan dan tidak biasa. psikogenik (Nuartha, 2003).
10

Nyeri wajah Atipikal adalah salah satu nyeri

BAB 4 HASIL PRAKTIKUM Hasil praktikum percobaan analgetika pada mencit. 1. Percobaan I (Mengamati liukan mencit kontrol dan telah diberi obat) Tiap 5 menit I II III IV V VI Nb : Satuan dalam liukan 2. Percobaan II (Mengalami mencit yang menjilat kaki belakang) Mencit Kontrol : 28,7 detik Mencit Ekor Hijau : 27 detik 3. Hasil Rata-rata Percobaan Tiap kelompok Mencit Kontrol 10 30 20 13 13 8 Mencit Ekor Merah 17 18 15 9 5

I.

Jumlah Liukan

Kelompok I II III IV V VI JUMLAH

Kontrol 97 85 27 94 97 112 512 85,3

Ekor Merah 35 101 22 64 35 101 358 59,57

II.

HOT PLATE Kontrol 26,1 30,6 26,5 28,7 27 29,4 168,3 28,05 Ekor Hijau 23 23,4 49,5 27 19,4 38,9 181,2 30,2

Kelompok I II III IV V VI JUMLAH RATA-RATA Nb : dalam satuan detik

BAB 5 PEMBAHASAN 5.1 Pembahasan

Analgetika adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi atau menghalau rasa sakit atau nyeri. Percobaan ini dilakukan terhadap hewan percobaan, yaitu mencit (Mus muscullus). Metode rangsang kimia digunakan berdasar atas rangsang nyeri yang ditimbulkan oleh zat-zat kimia yang digunakan untuk penetapan daya analgetika. Pada hasil dalam kelompok kami, kami telah menguji dua mencit yaitu melalui dua percobaan. Percobaan yang pertama adalah percobaan untuk melihat rasa nyeri yang dialami oleh mencit kontrol dan mencit yang telah diberi obat terlebih dahulu, yaitu mencit yang diberi dan Metaphiron. Kemudian kedua mencit yang telah diberi obat tersebut kemudian disuntik dengan asam asetat untuk mengetahui efek rasa nyeri pada mencit . Dan setelah dihitung pada saat 5 menit pertama dapat dilihat dari hasil kami bahwa mencit berwarna putih yaitu mencit kontrol sudah mulai meliuk-liuk merasakan nyeri, dan pada hasil kami dapat diketahui liukan mencit sudah ada yaitu10 liukan dan sedangkan mencit yang sudah diberi obat Metampiron pada 5 menit pertama belum merasakan liukan rasa nyeri. Hal ini merupakan akibat dari mencit yang telah diberikan Metampiron yaitu salah satu obat analgesik yang berfungsi untuk mengurangi rasa nyeri, dengan kesadaran tetap. Obat ini berinteraksi dengan reseptor opioid sehaingga dapat memberikan efek pada sistem saraf. Nyeri ini sendiri memberikan stimulus dan menggangu membran sel kemudian masuk ke dalam phospolipid dalam phospolipid stimulasi ini dibantu dengan phospolipase A dirubah menjadi asam arachinodic dan dengan obat ini maka asam arachinodic akan menyerang prostaglandin, namun dengan obat NSAID ini maka rangsang yang diberikan akan

dihambat oleh NSAID, sehingga nyeri yang diberikan stimulus tidak berlangsung sepenuhnya. Dan dapat dilihat juga pada mencit yang telah diberikan Metampiron rasa nyeri yang dirasakan berangsur-angsur berkurang secara lebih cepat dibandingkan dengan mencit yang tidak diberikan obat. Percobaan menggunakan metode Witkins yang ditujukan untuk melihat respon mencit terhadap asam asetat yang dapat menimbulkan respon menggeliat dari mencit ketika menahan nyeri pada perut. Langkah pertama yang dilakukan adalah pemberian obat-obat analgetik pada tiap mencit. Setelah 30 menit, mencit disuntik secara intraperitoneal dengan larutan induksi asam asetat 0,6 %. Pemberian dilakukan secara intraperitoneal karena untuk mrncegah penguraian asam asetat saat melewati jaringan fisiologik pada organ tertentu. Dan laruran asam asetat dikhawatirkan dapat merusak jaringan tubuh jika diberikan melalui rute lain, misalnya per oral, karena sifat kerongkongan cenderung bersifat tidak tahan terhadap pengaruh asam. Setelah 5 menit dari pemberian larutan asam asetat 0,6%, mencit menggeliat dengan ditandai perut kejang dan kaki ditarik ke belakang. Jumlah geliat mencit dihitung setiap 5 menit selama 30 menit. Pengamatan yang dilakukan agak rumit karena praktikan sulit membedakan antara geliatan yang diakibatkan oleh rasa nyeri dari obat atau karena mencit merasa kesakitan akibat penyuntikan intraperitoneal pada perut mencit. Pada percobaan untuk rasa nyeri yang diinduksi dengan hot plate (thermis), respon nyeri diperlihatkan oleh mencit dengan menjilat telapak kaki. Obat yang digunakan adalah kodein per oral. Suhu dari hot plateadalah 51C. Kodein atau methylmorphine merupakan golongan narkotik yang pada umumnya digunakan untuk analgesik, antitussive, dan antidiarrheal. Disini mekanisme kerja kodein dalam menghambat rasa nyeri adalah sebagaimana sudah dijelaskan pada paragraf sebelumnya bahwa kodein merupakan salah satu golongan opioat dimana memberikan efek

seperti morfin yang bila diteruskan maka akan mengakibatkan efek adiksi. Asal obat ini pula berasal dari morphin, semisintetik, dan sintetik. Mekanisme kerja dari kodein ini adalah berinteraksi dengan reseptor opiat di Sistem Saraf Pusat dan memberikan efek. Reseptor yang memodulasi transmisi nyeri yang kemudian menurunkan persepsi nyeri dengan cara menyekat nyeri pada berbagai tingkat, terutama di otak tengah dan medulla spinalis. Respetor opiat sendiri ada 3 yaitu, Reseptor (mu) : Berperan dalam analgesia supraspinal, depresi respirasi, euforia, dan ketergantungan, dan pada reseptor (kappa) : berperan dalam analgesia spinal, miosi dan sedasi, dan pada reseptor (delta) : menyebabkan disforia, halusinasi, stimulasi pusat vasomotor. Dan pada percobaan Hot plate kali ini dilakukan pada dua mencit, yaitu pada mencit berekor putih atau kontrol mencit tidak diberi apa-apa dan dimasukkan ke dalam hot plate bersama-sama dengan ditekannya alat memulai untuk memanaskan kaki mencit. Disini akan tampar respon rasa nyeri pada mencit yang diletakkan pada alat percobaan hot plate pada suhu 500 C. Pada suhu ini mencit dapat merasakan rasa nyeri dengan menjilat kaki belakang mencit ini ditandai adanya perbedaan suhu kaki mencit dengan suhu hot plate dimana ketika mencit merasakan respon rasa nyeri mencit akan menjilat kaki belakang mencit dengan maksud untuk menyamakan kembali temperatur kaki mencit pada suhu yang semula. Dan pada mencit kontrol kami didapatkan 28,7 detik mencit mulai merasakan nyeri. Sedangkan pada mencit yang telah diberi tanda hijau pada bagian ekor telah diberi obat yaitu Kodein. Seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa kodein merupakan obat analgesik yang berperan untuk menghambat rasa nyeri. Namun pada percobaan kami, mencit yang telah diberi Kodein sebelumnya jauh dapat merasakan respon rasa nyeri lebih cepat, ini mungkin dikarenakan karena yang pertama mencit yang kami letakkan tidak bersamaan penghitungannya dengan saat hot plate ditekan, sehingga perhitungan detik dimulai lebih dahulu sebelum mencit diletakkan, yang kedua alat percobaan hot plate yang kami pakai sudah dimulai pada suhu langsung 500 C sehingga berbeda dengan mencit kontrol

dimana hot plate dimulai pada suhu normal yang kemudian berangsur-angsur naik, sehingga mencit dapat membiasakan diri terlebih dahulu. 5.2 Dikusi Pertanyaan 1. Rangsang rusak (naksus) apa saja yang dapat menimbulkan rasa nyeri? Rangsang rusak (naksus) yang dapat menimbulkan rasa nyeri antara lain rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis. Rangsangan tersebut dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Nocireseptor ini terdapat diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan di salurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan amat benyak sinaps via sumsumtulang belakang, sumsum lanjutan, dan otak tengah. Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri. 2. Rasa nyeri yang diamati sebenarnya adalah respon nyeri. Respon nyeri apa saja yang dapat terlihat? Pada percobaan yang telah dilakukan respon nyeri dilihat dengan adanya liukan mencit. Sedangkan respon nyeri akibat rangsangan thermal dengan hot plate ditunjukkan oleh mencit dengan menjilat kakinya. 3. Bagaimana hasil percobaan dengan metampiron? Berikan penjelasannya! Apakan perbedaan rasa nyeri pada kelompok I dibandingkan kelompok II? Pada percobaan dengan metampiron (kelompok I) mencit memperlihatkan respon nyeri yang lebih sedikit dibanding pada mencit kontrol (kelompok II). Hal tersebut dikarenakan metampiron memiliki efek analgesik atau penghambat rasa nyeri, sehingga pada percobaan dengan rangsang thermal (hot plate) mencit yang diberi

suntikan metampiron hanya menunjukkan sedikit respon nyeri dengan menjilat kakinya. 4. Apakah kegunaan khusus metampiron? Bagaimana cara kerjanya? Apakah efek sampingnya? Apakah kontraindikasinya? Kegunaan khusus metampiron adalah sebagai analgesik, untuk mengobati nyeri akut atau kronik hebat bila analgesik lain tidak menolong. Selain itu metampiron juga memiliki efek farmakodinamik lain seperti antipiretik, menurunkan demam bila tidak dapat diatasi dengan antipiretik lain dan anti-Inflamasi, namun efek anti radang yang dihasilkan rendah. Cara kerja: metampiron adalah derivat metansulfonat dan amidopirina yang bekerja terhadap susunan saraf pusat yaitu mengurangi sensitivitas reseptor rasa nyeri dan mempengaruhi pusat pengatur suhu tubuh. Efek samping metampiron dapat muncul seperti gejala kepekaan (ruam, alergi). Pada penggunaan teratur dan jangka panjang dapat menyebabkan gangguan saluran cerna, tinitus (telingga berdenging), anemia aplastik atau gangguan / terhambatnya pembentukan sel darah merah. Efek samping lainnya yaitu peradangan mulut, hidung, tenggorokan serta tremor, syok hingga menimbulkan agranulositosis yaitu berkurangnya jumlah granulosit dalam darah. Kontraindikasi metampiron: a. Pada penderita yang alergi terhadap derivat pirazolon. Kasus porfiria hati (amat jarang) dan defisiensi bawaan glukosa-6-fosfatdehidrogenase. b. c. d. e. f. Penderita yang hipersensitif. Bayi 3 bulan pertama atau dengan berat badan dibawah 5 kg. Wanita hamil terutama 3 bulan pertama dan 6 minggu terakhir. Penderita dengan tekanan darah < 100 mmHg Penderita glaukoma sudut sempit

5. Jelaskan mekanisme kerja metampiron (NSAID)!

Metampiron termasuk dalam non-steroid anti-inflamatory drug (NSAID) yang dapat mengurangi rasa nyeri dengan menghambat enzim siklooksigenase (cox-1 dan cox-2) sehingga tidak terbentuk mediatormediator nyeri yaitu prostaglandin dan tromboksan. 6. Jelaskan mekanisme kerja kodein! Kodein merupakan obat analgesik opioid yang metabolit aktifnya mengikat dan mengaktifkan reseptor myu (). Kodein merangsang reseptor dalam SSP, juga menyebabkan depresi pernapasan, vasodilasi perifer, inhibisi gerak peristaltik usus, stimulasi dari chemoreceptors yang menyebabkan muntah, peningkatan nada kandung kemih dan menekan refleks batuk pada medula oblongata.

BAB 6 PENUTUP

Kesimulan Analgetika merupakan obat yang digunakan untuk menghalau atau mengurangi rasa sakit atau rasa nyeri. Metampiron merupakan obat analgesik golongan NSAID yang berperan mengurangi rasa nyeri dengan cara mengambat rangsang nyeri. Sedangkan Kodein merupakan analgesik golongan opioid yang memodulasi transmisi nyeri dan menurunkan persepsi nyeri dengan cara menyekat nyeri pada berbagai tingkat.

DAFTAR PUSTAKA 1. Anief, M. (1991). Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Halaman 25 2. Anonim. 2005. CORE CODEINE PRODUCT INFORMATION. Available from: http://www.asmi.com.au/industry/PI_codein.pdf. Accessed : May, 29th 2013. Craig,RC, Welch,SP. 2008. Modern Pharmacology with Clinical Aplication: Opioid and Nonopioid Analgesics. 6th ed. Richmond: Virginia Commonwealth University 321-322 3. Ditjen POM. (2006). Cara Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 77, 237 4. Dugowson,C MD, MPH And Gnanashanmugam,P MD; 2006 ; Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs; Division of Rheumatology, University of Washington; 17 (2006) p347354 5. Eriksen J et al. 2006. Critical issues on opioids in chronic non-cancer pain: An epidemiological study Pain.Vol 125 :172179 6. Ganiswara, S., (1981). Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Halaman 207-210, 215-216 7. Hojsted J and Sjogren P. 2007. Addiction to opioids in chronic pain patients: A literature review European Journal of Pain .11: 490-518 8. Hutchinson K et al. 2007. Exploring beliefs and practice of opioid prescribing for persistent non-cancer pain by general practitioners European Journal of Pain. 11: 9398 9. Isbagio H. 2003.Penatalaksanaan nyeri sebagai model pendekatan interdisiplin pada pasien geriatrik. Di dalam: Prodjosudjadi W, Setiati S, Alwi I, eds. Pertemuan Ilmiah Nasional I. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003: 168-79. 10. Kelompok Kerja Phyto Medica. 1993. Penapisan Farmakologi, Pengujian Fitokimia dan Pengujian Klinis. Jakarta: Yayasan Phytomedica. hal. 3-6. 11. Lavelle CLB. Applied oral physiology. 2nd ed. London: Butterworth & Co, 1988: 1-11.

12. Lukmanto, H. (1986). Informasi Akurat Produk Farmasi di Indonesia. Edisi II. Jakarta. Halaman 112 13. Lumantobing SM. 2001. Neurogeriatry. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,pp.135-57. 14. Meliala L.2003.Nyeri orofasial, mekanisme dan farmakoterapi. Jurnal Ilmiah dan Teknologi Kedokteran Gigi.; 1(2): 123-8. 15. Mooney, Jean ; 2009 ; Illustrated Dictionary of Podiatry and Foot Science ; Elsevier Limited 16. Neal, M.J, 2006 At a Glance Farmakologi Medis Edisi V, Erlangga, Jakarta, hal 65 17. Nuartha AABN. 2003. Nyeri kepala dan wajah. Di dalam: Harsono, eds. Kapita selekta neuralgia. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press, pp: 237-8, 248. 18. Rinaningsih, Wahyu. 2011. Xerostomia Akibat Penggunaan Tramadol. Available: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/24986 19. Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. 2004. Kumpulan Kuliah Farmakologi, Ed.2. Jakarta: EGC. 561 20. Tjay, T., dan Kirana, R. (2007). Obat-obat Penting. Edisi VI. Jakarta: PT. Gramedia. Halaman 312-315 21. Walton RE. 1998. Prinsip dan praktik ilmu endodonsi. Alih Bahasa: Narlan Sumawinta, Winiarti Sidharta, Bambang Nursasongko. Jakarta: EGC, pp: 643-59). 22. Wasito, H., 2011, Obat Tradisional Kekayaan Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, pp. 13-14, 27. 23. Widodo, U. (1993). Kumpulan Data Klinik Farmakologik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Halaman 313-314

You might also like