You are on page 1of 10

PP5202 Dampak Pariwisata Program Magister Perencanaan Kepariwisataan, Institut Teknologi Bandung, 2013

Dampak Sosial Pada Pariwisata


Ahmad Rimba Dirgantara NIM 95712002
Abstrak

Studi pada makalah ini berkaitan dengan dampak yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat, yang terjadi akibat dari adanya kegiatan pariwisata di daerahnya. Tingginya jumlah wisatawan yang berkunjung ke suatu daerah atau objek wisata dapat berakibat positif maupun negatif. Untuk mengetahui pertumbuhan pengunjung, digunakan pendekatan teori Bulter sebagai acuan, teori ini merupakan implikasi dari dampak sosial pariwisata. Sedangkan pada dampak yang terlihat secara langsung menurut Ritchie dan Zins (1978) ialah handicraft, pakaian tradisional dan tekstil, bahasa, tradisi, gastronomy, arsitektur, agama, pakaian dan leisure aktivitas. Metode yang digunakan pada makalah ini ialah dengan menggunakan metode deskriptif dengan sumber data melalui data sekunder sebagai penguat argumen. Hasil dari makalah ini, diharapkan dapat dijadikan bahan studi kepariwisatan menyangkut dampak sosial yang dihasilkan oleh pariwisata.
Kata kunci: Dampak sosial, Pariwisata, Tourism life cycle, Bali.

Pendahuluan

Pariwisata telah menjadi sektor yang memberikan kontribusi signifikan dari ekonomi global. Selama tahun 1996 Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) memperkirakan bahwa ada total 592 juta pariwisata kedatangan internasional, meningkat 4,5 persen dari tahun 1995. Pengeluaran dari wisatawan ini berjumlah sekitar $, US423 miliar, atau meningkat 7,6 persen pada tahun sebelumnya. Dari data terbaru UNWTO menyebutkan bahwa kedatangan wisatawan internasional melampaui angka 1 miliar untuk pertama kalinya pada tahun 2012, mencapai total 1,035 miliar turis, 39 juta lebih dari tahun 2011. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pertumbuhan pariwisata sangat pesat. Pesatnya pertumbuhan pariwisata selain berdampak positif juga berdampak negatif. Gee (1989) dalam bukunya yang berjudul The Travel Industry, mengatakan bahwa as tourism grows and travelers increases, so does the potential for both positive and negative impacts . (Gee mengatakan adanya dampak atau pengaruh yang positif maupun negatif karena adanya pengembangan pariwisata dan kunjungan wisatawan yang meningkat). Dampak positif bisa terlihat jelas dan dapat diukur pada sektor ekonomi, disamping dampak negatifnya. Sedangkan pada sektor sosial budaya, dampak positif dan negatifnya sulit untuk diukur namun bisa terlihat jelas pada handicraft, pakaian tradisional dan tekstil, bahasa, tradisi, gastronomy, arsitektur, agama, pakaian dan leisure aktivitas. Kedelapan hal itu sebagaimana identifikasi menurut Ritchie dan Zins (1978). Untuk lebih jelas mengetahui dampak pariwista dapat mengacu pada Teori Butler sebagai acuan untuk melihat dampak sosial dari pariwisata. Dalam teori Butler, dimulai dari tahap exploration, involvement, development , consolidation and stagnation, decline or rejuvenation memiliki keterkaitan terhadap sikap masyarakat lokal terhadap wisatawan atau turis. Teori ini merupakan teori siklus destinasi pariwisata disamping teori lain yang berhubungan dengan sikap host communities (masyarakat lokal) terhadap wisatawan. Teori Doxey (1975) dan Milligan (1989) akan memaparkan lebih rinci mengenai sikap dari masyakarat lokal terhadap wisatawan atau turis.
Implikasi teori Butler pada dampak sosial pariwisata

Butler mengidentifikasikan enam tingkatan dalam evolusi area pariwisata, teori ini berhubungan dengan product lifecyle dalam teori marketing. Tingkatannya sebagai berikut: 1. The exploration stage Pada tingkatan satu ini, karakteristik wisatawan senang mengexplorasi atau berpetualang, dimana hanya sebagaian kecil pengunjung. Dalam identifikasi Plog (1977) disebut allocentrics sedangkan Cohen (1979c) menyebutnya explorers, keduanya sama-sama memberi pengertian bahwa tingkatan ini wisatawan memiliki pengaturan tujuan sendiri dan terlihat lebih akrab dengan penduduk lokal. Dan juga wisatawan akan berusaha berbicara dengan bahasa penduduk lokal dan mengidentifikasi budaya setempat. Penduduk lokal akan menerima turis dengan tangan terbuka, turis

memberikan sesuatu hal yang baru dan tidak menutup kemungkinan untuk lebih menerima penduduk asing dari luar. Sedangkan menurut pendapat Turner dan Ash (1975) wisatawan penjelajah menyenangi sesuatu tempattempat yang baru dan belum teridentifikasi. Dalam tahap eksplorasi, dampak sosial kecil. Setiap aktivitas komersial yang terjadi adalah skala kecil, secara individual atau berbasis keluarga, dan ada secara efektif tidak ada penerapan strategi pemasaran formal oleh anggota masyarakat lokal. 2. The involvement stage Dalam tahap ini terdapat peningkatan jumlah turis atau wisatawan. Masyarakat lokal mulai untuk menanggapi peningkatan jumlah wisatawan dengan membuat beberapa fasilitas tambahan khusus untuk wisatawan. Pada bagian awal dari tahap ini, aktivitas kewirausahaan tersebut masih cenderung berbasis keluarga. Tingkat kunjungan turis cukup tinggi, sedangkan pemasaran daerah masih kurang. Beberapa anggota masyarakat memungkinkan berbagi sebagian tempat tinggalnya dijadikan tempat untuk turis menetap. Pemilik akomodasi hanya menampilkan tanda-tanda yang menunjukkan bahwa ada kamar kosong, dan mungkin kemudian akan mencetak beberapa selebaran leaflet untuk diberikan kepada tamu mereka, yang kemudian akan meneruskannya kepada teman-teman mereka. Pada tahap akhir keterlibatan beberapa masyarakat lokal menyadari bahwa pariwisata akan terus tumbuh, dan untuk mengimbanginya membutuhkan perluasan fasilitas. Untuk itu mereka memcari tambahan dana melalui sumber komersial, yaitu dengan meminjam dan kepada pengusaha. Pada tahap ini hubungan antara masyarakat lokal dan wisatawan masih harmonis, dan para wisatawan masih memiliki keinginan yang tinggi dan simpati dengan cara lokal hidup. Proses komersialisasi dapat ditelusuri ke akarnya. Tingkat pendapatan yang berasal dari turis mulai meningkat dan menjadi lebih penting bagi pengusaha, pengusaha menjadi semakin 'profesional' dalam melakukan layanan mereka. Hubungan antara host / penduduk dan tamu / pengunjung berubah perlahan dengan penyediakan layanan dan klien, meskipun masih dalam kerangka hubungan kebaikan. 3. The development stage Pada tahap ketiga sudah terjadi pengembangan yang terus berjalan. Butler menjelaskan tahap ini sebagai satu tempat dimana tempat masyarakat menjadi suatu resort wisata. Dalam perspektif Plog (1977) disebut 'midcentrics' sedangkan pada pendapat Cohen (1979) disebut 'turis institusional' yang akan muncul. Pada periode akhir ini keterlibatan dan tahap awal pengembangan, masyarakat mulai menarik minat di luar pariwisata. Bisnis ritel baru muncul. Beberapa di antaranya dimiliki oleh warga sekitar dan beberapa oleh negara, menarik pangsa pasar dari pusat-pusat penduduk, yang memiliki pengalaman ritel atau katering. Hubungan antara turis dan penduduk lokal akan berubah, pariwisata akan menjadi sebuah bisnis dan pariwisata tidak lagi menjadi sesuatu yang baru dan menggembirakan. Dan juga, pengembangan dipusatkan pada tempattempat yang terdapat banyak turis, keterlibatan penduduk lokal semakin berkurang digantikan oleh penduduk dari luar daerah sebagai pekerja hotel dan restoran. Dalam masa ini pertumbuhan industri bergerak lambat. pleasure periphery beralih, begitu pun the niche tour operators, pasar destinasi pariwisata diambil alih oleh perusahaan besar. Kombinasi komoditas produk wisata dan perubahaan alami wisatawan. Hal ini tidak dapat dihindari bahwasannya hubungan antara penduduk lokal dan pengunjung akan berubah. Dari perspektif industri, hubungan pelayanan provider masih tetap dengan karakteristik interaksi komersial yang friendly disamping itu profesionalism industri ditingkatkan, dan juga membuat kemungkinan antara penduduk lokal yang berpartisipasi atau ikut serta dalam industri dan bagi yang tidak. Hal ini berimplikasi bahwa hubungan antara pengunjung pada area wisata dan penduduk lokal yang tidak dapat secara langsung ikut dalam kegiatan pariwisata dapat dipertimbangkan. Isu ini adalah menganggap apakah penduduk lokal tidak mendapatkan pekerjaan dalam pariwisata dan tetap menjadi isu yang ada bagi turis sebagai individu dan industri secara keseluruhan. 4. The consolidation and stagnation stages Pada fase ini ekspansi berhenti, Pendapatan yang diperoleh dari wisatawan cenderung turun, resort kehilangan 'eksklusivitas'nya. Pengambilalihan dan merger terjadi dalam industri seperti pada transportasi-leisureakomodasi buyout perusahaan terjadi dan struktur industri yang 'rasional' atas dasar pengurangan biaya dan penyerapan keuntungan. Para wisatawan dalam fase ini cenderung bersifat 'massal' dan psychocentrics. Strategi perusahaan beralih ke mempertahankan jumlah pengunjung, dan karenanya fase stagnasi tercapai. Resort telah mencapai kapasitas penuh, bahkan mungkin melebihi pada waktu-waktu tertentu dalam setahun. Dalam rangka untuk mempertahankan jumlah pengunjung, operator tur mungkin harus memberikan harga yang rendah untuk menarik jumlah wisatawan yang mereka anggap perlu untuk dipertahankan sebagai bahan investasi mereka. 5. Rejuvenation or decline

Pada tahapan ini, suatu destinasi pariwisata dapat dilihat evaluasinya selama berkiprah dalam sebuah industri pariwisata, apakah akan terus berjalan (sustainable) ataukah akan ditinggalkan oleh pengunjungnya (wisatawan). Tujuan Butler Lifecycle (Butler, 1980) memungkinkan serangkaian model hubungan penduduk / pengunjung yang harus dipertimbangkan. Hubungan ini dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Micro-individual interchanges. Hal ini berkaitan dengan pertukaran sosial pada tingkat pengalaman individu. Langkah-langkah yang berlaku di sini termasuk jumlah interaksi penduduk keluar dengan kedatangan disuatu wilayah, durasi dan sifat pertemuanpertemuan, dan cara-cara di mana rapat tersebut ditandai dan dievaluasi. 2. Macro-social impacts Hal ini berkaitan dengan cara di mana lingkungan sosial dan fisik mulai berubah dalam menanggapi tingkat pertumbuhan pariwisata. Perubahan dalam suasana fisik tidak bebas nilai. Perubahan lingkungan fisik yang didedikasikan untuk turis terlibat pada kegiatan umumnya hedonistik dibebaskan dari kendala yang normal dapat dikatakan berpotensi mewakili satu set spesifik nilai-nilai yang mungkin atau mungkin tidak sama dan sebangun dengan orang-orang dari komunitas penduduk. Akibatnya set perubahan budaya yang timbul dari efek demonstrasi dan afiliasi dapat terjadi yang berdampak pada kohesi sosial masyarakat penduduk dan cara-cara dimana ini diungkapkan. Oleh karena itu makro-dampak sosial mengacu pada pola yang luas dari pola budaya dan sosial dari perilaku.
Konsep wisatawan menurut Doxey dan Milligan A. Konsep Doxey

Salah satu studi pertama, dan menjadi pengaruh studi Butler ialah studi Doxey pada tahun 1975. Dalam model Irridex, Doxey menyarankan bahwa, siklus destinasi dapat diungkap, perubahan spesifik dalam sikap terjadi dalam masyarakat lokal terhadap pariwisata. Tahap yang pertama ialah 'Euphoria'. Pada tahap ini masyarakat lokal bersikap terbuka terhadap wisatawan, dan menganggap pariwisata sebagai sumber pemasukan ekonomi yang menjanjikan. Ketika siklus bergerak ke tahap involvement, Doxey mengamati bahwa hanya sebagian kecil dari masyarakat lokal yang turut andil dalam kegiatan pariwisata. Dalam tahap 'Apathy' lambat laun perbandingan antara penduduk lokal dan wisatawan berubah, masyarakat lokal menjadi kaum yang marginal dalam tempat tinggalnya sendiri. Kepadatan mulai terjadi, jalan-jalan menjadi macet, kebanyakan dari toko mengubah aturan mereka, toko-toko suvenir misalnya yang digunakan sedikit orang lokal. Tahap selanjutnya, dari sikap apathy ke sikap annoyance. Masalah terjadi dalam kapasitas yang berlebihan merujuk pada tahap stagnasi pada siklus Bulter, penolakan masyarakat lokal bergerak ke arah permusuhan (antagonism). Kemungkinan karakter terbesar dapat terlihat pada segi industri sebagai contoh konsumen datang untuk menyediakan pelayanan, pariwisata dianggap sebagai penyebab perubahan yang ada di daerah mereka.

Kurva Konsep wisatawan menurut Doxey dalam Model Doxey Irredex

B. Konsep Milligan

Sejalan dengan pendapat di atas, Milligan (1989) berpendapat bahwa penduduk lokal merasa terganggu dengan kedatangan para wisatawan karena masalah kepadatan yang mereka bawa, dan juga kemarahan bisa langsung terjadi kepada para wisatawan, terutama mereka yang 'outsiders' penjelajah. Studi dari Milligan beberapa memiliki perbedaan konteks dengan apa yang di applikasikan oleh Doxey Irredex sebagai Guernsey, Guernsey bukan merupakan pengembangan area atau wilayah, tetapi menikmati semua keuntungan yang diterima melalui pajak dengan pengaruhnya terhadap pekerja yang berada pada sektor finansial. Tidak dapat ditutupi bahwasannya pariwisata telah menjadi bagian signifikan dari Ekonomi Guernsey. Walau bagaimana pun, penduduk lokal mendapatkan pekerjaan yang layak, dan mereka bekerja di sektor perhotelan dan asosiasi. Doxey melihat konsekuensi dari banyak hotel yang memperkerjakan karyawannya dari luar

'imported', kebanyakan pekerja tidak bekerja secara lama di Guernsey karena mereka hanya bekerja pada saat bulan-bulan penuh wisatawan. Kebanyakan pekerja berusia muda. Milligan mengabarkan bahwa mereka dipakai untuk bekerja di beberapa toko, bar, bioskop, diskotik dan tempat-tempat hiburan sebagai penduduk lokal. Mereka merasakan seperti orang yang 'inferior' karena mereka tidak tinggal menetap, dan bukan sebagai penduduk lokal, dan mereka berkompetisi di kawasan atau wilayah sebagai penyokong penduduk lokal. Untuk memperjelas pemahaman konsep mengenai sikap penduduk lokal terhadap wisatawan dapat mengacu kepada Tabel 1.1 di bawah ini sebagai perbandingan antara konsep Doxey dan Milligan.
Tabel 1.1 di bawah ini merupakan konsep wisatawan menurut Doxey dan Milligan
Doxey Irredex Model Euphoria Pengunjung diterima dengan baik dan yang ada hanya perencanaan kecil Milligan Modification Model Curiosity Seseorang seharusnya mengambil pekerjaan ini karena penduduk lokal menganggap bahwa mereka dibawah turis dalam hal status, bayaran dan prospek karir. Pariwisata tidak lagi menjadi perhatian penduduk lokal Bertambah gangguan terhadap turis adalah penyebab dari sikap apatis dari pekerja luar yang dilihat sebagai salah satu penyebab memburuknya standar Kedua belah pihak menyadari kebencian dan situasi di antara orang-orang muda yang berubah pendirian, para pekerja luar yang dipersalahkan atas semua itu yang turis tidak dapat bertanggung jawab secara langsung

Apathy Annoyance

Pengunjung menjadi terbiasa dengan pariwisata dan keadaan menjadi semakin formal

Acceptance

Kejenuhan mulai terlihat dan masyarakat lokal Annoyance mulai meragukan kegiatan pariwisata. Perencana berusaha untuk mengendalikan melalui peningkatan infrastruktur daripada membatasi pertumbuhan Terjadi iritasi terhadap ekpresi yang terbuka, dan perencanaan memerlukan perbaikan sebelum promosi ditingkatkan untuk mengimbangi reputasi resort yang memburuk Antagonism

Antagonism

Delapan hal yang terpengaruh oleh kegiatan pariwisata

Menurut pendapat Ritchie dan Zins (1978) terdapat delapan hal yang berdampak secara langsung oleh kegiatan pariwisata. 1. Handicraft Ryan dan Crotts (1997) mengutarakan contoh mengenai hubungan jauh antara pariwisata dan seni memahat, menenun dan menempa logam, dengan merujuk pada kebudayaan suku Maori dan Navajo. Pada dasarnya mereka berpendapat bahwa dalam kedua kasus karya asli suku Maori dan Navajo telah mendapatkan manfaat dari kontak dengan turis, tidak hanya turis menyediakan pasar. Namun, dengan memproduksi karya untuk pasar wisata, seniman sendiri telah memasukkan warna baru dan tema ke dalam pekerjaan mereka. Keyakinan pada perspektif suku Maori, dipublikasikan dalam dokumentasi oleh the Aotearoa Maori Tourism Federation (1995, 1996), masalah ini bukan salah satu dari kepatuhan untuk menganggap 'authenticity' tetapi kontrol dan pengakuan dari nilai bentuk seni Maori. Dokumentasi tersebut mendefinisikan Maori bentuk seni tidak sepenuhnya oleh desain, tetapi oleh apakah pekerjaan dipahami dan dilaksanakan oleh Maori. Kekhawatiran dari Aotearoa Maori Pariwisata Federasi bertemu pada tahun 2001 dengan berdirinya label iho toi oleh Selandia Baru Kreatif, dan pada tahun 2002, 37 seniman telah dikreditkan dengan hak untuk menggunakan merek tersebut. Dua klasifikasi ada Toi iho maori dibuat dan Toi iho maori co-produksi - yang terakhir menerapkan untuk bekerja bersama-diproduksi oleh Maori dan non-Maori. Kriteria untuk pekerjaan pertama adalah bahwa seniman harus membuktikan bahwa ia adalah keturunan Maori, harus menghasilkan karya yang jelas untuk suku Maori dan menjadi orang yang berdiri di masyarakat Maori. Namun, terlepas dari niat baik di balik branding, belum seragam diadopsi atau diterima bahkan dalam komunitas Maori. Tentu saja pada tahun 2002 itu akan adil untuk menyatakan bahwa banyak seniman yang disetujui tidak akan melihat diri mereka sebagai memenuhi permintaan terutama dari turis, terutama dari mereka yang hanya membayar dengan sejumlah kecil uang. 2. Pakaian Tradisional dan Tekstil Pada kriteria ini, hanya sebagian kecil saja yang terkena dampak dari masalah sosial pada pariwisata, bahwasannya pakaian tradisional dinilai telah memberikan pengaruh kepada designer dari studio fashion terbesar. Lebih tradisional, dari perspektif studi pariwisata, telah ada beberapa penelitian dari industri tekstil di Amerika Selatan dan keterkaitan dengan pariwisata (misalnya Cohen, 2001). Dalam studi ini sering terjadi pengacakan pola distribusi. Kesempatan bagi industri rumahan menjadi terganggu dengan adanya rantai pola distribusi yang lebih cepat melalui outlet ritel pariwisata. Sebagai contohnya di dalam promosi suatu tempat, tempat produksi yang 'authentic' dalam rangka menarik rute perjalanan wisata mereka, juga dengan mengadakan pembentukan koperasi atau pameran untuk menjual produk textile dan seni kepada wisatawan. Di beberapa tempat skema mengenai merk atau logo 'authentical' mulai diperhitungkan, contoh pada Seni suku

Indian Navajo di Mexico. Salah satu souvenir pakaian yang signifikan menarik wisatawan untuk membeli. Healy (1994) Poin penting tentang souvenir pakaian dalam pariwisata adalah pada jumlah total pengeluaran para wisatawan dari jumlah proporsi yang kecil namun jumlah itu dapat mengubah akun tingkat pendapatan. Asplet dan Cooper (2000) keduanya mensurvei mengenai isu ini, tingkat ketertarikan turis terhadap design pakaian 'authentic' Maori. Dalam studinya menemukan bahwa 40% dari wisatawan menempelkan beberapa motif lokal yang penting dalam pakaian souvenirnya dan mereka cenderung lebih suka membeli merk dari 'authentic' Maori daripada design dengan merk yang lain. 3. Bahasa Bahasa memiliki peran penting tidak hanya sebagai alat komunikasi tetapi bagaimana cara mempersepsikan keadaan dunia. Erosi dari bahasa membawa implikasi perubahan norma ekspresi. Sebagai contoh the Inuit memiliki 40 kata untuk mendeskripsikan salju. Bahasa menjadi salah satu komponen yang penting dari keberlangsungan suatu budaya, dan ini adalah alasan mengapa kelompok minoritas menjaga kelestarian bahasanya. Misalnya pembicara Welsh berusaha lama untuk mendapatkan saluran televisi Welsh SC4, dan keberhasilan stasiun itu telah menjadi model bagi orang lain, termasuk misalnya, pembicara Maori di Selandia Baru. Erosi dari bahasa membawa implikasi perubahan norma ekspresi. 4. Tradisi Kegiatan pariwisata dapat membuat lapangan kerja, namun terkadang kegiatannya tidak bisa konsisten dalam waktu kerjanya. Contoh, ketika desain dilakukan untuk menafsirkan pusat Wanuskewin di Saskatechewan Kanada, ada untuk menjelaskan budaya masyarakat Indian dataran Amerika Utara yang menempati daerah itu, ada keinginan untuk memiliki beberapa 'story telling'. Dalam tradisi terutama lisan, 'story telling' adalah sarana untuk menyampaikan nilai-nilai dan kesamaan yang membantu mengidentifikasi orang. Dalam beberapa kasus kepentingan pariwisata menimbulkan dalam tradisi masa lalu, terutama mereka yang mungkin berhubungan dengan kedua tontonan dan asmara. Sebagai contoh, Maine Windjammers Asosiasi mampu mempertahankan armada kapal berlayar untuk menciptakan masa lalu oleh katering untuk perdagangan turis. Ini memiliki empat belas kapal yang beroperasi dari Camden, Rockport dan Rockland, terletak di mid-coast Maine. Sebagian besar kapal yang dibangun pada pergantian abad ketika Amerika mengandalkan kapal berlayar untuk mengangkut kargo berat dari pelabuhan ke pelabuhan, dan banyak terdaftar Landmark Bersejarah Nasional. 5. Gastronomy Kegiatan pariwisata menghasilkan permintaan tidak hanya untuk makanan tradisional, tetapi juga untuk makanan yang baru. Tercatat bahwasannya hotel Jamaika memulai menawarkan apa yang diinginkan oleh pengunjung. Hal ini menyebabkan impor bahan makanan terutama dari Amerika Serikat. Namun, hotel sekarang menawarkan berbagai hidangan tradisional yang tidak hanya menyediakan pengunjung dengan pengalaman baru, tetapi juga memberikan kesempatan kerja bagi mereka dalam industri makanan lokal. (Belisle, 1984; Henshall-Momsen, 1986) 6. Arsitektur Dampak pariwisata terhadap arsitektur dapat terlihat dengan jelas. Dengan banyaknya hotel-hotel asing yang berada di daerah tempat wisata menjadi pemandangan yang sangat kontras dengan keadaan sekelilingnya. Keadaan ini berpengaruh terhadap bangunan ciri khas suatu tempat, kurangnya regulasi mengenai masalah ini menjadikan bangunan di suatu tempat tidak memiliki ciri khasnya. Sebagai salah satu contoh kawasan jalan braga bandung sebagai tempat bangunan bersejarah yang kini telah hilang ruh ke-khasannya karena banyak dari bangunannya sudah tidak terawat dan tergantikan oleh hotel-hotel. Seperti Gino Feruci Braga Hotel dan Aston Hotel. Setiap diskusi tentang hubungan antara arsitektur dan pariwisata harus menyadari bahwa hal itu dapat hanya ada dalam konteks yang lebih luas tentang hubungan antara manusia dan lingkungannya. Untuk pendukung 'gerakan arsitektur masyarakat', seperti HRH, The Prince of Wales, dan Rod Hackney, mantan presiden International Union of Architects, adalah penting bahwa arsitektur berkaitan dengan kebutuhan masyarakat baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. 7. Agama Ryan (2003) Secara historis, dan bahkan hari ini, ada hubungan kuat antara pariwisata dan agama. Ziarah tetap menjadi motif yang kuat untuk melakukan suatu perjalanan, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang beragama Islam untuk melakukan perjalanan ke Mekkah dan Madinah. Dampak pariwisata terhadap agama sulit untuk dinilai. Bahwa masyarakat dari seluruh dunia berbondong-bondong maupun secara individual memungkinan untuk berziarah menuju Mekkah sebagai salah satu dari kewajiban bagi umat yang beragama Muslim, karena merupakan kewajiban (bagi yang mampu). 8. Pakaian dan Leisure aktivitas

Tidak semua objek wisata mengizinkan wisatawannya untuk menggunakan pakaian aslinya. Hal ini menjadi salah satu daya tarik bagi objek wisata tertentu. Ini merupakan bentuk penghargaan dari wisatawan sebagai pengunjung terhadap masyarakat lokal dan budaya setempat. Sebagai contoh kunjungan Kate Middleton (isteri pangeran inggris) ke Masjid Assyakirin di pusat kota Kuala Lumpur, Michelle Obama yang mengunjungi Masjid Istiqlal Jakarta.
Case Study

- Dampak Sosial Pariwisata di Pulau Bali Menurut Setyadi (2007) Di berbagai daerah dan negara, pariwisata ditengarai telah merusak nilai-nilai solidaritas dan mengembangkan individualisme, serta meruntuhkan sendi-sendi kerjasama dan tolong menolong yang semula kuat di masyarakat. Penelitian di Malaysia, sebagaimana dilaporkan Evelyne Hong (dalam Jafari,1986: 131), menunjukkan bahwa masyarakat di daerah pariwisata telah meninggalkan nilai-nilai budayanya, dan terjadi komersialisasi kesenian. Penelitian Mac. Nanght juga mencatat terjadinya perubahan struktur dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan Tonga sebagai akibat pembangunan kepariwisataan (Pitana, 1994). Hal ini disebabkan masyarakat cenderung untuk meniru pola hidup wisatawan dengan kebudayaan yang dibawanya yang dipandang lebih maju dan bernilai tinggi. Nilai-nilai tradisional menjadi rusak akibat perkembangan komersialisasi dan materialisme dalam hubungan antarmanusia, yang menjadi konsekuensi logis dari adanya aktivitas pariwisata. Hubungan sosial antarmanusia yang pada mulanya didasari oleh nilai-nilai moral berubah menjadi hubungan yang didasari oleh nilai-nilai ekonomi. Pada masyarakat Bali, sebagaimana dilaporkan Geriya (1983), dampak pariwisata khususnya dalam aspek sosial budaya sudah mulai tampak. Hal ini terutama ditandai dengan adanya beberapa indicator berikut. 1. Adanya pertumbuhan penduduk yang cukup pesat di daerah wisata sebagai akibat dari adanya migrasi penduduk pencari kerja ke wilayah tersebut. 2. Berkembangnya pola hubungan sosial yang lebih bersifat impersonal. 3. Meningkatnya mobilitas kerja. 4. Mundurnya aktivitas gotong royong. 5. Berkembangnya konflik antargenerasi, khususnya generasi tua dan generasi muda. 6. Terjadinya gejala social deviance yang meliputi kejahatan, narkotika, maupun penyakit kelamin. 7. Adanya komersialisasi kebudayaan Sementara itu, menurut Mantra (dalam Setyadi, 2007), akibat dari perkembangan pariwisata masyarakat Bali sedang mengalami transisi, yaitu berubahnya sikap dan perilaku masyarakat yang sebelumnya bersifat ritual komunalistis mengarah pada kehidupan individualistis, ekonomis, dan demokratis. Ciri-ciri berubahnya sikap dan perilaku masyarakat tersebut terutama terlihat dari kehidupan sehari-hari sampai pada ritus-ritus keagamaan. Berdasarkan penelitian Setyadi (2007) Warga Kuta sebagai representasi dari masyarakat Bali Dataran dan warga Tenganan Pegringsingan sebagai representasi masyarakat Bali Aga yang diteliti, pada saat ini masyarakat dan kebudayaannya telah mengalami proses transisi sebagai akibat dari pengaruh pariwisata. Hal ini tercermin dengan adanya pergeseran mata pencaharian pokok masyarakat dari sektor pertanian dalam arti luas ke sektor industri khususnya industri pariwisata. Di lain pihak, tingkat integrasi mereka ke daerah pariwisata tidak saja terbatas di dalam tingkat komunitas atau tingkat regional, tetapi sudah mencapai tingkat nasional dan internasional. Apabila ditelusuri lebih mendalam, perubahan atau pergeseran kebudayaan yang terjadi di kedua desa tersebut pada dasarnya berlangsung secara adaptif.
Untuk melihat perubahan yang terjadi, berikut ini adalah kutipannya; 10 Perubahan Paling Drastis Dalam Masyarakat Bali Per 2013 (http://popbali.com/10-perubahan-paling-drastis-dalam-masyarakat-bali-per-2013/) 1. Perubahan Mata Pencaharian

Sebelum era 70an, mata pencaharian masyarakat Bali lebih banyak sebagai petani dan sebagian kecilnya pedagang. Di era 80an, mata pencaharian mulai bergeser ke pegawai pariwisata (pegawai hotel, travel, guide, sopir travel, dlsb) dan pengerajin. Belakangan ini, berbagai macam profesi di jalani oleh masyarakat Bali; mulai dari pedagang HP hingga pedagang narkoba, mulai dari pengusaha hotel hingga pengusaha caf remangremang, mulai dari calo tanah sampai calo perkara, mulai dari moderator talk show sampai key speaker seminar, mulai dari tukang parkir sampai tukang tagih ( debt-collector). Silahkan periksa status pekerjaan yang tercantum di KTP, berapa orang yang masih mencantumkan petani? Hanya ada di desa-desa sana, itupun mungkin jumlahnya sudah sangat sedikit.
2. Perubahan Aktivitas dan Etos Kerja

Dalam era dimana sebagian besar masyarakat berstatus petani, etos kerja masyarakat Bali mungkin terlihat lamban dan cenderung santai. Tentu saja, karena aktivitas bertani memang tidak bisa diburu-buru, semua memakai hitungan masa (misalnya: padi baru bisa dipanen setelah berusia 3 bulan, tidak bisa dipercepat).

Banyaknya waktu luang inilah yang membuat masyarakat Bali, di era itu, selalu punya waktu untuk aktivitasaktivitas berkesenian dan melestarikan budaya (misalnya: mekekawin, megeguritan, megenjekan, megambel, menari, main arja, ngerindik, meniup seruling, membaca lontar, dlsb). Sehingga bagi orang di luar Bali, etos kerja masayarakt Bali pada saat itu dianggap santai. Etos kerja masyarakat Bali saat ini sudah berubah drastis, menjadi super sibuk, time-is-money kata mereka. Perubahan ini tentu terjadi akibat perubahan mata pencaharian yang begitu drastis dan ledakan angkatan kerja yang mengakibatkan kempetisi menjadi begitu ketat. Libur sehari untuk menengok upacara keluarga misalnya, jatah antrean nyupir di halaman hotel sudah diambil-alih orang lain. Tutup kantor sekali, pelanggan sudah marah-marah. Sehingga, hampir sudah tidak ada waktu lagi untuk menyama-braya. Melihat orang bertegur sapa di jalanan, saat ini, adalah kejadian langka, ajaib, atau malah dipandang aneh (terlalu basa-basi, lebian tutur, kata mereka), kecuali di desa-desa yang jauh di kaki bukit sana.
3. Perubahan Nama

Mungkin bisa diperdebatkan. Tetapi ini fakta bahwa perubahan penggunaan nama di kalangan masyarakat Bali, dewasa ini, tergolong drastis. Generasi yang lahir sebelum tahun 70an masih banyak yang menggunakan nama yang menurut masyarakat di luar Bali, unik. Disebut unik karena benar-benar hanya ada di Bali. Misalnya: I Wayan Konten, I Made Simpen, I Gede Dokar, Ni Luh Pujut, Anak Agung Gede Raka, I Putu Danu, AA Putu Keramas, Ni Nyoman Ceraki. Di Era 70-80, penamaan anak sudah mulai bergeser ke nasional, meniru nama artis ibu kota atau tokoh publik: I Gede Doni (aktor Doni Damara), I Kadek Toni (artis Toni Koeswoyo), Anak Agung Jhoni (aktor Jhoni Indo), Ida Ayu Mariana (artis Dina Mariana), I Putu Deni, I Kadek Edi, Putu Gede Budianto, dan lain sebagainya. Sekarang, perubahan penamaan anak sangat drastis. Ada 2 trend yang paling menonjol menurut Pop Bali, yaitu:

nama yang mengarah ke kebarat-baratan (mereka menyebutnya international name); atau nama yang ke-india-indiaan (konon kembali ke Hindu murni yang berpusat di India)
Yang mungkin menjadi aneh bagi masyarakat di luar Baliterutama yang pernah tinggal lama di Baliadalah adanya kecenderungan untuk tidak menggunakan I atau Ni di depan nama, sehingga namanya menjadi: Made Joddie Sijatmika, Luh Cyntia Nugraha, Ayu Michelle Arianta, Putu Ambrose Kusuma, atau Nyoman Sri Siva Kemala Devi, Ida Bagus Krishna Aditama, Anak Agung Istri Vedayanti Uttari. Yang tak kalah menariknya, dahulu banyak orang tua yang dipanggil dengan menggunakan nama si kecil (anaknya), misalnya: I Gede Batur yang punya anak perempuan Ni Ronji dipanggil Pan Ronji, dan istrinya dipanggil Men Ronji. Sekarang kebalikannya; nama Ayah atau keluarga besar (biasanya yang paling terkenal) yang dijadikan nama belakang oleh si anak, atau nama suami yang dijadikan nama belakang oleh si Istri layaknya family name dalam budaya barat. Misalnya: Ayu Michelle Arianta di atas adalah puterinya yang terhormat bapak anggota dewan I Putu Arianta, SSos, MM. Dahulu Bali tidak mengenal istilah nama keluarga (besar), sekarang kenal. Ciri khas nama orang Bali, kini, nyaris tak berbekas kecuali Putu, Wayan, Made, Nyoman, Nengah, dan Ketut yang masih digunakan, itupun tanpa I atau Ni di depannya. Konon, menurut pendapat sebagian orang, supaya kelak si anak siap menyongsong era globalisasi. Semoga.
4. Perubahan Bahasa

Sepuluh tahun lalu kita masih sering mendengar percakapan, di warung-warung atau terminal, yang menggunakan bahasa Bali murni tanpa dicampur dengan bahas lain. Saat ini, sulit ditemukan. Satu-satunya wilayah dimana bahasa Bali cukup sering digunakan hanya di desa-desa, itupun sudah bercampur-campur, sejak siaran sinetron TV nasional mulai merambah hingga ke pelosok-pelosok. Sebagian besar masyarakat Bali sudah lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia. Beruntung karena sampai saat ini sekolah masih mengajarkan bahasa Bali, meskipun dalam porsi waktu yang sangat minimal. Disamping masalah efektifitas (berbahasa Bali konon ribet), banyak juga yang beralasan bahwa menggunakan bahasa Indonesia bisa meminimalkan kesalahan dalam menggunakan bahasa sor-madia-singgih.
5. Perubahan Busana

Dahulu, yang namanya kamen (kain) adalah pakaian sehari-hari. Saat ini kamen hanya digunakan dalam acaracara tertentu seperti: persembahyangan atau upacara dan upakara adat. Selebihnya, pria dan wanita Bali sudah seperti layaknya pria dan wanita modernmemakai celana panjang atau pendek. Dahulu, pakaian adat Bali menggunakan pakem tertentu, setiap detail pakaian mengandung makna simbolis.

Sekarang, pakaian pengantin pria Bali misalnya, sudah sulit dibedakan dengan pakaian adat Sumtera yang menggunakan Baju Bodo atau boleronya Aziz Gagap di acara OVJ. Sudah jauh dari pakem aslinya. Perubahan ini, tentu tak lepas dari proses industrilisasi secara umumdimana makin cepat perubahan, makin pendek siklus, makin tinggi permintaan, makin banyak yang bisa diproduksi, makin banyak uang mengalir ke dalam rekening.
6. Perubahan Makanan dan Minuman

Selera makan orang Bali juga sudah banyak mengalami perubahan. Makanan khas Bali biasanya pedas, banyak merica dan rempah. Sekarang sudah tidak ada bedanya dengan masakan jawa atau padang, cenderung manis atau sedang. Itupun belum cukup bagi masyarakat Bali saat ini; dagang bakso dan soto selalu lebih ramai dibandingkan dagang nasi lawar atau siobak Buleleng. Ini jelas representasi dari pergeseran selera makanan. Yang namanya berem, sudah langka. Selera minum orang Bali saat ini adalah beer atau wine. Dahulu orang Bali tak kenal yang namanya kebab turki atau sashimi. Sekarang, gerai makanan cepat saji seperti ini telah menjamur dan selalu dipadati oleh masyarakat Bali.
7. Perubahan Gaya Hidup dan Pergaulan

Mata pencaharian dan profesi yang berubah juga berakibat pada perubahan gaya hidup. Aktivitas dan kehidupan masyarakat Bali di jaman dahulu yang lebih banyak berada di sekitar desa dan balai banjar kini sudah jauh bergeser. Atu Aji, Gung Aji dan Pak De yang dahulu selalu punya waktu untuk mekekawin di balai Banjar, kini sudah lebih sering nongkrong di Kudeta atau Blue Eyesuntuk entertain relasi bisnis. Pak Wayan, Pak Made dan Pak Ketut yang dahulu sering main Arja sekarang sudah sibuk seminar ini-itu dan sosialiasi ini-itu, untuk menggalang simpati, suara dan dukungan pileg dan pilkada. Atu Biyang dan Bik I Luh yang dahulu sering terlihat nyait tamas, kini lebih sering pergi ke pusat-pusat perbelanjaan, butiq atau SPA. Gus Tu, Gung De dan Yan Ajus yang dahulu rajin megambel sekarang sudah lebih sering track-trackan di lapangan Renon atau balapa mobil gelap di Bypass Ngurah Rai ala film Fast and Furious.
8. Perubahan Orientasi dan Pola Pikir

Ledakan pertumbuhan penduduk ditambah transmigran dari luar pulau, membuat kompetisi hidup di Bali menjadi semakin ketat. Diantara masalah-masalah hidup lainnya, survivalitas kini telah menjadi perioritas utama. Masyarakat Balipun tidak terkecuali. Orang Bali dahulu, yang dikagumi oleh orang barat, menempatkan norma di atas segalanya, apa-apa menggunakan ukuran normatif, mereka memegang prinsip lek (malu, nggak enak), bahkan untuk mengambil sesuatu yang menjadi haknya sekalipun. Itu sebabnya orang asing senang dan percaya sepenuhnya dengan orang Bali. Bukan karena orang asingnya pelit atau memanfaatkan sifat pemalunya orang Bali jaman dahulu, melainkan karena sangat menghargai pola pikir dan orientasi orang Bali yang jauh dari ketamakan. Orang Bali yang sekarang, cenderung pragmatis; kalau sudah urusan uang/harta tak ada istilah lek. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana para pedagang acung, di daerah wisata, yang kerap setengah memaksa turis untuk membeli barang dagangannya. Ada juga kasus dimana orang Bali yang dipercaya mengelola perusahaan oleh orang asing, mengambil-alih perusahaan tersebut karena namanya dipakai di dalam akte perusahaan. Contoh lainnya adalah penjualan barang-barang pusaka warisan leluhur, pencurian pretima, dan lain sebagainya. Ada pergeseran pola pikir dan orientasi yang sangat drastis di Bali. Yang namanya saling asah-asih-dan-asuh, saat ini, hanya bisa di temukan di lontar-lontar atau acara dharma wacana (kotbah), sulit kita temukan dalam pelaksanaan sehari-hari. Ajakan Lan dum pada mebedik (=meskipun sedikit ayo kita bagi bersama) sudah kian jarang terdengar. Individualitis mendominasi kebersamaan. Keuntungan diri sendiri dan kelompok adalah segalanya. Pang kuala untung (=yang penting untung), pang kuala maan pis (yang penting dapat uang), pang kuala menang (=yang penting menang), akhirnya pang kuala misi kenehe (=yang penting segala ambisi keturutan). Apa-apa yang penting untung. Apa-apa yang penting uang. Ketidaksanggupan ngayah (gotong royong) misalnya, sekarang sudah bisa diganti dengan dosa dalam bentuk uang, yang penting nu maan susuk (=masih dapat selisih antara penghasilan dengan bayar denda). Kesibukan berupacara dan berupakara, saat ini, tidak harus mengundang banjar, sudah bisa digantikan oleh event organizer dan cateringyang penting punya uang. Entah disadari atau tidak, kekaguman dan kepercayaan orang asing terhadap kesederhanaan pola pikir dan orientasi orang Bali saat ini, sudah jauh merosot dibandingkan dahulu. Dahulu, banyak orang asing yang mengadopsi orang Bali untuk dijadikan anak atau saudara, bahkan sampai mewariskan harta bendanya.

Sekarang? Jarang atau mungkin memang sudah tidak pernah ada lagi.
9. Perubahan Etika

Seiring dengan gaya hidup, orientasi, dan pola pikir, etikapun mengalami perubahan yang cukup drastisbaik dari ucapan maupun perilaku. Figur seorang guru (rupaka, pengajian dan wisesa) dahulu adalah sosok yang sangat dihormati di Bali, di dengarkan wejangan dan arahannya, dimanapun berada. Saat ini, sudah nyaris tanpa batas. Guru Rupaka (ayah dan ibu) hanya terhormat bila mampu membelikan berbagai fasilitas yang diinginkan oleh anak. Guru Pengajian (guru sekolah) hanya disegani di lingkungan sekolah, di luar sekolah sudah tidak dianggap siapa-siapa. Guru Wisesa (pemerintah) hanya dihormati saat masih pegang stempel institusi menjabat. Begitu tidak berkuasa, sudah tidak dihormati lagi. Tentu degradasi etika ini bukan salah generasi muda semata. Bagaimanapun juga mereka banyak mencontoh perilaku sang guru. Anak-anak menjadi tidak mendengar ucapan orang tua karena acapkali ucapan ayah dan ibu tidak bisa dipegang, plin-plan dan membuat pengecualian-pengecualian untuk kenyamanan diri sendiri. Kebutuhan akan kehangatan orang tua digantikan dengan benda mati. Otonan sudah digantikan dengan hadiah pesta ulang tahun di cafe, mobil dan ticket berlibur. Murid menjadi tak segan di luar sekolah karena para guru menempatkan anak didik bukan sebagai anak asuh, melainkan sebagai pelanggan yang membayar uang sekolah dalam jumlah tinggi.
10. Perubahan Agama

Bukan hanya bagian luar, perubahan drastis juga terjadi hingga ke bagian dalam, yaitu: agama. Di kalangan orang Bali sendiri banyak yang mengkhawatirkan kemungkinan perubahan status Bali sebagai pulau seribu Pura sebentar lagi tinggal kenangan. Ada 2 perubahan, dalam hal agama yang dianut oleh orang Bali, yang menonjol belakangan ini, yaitu: Pertama, munculnya perbedaan sekte-sekte diantara penganut Hindu sendiri, yang kian tajam belakangan ini. Dahulu nyaris tak ada perbedaan sekte-sekte, yang ada hanya Hindu Bali. Kesadaran masyarakat Bali untuk konon kembali ke Hindu murni yang berpusat di India, justru menimbulkan sekte-sekte. Bahkan konon ada yang sampai tidak mesebelan (berdukacita) ketika ada anggota keluarga beda sekte meninggal. Kedua, adanya konversi orang Bali yang semula penganut Hindu ke non-Hindu yang juga massif terjadi di Bali. Konversi yang paling menonjol adalah dari Hindu ke Katolik dan Kristen. Konversi dari Hindu ke Islam pun belakangan ini juga kian meningkatterutama melalui proses pernikahan. Dahulu, bagi mereka yang ada di luar Bali, setiap orang yang menggunakan nama I Putu, I Gusti, Anak Agung, atau Ida Bagus, Ni Luh, Gusti Ayu, Agung Ayu, sudah pasti penganut Hindu. Saat ini? Belum tentu. Bali yang sekarang sudah sangat kompleks. Untuk melihat apa agama yang dianut oleh orang Bali masa kini, tidak cukup hanya mengetahui namanya, masih perlu melihat hal-hal lain, misalnya: apakah lengannya mengenakan benang Tri Datu (gelang benang berwarna merah-hitam-putih)? Apakah pernah menggunakan bija (bijih beras) di dahinya? Howe (2005) Paradoks pariwisata di Bali adalah bahwa, seperti biasa banyak wisatawan tiba, tangisan sedih memprediksi bahwa pariwisata akan menyebabkan disintegrasi budaya Bali yang diimbangi dengan klaim optimis bahwa budaya ini begitu tangguh dan fleksibel yang akan terus bertahan sebagian besar utuh. Padahal yang terjadi sebaliknya, karena ketergantungan berlebih pada industri pariwisata, mengakibatkan tingkatan dampak negatif menjadi semakin besar. Hal tersebut dapat dilihat pada contoh perubahan di atas. Michel Picard (1996: 93. dalam Howe, 2005) Pariwisata membawa manfaat ekonomi tetapi memerlukan biaya sosial-budaya. Biaya ini berasal dari potensi perubahan budaya radikal didorong oleh kebutuhan dan harapan dari para wisatawan daripada masyarakat lokal. Ketika masalah dikonseptualisasikan dengan cara ini tidaklah mengherankan bahwa pengamat menekankan baik manfaat atau biaya, dan datang ke kesimpulan yang sangat berbeda.
Kesimpulan

Dampak sosial dari pariwisata terkadang dapat untuk dinilai dan diteliti. Namun, dalam beberapa kasus dampat itu seakan berat untuk dinilai. Dengan menggunakan pendekataan dari teori Butler sebagai salah satu cara untuk mengetahui siklus hidup destinasi pariwisata kita akan dapat lebih mudah untuk mengidentifikasi dampak sosial dari kegiatan pariwisata. Sedangkan untuk mengetahui secara lebih rinci tentang sikap dari penduduk sekitar tempat destinasi, dapat mengacu pada model Doxey Irredex dan Milligan. Dari hasil studi di atas dapat disimpulkan bahwasannya kegiatan pariwisata tidak selalu membawa kebaikan atau dampak positif bagi

pelakunya, tetapi banyak juga dampak negatif yang ditimbulkannya, dengan mengetahui dampak-dampak itu, diharapkan kita bisa meminimalisirnya dengan cara yang tepat.
Referensi:
Howe, Leo. 2005. The Changing World of Bali: Religion, society and tourism. Routledge. London and New York. Ryan, Chris. 2003. Recreational Tourism: Demand and Impacts. Channel View Publication. Clevedon, Buffalo, Toronto, Sydney. Setyadi, Yulianto Bambang. 2007. Pariwisata dan Perubahan Nilai-Nilai Sosial Budaya Berdasarkan Lingkungan Tradisi Pada Masyarakat Bali. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Sumber lain: http://popbali.com/10-perubahan-paling-drastis-dalam-masyarakat-bali-per-2013/

10

You might also like