You are on page 1of 101

CONTOH PROPOSAL JUDUL; Model Pendidikan Seni Ukir Pada Sanggar Tradisional Di Pandai Sikek Tanah Datar

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pendidikan, sebagai salah satu pilar pengembangan sumber daya manusia (SDM) bermakna strategis bagi pembangunan nasional, karena masa depan bangsa sangat bergantung pada penyelenggaraan pendidikan masa kini. Sejauh mana pendidikan itu diselenggarakan menjadi tolok ukur penyiapan generasi penyambut tongkat estapet pembangunan. Menurut Ki Hajar Dewantara Mendidik anak itulah mendidik rakyat. Keadaan dalam hidup dan penghidupan kita pada zaman sekarang itulah buahnya pendidikan yang kita terima dari orang tua pada waktu kita masih kanak-kanak. Anakanak yang pada waktu ini kita didik kelak akan menjadi warga negara kita (Prayitno, 2005:1) Sejalan dengan itu, Mukhtar Buchori (2001:23) menyatakan bahwa Apa yang terjadi dengan bangsa kita di masa depan, sangat tergantung kepada apa yang kita lakukan sekarang ini terhadap cara-cara kita mendidik generasi muda, dari pendidikan tingkat TK sampai ke pendidikan tingkat Perguruan Tinggi Melalui semua jenjang pendidikan tersebut, kelangsungan hidup suatu bangsa dapat terjamin sebab pendidikan tidak hanya berfungsi untuk how to know, how to live together, dan how to do, tetapi yang amat penting how to be. Oleh karena itu diperlukan transformasi nilai-nilai pendidikan (Daulay, 2007). Dengan demikian, memaknai pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia harus fokus pada pengembangan potensi manusia itu sendiri, bukan hanya fokus pada pengajaran. Pernyataan

memanusiakan manusia seakan-akan menyatakan bahwa sebelum memasuki proses pendidikan peserta didik belum menjadi manusia. Pada hal peserta didik adalah manusia, makhluk yang paling sempurna dari sekian makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi sumber daya manusia. Berbagai bentuk pendidikan yang telah dilakukan bangsa Indonesia bertujuan untuk membangun sumber daya manusia, melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal. Penyelenggaraan pendidikan formal dilakukan mulai dari pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi. Dalam undang-undang sistem pendidikan nasional, jalur pendidikan formal terdiri atas pendidikan anak usia dini, berbentuk Taman Kanak-kanak (TK) dan Raudhatul Athfal (RA); pendidikan dasar, berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Setelah pendidikan dasar dilanjutkan dengan pendidikan menengah yang terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah umum berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA), dan pendidikan menengah kejuruan seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK). Pendidikan nonformal berbentuk kursus-kursus singkat (non-ijazah) dan pelatihanpelatihan terorganisir yang dilaksanakan di luar sistem pendidikan formal. Sedangkan pendidikan informal merupakan pendidikan sepanjang hayat di mana individu memperoleh pengetahuan, norma-norma, dan keterampilan melalui keluarga, tetangga, dan media masa. Sarana jenis-jenis pendidikan tersebut terkait dengan upaya untuk mengarahkan peserta didik untuk mencapai tahapan yang lebih tinggi dari ketidaktahuan dan

kebodohan. Pendidikan tidak sekedar mengumpulkan dan mengoleksi ijazah sebagai tanda lulus, melainkan agar potensi peserta didik dapat dikembangkan dan setelah mengikuti proses pendidikan dia lebih cerdas, lebih terampil, lebih mampu mengendalikan diri, lebih bertanggungjawab, dan berakhlak mulia. Parameter

penyelenggaraan pendidikan nasional semestinya tidak sampai melunturkan semangat yang lebih mulia dari sekedar untuk memperoleh tanda lulus dari negara. Ada kecenderungan pendidikan sekarang ini bersifat serimonial belaka dan lari dari substansi pendidikan itu sendiri, sehingga terkesan bahwa pendidikan sekedar rutinitas belajar. Diawali pada setiap awal tahun ajaran dengan merima murid baru, melakukan proses pembelajaran sesuai jadwal, evaluasi kenaikan kelas, proses pembelajaran lagi, dan evaluasi akhir (Ujian Nasional) dan pada akhirnya kepada peserta didik yang lulus diberikan ijazah. Dengan kondisi seperti itu, pantas akhir-akhir ini gugatan terhadap

penyelenggaraan pendidikan persekolahan menjadi lazim terdengar, baik dari kalangan masyarakat, politisi, maupun dari akademisi atau pakar pendidikan sendiri. Berbagai gugatan itu sehubungan dengan tidak baiknya penyelenggaraan pendidikan. Mulai dari gugatan sarana prasarana yang tidak memadai, muatan materi dan pembelajaran yang tidak seimbang antara aspek kognitif dengan aspek lainnya, kualitas atau mutu pendidikan yang masih rendah, kualitas pendidik yang tidak merata antara perkotaan dengan pedesaan, sampai dengan seringnya pelajar melakukan tindakan amoral dan kriminal. Selain itu, ada pernyataan yang keras bahwa pendidikan persekolahan kita melahirkan pengangguran yang sistematis. Gugatan itu tentu terkait dengan kesadaran dan pemahaman masyarakat yang makin tinggi bahwa pendidikan memiliki nilai strategis dan

urgent dalam pembentukan karakter bangsa. Kesadaran bahwa melalui pendidikanlah dapat diwariskan nilai-nilai luhur yang dimiliki suatu bangsa. Sebetulnya inti dari pendidikan ada dalam perjalanan hidup manusia karena manusia ingin mencapai hidup yang maju, yang lebih baik dan lebih layak. Dalam hal ini maka pendidikan menjadi komponen penting bagi manusia dalam melangsungkan hidupnya dengan melestarikan dan mengembangkan kebudayaannya, di mana nilai-nilai pendidikan dan kebudayaan tidak sekedar dibicarakan tetapi juga dipraktekkan. Bila membicarakan pendidikan dan kebudayaan sebenarnya telah ada pegangan kuat yakni Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan nasional harus dilandasi kebudayaan nasional. Demikian juga dalam PP No 29 tahun 1990 tentang Wawasan Wiyatamandala dinyatakan bahwa pendidikan haruslah berdasarkan kebudayaan. Namun menurut HAR Tilaar (2000) tidak ada upaya yang jelas dan konkrit baik peraturan-peraturan maupun implementasinya bahwa pendidikan nasional berakar kepada kebudayaan nasional, sehingga betapa pendidikan nasional kita telah tercabut dari akar kebudayaannya. Ketidaktercabutan dari akar budaya bukan berarti suatu 'tradisi' harus dipertahankan dengan cara tertutup atau defensif. Pelestarian budaya tradisi tidak berarti wujud

fisiknya tidak bisa berubah dan berkembang, walau dalam tataran ide atau nilai-nilainya patut dipertahankan. Menurut Peursen (1988:11-15) tradisi bukanlah sesuatu yang tak dapat diubah; tradisi justru dipadukan dengan keanekaragaman perbuatan manusia dan diangkat dalam keseluruhannya. Ia juga menyatakan bahwa kebudayaan merupakan cerita tentang perubahan; riwayat manusia yang selalu memberi wujud baru kepada pola-pola kebudayaan yang sudah ada. Manusialah yang membuat sesuatu dengan tradisi itu: ia

menerimanya, menolaknya, atau mengubahnya. Kebudayaan merupakan ketegangan antara imanensi dengan transendensi sehingga dapat dipandang sebagai ciri khas dari kehidupan manusia. Hidup manusia berlangsung di tengah-tengah arus proses-proses kehidupan (imanensi), tetapi juga selalu muncul dari arus alam raya itu untuk memiliki alamnya sendiri dan mengubahnya (transendensi). Sebagai sebuah bangsa yang besar diakui bahwa Indonesia memiliki banyak sekali corak dan ragam budaya. Masing-masing suku di Indonesia memiliki berbagai bentuk kebudayaan baik dalam wujud konsep atau gagasan, aktivitas, dan benda-benda (artefak). Dari berbagai macam corak dan bentuk budaya itu menurut Koentjaraningrat (1999) ada tujuh unsur kebudayaan universal yakni; bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian. Dari tujuh unsur itu, khusus kesenian terdapat pula cabang dan bentuk seni yang dimilki Indonesia. Berbagai macam bentuk dan corak seni baik yang modern maupun tradisional, visual arts, audio arts, dan audiovisual art , seni pertunjukan maupun seni nonpertunjukan (senirupa/kriya) semuanya dimiliki bangsa Indonesia. Sebut saja misalnya cabang seni rupa dan seni kriya maka akan ada seni lukis, patung, mozaik, seni batik, gerabah, anyaman, logam, ornamen, dan seni ukir. Salah satu suku bangsa Indonesia itu adalah Minangkabau, suku ini memiliki berbagai cabang seni, baik seni pertunjukan maupun nonpertunjukkan, baik seni yang modern maupun yang tradisional. Cabang seni rupa atau seni kriya Minangkabau juga banyak seperti arsitektur, tenun, anyaman, gerabah, dan ukiran. Bahkan ukiran-ukiran Minangkabau tidak saja bernilai estetis juga memiliki makna yang tinggi dan berkaitan dengan falsafah adat Minangkabau yaitu alam takambang jadi guru (alam yang

terbentang untuk dipelajari). Misalnya motif ukiran sikambang manih (bunga/akar yang cantik), motif yang diambil dari bentuk alam ini melambangkan wajah ceria dari penghuni rumah atas tamu yang datang. Motif pucuak rabuang (pucuk rebung/bambu muda) melambangkan waktu muda adalah saat yang baik menuju ke atas (Tuhan dan citacita) tanpa harus banyak cabang, rebung juga bermakna walaupun masih muda namun tetap bermanfaat. Menurut Ibenzani Usman (1985) seni ukir tradisional pada rumah adat Miangkabau, semuanya menampilkan wujud alam flora, yang tidak berperan sebagai hiasan belaka, melainkan juga sebagai simbol. Hampir seluruh motif-motif ukiran mempunyai makna yang berkaitan dengan falsafah hidup orang Minangkabau dengan samboyan belajar dari alam, semboyan itu sesuai dengan pepatah alam takambang jadi guru. Falsafah ini dapat dibuktikan dari karya sastra lama. Kata-kata yang disusun dalam seni sastra seperti petatah-petitih, pantun, syair, gurindam dan kaba bersumber dari kejadian-kejadian yang dekat dengan kita, yaitu alam (Hakimy, 1996). Selain mempunyai nilai falsafah, maka penempatan seni ukir Minangkabau mempunyai aturan tertentu. Seni ukir Minangkabau dapat dijumpai pada rumah-rumah adat dan rumah-rumah masyarakat, kantor-kantor, dan rumah ibadah (mesjid dan surau). Selain rumah-rumah adat yang memang harus berukir, akhir-akhir ini ada kecenderungan masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi yang baik (terutama perantau) membuat rumah gadang yang dengan sendirinya rumah tersebut berukir. Hal itu berkaitan dengan fungsi status sosial pemilik rumah di tengah masyarakat. Seni ukir juga dapat dijumpai pada bangunan perkantoran dan hotel baik milik pemerintah maupun bangunan milik swasta yang membuat gonjong (atap runcing ciri khas Minangkabau). Bahkan seni ukir

Minangkabau tidak saja dijumpai pada bangunan yang ada di Sumatera Barat melainkan juga di luar daerah. Agak berbeda dengan daerah lain, ukiran Minangkabau tidak hanya terdapat pada perabot rumah tangga tetapi lebih banyak dijumpai pada rumah-rumah adat dan bangunan lainya. Ukiran Minangkabau tidak sekedar ornamen hias saja, ia mempunyai makna filosofis dan aturan tata letak. Misalnya motif kaluek paku (relung pakis) bermakna tanggung jawab sosial seseorang di tengah masyarakat baik kewajiban dan hak terhadap anak, kemenakan, dan orang kampung dan bahkan negara. Waktu muda pakis bergelung ke dalam dan setelah tua bergelung ke luar, hal ini bermakna waktu muda periksa diri sendiri terlebih dahulu dan baru memeriksa orang lain, (Ibenzani, 1985). Motif sikambang manih diletakkan pada dinding bagian depan rumah adat. Sikambang manih merupakan julukan untuk gadis cantik yang mulai dewasa. Motif ini bermakna bahwa si penghuni rumah panyuko tamu nan tibo (suka dengan tamu yang datang) atau sebagai simbol dari keramahtamahan masyarakat dalam menerima setiap tamu yang datang, (Sri Sundari, 2000). Walaupun masing-masing daerah tidak sama persis tata letak motif ukirannya, namun tetap punya ketentuan penempatan motif ukiran. Perbedaan itu sebagai kekhasan masing-masing daerah. Pada awalnya, ada tiga daerah di Sumatera Barat yang menggali dan mengembangkan seni ukir Minagkabau. Ketiga daerah itu secara kultural disebut dengan luhak nan tuo (daerah yang tua/asal) yakni Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Agam, dan Kabupaten Limo Puluh Kota. Masing-masing daerah ini mempunyai style atau gaya masing-masing. Gaya tersebut bukan disebabkan perbedaan motif ornamen akan tetapi pengaruh teknik dan peralatan yang digunakan. Misalnya, ukiran Pandai Sikek

Tanah Datar akan tampak lebih runcing karena pengaruh penggunaan pahat layanglayang. Dari tiga daerah ini muncul tokoh atau guru yang mengajarkan seni ukir pada murid-muridnya. Beliau-beliau itulah yang pertama sekali mengajarkan seni ukir pada muridnya di sanggar-sanggar ukiran. Menurut Ibenzani Usman (1985) ketiga guru atau tokoh seni ukir itu yakni Ramli Dt. Rangkayo Sati lahir 1917 di Pandai Sikek kabupaten Tanah Datar dengan muridnya sebanyak 7 orang, Marzuki Malin Kuniang lahir 1897 di IV Angkek Canduang dengan muridnya berjumlah 5 orang, dan Sabirin Sutan Muncak lahir 1937 di Banuhampu Sungai Puar kabupaten Agam dengan muridnya berjumlah 4 orang. Untuk saat ini, tidak semua daerah itu yang masih menggali dan mengembangkan seni ukirnya. Daerah yang masih eksis dan cukup baik dalam mewariskan seni ukirnya pada generasi muda hanyalah Pandai Sikek. Seni ukir dari kabupaten Lima Puluh Kota hampir-hampir tidak terdengar lagi (punah), sanggar seni ukir daerah ini termasuk IV Angkek Candung sudah banyak beralih ke usaha perabot. Sedangkan seni ukir di kabupaten Agam amat sedikit upaya regenerasi. Keberlanjutan seni ukir di Pandai Sikek Kabupaten Tanah Datar terus berjalan walaupun tidak sebaik pengembangan seni ukir Bali dan Jepara. Kesinambungan seni ukir di Pandai Sikek sekarang ini lebih banyak atas inisiatif masyarakat dan sedikit sekali adanya perhatian dan pembinaan dari pemerintah. Perhatian dari pemerintah diberikan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tanah Datar berupa pendataan jumlah sanggar dan pengerajin, pembinaan keindustrian dan perdagangan. Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tanah Datar tahun

2009 terdapat 4 buah sanggar seni ukir di Pandai Sikek dengan jumlah murid (sekaligus pekerja) sekitar 55 orang. Pembinaan yang telah dilakukan berupa pelatihan disain mobiler dan diikutsertakan dalam pameran perdagangan. Bila dilihat dari ilmu kependidikan, alangkah baiknya pembinaan dan pelatihan bagi pengukir di Pandai Sikek di bawah koordinasi Dinas Pendidikan Kabupaten Tanah Datar. Karena jika pelatihan dilakukan oleh dinas Perindustrian dan Perdagangan ada kemungkinan yang dilakukan tidak menerapkan prinsip-prinsip ilmu kependidikan. Menurut Prayitno (2008) pendidikan tanpa ilmu pendidikan akan mengkerdilkan

kehidupan pendidikan, terjadi kecelakaan pendidikan yang melecehkan peserta didik, terhambatnya bahkan hilangnya kesempatan dan hak-hak pendidikan peserta didik. Misalnya seorang pendidik atau pelatih yang tidak memahami pilar high-touch (kewibawaan) tentu tidak memahami perbedaan potensi peserta didik, juga tidak mampu memberikan kasih sayang dan kelembutan, tidak jelas peserta didik harus diberi penguatan, serta tidak tahu kapan tindakan tegas yang mendidik dilakukan. Secara umum jika prinsip-prinsip ilmu kependidikan tidak diterapkan tentu proses pembelajaran (pelatihan), dan pewarisan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam seni ukir bukan saja tidak bernilai budaya, tetapi juga tidak diwariskan kepada genarasi baru. Di sisi lain diyakini bahwa ada bentuk atau model transformasi keterampilan, pengetahuan, dan filosofi seni ukir oleh guru pada muridnya pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek. Keyakinan itu berdasarkan masih adanya sanggar seni ukir dan masih ada beberapa generasi muda yang tampak mengukir di sanggar-sanggar seni ukir di Pandai Sikek. Sampai saat ini belum ada upaya dinas terkait untuk menelusuri bagaimana model pendidikan atau pelatihan seni ukir sehingga seni ukir Pandai Sikek tatap eksis dan

10

berkembang. Jika hal ini di biarkan terus-menerus ada kemungkinan seni ukir sebagai salah satu kekayaan budaya Minangkabau akan punah, karena semakin hari semakin sedikit saja generasi muda yang mempelajari seni ukir. Pada akhirnya bisa jadi seni ukir Minangkabau tidak lagi dikerjakan oleh putra Minangkabau. Bila hal ini terjadi ada harapan jalan diasak urang lalu, cupak diganti urang panggaleh (jalan ditukar orang yang lewat, takaran diganti oleh si pedagang). Guru tuo (pakar/ahli) seni ukir Pandai Sikek, Ramli Dt. Rangkayo Sati telah meninggal, dan yang mengajarkan seni ukir itu sekarang adalah murid-muridnya. Bagaimana model, pola, dan cara beliau-beliau mengajarkan keterampilan seni ukir pada muridnya belum diketahui. Menurut informasi dari salah satu murid Ramli Dt. Rangkayo Sati, ia mempunyai kiek-kiek dalam mengajar seni ukir dan kebiasaan beliau itu tidak seluruh dan sepenuhnya diteruskan oleh muri-mridnya. Dahulu ada tahapan-tahapan dan persyaratan khusus yang harus dipenuhi oleh setiap murid dalam belajar seni ukir. Misalnya seorang yang akan belajar seni ukir harus dengan kesadaran penuh dan disarahkan (diantar lansung) orang tua. Pada tahap awal murid seni ukir hanya membantu-bantu pekerjaan di sanggar, terkadang pekerjaan itu tidak berhubung langsung dengan kegiatan mengukir, seperti membersihkan pekarangan rumah guru. Untuk belajar falsafah ukir adakalanya dibawa lansung ke objek, seperti belajar falsafah motif pucuak rabuang maka murid dibawa ke rumpun bambu. Sekarang ini pemebelajaran tidak dilakukan seperti dulu lagi, misalnya untuk mengajarkan falsafah cukup dengan diceramahkan dan didiskusikan sambil mengukir. Cara-cara pembelajaran di sanggar tardisional seperti ini tampak spesifik.

11

Dari pengamatan terdapat perbedaan pembelajaran seni ukir pada sanggar-sanggar tradisional dengan pembelajaran seni ukir melalui persekolahan. Pembelajaran seni ukir di sanggar tradisional tidak hanya melatihkan keterampilan tetapi juga diajarkan falsafahnya. Pembelajaran pada sanggar seni ukir diajarkan murid sampai pada mampu menjadi tukang ukir atau mengukir layak jual. Sedangkan di sekolah formal hanya mengajarkan keterampilan mengukir sampai pada batas terpenuhi standar kompetensi atau syarat lulus. Artinya pada sekolah formal murid tidak dipersyaratkankan untuk menjadi tukang ukir. Filosofi motif dan penempatan motif ukiran juga tidak diajarkan pada sekolah formal. Ada beberapa pendidikan formal di Sumetera Barat yang mengajarkan seni ukir yaitu; SMK Negeri 4 Padang, SMK Negeri 8 Padang, SMK Negeri I Ampek Angkek Agam, INS Kayu Tanam, Jurusan Kriya STSI/ISI Padangpanjang, Jurusan Seni Rupa dan Kerajinan UNP. Pembelajaran seni ukir pada pendidikan formal telah ditetapkan tujuan yang akan dicapai setiap semester, dari isian kurikulum dirinci ke dalam satuan pembelajaran mingguan (sekitar 17 kali tatap muka), dibuatkan jadwal belajar/kuliah, dilakukan evaluasi atau ujian, dan diberi nilai. Ada tugas-tugas terstruktur yang diberikan pada peserta didik. Metode mengajar yang digunakan guru/dosen umumnya ceramah dan demonstrasi. Evaluasi dilakukan pada pertengan semester dan akhir semester, kepada peserta didik yang telah memenuhi standar kelulusan diberikan nilai berupa angka atau huruf. Dari pengamatan selintas, perlakuan di sekolah formal tidak ditemui pada pendidikan nonformal terutama pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek. Pembelajaran berlangsung tanpa terikat dengan jadwal yang telah ditentukan dan juga tidak harus 17

12

kali pertemuan atau tatap muka. Murid tidak dikelompokkan dalam bentuk klasikal, artinya antara satu murid dengan lainnya dapat berbeda-beda materi yang diberikan walaupun mereka dalam satu ruangan, misalnya ada yang pada taraf pengenalan alat, mulai mengukir kasar (tingkat dasar), dan ada yang taraf halus. Evaluasi tidak ada yang terjadwal dan terstruktur sehingga tidak ada nilai akhir berbentuk huruf atau angka. Akan tetapi sebagai sebuah pendidikan nonformal maka dalam penyelenggaraannya tetap memiliki sistem pembelajaran yang terlembaga. Jika dilihat dari hasil akhir, terutama kemapuan mengukir dan memahami falsafah seni ukir, maka keluaran sanggar tradisional seni ukir lebih terampil dan menguasai falsafah ukiran dibandingkan lulusan sekolah formal. Sebagai buktinya adalah hasil karya pengukir dari sanggar tradisional Pandai Sikek lebih diminati. Karya-karya mereka tidak saja disalurkan di daerah Sumatera Barat akan tetapi sampai diberbagai daerah Indonesia bahkan sampai ke Malaysia. Hasil karya pengukir dari sanggar ukir tradisional lebih diterima pasar atau konsumen. Jika karya mereka dapat diterima konsumen, maka usaha atau kegiatan seni ukir cukup baik. Oleh karena orientasi karya dapat diterima pasar maka pembelajaran pada sanggar tradisional di Pandai Sikek menyentuh aspek ekonomi. Artinya kegiatan pembelajaran tidak hanya pada aspek keterampilan seni ukir dan pewarisan nilai-nilai budaya, tetapi sekaligus diajarkan enterpreneurship. Dengan demikian murid yang telah menguasai keterampilan seni ukir ia akan mandiri, karena keterampilan yang dimilikinya perlu dan bermanfaat untuk dirinya bahkan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pasal 1 ayat 1 Undang-undang No 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan adalah...

13

agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki ... keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sehubungan dengan banyaknya aspek yang dapat digali dari seni ukir, maka pewarisan dan pengembangannya sangat diperlukan. Telah ada beberapa peneliti dan penulis yang meneliti tentang seni ukir Minangkabau dan seni ukir daerah lainnya. Marjani Martamin dan Amir B (1978) meneliti Ukiran Rumah Adat Minangkabau dan Artinya. Dalam laporan penelitiannya dijelaskan berbagai bentuk motif ukiran yang terdapat pada rumah adat Minangkabau. Penjelasan motif itu terkait dengan nama-nama motif ukiran, jenis motif ukiran, dan arti motif ukiran. Selain menjelaskan motif yang lazim dalam ukiran pada rumah adat Minangkabau, dalam penelitian ini juga disebutkan nama-nama motif Minangkabau yang tidak ditempatkan pada rumah adat. Ibenzani Usman (1985) Seni Ukir Tradisional Pada Rumah Adat Minangkabau: Teknik, Pola, dan Fungsinya. Dalam disertasi ini hanya membahas tentang teknik yang meliputi tentang penggunaan bahan, alat, dan cara yang berorientasi kepada sistem penalaran Minangkabau (alur dan patut), tentang pola-pola motif seni ukir Minangkabau, dan fungsi ukiran pada rumah adat Minangkabau. Sri Sundari (2000) meneliti Seni Ukir Pandai Sikek Dalam Masyarakat Minangkabau yang Berubah dibahas bahwa ukiran Pandai Sikek tidak hanya untuk rumah adat saja, sekarang sudah untuk kantor, toko, restoran, rumah pribadi, perabot rumah tangga, dan cenderamata. Perubahan itu seiring dengan masuknya pariwisata di Sumatera Barat. Penelitian ini menyimpulkan bahwa perubahan disebabkan motif ekonomi. SP Gustami (2000) meneliti Seni Kerajinan Mebel Ukir Jepara Kajian Estetik Melalui Pendekatan Multidisiplin. Penelitian ini dilakukan tahun 1999 dan dicetak menjadi buku tahun 2000 yang membicarakan tentang; (a) sejarah

14

perkembangan seni ukir Jepara mulai dari zaman Belanda sampai zaman orde baru dengan berbagai persoalan sosial, politik, ekonomi, budaya dan kehidupan beragama, (b) peran tokoh-tokoh wanita dalam perkembangan seni kerajinan khususnya seni ukir, seperti peran R.A. Kartini dan Tien Soeharto, (c) proses pelembagaan dan pembauran gaya seni yang berkaitan dengan mebel ukir Jepara, sehingga hadirnya berbagai macam ragam hias, jenis produk, pola penerapan ornamen, teknik mengukir, keragaman disain, dan bentuk mebel yang diproduksi, (d) eksistensi produk mebel ukir Jepara dari lokal menjadi pemasaran global, dan (e) pola perkembangan dan penyebaran yang berkaitan dengan tradisi pewarisan keahlian, pembiasan prilaku perajin, pembinaan dan pengembangan mebel ukir Jepara. Harisman (2001) meneliti Ukiran Masjid Tradisional Minangkabau di Tanah Datar, Propinsi Sumatera Barat; Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna. Dalam tesis ini dijelaskan bahwa bentuk ukiran pada masjid tradisional di Minangkabau tersusun dari kesatuan, kompleksitas, dan intensitas yang merujuk pada pola ukiran rumah adat. Dijelaskan juga bahwa fungsi ukiran merupakan media pendidikan, media pengalaman estetis, pengintegrasian masyarakat, dan fungsi keindahan sebagai kebutuhan masyarakat. Penjelasan pada makna dikaitkan pada persoalan kearifan tradisional dalam kehidupan masyarakat Minangkabau yang tersimpul sebagai makna denotatif dan konotatif. Suardi (2000) meneliti Studi Tentang Ukiran Tradisional Pada Bangunan Masjid di Kabupaten Kerinci. Temuannya menjelaskan bahwa ukiran pada bangunan Masjid di Kerinci menggunakan bentuk motif tumbuh-tumbuhan, geometris dan bentuk gabungan tumbuh-tumbuhan dan geometris. Penyusunan dengan pilin ganda, lingkaran, simetris dan asimetris. Penampang ukiran segi tiga, datar dan gabungan segi tiga, datar dan miring. Penggolongan nama motif berasal dari nama tumbuh-tumbuhan,

15

binatang dan alam benda, perwujudan merupakan stilirisasi dan meniru sifat asal nama motif tersebut. Makna motif dikaitkan dengan adat, agama, sosial budaya, dan sosial masyarakat pendukungnya. Ukiran menggunakan teknik ukiran tembus, rendah dan utuh. Nofrial (2009) meneliti Seni Ukir Rumah Larik Kerinci; Kajian Estetika dan Budaya. Dalam penelitiannya dijelaskan bahwa secara budaya Kerinci dikelompokkan atas hulu, tengah dan hilir, masing-masingnya memiliki rumah larik yang berukir. Daerah tengah dan hilir lebih kaya seni ukirnya dibandingkan daerah hulu, baik dari jumlah motif, warna dan teknik penggarapan. Akan tetapi motif ukiran mereka sama yakni, sama-sama mengambil bentuk tumbuh-tumbuhan dan geometris, serta unsur atau nama binatang. Dalam hal teknik pembuatan juga hampir sama, yang menghasilkan bentuk ukiran garis, ukiran rendah, ukiran sedang, dan ukiran tinggi, serta sama-sama tidak terdapat ukiran tembus. Beberapa hasil penelitian di atas tidak ada yang membahas lansung tentang model pendidikan atau cara mengajarkan keterampilan mengukir pada generasi selanjutnya. Oleh karena belum adanya penelitian dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan bagaimana seni ukir diajarkan, maka perlu adanya penelitian tentang model pendidikan seni ukir. Hal ini agar seni ukir Minangkabau khususnya seni ukir Pandai Sikek tidak hilang dan jika perlu dapat berkembang. Penelitian ini nanti diharapkan dapat mengukapkan cara mengajarkan seni ukir baik dari segi keterampilan maupun nilai-nilai yang terdapat di dalamnya kepada generasi muda. Model pendidi seni ukir pada sanggar tradisional yang ada di Pandai Sikek menjadi menarik dan perlu untuk diteliti, karena pewarisan seni ukir daerah ini tetap eksis dan lebih baik dari daerah lain di Sumatera Barat. Bagaimana model yang dilakukan dalam pewarisan seni ukir di Pandai Sikek

16

sehingga dapat bertahan menjadi bahan perbandingan untuk daerah-daerah lain. Pendidikan seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek juga dapat menjadi model dalam pengembangan cabang-cabang seni lainnya. B. Identifikasi Masalah Dari konteks penelitian yang telah dilakukan tentang seni ukir dan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, ternyata banyak persoalan dan masalah yang timbul. Berbagai permasalahan itu terkait dengan model pembelajaran seni ukir pada sanggar tradisonal di Pandai Sikek Sumatera Barat. Agar permasalahan itu lebih fokus pada pembelajaran seni ukir di sanggar tradisional Pandai Sikek, maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut; 1. Sanggar seni ukir di Pandai Sikek telah ada semenjak beberapa puluh tahun yang lalu. Saat ini ada 4 sanggar seni ukir yang masih aktif dengan sekitar 55 orang murid. Guru yang pertama mengajarkan seni ukir telah meninggal dunia, pendidikan seni ukir dilakukan oleh sebahagian generasi ke dua yang telah mendirikan sanggar dan menjadi guru seni ukir. Bahkan ada juga generasi ketiga yang telah mendirikan sanggar dan menjadi guru seni ukir. Apakah sama model pendidikan yang diberikan oleh semua guru seni ukir pada sanggar-sanggar tradisional di Pandai Sikek? Apakah model pendidikan yang diterima ketika mereka jadi murid sama dengan yang diberikan ketika mereka jadi guru seni ukir? Adakah terdapat inovasi dalam pendidikan seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek? 2. Guru atau pendidik pada sekolah formal telah dibekali dengan ilmu kependidikan, dan bahkan dilakukan penyegaran dengan berbagai pelatihan, penataran, workshop tentang cara mendidik. Guru bahkan juga dituntut untuk

17

profesional terutama dalam ilmu kependidikan. Sedangkan guru seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek tidak tamatan lembaga kependidikan. Bagaimana model guru pada sanggar tradisional di Pandai Sikek mentransformasi keterampilan dan ilmu seni ukir pada muridnya? Sejauhmana komponen high-touch dan high-tech diterapkan pada pendidikan seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek? 3. Materi pendidikan seni ukir pada sekolah formal telah dituntun dengan kurikulum dan silabus. Guru memberikan materi dalam beberapa semester agar murid menguasai materi sehingga terampil dalam mengukir. Pada tahap awal pada pendidikan formal murid diperkenalkan dengan bahan dan alat, dijelaskan berbagai motif, kemudian mengukir dasar, dan setelah itu baru pemberian tugas-tugas. Pada pendidikan formal ada kompetensi tertentu yang harus dicapai atau dengan istilah kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Pada sanggar seni ukir tentu juga ada kurikulum dan tahapan-tahapan tertentu sehingga murid mampu menjadi ahli ukir. Bagaimana model kurikulum seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek? Apakah ada pentahapan-pentahapan materi atau kompetensi tertentu yang diberikan guru? Apa saja materi pelajaran seni ukir yang diberikan guru pada tahap awal? Kapan materi filosofi seni ukir diberikan pada murid? 4. Dalam pendidikan formal dilakukan evaluasi guna menentukan berhasil atau tidaknya pelaksanaan pembelajaran. Ada acuan evaluasi, ada teknik evaluasi, dan waktu pelaksanaan evaluasi bisa dilakukan diawal, dipertengahan dan pada akhir kegiatan. Hakikatnya evaluasi untuk mendapatkan sejauh mana penguasaan murid atas materi yang telah disajikan. Pada sanggar seni ukir tradisional Pandai Sikek tentu ada bentuk evaluasi yang diberikan sehingga murid dapat diberikan materi

18

selanjutnya. Bagaimana model evaluasi seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek? Diyakini masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang patut dikemukakan dan dapat diteliti sehubungan dengan model pendidikan seni ukir pada sanggar tradisonal di Pandai Sikek. Namun demikian agar penelitian dapat dilaksanakan dengan sebaikbaiknya maka perlu dilakukan pembatasan masalah. C. Fokus Masalah Berdasarkan tinjauan tentang pentingnya pewarisan seni ukir sebagai salah satu kekayaan budaya dan upaya mentransformasikan keterampilan mengukir pada generasi selanjutnya banyak permasalahan yang muncul. Dari sekian banyak permasalahan tersebut maka penelitian ini difokuskan pada bagaimana model pendidikan seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek yang tercakup pada; (1) tahapan proses pembelajaran (pre, while, dan post), (2) materi-materi ajar yang diberikan, (3) penerapan high-touch dan high-tech dalam proses pembelajaran, dan (4) evaluasi hasil belajar untuk dapat ditentukan sebagai pengukir layak jual. D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan maka rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut; 1. Bagaimana pentahapan proses pembelajaran seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek? 2. Bagaimana bentuk-bentuk materi ajar seni ukir yang diberikan setiap tahapan pada sanggar tradisonal di Pandai Sikek?

19

3.

Sejauhmana penerapan komponen high-touch dan high-tech dalam proses pembelajaran seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek?

4.

Bagaimana bentuk evaluasi hasil belajar yang dilaksanakan pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek?

E. Tujuan Penelitian Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, yakni; 1. Untuk mengetahui pentahapan proses pembelajaran seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek. 2. Untuk mengungkap bentuk-bentuk materi ajar seni ukir yang diberikan pada setiap tahapan pada sanggar tradisional di Pandai Sikek. 3. Untuk melihat penerapan komponen high-touch dan high-tech dalam proses pembelajaran seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek. 4. Untuk mengungkap bentuk evaluasi hasil belajar yang dilaksanakan pada sanggar tradisional di Pandai Sikek. F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi; 1. Pemerintah Tanah Datar (Dinas Pendidikan, Dinas PERINDAG, dan Dinas BUDPAR) dalam membina dan mengembangkan seni ukir Pandai Sikek sebagai salah satu aset budaya. 2. Pemerintah Sumatera Barat (Dinas Pendidikan, Dinas PERINDAG, dan Dinas BUDPAR) sebagai salah satu model dalam menumbuhkan, mengembangkan dan membina aset budaya khususnya seni ukir daerah lain yang hampir punah pada beberapa daerah di Sumatera Barat.

20

3.

Lembaga pendidikan formal Sumatera Barat khususnya baik tingkat SLTA maupun perguruan tinggi yang mengajarkan seni ukir sebagai sebuah model perbandingan dalam memberikan materi seni ukir.

4.

Lembaga pengelola pendidikan nonformal sebagai salah satu model dalam membina dan mengembangkan seni tradisional.

5.

Bagi peneliti-peneliti selanjutnya baik dalam bidang seni maupun dalam pendidikan nonformal.

6.

Bagi peneliti sendiri sebagai tambahan ilmu pengetahuan dan sekaligus sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Doktor bidang ilmu pendidikan pada Pasca Sarjana UNP.

KAJIAN PUSTAKA

Pada bagian ini akan dikemukakan beberapa pendapat, hasil penelitian, dan teori yang berkaitan dengan fokus penelitian. Teori-teori yang disajikan tidak dimaksudkan untuk menguji kebenarannya, melainkan sebagai landasan pijak yang dikaitkan antara fokus penelitian dengan variabel-variabel pendidikan seni ukir pada sanggar tradisional. Untuk itu, secara berturut-turut dikaji tentang; (1) hakikat pendidikan, (2) hakikat pembelajaran, (3) kebudayaan Minangkabau, (4) seni dan pendidikan seni, dan (5) model pendidikan. 1. Hakikat Pendidikan Negara Indonesia menjamin seluruh rakyatnya secara konstitusi untuk mendapat pendidikan. Jaminan itu tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Isi dari amanat pembukaan UUD 1945 itu adalah bahwa negara berupaya untuk mencerdaskan

21

kehidupan bangsa. Kesadaran yang tinggi dari founding father menggambarkan bahwa begitu pentingnya arti pendidikan bagi bangsa Indonesia. Untuk mewujudkan amanat pembukaan UUD 1945 tersebut maka dibuatkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pendidikan agar rakyat Indonesia dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam era globalisasi yang sarat dengan persaingan. Upaya ini tentu dengan harapan anak bangsa Indonesia pada suatu saat dapat bersaing dan bersanding dengan bangsa lain dalam artian duduk sama rendah tegak sama tinggi. Dalam pasal 1 ayat 1 UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dari pengertian pendidikan ini ada beberapa hal yang perlu dipahami. Pertama pendidikan adalah usaha sadar yang terencana, berarti proses pendidikan (formal, nonformal, dan informal) bukanlah proses yang dilaksanakan secara asal-asalan, tetapi proses yang bertujuan. Proses pendidikan itu diarahkan untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran. Hal ini dimaksudkan bahwa pendidikan harus memperhatikan proses belajar guna mencapai hasil belajar. Dengan demikian, dalam pendidikan antara proses dan hasil belajar harus berjalan secara seimbang. Kedua suasana belajar dan pembelajaran diarahkan dalam upaya

mengembangkan potensi murid. Artinya proses pendidikan itu harus berorientasi kepada peserta didik (student active learning). Dengan demikian, murid harus dipandang sebagai organisme yang sedang berkembang dan memiliki potensi. Pendidik berkewajiban

22

mengembangkan potensi yang dimiliki murid, tidak sekedar menjejalkan materi ajar atau memaksa mereka dapat menghafal data dan fakta. Kemudian ketiga pengertian pendidikan dinyatakan menjadikan murid memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini berarti proses pendidikan berujung kepada pembentukan sikap, pengembangan kecerdasan intelektual, emosional, serta pengembangan keterampilan dan kreativitas murid. Menurut Suprioyono (2006) bahwa pendidikan pada mulanya adalah upaya mewariskan pengetahuan, keterampilan, dan sikap orang tua kepada anak-anak mereka. Pewarisan budaya itu tidak saja dimaknai sebagai orang tua biologis kepada anak-anak mereka, melainkan juga dilakukan oleh generasi yang lebih tua kepada generasi muda dalam sebuah komunitas melalui interaksi keseharian. Menurut Ansyar (1989:2) pendidikan bukan saja dimaksudkan masyarakat untuk mewariskan kebudayaan kepada anak-anak generasi penerus mereka itu, tetapi juga merupakan suatau cara untuk mentransformasikan kebudayaan masyarakat itu. Bila dilihat secara antropologis dari dau pendapat ini dapat disimpulkan bahwa aktivitas pendidikan yang dilakukan suatu masyarakat merupakan kegiatan kebudayaan dalam upaya untuk mewariskan dan mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap, generasi selanjutnya.

Transformasi kebudayaan itu tidak saja harus dari orang tua biologis kepada anaknya akan tetapi bisa dari orang yang telah mengetahui. Hal ini berbeda dengan orang primitif yang mendidik anaknya tanpa mendirikan intitusi pendidikan, karena orang tua dapat melakukan pewarisan budaya kepada anaknya (Ansyar, 1989). Searah dengan itu, Taba (1962) mengemukakan tiga fungsi utama pendidikan, yakni, (a) pendidikan sebagai

23

pemelihara dan penerus kebudayaan, (b) pendidikan sebagai alat bagi usaha transformasi kebudayaan, dan (c) pendidikan sebagai alat bagi pengembangan individual anak. Berangkat dari tiga fungsi yang dikemukakan oleh Taba, maka kegiatan yang terdapat di sanggar seni ukir tidak lepas dari kegiatan pendidikan. Artinya bahwa terdapat fungsi pemeliharaan kebudayaan pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek di mana seni ukir masih ajeg sampai sekarang. Dalam mewariskan kemampuan seni ukir terus dilakukan transformasi mengukir dari guru pada muridnya baik yang berkaitan dengan keterampilan maupun falsafah seni ukir. Pada akhirnya setiap individu murid yang telah belajar mengukir dapat berguna bagi diri dan masyarakatnya. Menurut Tilaar (2004:54) bahwa pendidikan tidak dibatasi sebagai shooling, sebab pendidikan ternyata tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan hidup masyarakat, atau dengan kata lain merupakan sebahagian dari kebudayaan. Namun tingkat ketergantungan sebahagian besar masyarakat Indonesia dengan persekolahan masih tinggi. Sebagaimana dinyatakan oleh Surjadi (1994) bahwa umumnya masyarakat kurang menghargai pendidikan masyarakat yang diselenggarakan secara lokal, hal ini tidak lain karena ketergantungan masyarakat pada lembaga pendidikan sekolah atau pendidikan formal masih tinggi. Pernyataan Surjadi ini tidak sepenuhnya benar, hal ini dapat dilihat bahwa ada kesadaran masyarakat untuk mendapat pendidikan yang lebih baik dan bermutu dari hari ke hari. Orang tua dan peserta didik tidak puas dan memadai saja pendidikan persekolahan. Orang tua mengikutkan anak-anaknya pada lembaga-lembaga baik untuk tambahan materi ajar persekolahan seperti matematatika, fisika, dan bahasa Inggris maupun non materi ajar seperti kursus piano, tari, dan melukis. Selain itu ada juga orang tua yang menggugat penyelenggaraan pendidikan persekolahan dengan mendatangkan

24

guru atau pendidik ke rumah seperti kasus home schooling. Pendidikan nonformal seperti kursus menjahit dan kursus montir juga diminati masyarakat, termasuk belajar mengukir. Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas menyatakan bahwa ada tiga jalur pendidikan yakni jalur pendidikan formal, nonformal, informal. Memperhatikan Undang-Undang Sisdiknas ini maka yang termasuk pada pendidikan formal atau juga dinamakan pendidikan persekolahan mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai pada pendidikan tinggi baik yang negeri maupun swasta, baik yang berbasis agama maupun umum. Untuk pendidikan nonformal di Indonesia berbentuk kursuskursus singkat (non-ijazah) dan pelatihan-pelatihan. Sedangkan pendidikan informal disebut pendidikan sepanjang hayat yang tidak bisa dipisahkan dengan sistem pendidikan formal dan nonformal, (Mustofa Kamil, 2009). Dengan demikian, proses

penyelenggaraan pembelajaran pada sanggar seni ukir seperti di Pandai Sikek termasuk pada bentuk pendidikan nonformal. Banyak istilah yang digunakan untuk menyebut pendidikan nonformal seperti mass education, adult educaton, lifelong education, learning society, out-of-school education, social education (Mustofa Kamil, 2009). Kemudian ia juga menjelaskan bahwa pendidikan nonformal dalam proses penyelenggaraannya memiliki suatu sistem yang terlembagakan, yang didalamnya terkandung makna bahwa setiap pengembangan pendidikan nonformal perlu perencanaan program yang matang, melalui kurikulum, isi program, sarana, prasarana, sasaran didik, dan sumber belajar. Menurut Hamojoyo (1973:23) pendidikan nonformal adalah usaha yang terorganisir secara sistematis dan kontiniu di luar sistem persekolahan, untuk membimbing individu, kelompok dan masyarakat agar memiliki sikap dan cita-cita sosial guna meningkatkan taraf hidup di

25

bidang materi, sosial dan mental dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial. Dari pendapat ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan nonformal penyelenggaraannya terlembaga dalam sebuah sistem yang terencana, artinya mempunyai kurikulum, sarana, dan prasarana untuk mewujudkan kesejahteraan hidup baik materi, sosial dan mental peserta didik. Berdasarkan pendapat ini maka kegiatan-kegiatan yang terorganisir dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan peserta didik seperti sanggar seni ukir di Pandai Sikek termasuk pada pendidikan nonformal. Pendapat ini dapat dipakai untuk melihat sejauh mana kelembagaan dan perencanaan penyelenggaraan pendidikan pada sanggar tradisional seni ukir di Pandai Sikek sebagai sebuah intitusi pendidikan. Menurut Mustofa Kamil (2009) tujuan dari pendidikan nonformal bersifat jangka pendek dan spesifik bukan asas kepercayaan, waktunya relatif singkat/berulang/paruh waktu, isi bersifat individual/keluaran, sistem rekrutmen siswa menentukan syarat masuk, kontrol bersifat membangun diri/demokratis. Kurikulum pendidikan nonformal bersifat fleksibel memperhitungkan kondisi daerah (masyarakat). Bila merujuk pendapat ini, maka ada beberapa tujuan pendidikan nonformal yang searah dengan kegiatan sanggar seni ukir. Pertama waktu penyelenggaraan bersifat jangka pendek artinya pendidikan seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek tidak sama dengan sekolah formal (tiga tahun). Kedua bidang ilmu yang diajarkan punya spesifik yaitu seni ukir lebih khusus seni ukir Minangkabau. Ketiga perlakuan terhadap murid bersifat individual walaupun penyelenggaraan dalam suatu ruangan. Kemudian kepada murid diberikan kepercayaan untuk dapat kontrol diri sendiri guna membangun diri. Bila dilihat dari segi bentuk dan karakternya, tampak bermacam-macam model pendidikan akan tetapi hakikatnya satu. Menurut Prayitno (2008:1) Pendidikan itu

26

bermacam-macam akan tetapi pada hakikatnya satu, yaitu upaya untuk memuliakan kehidupan manusia. Memperhatikan pendapat Prayitno ini, maka manusia dalam konteks pendidikan merupakan unsur terpenting. Ia dapat sebagai subjek dan sekaligus sebagai objek pendidikan dan dapat berperan sebagai pelaksana pendidikan

(pendidik/guru) dan sekaligus sebagai peserta didik (siswa). Kegiatan pendidikan pada dasarnya adalah dari manusia, oleh manusia dan untuk manusia. Dalam hal pendidikan manusia sekaligus sebagai sumber, sarana, dan pelaksana pendidikan itu sendiri. Dengan demikian manusia memiliki potensi untuk berkembang dan dikembangkan kepada hal-hal yang bersifat positif dan negatif. Agar manusia cenderung berkembang ke arah perilaku yang positif atau baik, maka diperlukan adanya proses pendidikan yang menyentuh terhadap hakikat kemanusiaan itu sendiri. Pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya sadar dan terencana untuk memuliakan harkat martabat manusia, (Prayitno, 2008). Proses pendidikan memungkinkan potensi seseorang dapat dikembangkan secara optimal sehingga ia dapat berkembang secara utuh dan pada akhirnya dapat eksis di tengah masyarakat dan berhasil menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan. Menurut Ansyar (1985) ... yang jelas adalah pendidikan dapat memenuhi semaksimal mungkin keinginan masyarakat, kebutuhan individu untuk hidup layak ... bagi pembentukan manusia yang dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik. Mempedomani pendapat ini dapat disimpulkan bahwa salah satu ciri keberhasilan pendidikan dalam mematangkan pribadi adalah apabila seseorang tersebut dapat hidup layak dan baik, serta dengan tenang menghadapi setiap persoalan atau masalah, melakukan analisa secara jernih, dan secara matang merumuskan berbagai alternatif pemecahan masalah yang dihadapinya.

27

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan itu ada yang berbentuk formal, informal, dan nonformal. Kegiatan yang berlangsung pada sanggar seni ukir tradisional di Pandai Sikek termasuk pada pendidikan nonformal. Manusia dalam hal ini peserta didik dan guru menjadi amat penting dalam penyelenggaraan pendidikan, ia dapat sebagai objek dan subjek. Sebegitu pentingnya manusia dalam keterlibatannya pada perencanaan, proses, dan menentukan keberhasilan pendidikan baik pendidikan formal maupun nonformal, maka perlu dibahas dan dikaji hakikat manusia. Jika diurut dan dikemukakan sebenarnya sudah banyak kajian pakar tentang manusia dan pendidikan. Kajian-kajian para pakar tentang manusia dalam kaitan dengan pendidikan pada umumnya masih berkisar mengenai manusia dengan diri sendiri dan lingkungannya. Belum banyak kajian yang menjangkau hakikat manusia secara utuh dalam pendidikan, baik sebagai makhluk ciptaan tuhan, diri sendiri dan sebagai makhluk sosial. Pemikiran itu belum menjelaskan secara penuh harkat martabat manusia, padahal harkat dan martabat manusia itulah yang benar-benar membedakan manusia dengan makhlukmakhluk lain. a. Harkat dan Martabat Manusia Ada banyak makhluk yang diciptakan Tuhan seperti; batu, air, api, tumbuhtumbuhan, hewan, setan, jin, manusia, dan malaikat. Akan tetapi manusialah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibandingkan makhluk-makhluk lainnya. Kemulian dan kesempurnaan manusia tidak hanya pernyataan manusia saja akan tetapi banyak dijelaskan tuhan dalam firmaNya, di antaranya; Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkat mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik

28

dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna. (QS 17: 70) Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya. (QS 95:4). Sejalan dengan itu, Prayitno (2008:19) menyatakan bahwa hakekat manusia adalah makhluk yang paling indah dan sempurna dalam penciptaannya, paling tinggi derajatnya, khalifah di muka bumi, makhluk yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan pemilik Hak Azasi Manusia (HAM). Mempedomani pendapat ini maka pernyataan bahwa pendidikan memanusiakan manusia tidaklah tepat, sebab sebelum memasuki proses pendidikan peserta didik (murid pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek) sebenarnya telah sempurna dan mulia. Akan tetapi potensi-potensi yang ada pada diri peserta didik perlu dikembangkan, diasah dan dimatangkan. John Dewey dengan gerakan progresifnya mengingikan peranan yang lebih kreatif dari sekolah untuk pengembangan individu. Maksudnya pemusatan pengembangan potensi individu, terutama kemampuan kreativitas, kebebasan berpikir, penemuan sendiri, serta pengembangan potensi fisik dan mental (Ansyar, 1989). Selain dari kesempurnaan fisik, manusia dibekali Tuhan dengan akal, hati, dan nafsu. Manusia juga punya budi nurani yang menjadikan manusia punya rasa, karsa, dan cipta. Sehingga dengan bekal itu manusia mampu merancang sendiri segala kebutuhannya. Menurut Prayitno (2008) bahwa kebutuhan dan pengembangan manusia dari, untuk, dan oleh manusia sendiri. Selain memandang sisi keduniaannya manusia juga merancang kehidupan akhiratnya. Keseluruhan pandangan ini menjadikan manusia memiliki harkat dan martabat, karena manusia tidak sekedar punya kebutuhan akan tetapi dengan akalnya mampu merancang kebutuhannya yang sekarang dan masa depan. Berangkat dari pendapat di atas bahwa

29

pendidikan yang berlangsung pada sanggar seni ukir tradisional di Pandai Sikek merupakan kegiatan pengembangan potensi diri murid. Kreativitas murid-murid pada bidang seni diarahkan pada kegitan mengukir. Kajian tentang hakikat manusia secara menyeluruh, akan mencakup harkat dan martabat manusia, yaitu bahwa manusia adalah (1) makhluk yang paling indah dan sempurna dalam penciptaannya, (2) makhluk yang paling tinggi derajatnya, (3) khalifah di muka bumi, (4) makhluk yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (5) pemilik hak-hak asasi manusia (Prayitno, 2008:19). Dari pendapat ini dapat disimpulkan bahwa dari awal penciptaan manusia sampai dengan perjalanannya kembali ke hadapan sang pencipta, kelima butir konsep dasar harkat martabat manusia itu tetap melekat pada dirinya. Implementasi dari lima konsep dasar yang selalu melekat pada dirinya, maka manusia terus berusaha mengembangkan kehidupannya di atas bumi. Modal keimanan dan ketaqwaannya ditunaikan melalui peribadatan yang tulus dan ikhlas dalam mencapai redhaNya. Bekal kesempurnaan dan keindahannya diwujudkan melalui penampilan budaya dan peradaban yang terus berkembang. Adanya ketinggian derajat ditampilkan melalui upaya menjaga kehormatan dan menolak hal-hal yang merendahkan nilai-nilai kemanusiaannya. Kekhalifahan diselenggarakan melalui penguasaan dan pengelolaan atas sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk kehidupan yang damai dan sejahtera dalam alam yang nyaman dan tenteram. Sedangkan modal hak asasi manusia dipenuhi melalui saling pengertian, saling memberi dan saling menerima serta saling melindungi, mensejahterakan dan membahagiakan. Menurut Nasution (1995:49), tujuan pendidikan pada dasarnya mengacu pada tujuan hidup manusia. Tujuan tersebut adalah kesempurnaaan manusia sesuai dengan

30

harkat dan martabat serta ketinggian derajat yang dimilikinya. Selajan dengan itu, Mukhtar (20001:7) menyatakan bahwa pembahasan tentang tujuan pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan pembahasan tentang tujuan hidup manusia sesuai dengan hahikat kemanusiannnya. Dengan teraktualisasikan harkat dan martabatnya, manusia akan dapat menemukan kehidupan di dunia dan di akhirat sesuai dengan tujuan penciptaan manusia, yaitu kehidupan yang mulia, bermartabat dan membahagiakan. Kehidupan demikian itu diatur dengan memenuhi hak-hak asasi masing-masing individu dalam keseluruhan dimensi kemanusiaannya. Berkaitan dengan pendidikan, maka hakikat manusia sangat perlu diketahui guna mencapai tujuan pendidikan. b. Panca Daya Selain dari konsep dasar tentang harkat dan martabat kemanusian maka ada beberapa dimensi yang melekat pada manusia. Menurut Prayitno (2008:21) dimensidimensi itu berkaitan dengan manusia sebagai hamba tuhan, sebagai diri sendiri, dan sebagai makhluk sosial. Dimensi itu dalam upaya pengembangan diri dan kehidupan selanjutnya. Dimensi-dimensi itu adalah (1) dimensi kefitrahan, (2) dimensi keindividualan, (3) dimensi kesosialan, (4) dimensi kesusilaan, dan (5) dimensi keberagamaan. Dengan mempedomani dimensi ini maka pembelajaran pada sanggar seni ukir akan menjadi lebih baik sebab proses pendidikan didasari dengan pemahaman manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial. Hal ini sejalan dengan salah satu harapan PBB (UNESCO, 1996) bahwa pendidikan untuk semua; learning to live together, to live with others. Kemudian diyakini bahwa pendidikan yang dilakukan pada prinsipnya bertujuan agar manusia dapat memelihara kelanjutan hidupnya (survival), baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.

31

Menurut Prayitno (2008:26) guna merancang hidupnya yang lebih baik, lebih sempurna, dan lebih berarti baik dunia maupun akhirat maka manusia juga dibekali dengan kekuatan atau daya pengembangan. Untuk memungkinkan perkembangan individu ke arah yang dimaksud itu, manusia dikaruniai oleh Sang Maha Pencipta lima jenis bibit pengembangan, yang disebut panca daya, yaitu: (1) daya taqwa, (2) daya cipta, (3) daya karsa, (4) daya rasa, dan (5) daya karya. Kajian panca daya ini dapat dijelaskan bahwa; daya taqwa merupakan basis dan kekuatan pengembangan yang secara hakiki ada pada diri manusia untuk mengimani dan mengikuti perintah dan larangan dan Tuhan Yang Maha Esa. Daya cipta bersangkut paut dengan kemampuan akal, pikiran, fungsi kecerdasan, dan fungsi otak. Daya cipta, ini seringkali disebut sebagai komponen kognitif pada diri individu, dengan penekanan lebih besar pada unsur-unsur kreativitas. Daya rasa mengacu kepada kekuatan perasaan atau emosi dan sering disebut sebagai unsur afektif. Hal-hal yang terkait dengan suasana hati dan penyikapan termasuk ke dalam daya rasa. Daya karsa merupakan kekuatan yang mendorong individu untuk melakukan sesuatu secara dinamis bergerak dan satu posisi ke posisi lain, baik dalam arti psikis maupun keseluruhan dirinya. Kemampuan atau keinginan berbuat dan semangat (termasuk di dalamnya prakarsa) merupakan isi daya karsa. Daya karsa ini mengarahkan individu untuk mengaktifkan dirinya, untuk berkembang, untuk berubah dan keluar dan kondisi status quo. Daya karya mengarah kepada dihasilkannya produk-produk yang secara langsung dapat digunakan atau dimanfaatkan baik oleh diri sendiri, orang lain, dan/atau lingkungan. Produk-produk yang berupa barang-barang konsumsi, produk-produk teknologi dan seni, produk keilmuan, berbagai jenis pelayanan dan penampilan. Daya karya juga melahirkan produk yang paling sederhana sampai yang paling canggih, dari

32

yang tradisional sampai yang modern. Menurut Kavlan (2000) dengan daya karya manusia menghasilkan berbagai produk baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, baik untuk komersil maupun untuk pewarisan nilai budaya. Dapat disimpulkan bahwa, daya-daya itu sangat diperlukan manusia dalam menghasilkan berbagai produk baik yang modern maupun yang tradisional, baik untuk kebutuhan pribadi maupun yang komersial, termasuk dalam hal ini produk seni ukir. Kegiatan mengukir di sanggar tradisional di Pandai Sikek merupakan salah satu bentuk kegiatan daya karya manusia. Menurut Waras Kamdi (2008) dalam paradigma pendidikan Indonesia manusia tidak dipandang sebagai alat produksi tetapi harus dipandang sebagai sumber daya yang utuh. Manusia yang utuh itu sendiri dalam paradigma baru pendidikan Indonesia adalah yang berfikir kreatif, yang mandiri, dan yang dapat membangun dirinya dan masyarakat (Tilaar, 2000:21). Sejalan dengan itu Prayitno (2008) menyatakan bahwa panca daya itulah yang menjadi isi hakiki kekuatan pengembangan keseluruhan dimensi kemanusiaan. Dalam kajian dewasa ini, panca daya sering dimanifestasikan sebagai kemampuan dasar yang disebut intelegensi spiritual, dimensi rasional, intelegensi emosional, dan intelegensi instrumental. Mempedomani ini betapa pentingnya memahami hakikat panca daya terutama dalam penyelenggaraan pembelajaran pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek. Dengan demikian pendidikan pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek perlu memperhatikan harkat dan martabat manusia yang mengandung lima dimensi kemanusiaan dan pancadaya, karena merupakan modal dasar kemanusiaan yang sudah dibawa oleh manusia sejak ia dilahirkan bahkan sejak ia masih berada dalam rahim ibunya. Modal dasar ini yang diarahkan dalam pembetukan manusia yang lebih baik dan

33

lebih utuh. Manusia seutuhnya adalah sosok individu yang harkat dan martabatnya terwujudkan secara penuh melalui pengembangan hakikat manusia dengan kelima dimensi kemanusiaannya melalui pengaktifan panca daya secara optimal. Paradigma pendidikan (formal, nonformal, dan informal) ke depan haruslah dialihkan pada pemuliaan harkat martabat manusia yang dikemukakan. Sejauh mana komponenkomponen ini diterapkan akan di lihat pada objek penelitian. 2. Hakikat Belajar Pembahasan tentang pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kegiatan belajar, karena tidak ada pendidikan tanpa belajar. Menurut Aunurrahman (2009) belajar merupakan kegiatan penting setiap orang, termasuk di dalamnya belajar bagaimana seharusnya belajar. Perintah Iqra (baca!) dalam konsep Islam bermakna belajar, artinya untuk mendapatkan dan memahami suatu makna hanya didapat dengan cara belajar. Dari hasil belajar manusia akan berilmu dan ilmu yang dibarengi dengan iman menjadikan derajat kehidupannya menjadi lebih tinggi. Hal ini dinyatakan Allah SWT dalam Al Quran surat Mujadalah ayat 11: ....niscaya Allah akan meninggikan beberapa derajat kepada orangorang yang beriman dan berilmu. Pandangan para ahli tentang konsep belajar cukup beragam, hal ini terlihat dari definisi belajar yang diungkapkannya. Gage (1984) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses di mana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Meyer (1999) melihat belajar dan tiga pandangan yakni (1) belajar sebagai penguatan respon, (2) belajar sebagai pemerolehan pengetahuan, dan (3) belajar sebagai konstruksi pengetahuan. Bila dicermati pandangan Meyer ini, tanpak bahwa ada 3 paradigma bagaimana konsep belajar diformulasikan. Ketiga paradigma ini adalah paradigma

34

behavioristik, kognitivistik, dan konstruktivistik. Menurut pandangan behavionistik belajar adalah perubahan perilaku peserta didik. Konsepsi utama teori ini adalah stimulus dan respons (S-R) sebagai dasar adanya perubahan perilaku. Orang dikatakan belajar apabila ada perubahan perilaku yang diakibatkan dan dampak stimulus dan respon sehingga menjadi suatu kebiasaan (Schuman, 1996). Pandangan kognitivisme belajar dipandang sebagai proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, informasi dan faktor-faktor lain, stimulus yang diterima disesuaikan dengan struktur kognitif yang terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pengalaman sebelumnya, (Aunurrahman, 2009). Sedangkan paradigma konstruktivisme melihat pengetahuan tidak terlepas dari proses pembentukan (konstruksi) yang terus menurus berkembang dan berubah. Menurut Piaget (1971) pembentukan ini tidak pernah mencapai titik akhir, akan tetapi terus menerus berkembang setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman baru. Bila dikaitkan dengan pembelajaran yang terjadi di sanggar ukir maka ketiga paradigma ini menjadi dasar bagi pembentukan peserta didik. Proses pembelajaran itu sendiri harus berorientasi kepada pengembangan segenap dimensi kemanusiaan. Menurut Muhibbin (2005) belajar amat penting artinya bagi perkembangan dan kehidupan manusia. Oleh karena belajar manusia dapat berkembang lebih jauh dari makhluk lain, karena belajar juga manusia dapat mengeksploitasi, memilih, dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk mempertahankan kehidupannya dalam persaingan antar bangsa. Memperhatikan hal ini maka proses pembelajaran pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek merupakan upaya untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada dan meneksploitasinya sampai mereka memiliki keterampilan sendiri.

35

Menurut Muhibbin (2005) bahwa tinggi rendahnya kualitas perkembangan manusia akan menentukan masa depan peradaban manusia itu sendiri. Berdasarkan pendapat ini maka perkembangan berpikir kompleks dan baik tidak akan mungkin terjadi dengan sendirinya tanpa proses belajar. Seorang murid yang belajar dalam situasi baik dan kondisi yang disiapkan akan mendapat hasil maksimal. Sebaliknya pembelajaran yang tidak terencana sulit mendapatkan hasil maksimal. Artinya perkembangan murid akan didapat dari pembelajaran yang terencana dengan baik. Dengan demikian kualitas perkembangan manusia amat tergantung dari apa dan bagaimana ia belajar. Dalam hal ini (Howe, 1980) menjelaskan pendapat pakar teori S-R Bond (E.L. Thorndike) bahwa jika kemampuan belajar umat manusia dikurangi setengahnya saja maka peradaban yang ada sekarang ini tidak akan berguna bagi generasi yang akan datang, bahkan mungkin peradaban itu sendiri akan lenyap ditelan zaman. Menurut Gagne cara berpikir seseorang tergantung pada keterampilan apa yang telah dimilikinya, dan keterampilan serta hirarki apa yang diperlukan untuk mempelajari suatu tugas. Lebih lanjut dijelaskan bahwa belajar tidak suatu yang terjadi secara alamiah, akan terjadi dengan kondisi-kondisi tertentu. Kondisi itu menurut Aunurrahman (2009) adalah kondisi internal menyangkut kesiapan peserta didik, kondisi eksternal yaitu situasi belajar yang secara sengaja yang diatur oleh pendidik. Jadi, dalam membahas model pembelajaran seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek akan bermanfaat sekali paradigma-paradigma teori belajar yang dikemukan di atas. Teori belajar yang dianggap pas untuk ini adalah perpaduan antara behaviorisme dan kognitivisme. Untuk mencapai hasil belajar yang ideal tentu tuntutan terhadap tugas guru/ pendidik menjadi amat penting. Tugas guru adalah menyelenggarakan proses

36

pembelajaran agar pada diri peserta didik berkembang suasana belajar. Hal ini sesuai dengan tanggung jawab guru sebagai tenaga profesi, sebagaimana dikemukakan dalam ketentuan etika pendidikan yang menyatakan: bahwa tanggungjawab puncak pendidik berada di dalam proses pembelajaran. Sehubungan dengan komponen-komponen pendidikan tersebut Prayitno (2005 : 15) mengemukakan bahwa interaksi antar komponen pendidikan tersebut terjadi dalam suatu hubungan yang unik, karena tidak terdapat pada kegiatan lain, selain interaksi antara pendidik dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Ada dua kandungan pokok yang terdapat pada hubungan pendidikan itu, yakni high-touch (kewibawaan) dan high-tech (kewiyaan). a. Peran Guru Menurut Imam Barnadib (1996), guru memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan potensi peserta didik agar mampu kreatif, dan dinamis. Agar potensinya dapat berkembang secara serasi dan maksimal, maka guru harus dapat menerima siswa secara utuh (phisik dan psikis) dalam menjalin intraksi edukatif dalam proses pembelajaran. Berdasarkan pendapat Imam Barnabib, maka sebenarnya tujuan pendidikan syarat dengan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan, oleh karena itu peran seorang guru menjadi sangat penting. Sejauh mana pemahaman seorang guru terhadap tujuan pendidikan akan berdampak pada penampilannya dalam mengajar, terutama dalam perlakuannya terhadap peserta didik (murid). Pemahaman guru terhadap hakikat manusia sebagai peserta didik menjadi penting dalam proses pembelajaran. Interaksi edukatif antara guru dengan murid akan tejalin dengan harmonis apabila pemahaman guru terhadap tujuan pendidikan baik. Hubungan yang harmonis dan kondusif antara guru dengan murid memungkinkan pengembangan potensi murid lebih tinggi. Guru tidak saja

37

berperan sebagai pengajar dalam proses transfer materi, akan tetapi juga sebagai pendidik dan pembimbing. Menurut Nana Sujana (2002) bahwa dalam proses pembelajaran selain tugasnya sebagai pendidik, guru juga bertugas untuk memberikan bimbingan kepada peserta didik dalam proses pembelajaran dan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapinya sehingga tujuan belajar akan tercapai dengan maksimal. Dengan demikian tugas mendidik akan terlaksana dengan baik apabila guru benar-benar memahami peserta didik, potensi, minat dan bakatnya, keunikannya, perbedaannya, dan latarbelakangnya. Peters (1981) mengemukakan bahwa tugas dan tanggungjawab guru antara lain adalah memberikan bimbingan kepada peserta didik melalui penjabaran kurikulum sehingga maknanya dapat mempengaruhi dan terinternalisasikan dalam diri peserta didik dalam rangka pengembangan minat, bakat dan potensi yang dilikinya secara lebih optimal. Mempedomani pendapat dua pakar ini maka seorang guru seni ukir selayaknya harus memahami potensi yang ada pada muridnya. Minat dan bakat murid yang belajar pada sanggar seni ukir mestinya mampu dikembangkan guna mencapai sasaran. Menurut Suke Silverius (2003), kegiatan belajar mengajar harus berorientasi kepada pengembangan dimensi-dimensi kemanusian peserta didik. Hal ini antara lain dapat diwujudkan melalui penerapan prinsip belajar yang berpusat pada peserta didik sehingga peserta didik dapat belajar dengan melakukan dan mengembangkan kemampuan sosial; mengembangkan keingintahuan, imajinasi, dan fitrah bertuhan; mengembangkan keterampilan pemecahan masalah; mengembangkan kreativitas dan mengembangkan kerjasama. Berangkat dari pendapat di atas maka seorang guru harus benar-benar memperhatikan potensi murid dalam proses pembelajaran, karena potensi masing-masing

38

murid tidak sama. Ada murid yang mempunyai potensi dalam bidang olah raga, ada yang lebih baik dalam matematik, ada yang baik dalam bahasa, dan ada yang berpotensi dalam seni. Perbedaan itu merupakan fitrah manusia dan itulah dimensi kemanusian. Kecepatan untuk menguasai materi ajar antara satu dengan yang lainnya juga berbeda. Menurut M. Dalyono, (1996) guru dituntut untuk lebih berperan dalam proses pembelajaran. Disadari bahwa proses pembelajaran itu sendiri merupakan kegiatan yang terencana dengan sadar oleh guru guna mencapai tujuan pendidikan. Perencanaan yang sadar bila seorang guru betul-betul memahami fungsinya sebagai sumber belajar dan sekaligus juga pendidik. Untuk itu seorang guru harus memahami hakikat manusia, dimensi kemanusiaan, dan pancadaya. Menurut Prayitno (2008), proses pembelajaran harus didukung dengan pilar kewibawaan dan kewiyataan. Pilar kewibawaan meliputi (1) pengakuan dan penerimaan, (2) kasih sayang dan kelembutan, (3) penguatan, (4) tindakan tegas yang mendidik, dan (5) keteladanan. Sedangkan pilar kewiyataan yang merupakan perangkat praktik pembelajaran adalah (1) materi pembelajaran yang diturunkan dari tujuan-tujuan pendidikan dan dilaksanakan dengan arah pengembangan pancadaya, (2) pengembangan dan aplikasi metode pembelajaran, (3 alat bantu pembelajaran, (3) lingkungan pembelajaran, dan (5) penilaian hasil pembelajaran. Mempedomani berbagai pendapat di atas ternyata peran seorang guru dalam proses pembelajaran begitu penting. Maka di samping memahami hakikat kemanusiaan (peserta didik), dimensi kemanusiaan, dan panca daya, maka seorang guru harus menerapkan prinsip high-touch (kewibawaan) dan high-tech (kewiyaan). Menurut Prayitno (2008) motto pendidikan nasional yang dikemukakan Ki Hajar Dewantoro ing ngarso sung tuludo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani menjadi jiwa pilar kewibawaan, ia

39

kait berkait untuk menjangkau (to touch) kedirian peserta didik. Sedangkan falsafah Minangkabau alam takambang jadi guru menjiwai pilar kewiyaaan, ia mengarah pada pembelajaran dengan teknologi yang tinggi (high tech). Dengan demikian sebagai pemegang peran penting dalam proses pembelajaran maka kedua pilar ini mesti dikuasai seorang guru. Hal itu tidak saja pendidik pada lembaga formal termasuk pendidikan nonformal seperti di sanggar ukir. b. Kurikulum Menurut Ansyar (1989) kurikulum diartikan berbeda-beda oleh beberapa golongan orang atau masyarakat. Kurikulum juga diartikan berbeda-beda oleh para penulis buku pendidikan. Berangkat dari pendapat Ansyar maka setiap orang dapat memberi makna dan maksud berbeda tentang kurikulum. Walau terjadi perbedaan pendapat tentang kurikulum namun semunya bersepakat bahwa kurikulum tidak terlepas dari kegiatan pendidikan. Hal mana setiap guru dan murid sama-sama menjadikan kurikulum sebagai pedoman menuju tujuan yang akan dicapai. Arti secara harfiah dari kurikulum itu sendiri yang diartikan sebagai lapangan pertandingan, sebagai arena dimana pelajar bertanding untuk menguasai suatu pelajaran guna mencapai garis finis berupa diploma, ijazah, atau gelar kesarjanaan (Zais, 1976: 6). Menurut Mulyasa (2006), salah satu komponen penting dari sistem pendidikan adalah kurikulum, karena kurikulum merupakan komponen pendidikan yang dijadikan acuan oleh setiap satuan pendidikan, baik oleh pengelola maupun penyelenggara. Ansyar (1989:29) bahwa walau terdapat ketidaksepahaman para ahli mengenai apa yang dimaksud dengan dasar-dasar kurikulum, tetapi sebahagian besar setuju ..... masyarakat dan kebudayaan, individu, serta teori-teori belajar adalah kekuatan-kekuatan yang

40

berpengaruh besar terhadap konsep dan aplikasi kurikulum. Mempedomani pendapat ini dapat disimpulkan bahwa setiap pengelola dan penyelenggaraan pendidikan mesti memiliki kurikulum oleh karena kurikulum merupakan acuan, arahan, dan pedoman dalam pelaksanaan pendidikan. Mulyasa sendiri tidak membatasi hanya pendidikan formal saja yang harus memiliki kurikulum, melainkan seluruh penyelenggaraan pendidikan. Disisi lain para ahli melihat kurikulum bukan sekedar perangkat mata pelajaran melainkan sebagai pengalaman belajar. Menurut Tyler (1949), pengalaman belajar adalah pengalaman yang diperoleh dan dialami anak-anak didik sebagai hasil belajar dan intraksi mereka dengan konten dan kegiatan belajar. Dengan demikian pendidikan yang berlangsung pada sanggar ukir tradisional di Pandai Sikek diyakini memiliki kurikulum, tetapi kurikulumnya tentu tidak seperti sekolah formal yang telah tersusun dan terstruktur. Dari banyak difinisi tentang kurikulum, Ansyar (1989) memberikan beberapa konsepsi dasar tentang kurikulum, yakni sebagai program studi, sebagai konten, sebagai kegiatan berencana, sebagai hasil belajar, sebagai reproduksi kultural, sebagai sistem produksi. Konsepsi dasar yang dikemukan Ansyar tentang kurikulum memberikan gambaran bahwa kegiatan apapun yang sekaitan dengan penyelenggaraan pembelajaran memerlukan kurikulum. Konsepsi ini memberikan pemahaman bahwa kurikulum dalam pelaksanaan pendidikan dapat dimaknai berbeda namun yang terpenting adalah tidak mungkin sebuah penyelenggaraan pendidikan tanpa kurikulum. Konsep dasar yang lebih mendekati maksud kurikulum dalam penelitian ini adalah kurikulum sebagai kegiatan berencana, sebagai reproduksi kultural, dan sebagai pengalaman belajar.

41

Menurut Ansyar (1989) sebagai kegiatan berencana maka kurikulum adalah semua kegiatan yang direncanakan tentang apa yang akan diajarkan dan dengan cara bagaimana hal itu dapat diajarkan dengan berhasil. Dari pendapat ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kurikulum segala perencanaan bahan-bahan atau materi ajar yang akan diajarkan guru dalam proses pembelajaran termasuk ke dalamnya tentang urutan, metode dan teknik penyajian. Dari perencanaan itu diharapkan kegiatan pembelajaran berjalan dengan baik dan berhasil sesuai dengan sasaran. Hal ini sejalan dengan Macdonald (1965) yang mendifinisikan kurikulum sebagai suatu rencana pekerjaan, yaitu rencana yang menuntun pengajran. Taba (1962) menyatakan bahwa kurikulum merupakan rencana untuk membelajarkan pelajar. Jadi memperhatikan proses pembelajaran pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek terdapat perencanaan-perencanaan yang dilakukan guru sehingga kegiatan berjalan dengan baik dan mencapai sasaran. Walaupun perencanaan itu tidak merupakan dokumen tertulis seperti yang terdapat di sekolah formal, namun kegiatan belajar dilakukan sesuai dengan perencanaan guru. Perencanan itu meliputi persiapan materi sesuai dengan tahapan belajar masing-masing murid pada sanggar ukir tersebut. Berkaitan dengan pendapat di atas maka ada kurikulum pada setiap sanggar ukir di Pandai Sikek. Konsep dasar ke dua adalah kurikulum sebagai reproduksi kultural, maka menurut Ansyar (1989: 15) banyak orang menganggap sekolah adalah bagian dari kebudayaan, sekolah didirikan agar pelajar atau anak didik mendalami pengetahuan, sikap, dan nilainilai yang dianut orang tua mereka. Menurut Taba (1962) bahwa sekolah didirikan agar dapat mengajarkan pada anak-anak ilmu pengetahuan, sikap, nilai-nilai, serta teknikteknik yang diperlukan anak untuk hidup layak di masyarakat, kemudian dapat

42

meneruskan dan bertanggung jawab terhadap pengemabangan kebudayaan masyarakat itu. Berdasarkan pendapat ini dapat dilihat bahwa kegiatan transformasi seni ukir yang terjadi pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek merupakan kegiatan reproduksi kultural. Kepada generasi muda diajarkan keterampilan dan nilai-nilai seni ukir yang merupakan warisan budaya masyarakat setempat. Bagian ketiga adalah kurikulum sebagai pengalaman belajar. Zais (1976:8) yakin bahwa semua pengalaman yang sesungguhnya diperoleh pelajar dari penerapan kurikulum sekolah merupakan data yang amat berharga bagi penentuan keberhasilan dan efektifitas kurikulum yang direncanakan. Maka dalam hal ini Foshay (1969) mengkonsepsikan kurikulum yang terdiri dari semua pengalaman belajar di bawah pimpinan guru. Memperhatikan pendapat ini maka setiap apa saja yang memberi pengaruh dari proses belajar pada murid merupakan implikasi dari kurikulum. Perubahan itu merupakan hasil bimbingan guru yang terencana, seperti seorang murid yang sebelumnya tidak bisa mengukir menjadi menguasai cara mengukir dan mampu menciptakan motif-motif baru. Menurut Ansyar (1989) ada dua kelompok yang melihat kurikulum sebagai pengalaman belajar, yakni konsepsi kurikulum dari segi yang sempit (sebagai suatu pelajaran yang diajarkan), dan segi yang luas (semua pengalaman yang diperoleh di sekolah atau di luar sekolah). Kelompok yang mengkonsepsikan secara luas sering menyebutnya dengan kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Hal ini berkaitan dengan bagian-bagian tertentu dalam pembelajaran seni ukir tidak senantiasa diperoleh dari aspek-aspek yang direncanakan guru. Kurikulum pada sanggar seni ukir di Pandai

43

Sikek juga mempunyai dampak nyata tetapi tidak direncanakan seperti kemampuan berwirausaha, bersosialisasi, pemahaman adat dan falsafah. Menurut Zais (1976) inti dari kurikulum adalah terselenggaranya aktifitas pembelajaran yang bermakna, kurikulum tersebut dapat mempengaruhi pembentukan pengalaman belajar dan pendidikan. Aktifitas belajar yang baik adalah yang melibatkan siswa untuk belajar sendiri melalui pengalaman. Sedangkan untuk mengantarkan siswa pada pengalaman belajar dapat dilakukan dengan memberikan perhatian yang baik, target yang jelas, isi yang baik, prosedur evaluasi yang runtun (Taba, 1962). Jadi kurikulum yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah sejauh mana guru memberikan perhatian, menentukan target, sampai pada prosedur evaluasi untuk mendapatkan aktifitas pembelajaran yang bermakna. c. Metode Pembelajaran Ada beberapa istilah yang dalam proses pembelajaran hampir sama artinya, bahkan ada yang sulit membedakannya. Menurut Akhmad Sudrajat (2009) istilah yang memiliki kemiripan makna, sehingga seringkali orang merasa bingung untuk membedakannya adalah: (1) pendekatan pembelajaran, (2) strategi pembelajaran, (3) metode pembelajaran; (4) teknik pembelajaran; dan (5) taktik pembelajaran. (http://www.psb-psma.org/content/blog/pengertian-pendekatan-strategi-metode-tekniktaktik-dan-model-pembelajaran, diambil 13 Februari 2010). Menurut Abdul Azis Wahab (2008) di Indonesia para guru dan pendidik tidak membedakan pengertian metode, strategi, dan teknik mengajar walaupun secara gradual ada perbedaan di antara ketiganya karena itu sering digunakan secara interchangable. Jadi pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang terhadap proses pembelajaran, yang

44

merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, terdapat dua jenis pendekatan pembelajaran, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach). Oemar Hamalik (2008) menyatakan strategi pengajaran merupakan penterjemahan filsafat atau teori mengajar menjadi rumusan tentang cara mengajar yang harus ditempuh dalam situasi-situasi khusus atau dalam keadaan tertentu yang spesifik. Wina Senjaya, (2008) menyatakan strategi pembelajaran sifatnya masih konseptual dan untuk mengimplementasikannya digunakan berbagai metode pembelajaran tertentu. Dengan kata lain, strategi merupakan a plan of operation achieving something sedangkan metode adalah a way in achieving something. Dapat disimpulkan bahwa materi yang telah disiapkan guru disampaikan atau diangkat melalui metode pembelajaran. Jadi metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Akhmad Sudrajat (2009) menyatakan terdapat beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran, diantaranya: (1) ceramah; (2) demonstrasi; (3) diskusi; (4) simulasi; (5) laboratorium; (6) pengalaman lapangan; (7) brainstorming; (8) debat, (9) simposium. Abdul Azis Wahab (2009) menyatakan metode yang cocok untuk mengajar IPS/SS adalah metode ceramah, metode

45

inkuiri menemukan sendiri dan pemecahan masalah, metode diskusi, metode tanya jawab, dan metode simulasi. Dalam proses pembelajaran pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek akan digunakan berbagai metode. Pemakaian metode guna mengimplementasikan materi yang telah disiapkan guru seni ukir, dari proses pembelajaran diharapkan terjadinya perubahan kognitif, sikap, dan psikomotor. Metode apa saja yang digunakan guru dan kapan metode itu diterapkan akan dicermati pada saat penelitian. Diyakani pada proses pembelajaran terdapat berbagai metode yang digunakan guru. d. Evaluasi Hasil Belajar Menurut Aunurrahman (2009) evaluasi menempati kedudukan penting dan bahagian yang utuh dari tahapan dan proses pembelajaran. Ansyar (1989) ... evaluasi menjangkau lebih jauh yaitu untuk mengetahui apa yang terjadi dalam ruang-ruang kelas. Lebih lanjut dijelaskan Ansyar bahwa evaluasi untuk mengetahui keberhasilan belajar, untuk memperbaiki program belajar-mengajar, dan untuk mengetahui pencapaian tujuan pendidikan. Menurut Muhibin Syah (2005) evaluasi adalah penilaian terhadap keberhasilan program belajar siswa, yang bertujuan antara lain untuk mengetahui tingkat kemajuan yang telah dicapai siswa. Jadi evaluasi sangat diperlukan dalam setiap proses pembelajaran, tidak terkecuali pembelajaran yang berlangsung pada sanggar seni ukir. Sejauhmana materi-materi yang telah disusun guru seni ukir dapat dikuasai muridnya tentu dilakukan evaluasi sebelum ia memberikan materi lanjutan dan sebelum ia menyatakan muridnya telah menjadi tukang ukir. Jadi dari pendapat ini ternyata evaluasi pendidikan merupakan suatu event yang ganda. Satu sisi merupakan kegiatan untuk

46

mengendalikan mutu pendidikan dan dari sisi lain merupakan upaya untuk pengumpulan informasi tentang pencapaian murid terhadap meteri yang disampaikan pendidik. Menurut Dimyati (2009) ada evaluasi hasil belajar dan ada evaluasi pembelajran, evaluasi hasil belajar menekankan kepada perolehan informasi tentang pencapaian tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. Sedangkan evaluasi pembelajaran guna memperoleh keefektifan proses pembelajaran. Menurut Imam (2005) evaluasi hasil belajar adalah memberi nilai atau makna tentang kualitas sesuatu yang dipelajari. Untuk mendapat informasi yang tepat tentang pencapaian tujuan pengajran maka perlu seorang guru memahami tentang teknik dan prosedur evaluasi. Evaluasi hanya mungkin akan tercapai apabila dilakukan dengan mengikuti prosedur dan tehnik yang tepat dan benar melalui bermacam jenis evaluasi, seperti evaluasi konteks, evaluasi input, evaluasi proses dan evaluasi produk. Menurut Nurkancana (1986), Suharsimi Arikunto (2005), dan Dimyati (2009) fungsi dan tujuan evaluasi hasil belajar adalah untuk diagnostik dan pengembangan, untuk seleksi, untuk kenaikan kelas, dan untuk penempatan. Berdasarkan pendapat ini maka paling tidak fungsi evaluasi diagnostik dan kenaikan perlu diterapkan pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek. Evaluasi diagnostik berfungsi untuk mendiagnosa kelemahan dan keunggulan murid guna meningkatkan hasil belajar murid. Evaluasi kenaikan untuk menseleksi apakah sudah perlu materi lanjutan atau masih tetap materi yang sama, evaluasi kenaikan juga dapat dipakai untuk menyatakan murid telah lulus atau sebagai tukang ukir. Menurut Suharsimi (2005) evaluasi hasil belajar dapat bermanfaat bagi peserta didik, bagi guru maupun bagi sekolah. Muhibbin Syah (2005) menyatakan bahwa

47

evaluasi hasil belajar bukanlah sekedar pemberian angka yang berkaitan dengan satu aspek semata, tetapi mencakup aspek yang lebih luas yaitu, kognitif (ranah cipta), afektif (ranah rasa), dan psikomotor (ranah karsa). Memperhatikan pendapat ini maka evaluasi hasil belajar seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek sangatlah berarti sebab evalusi mencakup pada tiga ranah cipta, rasa dan karsa. Menurut A. Muri (2005) tes hasil belajar (achievement test) merupakan salah satu alat yang dapat digunakan guru disekolah atau dosen di perguruan tinggi, untuk memahami tingkat hasil peserta didik dalam belajar. Tes ini dapat disusun dalam bermacam bentuk namun pilihan bentuk yang tepat adalah sesuai dengan tujuan kegiatan pendidkan/pembelajaran yang telah ditetapkan. Oleh karena itu tes hasil belajar mungkin saja mengukur kecepatan lari, kemampuan mengingat, pemahaman, mengaplikasikan sesuatu, menilai, menciptakan sesuatu atau melahirkan pikiran secara tertulis. Seorang guru atau dosen, mungkin pula menggunakan tes objektif yang telah distandarisasikan untuk mengukur hasil belajar peserta didiknya. Sedangkan guru/dosen yang lain menggunakan tes perbuatan. Beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi (penilaian) merupakan proses untuk mengambil keputusan berdasarkan informasi yang diperoleh melalui pengukuran berdasarkan instrumen tes maupun non tes. Sedangkan hasil belajar adalah suatu kecakapan nyata yang dapat diukur secara langsung melalui tes. Jadi, evaluasi hasil belajar adalah proses untuk mengambil keputusan dengan menggunakan informasi (data) yang telah diperoleh melaui tes pengukuran hasil belajar, baik yang menggunakan instrumen tes maupun non tes. Tes prestasi belajar dapat berupa tes baku

48

(standardized test) dan dapat juga dengan tes buatan guru (teacher made test), baik berupa tes esai, tes objektif dan tes perbuatan maupun dengan inventory lainnya. 1) Hakikat Evaluasi Hasil Belajar Dari gambaran di atas tampak dengan jelas bahwa tes hasil belajar bukanlah sematamata tes yang dilakukan pada akhir semester/tahun ajaran (tes sumatif), tetapi juga tes formatif, diagnostik dan penempatan kalau dilihat dari segi fungsinya (A.Muri, 2005 ; Suharsimi, 2005). Jadi hasil belajar terhadap sesuatu yang sudah dipelajari akan memberikan gambaran tentang pemahaman dan kesukaran atau kekuatan dan kelemahan sesorang dalam bidang tertentu; mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Oleh karena itu tes hasil belajar dapat berupa tes hasil belajar yang telah distandarisasikan (standardized achievenment test), dan tes buatan guru (teacher or locally made test). Menurut A.Muri (2005) hasil belajar merujuk kepada tingkat hasil peserta didik dalam belajar. Hasil itu tercermin dalam berbagai aspek antara lain (1) kognitif yang meliputi : mengingat, pemahaman, aplikasi, analisis, evaluasi dan kreatifitas, (2) afektif yang meliputi : penerimaan, partisipasi, evaluasi/penentuan sikap (valuing),

pengorganisasian nilai (organization), pembentukan pola/karakterisasi nilai, dan (3) psikomotor yang meliputi : persepsi kesiapan (set), mekanisme, respon terbimbing, gerakan/respon terbiasa, adaptasi/penyesuaian pola gerakan, dan originalitas. Jadi hasil evaluasi bukanlah semata-mata pada akhir semester atau caturwulan maupun naik kelas, melainkan dapat dilakukan pada tengah semester, tengah caturwulan, evaluasi tugas-tugas yang diberikan, maupun portofolio yang dikumpulkan. Karena itu evaluasi hasil belajar telah dimulai sejak seseorang mulai belajar. Jadi tes hasil belajar dirancang untuk mengukur apa yang telah dipelajari dalam bidang studi yang bersifat formal. Dengan

49

demikian apabila guru ingin menempatkan peserta didik dalam kelompok belajar maka guru terlebih dahulu mengetahui seberapa jauhkah hasil peserta didik dalam bidang yang akan ditempatinya itu. Guru merancang suatu tes hasil belajar terhadap meteri yang telah lalu. Walaupun tidak dapat dipungkiri untuk keperluan ini dibutuhkan tes jenis lain seperti aptitude test namun tes hasil tidak dapat diabaikan. Apabila guru telah menyelesaikan suatu kegiatan atau satuan pelajaran dan ingin mengatahui tentang tingkat hasil peserta didik dan kesukaran-kesukaran yang dihadapinya, maka dapat pula dilakukan tes hasil belajar. 2) Prinsip-prinsip Evaluasi Hasil Belajar Untuk dapat memberikan gambaran yang maksimmal tentang hasil kegiatan pembelajaran, perlu dilakukan asesmen yang benar, baik ditinjau dari komponen evaluasi itu sendiri maupun dari prinsip-prinsip evaluasi yang dipedomani. Adapun prinsip-prinsip eavaluasi hasil belajar bersifat umum dan khusus. a) Prinsip-prinsip Umum Evaluasi Belajar Menurut A.Muri (2005) beberapa prinsip umum evaluasi belajar yang baik adalah (a) evaluasi yang baik bersifat komprehensif, (b) evaluasi hendaklah kontinyu, (c) evaluasi yang baik bersifat objektif, (d) evaluasi yang baik berpijak pada tujuan yang jelas, (e) evaluasi yang baik menggunakan alat ukur yang ganda dan sahih, (f) evaluasi yang baik hendaknya dilakukan oleh suatu tim, dan (g) evaluasi bukanlah tujuan, melainkan adalah cara untuk mencapai suatu tujuan. Prinsip penilaian menurut Zaim (2009) adalah (a) sahih, penilaian berdasarkan data yang mencerminankan kemampuan yang diukur, (b) objektif, penilaian berdasarkan pada prosedur dan kreteria yang jelas tanpa dipengaruhi subjektivitas penilai, (c) adil, penilaian tidak menguntungkan atau

50

merugikan peserta didik, (d) terpadu, penilaian meupakan salah satu komponen pembelajaran, (e) terbuka, prosedur, kreteria dan dasar penilaian dapat diketahui pihak berkepentingan, (f) menyeluruh dan berkesinambungan, mencakup semua aspek kompetensi, (g) sistematis, penilaian dilakukan secara berencana dan bertahap, (h) beracuan kriteria, penilaian berdasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi yang ditetapkan, dan (i) akuntabel, penilaian dapat dipertanggungjawabkan. Dari prinsip umum ini dapat dilihat bagaimana penilaian yang dilakukan pada proses pendidikan yang dilakukan di sanggar seni ukir pandai Sikek. Apakah ada alat evaluasi yang sahih, sistematis, berkesinambungan dan dapat dipertanggungjawabkan. b) Prinsip-prinsip Khusus Evaluasi Belajar Hasil-hasil belajar akan dapat diungkapkan menurut fungsi yang diharapkan apabila intrumen yang dipakai memenuhi syarat untuk hal tersebut. Tes hendaklah valid dan reliabel. Menurut Asmawi & Noehi (1995) dan A.Muri (2005) ada beberapa prinsip khusus yang perlu diperhatikan dalam menyusun tes hasil belajar yakni: (a) tes yang disusun hendaklah betul mengukur tujuan pembelajaran, (b) tes yang disusun merupakan sampel yang representatif dari semua materi pembelajaran, (c) bentuk/format tes yang dipilih hendaklah sesuai dengan tujuan yang dicapai, dan (d) tes hasil belajar hendaklah seterandal mungkin. Jadi berdasarkan pendapat ini maka evaluasi pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek hendaklah sesuai dengan fungsi evaluasi dalam proses pembelajaran (penempatan, diagnosis, formatif dan sumatif). Untuk itu evaluasi pada proses pendidikan/pembelajaran di sanggar ukir hendaklah terkait dan mampu mengungkapkan tujuan itu.

51

Menurut A.Muri (2005) dari segi hasil peserta didik terhadap tujuan pendidikan/pembelajaran atau terhadap kelemahan-kelemahan dan kekuatan peserta didik dalam aspek tertentu, evaluasi berdasarkan acuan patokan (criterion referenced evaluation) lebih baik dan tepat digunakan sebab guru dapat mengetahui seberapa jauh suatu aspek, telah dikuasai peserta didik dibandingkan dengan patokan yang telah ditentukan sebagai kriteria atau standar minimal hasil seseorang dikaitkan dengan tujuan Sejalan dengan itu Asmawi & Noehi (1995) menyatakan bahwa cara ini dibenarkan untuk menentukan kelulusan seseorang dengan menggunakan sejumlah patokan. Bilamana seseorang telah memenuhi patokan tersebut ia dinyakan berhasil. Jadi prinsip ini menggambarkan bahwa evaluasi dengan menggunakan acuan patokan dapat digunakan. Untuk menyatakan seorang murid telah dapat mengukir tentu ada sacuan yang digunakan guru. Apa bentuk evaluasi itu dalam acuan patokan dan bagaimana bentuk patokan itu akan diobservasi dalam penelitian. Menurut A.Muri (2005) dan Asmawi & Noehi (1995) pengukuran berdasarkan norma kelompok adalah untuk menentukan kedudukan (relatif) peserta didik dibandingkan dengan temannya yang lain dalam kelompok itu atau bagaimana penampilan seseorang dibandingkan dengan temannya dalam kelompok. Ini berarti normanya adalah norma kelompok, norma teman-temannya yang lain, artinya pemberian nilai mengacu pada perolehan skor di kelompok itu. Tetapi tidak akan menceritakan apa yang dapat dikerjakan seseorang dengan menggunakan kriteria tujuan yang ditetapkan. Berdasarkan pengukuran ini dapat dilihat bagaimana pengelompok murid sanggar ukir di Pandai Sikek. Adakah murid dikelompokkan berdasar skor yang diperolehnya atas dasar pembandingan dengan teman-temannya.

52

Selanjutnya oleh A. Muri (2005) dinyatakan bahwa beda kedua tipe itu adalah sebagai berikut; pengukuran berdasarkan patokan (Criterion Referenced Measurement), (a) digunakan untuk mengukur tingkah laku yang dimiliki seseorang dengan merumuskan kawasan tingkah laku itu sebagai patokan atau mengutamakan pengujian hasil (mastery), (b) tidak memperhatikan perbedaan individu, (c) lebih terfokus pada kawasan (domain) yang lebih spesifik, (d) mempunyai standar tunggal untuk semua sehingga apabila tes itu dilakukan pada tempat yang berbeda, namun patokan adalah sama, (e) dapat memberikan informasi apakah tujuan dapat dicapai oleh kelompok, (f) semua butir soal yang diberikan untuk memberikan gambaran penampilan yang tepat, (g) indeks pembeda antara kelompok tinggi dan kelompok rendah bukanlah suatu yang penting, (h) skor mentah tiap peserta didik adalah jumlah jawaban yang benar, (i) tujuan dirumuskan lebih khusus dan terinci, dan (j) cocok digunakan untuk diagnostik dan formatif dan mengukur kompetensi. Sedangkan pengukuran berdasarkan norma kelompok ( norma referenced measurement), (a) digunakan untuk mengukur pengetahuan, kemampuan dan tingkah laku peserta didik, dengan menghormati penampilan tingkah laku orang lain dalam kelompok. Tingkat hasil individu dibandingkan dengan hasil kelompok, (b) perbedaan individu sangat menjadi perhatian, (c) mengukur kategori yang lebih umum, (d) dapat menunjukkan rentangan tingkat hasil peserta didik dibandingkan dengan norma kelompok, (e) informasi yang ada tidak menunjukkan pencapaian tujuan, (f) butir soal dipilih agar menyediakan perbedaan diantara individu, (g) indeks pembeda butir soal merupakan indikator menentukan kualitas soal, (h) skor mentah tiap peserta didik adalah jumlah jawaban yang benar, (j) tujuan dirumuskan lebih khusus dan terinci sekali, dan (k) tidak cocok digunakan untuk diagnostik dan formatif.

53

Menurut Zaim (2009) keunikan pembelajaran kelompok seni budaya terletak pada kegiatan pembelajaran yang mampu memberikan pengalaman estetis melalui dua kegiatan yang saling terkait, yakni apresiasi (apreciation), kreasi (creation) termasuk di dalamnya performance. Berdasarkan pendapat ini maka penilaian pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek mempunyai karakteristik sendiri. Karakteristik penilain itu tidak cukup dengan mempedomani prinsip-prinsip penilaian secara umum maupun prinsip khusus. Evaluasi pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek harus memasukkan sejauhmana pengalaman estetis murid. Hal ini terkait dengan bahwa pembelajaran kelompok seni mencakup pada pemberian pengalaman estetis.

3. Kebudayaan Minangkabau
Dua orang pakar A.L Kroeber dan C. Kluckhohn (pakar antropologi sekaligus juga filsafat kebudayaan) dalam makalahnya yang termasyhur Culture: a Critical Review of Concepts and Difinitions tahun 1952 hanya mampu mengklasifikasikan 179 difinisi tentang kebudayaan. Difinisi tentang kebudayaan sekarang semakin berkembang sehubungan semakin banyak tantangan dan fenomena baru dalam kehidupan manusia. Diskusi tentang kebudayaan senantiasa menarik, karena kebudayaan bahagian dari kehidupan manusia. Banyak pendapat dan difinisi yang dikemukaan tentang kebudayaan, namun senantiasa saja difinisi itu memiliki celah atau ruang diskusi baru. Tidak ada kepuasan yang pas tentang salah satu difinisi kebudayaan. Pencarian tentang hakikat kebudayaan dilakukan oleh Bakker (1984) dalam buku Filsafat Kebudayaan, Beals dan Hoyer dalam buku An Introduction to Anthropology (1959), dan lebih awal oleh Kroeber dalam buku The Nature of Culture (1952). Dari banyak difinisi dan pendapat tentang kebudayaan dapat disimpulkan bahwa kebudayaan

54

adalah milik manusia. Oleh karena manusia yang berbudaya dan membudayakan aspek kehidupannya, maka disinilah titik singgung antara budaya dengan pendidikan. Menurut Tilaar (2000) tidak mengherankan apabila usaha untuk mencari jawaban terhadap hekikat kebudayaan mampir dalam pertanyaan mencari hakikat manusia, disinilah afinitas (daya tarik-menarik/gabungan) antara pendidikan dan kebudayaan. Kedua-duanya khas insani oleh karenanya kebudayaan dan pendidikan tidak dapat dipisahkan. Dari banyak difinisi tentang kebudayaan, maka difinisi yang ada kaitannya dengan pendidikan adalah pendapat Koentjaraningrat (1990) yaitu keseluruhan sistim gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Kemudian Edward B. Taylor dalam Primitive Culture yang dikutip Tilaar (2000) menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat serta kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dari pendapat dua pakar tersebut ada beberapa hal yang perlu ditarik yaitu bahwa kebudayaan adalah suatu sistem yang utuh bukan merupakan bagian-bagian, bahwa kebudayaan hasil prestasi manusia, bahwa kebudayaan didapat dengan belajar, bahwa kebudayaan bisa dalam bentuk tingkah laku dan dalam bentuk artefak. Pengertian belajar dalam pandangan kebudayaan adalah sebuah proses yang ada di tengah masyarakat, di mana segala aspek yang kompleks apakah itu nilai-nilai atau hukum, seni, kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lainnya dapat diperoleh di tengah masyarakat. Dengan demikian betapa pentingnya masyarakat dalam proses pendidikan. Sejalan dengan ini maka menurut Ansyar (1985) ada dua pandangan tentang fungsi sekolah pertama yang mengkonsepsikan sebagai pemelihara dan penerus kebudayaan dan kedua

55

sebagai pengembangan individu anak yang terlepas dari kebudayaan. Walau pendapat kedua yang menyatakan pendidikan hanya pengembangan individu murid, namun bila dilihat bahwa kebudayaan suatu sistem gagasan yang didapat dari belajar maka dengan sendirinya pendidikan itu adalah bagian dari kebudayaan. Pembicaraan tentang budaya bukan hanya milik masa sekarang saja. Banyak hasil budaya masa lalu menjadi menarik untuk didiskusikan saat ini, malah patut dilestarikan sebagai aset, modal, dan kekayaan sebuah bangsa. Menurut Ardika (1999), pemahaman dan pelestarian terhadap warisan budaya sebagai jati diri suatu etnik dan bangsa tetap menjadi penting dalam era global ini. Jangan sampai akar budaya yang telah diwarisi dari leluhur terdahulu tercabut di tengah kecenderungan homogenitas kebudayaan akibat globalisasi. Menurut Tilaar (2000:190) bahwa gelombang globalisasi akibat kemajuan teknologi khsusunya teknologi komunikasi dapat merupakan bahaya penggerhanaan identitas manusia termasuk hilangnya kebudayaan nasional dan lokal. Menyimak pendapat ini maka warisan budaya atau tinggalan budaya patut dilestarikan. Berbagai bentuk warisan budaya itu sendiri seperti; nilai-nilai, ide-ide atau gagasan, ada yang berbentuk tingkah laku dan berbentuk artefak. Mesjid-mesjid kuno, rumah-rumah adat, gerabah, dan seni ukir merupakan tinggalan budaya yang berbentuk artefak, sedangkan keterampilan mengukir tinggalan budaya yang berbentuk tingkah laku. Dengan demikian seni ukir sebagai salah satu warisan budaya dan juga sebagai identitas budaya daerah seharusnyalah dilestarikan agar dapat tumbuh dan berkembang pada era global. Koentjaraningrat (1990) mengemukakan tiga wujud kebudayaan, pertama kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya, kedua kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan

56

berpola dari manusia dalam masyarakat, dan ketiga kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Pendapat Koentjaraningrat tentang wujud kebudayaan sama dengan yang dikemukakan oleh J.J.Honigmann dalam bukunya The World of Man (1959) bahwa ada tiga gejala kebudayaan, yaitu (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts. Berangkat dari pendapat J.J.Honigmann dan Koentjaraningrat dapat dijelaskan bahwa wujud pertama kebudayaan siifatnya abstrak, tak dapat diraba yaitu sistem budaya yang merupakan wujud ide dari kebudayaan. Wujud pertama ini ada dalam kepala atau alam pikiran anggota masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Inisiatif, gagasangagasan, dan ide-ide yang menggerakkan sehingga menghasilkan berbagai kreativitas ada dalam wujud pertama ini. Ada yang mengistilahkan wujud pertama ini sebagai inti dalam dari kebudayaan. Berkenaan dengan seni ukir Pandai Sikek maka falsafah motif ukiran termasuk pada wujud kebudayaan inti ini. Wujud kebudayaan ideal ini sekarang sudah banyak tersimpan dalam buku-buku, disket, tape, arsip, mikro film, dan komputer dengan adanya kemajuan teknologi. Wujud kedua kebudayaan juga disebut sebagai sistem sosial adalah berkenan dengan pola kelakuan dari manusia atau masyarakat itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri atas kegiatan-kegiatan manusia berintegrasi, berhubungan serta bergaul satu sama lain berdasarkan aturan-aturan atau tata kelakuan. Keterampilan mengukir, pola pembelajaran ukir, penghargaan masyarakat terhadap seni ukir di Pandai Sikek merupakan bahagian dari wujud kebudayaan yang ke dua ini. Karena merupakan rangkaian kegiatan manusia dalam masyarakat, maka sistem sosial ini sifatnya kongkrit. Wujud kebudayaan ini dapat diamati, difoto, dan difilmkan karena ia terjadi di sekeliling kita.

57

Wujud ketiga kebudayaan adalah benda-benda budaya atau artefak, wajud ini paling kongkrit jika dibandingkan dengan dua wujud sebelumnya. Wujud kebudayaan ini dapat dilihat, diraba, dicium, diamati, dan difoto. Benda-benda budaya itu beragam bentuknya mulai dari yang sederhana sampai ke paling komplek atau rumit cara penciptaannya. Benda-benda budaya itu dapat berupa tinggalan budaya atau hasil karya masa lampau seperti candi, bangunan kuno lainnya, seni-seni masa lampau, dan dapat juga karya masa kini seperti pesawat, bangunan pencakar langit, dan seni kotemporer. Bangunan rumah adat Minangkabau yang penuh dengan ukiran merupakan benda hasil budaya. Jika diperhatikan ternyata ketiga wujud kebudayaan saling berkaitan, ia merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Kebudayaan ide mengatur dan memberi arah kepada perbuatan tingkah laku manusia, dan dari aktifitas pola laku itu menghasil karya dalam bentuk benda-benda. Sebaliknya kebudayaan fisik dapat mengatur tingkah laku masyarakat, dan dari tingkah laku menghasilkan normanorma baru dan membentuk pemikiran baru lagi. Kesalingterkaitan wujud budaya itu sangat mudah dilihat dalam bentuk seni. Cakupan kebudayaan cukup luas, ia meliputi segala aspek kehidupan manusia namun oleh sarjana antropologi dibagi ke dalam beberapa unsur. Koentjaraningrat (1990), C.Kuckhohn (1953) merumuskannya kepada tujuh unsur kebudayaan, yakni bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian. Ketujuh unsur yang dikemukakan para pakar itu dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia ini termasuk di Indoensia.

58

Minangkabau salah satu suku bangsa di Indonesia mempunyai bentuk budaya sendiri. Minangkabau tidak sama dengan Sumatera Barat walaupun sebahagian besar masyarakat Minangkabau mendiami wilayah Sumatera Barat. Minangkabau merupakan kesatuan budaya sedangkan Sumatera Barat wilayah administratif pemerintahan. Pada awalnya kawasan kebudayaan Minangkabau hanya terdiri dari tiga luhak (Tanah Datar, Agam, dan 50 Kota) kemudian meyebar kedaerah lain yang disebut dengan rantau. Nenek moyang orang Minangkabau sendiri sebagaimana dinyatakan dalam berbagai tambo berasal dari luhak Tanah Datar yang diakui sebagai negeri tertua. Beberapa penulis (Navis 1984, Datuk Sanguno 1987, Datuk Rajo Panghulu 1997, dan Amran 1981) menyatakan bahwa penyebaran penduduk di Minangkabau dimulai dari daerah Pariangan dekat Gunung Merapi luhak Tanah Datar kemudian menyebar ke wilayah luhak Agam dan luhak 50 Kota. Dari tiga luhak ini kemudian menyebar sampai ke sebahagian Sumatera Utara dan Aceah bahagian utara, ke Riau dan semenanjung Malaka bahagian Timur, ke Jambi dan Bengkulu bahagian selatan. Menurut Umar Yunus (1997) daerah asal Minangkabau diperkirakan seluas daerah Propinsi Sumatera Barat sekarang ini, dengan dikurangi daerah kepulauan Mentawai, akan tetapi daerah ini dibagi lagi ke dalam bagian-bagian khusus. Pembagian khusus itu antara darek (darat) dan pasisie (pesisir) atau rantau. Berdasarkan tambo-tambo/sejarah alam Minangkabau, lokasi atau daerah asli masyarakat etnis Minangkabau diceritakan sebagai berikut; salirik gunuang Marapi, saedaran gunuang Pasaman, sajajaran Sago jo Singgalang, saputaran Talang jo Kurinci; dari Sirangkak nan badangkang, hinggo buayo putiah daguak, sampai ka pintu rajo ilia, durian ditakuak rajo, sampai ka sipisau-pisau hanyuik, sialang balantak basi, hinggo aia babaliak mudiak, sampai ka ombak nan badabuak, sailiran Batang Sikilang, hinggo lauik nan sadidiah; ka Timur ranah Aia Bangih, Rao jo 59

Mapa Tungguah, gunuang Mahalintang, Pasisia Banda Sapuluah, hinggo Taratak Aia Hitam, sampai ka Tanjuang Samalidu, Pucuak Jambi Sambilan Lurah. (...sebaris gunung Merapi, sekitar gunung Pasaman, sejajaran gunung Sago dan gunung Singgalang, seputaran gunung Talang dan gunung Kerinci; dari Kepiting yang keras hingga buaya yang putih dagu, sampai ke pintu raja hilir, durian ditakah raja, sampai ke pisau-pisau hanyut, Sialang berbatasan/bertanda besi hingga arah air kembali mudik, sampai ke ombak yang berdebur, sehiliran/ menyusuri Batang Sikilang, hingga laut yang terasa panas; ke timur renah (daerah) Aia Bangih, daerah Rao dan Mamat Tunggul, gunung Mahalintang, Pesisir Bandar Sepuluh, hingga Taratak Aia Hitam, sampai ke Tanjung Simalidu, Pucuk Jambi Sembilan Lurah). ( Dt. Rajo Panghulu, 1977; Navis, 1984; dan Nasrun, 1971).

Kebudayaan Minangkabau bersumber dari falsafah hidup dengan nama falsafah alam. Falsafah yang bersumber pada alam, bagi orang Minangkabau alam tidak sekedar tempat lahir dan berkembangan, tempat hidup dan mati, melainkan juga mempunyai makna yang dalam. Mamangan (peribahasa) orang Minangkabau menyatakan alam takambang tampek ba guru (alam terkembang tempat berguru). Unsur alam memberikan peran yang berbeda, masing-masing bebas dengan eksistensinya. Unsur-unsur alam

saling berhubungan tapi tidak saling mengikat, saling berbenturan tapi tidak saling melenyapkan, dan saling mengelompok tapi tidak saling meleburkan. Unsur alam itu dalam suatu harmoni dan dinamis sesuai dengan hukum dialektika bakarano bakajadian (bersebab berakibat), (Navis, 1984: 59-60). Dengan demikian motif ukiran Minangkabau sebagai salah satu contoh budaya Minangkabau juga bersumber dari alam. Kehadirannya tidak sekedar bernilai estetis melainkan sarat dengan muatan filosofis. Nilai-nilai yang terkandung didalamnya mengisyaratkan ide, dan pola laku hidup masyarakat Minangkabau. Pembelajaran seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek bukan sekedar mentranspormasi keterampilan mengukir saja akan tetapi lebih dari itu adalah mewariskan kebudayaan Minangkabau yang berfalsafahkan pada alam.

60

Penelitian pendidikan seni ukir pada sanggar ukir akan melihat tiga komponen kebudayaan. Pertama adalah sebagai ide atau gagasan yakni motif dan falsafah ukiran yang bersumber pada alam, kedua sebagai tingkah laku yakni keterampilan mengukuir dan sikap masyarakat pendukung budaya, dan ketiga adalah wujud benda yakni hasil karya seniman ukir yaitu benda ukiran. 4. Seni dan Pendidikan Seni a. Konsep Seni dan Pendidikan Seni Menurut Yahya (2009) bahwa seni di dalam khasanah pendidikan belum banyak dilirik dan bahkan kedudukannya sering dilupakan. Hal ini terjadi ketika masyarakat menganggap bahwa seni hanya sebagai objek untuk dinikmati dan diapresiasi belum dipandang sebagai proses pembentukan dan pengembangan diri. Menurut Ramalis (2005:10) pendidikan seni dapat dijadikan pendekatan dalam belajar sehingga keseluruhan peran pendidikan seni dapat terimplementasikan dalam mengembangankan berbagai kemampuan dasar manusia. Berangkat dari pendapat ini seni dapat dijadikan sebagai pembentukan dan perkembangan manusia. Perkembangan diri yang baik adalah adanya keseimbangan antara jasmani dan ruhaniah, antara fisik dan psikis, dan antara raga dan emosi. Ada kecenderungan kehidupan hanya pembentukan pada aspek jasmani saja seperti dengan mengatur pola makan, olah raga, dan istirahat. Begitu juga dalam perkembangan dan pembentukan otak manusia lebih banyak pada kegiatan pembentukan otak kiri. Pendidikan seni termasuk pada kegiatan seni ukir di pandai Sikek tidak hanya pada pembentukan salah satu aspek saja. Kemampuan murid dikembang dari aspek jasmaniah dan ruhaniah.

61

Menurut Ramalis (2008) bahwa pendidikan seni yang multidimensional, multilingual, dan multikultural memiliki potensi dalam pengembangan kecerdasan mansia agar mampu bertahan hidup dan mampu tampil secara bermartabat pada masa kini dan masa depan. Menyimak pendapat ini dan bila dilihat kondisi sekarang maka sebahagian pendidik belum banyak yang mengetahui bahwa kegiatan seni berdampak positif bagi perkembangan mental dan fisik manusia. Kelompok ilmuan neurophsychology menemukan peta kemampuan otak manusia, bahwa otak manusia terdiri atas dua belahan yaitu otak kiri dan otak kanan. Masing-masing belahan otak manusia saling berinteraksi. Otak manusia belahan kiri mengatur kemampuan logika, rasional, dan analitis. Otak ini akan berinteraksi dengan belahan kanan yang mengatur fungsi intuisi, persepsi, kreativitas, spasial, dan emosional. Memperhatikan konsep ini maka masing-masing manusia terutama murid semestinya mempunyai kemampuan berkesenian, dan dalam hal ini kemampuan murid mesti dikembangkan guna adanya keseimbangan otak kiri dan otak kanan. Howard Gardner menemukan multi kecerdasan (multiple intellegenius) yang meliputi kecerdasan linguistik, matematik, sapcial, kinestetik, musik, antar pribadi, inter pribadi, natural, dan spiritual. Dari sembilan kecerdasan ini maka ada manusia yang menonjol pada salah satu kecerdasan, dua kecerdasan, atau tiga kecerdasan. Juga dapat dilihat bahwa ada tiga kecerdasan yang berkaitan dengan seni yakni kecerdasan musik untuk seni musik, kecerdasan kinestetik untuk seni media gerak (tari, drama, dan silat), dan kecerdasan spasial untuk seni rupa (lukis, patung, disain, dan kriya) (http//ppgkes/module/ com.php/ Sabtu, 6 Februari 2010. Penulis: Oki). Menurut Yahya (2009) bentuk apapun produk seni yang kita rasakan, diterima indera dan disimpan dalam memory saat ini adalah hasil kerja otak. Karya seni

62

merupakan produk berpikir level tinggi melalui proses berpikir kritis, berpikir kreatif, dan kemampuan memecahkan masalah. Berasarkan temuan di atas ternyata karya seni yang kita nikmati merupakan hasil kerja otak. Kreativitas seorang seniman merupakan salah satu kecerdasan yang diolah, diproses dan tersimpan dari otak kanan. Pembentukan dan perkembangan otak kanan diperlukan untuk keseimbangan otak kiri. Jadi apabila pendidikan seni diberikan pada peserta didik berarti memberi keseimbangan pembentukan pribadinya yang lebih utuh, terutama otak kanannya. Khusus berbicara tentang seni maka ada dua kelompok pemikiran yang mendasari lahirnya konsep seni. Kelompok pertama yang memandang seni sebagai imitasi dan kelompok kedua menyatakan seni sebagai ekspresi (Wickiser, 1957). Kolompok pemikiran imitasi berorientasi pada estetika dogmatik, yang membicarakan keindahan objektif, sedangkan kelompok pemikiran kedua memandang seni sebagai ekspresi berorientasi estetika perasaan, yang membicarakan keindahan subjektif. Dari konsep ini maka Ramalis (2006: 19) menyajikan dalam bentuk tabel berikut; Konsep A Dasar Sifatnya Strategi Sasaran Imitasi Estetika dogmatis Objektif Rasionalitas Keserasian tangan, rasa dan pikiran Ekspresi Estetika Emosional Subyektif Emosional Wadah ungkapan pengalaman batin

Secara umum seni-seni tradisional termasuk seni ukir Pandai Sikek lebih banyak pada konsep seni sebagai imitasi. Motif-motif ukiran merupakan imitasi atau tiruan bentuk alam seperti motif siriah gadang (rangkaian daun sirih), itiak pulang patang (itik pulang sore), dan tampuruang hanyuik (tempurung hanyut). Motif ukiran merupakan stilisasi dan simbol dari bentuk alam, hewan, makanan dan benda lainya. Menurut Sri

63

Sundari (2000) bahwa ada 50 macam motif tumbuh-tumbuhan, 32 motif binatang/ hewan, dan 60 motif makanan dan benda lainnya pada ukiran di Pandai Sikek. Jadi bila dilihat cara kerja seni tradisional lebih banyak sebagai simbol atau lambang yang merupakan hasil tiruan alam yang memiliki keindahan objektif. Konsep ini menurut J.A Pestalozzi (dalam Ramalis, 2006) ini melahirkan konsep strategi rasionalitas seni. Dasar konsep psikologis bagi strategi rasionalitas sebenarnya dimaksudkan untuk menumbuhkan dan mengembangkan secara serasi antara tangan, rasa dan pikiran. Bila konsep ini dihubungkan dalam proses pembelajaran terutama pada pendidikan formal di Indonesia, lebih mengarahkan pada pengembangan pikiran, jarang diarahkan pada pengembangan keserasian tangan, rasa dan pikiran. Pendidikan seni Indonesia yang tertanam selama ini terutama disistem pendidikan persekolahan berorientasi pada kaidah baik-buruk konsepnya seni Barat. Dalam hal ini M.Zaim (2009) menawarkan adanya perubahan orientasi yakni dari persepsi monokultural menjadi multikultural. Di sisi lain menurut Ramalis (2006) bahwa pembelajaran seni disusun dan dipelajari secara sistematis, logis mengikuti jenjang kesulitan. Oleh karena itu fokus kegiatan pembelajarannya adalah pada penguasaan teknis keterampilan tangan yang dapat diukur secara objektif. Konsep strategi rasionalitas ini berkembang di masyarakat berbagai negara termasuk Indonesia. Sedikit sekali dalam proses pembelajaran yang

menyeimbangkan antara keterampilan tangan, rasa dan pikiran. Pendapat di atas menggambar kondisi pada sekolah formal di Indonesia, tentu akan berbeda dengan kondisi pada lembaga non formal yang lebih menekankan pada keterampilan. Pembentukan pemikiran pada sanggar ukir di Pandai Sikek akan didapat pada

64

pemahaman dan penempatan motif. Sejauhmana keseimbangan tangan, rasa, dan pikiran dilakukan akan dilihat pada objek sesungguhnya dalam penelitian. Menurut Setjoatmodjo (1981) bahwa konsep pemikiran bahwa seni sebagai ekspresi identik dengan konsep seni moderen yang lahir bersamaan gerakan reformasi. Kaum reformis memandang karya seni sebagai wadah ungkapan pengalaman batin seniman. Sejak itu konsep pendidikan seni mengalami pembaharuan yakni mata pelajaran menggambar berubah menjadi mata pelajaran yang bersifat: ekspresi. Kelompok reform yang mempelopori pembaharuan pendidikan seni antara lain Van Prag, G. Kerchensteiner, Victor Lowenfeld, Raip Wickizer dan Herbert Read. Kondisi yang digambarkan di atas terjadi pada berbagai pendidikan seni di sekolah formal Indoesia sekarang ini. Pembaharuan konsep pendidikan seni utamanya dilandasi oleh alasan filosofis, psikobogis, dan sosiologis. Menurut Read (1970) bahwa secara filosofis, seni dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Jadi konsep pendidikan seni ini lebih mengutamakan dampak pengiring (nurturance effect) dan prses pembelajaran seni. Dewey (dalam Read, 1970) mengatakan seni adalah kulminasi dan pengalaman. Ada banyak ahli yang menyatakan dampak pengalaman dari proses pembelajaran seni, antara lain: Lowenfeld menyatakan dapat meningkatkan daya kreativitas anak dan dapat membantu pertumbuhan mental anak melalui penyaluran ekspresi dan kreativitas, menurut Lichwark dan Lange dapat membantu kepekaan anak terhadap karya seni, Ross menyatakan dapat membantu mengembangkan perasaan anak, pernyatakan Margaret Naumberg dapat digunakan sebagai sarana terapi mental, Wickiser menyatakan dapat membantu perkembangan kepribadian dan pembinaan estetik anak,

65

dan Harbert Read sendiri menyatakan dapat membiri kepekaan cita rasa keindahan anak. Artinya pernyataan Read (1970) yang menyatakan bahwa tujuan pembelajaran seni sebagai alat atau media pendidikan mendapat dukungan dari para ahli pendidikan seni yang lainnya. Berdasarkan konsep pendidikan seni yang difungsikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan anak didik, maka dalam aplikasinya memunculkan dua kecenderungan, yaitu kecenderungan pelaksanaan pendidikan seni yang didasarkan pada pembenaran esensial dan pembenaran kontekstual (Eisner, 1972). Untuk meningkatkan kemampuan seni murid yang berkaitan dengan seni itu sendiri termasuk pada pembenaran esensial, sedangkan pembenaran kontekstual terkait pada fungsi untuk mencapai tujuan di luar tujuan pembelajaran seni, seperti untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan murid. Menurut Ramalis (2006) terdapat beberapa pendangan tentang konsep pendidikan seni yang berkembang seperti; konsep pendidikan seni untuk apresiasi, konsep pendidikan seni untuk pembentukan konsepsi, dan konsep pendidikan seni untuk pertumbuhan mental dan kreatifitas. Merujuk pendapat ini bahwa pembelajaran seni yang bersifat esensial dapat dimaknai sebagai bentuk pendidikan seni. Bentuknya mengarah pada pembinaan dan peningkatan penguasaan berkesenian melalui kegiatan ekspresi diri dan melibatkan pengalaman serta kesadaran estetik. Materi pembelajaran berupa kemampuan keterampilan seni, pemahaman teori seni, kemampuan apresiasi seni, dan pameran/gelar hasil karya. Akan tetapi dalam pendidikan seni ukir pada sanggar tradisional lebih banyak pada aspek keterampilan. Menurut Ibenzani (1985) keterampilan itu meliputi cara-cara membuat sketsa pada papan ukir, cara menggunakan pahat, dan

66

cara merawat alat-alat uikir. Jadi pembaharuan konsep pendidikan seni dengan mengutamakan kebebasan berekspresi murid bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada mereka dalam mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Tujuan lain adalah untuk mendewasakan murid baik segi intelektualnya, maupun menghendaki murid belajar dan perbuatan aktif. Konsep ini juga untuk melatih kedua tangan murid sehingga merangsang syaraf otak kanan dan otak kiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Piaget (1952) yang menekankan pentingnya gerakan manusia dalam kaitannya dengan perkembangan pengetahuan. Menurut Ramalis (2008) perlu diperhatikan dimensi prilaku agar pembelajaran seni dapat berhasil. Menurut Brent G. Wilson (Bloom, 1975) tiga dimensi prilaku, yaitu kognitif, afektif, dan psikomtorik menjadi tujuh dimensi prilaku seni, yaitu; 1) persepsi, 2) pengetahuan, 3) pemahaman, 4) analisis, 5) evaluatif0, apresiasi, dan 7) produksi. Berdasarkan pendapat ini maka ada tiga pandangan tentang konsep pendidikan seni. Pandangan itu didasari bahwa pendidikan seni dapat mengembangankan berbagai potensi yang ada pada murid. Konsep-konsep pendidikan seni itu untuk sarana apresiasi, untuk pembentukan konsepsi, dan membina kreatifitas. Konsep pendidikan seni untuk apresiasi dilandasi pada pemikiran bahwa persepsi murid-murid terhadap seni dan keindahan perlu dikembangkan melalui penghayatan langsung, baik melalui kegiatan menggambar maupun kegiatan observasi lapangan dengan kegiatan mengunjungi obyek-obyek seni seperti galeri, dan pameran. Konsep pendidikan seni untuk pembentukan konsepsi dilandasi oleh pemikiran bahwa salah satu sarana untuk mengungkapkan pikiran adalah menggambar. Gambar merupakan suatu bentuk bahasa untuk menuangkan ide bahkan ada sauatu kosa kata yang tidak jelas atau ragu biasa divisualisasikan dengan gambar. Jadi

67

kegiatan menggambar suatu obyek berarti menerjemahkan persepsi ke dalam bahasa visual. Kegiatan menggambar adalah mengorganisasikan sensasi indrawi sehingga menghasilkan impresi yang dapat diinterpretasikan. Jadi pembentukan konsep dihasilkan dari aktifitas menggambar karena menggambar merupakan kegiatan mental dan pikir. Penekanan kemampuan kognitif menjadi titik berat konsep ini, di mana strategi kognitif itu sendiri adalah kemampuan memecahkan masalah-maslah baru dengan jalan mengatur proses internal individu dalam memperhatikan, belajar, mengingat, dan berpikir (Gagne dalam Aunurrahman, 2009). Sedangkan konsep pendidikan seni untuk pertumbuhan mental dan kreatifitas dimaksud untuk menjelaskan terjadinya pertumbuhan mental dan kreatifitas yang ada pada diri murid. Kegiatan seni rupa yang berbentuk praktek, seperti menggambar, melukis, menganyam, dan mengukir pada dasarnya adalah pengembangan kreatifitas murid. Pengembangan keterampilan dalam aspek pembelajaran tercakup dalam ranah psikomotor. Menurut Simpson dalam Aunurrahman (2009) ada tujuh prilaku kemampuan motorik, yaitu persepsi, kesiapan, gerak terbimbing, gerak terbiasa, gerak komplek, penyesuaian, dan kreatifitas. Memperhatikan tujuh tingkatan prilaku motorik ini, maka kreatifitas merupakan aspek tertinggi dalam pengembangan kemampuan motorik murid. Sebagaimana dikemukan sebelumnya bahwa kegiatan mengukir termasuk pada kegiatan motorik, maka guru harus dapat sampai pada aspek ini, murid tidak sekedar menirukan bentuk-bentuk yang diajarkan atau dicontohkan guru. Menurut Aunurrahman (2009) kreatifitas adalah kemampuan menciptakan pola baru. Kegiatan seni sebagai sarana untuk mengembangkan potensi, ide dan gagasan murid. Sementara Lowenveld (1982)

68

menyatakan bahwa kegiatan seni merupakan sarana bagi processing, murid adalah idealnya, sedangkan seni adalah sarananya. Dari kajian filosofi konsep seni dan konsep pendidikan seni tersebut di atas bahwa seni untuk mengisi dan mengasah otak kanan yang berfungsi intuisi, persepsi, kreativitas, spasial, dan emosional. Belahan otak kanan ini akan berintraksi dengan otak kiri yang berfungsi logika, rasional dan analitis. Konsep seni imitasi mendasari munculnya filosofi konsep pendidikan seni yang menekankan pada penguasaan teori seni dan keterampilan seni, sedangkan konsep seni ekspresi mendasari munculnya filosofi pendidikan seni yang menekankan pada menumbuhkembangkan kepribadian murid. Konsep pendidikan seni yang menekankan pada penguasaan teori seni dan keterampilan seni, mengutamakan kualitas hasil karya seni yang didukung oleh kualitas proses kerja skill, oleh karena itu konsep tersebut cocok diterapkan dan dikembangkan pada sekolah kejuruan seni, sanggar-sanggar seni atau kursus-kursus seni. Sedangkan konsep pendidikan seni yang menekankan pada penumbuhkembangan kepribadian murid, mengutamakan dampak dari proses pembelajaran seni dan bukan mengutamakan kualitas hasil karya seni. b. Pentingnya Pendidikan Seni Pemahaman terhadap pentingnya pendidikan seni bagi masyarakat perlu terus dikembangkan. Pendidikan seni tidak hanya harus berlangsung di sekolah-sekolah formal tapi dapat berlangsung setiap saat di tengah masyarakat. Pendidikan seni dapat mengasah solidaritas sosial masyarakat. Conny Samiawan (2001) menyatakan bahwa pengkerdilan pendidikan seni yang cukup lama itu salah satunya menghasilkan rendahnya kepekaan sosial masyarakat. Akibatnya adalah timbul berbagai kekerasan yang melanda Indonesia, kemungkinan besar disebabkan minimnya penghargaan terhadap pendidikan seni.

69

Pengembangan pola pikir, mengasah rasa, dan meningkatkan karsa murid dapat dilakukan dengan pendidikan seni. Jadi pendidikan seni tidak hanya diberikan sebagai salah satu bidang studi di sekolah formal ada baiknya diberikan pada pendidikan nonformal. Pendidikan seni sebagai upaya pendewasaan dan pembudayaan murid (Wickiser, 1957; Lowenfeld, 1982). Apalagi cabang seni yang berakar dan tumbuh di tangah masyarakat akan mudah menjadi sarana untuk mengasah rasa solidaritas sosial. Pendidikan seni berfungsi sebagai; (1) koordinasi antara berbagai persepsi dan serisasi dalam kaitannya dengan lingkungan, (2) alat untuk mengekspresikan perasaan yang dinyatakan dalam suatu bentuk, (3) alat untuk mengekspresikan berbagai pengalaman jiwa atau untuk mengungkapkan sebagian atau seluruh bawah sadar, dan (4) alat untuk mengekspresikan ide atau gagasan yang dinyatakan dalam berbagai bentuk (Read, 1970: 8). Menurut Ramalis (2006: 24) bahwa pendidikan seni, selain berfungsi untuk pendewasaan dan pembudayaan peserta didik juga memiliki nilai yang berarti sebagai sarana pembentukan pribadi. Pendidikan seni merupakan elemen yang esensial dalam membentuk watak, kehalusan rasa dan budi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidikan seni merupakan subsistem dalam pendidikan nasional. Yahya (2006) menyatakan bahwa pendidikan seni juga bersifat multi dimensi karena bertujuan mengembangkan dimensi personal, dimensi sosial, dan dimensi profesional. Pada dimensi personal pendidikan seni membantu mengenbangkan kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan kreatifitas (CQ), kecerdasan spitual dan moral (SQ), serta jiwa kewirausahaan. Dalam dimensi personal maka pendidikan seni juga membantu menyeimbangkan teknologi yang berorientasi praktis ekonomis dengan kemanusiaan (humanity). Pada dimensi sosial maka pendidikan

70

seni membantu mengembangkan sikap toleransi agar mudah bergaul dalam masyarakat luas dan menghargai hak azasi manusia. Sedangkan dalam dimensi profesional maka pendidikan seni menekankan pada penguasaan keterampilan, teknis dan materi seni, agar murid dapat mengembangkan jiwa mandiri sebagai bekal hidup di tengah masyarakat. Pendidikan seni juga dapat bersifat multilingual dan multikultural, kerena dapat menguanakan media, gerak, rupa, dan suara sebagai bahasa eksperisi maupun keilmuan, serta dapat menghagai keanekaragaman budaya. Untuk itu motivasi dan minat murid terhadap kegiatan seni jangan dimatikan terutama dalam proses pembelajaran. Berikan kesempatan dan wadah murid dalam mengembangkan diri untuk mengolah kemampuan kreatif mereka dengan cara mengeksplorasi terhadap beragam kosa rupa, bunyi dan gerak. Kepekaan rasa dikembangkan dengan memberi kesempatan memahami nilai budaya melalui permainan (Mary, 1990). Pembelajaran akan berhasil jika dalam pendidikan memperhatikan berbagai dimensi perilaku seni. Wilson (dalam Bloom, 1975) menerjemahkan perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik menjadi tujuh dimensi perilaku seni yang meliputi; (1) persepsi, (2) pengetahuan, (3) pemahaman, (4) analisis, (5) evaluasi, (6) apresiasi, dan (7) produksi. Keseluruhan aspek dalam dimensi ini bersifat berjenjang dan perlu dipelajari murid melalui muatan seni yang beragam. Muatan seni tergantung pada karaktersitik bidang seni yang dikembangkan. Ketujuh aspek dimensi perilaku seni ini perlu dilatihkan pada murid secara terus-menerus. Pengembangannya disesuaikan dengan perkembangan dengan kebutuhan seni, sehingga proporsi bobot dan setiap aspek yang perlu dicapai akan berbeda sesuai dengan tingkatan pendidikan.

71

c. Kegunaan Seni Jika diklasifikasikan maka ada beberapa kegunaan seni bagi manusia, yakni; sebagai media eksperisi, sebagai media komunikasi, sebagai media bermaian, sebagai media penyaluran bakat/ hobby, sebagai media penjelajahan estetis, dan sebagai media membantu penalaran/ berpikir. Ada lima teori seni yang bertalian dengan kegunaan seni bagi manusia. Menurut Adirozal (2002) general theory of art terdiri dari teori bentuk yakni seni sebagai pure form (bentuk murni) dan expressed form (bentuk ungkapan), teori pengungkapan yakni seni sebagai sana untuk mengungkapkan perasaan batin, teori alat yakni seni sebagai sarana untuk keperluan berbagai hal termasuk merangsang berfikir, teori metafisis yakni seni hanyalah sebagai tiruan dari ciptaan Ilahi, teori permainan yakni seni sebagai sara untuk menyimbangkan energi yang berlebih, dan teori suasana lingkungan yakni seni yang bertalian dengan keadaan masyarakat dan lingkungannya. Seni sebagai media ekspresi telah nampak sejak manusia itu lahir. Hal itu tampak ketika bayi menangis dan gerakan-gerakan lainnya yang merupukan eksperisi diri untuk diketahui ibunya. Ekspresi anak-anak tersebut ditunjukan untuk mencapai keinginan tertentu misalnya menyatakan keadaan dingin, panas, dapat pula mengekspresikan sesuatu yang tak mengarah kepada suatu obyek melainkan hanya menyatakan perasaan rasa sakit, rasa lapar, rasa haus, rasa gembira, dan rasa marah. Ekspresi tersebut saling berhubungan, jika keadaan rasa haus telah berakhir biasanya mengakibatkan rasa gembira yang dinyatakannya dengan senyuman, sebaliknya jika rasa haus belum terpuaskan maka akan terekspresikan dengan sedih atau menangis. Menurut Ramalis (2006) seringkali anak kurang mampu mengeluarkan isi hatinya lewat bahasa lisan. Bagi anak, bahasa lisan lebih sulit untuk digunakan mengungkapkan

72

isi hatinya, seni dapat membantu mengekspresikan idenya. Ekspresi adalah salah satu kebutuhan ruhaniyah/ batiniah individu untuk berhubungan dengan orang lain. Dalm hal ini pikiran, perasaan dan emosi ikut berperan. Orang dewasa telah mempunyai banyak kosa kata untuk mengungkapkan perasaannya berbeda dengan anak-anak yang terbatas kosa katanya. Anak-anak lebih banyak dan suka mengeksperisikan disi dengan coretan dan gerak. Kebutuhan orang dewasa juga berbeda dengan anak-anak, maka ekspresinya pun juga berbeda. Oleh

karena eksperisi merupakan kebutuhan ruhaniyah manusia maka ekspresi perlu mendapat perhatian dan guru perlu mengembangkannya. Manusia secara alamiah juga terjadi perbedaan antara satu dengan lainya. Potensi seorang murid dengan murid lainnya tidak sama, ada yang lebih kuat dan cekatan pada kemampuan berupa gambar, patung, arsitektur, dan kriya lainnya. Perbedaan potensi ini harus menjadi perhatian seorang guru dalam mendorong eksperisi murid. Menurut Ramalis (2006) terjadinya ekspresi secara spontan tanpa perintah dari luar. Pengembangan daya ekspresi akan terkait dengan pengembangan kreativitas. Sebab ada 2 macam ekspresi dan anak yaitu ekspresi kreatif dan ekspresi yang tidak kreatif. Ekspresi kreatif adalah ekspresi yang mengandung kreativitas, terutama yang dijumpai dalam kegiatan berolah seni. Sebaliknya ekspresi yang tidak kreatif adalah ekspresi yang tidak menghasilkan nilai-nilai kreatif atau merupakan hasil tiruan, hasil pengulangan atau hasil jiplakan. Ekspresi kreatif inilah yang harus dikembangkan dalam setiap pembelajaran kesenian. Seni sebagai media komunikasi bermakna sebagai penyampaian suatu hasrat sesuatu pada orang lain. Berkomunikasi merupakan fitrah bagi mansuia sebagai makhluk

73

sosial. Sarana berkomunikasi dapat melalui media: suara, tulis, gerak dan gambar. Jika ditarik pada ranah seni maka berkomunikasi dengan suara dapat diwujudkan dalam bentuk nyanyian atau musik. Berkomunikasi dengan turlisan dalam wujud puisi, novel, dan pantun. Berkomunikasi dengan gerak dapat dalam wujud seni tari, pantonim, dan silat. Berkomunikasi dengan wujud gambar melakirkan seni lukis, seni patung, karikatur, seni anyaman, seni ukir. Berkomunikasi dengan berbagai media atau gabungan media suara, gerak, dan gambar bisa dalam wujud film, drama, dan opera. Gambar merupakan media komunikasi yang cenderung paling banyak dilakukan oleh anak yang dibentuk dengan bahasa rupa. Sebagai media bermain maka seni merupakan bentuk ekspresi bebas yang paling jelas pada anak-anak, eksperisi yang dihasikan oleh anak-anak yang paling murni. Seni yang dihasilkan dari permainan bukanlah milik anak-anak semata, orang dewasapun juga dapat melahirkan seni dari cara bermain. Teori permainan dalam seni rupa lahir dari adanya kelebihan energi dan ide, kelebihan energi inilah yang mendorong manusia untuk menyeimbangkannya dengan cara bermain-main, (Adirozal, 2002). Permainan adalah ekspresi tentang hubungan manusia dengan seluruh kehidupan. Sebahagian seni di Minangkabau lahir dari pengolahan energi yang berlebih, energi itu dimanfaatkan untuk kegiatan yang positif sehingga mengahsilkan karya. Mamangan Minangkabau yang melandasi seni itu adalah duduak ba pamainan, tagak maninjau jarak (duduk berpermainan, berdiri meninjau jarak). Dari kegiatan duduak bapamainan mengahsilkan seni anyaman, tenunan, sulaman, dan seni ukir. Sedangkan seni yang dihasilkan dari falsafah tagak maninjau jarak menghasilkan pencak, silat, seni tari, dan randai.

74

Apapun bentuk aktifitas permainan merupakan gerakan-gerakan yang berupaya mencari perpaduan antara proses mental dan fisik. Menurut Ramalis (2006) permainan bisa dikembangkan sesuai dengan 4 fungsi mental, yakni (1) dari segi perasaan, permainan dapat dikembanngkan dengan latihan-latihan penjiwaan pada seni drama, (2) dari segi intuisi, dikembangkan dengan latihan-latihan ritmis pada seni tari dan musik, (3) dari segi sensasi, dapat dikembangkan dengan cara mengekspresikan diri pada seni disain plastis atau visual, dan (4) dari segi pikiran, dikembangkan dengan kegiatan-kegiatan konstruktif ke arah keahlian. Sebagai media pengembangan bakat atau hobi seni, banyak orang berpendapat bahwa kemampuan berkesenian merupakan bakat yang dibawa sejak lahir. Bakat yang baik dalam berkesenian tidaklah cukup, sebab sebaik apapun bakat seseorang tanpa pernah diasah dan dikembangkan maka tidak akan berarti apa-apa. Malah tanpa pernah dikembangkan bakat yang ada akan menjadi pudar dan hilang. Bakat yang terpupuk sejak awal tentu akan jauh lebih baik perkembangannya. Kegiatan berkesenian menjadi salah satu sarana untuk memupuk dan mengembangkan bakat. Adirozal (dalam Yayah Khisbiyah, ed. 2004) menyatakan sebenarnya setiap manusia mempunyai bakat seni, hanya saja bentuk dan kadar seninya yang berbeda. Ada yang berbakat seni tari, ada yang seni musik, dan ada yang seni rupa, ada yang hanya pada tahap penikmat seni dan ada yang sampai sebagai pencipta seni. Sebuah pendidikan seni yang ideal tentu memberikan kesempatan kepada setiap murid yang berbakat untuk memelihara dan mengembangkan bakatnya sejak awal. Selain sebagai penyaluran hobi maka seni juga sebagai media untuk penjelajaran pengalaman estetis. Maksud dari estetis di sini adalah keindahan yang berkaitan dengan

75

rasa. Eastetic experince merupakan pengalaman keindahan yang dimiliki setiap manusia, di mana semua manusia memiliki cita rasa keindahan. Cita rasa keindahan itu terpusat pada kesenangan dan merupakan pengalaman subyektif yang sulit ditentukan tolak ukurnya. Setiap pribadi murid perlu dikembangkan cita rasa keindahan dalam rangka menyeimbangkan otak kiri dan otak kanannya. Adanya keseimbangan otak kiri dan otak kanan akan membuat murid dapat menganalisa dan sekaligus merasa. Pengalaman keindahan dapat dibangun dengan berbagai cara, di antaranya mengajak murid untuk berapresiasi atau menyaksikan dan menghargai karya orang lain. Hasil pengamatan dibahas dengan tujuan murid dapat kesenangan sebagai pengalaman subjektif. Atau dapat juga murid diajak lansung kepada objek-objek alam dan lingkungan masyarakat sehingga menumbuhkan kepekaan estetisnya. Setiap murid memiliki naluri dan potensi cita rasa keindahan. Potensi dan naluri itu harus diasah dan dikembangkan terus, jika naluri ini tidak ditumbuh kembangkan, maka naluri tersebut akan mati. Bila naluri murid dikembangkan dengan baik maka ia akan memeliki pengalaman estetis yang banyak dan baik. Dari banyaknya pengalaman keindahan itu maka ia akan dengan mudah berkarya, sebab pengalaman estetis itu sebagai vokabulari bagi anak. Pernyataan buya Hamka bahwa hidup tanpa seni akan hampa tidak dimaksud bahwa setiap manusia/ murid harus mampu melahirkan karya seni, melainkan setiap murid harus memeliki kepekaan seni. Untuk menumbuhkan kepekaan seni adalah dengan mengembangkan sikap dan pengalaman cita rasa keindahan. Setiap anak yang telah memiliki kepekaan seni maka cita rasa keindahannya baik. Dengan baiknya cita rasa estetisnya maka dengan sendirinya ia akan mampu menghargai karya seni baik karya seni

76

dia sendiri atau karya seni orang lain, baik karya bangsa sendiri amaupun karya bangsa asing. Seni sebagai media membantu kemampuan berfikir atau bernalar hal ini terkait dengan seni merupakan hasil kerja olah otak. Menurut Yahya (2009) bentuk apapun produk seni yang kita rasakan, diterima indera dan disimpan dalam memory saat ini adalah hasil kerja otak. Karya seni merupakan produk berpikir level tinggi melalui proses berpikir kritis, berpikir kreatif, dan kemampuan memecahkan masalah. Hal ini dapat dilihat dalam proses berkarya seni, sebelum sebuah karya seni dilahirkan maka terlebih dahulu dilakukan analisa yang terkait dengan media yang tepat karya tersebut diwujudkan. Apakah media suara, gerak, atau rupa. Setelah ditetapkan salah satu medianya, misalnya rupa maka berlanjut pada analisis komposisi, proporsi dan bahan yang digunakan. Proses-proses seperti itu akan membantu anak berpikir analisis dan bernalar. Bahkan Aristoteles mengatakan, bahwa keselarasan antara rasio dan emosi terdapat dalam seni. Dengan demikian kegiatan berkesenian menempatkan rasio sebagai kontrol. d. Seni Ukir Awalnya pengelompokan seni (zaman Yunani) berdasarkan satus sosial, yaitu kelompok seni kaum bangsawan (court-arts) dan kelompok seni kelas bawahan (folkarts). Kelompok seni kaum bangsawan dilindungi oleh dewa sedangkan seni kelas bawahan bersifat kasar. Pada zaman pertengahan kelompok seni kelas bangsawan disebut dengan liberal arts yang dilawankan dengan vulgar arts. Pengelompokan ini menjadi rancu karena aritmetik, geometri, astronomi masuk bersama musik ke dalam empat serangkai (quadrium), dan tata bahasa, dialektik, retorika masuk pada tiga serangkai

77

(trivium), (The Liang Gie, 1976). Pernah juga pengelompokan seni berdasarkan pada halus dan kasarnya kerja seni. Kelompok seni yang halus disebut dengan manyor arts yang terdiri dari seni lukis, seni pahat, arsitektur, musik dan kesusasteraan. Kelompok seni kasar disebut minor arts terdiri dari perabotan kayu, tembikar, permadani, ukiran manikam, perhiasan emas, perhiasan perak, kerajinan kulit, dan pembuatan medali. Pengelompokan seni juga pernah dilakukan atas kandungan daya ungkap atau ekspresinya, seni yang tinggi ekspresinya termasuk fine arts dan seni terpakai disebut applied arst. Pengelompokkan ini dirasakan juga kurang tepat sebab sebab tidak ada seni yang tidak memiliki ekspresi dan tidak juga ada seni yang tidak terpakai. Pembagian seni selanjutnya berdasarkan indera serap manusia yakni visual arts, audio arts, dan audiovisual arts. Jika mengacu pada konsersium seni Indonesia maka pengelompokan seni terdiri dari seni pertunjukan, seni rupa dan disain, serta seni multi media (drama telivisi dan film). Seni pertunjukan terdiri dari seni tari, seni karawitan, seni teater, dan seni musik. Seni rupa terdiri dari seni murni, seni kriya, disain interior, disain eksterior, dan disain komunikasi visual. Kelompok seni yang masuk pada seni murni adalah seni lukis, seni patung, dan seni grafis. Sedangkan yang masuk pada seni kriya adalah anyaman, batik, keramik, logam, sulaman, tenunan, dan ukiran. Khusus tentang seni ukir maka bangsa Indonesia telah mulai mengenalnya sejak zaman batu muda (neolitik), yakni sekitar tahun 1500 SM. Pada zaman itu nenekmoyang bangsa Indonesia telah membuat ukiran pada kapak batu, tempaan tanah liat atau bahan lain yang ditemuinya. Motif dan pengerjaan ukiran pada zaman itu masih sangat sederhana. Umumnya bermotif geometris yang berupa garis, titik, dan lengkungan,

78

dengan bahan tanah liat, batu, kayu, bambu, kulit, dan tanduk hewan Pada zaman yang lebih dikenal sebagai zaman perunggu, yaitu berkisar tahun 500 hingga 300 SM. Bahan untuk membuat ukiran telah mengalami perkembangan yaitu menggunakan bahan perunggu, emas, perak dan lain sebagainya. Dalam pembuatan ukirannya adalah menggunakan teknologi cor. Motif-motif yang di gunakanpada masa zaman perunggu adalah motif meander, tumpal, pilin berganda, topeng, serta binatang maupun manusia. (http://www.blogster.com/artbloggue/tentang-seni-ukir-di-indonesia. diambil 8 Maret 2010 pukul 16.30 WIB). Lebih lanjut dijelaskan bahwa seni ukir atau ukiran merupakan gambar hiasan dengan bagian-bagian cekung (kruwikan) dan bagian-bagian cembung (buledan) yang menyusun suatu gambar yang indah. Pengertian ini berkembang hingga dikenal sebagai seni ukir yang merupakan seni membentuk gambar pada kayu, batu, atau bahan-bahan lain. Pengertian ukiran menurut Van Houve dalam Ensiklopedia Indonesia adalah ukir mengukir, menggoreskan huruf-huruf dan gambar pada plat-plat dari kayu atau logam sedemikian rupa. Risman Marah (1988) menyatakan ukiran adalah sesuatu yang diukir atau dipahatkan yang tidak bisa dipisahkan dengan motif-motif. Motif ukiran yang mengakat atau menstilisasi dari bentuk alam berlaku di manamana. Hal ini dapat dilihat dari sejarah seni rupa, baik seni primitif Afrika, seni Mesir kuno, Assyiria, Babylonia, Persia, Yunani, India, Islam, dan Indonesia, jelas sekali bahwa alam dan segala isinya bentuk dan kurenahnya menjadi sumber ilham bagi para seniman. Hanya saja dalam pengolahan dan penerapannya terdapat perbedaan yakni: a. pada pengambilan dan pemilihan suatu motif, b. penggambaran dan pengukiran motif, c. gerak garis dasar, d. penempatan motif, dan f. ciri-ciri ukiran. ( HB. Dt. Tumbijo, 1985). Ukiran Minangkabau pada umumnya banyak mengambil nama-nama motif dari bentuk tumbuh-

79

tumbuhan dan binatang, namun ada juga yang diambil dari kata-kata adat, dan nama makanan. Menurut Zulhelman (2000) motif-motif Minangkabau bersumber dari alam yang berangkat dari falsafah orang Minangkabau yaitu alam takambang jadikan guru (alam terkembang menjadi guru). Seni ukir sebagai salah satu kekayaan budaya Minangkabau lebih banyak dipahatkan pada kayu. Walau ada yang ditatahkan pada logam akan tetapi tidak disebutkan sebagai ukiran melainkan hanya sebagai hiasan kerajinan atau kriya logam. Kayu yang banyak digunakan di Minangkabau terutama di Pandai Sikek sampai saat ini adalah kayu surian. Peralatan ukiran Minangkabau tidaklah sebanyak pahat ukiran Bali dan Jepara. Menurut Ibenzani (1985) pahat ukiran Minangkabau yang paling tua usianya bernama pahat rencong, pisau rencong, pahat sudu (pahat sodok). Alat ukir tradisional Pandai Sikek terdiri dari pahat layang-layang atau pahat siku, pahat korek lubang disamping pahat rencong. 5. Model Pembelajaran Beragam difinisi dan teori yang dikemukan mengenai model pembelajaran, namun dalam hal ini tidak dimaksud untuk membahas bermacam-macam teori model, dan juga tidak ditujukan untuk menguji model yang telah ada. Dari berbagai difinisi dan teori model itu menjadi acuan dan pedoman untuk melihat atau menemukan model pendidikan seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek. Model mempunyai makna yang lebih luas dari sekedar metode dan strategi pembelajaran. Menurut Elizar (2008) model pembelajaran berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran. Jadi model pembelajaran merupakan inti atau jantung dari strategi mengajar. Menurut Joyce dan Weil (1980)

80

hakekat mengajar adalah membantu siswa memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berpikir, dan cara bagaimana belajar. Pembelajaran yang efektif tidak sekedar mengajar dengan baik. Guru harus tahu bagaimana mengadaptasi pengajaran terhadap tingkat pengetahuan siswa, memotivasi siswa untuk belajar, mengatur tingkah laku siswa, membentuk kelompok siswa untuk suatu pelajaran dan memberikan tes kepada siswa. Menurut Mills (1989) model adalah bentuk repsentasi akurat, sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertintak berdasarkan model itu. Jadi model merupakan interpretasi atas hasil observasi dan pengukuran yang diperoleh dari beberapa sistem. Suherman (1993) mengartikan model sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan aktivitas. Pendidikan dan pembelajaran merupakan aktivitas dalam upaya

membangkitkan, mendorong, dan memfasilitasi potensi-potensi murid. Bell (1981) menyatakan bahwa A teaching/learnng model is a generalized instructional process wich may be used for many different in a variety of subjects . Pendapat Bell ini secara umum dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran dapat ditetapkan pada beberapa subjek. Winatapura (2001) menyatakan bahwa model dapat diartikan sebagai kerangka konseptual yang dipergunakan untuk mendapatkan pedoman dalam melakukan sesuatu kegiatan. Walau ada yang menyamakan antara model dengan teori tapi ada perbedaannya yakni bahwa model berasal dari asumsi-asumsi yang disederhanakan. Sebauah model akan baik dan berarti jika di dalamnya terdapat lima unsur, kelima unsur itu menurut Bruce Joyce (1994) adalah: (1) sintaks, yakni urutan kegiatan atau langkah-langkah pembelajaran; (2) sistem sosial, yakni menguraikan peranan pendidik (guru) dan peserta didik serta aturan-aturan yang diperlukan dalam interaksi sosio-

81

kultural; (3) prinsi-prinsip reaksi, yakni memberikan gambaran kepada pendidik tentang cara memandang atau merespon pertanyaan-pertanyaan siswa; (4) sistem pendukung, yakni kondisi yang diperlukan agar model dapat terlaksana secara efektif dan efisien; dan (5) efek instruksional dan pengiring, yakni pengaruh langsung dan tidak langsung yang dialami peserta didik saat penerapan model. Dalam menyusunan sebuah model ada langkah-langkah tertentu yang dilakukan. Menurut Taba (1962) dan Sukmadinata (2005) langkah-langkah itu adalah: 1) menjelaskan fenomena yang berlaku saat sekarang, 2) menetapkan tujuan penyusunan model, 3) mendeskripsikan aspek-aspek yang terkait dengan masalah yang akan disusun sebagai modelnya, 4) mendeskripsikan keadaan yang terjadi saat ini, 5) mengelompokkan data, 6) melakukan analisis hubungan antara aspek-aspek, keadaan dan fenomena yang ada berdasarkan kajian terhadap teori-teori pendukung, 7) menyusun draf model, 8) melakukan validasi terhadap draf model, dan 9) menghasilkan model. Menurut Bastian (2009) sebuah model dapat dianggap baik apabila mampu memberikan gambaran yang tepat tentang hubungan-hubungan antara fenomena yang terjadi dengan aspek-aspek yang ada pada suatu hal keadaan benda. Model yang baik juga hanya akan terwujud ababila disusun berdasarkan kajian-kajian yang kompreherisif terhadap data yang ada dan telah divalidasi. Dari berbagai pendapat yang telah dikemukan di atas maka model yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu kerangka konseptual yang menggambarkan suatu keadaan yang menyeluruh dalam mengorganisasi pendidikan atau pembelajaran yang berfungsi sebagai pedoman guna mencapai tujuan. Pendapat, langkah-langkah dan unsur-

82

unsur yang mesti terkandung dalam penyusunan model yang dikemukan akan dipedomani. Perkiraan Model Pendidikan Seni Ukir pada Sanggar Tradisional di Pandai Sikek Harkat dan Martabat Manusia

Tujuan Pendidikan

Guru Seni Ukir

Proses Pembelajaran

Murid

Penerapan high touch high tech

Tahapan Pembelajaran pre, while, post

Evaluasi Hasil Belajar

Murid yang jadi guru seni ukir

Tukang Ukir

Model Pendidikan Seni Ukir pada Sanggar Tradisional di Pandai Sikek

Tujuan Pendidikan

Harkat dan Martabat Manusia

83

METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk melihat secara kualitatif model pendidikan seni ukir pada sanggar-sanggar tradisional di Pandai Sikek, Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat. Materi, teknik, dan evaluasi pembelajaran seni ukir pada sanggar-sanggar tradisional itu akan disajikan secara diskriptif. Untuk mewujudkan hasil penelitian yang baik diperlukan metode penelitian yang tepat. Adapun metode penelitian yang dimaksud adalah langkah-langkah yang ditempuh dalam proses penelitian. Selain langkah-langkah pokok yaitu pengumpulan data, analisis data, dan penyajian hasil penelitian, pada bagian ini dikemukakan pula hal-hal yang berkenaan dengan paradigma penelitian, bentuk penelitian, penentuan lokasi penelitian, data dan sumber data. Dalam bab ini secara berturut-turut diuraikan hal-hal tentang (1) bentuk penelitian, (2) lokasi penelitian, (3) data dan sumber data, (4) teknik pengumpulan data, (5) analisis data, dan (6) penyajian hasil penelitian A. Bentuk Penelitian Penelitian ini berbentuk kualitatif yang sering dilawankan dengan penelitian kuantitatif. Menurut Moleong (1998:3) ada juga yang menyatakan penelitian kualitatif ini dengan istilah inkuiri, naturalistik atau alamiah, etnografis, interaksionis, simbolik, perspektif ke dalam, interpretif, etnometodologi, fenomenologis, studi kasus, ekologis, dan deskriptif. Sejalan dengan itu Nasution (1992:18) menyatakan penelitian kualitatif disebut juga penelitian naturalistik. Disebut kualitatif karena sifat data yang dikumpulkan yang bercorak kualitatif (kata-kata), bukan kuantitatif (angka-angka). Hakikat penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor (1992), Moleong (1998) adalah sebagai prosedur

84

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. Pendekatannya diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Selanjutnya Moleong mengutip Jerome Kirk dan Marc L. Miller yang mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasan sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya (Moleong, 1998:3). Sugiyono (2005) menyatakan bahwa penelitian kualitatif muncul karena adanya perubahan paradigma dalam memandang suatu realitas/fenomena/gejala. Paradigma realitas sosial dipandang sebagai sesuatu yang holistik/utuh, kompleks, dinamis, dan penuh makna. Paradigma demikian disebut dengan paradigma postpositivisme. Paradigma penelitian sebelumnya disebut positivisme di mana memandang gejala lebih bersifat tunggal, statis, dan konkrit. Paradigma positivisme mengembangkan penelitian kuantitatif, sedangkan paradigma postpositivisme mengembangkan penelitian kualitatif. Penelitian Model Pendidikan Seni Ukir Pada Sanggar Tradisonal di Pandai Sikek tidak dimaksudkan memberikan perlakuan kepada subyek terteliti, tetapi hanya mendiskripsikan hal-hal yang dilakukan oleh subyek terteliti dalam melakukan kegiatan pembelajaran sehari-hari, baik yang dilakukan oleh guru maupun reaksi murid. Diskripsi dilakukan setelah data yang ada terlebih dahulu dikaji dan ditelaah. Pristiwa pembelajaran pada sanggar seni ukir tersebut merupakan perilaku sosial sehari-hari yang dilakukan oleh guru dan murid. Dimyati (1996) mengemukakan bahwa penelitian yang berkaitan dengan peristiwa sosial akan mudah dijaring datanya jika diletakkan pada salah satu kuadran peta paradigma sosiologi Ritzer. Kuadran keempat Ritzer yaitu kuadran untuk melihat suatu

85

peristiwa interaksi sosial terutama perilaku guru dan murid yang terjadi dalam proses pembelajaran seni ukir baik di dalam sanggar maupun di luar sanggar, baik secara individu maupun kelompok. Menurut Sugiyono (2009:285) bahwa dalam pandangan penelitian kualitatif gejala itu bersifat holistik (menyeluruh, tidak dapat dipisahpisahkan), tidak ditetapkan berdasarkan variabel penelitian, tetapi keseluruhan situasi sosial yang meliputi aspek tempat (place), pelaku (actor), dan aktivitas (activity). Untuk memperoleh data yang secara holistik maka dilakukan penelitian bentuk diakronis yaitu meneliti dengan melihat perkembangan objek. Proses pendidikan seni ukir di Pandai Sikek telah berlangsung semenjak tahun 1920-an, sedangkan sanggar atau studio seni ukir berdiri pada awal tahun 1970 oleh Ramli Dt. Rangkayo Sati. Data yang dapat dihimpun dimulai semenjak guru sekarang menjadi murid Ramli Dt. Rangkayo Sati, kemudian mereka sebagai guru, dan murid-murid seni ukir sekarang. B. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Pandai Sikek Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat. Sebelum diberlakukannya PERDA Nomor 9 tahun 2001 tentang sistem pemerintahan terendah di Sumatera Barat, maka Pandai Sikek pernah dalam bentuk desa. Sekarang Pandai Sikek merupakan sebuah kenagarian, di samping sebagai daerah teritorial

administrasi pemerintahan terendah maka nagari juga merupakan teritorial budaya/adat. Apa bila desa merupakan satuan teritorial terkecil dalam sistem pemerintahan di daerah lainnya di Indonesia, maka kenagarian adalah satuan teritorial terkecil dalam sistem pemerintahan Sumatera Barat. Hal ini dibenarkan dengan diberlakukannya Undangundang No 32 tahun 2004 tentang sistem otonomi daerah.

86

Lokasi penelitian meliputi

kenagarian Pandai Sikek. Ada beberapa alasan

menetapkan kenagarian Pandai Sikek sebagai lokasi penelitian. 1. Penetapan lokasi ini mengingat kenagarian merupakan daerah teritorial sebagai pendukung budaya Minangkabau. Seni ukir sebagai objek penelitian merupakan warisan budaya berada dalam kewilayahan kenagarian Pandai Sikek. Seni ukir yang oleh masyarakatnya dirasakan sebagai milik bersama, walau yang membuatnya tidak seluruh masyarakat Pandai Sikek (empat buah sanggar). Sebagai bukti bahwa seni ukir yang ada pada sanggar tradisional di Pandai Sikek menjadi budaya masyarakat setempat maka gaya ukiran tersebut dinamakan ukiran Pandai Sikek (Ibenzani Usman, 1985) 2. Sebelumnya tiga wilayah seni ukir Sumatera namun Barat sekarang yang memiliki tetap gaya eksis dan atau

mengembangkan

yang

berkesinambungan hanyalah Pandai Sikek. Dua daerah lain yakni gaya IV Angkek Candung ( untuk Payakumbuah) dan gaya Banuhampu Sungai Puar (Agam) tidak terlalu baik pembinaan pendidikannya atau hampir tidak ada generasi muda daerah ini yang belajar seni ukir. Malah sebahagian sanggar seni ukir dua daerah ini telah banyak berubah fungsi pada kegiatan pembuatan perabot. 3. Di daerah Pandai Sikek sampai saat ini masih banyak generasi muda yang berminat dalam mewarisi seni ukir. Ada beberapa generasi muda Pandai Sikek yang masih mau belajar seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek. 4. Secara historis penduduk Pandai Sikek merupakan satu kesatuan yang sama yakni luhak Tanah Datar. Kenagarian Padai Sikek bahagian dari luhak Tanah Datar yang diakui sebagai negeri tertua di Minangkabau. Sebagaimana dinyatakan

87

dalam berbagai tambo Minangkabau yang dibahas oleh beberapa penulis (Navis 1984, Datuk Sanguno 1987, Datuk Rajo Panghulu 1997, dan Amran 1981) menyatakan bahwa penyebaran penduduk di Minangkabau dimulai dari daerah Pariangan dekat Gunung Merapi luhak Tanah Datar kemudian menyebar ke wilayah luhak Agam dan luhak 50 Kota. Walau mobilitas penduduk di

kenagarian cukup tinggi (objek wisata budya) namun penduduk masih homogen. 5. Kenagarian Pandai Sikek menjadi salah satu objek wisata budaya Sumatera Barat, karena di daerah ini terdapat berbagai aktivitas kerajinan rakyat seperti tenun, songket, dan seni ukir. Sebagai daerah yang terbuka tentu akan banyak perubahanperubahan namun di Pandai Sikek sanggar seni ukir tetap bertahan sebagai salah satu identity etnic. C. Data dan Sumber Data Dalam penelitian ini digunakan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Kedua data itu saling terkait dalam pengolahan hasil penelitian. Data primer adalah data yang didapat langsung dari tangan pertama, sedangkan data sekunder adalah data yang dikutip atau didapat dari sumber lain, (Moleong, 1998; Surakhmad, 1990). Data primer didapat dari pelaku yang terlibat langsung sebagai pemilik budaya; guru seni ukir, murid seni ukir, tokoh budaya (adat) setempat, dan tokoh masyarakat. Data primer juga diperoleh dari dinas, intansi pemerintah (lembaga pendidikan formal yang mengajarkan materi seni ukir), dan lembaga yang pernah membina sanggar seni ukir Pandai Sikek.

88

Data sekunder diperoleh dari foto, buku-buku atau literatur baik hasil penelitian maupun tulisan lainnya yang berkenaan dengan pendidikan dan seni ukir. Juga data-data di kantor kanagarian, camat, dan dinas atau instansi terkait. D. Teknik Pengumpulan Data Data penelitian diperoleh dengan teknik observasi langsung, wawancara, dan studi kepustakaan atau analisis dokumen. Observasi dan pengamatan dilakukan pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek. Pedoman dan penuntun atau instrumen penelitian dalam melakukan observasi dan wawancara adalah pedoman wawancara, buku catatan, kamera (photo film), dan tape recorder. Masing-masing instrumen yang digunakan disesuaikan dengan standar yang berlaku umum. Alat-alat tersebut terlebih dahulu diukur tingkat reabilitas dan validitasnya agar data-data yang diperoleh lewat instrumen itu benar-benar sahih. Wawancara dilakukan secara mendalam dengan guru dan murid yang ada pada sanggar seni ukir. Wawancara juga dilakukan dengan komponen terkait seperti budayawan, tokoh masyarakat, dan aparatur pemerintah, sedangkan studi kepustakaan dilakukan pada perpustakaan resmi dan pribadi. Wawancara dilakukan untuk menggali data yang tidak dapat diamati atau diobservasi. 1. Observasi Teknik observasi atau pengamatan merupakan cara untuk mengamati prilaku dan benda-benda yang berkaitan dengan pendidikan seni ukir pada sanggar di Pandai Sikek. Konsep pengamatan terlibat sama dengan participant observation yang dikemukakan oleh Bogdan dan Taylor (1992:23) yaitu suatu metode pengumpulan data dengan cara melibatkan diri di dalam lingkungan subjek, secara sistematis dan tidak mencolok,

89

sehingga tercipta suatu priode interaksi sosial yang intensif antara peneliti dengan subjeknya. Pengamatan dilakukan pada sanggar-sanggar seni ukir di Pandai Sikek (tempat berlansungnya pembelajaran). Operasionalisasinya diawali dengan survei lapangan baik sebelum proposal dibuat dan saat pembuatan proposal. Survei dilakukan dalam upaya pendekatan atau memperkenalkan diri dengan tokoh masyarakat, guru (pimpinan sanggar) seni ukir, pengrajin (murid/karyawan) sanggar seni ukir, guna memperoleh kepercayaan dari subjek penelitian. Obsevasi yang intensif direncanakan dilakukan pada bulan April, Mei, dan Juni 2010. Observasi terlebih dahulu dilakukan pada informan kunci yakni guru seni ukir, kemudian murid, dan setelah itu pada tokoh budaya atau masyarakat yang terlibat pada pembinaan seni ukir. Observasi juga dilakukan pada pendidikan formal yang mengajarkan seni ukir yaitu SMK Negeri 4 Padang, SMK Negeri 8 Padang, SMK Negeri I Ampek Angkek Agam, Jurusan Kriya STSI/ISI Padangpanjang, Jurusan Seni Rupa dan Kerajinan UNP. 2. Wawancara Wawancara merupakan teknik yang sangat mendukung dalam pelaksanaan observasi. Proses tanyajawab antara peneliti dengan subjek penelitian untuk mendapat data keterangan, pandangan, dan pendirian secara lisan dari subjek dilakukan melalui wawancara. Teknik ini sangat penting untuk mendapat data yang tidak dapat ditangkap melalui pengamatan, seperti pandangan dan pendirian manusia. Ada beberapa bentuk wawancara, oleh Koentjaraningrat (1994) diklasifikasikan ke dalam wawancara berencana, wawancara tidak berencana, dan wawancara sambil lalu. Perbedaannya terletak pada pada persiapan oleh peneliti tetang materi dan informan yang

90

akan diwawancarai. Wawancara terencana ditandai dengan adanya daftar pertanyaan yang tersusun untuk diajukan pada responden. Sementara wawancara tidak berencana tidak dilengkapi dengan daftar pertanyaan yang berlaku ketat. Teknik wawancara sambil lalu termasuk ke dalam wawancara tidak berencana dan informan juga tidak diseleksi secara ketat terebih dahulu. Keseluruhan teknik wawancara dibedakan menjadi wawancara tertutup dan wawancara terbuka. Pertanyaan yang membatasi jawaban yang diberikan responden termasuk ke dalam tipe pertama, sedangkan tipe ke dua memberi kebebasan kepada reponden untuk menjawab secara luas dengan bahasanya sendiri. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe yang kedua atau terbuka. Informan ditetapkan secara purposive berdasarkan teknik snowball sampling. Pengumpulan data dimulai dari seorang informan pangkal yang dapat memberi petunjuk tetang individu lain yang tepat dan layak untuk diwawancarai sehubungan dengan topik penelitian. Dengan teknik snowball sampling informasi berakhir pada kejenuhan informasi tetang pokok soal yang ingin diketahui. Jadi penentuan informan tidak berdasarkan teknik penghitungan secara kuantitatif. Informan dalam penelitian ini dikelompokkan atas tiga komponen, yaitu pelaku kebudayaan, pelaku kebijakan, dan pelaku pendidikan. Pelaku kebudayaan adalah guru dan murid seni ukir pada sanggar di Pandai Sikek, tokoh adat dan masyarakat yang mengetahui tentang adat dan budaya umumnya dan khususnya seni ukir Sumatera Barat. Dalam hal ini termasuk murid-murid Ramli Dt. Rangkayo Sati yang masih hidup dan tidak lagi mengukir di Pandai Sikek, misalnya JK Dt. Bangso Rajo di Padangpanjang. Komponen pelaku kebijakan terdiri dari aparat pemerintah yang berperan dalam

91

mengambil kebijakan sehubungan dengan pembinaan sanggar seni ukir Pandai Sikek. Sementara komponen pelaku pendidikan adalah guru-guru pada sekolah formal. Rencana jadwal observasi dan wawancara Sasaran Sanggar A,B,C, dan D Materi Observasi/ Wawancara Untuk guru seni ukir ketika mereka jadi murid Ramli Dt. Rangkayo Sati Waktu Keterangan

Sanggar A,B,C, dan D

Masing- Daftar masing sanggar pertanyaan akan disiapkan diobservasi dan Sangg 1. Bahan/ materi yang diwawancarai ar ukir yang diterima guru seni ukir sekarang 2 x pertemuan. diobservasi ketika mereka jadi murid tidak dulunya Satu kali ditentukan 2. Cara guru mereka dulu pertemuan objek mengajar / mentransper materi tidak pertama dan 3. Cara guru mereka dulu ditetapkan seterusnya mengevaluasi/ menentuakan lama tergantung materi tambahan waktumya situasi 4. Penggalan materi setiap amat lapangan tahapan tergantung Jumlah 5. Tempat mereka dulunya kejenuhan data guru seni ukir belajar dan syarat untuk yang akan 4 orang menjadi murid diambil. 6. Ketentuan sudah bisa dinyatakan pandai atau ahli ukir Untuk guru-guru seni ukir sekarang Masing- idem 1. Motivasi mereka mengajarkan masing sanggar seni ukir akan 2. Cara mereka mengajar/ diobservasi dan mentransper keterampilan diwawancarai mengukir 2 x pertemuan. 3. Materi dan tahapan yang mereka lakukan dalam mengajar 1x 4. Cara mereka mengevaluasi baik pertemuan untuk menambah materi tidak maupun menentukan telah tamat ditetapkan 5. Jadwal dan waktu-waktu lama mereka mengajarkan seni ukir waktumya 6. Perbedaan antara mereka amat dengan guru mereka dalam tergantung mengajar dan materi yang kejenuhan data

92

diberikan Sanggar A,B,C, dan D Untuk murid-murid seni ukir sekarang 1. Motivasi mereka belajar seni ukir 2. Cara mereka belajar 3. Kepuasan atas penilaian guru atas prestasi mereka

yang akan diambil. Masingmasing sanggar akan diobservasi dan diwawancarai 1 x pertemuan. Idem Jumlah murid untuk 4 sanggar ukir sebanyak 55 orang

Tokoh 1. Pandangan mereka terhadap Masyarakeberadaan seni ukir Pandai kat/ budaSikek yawan 2. Pandangan mereka terhadap proses pendidikan seni ukir pada sanggar di Pandai Sikek 3. Harapan mereka terhadap kesinambungan seni ukir Pandai Sikek Lembaga 1. Peran mereka dalam membina Masin atau sanggar seni ukir Pandai Sikek g-masing intansi 2. Usaha-usaha yang telah lembaga akan pemerin dilakukan diobservasi dan tah 3. Harapan mereka terhadap diwawancarai proses pendidikan pada sanggar 1 x pertemuan. seni ukir di Pandai Sikek

1x pertemuan tidak ditetapkan lama waktumya amat tergantung kejenuhan data yang akan diambil. Masin g-masing informan akan diobservasi dan diwawancarai 1 x pertemuan.

Lembaga yang dituju dinas-dinas kabupaten Tanah Datar terkait dan lembaga pendidikan formal yang mengajarkan seni ukir

3. Studi Kepustakaan

93

Studi kepustakaan merupakan salah satu teknik untuk mendapatkan data penelitian, dan analisis dokumen termasuk didalamnya. Tulisan-tulisan, rekaman terhadap proses dan fenomena sosial yang berkaitan dengan seni ukir Pandai Sikek dijadikan sebagai sumber data. Penggunaan sumber ini karena tidak semua data dapat ditangkap melalui observasi dan wawancara. Khusus tentang dokumen yang dijadikan sebagai sumber data adalah kebijakan yang terkait dengan pembinaan seni ukir di Pandai Sikek. Dokumen tersebut berupa perda-perda, program-program, data statistik, dan kliping surat kabar. Data yang diperlukan adalah yang sehubungan dengan pendidikan seni ukir pada sanggar-sanggar di Pandai Sikek. E. Analisis Data Menurut Syahron (2009) pengolahan dan analisis data dalam penelitian kualitatif sesungguhnya dimulai dengan mengorganisasikan data. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dengan mengorganisasikan data dengan rapi memungkin untuk memperoleh data yang baik, mendokomentasikan analisis, dan menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian. Untuk itu dalam analisis ini maka data yang telah didapat terlebih dahulu dipilah dan dipilih atau diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan penelitian. Data yang valid dan relevan dengan penelitian dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Analisis data menggunakan metode kualitatif terutama yang didapat melalui wawancara, tulisan/dokumen, dan observasi atau pengamatan proses pendidikan seni ukir di Pandai Sikek. Menurut Wuisman (1996:300), analisis data kualitatif adalah teknik pemadatan data dengan cara mengembangkan taksonomi, sistem klasifikasi kronologis yang mencakup jumlah keterangan yang terkumpulkan dan menunjukkan

94

keterkaitannya secara sistematis. Secara operasional, analisis data kualitatif dilakukan dengan tiga langkah sistematis secara jalin menjalin (Miles, 1992:19), yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Sesuai dengan data yang diperlukan dan metode pengumpulan data tersebut, langkah-langkah analisis data yang dimaksud dilakukan dengan reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan/retifikasi. Proses analisis ini dapat digambarkan :

Pengumpulan data

Penyajian data

Reduksi data

Simpulan/retifikasi

Sebelum penarikan simpulan terlebih dahulu akan dilakukan langkah-langkah yang disarankan oleh Strauss dan Cobin (dalam Syahron, 2009) yakni melakukan koding baik terbuka (mengidentifikasi kategori-kategori), aksial (mengorganisasi data dengan cara mengkoneksikan antara kategori, sub kategori), dan selektif (menyeleksi kategori yang paling mendasar, menghubungkan kategori, dan memvalidasi hubungan tersebut). Selain itu juga likakukan pengembangan kepekaan teoritis dengan cara mengembangkan pertanyaan-pertanyaan, menganalisis kata, frase, dan kalimat. Kepekaan teoritis ini dilakukan pada saat menganalisis data-data yang telah dikumpulkan, yakni memasukkan atau menghubungkaitkan teori-teori yang telah ada atau yang dikemukakan pada bab 2. Menurut Syahron (2009) menganalisis data membutuhkan kepekaan teoritis, karena

95

dalam proses menganalisis data, peneliti sesungguhnya sedang melakukan upaya mengembangkan teori, atau berteori. F. Penyajian Hasil Analisis Data Hasil analisis data disajikan secara verbal dengan teknik deskriptif interpretatif, artinya hasil analisis dipaparkan sebagaimana adanya dan pada bagian tertentu diinterpretasikan sesuai dengan teori dan kerangka pikiran yang berlaku umum. Hasil penelitian atau analisis disajikan dalam bentu laporan ilmiah yang berupa disertasi, yang uraiannya terdiri dari beberapa bab. Masing-masing bab terdiri dari beberapa subbab dan beberapa subbab di antaranya terdiri dari sub -subbab yang disesuaikan dengan kebutuhan.

96

DAFTAR PUSTAKA

A. Muri Yusuf. 2007. Metodologi Penelitian, Padang: UNP Press.

A.A Navis. (ed),1986. Dialektika Minangkabau Dalam Kemelut Sosial dan Politik. Padang : Genta Singgalang Press A.A Navis. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Prss. Abdul Azis Wahab. 2008. Metode dan Model-Model Mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Alfabeta.
Adirozal. 1999. Pembuatan Gerabah di Desa Galogandang Tanah Datar dalam Jurnal Palanta Seni Budaya, No.5 bulan Mei, ASKI Padangpanjang. ------. 2002. Kritik Seni Rupa dan Seni Kriya. Padangpanjang: STSI Padangpanjang. ------. 2004. Apresiasi Sekolah Dasar Agama Sumatera Barat dalam Yayah Khisbiyah (ed). Pendidikan Apresiasi Seni, Wacana dan Praktek untuk Toleransi Pluralisme Budaya. Surakarta: PSB-PS Universitas Muhammadiyah Surakarta. ------. 2009. Kriya Gerabah Andaleh: antara Pelestarian, Gaya Hidup, dan EkonomiPariwisata dalam Sri Krisnanto (Ed). Seni Kriya dan Kearifan Lokal dalam Lintas Ruang dan Waktu. Yogyakarta: B.I.D ISI Yogyakarta Adolf Bastian. 2009. Model Pengembangan Kompetesi Guru Melalui Pelatihan Dalam Jabatan. Disertasi. Padang: Pascasarjana UNP Anas Sudijono. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Aunurrahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Azhari Abdullah. 1997. Peranan Seni dan Budaya Minangkabau Dalam Pembangunan Pariwisata dalam Jurnal Palanta Seni Budaya, No 2 bulan September, ASKI Padangpanjang, hal. 16-30. Bakhtiar Amsal. 2007. Filsafat Agama, Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Barker, Chris. 2004. Cultural Studies. Yogyakarta: Kreasi Wacana

Bogdan, R.C and S.J Taylor 1992. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, Suatu Pendekatan Fenomenologis Terhadap Ilmu-ilmu Sosial. Surabaya: Usaha Nasional.
Bogdan, R.C. dan Biklen, S.K. 1982. Adult Education Procedures. New York: The Datuk Sangguno Dirajo. 1987. Curahan Adat Alam Minangkabau. Bukittinggi: CV. Pustaka Indonesia.

Delaware Departement of Education 2000. The Standar for Fungtional Life Skills Curriculum. Dove. Daleware.
97

Departemen Agama Republik Indonesia. 2001. Al Quran dan Terjemahannya. Semarang: PT Karya Toha Putra Depdiknas (2003). UU- RI, Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Diknas

Direktorat Dikdasmen, 2004. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Kecakapan Hidup di SMP. Jakarta: DEPDIKNAS. Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Djohar. 1999. Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fasli Jalal (Ed). 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Jakarta: Adicita Karya Nusa. Frankel, Jack L. and Norman E. Wallen. 1993. How to Design and Evaluate Research In Education. New York: McGraw-Hill. Gerungan, W.A. (1981). Psychologi Sosial. Bandung: P.Teresco. Gustami, SP. 1987. Seni Ukir dan Masalahnya. Yogyakarta: STSRI-ASRI Yogyakarta. -----, SP. 2000. Seni Kerajinan Mabel Ukir Jepara, Kajian Estetik Melalui Pendekatan Multidisiplin. Jogyakarta: Kanisius. H.A.R Tilaar.1999. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosyadakarya. -----, 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: PT. Rineka Cipta. -----. 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: PT. Rineka Cipta. -----. 2005. Manifesto Pendidikan Nasional; Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural. Jakarta: Buku Kompas. Hamka. 1983. Filsafat Ketuhanan. Surabaya; Karunia. Hamka. 1984. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta : Panji Masyarakat.

Hamzah B Uno. 2008. Teori Motivasi dan Pengukuran Analisis di Bidang Pendidikan. Jakarta: Buni Aksara. Hans. J Daeng. 2000. Manusia Kebudayaan dan Lingkungan. Yogyakarta: Pusta Pelajar. Harisman. 2001. Ukiran Mesjid Tradisional Minangkabau di Tanah Datar, Propinsi Sumatera Barat: Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna, Tesis. Denpasar: Universitas Udayana.
Howe, Michael J.A. 1980. The Psycholgy of Human Learning. New York: Harper & Row, Publishers.

I Wayan Ardika. 1999. Warisan Budaya dan Globalisasi. Materi matrikulasi S2 Kajian Budaya Universitas Udayana, Bali, 1999/2000. Ibenzani Usman. 1985. Seni Ukir Tradisional Pada Rumah Adat Minangkabau: Teknik, Pola, dan Fungsinya. Disertasi. Bandung : Institut Teknologi Bandung.
Idrus Hakimi Dt. Rajo Panghulu. 1997. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

98

Imam Sodikoen. 2005. Kumpulan Makalah Penilaian dan Evaluasi Pendidikan Dalam Berbagai Seminar dan Pelatihan. Padang : Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Padang. Irawan Prasetya. 1999. Manajemen Sumbar Daya Manusia. Jakarta: STIA-LAN PT: Bina Aksara. Joice, B dan Marshal Well. 1986. Model of Teaching. New Jersey: Prensentece Hall Inc.

Kaplan, David dan Albert A. Manner 1999. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Koentjaraningrat. 1993. Kebudayaan Mentalitas Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia.
----- (ed). 1994. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. -----. 1999. Pengantar Antropologi I dan II. Jakarta: Rineka Cipta. Kompas Linbeck, John R. 1979. Basic Crafts. Second Edition Chas. A. Bennett Co, Inc Illinios. Lincolc, Y.S dan Guba, E.G. 1985. Naturalistic Inquiry. London: Sage Publication.

M Nasroen. 1971. Dasar-dasar Falsafah Adat Minangkabau. Jakarta: Bulan Bintang.


M.Zaim. 2009. Pembelajaran dan Evaluasi Seni. makalah. Padangpanjang: STSI Padangpanjang. Mardjani Martamin. 1976. Ragam Ukiran Rumak Gadang Minangkabau. Padang: FKPS IKIP Padang. Meredith, Geoffrey G. 1996. Kewirausahaan Teori dan Praktek. Jakarta : Pustaka Binaman. Mills, M.B. dan Huberman, A.M. 1985. Analisis Data Kualitatif (terjemahan) Jakarta: UI Press. Mohammad Ansyar. 2000. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Depdikbud, Dirjen PT, P2LPTK. Moleong, Lexy J. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rodakarya.

Muchtar Naim. 1983. Minangkabau dalam Dialektika Kebudayaan Nasional Padang: Singgalang Press.
Muhibbin Syah. 2005. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Mukhtar Buchori. 2001. Notes on Educational in Indonesia. Jakarta: The Jakrta Post & The Asia Fondation.

Mulyasa, 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosyadakarya. Museum Aditiawarman 1982. Catatan-catatan Tentang Minangkabau dari Encylopedia voor Nederlands Oust Indie. Sumatera Barat.
Mustofa Kamil. 2009. Pendidikan Formal Pengembangan Melalui PKBM di Indonesia (Sebuah Pembelajaran Dari Komonikan Jepang). Bandung: Alfabeta. Nana Sujana. 2002. Penilaian Hasil Balajar. Bandung : Tarsito.

99

Nasbahry Couto. 1999. Gaya Dalam Seni Rupa, Pemahaman Bahasa Seni Rupa Modern. Padang, Padangpanjang: Senirupa FBSS UNP, Kriya STSI Padangpanjang.. Nasbahry Couto. 2000. Tinjauan Seni Kriya (Eropa dan Amerika Serikat). Padang, Padangpanjang: Senirupa FBSS UNP, Kriya STSI Padangpanjang. Nasution. 1987. Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar . Jakarta: Jemmars. Nasution. 1992. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Nasution. 2002. Sosiologi Pendidikan. Bandung: Jemmars.

Nofrial. 2009. Seni Ukir Rumah Larik Kerinci; Kajian Estetika dan Budaya. Tesis. Jogyakarta: Institut Seni Indonesia. Nurkancana, Wayan dan P.P.N Sumartana, 1986. Evaluasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. NWT Teacher Induction, 2004: Culture-based Education. www.newteachersnwt. ca/culture.based.education2.html. Diambil 5 Januari 2007.
Oemar Hamalik. 2008. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem . Jakarta: PT Bima Aksara. Pannen, Paulina D.K.K. (2001). Konstruktivisme Dalam Pembelajaran. Buku 2.04. Pengembangan Aktivitas Instruksional. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Prayitno. 2005. Sosok Keilmuan Pendidikan, Padang: FIP-Universitas Negeri Padang Prayitno.. 2008. Dasar Teori dan Praksis Pendidikan, Padang: FIP- Universitas Negeri Padang

Puskur, DEPDIKNAS, 2004. Kurikulum 2004: Kerangka Dasar. Jakarta: DEPDIKNAS.


Ramalis Hakim. 2006. Strategi Pembelajaran Bidang Studi Kerajinan Tangan dan Kesnian: Studi Multi-situs pada Madrasyah Ibtidaiyah Negeri MalangI, Sekolah Dasar Negeri Percobaa I malang, dan Sekolah Katolik Mardi Wiyata II Malang. Disertasi. Malang: Pascasarjana UNM. -----, 2008. Pendidikan Seni di masa Depan (Melihat Paradigma baru dalam Pendidikan Seni). makalah. Padang: Seminar Nasional Jrusan Seni Rpa FBSS UNP. Risman Marah. 1987/1988. Ragam Hias Minangkabau. Jakarta: Proyek Pengembangan Kebudayaan, DEPDIKBUD.

Rusli Amran. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Sanapiah Faisal. 1990. Sanapiah Penelitian Kualitatif Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang: YA3 Seabury Press. Sedya Tuwana Sudikan. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya: Citra Wacana Spradley P.James.1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Strauss, Levi C.1963. Structural Antropology. New York: Basic Books Suardi Sandi. (2000), Studi Tentang Ukiran Tradisional Pada Bangunan Masjid Di Kabupaten Kerinci. Skripsi, pada Fakultas Bahasa, Sastra dan seni, UNP Padang. Sugiono. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

100

Sugiono. 2009. MemahamiPenelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Suharsimi Arikunto. 2005. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Sumianto A Sayuti. 2009. Pendidikan Seni Dalam Konteks Lokal Genius; Potensi Lokal Dalam Proses Kreatif-Apresiatif makalah. Padangpanjang: STSI Padangpanjang. Supriono. (2006). Pendidikan Dalam Keluarga dalam Jurnal....DEPDIKNAS.

Suwaji Bastomi. 1983. Perkembangan Seni Kriya. Yogyakarta: ASRI Yogyakarta.


Syahron Lubis. 2009. Penelitian Kualitatif Analisis dan Intrepetasi Data. Bahan Kuliah Pada Pascasarjana UNP. Padang: Universitas Negeri Padang. Taufik Abdullah. 1971. Modernization in The Minangkabau World: West Sumatera in The Early Decades of Twenty Century dalam Claire Holt: Culture and Politics in Indonesia. Ethaca London: Cornel University Press.

The Liang Gie. 1977. Garis-garis Besar Estetik. PUBIB: Yogyakarta Tyler, Ralph W. 1949. Basic Principle of Curriculum and Instrution . Chicago and London: The Unversity of Chicago Press.
Umar Junus dalam Koentjaraningrat (Ed). 1997. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jembatan. Umar Kayam. 1981. Seni Tradisi Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan. Waras kamdi. 2008. Paradigma Baru Pendidikan. Tersedia, online: http://www.unisosdem.org. Wina Senjaya. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Winata Putra. 2001. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarata: Rineka Cipta Yahya. 2009. Pendidikan Seni di Sekolah: Proses Harmonisasi Kecerdasan makalah. Padangpanjang: STSI Padangpanjang.

Zais, Robert S, 1976. Curriculum; Prenciples and Fundations. New York: Happer 7 Row Publishers.
(http://www.psb-psma.org/content/blog/pengertian-pendekatan-strategi-metode-tekniktaktik-dan-model-pembelajaran). (http://www.blogster.com/artbloggue/tentang-seni-ukir-di-indonesia)

101

You might also like