You are on page 1of 52

“ PERILAKU MASYARAKAT SEHUBUNGAN DENGAN

KESEMERAWUTAN KOTA BOGOR DITINJAU DARI


ANTROPOLOGI HUKUM “

Disusun oleh :

MOHAMAD IRFAN
01 01 06 056

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAKUAN
BOGOR
2008

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan Kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dan hidayahNya kami dapat menyelesaikan penulisan makalah mengenai ”
Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor
Ditinjau Dari Sosiologi Hukum ”
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas daripada
Mata Kuliah Antropologi Hukum semester V (lima). Tidak lupa kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Basariah S.H dan Ibu Soendari S.H
selaku Dosen mata kuliah Antropoloi Hukum yang telah memberikan banyak
masukan dan bimbingan kepada kami.
Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna.
Tapi kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Januari 2008

Mohamad Irfan

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...........................................................................................i


DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang............................................................................................1
1.2. Identifikasi Masalah....................................................................................3
1.3. Maksud dan Tujuan.....................................................................................3
1.4. Kerangka Pemikiran ...................................................................................5

BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1. Ruang Lingkup Kota Bogor
2.1.1. Sekilas Kota Bogor.........................................................................6
2.1.2. Tata Ruang Kota Bogor..................................................................6
2.1.3. Populasi Penduduk Kota Bogor......................................................7
2.2. Ruang Lingkup Antropologi Hukum
2.2.1. Kebudayaan Hukum........................................................................8
2.2.2. Budaya Hukum...............................................................................9
2.2.3. Seni Hukum....................................................................................10
2.2.4. Hukum Dalam Perspektif Antropologi...........................................10

2.3. Ruang Lingkup Permasalahan


2.3.1. Kondisi Bogor Saat Ini ...................................................................16
2.3.2. Perilaku Masyarakat .......................................................................18
2.3.3. Penyimpangan Sosial .....................................................................22

BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Tiga Masalah Krusial

3
3.1.1. Isu Transportasi Dan Kemacetan....................................................24
3.1.2. Isu Kebersihan ..............................................................................26
3.1.3. Isu Pedagang Kaki Lima ................................................................27
3.2. Sosialisasi Upaya Peningkatan Pengetahuan dan Kesadaran Hukum........40

BAB IV
ANALISA ..............................................................................................................43

BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan.................................................................................................47
5.2. Saran dan kritik...........................................................................................48

DAFTAR PUSTAKA

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Louis Wirth dalam JW Schoort yang mendefinisikan kota sebagai suatu
pemukiman permanen yang cukup besar, padat, heterogen, dan selalu
mengedepankan perubahan demi kemajuan warganya, dimana sebuah kota mau
tidak mau harus menerima setiap perubahan yang terjadi. Saat ini semakin banyak
kota-kota besar di Indonesia yang semakin berkembang seiring tuntutan jaman.
Dengan keadaan yang terus berubah, pertumbuhan penduduk pun semakin
meningkat dengan adanya peningkatan pertumbuhan penduduk tersebut maka
secara otomatis kebutuhan penduduk akan tempat tinggal juga akan semakin
mendesak, selain itu juga meningkatnya kebutuhan untuk fasilitas umum dan
fasilitas khusus sebagai sarana pendukung. Fasilitas umum dan fasilitas khusus
merupakan salah satu faktor penggerak untuk pertumbuhan suatu kota. Suatu
strategi terhadap masalah struktur massa perkotaan dan struktur ruang perkotaan
perlu diarahkan secara konkret atau nyata pada tiga aspek yaitu memperkuat,
mentransformasikan, dan memperkenalkan. Dalam strategi ini elemen-elemen
perkotaan yang sudah ada didalam suatu kawasan perlu diperkuat supaya kawasan
itu lebih jelas dalam realitasnya. Selain itu strategi ini elemen-elemen perkotaan
yang masih berbenturan didalam suatu kawasan perlu ditransformasikan supaya
kawasan itu lebih mendukung realitasnya, serta dalam strategi ini elemen-elemen
perkotaan yang belum ada dalam suatu kawasan perlu diperkenalkan supaya
kawasan itu lebih berarti dalam realitasnya.

Kota Bogor sebagaimana lazimnya kota-kota lain di Indonesia, memiliki


perkembangan yang cukup pesat dalam berbagai hal, pembangunan pun berjalan
hampir di segala bidang, baik pembangunan secara fisik maupun non fisik. Dari
waktu ke waktu kota Bogor memperlihatkan tingkat perkembangan pembangunan

5
yang semakin pesat. Pembangunan terjadi pada berbagai areal kota yang secara
bisnis strategis, termasuk pada areal ataupun bangunan yang bersifat komersil.
Wilayah kota Bogor memiliki beberapa keunikan yang cukup memberi pengaruh
kepada perkembangan tersebut. Ciri khusus yang disandang oleh kota Bogor
tersebut dikarenakan oleh adanya kota Bogor yang memiliki fungsi-fungsi
pelayanan yang menjangkau secara keseluruhan, yang digunakan sebagai pemenuh
kebutuhan penduduk kota Bogor itu sendiri. Adapun salah satu keunikan yang
cukup memberi pengaruh adalah pembagian wilayah atau zona etnis yang
sebagaimana diatur dalam peraturan wilayah pada jaman kolonial Belanda.
Pembagian zona etnis tersebut dibuat karena adanya peraturan sistem penyerahan
hasil bumi kepada kompeni melalui bupati. Disebabkan oleh hal inilah kota Bogor
terbagi menjadi beberapa bagian wilayah, karena adanya kemajuan jaman seiring
dengan berkembangnya pembangunan secara pesat wilayah-wilayah tersebut
lambat laun melebur sehingga ciri suatu zona dari etnis tertentu makin lama
semakin memudar akan tetapi masih juga terdapat beberapa wilayah etnis yang
terlihat masih memiliki fungsi yang berkesinambungan dengan fungsi awalnya.

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Bogor dapat dikatakan sebagai daerah
pinggiran dari pusat Ibukota Indonesia yaitu Jakarta. Oleh karenanya banyak
masyarakat yang berbondong-bondong mencari penghasilan dikota Jakarta
tersebut dan tidak sedikit juga dari mereka itu diantaranya yang bertempat tinggal
di Bogor. Hal ini menyebabkan semakin banyaknya masyarakat pendatang yang
mengakibatkan kepadatan penduduk serta kesemerawutan di kota Bogor karena
ada kemungkinan bahwa di Jakarta sudah tidak sanggup untuk membendung
kepadatan penduduk yang akhirnya tumpah ruah ke kota – kota yang bersebelahan
seperti Bogor. Dengan adanya pendatang tersebut secara langsung dan tidak
langsung dapat mempengaruhi perilaku masyarakat asli daerah terhadap
masyarakat pendatang. Selain itu juga akan memberikan dampak (negatif dan
positif) bagi perkembangan tata kota Bogor karena banyak pendatang yang
berdampak sosial, budaya, politik serta hukum itu sendiri.

6
Tidak sedikit pendatang dan masyarakat asli Bogor yang mencari
penghasilan untuk menutupi segala kebutuhannya dengan cara berdagang di
pinggiran jalan seperti di sekitar Kebun Raya Bogor, Pusar Grosir Bogor, dan
ditrotoar-trotoar sekitar pusat kota. Selain itu juga banyak yang menjadi supir
angkutan umum dari berbagai trayek. Jika meninjau lebih jauh lagi bahwa supir
angkutan umum ini banyak macamnya. Pertama ada supir yang memiliki surat
izin mengemudi (A), dan juga tidak memiliki surat izin mengemudi (A). Kedua
ada yang disebut supir tembak, artinya didalam satu mobil angkutan umum
memiliki dua supir dengan cara bergantian. Dan ini nyata ada dikehidupan sekitar
kita. Semua ini dilakukan karena semakin berkembang pesatnya kota Bogor juga
semakin meningkatnya nilai dan harga kebutuhan masyarakat. Seperti kebutuhan
sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan, kenyamanan, dan lain-
lain.

1.2. Identifikasi Masalah


Melihat perkembangan kota Bogor yang cukup pesat dari berbagai hal dan
semakin banyak penduduk Bogor yang beraneka ragam, maka tidak menutup
kemungkinan akan menimbulkan masalah-masalah vertical dan horizontal.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan oleh sebab itu kami
mengidentifikasikan masalah sebagai berikut :
1. Penyimpangan apa saja yang terjadi terkait kesemarawutan atau
ketidakdisiplinan di kota bogor ?
2. Apa penyebab terjadinya kesemerawutan kota Bogor, jika ditinjau dari
segi Sosiologi Hukum ?
3. Upaya hukum seperti apa yang digunakan apabila terjadi penyimpangan
sosial ?

1.3. Maksud dan Tujuan


Bertitik tolak dari latar belakang dan identifkasi masalah yang telah
dikemukakan diatas, secara khusus maka maksud dari karya tulis ini adalah untuk

7
meneliti sehingga memperoleh data dan informasi mengenai seberapa besar
pengaruh hukum terhadap perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dan
secara umum maksud dan tujuan karya tulis ini adalah :
1. Agar adanya pemahaman dan penggambaran tentang realitas perilaku yang
dilakukan masyarakat.
2. Agar dapat membantu program pencegahan atau pengurangan tingkat
kesemarwutan atau ketidakdisiplinan di kota Bogor.
3. Dan sebagai masukan-masukan dalam program pembinaan hukum
terhadap masyarakat Bogor umumnya, agar terciptanya suatu kondisi yang
kondusif seperti yang dicita-citakan oleh masyarakat Bogor.
4.

8
1.4. Kerangka Pemikiran

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ruang Lingkup Kota Bogor


2.1.1 Sekilas Kota Bogor
BOGOR - Kota Bogor mempunyai sejarah yang panjang dalam
Pemerintahan, mengingat sejak zaman Kerajaan Pajajaran sesuai dengan bukti-
bukti yang ada seperti dari Prasasti Batu Tulis, nama-nama kampung seperti
dikenal dengan nama Lawanggintung, Lawang Saketeng, Jerokuta, Baranangsiang
dan Leuwi Sipatahunan diyakini bahwa Pakuan sebagai Ibukota Pajajaran terletak
di Kota Bogor. Pakuan sebagai pusat Pemerintahan Pajajaran terkenal pada
pemerintahan Prabu Siliwangi (Sri Baginda Maharaja) yang penobatanya tepat
pada tanggal 3 Juni 1482, yang selanjutnya hari tersebut dijadikan hari jadi Bogor,
karena sejak tahun 1973 telah ditetapkan oleh DPRD Kabupaten dan Kota Bogor
sebagai hari jadi Bogor dan selalu diperingati setiap tahunnya sampai sekarang.
Pada masa setelah kemerdekaan, yaitu setelah pengakuan kedaulatan RI
Pemerintahan di Kota Bogor namanya menjadi Kota Besar Bogor yang dibentuk
berdasarakan Udang-undang Nomor 16 Tahun 1950.

2.1.2 Tata Ruang Kota Bogor


Kota Bogor memiliki luas wilayah 11.850 Ha. Lima jenis penggunaan
lahan yang dominan adalah sebagai berikut :
 Permukiman : 69,88 %
 Pertanian : 10,05 %
 Jalan : 5,31%
 Perdagangan dan jasa : 3,52 %
 Badan sungai/ situ/ danau : 2,89 %
Sesuai dengan karakteristik perkotaan khusus, kondisi tersebut berfungsi
sebagai kota pemukiman serta perdagangan dan jasa. Selain itu juga Kota Bogor
dibagi ke dalam beberapa bagian, yaitu :

10
Batas – batas administratif Kota Bogor adalah sebagai berikut :
• Sebelah utara : Kecamatan Sukaraja, Kec. Bojong Gede dan Kecamatan
Kemang, Kabupaten Bogor.
• Sebelah barat : Kecamatan Ciomas dan Kecamatan Dramaga, kabupaten
Bogor.
• Sebelah selatan : Kecamatan Cijeruk, dan Kecamatan Caringin,
Kabupaten
Bogor.
• Sebelah timur : Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi, Kabupaten
Bogor.

2.1.3 Populasi Penduduk Kota Bogor


Jumlah penduduk di Kabupaten Bogor tahun 2002 sebesar 3. 826.315 juta
jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata mencapai 1.065 jwa per km2. Laju
pertumbuhan penduduk pertahun selama periode tahun 1990-1999 adalah 1,76 %
dan mengalami penurunan tahun 1999 menjadi 1,37 %. Namun dilihat dari table
dibawah bahwa pada tahun 1999-2002 terjadi peningkatan jumlah penduduk yang
masih dapat disebut normal.
Tabel Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Bogor
Thun 1990-2002
Pertumbuhan Kepadatan
No. Tahun Jumlah Penduduk
(%) (jiwa/km2)
1. 1990 3736870 1147
2. 1991 3386350 -9,38 1039
3. 1992 3689431 8,95 1133
4. 1993 3667774 -0,59 1126
5. 1994 3724694 1,55 1143
6. 1995 4415195 18,54 1355
7. 1996 3592646 -18,63 1102
8. 1997 4344800 20,94 1333
9. 1998 4750420 9,34 1458
10. 1999 4843590 1,96 1487
11. 2000 3489746 -27,95 1065
12. 2001 3551862 -0,48 1086

11
13. 2002 3826315 1,61 1174
Sumber : Kabupaten Bogor dalam Angka, BPS, 2002

Sekitar 28,92 % penduduk Kabupaten Bogor merupakan kelompok umur 0


- 14 tahun dengan jumlah 1 009 785 jiwa, penduduk usia 15 - 65 tahun adalah
66,76 % dengan jumlah 2 332 972 jiwa, sedangkan kelompok usia > 65 tahun
sekitar 4,32 % dengan Status Kualitas Lingkungan (SoE) Kabupaten Bogor 8
Kabupaten Bogor Jumlah 153 719 jiwa. Bila dilihat dari rata-rata laju
pertumbuhan penduduk menurut struktur umur ini terlihat bahwa usia tenaga kerja
produktif ini mempunyai laju pertumbuhan yang cukup besar.

2.2. Ruang Lingkup Antropologi Hukum


2.2.1. Kebudayaan Hukum
Menurut kamus umum Kebudayaan berasal dari kata “Budaya”. Budaya
yang dalam bahasa Inggris disebut “cultural” merupakan kata sifat, kalau
kebudayaan bahasa Inggrisnya Culture merupakan kata benda.
C. Kluckholn
Kebudayaan adalah seluruh cara hidup suatu masyarakat, yang terdiri dari
beberapa unsur dan yang oleh ilmu Antropologi disebut dengan cultural universal
yaitu bahwa unsur-unsur itu bersifat universal, dengan kata lain ada dan bisa
didapatkan didalam semua kebudayaan dan semua bangsa dimana pun didunia ini.
C. Kluckholn dalam bukunya ” Universal Categores of Cultural ”(1953), bahwa
cultural universal terdiri dari unsure-unsur :
 Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (sandang, pangan, papan)
 Mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan,
perdagangan, sistem produksi dan distribusi)
 Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, sistem hukum, sistem
perkawinan)
 Bahasa (Lisan dan Tulisan)
 Kesenian (seni rupa, seni gerak, dll)
 Sistem pengetahuan

12
 Religi
Jadi Kebudayaan Hukum adalah Pedoman kehidupan dari masyarakat yang
digunakan atau aspek-aspek yang dipergunakan dari masyarakat oleh kekuasaan
masyarakat untuk mengatur anggota-anggota masyarakat agar tidak melanggar
kaidah-kaidah dalam masyarakat yang bersangkutan.

2.2.2. Budaya Hukum


Ialah tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala
– gejala hukum. Jadi mengenai budaya-kebudayan dalam masyarakat ini
mengandung sistem nilai-nilai yang sangat mempengaruhi, seperti apabila hendak
menegakan hukum harus disesuaikan dengan aturan-aturan yang berlaku dalam
masyarakat.

Menurut Prof Parsudi Suparian, Budaya hukum adalah kekuatan –


kekuatan social yang ada dalam masyarakat yang sangat besar pengaruhnya
terhadap bekerja atau tidak bekerjanya suatu substansi hukum. Kemampuan
budaya hukum dapat :
a. menggerogoti hukum, apabila masyarakat tidak menerima hukum tersebut
karena dianggap tidak memberikan keadilan, sehingga ada desakan –
desakan untuk merivisi atau mengandemenkan hukum tersebut
Misalnya : UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diganti
dengan UU No 32 tahun 2004

b. mendukung atau membangun hukum, bila hukum tesebut memberikan


keadilan dan dapat mengakomodir kepentingan – kepentingan masyarakat,
namun sulit sekali mencari hukum yang benar – benar ideal yang diterima
dan didukung oleh masyarakat.
Budaya hukum yang merupakan kekuatan social, terdiri dari :
• norma-norma
• kebiasaan-kebiasaan
• standar

13
• pandangan tentang sesuatu dalam masyarakat

2.2.3. Seni Hukum


Ialah ungkapan budaya hukum yang bersifat seni yang penjelmaannya
dalam bentuk kata – kata atau seni kata ataupun benda.
Menurut Herbert Read, seni hukum adalah rasa keindahan hukum yang
timbul dari pikiran dan dinyatakan dalam bentuk penjelmaan kata-kata yang
bersifat rasa estetika.

2.2.4. Hukum Dalam Perspektif Antropologi


Melalui studi-studi antropologi mengenai sistem pengendalian sosial
(social control) di berbagai komunitas masyarakat di dunia, kalangan ahli
antropologi memberi kontribusi yang sangat penting dan bermakna dalam
pengembangan konsep hukum yang secara nyata berlaku dan dioperasikan dalam
kehidupan masyarakat.
Anthropologist have focussed upon micro processes of legal action and
interaction, they have made the universal fact of legal pluralism a central element
in the understanding of the working of law in society, and they have self-
consciously adopted a comparative and historical approach and drawn the
necessary conceptual and theoritical conclusion from this choice (Griffiths,
1986:2).
Hal ini karena para ahli antropologi mempelajari hukum bukan semata-
semata sebagai produksi dari hasil abstraksi logika sekelompok orang yang
diformulasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, tetapi lebih
mempelajari hukum sebagai perilaku sosial (Llewellyn dan Hoebel, 1941; Hoebel,
1954; Black & Mileski, 1973; Moore, 1978; Cotterrel, 1995).

Hukum dalam perspektif antropologi dipelajari sebagai bagian yang


integral dari kebudayaan secara keseluruhan, dan karena itu hukum dipelajari
sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek-aspek
kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, ideologi, religi, dll. (Pospisil,

14
1971); atau hukum dipelajari sebagai proses sosial yang berlangsung dalam
kehidupan masyarakat (Moore, 1978). Karena itu, hukum dalam perspektif
antropologi bukan semata-mata berwujud peraturan perundang-undangan yang
diciptakan oleh Negara (state law), tetapi juga hukum dalam wujudnya sebagai
peraturan-peraturan lokal yang bersumber dari suatu kebiasaan masyarakat
(customary law/folk law), termasuk pula di dalamnya mekanisme-mekansime
pengaturan dalam masyarakat (self regulation) yang juga berfungsi sebagai sarana
pengendalian sosial (legal order). Studi-studi antropologis mengenai hukum
diawali dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan mendasar: apakah hukum itu ?;
dan apakah hukum itu terdapat dalam setiap bentuk masyarakat ? (Nader, 1965:4;
Bohannan, 1967:4; Hoebel, 1967:187; Roberts, 1979:17).

Untuk menjawab pertanyaan di atas menjadi menarik untuk


mengungkapkan diskusi dari dua ahli antropologi ternama, yaitu A.R. Radcliffe-
Brown dan Bronislaw Malinowski, yang memberikan pandangannya masing-
masing mengenai hukum, sebagaimana diuraikan dalam Nader (1965:4-5);
Koentjaraningrat (1989:28-9); Moore (1978:218-223) seperti berikut :
1. Di satu sisi, hukum dalam pandangan Radcliffe-Brown
adalah suatu sistem pengendalian sosial yang hanya muncul
dalam kehidupan masyarakat yang berada dalam suatu
bangunan Negara, karena hanya dalam suatu organisasi sosial
seperti Negara terdapat pranata-pranata hukum seperti polisi,
pengadilan, penjara dan lain-lain. sebagai alat-alat Negara
yang mutlak harus ada untuk menjaga keteraturan sosial
dalam masyarakat. Karena itu, dalam masyarakat-
masyarakat bersahaja yang tidak terorganisasi secara politis
sebagai suatu Negara tidak mempunyai hukum. Walaupun
tidak mempunyai hukum, ketertiban sosial dalam masyarakat
tersebut diatur dan dijaga oleh tradisi-tradisi yang ditaati oleh
warga masyarakat secara otomatis-spontan (automatic-
spontaneous submission to tradition).

15
2. Di sisi lain, Malinowski berpendapat, bahwa hukum tidak
semata-mata terdapat dalam masyarakat yang terorganisasi
suatu Negara, tetapi hukum sebagai sarana pengendalian
sosial (legal order) terdapat dalam setiap bentuk masyarakat.
Hukum dalam kehidupan masyarakat bukan ditaati karena
adanya tradisi ketaatan yang bersifat otomatis-spontan,
seperti dikatakan Radcliffe-Brown, tetapi karena adanya
prinsip timbal-balik (principle of reciprocity) dan prinsip
publisitas (principle of publicity). Sistem pertukaran sosial
yang berkembang dalam masyarakat Trobriand menjadi
pengikat sosial dan daya dinamis yang menggerakkan
kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat melalui prinsip
resiprositas atau timbal-balik dalam bentuk pertukaran benda
dan tenaga, menggerakkan hubungan-hubungan ekonomi,
pertukaran jasa antar kerabat, menggerakkan kehidupan
kekerabatan, sistem pertukaran mas kawin, dan juga
menggerakkan hubungan antar kelompok dalam bentuk
upacara-upacara yang berlangsung dalam kehidupan
bersama.

Dari pandangan 2 ahli antropologi di atas dapat dikatakan, bahwa apabila


hukum diberi pengertian yang sempit, hanya sebagai sistem pengendalian sosial
yang diciptakan oleh lembaga legislatif dan diterapkan oleh aparat penegakan
hukum seperti polisi, pengadilan, jaksa, atau penjara dalam kehidupan organisasi
negara, maka hukum diartikan bahwa masyarakat-masyarakat sederhana yang
tidak terorganisasi sebagai suatu Negara tidak memiliki hukum. Tetapi, kalau
hukum diberi pengertian yang lebih luas, yaitu sebagai proses-proses pengendalian
sosial yang didasarkan pada prinsip resiprositas dan publisitas yang secara empiris
berlangsung dalam kehidupan masyarakat, maka semua bentuk masyarakat
betapapun sederhananya memiliki hukum dalam bentuk mekanisme-mekanisme

16
yang diciptakan untuk menjaga keteraturan sosial atau sebagai sarana
pengendalian sosial (Nader, 1965:4; Radfield, 1967:3; Pospisil, 1967:26;
Bohannan, 1967:48). Wacana antropologis mengenai hukum dalam perkembangan
selanjutnya memperoleh elaborasi dari kalangan antropolog yang lain. Konsep
hukum yang dikemukakan Malinowski memperoleh komentar dan kritik dari
Bohannan (1967:45-9), yang pada pokoknya menyatakan seperti berikut :
1. Mekanisme resiprositas (reciprocity) dan publisitas
(publicity) sebagai kriteria untuk mengatur hak dan kewajiban
dalam kehidupan masyarakat pada dasarnya bukanlah
merupakan hukum seperti dimaksudkan Malinowski, tetapi
hanya merupakan suatu kebiasaan (custom) yang digunakan
masyarakat untuk menjaga keteraturan sosial.

2. Pengertian Hukum harus dibedakan dengan tradisi (tradition)


atau kebiasaan (custom), atau lebih spesifik norma hukum
mempunyai pengertian yang berbeda dengan kebiasaan.
Norma hukum adalah peraturan hukum yang mencerminkan
tingkah laku yang seharusnya (ought) dilakukan dalam
hubungan antar individu. Sedangkan, kebiasaan merupakan
seperangkat norma yang diwujudkan dalam tingkah laku dan
berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Kadangkala
kebiasaan bisa sama dan sesuai dengan peraturan-peraturan
hukum, tetapi kebiasaan bisa juga bertentangan dengan
norma-norma hukum. Ini berarti, peraturan hukum dan
kebiasaan adalah dua institusi yang sama-sama terwujud
dalam bentuk norma-norma yang mengatur perilaku
masyarakat dalam hubungan antar individu, dan juga sama-
sama berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial dalam
kehidupan masyarakat.

17
3. Kendatipun kebiasaan dan peraturan hukum saling berbeda
satu sama lain, karena kebiasaan terwujud sebagai institusi
non hukum dan peraturan merupakan institusi hukum, tetapi
dalam masyarakat selalu ditemukan kedua bentuk institusi
tersebut (institusi hukum dan institusi non hukum). Norma-
norma hukum dalam masyarakat cenderung mengabaikan
atau menggusur atau bahkan sebaliknya memfungsikan
keberadaan kebiasaan-kebiasaan sebagai institusi non hukum
dalam penyelesaian kasus-kasus sengketa yang terjadi dalam
masyarakat.

4. Peraturan-peraturan hukum juga mengembangkan kebiasaan-


kebiasaan sebagai institusi hukum melalui proses
pelembagaan ulang (reinstitutionalized) dan dinyatakan ulang
(restated), sehingga peraturan hukum juga dikatakan sebagai
suatu kebiasaan yang telah dilembagakan kembali untuk
tujuan-tujuan yang ingin dicapai hukum tersebut. Dengan
demikian, apabila dihubungkan dengan pengertian hukum
yang dikemukakan Malinowski, maka peraturan hukum
diartikan sebagai seperangkat kewajiban yang dipandang
sebagai hak warga masyarakat dan kewajiban bagi warga
masyarakat yang lain, yang telah dilembagakan ulang menjadi
institusi hukum, untuk suatu tujuan agar kehidupan
masyarakat secara terus menerus dapat berlangsung dan
berfungsi dengan keteraturan yang dikendalikan oleh institusi
hukum. Karena itu, dikatakan bahwa resiprositas berada pada
basis kebiasaan, tetapi kebiasaan yang telah dilembagakan
sebagai norma hukum melalui tahapan yang disebut double
institutionalization of norms (Bohannan, 1967:48).

18
Lebih lanjut, konsep mengenai hukum yang dikemukakan Malinowski
juga memperoleh komentar dan kritik dari Pospisil (1967: 25-41; 1971:39-95),
yang pada pokoknya menyatakan seperti berikut :
1. Pengertian hukum yang dikemukakan Malinowski dipandang terlalu
luas, sehingga hukum yang dimaksudkan juga mencakup pengertian
kebiasaan-kebiasaan (customs), dan bahkan semua bentuk kewajiban-
kewajiban yang berhubungan dengan aspek religi dan juga kewajiban-
kewajiban yang bersifat moral dalam kehidupan masyarakat.

2. Hukum pada dasarnya adalah suatu aktivitas kebudayaan yang


mempunyai fungsi sebagai alat untuk menjaga keteraturan sosial atau
sebagai sarana pengendalian sosial (social control) dalam masyarakat.
Karena itu, untuk membedakan peraturan hukum dengan norma-norma
lain, yang sama-sama mempunyai fungsi sebagai sarana pengendalian
sosial dalam masyarakat, maka peraturan hukum dicirikan mempunyai 4
atribut hukum (attributes of law), yaitu :

(1) Atribut Otoritas (Attribute of Authority), yaitu peraturan hukum


adalah keputusan-keputusan dari pemegang atoritas untuk
menyelesaikan sengketa atau ketegangan sosial dalam
masyarakat, karena adanya ancaman terhadap keselamatan warga
masyarakat, keselamatan pemegang otioritas, atau ancaman
terhadap kepentingan umum.

(2) Atribut dengan Maksud untuk Diaplikasikan secara Universal


(Attribut of Intention of Universal Aplication), yaitu keputusan-
keputusan dari pemegang otoritas tersebut dimaksudkan sebagai
keputusan-keputusan yang juga akan diaplikasikan terhadap
peristiwa-peristiwa yang sama secara universal.

(3) Atribut Obligasio (Attribute of Obligatio), yaitu keputusan-


keputusan dari pemegang otoritas tersebut mengandung suatu
pernyataan bahwa pihak pertama memiliki hak untuk menagih

19
sesuatu dari pihak kedua, dan pihak kedua mempunyai kewajiban
untuk memenuhi hak pihak pertama tersebut sepanjang mereka
masih hidup.

(4) Atribut Sanksi (Attribute of Sanction), yaitu keputusan-keputusan


dari pihak pemegang otoritas tersebut juga disertai dengan
penjatuhan sanksi-sanksi, baik berupa sanksi yang bersifat fisik
seperti hukuman badan dan penyitaan harta benda, atau sanksi
non fisik seperti dipermalukan di depan orang banyak, diasingkan
dari pergaulan sosial, dibuat menjadi ketakutan, dan lain-lain.

Konsep hukum yang menekankan atribut otoritas dan atribut sanksi juga
dikemukakan oleh Hoebel (1954) untuk membedakan antara norma hukum dengan
norma-norma lain yang juga mempunyai fungsi sebagai alat pengedalian
masyarakat (social control). Basis peraturan hukum adalah norma-norma sosial,
dan norma-norma sosial akan berubah menjadi norma hukum apabila setiap
pelanggaran atas norma sosial tersebut secara reguler dijatuhi sanksi fisik
berdasarkan keputusan pemegang otoritas yang secara sosial diberi wewenang
khusus untuk menjatuhkan sanksi tersebut.
A social norm is legal if its neglect or infraction is regularly met, in threat
or in fact, by the application of phisical force by an individual or group possesing
the socially recognized previlege of so acting (Hoebel, 1954:28).

Dalam konteks hukum adat di Indonesia, konsep hukum yang semata-mata


berdasarkan pada atribut otoritas seperti dimaksud di atas diperkenalkan oleh Ter
Haar, dikenal sebagai teori Keputusan (Beslissingenleer/Decision Theory), yang
pada pokoknya menyatakan bahwa hukum didefinisikan sebagai keputusan-
keputusan kepala adat terhadap kasus-kasus sengketa dan peristiwa-peristiwa yang
tidak berkaitan dengan sengketa (Hoebel, 1979:33-4; F. von Benda Beckmann,
1979:31; Slaats & Portier, 1992: 14-5).

2.3. Ruang Lingkup Permasalahan

20
2.3.1. Kondisi Bogor Saat Ini
Kondisi Bogor saat ini semakin lama semakin semerawut karena ada
banyak hal yang sampai sekarang belum diatasi secara baik dan sempurna hingga
kian masalah tersebut mengakar menjadi masalah krusial. Berangkat dari masalah
ekonomi, karena ini merupakan tuntutan hidup tiap masing-masing individu dalam
memenuhi kebutuhannya maka banyak dari masyarakat yang berlomba-lomba
untuk memenuhinya sekalipun dengan cara yang tak lazim atau dilarang oleh
hukum yang berlaku, dalam hal memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan
untuk menyambung kelangsungan hidup manusia terkadang sering berbenturan
dengan kepentingan-kepentingan pribadi dari individu lain. Hal ini juga sama
dengan upaya penegakan hukum yang selalu tidak sesuai dengan kebutuhan,
kepentingan, kesinambungan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Kedua,
adalah karena rendahnya sumber daya manusia itu sendiri, yakni yang
menyebabkan manusia dalam menyambung hidupnya tidak ada pilihan lain selain
menjadi pedagang kaki lima ataupun supir angkutan umum. Sumber daya manusia
yang bagus akan menghasilkan hasil yang bagus pula itulah yang dikatakan oleh
Hery D. Kurniawan dalam bukunya “Pemberdayaan Komunitas Pedesaan”.
Ketiga, manusia dalam berperilaku akan menghasilkan kebiasaan atau adat yang
dapat memberikan kontribusi atau masukan terhadap manusia yang lain, oleh
karenanya patut ditanamkan bagi tiap-tiap individu manusia untuk berprilaku
sopan-santun, baik. Dalam arti kebiasaan atas nilai yang baik atau seyogyanya
maka akan menghasilkan produk hukum yang sempurna. Keempat, ini
menyangkut tingkat kesadaran masyarakat terhadap hukum.

Dari keempat penjelasan tersebut, maka jika dikaitkan dengan kondisi


Bogor saat ini yang semerawut merupakan hasil dari ketidakdisiplinan perilaku
manusia dalam menyeimbangi keempat hal tersebut.

Misalnya, di Bogor; pedagang kaki lima yang ada di sekitar Stasiun,


Jembatan Merah, Taman Topi dan di sekitar kawasan Air Mancur. Dari hasil
observasi lapangan yang telah dilakukan, maka dapat ditemukan bahwa hampir

21
seluruh pedagang mengemukakan alasan yang sama yaitu untuk memenuhi
kebutuhan untuk hidup. Bahkan ada pedagang kaki lima di sekitar Jembatan
Merah yang mengaku berdagang sejak Tahun 1965 dan sampai sekarang sudah
tiga generasi. Hal ini sempat menjadi pusat perhatian pemerintah kota Bogor untuk
menanggulangi ataupun mengalokasikan para pedagang kaki lima tersebut ke
tempat untuk berdagang yang lebih layak, dengan maksud mengembalikan fungsi
daripada trotoar atau bahu jalan sebagai sarana untuk pejalan kaki. Namun
nyatanya ini hanya sebagai gertakan sambal saja bagi para pedagang kaki lima
tersebut, karena mereka berpandangan berdagang dipinggiran jalan lebih efisien
dan efektif bagi pembelinya. Ketimbang harus berdagang di dalam ruko-ruko atau
supermarket ; dimana mereka harus menyewa tempat dengan biaya mahal.
Dibanding berdagang dipinggir jalan, yang dengan hanya membayar iuran murah,
dengan itu barang atau jasa yang mereka jualpun murah harganya. Mengapa para
PKL ini masih tetap berdagang dipinggiran jalan ?. Ini menjadi PR (pekerjaan
rumah) bagi pemerintah kota Bogor dan bagi masyarakatnya juga.

Dengan contoh tersebut penulis mengamati bahwa ini adalah salah satu
yang menyebabkan kesemerawutan kota Bogor, karena berdagang di bahu-bahu
jalan sudah menjadi kebiasaan daripada perilaku para pedagang tersebut. Perilaku
masyarakat tersebut ada yang menjadi nilai hukum, nilai norma, nilai aturan yang

22
desepakati oleh individu untuk mencapai keteraturan di masyarakat itu sendiri
sehingga meninggkatkan kualitas hidup individu atau masyarakat kelompok
tersebut. Untuk lebih jelas mengenai bahasan perilaku, agar dapat di baca dibawah
ini.

2.3.2. Perilaku Masyarakat


Perilaku manusia digambarkan sebagai suatu totalitas dari gerak motoris,
persepsi dan fungsi kognitif dari manusia. Salah satu unsur dari perilaku tersebut
adalah apa yang disebut sebagai gerak sosial yang pada hakikatnya merupakan
sistem yang mencakup suatu hierarki pengaturan. Perihal perilaku manusia
tersebut secara analistis akan dapat dibedakan antara perilaku belaka dengan
perilaku etis (Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto 1979:24, 25).
Misalnya : - Tidur siang. Ini merupakan perilaku belaka
- Melakukan Jual-Beli. Ini merupakan perilaku etis.

Perilaku
Kemudian mengenai perilaku etis oleh Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto
diberikan penjabaran sebagai berikut :
A. Sikap tindak atau perikelakuan ajek, yang mencakup :
1. Sikap tindak atau perikelakuan pribadi dalam bidang-bidang :
a. Kepercayaan
b. Kesusilaan
2. Sikap tindak atau perikelakuan antara pribadi dalam bidang bidang :
a. Kesopanan
b. Hukum
B. Sikap tindak atau perikelakuan yang unik, yang mencakup :
1. Sikap tindak atau perikelakuan pribadi :
a. Kepercayaan
b. Kesusilaan
2. Sikap tindak atau perikelakuan antar pribadi :
a. Kesopanan

23
b. Hukum

Dari kerangka tersebut di atas, yang penting untuk ditelaah lebih lanjut
adalah, perilaku antar pribadi, yang secara teknis biasanya disebut interaksi sosial.
Mengapa terjadi interaksi sosial yang melibatkan perilaku beberapa pihak, di mana
kemudian mungkin terjadi proses saling pengaruh mempengaruhi antar kedua
belah pihak ?

Interaksi sosial antar pribadi-pribadi, kadang-kadang juga disebut sebagai


hubungan interpersonal. Intinya adalah adanya hubungan antara manusia dengan
manusia, yang didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan tertentu. Kebutuhan
interpersonal, yakni kebutuhan untuk mengadakan hubungan dengan orang lain,
yang apabila tidak terlaksana akan menghasilkan gangguan atau keadaan yang
tidak menyenangkan bagi pribadi yang bersangkutan.

Masyarakat
Masyarakat berasal dari kata ”syaraka” (Arab) yang berarti ikut serta atau
berpartisipasi. Sedangkan kata “musyarakat” berarti saling bergaul Basrowi, dkk.
2002. Dalam bahasa lain disebut dengan society, atau community. Dalam berbagai
literature sosiologi, terdapat banyak sekali pengertian konsep masyarkat, namun
bila dikaji secara mendalam hanya terdapat lima pengertian pokok, yaitu sebagai
berikut :
1. Masyarakat adalah sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup
bersama dan bekerjasama, sehingga mereka dapat mengorganisasikan
dirinya sebagai salah satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.
2. Masayarakat adalah kelompok manusia yang terbesar, yang mempunyai
kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama.
3. Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut
suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh
rasa idenditas bersama.

24
4. Masyarakat berbeda dengan komunitas, tetapi komunitas adalah
masyarakat. Komunitas memiliki ciri khusus, yakni terikat oleh lokasi dan
kesadaran wilayah, sedangkan masyarakat bersifat lebih umum.
5. Masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang memiliki budaya sendiri
dan bertempat tinggal pada wilayah territorial tertentu. Tiap anggota
masyarakat memiliki rasa persatuan dan menganggap mereka memiliki
rasa identitas tersendiri.

Teori – teori tentang masyarakat pada intinya adalah berisi tentang gagasan
mengenai bagaimana susunan sebuah masyarakat dan bagaimana ia memelihara
kesatuan dan kelangsungannya. Apakah masyarakat sebagai tempat yang hidup
merupakan sebuah kebersamaan yang penting dan membantu untuk mencapai
tujuan – tujuan pribadi tertentu? Ataukah ada kenyataan sosial yang lebih
mendasar di mana manusia tidak bisa hidup diluar sebuah kelompok sosial?
Sekalipun manusia meyakini bahwa pandangan tentang masyarakat itu penting,
tetapi didasari bahwa masyarakat tetap merupakan sebuah fenomena yang
membingungkan.

Sejumlah besar orang yang kebetulan terkumpul dalam lokasi yang sama
tak akan dapat membentuk sebuah masyarakat. Untuk membentuk masyarkat, para
individu mesti berhubungan dengan cara tertentu, di antaranya dengan
berkomunikasi satu sama lain dan melakukannya secara terus-menerus dalam
jangka waktu tertentu. Dengan demikianlah gilirannya akan terbentuk suatu
masyarakat.

Kebutuhan Interpersonal
Pada setiap manusia, ada tiga Kebutuhan Interpersonal :
1. Kebutuhan Inklusi, yaitu suatu kebutuhan untuk mengadakan serta
mepertahankan hubungan yang memuaskan dengan pihak lain. Dari
kebutuhan Inklusi ini menghasilkan perilaku yang cenderung

25
menyesuaikan diri dengan pihak lain, sehingga ada rasa kebersamaan atau
menjadi bagian dari suatu kelompok.
2. Kebutuhan Kontrol, yaitu suatu kebutuhan untuk mengadakan dan
mempertahankan hubungan dengan pihak lain, untuk memperoleh
pengawasan kekuasaan. Dari kebutuhan Kontrol ini menghasilkan perilaku
yang bertujuan untuk mempengaruhi pihak lain, memimpinnya ataupun
mengaturnya, serta bahkan mendominasi pihak lain tersebut.
3. Kebutuhan Afeksi, yaitu suatu kebutuhan untuk mengadakan serta
mempertahankan hubungan dengan pihak lain, untuk memperoleh dan
memberikan cinta, kasih saying, serta afeksi. Kebutuhan afeksi ini akan
menghasilkan pola perilaku, seperti saling menyukai yang menimbulkan
persahabatan, cinta dan seterusnya.

Walaupun kebutuhan-kebutuhan interpersonal tersebut di atas


menghasilkan perilaku yang beraneka ragam coraknya, akan tetapi manusia pada
dasarnya mempunyai hasrat untuk hidup teratur. Akan tetapi mengenai keteraturan
yang menjadi hasratnya itu. Apabila keadaan tersebut dibiarkan, maka akan timbul
ketidakaturan, oleh karena masing-masing akan berpegang pada pandangannya
mengenai keteraturan tersebut, sesuai dengan kepentingan masing-masing. Apabila
ditinjau kenyataan yang digambarkan di muka, maka agar dicapai suatu
keteraturan di dalam pergaulan hidup, diperlukan suatu pedoman atau patokan.
Menurut Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto Pedoman atau patokan
tersebut, memberikan suatu wadah bagi aneka pandangan mengenai keteraturan
yang semula merupakan pandangan pribadi. Pedoman atau patokan tersebut
dinamakan kaidah atau norma. Kaidah atau norma yang menjadi pedoman
hubungan antar pribadi, dibedakan antara kaidah atau norma kesopanan dengan
hukum. Kaidah kesopanan bertujuan untuk mencapai kedamaian.

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa perilaku manusia berkembang


dari dasar-dasar tertentu, di mana kaidah atau norma sebenarnya merupakan suatu

26
abstraksi dari perilaku yang pada akhirnya menjadi pedoman atau patokan bagi
perilaku manusia.

2.3.3. Penyimpangan Sosial


Penyimpangan sosial atau perilaku menyimpang, sadar atau tidak sadar
pernah kita alami atau kita lakukan. Penyimpangan sosial dapat terjadi dimanapun
dan dilakukan oleh siapapun. Sejauh mana penyimpangan itu terjadi, besar atau
kecil, dalam skala luas atau sempit tentu akan berakibat terganggunya
keseimbangan kehidupan dalam masyarakat. Suatu perilaku dianggap
menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang
berlaku dalam masyarakat atau dengan kata lain penyimpangan (deviation) adalah
segala macam pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri (conformity)
terhadap kehendak masyarakat. Manusia hidup di dalam suatu lingkungan yang
beraneka ragam, antara komponen satu dengan komponen lainnya di dalam
lingkungan dan manusia itu sendiri terjalin hubungan yang komplek satu dengan
yang lain yang membentuk sumber daya yang berupa sistem aturan perilaku yang
dapat mengatur hubungan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya dan
antara manusia dengan lingkungannya. Ini biasa disebut juga hukum.

Hubungan timbal balik tersebut senantiasa mengarah kepada bentuk


keseimbangan yang disebut keseimbangan perilaku. Artinya dalam diri manusia itu
sendiri harus seimbang antara sifat egoisme dengan altruisme, yaitu dapat
dikatakan bahwa dalam kehidupan sehari haruslah seimbang dalam mementingkan
diri sendiri dengan mementingkan orang lain.

27
BAB III
PEMBAHASAN

3.3. Tiga Masalah Krusial


3.3.1. Isu Transportasi Dan Kemacetan
Seperti telah sama - sama kita ketahui bahwa tidak ada kota yang bebas
macet di Indonesia sekarang ini. Pemandangan keseharian di Kota Bogor
menunjukkan adanya perubahan Kota yang cukup mencolok. Angkutan kota dan
kendaraan pribadi memenuhi jalan jalan protokol di Kota Bogor,. Pemandangan
keseharian yang terlihat di Kota Bogor. Itu bukti dari pesatnya pertumbuhan
perekonomian dan pembangunan di Kota Bogor, sehingga hawa dan udara Kota
Bogor telah berubah menjadi panas dan sumpek. Memang sudah sejak lama isu
transportasi merupakan persoalan besar yang dihadapi Kota Bogor. Bahkan sejak
tahun 1984 lalu, saat Kota Bogor dipimpin Wali Kota Ir. H. Muhammad, telah
mendapatkan perhatian yang serius. Pada saat itu sudah direncanakan
pembangunan sub-sub terminal di 6 wilayah perbatasan Kota dan Kabupaten
Bogor yakni di Bubulak, Kedunghalang, Cimahpar, Pamoyanan, dan Cibadak

28
Namun dari rencana pembangunan enam sub terminal itu, yang baru berhasil
dibangun yaitu Terminal Bubulak. Penempatan sektor transportasi sebagai
pekerjaan rumah (PR) utama yang harus dituntaskan Pemkot Bogor dibawah
komando pasangan Wali Kota H. Diani Budiarto dan Wakil Wali Kota H.M. Sahid.
Bahkan Gubernur Jabar H. Danny Setiawan ketika melantik pasangan H. Diani
Budiarto dan H.M. Sahid menjadi Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bogor awal
Maret 2004 menegaskan, bahwa persoalan transportasi adalah "PR" Wali kota dan
Wakil Wali kota Bogor yang baru.
Disatu pihak kita tidak dapat menyalahkan masalah transportasi kepada
Pemda terutama DLLAJ (Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan) yang tidak
membatasi izin trayek. Padahal sebetulnya tidak mungkin izin trayek dikeluarkan
dan ditambah terus. Dari hasil iterview yang kami lakukan dengan salah satu
bandar angkutan umum trayek Ciheuleut – Ramayana bahwa pernah ada
Peremajaan angkutan umum yang dilakukan oleh pihak DLLAJ. Dalam arti ketika
angkutan umum tersebut sudah tidak layak pakai maka oleh pihak DLLAJ
diperbaiki setelah diperbaiki lalu seolah-olah angkutan umum itu seperti baru
kemudian dikeluarkan dengan trayek yang berbeda dengan trayek awalnya.
Dengan demikian angkutan umum yang sebenarnya sudah tidak layak pakai lalu
dipakai kembali, hal ini akan menimbulkan polusi udara yang tidak baik bagi
udara dikota Bogor khususnya. Selain itu masalah kemacetan lalu lintas di Kota
Bogor tidak terlepas keberadaan angkot Kabupaten Bogor yang masuk ke dalam
Kota. Padahal menurut aturan harus berhenti dibatas kota.

29
Selain itu juga dikarenakan tidak tertibnya para supir angkutan umum
ketika menaikan maupun menurunkan penumpang serta para pengguna jalan kaki
yang ingin menyeberang. padahal sudah jelas diatur dalam Pasal 13 (ayat 4 dan 5)
Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 6 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Lalu
Lintas Dan Angkutan Jalan

Pasal 13
(4) Fasilitas pejalan kaki sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri dari :
a. trotoar;
b. tempat penyeberangan berupa marka jalan dan atau rambu-rambu;
c. jembatan penyeberangan atau terowongan penyeberangan.

(5) Fasilitas pemberhentian angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat


(3) terdiri dari :
a. halte;
b. shelter;
c. tempat pemberhentian angkutan umum yang dinyatakan dengan
marka jalan dan atau rambu-rambu.

Kalau berbicara perkotaan, di manapun kota dunia selalu dihadapkan tiga


masalah perkotaan yang sangat krusial. Ketiga permasalahan yang dihadapi
termasuk persoalan yang dihadapi oleh Kota Bogor yakni manajemen tata ruang
terhadap pedagang kaki lima, kebersihan kota dan transportasi. Hanya saja
walaupun persoalan yang dihadapinya sama dengan kota- kota lainnya di dunia
yang membedakan eskalasi dan persentasenya masalahnya tergantung dari
kemampuan yang ada di masing-masing. Bogor menjadi kota macet bukan dari
keinginan kita. Tapi, itu merupakan kondisi eksisting yang terbentuk dari beberapa
komponen sehingga menjadi kota. Jadi, karena kita adalah kota menghadapi tiga

30
permasalahan itu, ditambah satu persoalan yang dihadapi yaitu masalah
kemiskinan.

3.3.2. Isu Kebersihan


Penanganan prioritas yang kedua adalah permasalahan kebersihan yang
mengakibatkan terganggunya kebersihan dan keindahan kota. Permasalahan
sampah yang terjadi adalah akibat dari timbulan sampah yang belum sepenuhnya
dapat terangkut atau dimusnahkan di TPA (baru terangkut sekitar 68% dari jumlah
produksi sampah/hari atau sebanyak 1.457 m3/hari dari 2.124 m3 timbulan
sampah perharinya ). Hal ini disebabkan :

1. Ketersediaan armada angkutan baik dilihat dari kuantitas (52 dump truck,
17 amroll) dengan kondisi yang masih baik 52% , 46% kurang baik dan 2%
rusak berat), serta keterbatasan kemampuan alat berat di TPA yang hanya
didukung oleh 2 unit buldozer (1 unit dalam kondisi baik, dan 1 unit
rusak), 1 unit truck loader (kurang baik), 1 unit wheel loader (baik) dan 1
unit excavator (baik), padahal untuk mengelola sampah sebanyak 1.457
m3/hari idealnya 5 unit alat berat tersebut mempunyai kemampuan yang
sama baiknya.
2. Keterbatasan tenaga operasional petugas kebersihan (pengumpul, penyapu,
petugas angkut dan TPA) hanya ada 578 orang bila dibandingkan dengan
kebutuhan 2 orang/penduduk.
3. Tidak adanya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada
tempatnya dan membayar retribusi.
4. Keterbatasan dalam penyediaan sarana pewadahan (tong/bak sampah ) dan
pengumpulan (gerobak) ke seluruh wilayah.
5. Belum memasyarakatnya budaya pengurangan sampah sejak dari
sumbernya dan pengelompokkan sampah organik dan anorganik.
6. Keberadaan TPA Galuga yang statusnya sangat tergantung kepada
Pemerintah Kabupaten Bogor setelah tahun 2005 nanti.

31
3.3.3. Isu Pedagang Kaki Lima
Dari tahun ke tahun, Kota Bogor semakin tambah semrawut. Angkutan
kota memenuhi jalan–jalan di Kota Bogor, pedagang kaki lima semakin tak
terbendung. Trotoar, jembatan, dan badan jalan "diduduki" untuk menggelar
dagangannya di pagi hari, sore, malam, dan subuh hingga matahari terbit.
Sedangkan rumah toko dan mal tumbuh subur di sudut-sudut kota. Itu semua
membuat kemacetan di mana-mana. Kota Bogor kini tidak hanya dikenal sebagai
"Kota Sejuta Angkot", melainkan juga "surga" bagi PKL. Sebab, di Kota Bogor
para PKL mulai dari yang jual sayuran, pakaian, buah-buahan, VCD bajakan,
makanan dan minuman, serta kebutuhan sehari-hari lainnya, sangat padat. Tidak
kurang dari 10.000 PKL mencari nafkah di Kota Bogor, mulai yang hanya
menggelar dagangannya sampai yang bertenda. Padatnya PKL dan angkot
membuat Kota Bogor saat ini tidak nyaman lagi2. Berkaitan dengan tulisan ini,
trotoar selalu menjadi ruang konflik. Esensi maknanya sebagai obyek menjadi
hilang karena munculnya peristiwa-peristiwa tambahan yang justru mendominasi
kegiatan utamanya. Padahal, trotoar adalah salah satu elemen fisik yang penting
untuk menjalin hubungan emosional antara warga dengan bentukan fisik kawasan.
Jika trotoar merupakan sebuah ruang konflik dalam kawasan, maka sulit untuk
mengharapkan terciptanya hubungan emosional antara warga dengan kawasannya.
Keberadaan kawasan Kebun Raya sebagai pusat tentu menghasilkan laju populasi
kawasan yang meningkat. Bentukan fisik ruang kegiatan dan elemen kawasan
ternyata tidak mampu mewadahi kegiatan atau praktek sosial masyarakat yang
berlangsung. Dalam tulisan ini, kami berusaha memaparkan bahwa adanya
kesenjangan struktur dan elemen fisik kawasan dengan praktek sosial masyarakat
yang berlangsung.
Fenomena Kaki lima: Apa dan Bagaimana
Definisi pedagang kaki lima, menurut Pemerintah Indonesia adalah
seseorang yang menjalankan usaha perorangan yang melakukan penjualan barang-
barang dengan menggunakan bagian jalan/trotoar dan tempat-tempat untuk
kepentingan umum serta tempat lain yang bukan miliknya. Secara garis besar,

32
Pemerintah Indonesia menganggap bahwa keberadaan pedagang kaki lima
mengganggu kenyamanan pengguna kota atau kawasan karena melakukan
kegiatan ekonomi di kepentingan umum. Namun demikian, Pemerintah Indonesia
melalui Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah menyatakan
bahwa perlu adanya pemberdayaan usaha mikro dan penataan sektor informal. Hal
ini bertujuan untuk memperkuat keberadaan, serta peran usaha mikro dan sektor
informal terutama pedagang kaki lima, sehingga dapat meningkatkan penyerapan
tenaga kerja dan penanggulangan kemiskinan. Dengan demikian sebenarnya
pemerintah mengakui keberadaan pedagang kaki lima dan perannya untuk
memperkuat masyarakat ekonomi lemah. Dalam mengembangkan peran tersebut,
pemerintah sebenarnya sudah membentuk undang-undang yang menyatakan
bahwa perlunya menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian
lokasi di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri dan lokasi yang wajar bagi
pedagang kaki lima. Dengan demikian, sulit untuk menghilangkan keberadaan
kegiatan perdagangan informal dari jalan atau ruang publik karena keberadaannya
didukung oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah kondisi
ekonomi makro negara yang belum pulih sejak Krisis Moneter tahun 1997 dan
budaya yang tertanam sejak jaman pendudukan Belanda. Faktor internal, menurut
kami, muncul dari pemenuhan kebutuhan pokok individu dengan dapat mengatur
jumlah pendapatan dan waktu bekerja. Hal ini tentunya berkaitan dengan kondisi
dasar manusia, terutama kondisi fisik tubuhnya. Dengan memperbaiki kondisi
kerjanya, maka individu tersebut mampu menaikkan tingkat pendapatan dan taraf
hidupnya. Berdasarkan pemaparan di atas, sudah seharusnya sector informal
seperti pedagang kaki lima, diakui keberadaannya dan perannya sebagai kegiatan
penunjang antar kegiatan. Sejalan dengan pendapat Jacobs yang menyatakan
bahwa keragaman kegiatan dan kelompok masyarakat merupakan satu-satunya
cara menghidupkan sebuah kawasan atau kota secara keseluruhan.

33
Fenomena Kakilima: Sebuah Peristiwa
Pasar, sebagai salah satu ruang kegiatan ekonomi, merupakan tempat

berkumpul untuk memenuhi kebutuhan pokok setiap individu dalam masyarakat.

Pasar lalu berkembang menjadi pusat kegiatan sosial. Hal ini yang menyebabkan

pasar sebuah pusat dan menyebar dari pusat tersebut. Sebagai tempat berkumpul,

pasar pun berkembang menjadi ruang kesempatan. Individu dari berbagai kelas

sosial berusaha untuk memenuhi kebutuhan dengan melakukan pertukaran dalam

pasar atau sekitarnya. Pemenuhan kebutuhan tersebut, selain untuk memenuhi

kebutuhan hidup, juga untuk memperbaiki kondisi manusianya. Kehadiran

pedagang kakilima, sebagai salah satu elemen keberadaan gaya sentripetal, telah

berlangsung sejak jaman pemerintahan Belanda. Proses terciptanya fenomena kaki

lima disebabkan oleh adanya konsep involution yang dikembangkan oleh

Pemerintah Belanda. Pertumbuhan penduduk yang sangat pesat mengakibatkan

bertambahnya kebutuhan lapangan pekerjaan. Pemerintah kolonial mengambil

inisiatif untuk membuka sistem ekonomi bazaar bagi penduduk pribumi. Dengan

demikian, pemenuhan lapangan pekerjaan dan kebutuhan pokok dapat diatasi.

Setelah pendudukan kolonial, sistem ekonomi bazaar ini terus berkembang dan

tidak terkendali sehingga munculnya fenomena pedagang kakilima di perkotaan.

Cross menyatakan bahwa kegiatan perdagangan informal seperti kakilima sulit

dihentikan karena adanya perbedaan yang mencolok antara daya beli masyarakat

dengan harga jual komoditas yang dihasilkan oleh kegiatan perdagangan formal.

Geertz menilai bahwa kegiatan perdagangan jenis ini berusaha menjalin hubungan

jual-beli secara personal melalui harga komoditas yang fleksibel. McGee

34
menambahkan, selain faktor perbedaan tersebut, penyebab utama berkembangnya

jenis perdagangan informal karena kebebasan pedagang untuk menentukan

pendapatannya dan waktu bekerja. Perbedaan tidak dapat dihindari karena

polarisasi dalam masyarakat terjadi atas dasar perbedaan tingkat ekonominya.

Keberadaan perbedaan ini memang tidak dapat disatukan namun harus diwadahi

agar dapat terjalin hubungan simbiosis-mutualisme, bukan simbiosis parasitisme.

Masalah kegiatan ekonomi masyarakat Indonesia juga muncul oleh adanya

dualisme prinsip perdagangan. Bocke menyatakan bahwa prinsip kapitalisme

modern yang bertujuan mencari keuntungan maksimal dan prinsip ekonomi

tradisional seperti tidak terlalu memperhatikan tingkat keuntungan karena kegiatan

perdagangan juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan sosial, digunakan secara

bersamaan oleh masyarakat Indonesia. Dualisme inilah yang menyebabkan para

pelaku kegiatan perdagangan terus mencari pasaran yang menguntungkan

(bergerak dinamis) dengan membawa komoditas ke tangan konsumen terakhir.

Pergerakan tersebut merupakan wujud prinsip kapitalisme modern dan pertukaran

artifak dengan konsumen terakhir sebagai wujud penjalinan hubungan sosial

dengan sesamanya. Selain itu, Jacobs menyatakan bahwa teori invisible hands

yang dicetuskan oleh Adam Smith juga berlaku bahkan terkadang mampu

mengendalikan nilai pasar. Hal ini yang menyebabkan keberadaan sektor ekonomi

informal semakin kuat dalam struktur kota atau kawasan. Bahkan tidak jarang

terjalin hubungan simbiosis mutualisme antara sector ekonomi formal dan

informal.

35
Pemaparan di atas secara tersirat menunjukkan bahwa pertentangan atau
munculnya faktor tarik sebenarnya merupakan wujud perebutan ruang sebagai
faktor mediasi. Ruang, sebagai faktor mediasi, menjadi komoditas karena memiliki
nilai guna dan tukar yang tinggi. Namun faktor nilai guna dan tukar ruang sebagai
komoditas, juga ditentukan oleh factor-faktor eksternal seperti nilai nominalnya
dan kebutuhan manusia. Hal ini yang turut mempengaruhi munculnya konflik
ruang. Konflik urban yang terjadi di dunia ketiga, secara umum, terjadi karena
adanya persimpangan antara represi penguasa dan pemberontakan komunitas.
Namun demikian, secara umum persimpangan kepentingan tersebut terjadi karena
adanya pertentangan kepentingan ekonomi masing-masing pihak. Peristiwa-
peristiwa tambahan berpa jual-beli pada trotoar menimbulkan konflik, karena tidak
ada lagi keselarasan antara ruang yang tercipta dengan peristiwa yang
berlangsung. Selain itu, pergerakan dinamis tersebut bertujuan untuk menciptakan
peristiwa jual-beli di lokasi yang strategis. Biasanya, para pedagang bergerak
menuju simpul kawasan teramai. Tanpa adanya sebuah bentuk organisasi antar
pedagang, menyebabkan keberadaan mereka tak terpola.

36
Kini 51 titik di pusat Kota Bogor menjadi prasarana kepentingan tertentu,
dengan kata lain menjadi sebuah tempat privat yang dilengkapi dengan proteksi
dari berbagai kepentingan untuk memanfaatkan pusat kota. Munculnya PKL
sesungguhnya merupakan wujud dualisme pola dan struktur umum kota-kota di
Indonesia, yaitu wujud desa-kota. PKL adalah komponen dari pola dan struktur
tadi. PKL menjadi jembatan yang akhirnya menjadi stimulus bagi tumbuhnya
evolusi personalisasi ruang bagi banyak pihak. Tumbuhnya personalisasi ruang,
baik dari PKL maupun aparat pemerintahan, mendudukkan fenomena PKL sebagai
implikasi dari pranata sosial yang lahir secara wajar karena konsekuensi politik,
ekonomi, dan sosial budaya. Politisasi berbagai masalah mengakibatkan sistem
perilaku yang terjadi menjadi sangat terinstitusi dan kompleks. Seperti halnya
dalam biaya transaksi yang harus di keluarkan oleh para PKL sangat beragam,
tergantung lokasi, jenis komoditi dan waktu berjualan dan minimal adalah Rp
5.000 per hari, yang dikoordinir oleh ketua kelompok kemudian disetorkan kepada
masing-masing oknum, dalam bentuk iuran ilegal, hingga praktis untuk masing-
masing ruas jalan minimal Rp 12.750.000,00 per hari dana masyarakat yang
termanfaatkan oleh oknum yang kita kenal dengan Rent Seeker (mereka tanpa
kerja menikmati uang hasil keringat asam para PKL dan mereka membangunan
bentuk hubungan Patron-Klien).

37
Aspek pragmatis di sisi positif menunjukkan derajat fleksibilitas yang
tinggi dan di sisi negatif menunjukkan kecenderungan yang tidak bertanggung
jawab. Kesetiakawanan dan toleransi berdampingan dengan rasa sungkan untuk
menegur dan tidak taat aturan untuk saling berinterferensi. Hal inilah yang makin
menguatkan terjadinya personalisasi ruang di pusat kota Bogor. Proses hubungan
pada PKL di Kota Bogor, dilakukan karena dianggap penting sebagai sarana untuk
tolong menolong dalam menghadapi kesukaran hidup yang tidak sanggup
diselesaikan secara mandiri, terutama untuk memenuhi kebutuhan hidup
khususnya pangan, sandang dan papan. Hubungan-hubungan yang telah dibangun
oleh PKL di sekitar stasiun Kereta Api Bogor, dilakukan untuk dapat tetap
bertahan di ruang publik dengan bentuk hubungan persahabatan/pertemanan,
perantara dan patron klien yang secara operasional dapat mempertahankan tempat
berdagang dan menikmati fasilitas dagang lainnya. Hubungan tersebut dilakukan
dengan rekan-rekan pada satu lokasi, bersamaan waktu berjualan, satu atau
berbeda komoditi serta hubungan dengan preman atau berbagai oknum yang dapat
membuat para PKL tetap bertahan untuk berjualan di lokasi tersebut.
Di Kota Bogor yang merupakan Hinterland dari Ibu Kota Jakarta
mempunyai persoalan serius tentang keberadaan PKL yang setiap tahunnya
mengalami pertambahan jumlah dan terbatasnya lahan untuk menempatkan PKL
tersebut. Salah satu contoh di sekitar stasiun kereta api Bogor yang merupakan
tempat strategis dan masyarakat kota Bogor yang pulang – pergi dari Bogor ke
Jakarta dan Sukabumi menjadi salah satu lokasi yang sangat diminati oleh PKL,
sehingga ruang publik di sekitar stasiun kereta api Bogor dimanfaatkan oleh PKL.
Ruang publik di sekitar stasiun kereta Bogor yang dimanfaatkan oleh PKL yaitu
badan jalan, bahu jalan, trotoar, tempat parkir, emperan toko, emperan kantor dan
fasilitas umum lainnya. Istilah lain yang digunakan oleh Prof. Parsudi Suparlan
tentang pemanfaatan ruang publik ini lebih pada penyerobotan ruang-ruang publik
yang menyebabkan terjadinya alih fungsi penggunan ruang kota yang berakibat
menimbulkan kesemrawutan, kemacetan lalu lintas, mengurangi keindahan kota
dan 50 titik atau kawasan PKL lain termasuk di sekitar Stasiun Kereata Api, Pasar

38
Bogor, Lawang Saketeng, Pedati, Tanjakan Empang, MA. Salmun-Dewi Sartika,
dan lain-lain. Ruang publik yang termasuk fasilitas umum didefinisikan sebagai
tempat warga kota melakukan kontak sosial.
Keberadaan ruang publik di sekitar stasiun, jembatan merah, MA. Salmun -
Dewi Sartika, Lawang Saketeng, Jalan Roda, jalan Pedati dan lokasi lainnya yang
beralih fungsi karena ditempati PKL diantaranya adalah trotoar tidak bisa
digunakan sebagai sarana umum untuk berjalan kaki, bahu dan badan jalan hanya
dapat dilewati satu jalur kendaraan, tempat parkir di depan stasiun kereta api yang
tidak berfungsi lagi sebagai tempat parkir, dan emperan toko yang telah dipenuhi
PKL sehingga sulit untuk berjalan menuju toko, dan pada jalur tempat menungu
kereta api (peron), jalur masuk – keluar pintu stasiun dan tempat menunggu
angkuta kota (selter) di depan stasiun tidak berfungsi sebagaimana mestinya dan
sebagian besar dimanfaatkan oleh PKL. Ruang publik yang digunakan kegiatan
PKL sudah membentuk koridor berlapis tiga sampai lima, sehingga dapat
mempersulit pejalan kaki untuk menuju ke stasiun kereta dan atau sebaliknya.
Begitu juga yang terjadi pada 50 lokasi lain, kondisinya tidak jauh lebih baik dari
kondisi di stasiun kereta api. Kegiatan PKL yang terdapat di 51 lokasi yang
menempati ruang publik, menurut Perda Nomor 1 Tahun 1990 tentang K-3
(kebersihan, Keindahan dan Ketertiban), pada pasal 5 dan pasal 8, yaitu badan
jalan, trotoar, selokan dan taman tidak diperbolehkan bagi kegiatan lain.
Pemberlakuan dan penetapan Peraturan Daerah sudah berlangsung lama,
seiring dengan itu keberlangsungan PKL juga terjadi bahkan penambahan jumlah
PKL terus meningkat yang berakibat semakin banyaknya ruang publik yang
beralih fungsi menjadi ruang kegiatan PKL. Keberlangsungan kegiatan PKL dari
waktu ke waktu menunjukkan adanya proses pemantapan menduduki dan
menempati ruang publik tersebut, sehingga pada kondisi sekarang menjadi mantap
dan dapat dikatakan permanen, hal ini ditandai dengan adanya pembangunan fisik
tempat berdagang yang dahulunya hanya menggelar di lapak sekarang sudah
berlantai semen dan ditutup atapnya dengan seng atau awning. Secara sepintas
pada bentuk bangunan PKL ada yang mirip seperti kios-kios pertokoan yang

39
dibatasi dengan dinding papan bahkan ada yang ditembok dan dilapisi bahan
bangunan, kemudian dicat dengan rapi dan menggunakan pengaman pintu roling.
Untuk peralatan berdagangnya telah menggunakan rak-rak yang terbuat dari kaca
dan alumunium dengan roda yang dapat digeser sesuai kebutuhan dan keinginan
penataan ruang tempat berjualan.
Kondisi dan keadaan tersebut menandakan adanya proses pemantapan para
PKL dengan menempati ruang-ruang publik dan sudah mencirikan adanya kondisi
kemantapan PKL menempati ruang-ruang publik perkotaan di sekitar stasiun
kereta api, jalan M.A. Salmun- Dewi Sartika, Jalan Jembatan Merah, Lawang
Saketeng, Jalan Roda, Jalan Pedati, Jalan Bina Marga, Jambu dua dan lain-lain.
Kondisi kemantapan PKL pada 51 lokasi yang ada sangat dimungkinkan adanya
keterkaitan dengan prinsip berdagang, yaitu para PKL mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya dengan menghitung resiko kerugian yang sekecil-kecilnya dan
dapat berlangsung dalam waktu yang lama. Bagi PKL apapun akan dilakukan
selama kegiatan itu akan membawa manfaat bagi dirinya dan kelompoknya,
walaupun hal tersebut menyimpang dari peraturan yang ada. Bertahannya PKL
menempati ruang publik sebagai konsekuen adanya kelonggaran terhadap
pelaksanaan Peraturan Daerah dan kurangnya pengawasan terhadap aparat
pemerintah Kota Bogor, dan beberapa oknum polisi dan militer serta partai politik
dan lain-lain, sehingga memungkinkan terjadinya negosiasi-negosiasi melalui
komunikasi antara PKL dengan aparat dan pengelola yang menguasai ruang
publik, sehingga terbangun interaksi dan hubungan sosial antara PKl dengan
aparat, dan oknum-oknum serta lingkungan sekitarnya.
Bertahan dan menjadi mantapnya para PKL dengan menempati ruang-
ruang publik di 51 titik di seluruh kota Bogor terjadi karena berkembangnya corak
kebudayaan pasar setempat. Menurut Prof. Parsudi Suparlan (2003) , Corak
kebudayaan pasar mencirikan egaliter dan tawar menawar, yaitu tawar menawar
pada barang, jasa, uang dan kekuatan atau power. Tawar menawar berlaku antara
pembeli dan penjual, antara oknum atau preman dengan penjual atau pemilik
lapak/toko, antara pemilik toko atau pebisnis dengan pejabat untuk memperoleh

40
fasilitas bisnis yang memadai. Bagi PKL gejala corak kebudayaan pasar nampak
kuat sekali dengan dimanfaatkannya ruang publik dan fasilitas umum, hal ini
sudah memasuki pranata pemerintahan, keluarga dan seluruh kehidupan suku
bangsa pada umumnya. Kebudayaan pasar berlaku secara lokal , dan muncul
karena adanya kebutuhan untuk melakukan transaksi ekonomi dan sosial, yang
diwujudkan dalam bentuk pasar, pertokoan, jalan, kendaraan umum, taman dan
lain-lain, yang kemudian berkembang sebagai konvensi-konvensi sosial yang
dibakukan menjadi pranata sosial yang berpedoman pada nilai-nilai budaya yang
berlaku di tempat-tempat umum tersebut.
Fungsi kebudayaan dalam kehidupan manusia adalah sebagai pedoman
bagi kehidupan manusia dalam menghadapai dan memanfaatkan lingkungan
beserta isinya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai manusia. Sebagai
pedoman, kebudayaan berisi pengetahuan dan keyakinan-keyakinan atau nilai-nilai
budaya yang menjadi acuan bagi tindakan-tindakannya dan yang menyelimuti atau
menjadi inti dari tindakan-tindakannya sehingga secara estetika, etika, dan moral
tindakan-tindakan tersebut masuk akal dan benar. Kebudayaan dapat dijadikan
acuan untuk memperlihatkan perbedaan antara satu golongan sosial dengan
golongan sosial lainnya dan antara satu kelompok sosial dengan kelompok sosial
lainnya, yang secara arbriter diakui batas-batas yang menyebabkan keberadaan
dari perbedaan-perbedaan tersebut. Batas-batas sosial-budaya tersebut terwujud
dalam kaitannya dengan hasil interaksi yang terjadi antara para pelaku atau orang
perorangan, berbagai pranata sosial atau golongan sosial atau kelompok sosial
terutama dalam berbagai kepentingan sosial, ekonomi dan politik.
Kebudayaan pasar merupakan pedoman yang berlaku bagi tindakan-
tindakan di tempat umum, ada dalam wilayah masyarakat sukubangsa, dalam
wilayah antar sukubangsa, antar bangsa. Kebudayaan pasar berlaku dalam wilayah
budaya yang mencakup pasar, pertokoan, jalan, trotoar, kendaraan umum, tempat-
tempat untuk fasilitas umum, tempat-tempat hiburan dan pertamanan. Walaupun
tempat-tempat tersebut telah ditentukan fungsinya melalui berbagai peraturan
perundangan yang dibuat oleh pemerintah kota sesuai dengan fungsinya masing-

41
masing, tetapi dalam kenyataannya aturan-aturan tersebut telah berubah sesuai
dengan konvensi sosial yang berlaku dari waktu ke waktu atau karena kebijakan
dari pejabat yang menguasai kota (Suparlan, 2003). Untuk kasus PKL di Kota
Bogor menunjukkan pemanfaatan ruang publik oleh PKL seperti trotoar, bahu
jalan, badan jalan, tempat parkir, peron stasiun, koridor pintu masuk di jalan Nyi
Raja Permas, Jalan Roda, Lawang Saketeng, M.A. Salmun Dewi Sartika, Pasar
Bogor, Jembatan Merah, dan pintu masuk dan keluar stasiun kereta, emperan toko,
dan emperan stasiun kereta.
Pemanfaatan ruang publik oleh PKL tersebut, mengakibatkan perubahan
fungsi ruang kota, hal ini terjadi dan dapat berkembang karena adanya corak dari
kebudayaan pasar. Berbeda dengan kebudayaan nasional atau sukubangsa. Prinsip
yang dianut dan ada dalam kebudayaan pasar adalah egaliter atau tawar menawar
antara pembeli dan penjual terhadap barang, jasa, uang dan kekuatan. Tawar
menawar berlaku antara pembeli dan penjual, antara oknum, preman dengan
penjual atau pemilik toko, antara pemilik toko atau pebisnis dengan pejabat untuk
memperoleh fasilitas bisnis dan sebagainya. Di tempat-tempat umum dan mengacu
pada kebudayaan pasar yang berlaku setempat, dan berbagai transaksi hasil tawar
menawar yang dilakukan oleh oknum dengan oknum, antara oknum dengan
pejabat, antara preman dengan PKL, atau antara pemilik kios, warung dan pemilik
pertokoan dan tempat hiburan. Di tempat umum juga bisa berlangsung tawar
menawar dari berbagai kekuatan diantara pengguna tempat-tempat umum, dan
antara pejalan kaki dengan pengendara sepeda motor dan mobil. Menurut
Suparlan, 2003, hal ini berkembang karena pada dasarnya adalah kebudayaan
pasar yang berkembang dan meluas dalam besaran-besaran wilayah budaya yang
memasuki pranata pemerintah, pranata keluarga dan kehidupan sukubangsa pada
umumnya.

Ketiga masalah krusial tersebut sangat bertentangan dengan Peraturan


Daerah Kota Bogor Nomor 8 TAHUN 2006 Tentang Ketertiban Umum yang
terdapat dalam pasal 6, sebagai berikut :

42
Pasal 6
Setiap orang dan/ atau badan dilarang :
a. mengotori dan atau merusak jalan, trotoar, jalur hijau, taman serta fasilitas
umum lainnya;
b. membuang dan atau membongkar sampah di jalan, trotoar, jalur hijau, taman
dan fasilitas umum lainnya;
c. menumpuk, menaruh, membongkar bahan bangunan dan atau barang-barang
bekas bangunan di jalan dan trotoar yang dapat mengganggu lalu lintas lebih
dari 1 X 24 jam, kecuali atas izin Walikota;
d. membuang air besar (hajat besar) dan buang air kecil (hajat kecil) di jalan,
trotoar, jalur hijau, dan taman;
e. menjemur, memasang, menempelkan atau menggantungkan benda-benda di
jalan, jalur hijau, taman dan tempat umum lainnya kecuali di tempat yang telah
diizinkan oleh Walikota;
f. membuat tempat tinggal darurat, bertempat tinggal, atau tidur di jalan, jalur
hijau, taman dan tempat-tempat umum lainnya;
g. menebang, memotong, mencabut pohon, tanaman, dan tumbuh-tumbuhan di
sepanjang jalur hijau, taman-taman rekreasi umum, kecuali atas izin Walikota;
h. menempelkan selebaran, poster, slogan, pamflet, kain bendera atau kain
bergambar, spanduk dan yang sejenisnya pada pohon, rambu-rambu lalulintas,
lampu-lampu penerangan jalan, taman-taman rekreasi, telepon umum, dan
pipa-pipa air kecuali di tempat yang telah diizinkan oleh Walikota;
i. mencoret atau menggambar pada dinding bangunan pemerintah, bangunan
milik orang lain, swasta, tempat ibadah, pasar, jalan raya, dan pagar;
j. bermain layangan, ketapel, panah, senapan angin, melempar batu dan benda-
benda lainnya di jalan, trotoar, dan taman;
k. mempergunakan jalan, trotoar, jalur hijau, dan taman selain untuk
peruntukkannya tanpa mendapat izin Walikota;
l. membuka, mengambil, memindahkan, membuang dan merusak penutup riul,
rambu-rambu lalu lintas, pot-pot bunga, tanda-tanda batas persil, pipa-pipa air,

43
gas, listrik, papan nama jalan, lampu penerangan jalan dan alat-alat semacam
itu yang ditetapkan oleh Walikota;
m. mengangkut muatan dengan kendaraan terbuka yang dapat menimbulkan
pengotoran jalan;
n. mengotori dan atau merusak jalan akibat dari suatu kegiatan proyek;
o. membakar sampah atau kotoran di jalan, trotoar, jalur hijau, dan taman yang
dapat mengganggu ketertiban umum;
p. berdiri, duduk, menerobos pagar pemisah jalan, pagar pada jalur hijau dan
pagar di taman;
q. mencuci mobil, menyimpan, menjadikan garasi, membiarkan kendaraan dalam
keadaan rusak, rongsokan memperbaiki kendaraan dan mengecat kendaraan di
daerah milik jalan;
r. mengotori, merusak, membakar atau menghilangkan tempat sampah yang telah
disediakan;
s. memarkir kendaraan bermotor di atas trotoar;
t. membuat pos keamanan di jalan, trotoar, jalur hijau, taman dan fasilitas umum
lainnya tanpa seizin Walikota.

3.4. Sosialisasi Upaya Peningkatan Pengetahuan dan Kesadaran


Hukum

McQuail (2000:503) merinci pelbagai definisi sosialisasi, antara lain


sebagai ‘pengajaran nilai-nilai dan norma-norma yang dibangun dengan cara
memberikan ganjaran dan imbalan simbolik untuk pelbagai jenis perilaku.
Sosialisasi dimaksudkan pula sebagai proses pembelajaran di mana kita semua
belajar bagaimana berperilaku dalam situasi-situasi tertentu dan mempelajari
harapan-harapan yang seiring dengan suatu peran atau status tertentu dalam
masyarakat. Jadi sesungguhnya, seperti diungkapkan Potter (2001:284), sosialisasi
adalah “... a life-long process ...” Proses yang berlangsung seumur hidup.

44
Sosialisasi dalam hal ini adalah pemberian/peningkatan pengetahuan bagi
aparat pemerintahan yang akan menjalankan aturan adalah hal yang mutlak.
Ketentuan ini merupakan satu kesatuan dengan materi aturan itu sendiri. Keduanya
adalah sebuah rangkaian yang tidak dipisahkan, karena pemahaman yang jelas
tentang aturan akan membawa pada pelaksanaan yang lebih efektif dan efisien.
Mengenai pengetahuan aparat ini, sering menjadi masalah, karena tingkat
pengetahuan yang berbeda, serta materi aturan yang umumnya memerlukan
penafsiran lebih lanjut. Sosialisasi ini adalah merupakan salah satu yang efektif
untuk bernteraksi langsung meningkatkan pengetahuan dan memberi kesadaran
hukum terhadap masyarakat. Selanjutnya dalam hal kesemerawutan ini sosialisasi
sebaiknya dilakukan kepada masyarakat Bogor langsung dengan cara
mengelompokan masyarakat, misalnya masyarakat pedagang dan pengusaha dari
pedagang kecil sampai dengan pengusaha besar, dengan seperti ini apa yang
dimaksudkan dari sosialisai atau pembekalan mengenai hukum yang berlaku akan
terarah langsung kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan yang dibutuhkan.

Secara ringkas untuk sosialisasi dalam upaya peningkatan pengetahuan dan


kesadaran aparat dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Melakukan pelatihan-pelatihan teknis sesuai bidang tugas secara komprehensif
dan berkelanjutan. Pelatihan ini difokuskan pada pemahaman terhadap materi-
materi perundang-undangan dan konsep sustainable development.
2. Melakukan sosialisasi berupa dialog dan pertemuan dengan warga masyarakat
dan para stakeholder secara rutin dan komprehensif. Pendekatannya adalah
dialogis untuk menumbuhkan partisipasi semua kalangan. Harus ditekankan
ketentuan-ketentuan pengaturan diri sendiri yang menunjang kelestarian
lingkungan.
3. Melakukan sosialiasi secara lintas departemen dan instansi, terutama yang
berkaitan dengan kota Bogor. Pendekatannya tidak sektoral, sehingga akan
muncul rasa tanggung jawab dari semua pihak yang terlibat.
4. Melibatkan para tokoh masyarakat serta pengusaha dalam sosialisasi peraturan
perundang-undangan. Keterlibatan mereka berada di posisi kunci, sehingga

45
muncul sikap tanggung jawab untuk melaksanakan peraturan. Secara tegas
diatur pula, jika mereka tidak terlibat akan ada sanksi yang tegas dan jelas.
5. Memasukkan klausul keharusan pemberian sosialisasi dan peningkatan
pengetahuan aparat ke dalam materi perundang-undangan. Aturan mengenai
jangan hanya masuk dalam peraturan teknis, namun ditegaskan dalam
peraturan utama, untuk menjaga terjadinya proses yang diharapkan. Rekomen
Kota Bogor di atas harus dilakukan sejalan dengan perbaikan pada materi
perundang-undangan, dimana ketentuan-ketentuan tersebut dimasukkan
sebagai bagian dari revisi peraturan perundang-undangan. Wilayah Kota Bogor
akan dianggap sebagai fokus kajian dengan melibatkan semua stakeholder dan
para tokoh masyarakat. Ini menjadi penentu dalam keberhasilan program yang
akan dilakukan.

46
BAB IV
ANALISA

Pada dasarnya manusia ingin memliki rasa aman, nyaman dan tentram.
Namun terkadang untuk memperolehnya harus melewati lika-liku yang
merumitkan daripada perbuatan manusia itu sendiri. Dalam tulisannya, Salingaros
mengajurkan keberadaan simpul yang sangat heterogen untuk meninggikan
dinamika sebuah kawasan. Adanya jalan yang memadai untuk menghubungkan
setiap simpul dalam kawasan akan meninggikan tingkat heterogenitas sebuah
kawasan sehingga ‘kematian’ beberapa tempat dalam sebuah kawasan dapat
dihindari. Namun Gehl menyatakan bahwa secara psikologis, manusia
membutuhkan batas dalam menyusuri sebuah jalan. Hal ini disebabkan oleh
kebutuhan rasa aman manusia saat berjalan di ruang publik. Dengan demikian,
masing-masing elemen tersebut di atas dapat saling menunjang untuk membentuk
citra mental warga kota atau kawasan. Adanya konflik perebutan ruang di jalan
menyebabkan terkadang berbagai pihak pengguna kehilangan rasa aman untuk
mengunakan jalan karena harus terus menerus berebut hak penggunaan ruang
jalan.
Pemahaman terhadap interaksi sosial yang dilakoni PKL akan sangat
berguna untuk memahami berbagai permasalahan sosial yang dihadapi oleh para
PKL dalam kehidupan bersama. Interaksi sosial merupakan kunci dari semua
kehidulpan sosial yang dijalani para PKL dan menjadi syarat utama terjadinya

47
aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan aspek perilaku. Dalam interaksi sosial
tersebut harus memenuhi dua unsur yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi.
Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (Cooperations), persiangan
(Competitive) dan pertentangan/pertikaian (Conflict). Ketiga bentuk interaksi
sosial secara khusus akan menjadi pedoman untuk mengetahui hubungan patron –
klien. Hubungan patron – klien mempunyai ciri khusus yang berbeda dari corak
hubungan-hubungan sosial lainnya, seperti hubungan pertemanan (friendship) dan
hubungan perantara (Brokerage). Perbedaan kedua hubungan tersebut terutama
ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara patron dan klien yang tidak
seimbang dalam mempertukarkan barang dan jasa. Ketidakseimbangan ini
menghasilkan adanya hubungan ketergantungan klien kepada patron.
Ketergantungan tersebut berupa ikatan-ikatan yang meluas dan melentur serta
bersifat pribadi melampaui batas-batas hubungan yang semula melanda
tersujudnya hubungan diantara keduanya.
Selanjutnya James Scott (1997) yang dikutip Parsudi Suparlan
menyebutkan bahwa “Seorang klien adalah seorang yang menjamin hubungan
saling tukar enukar benda dan jasa secara tidak seimbang dengan patronnya,
dimana klien tidak mampu membalasnya secara penuh. Klien terlibat dalam suatu
hutang budi yang telah mengikat pada patronnya”.
Lebih lanjut Parsudi Suparlan menyatakan bahwa hubungan patron-klien
tersebut disebabkan oleh adanya unsur-unsur: interaksi tatap muka diantara pelaku
yang bersangkutan, adanya pertukaran barang dan jasa yang relatif tetap
berlangsung diantara para pelaku, adanya ketidaksamaan dan ketidakseimbangan
dalam pertukaran benda dan jasa, dan ketidakseimbangan dan ikatan yang bersifat
meluas dan melentur diantara patron dengan klien. Seorang patron mempunyai
kelebihan ekonomi dan kekuatan sosial dibandingkan dengan kliennya, karena
memiliki kedudukan struktur dalam masyarakat luas. Oleh karena itu muncul
adanya hubungan yang tidak seimbang yaitu patron memberikan perlindungan
(jasa atau harta) yang dapat digunakan oleh kliennya untuk menolong dirinya dari
keterbatasan-keterbatasan karena kimiskinan. Sebaliknya klien tidak dapat

48
mengembalikan benda atau jasa yang telah diperoleh dari patronnya secara penuh.
Karena itu klien berada hubungan hutang atau lebih tepat hutang budi kepada
patronnya yang sewaktu-waktu dapat ditagih oleh patron. Yang dituntut oleh
patron adalah kesetiaan dan pengabdian tenga kerja klien. Sebagai tenaga kerja,
dalam beberapa kasus imbalan yang dituntut patron untuk diberikan oleh kliennya
adalah uang dan benda.
Hubungan patron-klien sebenarnya dapat dilihat sebagai adanya
perwujudan hubungan dan pengelompokan kekuatan sosial yang fungsional dalam
mengarahkan pendapat umum. Pendapat umum adalah pendapat para klien yang
mengutarakan kesetiaan mereka terhadap patronnya. Dari sisi ini patron dapat
dilihat sebagai tokoh informal yang muncul dari dan dalam hubungan-hubungan
sosial yang berlaku. Patron inilah sebenarnya yang dapat disebut sebagy Key
Person atau pemimpin informal yang menjadi tempat sandaran atau panutan para
kliennya. Dalam jaringan sosial, patron dilihat sebagai star atau pusat jaringan
sosial yang ada. Hubungan patron-klien sebenarnya baru ada atau muncul dalam
masyarakat pada saat norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut
menuntut adanya hubungan tawar menawar dan saling tukar-menukar benda dan
jasa yang dilakukan secara spontan dan pribadi diantara pelaku, yaitu diantara
patron dan kliennya.
Beberapa kondisi dalam masyarakat yang mendukung kelestarian
hubungan patron-klien antara lain sebagai berikut:
a) Adanya perbedaan menyolok dalam kekayaan, status dan kekuatan sosial
menurut pandangan warga yang bersangkutan,
b) Tidak adanya pranata-pranata sosial yang dapat menjamin tetap
dipertahankannya status, kekayaan, kekuatan sosial dan keamanan
sejumlah warga masyarakat, dan
c) Masyarakat tersebut tidak hidup dalam sistem kekerabatan yang berfungsi
sebagai sarana untuk enjamin keamanan dan ketertiban serta kesejahteraan
hidup pribadi para warganya (Suparlan, 1991).

49
Dalam kondisi masyarakat sebagaimana tersebut di atas, seorang patron
dapat mempertahankan eksistensinya dan mengembangkan kekuatan sosialnya
dengan cara menambah jumlah kliennya. Kondisi lain yang perlu dimiliki oleh
seorang patron agar tetap eksis adalah penguasaan atas sumber daya meliputi
pengetahuan dan keahlian, pemilikan atas sumber daya ekonomi dan sosial,
pemilikan kekuasaan yang secara moral dan sosial diakui atas orang-orang yang
dikontrolnya secara langsung, yaitu orang-orang yang berada dalam struktur-
struktur hubungan yang lain di luar struktur patron klien yang dimilikinya.

BAB V
PENUTUP

5.3. Kesimpulan
Seperti berkali-kali diungkapkan Wali Kota Diani, mulai tahun 2005 harus
sudah melangkah seperti halnya pembenahan masalah transportasi yang telah
disusun konsepnya. Walaupun untuk menuntaskan permasalahan lalu lintas belum
bisa diselesaikan satu sampai dua tahun, bahkan mungkin dalam jangka waktu 5
tahun tidak akan selesai, begitu pula dengan masalah lainnya seperti PKL
(pedagang kaki lima) dan masalah kemiskinan. Persoalan kemacetan lalu lintas
sebenarnya ada empat "pemain" di dalamnya yaitu masyarakat, pengusaha
angkutan yang tidak disiplin, sopir angkot, pemilik angkot dan aparat sendiri
termasuk DLLAJ, polisi dan instasi terkait lainnya. Oleh karena itu untuk bisa
lepas dari persoalan ini, keempat pemainnya harus dibenahi. Kalau kita hanya
membenahi aparatnya saja tidak akan menyelesaikan masalah. Jadi, harus
bersama-sama membenahinya. Artinya, kesemuanya akan dimulai dari
pembenahan-pembenahan mulai dari dalam, mekanisme prioritas, sehingga
setahap demi setahap Kota Bogor diharapkan akan bisa lepas dari segala
permasalahan kemacetan.
Diketahui bahwa di dalam masyarakat ada yang dinamakan Kebudayaan
Hukum, Budaya Hukum, dan Seni Hukum. Dimana ketiga elemen ini sangat

50
penting untuk pembentukan norma hukum yang dibutuhkan oleh masyarakat
dalam menerapkan nilai hukum yang sesuai Undang – Undang Dasar 1945.
Bertahannya PKL menempati ruang publik sebagai konsekuen adanya
kelonggaran terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah dan kurangnya pengawasan
terhadap aparat pemerintah Kota Bogor, dan beberapa oknum polisi dan militer
serta partai politik dan lain-lain, sehingga memungkinkan terjadinya negosiasi-
negosiasi melalui komunikasi antara PKL dengan aparat dan pengelola yang
menguasai ruang publik, sehingga terbangun interaksi dan hubungan sosial antara
PKl dengan aparat, dan oknum-oknum serta lingkungan sekitarnya Menjadi
sebuah keniscayaan apabila ruang publik menjadi ajang perebutan kekuasaan
diantara berbagai oknum yang sangat berperan di dalam ruang kota. Seakan kota
menjadi tidak bertuan, dan pemerintah daerah menjadi semakin lemah karena
digerogoti oleh berbagai pihak yang menggunakan kekuasaan yang melekat pada
masing-masing lembaga. Kota Bogor menjadi ladang premanisme baik yang
berdasi maupun tidak, dan semua ruang publik seakan-akan menjadi lahan
pertaruhan bagi berbagai pihak, yang menjadi becking bagi tumbuh suburnya PKL
di Kota Bogor. Mereka menari diatas penderitaan dan cucuran keringat yang selalu
membasahi tubuh para PKL , yang sejak pagi hingga malam bergelut dengan panas
dan dinginnya cuaca di Kota Hujan yang kita cintai.

5.4. Saran dan kritik


Berdasarkan hasil penjelasan diatas oleh karena itu Pemkot Bogor tidak
usah berkecil hati dalam menghadapi persoalan kemacetan lalu -lintas. Namun
demikian bukan berarti Pemkot Bogor harus berdiam diri, tanpa mencari solusi
pemecahannya. Tapi harus diupayakan dalam mengadapi persoalan yang sangat
rumit itu antara lain dilakukan dengan membangun infrastruktur yang dibutuhkan
tanpa mengesampingkan perilaku hukum pada masyarakat. Artinya segala sesuatu
yang akan dilakukan haruslah hasil dari keinginan masyarakat yang baik. Menjadi
suatu keharusan bagi pemerintah dan masyarakat, agar praktek premanisme dalam
penggunaan ruang publik dapat dieliminer untuk memberikan kenyamanan bagi

51
masyarakat, dan himbauan bagi PKL agar mau ditata demi kelancaran lalu lintas,
kebersihan, ketertiban, keamanan dan keindahan kota tanpa mengurangi aktivitas
ekonomi yang ada.

52

You might also like