Professional Documents
Culture Documents
Topik:
Mengetahui keserasian sistem registrasi dan dokumentasi di Museum Batik
Yogyakarta yang terletak di Jalan Dr. Sutomo, Yogyakarta dengan sistem yang
digunakan oleh Direktorat Museum, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
dengan metode evaluasi sehingga nantinya akan memberikan rekomendasi untuk
pengembangan museum di masa mendatang.
Metode:
Penalaran : induktif
Sifat penelitian: evaluatif.
Pendekatan : evaluasi
Kesimpulan:
Setelah melalui tahapan penilaian, maka penilaian untuk mengetahui keserasian
antara sistem manajemen registrasi dan dokumentasi yang diterapkan Museum
Batik Yogyakarta dengan standar Direktorat Museum Departemen Kebudayaan Dan
Pariwisata mendapatkan kategori cukup.
Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya adalah peneliti dapat memberikan
model system manajemen dan dokumentasi yang sesuai dengan standar ICOM,
sehingga museum ini nantinya dapat menggunakan system internasional.
Topic:
To Know the relation between registration and documentation system in
Yogayakarta’s Batik Museum, which is located on jalan Dr. Sutomo, Yogyakarta with
the system that is used by the Museum Directorate, Department Of Culture And
Tourism, with evaluation method so there will be a recommendation for museum
development in near future.
Method:
Reasoning : inductive
Research characteristic : evaluative
Rapprochement : evaluation
Conclusion:
Following the appraisal step, to discover the harmony between system of
management and documentation which implemented by Batik Museum of
Yogyakarta with the standard of Directorate Museum, Department Of Culture And
Tourism had achieve adequately category.
Researcher was expected to make a model system of management registration
and documentation appropriate with ICOM’s standard, for later in the future the
museum can apply the international standard system as a model.
Tulus Wichaksono
EVALUASI SISTEM MANAJEMEN REGISTRASI DAN
DIREKTORAT MUSEUM
Oleh:
Tulus Wichaksono
00/140246/SA/11879
DIREKTORAT MUSEUM
Oleh:
Tulus Wichaksono
00/140246/SA/11879
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
Tulus Wichaksono
ii
KATA PENGANTAR
Terima kasih penulis ucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
banyak kekurangan dalam skripsi ini. Dengan bantuan, kritikan, dan saran dari
Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan berbagai masukan dan kritikan yang membangun bagi penulis. Sekali
ini.
2. Dr. Inajati Adrisijanti, selaku Ketua Jurusan Arkeologi dan seluruh staff
pengajar Jurusan Arkeologi FIB UGM yang telah memberikan wawasan dan
tentang permuseuman.
4. Bapak Hadi Nugroho dan Ibu Dewi Hadi Nugroho selaku pemilik museum
Yogyakarta, staff Museum Batik Yogyakarta Ibu Sri Purwani dan Bapak
Sonobudoyo unit I, perpustakaan UPT UGM unit I dan unit II, perpustakaan
Fakultas Ilmu Budaya UGM, perpustakaan Jurusan Arkeologi FIB UGM yang
6. Keluarga Bapak H. Kardjono dan Ibu Hj. Endang Kusumaningsih yang tiada
Kurniawan dan Yoga Wibowo, kakak ipar Silvy serta keponakanku Carren
penulisan skripsi.
7. Agustine Dwi Kurniawati yang telah menemani penulis dalam mencari, dan
9. Keluarga Eyang Maria Sri Maryati di Kalasan yang telah menjadi wali selama
10. Pengelola industri Batik Plentong, terutama Bapak Hadisuwito atas informasi
yang telah menjadi tempat untuk berdiskusi dan bertukar pikiran selama
misi tri darmanya yang telah menjadi tempat untuk bertukar pikiran dan
Annisa Anwar, Puti Maharani, Estu Prameswari atas dukungan, diskusi, dan
Perfect Circle, Blasius Bayu dan Barori Furqon di Mawa Art Photography
yang telah memberikan kritik foto selama proses pengambilan data skripsi.
produk hukum tentang benda cagar budaya dan museum yang berkaitan
16. Diniartha Ikha Muharram yang telah bersedia menyumbangkan keahliannya dalam
Penulis
vi
DAFTAR ISI
I PENDAHULUAN …………………………………………………………….
1
A. Latar Belakang
C. Tinjauan Pustaka
D. Metode Penelitan
Dokumentasi
Yogyakarta
vii
Museum
V. PENUTUP ………………………………………………………………........
123
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….
125
DAFTAR NARASUMBER ………………………………………………………...
130
LAMPIRAN …………………………………………………………………………
131
A. Buku Registrasi Koleksi
DAFTAR FOTO
membatik ……………………………………………..
Foto No. 2.16 : Anglo, wajan, dan malam serta canting sebagai 43
Foto No. 2.18 : Malam sebagai bahan inti dalam teknik penahan 45
Foto No. 2.19 : Proses nyorek pada industri batik Plentong ……... 46
Foto No. 2.20 : Proses medel pada industri batik Plentong ……… 47
Foto No. 2.1 : Proses soga pada industri batik Plentong ……….. 48
ix
Foto No. 2.22 : Proses nglorot pada industri batik Plentong ……... 48
Foto No. 2.23 : Proses batik cap pada industri batik Plentong …... 49
Yogyakarta …………………………………………..
Yogyakarta …………………………………………...
Yogyakarta …………………………………………..
Yogyakarta …………………………………………...
Foto No. 2.30 : Toko Cendera Mata dan Galeri pada Museum 62
Yogyakarta …………………………………………...
Yogyakarta …………………………………………...
Foto No. 3.2 : display dengan media panil pada Museum Bank 81
Jakarta ……………………………………………….
Yogyakarta …………………………………………..
Yogyakarta …………………………………………..
Foto No. 3.9 : Label identifikasi pada koleksi Museum Pusat TNI 99
Foto No. 3.10 : Kartu registrasi pada Museum Batik Yogyakarta .. 103
Foto No. 3.11 : Label individu pada Museum Batik Yogyakarta …. 104
Foto No. 3.12 : Berita Acara pada Museum Batik Yogyakarta …... 106
xi
DAFTAR PETA
DAFTAR DENAH
DAFTAR TABEL
Tabel No. 2.1 : Bahan alam untuk pembuatan pewarna alami batik ….. 50
Tabel No. 2.3 : Alur tata pameran Museum Batik Yogyakarta ………… 55
Tabel No. 3.3 : Ukuran kolom buku registrasi dan koleksi ……………. 90
Tabel No. 3.4 : Ukuran kolom buku induk inventaris koleksi ………….. 91
Tabel No. 3.7 : Struktur organisasi Museum Batik Yogyakarta ………... 101
Yogyakarta …………………………………………………
DAFTAR LAMPIRAN
Pariwisata …………………………………………….
Pariwisata …………………………………………….
Pariwisata ……………………………………………
DAFTAR SINGKATAN
°c : derajat celcius
BI : Bank Indonesia
cm : centimeter
H. : Haji
ha : hektare
HB : Hamengku Buwana
Hj. : Hajah
hlm. : halaman
km : kilometer
mb : mili bar
mm : mili meter
PB : Paku Buwana
TL : Tube Luminescent
tt : tanpa tahun
TV : Televisi
Organization
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hubungan manusia dengan masa lampau adalah hal yang mutlak karena
adalah hasil dan warisan manusia selama beribu tahun. Demi kemantapan
pada prinsip tersebut maka semua kegiatan arkeologi yang berupa penelitian untuk
uang rakyat yang diperoleh pemerintah melalui pajak. Oleh karena itu setiap
individu yang bekerja dalam bidang arkeologi harus menyadari bahwa dalam
mengetahui masa lampau harus sepenuhnya disadari oleh orang yang bekerja
arkeologi penting untuk sebuah ilmu pengetahuan? Jawabnya adalah hampir semua
apakah semua tinggalan arkeologi penting untuk publik? Maka, jawabannya adalah
tidak selalu, tetapi tergantung dari situs dan bagian apakah yang dibicarakan oleh
masyarakat umum.
2
Letak kepulauan Indonesia yang strategis di antara dua samudra dan dua benua,
menjadikan wilayah ini pada masa lalu sebagai pusat perdagangan. Selain rempah-
dibawa oleh para pedagang yang berasal dari negeri Arab, Cina, dan India.
Selanjutnya barang tekstil tersebut diperjualbelikan dengan alat tukar uang ataupun
menggunakan sistem barter dengan barang lain yang dianggap senilai. Salah satu
kain batik.
2001, 112). Teknik yang digunakan dalam pembuatan batik adalah penahan warna
(resist dye). Kain bergambar dari pengolahan khusus tersebut menjadikan kain batik
menjadi dua. Pendapat pertama adalah yang mengatakan bahwa batik berasal dari
luar Indonesia seperti Cina dan India, sedangkan pendapat kedua mengatakan
bahwa batik Indonesia pertama kali dibawa oleh para pedagang dari Kalingga,
digunakan untuk pencelupan batik yang hampir sama dengan yang ada di
Indonesia. Di Cina, pembuatan batik semacam itu sudah berlangsung sejak masa
3
T’ang (Laran) dan Suku Hmongnya yang sampai pertengahan abad XX M masih
tradisional yang sama dengan batik di Indonesia, seperti motif ceplok, motif kawung,
dan motif lereng. Motif-motif tersebut merupakan motif yang terkenal pada abad
salah satu unsur kebudayaan bangsa Indonesia yang sudah berkembang sebelum
astronomi, batik, gamelan, ilmu hitung, mata uang, pemerintahan yang teratur,
itu perbedaan dapat ditemukan pula pada warna yang dihasilkan (Tirtaamidjaja
1966, 3).
Menurut KRT. Hardjonegoro, batik lahir di dalam kalangan petani. Biasanya para
apabila telah datang musim panen, maka pekerjaan membatik dihentikan. Pada
zaman Kerajaan Mataram Islam, karena adanya perhatian khusus dari keraton,
teknik pembuatan batik makin diperhalus, baik motif maupun teknik pewarnaannya.
Untuk mendukung hal tersebut perlu diciptakan motif-motif batik bermutu tinggi,
4
sehingga layak dipersembahkan kepada raja dan keluarga (Helmi dan Mujiyono
1992, 52).
Pemakaian alat memberi corak tersendiri pada corak batik. Batik Indonesia
kesenian kain batik yang dapat memperlihatkan keindahan yang sama pada sisi
dalam maupun sisi luar kain. Hal ini tidak terdapat dalam kain batik karya dari India
Selatan yang hanya menggunakan stempel atau pena kayu sebagai alat pembatik
yang hanya memperhatikan bagian luar saja (Tirtaamidjaja 1966, 3). Selain itu
teknik penahan warna tidak hanya terdapat pada daerah yang mengalami pengaruh
Hindu, tetapi juga terdapat di daerah lain seperti Toraja, Flores, Halmahera, bahkan
Papua.
Adapun daerah industri batik di Pulau Jawa antara lain: Jakarta, Cirebon,
berkembang sampai masa Islam, dan penyebutan istilah batik mulai digunakan.
Kata batik tepatnya muncul pada tahun 1769 dalam sebuah aturan yang ditulis oleh
pada tahun 1820, kata batik juga digunakan dalam Serat Centhini yang ditulis oleh
kata batik dalam naskah yang berisi aturan penggunaan busana kebesaran Keraton
harus dilestarikan karena batik mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu
budaya. Bentuk pelestarian warisan tersebut salah satunya adalah melalui museum
benda-benda materiil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna
5).
ditentukan secara resmi menjadi koleksi museum, ke dalam buku induk registrasi.
tersebut, seperti berita acara, dan surat wasiat. Hasil pencatatan ini sangat
diperlukan untuk penelitian koleksi lebih lanjut, karena merupakan sumber informasi
awal dari koleksi tersebut. Registrasi diperlukan dalam proses peminjaman koleksi
atau koleksi yang untuk sementara tidak berada dalam pengawasan museum untuk
yang dimiliki, titipan, atau yang dikeluarkan. Penyusunan dapat mencegah adanya
penipuan atau pengakuan dari seorang atas kepemilikan koleksi tersebut, dan dapat
berbagai bentuk warisan budaya yang lain telah dihasilkan oleh pemerintah seperti:
umum dan museum khusus. Museum dalam hal ini dapat didirikan oleh instansi
Indonesia.
1. Museum Umum
Museum umum yang ciri koleksinya terdiri dari kumpulan bukti material
hasil budaya manusia dan atau lingkungan yang berkaitan dengan berbagai
2. Museum Khusus
Museum khusus yang ciri koleksinya terdiri dari kumpulan bukti material hasil
budaya manusia dan atau lingkungan yang berkaitan dengan satu cabang ilmu
Setiap museum memiliki ciri khas sendiri-sendiri. Sifat ini terjadi karena koleksi
setiap museum berbeda. Kalaupun ada persamaan maka hal itu sangat terbatas,
sehingga jika terdapat adanya standarisasi permuseuman, maka hal itu hanya
museum itu didirikan, dan jenis koleksi di antara berbagai museum merupakan
Museum Batik Yogyakarta adalah salah satu museum khusus yang berada di
Yogyakarta. Museum ini merupakan museum swasta, dan dimiliki oleh keluarga
Hadi Nugroho, sebuah keluarga pengusaha batik. Museum ini beralamat di Jalan
Dr. Sutomo No. 13 Yogyakarta dan koleksi dari museum ini adalah khusus
menampilkan kain batik dan perlengkapannya yang telah dimiliki oleh tiga generasi
sebelumnya.
8
Dengan koleksinya yang mencapai ribuan, maka tentunya museum ini memiliki
sistem registrasi dan dokumentasi koleksi. Dengan adanya sistem tersebut, tujuan
dari museum ini sebagai museum pemberi kontribusi dalam upaya melestarikan,
maupun sebagai khasanah budaya nusantara demi memperkaya akal budi dan
Yogyakarta?
Museum?
ini adalah untuk mengetahui keserasian antara sistem manajemen registrasi dan
Museum.
Standar acuan yang digunakan dalam evaluasi adalah standar dari Direktorat
kebijakan, standar, norma, kriteria, dan prosedur serta pemberian bimbingan teknis
2007). Penulis tidak menggunakan standar acuan yang dikeluarkan ICOM, karena
masing negara anggota ICOM, karena kebijakan setiap negara akan hal ini
berbeda-beda.
9
A. TINJAUAN PUSTAKA
Museum menurut tim Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001, 766) mempunyai
pengertian yaitu gedung yang digunakan sebagai tempat untuk pameran tetap
sejarah, seni, dan ilmu. Definisi museum yang dikemukakan oleh Douglas Allan
yang dipergunakan dari tahun 1960 hingga tahun 1967 adalah suatu bangunan
yang berisi berbagai macam koleksi untuk diselidiki, dipelajari, dan dinikmati (Allan
1978, 13). Kemudian definisi dari ICOM sebelum tahun 1974, museum adalah:
Definisi resmi museum yang kini digunakan adalah definisi yang dikeluarkan
dalam rapat umum ICOM ke-10 di Copenhagen, museum adalah lembaga yang
bersifat badan hukum yang tetap, tidak mencari keuntungan dalam pelayanannya
3).
dan dokumentasi di Museum Batik Yogyakarta sampai saat ini belum ditemukan.
Sumber pustaka yang ada hanya rata-rata menyajikan tulisan tentang ragam hias
ditulis oleh Diorita Wijayanti dalam skripsinya menurut sudut pandang arsitektural
(Wijayanti, 2005). Dalam skripsinya ini, Diorita menjelaskan bahwa Museum Batik
B. METODE PENELITIAN
ini menggunakan penalaran induktif, yaitu penalaran yang bergerak dari kajian
khusus ke umum.
Kajian khusus dalam penelitian ini adalah data arkeologis dan museologi. Kajian
arkeologis yang disajikan berupa koleksi dari Museum Batik Yogyakarta meliputi
kain-kain batik, dan peralatan membatik yang telah berumur puluhan tahun, serta
pengembangan museum. Adapun kajian yang bersifat umum pada penelitian ini
Registrasi dan dokumentasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nomor
11
registrasi, buku induk registrasi, kartu registrasi, label registrasi, nomor inventaris,
dimaksudkan untuk mengambil keputusan yang didasarkan pada tolok ukur atau
kriteria tertentu (Arikunto 2005, 227). Kriteria yang dimaksud dalam penelitian ini
Yogyakarta telah sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Direktorat Museum,
agar dapat ditarik sebuah kesimpulan akhir dari sebuah penelitian. Evaluasi
Evaluasi dapat digolongkan dalam tiga jenis evaluasi, yaitu evaluasi awal (pre-
evaluation), evaluasi proses, dan evaluasi akhir. Maka untuk menjawab tujuan
unsur kegiatan. Sering pula evaluasi proses tidak dapat dilakukan pada saat proses
sedang berlangsung karena berbagai alasan, misalnya karena waktu yang terlalu
lama, atau juga karena biaya. Apabila hal ini terjadi maka dapat dilakukan evaluasi
terhadap komponen proses pada akhir program. Evaluasi ini lebih bersifat
keterkaitan berbagai komponen untuk mencapai tujuan. Evaluasi proses sering pula
Metode evaluasi mempunyai prinsip yang sama dengan penelitian ilmiah dengan
ragam bobot mulai yang paling sederhana sampai yang paling ilmiah. Sebagai
suatu kegiatan yang formal dan ilmiah, prinsip dan prosedur ilmiah di dalam
dokumentasi di Museum Batik Yogyakarta melalui enam tahap (Irawan 2001, 9),
yaitu:
Pada tahap pertama ini, semua tujuan evaluasi ditentukan. Proses ini sangatlah
penting karena tahap inilah yang menentukan corak dan proses evaluasi secara
berikutnya dapat dengan mudah ditentukan siapa yang akan melakukan apa,
tentang hal-hal yang berhubungan dengan tahap penentuan tujuan evaluasi ini.
2. Desain Evaluasi
telah ditentukan tujuan-tujuan evaluasi. Pada tahap ini, ada dua hal yang
ditentukan, yaitu pendekatan evaluasi apakah yang paling cepat agar tujuan-tujuan
evaluasi yang sudah ditentukan dapat tercapai secara optimal dan siapa yang akan
Pendekatan evaluasi pada tahap ini adalah penentuan siapa yang akan
orang luar (external evaluator) atau orang dalam (internal evaluator). Penelitian
yang dilakukan oleh orang luar ataupun orang dalam mempunyai keuntungan dan
kerugian sendiri-sendiri. Evaluasi yang dilakukan oleh orang luar, misalnya oleh
evaluasi yang berjalan atau yang dilakukan akan berjalan secara objektif dan akan
evaluasi yang dilakukan mungkin akan berjalan lebih lama. Hal ini terjadi jika apa
yang akan dievaluasi itu cukup rumit, sehingga orang luar biasanya akan
lainnya yaitu keterlibatan pihak luar mungkin dianggap sebagai intervensi kepada
Evaluasi yang dilakukan oleh orang dalam, misalnya pegawai museum itu
lebih cepat dan lebih sedikit memakan biaya. Kerugiannya adalah evaluasi ini akan
negatif (Irawan 2001, 12). Oleh karena itu untuk mengurangi beberapa tema yang
ada, biasanya evaluasi dilakukan oleh orang luar dan dalam secara bersama-sama.
Evaluasi pada penelitian ini dilakukan oleh penulis. Teknik dan instrumen
datang secara langsung ke objek yang akan dievaluasi, dalam hal ini adalah
mengetahui seluk beluk tentang sistem registrasi dan dokumentasi yang diterapkan
sedangkan review adalah cara untuk menggali informasi dengan cara meneliti
dan desain umum diselesaikan. Setidaknya ada empat instrumen yang selama ini
lazim digunakan dalam suatu evaluasi, yaitu kuesioner, interviu, observasi, dan
Cara perolehan informasi kuesioner dan interviu pada dasarnya sama. Kedua
sudah cukup popular dan sering digunakan dalam penelitian, sedangkan review
adalah cara untuk menggali informasi dengan cara meneliti dokumen, misalnya
dengan buku pedoman dari Direktorat Museum, Peraturan Tertulis seperti Undang-
Kebudayaan.
Pada tahap ini, harus mulai mengidentifikasi berbagai pertanyaan yang harus
dijawab oleh responden. Oleh karena itu perlu ditegaskan bahwa semua pertanyaan
yang akan dibuat harus konsisten dengan informasi yang dibutuhkan serta rincian
dibuat tersebut juga harus sesuai dengan teknik dan instrumen pengumpulan
datanya.
4. Pengumpulan Data
Data dan informasi bisa terkumpul hanya jika sumber informasi atau responden
pengumpulan data, hal yang penting penulis cek kembali adalah: responden,
Responden adalah pegawai museum yang terdiri dari pengelola museum dan
sekunder berupa buku pedoman yang diterbitkan oleh Direktorat Museum. Waktu
dan tempat pengumpulan data dilakukan di Museum Batik Yogyakarta setiap waktu
berkunjung museum.
kemudahan, dan ketelitian. Pada tahap ini evaluator dalam hal ini penulis, dituntut
6. Tindak Lanjut
Tujuan dari evaluasi ini adalah mengetahui keserasian antara sistem manajemen
standar Direktorat Museum, sehingga diharapkan hasil dari evaluasi ini dapat
META EVALUASI
↓
↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓
Penentuan Perancangan Pengembangan Analisis dan
Pengumpulan Tindak
Tujuan → (Desain) → Instrumen → → Interpretasi →
Data Lanjut
Evaluasi Evaluasi Evaluasi Data
↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓
1. Tujuan 1. Pendekatan 1. Kesesuaian 1. Sifat data 1. Proses data 1. Hasil evaluasi
evaluasi model evaluasi instrumen kuantitatif. dengan ini untuk tolak
diadakan. yang dipakai. dengan data komputer. ukur
yang dicari. pengambilan
keputusan.
2. Evaluator 2. Pengujian 2. Data tertulis yang 2. Penafsiran 2. Hasil evaluasi
oleh penulis. instrumen. tersedia melalui hasil evaluasi. objektif dan
buku pedoman absah.
Direktorat Museum.
3. Jadwal 3. Responden
evaluasi. adalah pegawai
museum.
4. Teknik dan 4. Data primer:
instrumen Museum Batik
pengumpulan Yogyakarta.
data.
5. Anggaran. 5. Waktu dan
tempat
pengumpulan data.
Sumber: Irawan 2001, 9
Tabel 1.3: Proses evaluasi penelitian.
18
BAB II
kurang lebih 155 mdpl (Biro Pusat Statistik 2007, 1). Kecamatan Danurejan terdiri
dari tiga kelurahan, yaitu: Kelurahan Suryatmajan, Kelurahan Tegal Panggung, dan
Tengen. Wilayah Kecamatan Danurejan dilintasi oleh Sungai Code di sisi barat.
2. Iklim
586 mm/ tahun. Suhu temperatur udara tertinggi di Kecamatan Danurejan adalah
32° c, dan suhu temperatur udara terendah adalah 22° c (Biro Pusat Statistik 2007,
1).
3. Luas Wilayah
merupakan wilayah terluas dengan luas 47,38 ha atau sekitar 42,95%. Sedangkan
wilayah kelurahan lain yaitu Kelurahan Suryatmajan memiliki luas 27,87 ha atau
19
25,27% dan Kelurahan Tegal Panggung dengan luas 35,06 ha atau 31,78 % (Biro
4. Demografi
memiliki penduduk sejumlah 12.581 jiwa yang terdiri dari 6.893 pria dan 5.688
wanita (Biro Pusat Statistik 2007, 10). Di dalam Kelurahan Danurejan tersebut
terdapat penyandang masalah kesejahteraan sosial, yaitu fakir miskin 412 jiwa,
rumah tidak layak huni 51 buah, dan anak jalanan sejumlah lima jiwa (Biro Pusat
Statistik 2007, 40). Menurut data di kantor polisi, Kelurahan Danurejan merupakan
kasus, dan penganiyaan tiga kasus (Biro Pusat Statistik 2007, 41).
Data arkeologi yang digunakan untuk mendukung keberadaan kain batik adalah
data artefaktual dan data tekstual. Data artefaktual yang digunakan di antaranya
adalah arca dan relief. Adapun data tekstual adalah data yang berupa tulisan-tulisan
kuno baik yang berupa tulisan-tulisan kuno baik prasasti, dokumen-dokumen kuno,
Kain yang digunakan saat ini merupakan hasil budaya manusia yang
berkembang dari masa ke masa. Indikasi awal keberadaan batik mulai muncul pada
masa klasik. Hal ini dibuktikan dengan adanya kain berwarna dan berornamen yang
disebut dalam prasasti. Dalam beberapa prasasti juga disebutkan bahwa kain
termasuk barang yang dikenai pajak dan menjadi salah satu yang diperdagangkan.
20
Pendapat mengenai asal mula batik dapat dikelompokan menjadi dua. Pertama
adalah anggapan bawa batik berasal dari luar Indonesia (India, Cina) dan yang
kedua adalah pendapat yang mengatakan bahwa batik merupakan produk asli
Indonesia.
Indonesia seperti motif ceplok, motif kawung, motif lereng pada daerah Kalingga
dan Jaynboll. Motif-motif tersebut adalah motif yang paling terkenal pada abad VIII-
1986, 156-159).
Hamzuri (1981, VI) mengatakan batik adalah lukisan atau gambar pada mori yang
menggambar atau menulis pada mori memakai canting disebut membatik. Menurut
tim Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001, 112), batik adalah kain bergambar yang
Menurut KRT. Hardjonegoro dalam karya tulis ilmiah Helmi dan Mujiyono (1992,
52-53), batik lahir di dalam kalangan petani. Pada zaman Kerajaan Mataram,
karena adanya perhatian khusus dari keraton, maka batik masuk ke lingkungan
kepada raja. Setelah memasuki lingkungan keraton, teknik pembuatan batik makin
diperhalus, baik motif maupun teknik pewarnaannya. Untuk mendukung hal tersebut
21
Penciptaan motif-motif batik oleh para empu, tidaklah dilakukan dengan jalan
asal mencoret saja. Sama halnya dengan pembuatan keris, pencarian ilham untuk
sebuah motif batik dilakukan dengan meditasi dan mutih. Karena dalam proses
penciptaan motif-motif tersebut tidaklah dengan cara yang mudah, maka dalam
pemakaian batik yang bermotif sesuai dengan hasil ciptaan melalui meditasi, tidak
bisa digunakan oleh sembarang orang karena batik dibuat dengan motif-motif yang
mengandung magis tinggi. Maka pihak keraton dalam hal ini Sri Susuhunan Paku
penggunaannya.
1. Data Artefaktual
Motif batik ditinjau dari segi arkeologis sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu-
Budha di Pulau Jawa. Data artefaktual ini dapat ditemukan pada relief candi, dan
Hal ini dapat dilihat dari ragam hias batik di beberapa bangunan, antara lain
c. Motif Dasar Ceplok: terdapat pada Arca Ganesa dari Candi Banon, dalam
kompleks Candi Borobudur; pada Arca Çiwa dan Arca Durga dari Candi
e. Motif Dasar Kawung terdapat pada Arca Hari-Hara di Blitar, Arca Çiwa di
Candi Singosari, Arca Budha Mahadewa dari Umpang, dan Bhrkuti dari Candi
f. Motif Dasar Sidomukti, berbentuk segi empat yang diberi isen-isen garuda
g. Beberapa motif hias pada kain batik yang banyak dijumpai dalam relief antara
lain adalah motif kertas tempel. Penggunaan motif ini pada candi adalah
Motif ini dapat dijumpai pada beberapa dinding candi di Jawa Tengah,
2. Data Tekstual
Sementara itu, selain terdapat pada bangunan candi, ragam hias batik juga
ketika Raden Wijaya hendak maju berperang melawan pasukan dari Cina,
Setiawan 2006, 28). Gringsing adalah motif isen batik klasik khas Yogyakarta.
b. Serat Centhini yang mulai digubah pada tahun 1820 oleh Adipati Anom
menunjukkan bahwa penggunaan kata mbatik telah digunakan pada masa ini
21 pangkur
25. Kepek kekalih punika, kang setunggal pan isi
sinjang lurik, warna-warni corekanipun, miwah
sinjang prausan, dhetar tepen renda myang
praosanipun dene kepek satunggil, isi kampuh
gadhung mlathi.
23
34 maskumbang
6. Nyumerepi sawuwaning angi-angi, pon-empon
babakan, eron ingkang maedahi, ngektosi
kanggening karya.
7. Nganlih nenun nyulam nyongket andondomi,
angraronce sekar (m)batik (m)babar adi,
mamantes isining wisma.
21 Pangkur
25. Kedua kantung itu, yang satu berisi kain lurikl
bercorak warna-warni dan kain prada, ikat kepala
dengan tepi berenda serta berprada pula,
sedangkan kantung yang satu berisi kampuh (kain
kebesaran ningrat) bermotif gadhung melati.
34 Maskumbang
6. Mengetahui penggunaan segala daun-daun yang
bermanfaat untuk obat-obatan.
7. Bertenun, menyulam, membuat batik sampai
dengan menyelesaikannya menjadi kain yang
bagus, pandai mengatur rumah.
dalam buku Ragam Hias dari Masa ke Masa disebutkan bahwa para prajurit
Majapahit, dengan ragam hias motif alas-alasan” (Yusuf dkk. 1988, 5).
d. Naskah Sumanasantaka 19.6 dan naskah Maradahana 4.7 dan 25.10, juga
asipet (tukang sulam), dan angjahit (tukang jahit) (Pinardi 1992, 211).
oleh Sri Susuhunan Pakubuwono III pada tahun 1769 berisi tentang peraturan
motif tersebut tidaklah dengan cara yang mudah sehingga tidak bisa
digunakan oleh sembarang orang karena batik dibuat dengan motif-motif yang
24
tertua yang menyebutkan istilah batik yang ditulis dalam Bahasa Jawa
terutama yang menggunakan ornamen. Serat ini aslinya ditulis dalam bahasa
dan huruf Jawa, kemudian disalin dalam Bahasa Jawa dengan huruf latin.
Teks dalam Bahasa Jawa dengan huruf latin yang terdapat dalam Bab 3
Wujude batikan dodot, sarta bebet prajuritan kaya ing ngisor iki:
3. parang rusak klitik, gedene garisan uga kaya dene prang rusak gendreh,
6. udan riris,
7. rujak sente,
6. udan liris,
7. rujak sente,
berikut:
Bab 3
3. parang rusak klitik, besarnya garis juga seperti parang rusak gendreh,
6. udan riris,
7. rujak sente,
Bab 4
6. udan riris,
7. rujak sente,
Motif batik pada arca-arca dan relief candi tersebut membuktikan bahwa pada
abad IX-XVI M bangsa Indonesia telah mendapatkan motif lereng ceplok, kawung,
sidomukti, semen, pemakaian isen-isen cecek dan titik, sedangkan India Selatan
baru dimulai pada tahun 1516 dan mencapai puncaknya pada abad XVII-XIX M.
Pemakaian alat memberikan corak tersendiri pada motif batik. Batik Indonesia
kesenian kain batik yang dapat memperlihatkan keindahan yang sama dengan pada
sisi luar maupun dalam. Hal ini tidak terdapat di India Selatan yang memakai
27
stempel sebagai alat pembatik sehingga hanya memperhatikan bagian luar saja
Teknik penahan warna tidak hanya terdapat pada daerah yang mengalami
pengaruh Hindu saja, tetapi juga terdapat pada daerah seperti Toraja (Sulawesi
Motif batik pada umumnya dipengaruhi dan erat hubungannya dengan beberapa
Sedangkan seni batik dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain: proses
pembatikan atau pembuatan, mutu pembatikan, ragam hias dan tata warna
(Djumena 1990,2).
1. Batik Keraton
bisa dibedakan berdasarkan wujudnya. Batik Yogyakarta lebih banyak berlatar putih
cerah dan menampilkan perbedaan warna yang tajam antara biru nila dan coklat
soga yang hangat. Sedangkan latar batik Surakarta putih Gading. Sekalipun
28
demikian keduanya sama-sama mempunyai nilai dan filsafat yang tinggi. Ragam
keraton Jawa ditunjang dengan munculnya canting tulis. Suatu alat membatik yang
terdiri dari wadah kuningan bercorong yang dipasang pada sebuah gagang buluh
bambu kecil. Alat ini mampu menuliskan ragam hias yang paling rumit sesuai
di mana gaya hidup lama disesuaikan dengan yang baru, seni batik tetap
merupakan suatu lambang tingginya citra budaya yang terdapat dalam keraton-
1.1. Kawung
Diperuntukkan bagi keluarga bangsawan sampai yang paling rendah yaitu Raden.
1.2. Parang
Motif ini mempunyai pola pedang yang menunjukkan kekuasaan atau kekuatan.
Menurut kepercayaan, motif parang harus dibatik tanpa salah, karena akan
menghilangkan kekuatan gaib dari kain ini. Komposisi miring pada parang
menandakan kekuatan dan gerak cepat, karena para ksatria diharapkan bergerak
dengan gesit. Yang mempunyai daya magis pada motif parang adalah bagian
1.3. Cemukiran
Mirip motif parang, tetapi mempunyai pola seperti sinar. Pola yang mirip sinar itu
alam semesta atau Batara Guru. Batara Guru menurut kepercayaan Jawa menjelma
30
dalam diri raja. Oleh karena itu hanya raja dan putra mahkota yang boleh
1.4. Sawat
Motif ini ditandai dengan adanya lukisan sayap, baik sayap pasangan maupun
tunggal. Sayap ini diibaratkan burung garuda. Dalam mitologi Hindu Jawa, garuda
adalah jenis burung yang bertubuh dan berkaki manusia, tetapi bersayap dan
berkepala seperti burung. Garuda ini membawa terbang Dewa Wisnu ke nirwana.
Motif ini berarti hujan gerimis. Motif ini adalah lambang kesuburan dan
1.6. Semen
Berasal dari kata semi (bahasa Jawa) yang berarti tumbuh. Motif ini penuh
dengan simbolisme yang menunjukan pujaan terhadap kesuburan dan tata tertib
alam semesta.
32
1.7. Alas-alasan
Motif ini mirip dengan motif semen. Perbedaannya adalah banyak terdapat
lukisan hewan. Alas-alasan berarti seperti hutan. Ada motif alas-alasan yang
Kain semacam ini disebut bangun tulak. Bangun tulak hanya dikenakan oleh Raja
Kain ini juga digunakan oleh para penari tarian kuno Bedoyo Ketawang, yang
Panembahan Senopati.
33
2. Batik Pesisiran
Batik pesisir adalah istilah yang digunakan pada produk-produk dari luar dinding
berikut segenap tata aturan, alam pikiran dan filsafat kebudayaan keraton Jawa.
juga turut mempengaruhi ragam hias dan warna, sehingga muncul berbagai
perbedaan ragam hias dan warna pada batik yang dibuat oleh masyarakat perajin
34
yang berbeda tempat. Perbedaan tempat ikut mempengaruhi perbedaan ragam hias
dan warna, karena didasari oleh faktor pengalaman yang dimiliki oleh perajin dan
wirausaha yang pada hakekatnya berbeda. Perbedaan ini dipertajam karena pilihan
segmen pasar dan mutu batik mempengaruhi babaran proses yang berbeda.
Pusat-pusat batik pesisir di Pulau Jawa adalah daerah pembatikan yang terdapat
pada jalur pesisir utara Jawa, dari barat ke timur meliputi kota-kota pembatikan
2.1. Indramayu
digunakan umumnya batik tulis, dengan produk yang paling banyak dipakai untuk
jarit dan sarung. Batik Indramayu dibuat dengan teknik “babar pisan”, artinya hanya
sekali proses pelorodan, tidak ada proses ulang untuk sogan. Warna yang dipakai
Ciri yang menonjol dari batik Indramayu adalah langgam flora dan fauna
diungkap secara datar, dengan banyak bentuk lengkung dan garis-garis yang
meruncing (ririan), latar putih dan warna gelap, dan banyak titik yang dibuat dengan
teknik cacahan jarum, serta bentuk isen-isen (sawot) yang pendek dan kaku.
2.2. Cirebon
Pengusaha Trusmi umumnya membuat batik untuk jarit, sarung dan ikat kepala
serta barang-barang rumah tangga seperti taplak, sarung bantal, dan sebagainya.
Ciri yang sangat menonjol pada batik Cirebon yaitu batik Keraton dan batik Bang-
Biron. Di samping itu, terdapat corak batik yang jarang dipakai untuk pakaian sehari-
hari dengan simbol spiritual, yakni batik yang dihias dengan kaligrafi Arab, berisi
bagian-bagian ayat Al-Quran atau doa-doa dalam bahasa Arab. Batik ini disebut
Kain Besurek yang dalam bahasa Indonesia berarti bersurat dan banyak diminati
Batik keraton Cirebon memiliki ciri warna putih (dasar), biru (indigo), dan coklat
(soga). Ragam hias yang dipilih banyak terkait dengan mitologi yang berkembang di
Cirebon seperti Paksi Naga Liman, Singa Barong, Taman Arum, Naga Seba, dan
sebagainya.
36
Tata letak batik Cirebon umumnya tersusun horizontal dalam tiga lajur yang
2.3. Pekalongan
Dikenal sebagai kota batik, karena memiliki potensi yang cukup besar sebagai
penghasil batik yang tersebar ke seluruh nusantara. Salah satu motif batik
Pekalongan yang terkenal adalah motif jlamprang yang saat ini sudah jarang
diproduksi lagi. Menurut Ninuk Mardiana Pambudi dalam artikelnya yang berjudul
Perjalanan Panjang Batik (2000, 236-237), motif jlamprang meniru motif patola yang
berasal dari Gujarat. Kehalusan motif yang dihasilkan ikat patola dengan cepat
pasokan, maka para artisan batik dengan cepat meniru motif tersebut.
37
Beberapa daerah pembatikan yang terkenal sebagai penghasil batik dengan ciri
ragam hias dan warna antara lain Kauman, Pesindan, Sampangan, Klego,
Ciri yang menonjol pada batik Pekalongan adalah ragam hias dan tata warnanya
naphtol, indigosol, cat basa, cat ergan, cat rapid, dan reaktif.
38
2.4. Lasem
lebih 13 km dari ibu kota kabupaten. Nama Lasem selama ini lebih dikenal
dibandingkan ibu kota kabupatennya sendiri, Rembang. Sebagian besar bus dari
luar daerah selalu transit di terminal Lasem dan menempatkan Lasem sebagai jalur
2004).
Batik dari daerah ini memiliki corak khas, terutama pada warna merahnya yang
menyerupai merah darah ayam, yang konon tidak dapat ditiru oleh pembatik dari
daerah lain. Kekhasan lain terletak pada coraknya yang merupakan gabungan
pengaruh budaya Tionghoa, budaya lokal masyarakat pesisir utara, dan budaya
Perajin di kota ini umumnya keturunan Cina dengan modal yang cukup besar,
langsung dari pabrik atau pedagang bahan impor, dengan tujuan efisiensi.
39
Ketika membuat desain untuk motif batik produksi mereka, para pengusaha
legendanya. Ragam hias burung hong dan binatang legendaris Kilin (semacam
singa) dan sebagainya mereka masukkan dalam motif batik produksi mereka.
Bahkan, cerita percintaan klasik Tiongkok seperti Sam Pek Eng Tay pernah menjadi
motif batik di daerah ini. Tidak mengherankan bila kemudian batik produksi Lasem
sering disebut sebagai batik Encim. Encim adalah sebutan kaum Tionghoa
2.5. Tuban
Merak, Urak, dan di kota Tuban sendiri. Batik di ketiga daerah ini memiliki ciri yang
berlainan.
serta pembatikan di Kecamatan Warak dan Urak, pembatikan dilakukan diatas kain
gedok tenun tangan dengan benang pintal tangan, sedangkan di Waru Tuban tidak
40
biasa memakain kain gedok untuk batik, melainkan kain dari jenis katun prismissima
dan prima.
2.6. Sidoarjo
masyarakat pesisir utara Jawa Timur dan Madura. Corak tradisional batik Sidoarjo
beragam jenis flora dengan paduan warna hitam, coklat, dan merah. Corak ini
terutama digemari oleh orang-orang Madura sehingga disebut batik Maduran. Corak
perubahan pasar.
2.7. Madura
Batik Madura terutama dikerjakan oleh perajin batik dari Tanjung Bumi,
Ragam hias dan warna batik Tasikmalaya dan Ciamis mendapat pengaruh kuat
dari batik keraton, yakni ragam hias lereng dan kawung dengan pewarnaan krem,
coklat, dan hitam. Belakangan, pengaruh batik pesisiran juga mewarnai batik
Tasikmalaya dan Ciamis, seperti tampak pada corak flora dan tata warnanya yang
1. Gawangan
sewaktu dibatik. Gawangan dibuat dari bahan kayu atau bambu. Gawangan
dibuat sedemikian rupa, sehingga mudah dipindah-pindah, tetapi harus kuat dan
ringan.
2. Bandul
Bandul dibuat dari timah atau kayu atau batu yang dikantongi. Fungsi pokok
bandul ialah untuk menahan mori yang baru dibatik agar tidak mudah bergeser
ditiup angin, atau tarikan si pembatik secara tidak disengaja. Jadi tanpa bandul,
3. Wajan
Wajan ialah perkakas untuk mencairkan malam. Wajan dibuat dari logam baja,
atau tanah liat. Wajan sebaiknya bertangkai supaya mudah diangkat dan
diturunkan dari perapian tanpa mempergunakan alat lain. Oleh karena itu wajan
yang dibuat dari tanah liat lebih baik dari pada yang logam, karena tangkainya
tidak mudah panas. Tetapi wajan dari bahan tanah liat lebih lama mencairkan
malam.
4. Anglo
Anglo dibuat dari tanah liat, atau bahan lain. Anglo ialah alat perapian sebagai
api ialah arang kayu. Jika menggunakan kayu bakar, anglo diganti dengan keren.
5. Tepas
Tepas ialah alat untuk membesarkan api menurut kebutuhan, terbuat dari
bambu. Selain tepas, digunakan juga ilir. Tepas dan ilir pada pokoknya sama,
hanya berbeda bentuk. Tepas berbentuk empat persegi panjang dan meruncing
pada salah satu sisi lebarnya dan tangkainya terletak pada bagian yang runcing
itu. Sedangkan ilir berbentuk bujur sangkar dan tangkainya terletak pada salah
6. Taplak
Taplak ialah kain untuk menutup paha si pembatik supaya tidak kena tetesan
malam panas sewaktu canting ditiup, atau waktu membatik. Taplak biasanya
Foto 2.16: Anglo, wajan, dan malam serta canting sebagai peralatan membatik.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
44
7. Saringan malam
Saringan ialah alat untuk menyaring malam panas yang sangat banyak
untuk membatik.
8. Dingklik
Dingklik atau lincak pada prinsipnya sama, yaitu tempat duduk si pembatik.
9. Canting
Canting adalah alat pokok untuk membatik yang menentukan apakah hasil
pekerjaan itu dapat disebut batik, atau bukan batik. Canting dipergunakan untuk
menulis, membuat motif batik yang diinginkan. Sultan HB X dalam buku Sekaring
dengan munculnya canting tulis. Suatu alat membatik yang terdiri dari wadah
kuningan bercorong dipasang pada sebuah gagang buluh bambu kecil. Alat ini
45
mampu menghasilkan ragam hias yang paling rumit sesuai keterampilannya dan
kemampuan si pembatik
10. Malam
tidak habis, karena akhirnya diambil kembali pada waktu proses mbabar. Malam
berpengaruh terutama pada daya serap, warna yang dapat mempengaruhi warna
mori (kain), halusnya cairan, dan sebagainya. Maka harganya pun akan berbeda-
Foto 2.18: Malam sebagai bahan inti dalam teknik penahan warna dalam membatik.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
Mori adalah bahan baku batik dari katun. Kualitas mori bermacam-macam, dan
jenisnya sangat menentukan baik buruknya kain batik yang dihasilkan, karena
kebutuhan mori dari macam-macam kain tidak sama. Jenis-jenis mori antara lain:
(a). mori primisima: merupakan kain mori terbaik dan halus, sering juga disebut
mori sen, (b). mori prima: merupakan kain mori dibawah kualitas mori primisima,
46
tetapi tetap halus, (c). mori biru: merupakan kain mori dengan kualitas dibawah
mori prima.
Untuk menghasilkan kain batik tulis dengan kualitas tinggi memerlukan sembilan
tahap/ proses (Hadisuwito, 2007). Sedangkan untuk pembuatan batik cap, terdapat
beberapa proses yang tidak dilalui, disebabkan proses tersebut telah diambil alih
1. nyorek
2. ngegreng
Adalah menutup desain batik dengan malam, dan masih berupa kosongan.
3. klowongan
4. nembok
Adalah menutup motif dengan malam khusus, supaya hasil akhirnya menjadi
putih.
47
5. medel
Adalah memberi warna biru atau indigo. Kain batik direndam dalam cairan
6. dilorot pertama
Adalah proses menghilangkan lilin dengan cara direbus. Pada proses ini batik
7. digranit
8. mbironi
9. disoga
Adalah proses terakhir dengan cara direndam agar semua malam yang masih
Pada pembuatan batik cap, proses pembatikannya lebih singkat karena mulai
dari proses nyorek sampai klowongan dikerjakan dengan alat cap yang terbuat dari
kuningan, namun setelah itu dilanjutkan dengan proses seperti layaknya batik tulis.
Dalam pewarna alami, bahan dari alam yang digunakan antara lain (Setiawan
2006, 46-64):
Foto 2.24: Neraca untuk meracik pewarna buatan pada indutri batik Plentong.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
51
Sutomo nomor 13. Museum ini terletak di dalam pemukiman yang padat penduduk
Museum ini dapat dikunjungi setiap hari kerja mulai pukul sembilan pagi hingga
pukul tiga sore dan diselingi waktu istirahat pada pukul 12 hinggal pukul 13. Pada
Museum Batik Yogyakarta berdiri pada tanggal 12 Mei 1977, karena faktor
kesehatan yang diderita oleh Bapak Hadi Nugroho sebagai pemilik, maka museum
baru dapat diresmikan dua tahun setelahnya, pada tanggal 12 Mei 1979 oleh
nomor 22 tanggal 25 Mei 1977 dan pejabat pembuat akta adalah Daliso Rudianto,
S.H.
52
Peta 2.1: Keletakan Museum Batik Yogyakarta terhadap museum lain di Yogyakarta.
(digambar oleh: Diniartha Ikha Muharram)
Koleksi yang terdapat pada Museum Batik Yogyakarta berasal dari milik pribadi
dan pembelian yang dikumpulkan mulai tahun 1960. Koleksi yang berasal dari
pribadi diperoleh keluarga Bapak Hadi Nugroho yang pada masa itu merupakan
dari keluarganya. Museum ini berdiri atas prakarsa keluarga Hadi Nugroho yang
memulainya dengan mengumpulkan koleksi dari tiga generasi, yaitu dari eyang,
Bila dilihat dari jenis koleksinya, museum ini masuk ke dalam klasifikasi museum
khusus, dan bila dilihat dari aspek penyelenggaraannya Museum Batik Yogyakarta
53
merupakan museum swasta yang dimiliki oleh Yayasan Batik Yogyakarta dengan
yaitu:
pendukungnya.
di Yogyakarta.
Dalam mencapai visi dan misinya tersebut, museum ini mengembangkan dua
pola kegiatan secara garis besar, yaitu kegiatan intern dan ekstern. Kegiatan intern
dengan para pelaku industri batik, lomba lukis motif batik serta kursus membatik.
Sedangkan untuk kegiatan ekstern yang dilakukan adalah mengadakan kerja sama
dengan instansi pemerintah, mengundang media masa untuk meliput koleksi dan
2007)
cakupan lokal dan nasional, dengan maksud agar museum ini dapat memberikan
Yogyakarta saat ini memiliki koleksi 1.219 buah koleksi yang terdiri dari 500 kain
batik yang terdiri dari batik kraton dan batik pesisir, 560 buah canting cap, 124
canting tulis, dan peralatan lain seperti wajan dan anglo sebanyak 35 buah. Koleksi
ini berumur sangat tua sampai pada batik yang pembuatannya yang diolah secara
modern antara lain: 1. Sarung isen-isen antik karya E.V. Zeuylen dari Belanda. Batik
ini berasal dari Pekalongan dengan tahun pembuatan sekitar tahun 1880-1890.
Sarung tersebut memiliki corak untaian bunga, tumpal blabakan, galar selinglung
daun dengan warna biru tom hijau warna kayu, dikerjakan dengan teknik proses
batik tulis dengan tingkat kesulitan sedang dan berbahan mori primisima, 2. Sarung
isen-isen antik (kelengan) karya seorang nyonya Belanda yang tidak diketahui
namanya. Batik ini berasal dari Pekalongan dengan tahun pembuatan sekitar tahun
1880-1890. Sarung tersebut memiliki corak buketan isen-isen, dasar galar seling
halus dan unik dengan warna biru tom kuning kayu hijau kombinasi, dikerjakan
dengan teknik proses batik tulis halus cecek jarum dan berbahan mori primisima, 3.
Sarung panjang soga jawa karya Lie Djing Kiem. Batik ini berasal dari Yogyakarta
dengan tahun pembuatan sekitar tahun 1920-1930. Sarung tersebut memiliki corak
boketan adu jago dasar polos dengan warna soga jawa, hitam, dan putih, dikerjakan
dengan teknik proses batik tulis sedang dan berbahan mori primisima. Koleksi tertua
yang dimiliki museum ini adalah kain pethuk manten, yaitu kain batik yang
55
Dalam pengembangannya, saat ini Museum Batik Yogyakarta sejak tahun 2004
Museum ini nantinya akan didirikan diatas tanah seluas 7.000 m2 dengan luas
bangunan 5.600 m2 dan saat ini sedang dalam tahap izin pemakaian tanah kas
desa di tingkat kelurahan. Rencananya museum ini akan dilengkapi dengan fasilitas
aula pameran temporer, aula penerima audio visual, ruang audio visual, gerai
cenderamata, aula kantor, ruang administrasi, ruang kurasi, restoran dan kafe,
ruang bermain untuk anak-anak, area bongkar muat, bengkel kerja, wisma tamu,
pendopo, gudang alat, aula museum, perpustakaan, ruang penyiapan pajang, ruang
Bangunan Museum Batik Yogyakarta menempati areal seluas 400 m². Luas
tanah seluruhnya 600 m², merupakan rumah tinggal keluarga Hadi Nugroho. Secara
umum, tata pameran museum ini terkesan sempit. Pengunjung hanya bisa satu-
persatu untuk menikmati koleksi ketika melewati ruang Batik Pesisiran dan ruang
Batik Soga Yogya Solo. Hal ini disebabkan panil terletak di sebelah kiri dan kanan
pengunjung, sementara jarak antar panil di sisi kiri dan kanan tersebut hanya sekitar
satu meter, sehingga hanya cukup untuk dilewati oleh satu orang pengunjung
dewasa.
56
Alur tata pameran pada Museum Batik Yogyakarta pada mulanya adanya
sebagai berikut:
Pintu Masuk
Ruang Pengenalan
Ruang Cenderamata
Pintu Keluar
Tabel 2.3: Alur tata pameran Museum Batik Yogyakarta.
Pintu masuk utama museum berada di sebelah selatan, karena dinilai terlalu
banyak gangguan, akhirnya pada tahun 2003 pintu utama tersebut ditutup dan
akses masuk museum dipindah ke pintu samping yang terletak di sisi barat
museum.
Terletak di sisi barat museum, terlihat sepertinya dahulu ini merupakan akses
untuk pintu keluar, karena ketika kita masuk dari pintu samping ini, kita akan
terletak pada bagian akhir rute kunjungan museum. Masuk dari pintu ini,
akan disambut dengan petugas museum yang akan siap menjadi pemandu.
c. Ruang Pengenalan
58
Sebelum tahun 2004, ruangan ini merupakan ruangan pertama yang akan
dijumpai oleh pengunjung museum. Pada ruangan ini terdapat koleksi yang
canting mulai dari yang kuno hingga canting yang digunakan pada masa kini,
d. Pasren
Merupakan sebuah panggung kecil di depan pintu masuk yang lama, dan
menjadi satu bagian dari ruang pengenalan. Pada panggung ini terdapat patung
Loro Blonyo yang merupakan perlambang dari Dewi Sri, yang oleh masyarakat
Foto 2.26: Ruang Pengenalan dan Ruang Pasren pada Museum Batik Yogyakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
Merupakan lorong dengan koleksi kain batik dengan gaya kraton. Didalamnya
terdapat sekitar tiga puluh satu buah koleksi kain batik gaya kraton. Pada Koleksi
di ruang batik soga Yogya Solo dan ruang Pesisiran semuanya merupakan
replika dari koleksi yang asli. Koleksi aslinya disimpan dalam vitrin di pojok
ruangan sisi barat ruang pesisiran. Sesuatu yang sebetulnya dilarang, dimana
Foto 2.27: Ruang Soga Yogya Solo pada Museum Batik Yogyakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
Ruangan di sini bukan seperti ruangan yang sebenarnya biasa kita lihat dengan
berbatas atau terlingkung oleh bidang, tetapi merupakan lajur yang di sisi kiri dan
f. Ruang Pesisiran
sejak abad XVIII M. Jumlah koleksi pada ruang pesisiran mencapai 37 buah.
60
g. Ruang Perawatan
perawatan batik secara manual, yaitu menggunakan ratus yang terbuat dari akar
wangi. Ratus atau dupa harum ini terbukti cukup efektif dalam proses
fungisida, waktu yang diperlukan relatif lebih cepat, tingkat resiko terhadap
kesehatan dalam prosesnya lebih rendah dan biaya yang dikeluarkan lebih
murah.
61
Ruangan ini terletak di sisi timur meja resepsionis. Cendera mata yang
buku katalog koleksi batik yang tertata dalam tiga buah etalase kaca. Selain itu
juga terdapat pakaian batik dan yang dipajang dalam lemari gantung serta
beberapa sulaman.
62
Foto 2.30: Toko Cenderamata dan Galeri pada Museum Batik Yogyakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
i. Museum Sulaman
Museum ini baru berdiri pada tanggal 12 Mei 2001, menempati ruangan di sisi
paling barat dari ruang Museum Batik Yogyakarta. Di sini ditampilkan beberapa
koleksi dari sulaman Ibu Dewi. Salah satu dari koleksi Museum Sulaman ini
sebagai sulaman tangan terpanjang dengan ukuran 400 x 90 cm, dengan judul
dipajang adalah bermotif Yesus, Bunda Maria, dan mantan presiden Soekarno.
63
Foto 2.31: Museum Sulaman yang menjadi 1 dengan Museum Batik Yogyakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
j. Ruang Batik
Ruang ini terletak di sisi utara pintu masuk samping. Ruang ini digunakan untuk
k. Ruang Preparasi
Saat ini kegiatan preparasi banyak dilakukan di ruang batik karena sumber daya
manusia yang tersedia saat ini sedikit sehingga cukup dilakukan di ruang batik,
tidak seperti dulu, ketika museum ini memiliki banyak pegawai, sehingga ruang
l. Perpustakaan
Ruangan ini terletak di sisi utara Museum Sulaman. Di dalamnya terdapat dua
buah lemari buku dari kayu, sebuah lemari berbahan besi serta dua buah kursi
baca. Koleksi buku yang terdapat di museum ini antara lain: buku tentang
museum, buku tentang batik, dan buku tentang pengetahuan umum. Terdapat
pencahaan alami pada ruangan ini, karena menggunakan genting kaca, selain
Pelayanan lain yang diberikan oleh museum ini adalah membuka kelas batik bagi
masyarakat umum. Hal ini merupakan salah satu terobosan untuk terus
pembelian, hibah, dan warisan. Dalam prosesnya, koleksi yang akan dibeli atau
akan menjadi milik koleksi museum harus disetujui oleh tim ahli yang terdiri dari
ruangan adalah 25°-28°C dan tingkat kelembaban adalah 45% - 65%. Dalam buku
secara umum tingkat suhu udara yang cocok dalam ruang penyimpanan adalah
antara 20° - 24°C, sedangkan tingkat kelembaban adalah 45% - 60%. Penggunaan
dianjurkan menggunakan ventilasi yang baik sehingga suhu di dalam dan luar
ruangan tetap sama. Dengan ventilasi saja, dapat terjadi tingkat kelembaban di
dalam ruangan yang tinggi. Maka untuk menjaga tingkat kelembaban relatif di dalam
penyerap kelembaban udara yang berlebihan. Alat ini cocok digunakan di Indonesia
karena iklim tropisnya yang dikelilingi laut, sehingga pada musim kemarau pun
tingkat kelembaban tetap tinggi (Dinas Kebudayaan Provinsi DIY 2004, 39).
yang memiliki intensitas cahaya yang kurang, kehadiran lampu akan membantu
museum, unsur dekoratif pada elemen yang memiliki bidang rata, detail tekstur, dan
Foto 2.34: Pencahayaan dan sistem sirkulasi udara pada Museum Batik Yogyakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
Cahaya juga dapat meningkatkan nilai estetika bangunan dan ruangan museum.
Detail dan elemen pada benda koleksi dapat ditonjolkan dengan jenis pencahayaan
tertentu sehingga koleksi tersebut menjadi lebih dominan. Cahaya juga dapat
menciptakan nuansa dan karakter pada ruangan museum, sehingga ruangan akan
terlihat lebih luas atau memberi kesan tertentu yang berpengaruh terhadap
pencahayaan menggunakan lampu TL atau yang lebih dikenal dengan lampu neon.
Untuk mencegah pengaruh negatif dari intensitas cahaya, jarak pencahayaan pada
BAB III
Di antara ilmu-ilmu budaya atau humaniora yang telah dikenal adalah arkeologi
dan museologi. Kedua cabang ilmu ini saling berdekatan dan sangat erat
tinggalan kebudayaan manusia. Oleh karena itu hakikat mempelajari arkeologi dan
1998a, 2).
Arkeologi adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaan
masa lalu melalui benda-benda yang ditinggalkannya. Oleh karena itu secara garis
kebudayaan.
terhadap realitasnya.
Kedua cabang itu mempunyai persamaan yang mendasar, yaitu sebagai upaya
sumber daya budaya, sedangkan museologi lebih ditekankan lagi sebagai ilmu yang
mempelajari manajemen koleksi karena lebih ditekankan pada artefak dan ekofak
Museologi sebagai studi tentang material culture dan natural material terutama
penyusunan alur cerita, seleksi benda koleksi, teknik penyajian, evaluasi pameran
1. Pengertian Museum
Museum menurut tim Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001, 766) mempunyai
pengertian gedung yang digunakan sebagai tempat untuk pameran tetap benda-
benda yang patut mendapatkan perhatian umum seperti peninggalan sejarah, seni
dan ilmu. Definisi museum yang dikemukakan oleh Douglas Allan yang
dipergunakan dari tahun 1960 hingga tahun 1967 adalah suatu bangunan yang
berisi berbagai macam koleksi untuk diselidiki, dipelajari, dan dinikmati (Allan 1978,
33).
dan pemanfaatan benda-benda materiil hasil budaya manusia serta alam dan
Definisi resmi museum yang kini digunakan adalah definisi yang dikeluarkan dalam
rapat umum ke-10 di Copenhagen, museum adalah lembaga yang bersifat badan
tetapi untuk kemajuan masyarakat dan lingkungannya, serta terbuka untuk umum
sebenarnya merujuk kepada nama kuil pemujaan terhadap Muses, dewa yang
khusus untuk seni dan sains, terutama filosofi dan riset di Alexandria oleh Ptolemy I
Soter pada tahun 280 SM. Museum berkembang seiring berkembangnya ilmu
untuk memuja sembilan dewi seni dan ilmu pengetahuan. Salah satu dari sembilan
dewi tersebut ialah: Mouse, yang lahir dari maha Dewa Zous dengan isterinya
Museion selain tempat suci, pada waktu itu juga untuk berkumpul para cendekiawan
Museum pertama yang dibuka untuk umum adalah The Ashmolean Museum,
yang dimiliki oleh Universitas Oxford di Inggris pada tahun 1683, kemudian disusul
oleh The British Museum yang dibuka di London pada tahun 1759 serta Museum
Lovre di Paris pada tahun 1793 (Lewis 2004, 2). Sebuah perkumpulan di Indonesia
Kesenian dan Ilmu), berdiri pada tahun 1778 dan menjadi cikal bakal museum
umum di Asia dengan koleksi batu-batuan, perabot rumah tangga, dan gambar-
gambar dari masa lalu yang berkaitan dengan Jakarta (Heuken 1997, 59, 92).
Museum tertua di Indonesia adalah Museum Radya Pustaka di kota Solo, Jawa
Tengah. Museum Radya Pustaka didirikan pada tanggal 28 Oktober 1890 oleh
Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat IV yang menjabat sebagai patih pada masa
paling lengkap di Indonesia adalah Museum Nasional yang lebih dikenal sebagai
Museum.
kebijakan, standar, norma, kriteria, dan prosedur, serta pemberian bimbingan teknis
2007):
permuseuman.
sama permuseuman.
luhur, memperkokoh persatuan dan kesatuan, serta mempertebal jati diri bangsa.
72
jaringan global dan program kerja sama. Di Indonesia, tugas dan wewenang bidang
Museum terdiri dari berbagai macam dan dapat ditinjau dari berbagai aspek,
museum berdasarkan koleksi yang disimpan terbagi menjadi dua, yaitu museum
umum dan museum khusus. Museum umum adalah museum yang menyimpan
koleksi berupa kumpulan bukti material hasil budaya manusia dan lingkungan yang
berkaitan dengan berbagai cabang seni, disiplin ilmu dan teknologi. Sedangkan
museum khusus koleksinya hanya berkaitan dengan satu cabang seni, disiplin ilmu
atau teknologi.
pemerintah daerah. Sedangkan museum swasta adalah museum yang dikelola dan
Departemen Budaya dan Pariwisata, sampai tahun 2005 Indonesia baru memiliki
museum sejumlah 269 buah yang terdiri dari tujuh buah UPT (dikelola oleh Unit
(dikelola oleh departemen atau pemerintah daerah) dan sisanya sebanyak 86 buah
kelompok, yaitu museum nasional, museum provinsi, dan museum lokal. Museum
nasional adalah museum yang koleksinya mewakili dan berkaitan dengan seluruh
wilayah negara dan bernilai nasional. Museum provinsi adalah museum yang
koleksinya mewakili dan berkaitan dengan salah satu provinsi tertentu, sedangkan
museum lokal adalah museum yang koleksinya mewakili dan berkaitan dengan
wilayah kabupaten atau kotamadya saja (Dinas Kebudayaan Provinsi DIY 2004, II-
3).
Sebagai badan yang mempunyai tugas dan kegiatan untuk memamerkan dan
penting bagi kebudayaan dan ilmu pengetahuan, museum mempunyai fungsi antara
lain:
5. Objek wisata,
9. Sarana untuk bertaqwa dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kepala Museum
sebagai koordinator dan penanggung jawab pengelolaan museum. Tata usaha dan
berfungsi sebagai penganalisis koleksi yang dimiliki dan akan menjadi milik
konservasi koleksi museum dan menilai pantas tidaknya sebuah koleksi dimiliki oleh
Museum dan kepariwasataan adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan sama
lain, karena museum merupakan objek pariwisata. Hal ini tercermin dari visi
persahabatan antar bangsa. Sedangkan visi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DIY
adalah terwujudnya Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2020 sebagai daerah
wisata andalan, yang ditopang oleh budaya daerah, serta mampu memberikan
kontribusi positif bagi masyarakat dan daerah, serta turut mendukung pelestarian
nilai-nilai seni budaya dan kemanusiaan serta tertanamnya kebanggan jati diri
finansial. Dukungan dan pendanaan dari luar serta kegiatan yang menghasilkan
tidak bertentangan dengan kode etik museum. Manfaat bagi museum sebagai
institusi harus didapatkan dari penggalian pemasukan ini, namun tetap konsisten
2. Konservasi di Museum
Kegiatan konservasi terkadang membutuhkan waktu lama dan biaya yang lebih
hasil ekskavasi tersebut akan rusak bahkan data yang tersimpan didalamnya akan
hilang.
76
12):
dikonservasi kembali.
dan tidak hanya akan berhenti di lapangan saja, tetapi tetap berlanjut ke
laboratorium.
Dibandingkan dengan artefak berbahan dasar tulang, kaca, dan gerabah, artefak
yang terbuat dari bahan organik seperti kulit, kayu, dan tekstil adalah artefak yang
Penyimpanan artefak dari bahan tekstil, baik yang berasal dari hewan maupun
tumbuhan seperti wool, bulu, sutra, katun, rami, maupun rumput memerlukan
lingkungan yang khusus karena artefak tersebut rentan terhadap sinar ultra violet,
tekstil adalah 68% dan idealnya koleksi tekstil harus disimpan di dalam tempat
gelap dengan temperatur 10°c dan kelembaban 50% (Hamilton 1999b, 1, 9).
Pengaturan suhu dan kelembaban udara yang sesuai dengan sifat dan tuntutan
bahan dasar dari benda budaya sangat diperlukan. Untuk Indonesia secara umum,
77
tingkat suhu udara yang cocok dalam penyimpanan adalah antara 20°c sampai
menggunakan ventilasi yang baik sehingga suhu di dalam dan di luar gedung tetap
sama. Apabila hanya dengan ventilasi dapat terjadi tingkat kelembaban yang relatif
alat dehumidifier. Alat ini lebih cocok digunakan daripada AC karena Indonesia
adalah negara tropis yang dikelilingi laut, sehingga pada musim kemarau pun
kelembaban udara relatif tinggi. Selain dehumidifier, penggunaan silica gel juga
dengan cara menyaring debu gas yang dihasilkan zat-zat kimia, debu garam yang
dibawa angin laut dan sebagainya. Pemakaian airlock ini akan sangat membantu
2004, 39).
3. Pencahayaan di Museum
yang memiliki intensitas cahaya yang kurang, kehadiran lampu akan membantu
museum, unsur dekoratif pada elemen yang memiliki bidang rata, detail tekstur, dan
ornamen akan hilang atau tidak tampak. Cahaya juga dapat meningkatkan nilai
estetika bangunan dan ruangan museum. Detail dan elemen pada benda koleksi
menjadi lebih dominan. Cahaya juga dapat menciptakan nuansa dan karakter pada
ruangan museum, sehingga ruangan akan terlihat lebih luas atau memberi kesan
Standar penyinaran untuk sebuah museum dengan koleksi tekstil dan berbahan
kertas, sebaiknya tingkat intensitas cahaya adalah 50 lux untuk koleksi bergambar
dan 150 lux untuk koleksi tidak bergambar. Untuk koleksi yang sensitif dengan
cahaya seperti bahan tekstil, manuskrip, cat air dapat menggunakan pencahayaan
4. Pameran di Museum
Penyajian benda koleksi yang paling tepat adalah dengan menggelar pameran.
Pameran museum adalah salah satu bentuk penyajian informasi tentang benda
koleksi yang dimiliki oleh museum, dan koleksi yang dipamerkan tidak hanya
diletakkan begitu saja, tetapi semua harus diatur sedemikian rupa dan terencana,
Pameran di museum merupakan salah satu sarana belajar, maka harus diciptakan
belajar sendiri. Untuk suatu pameran harus diperhatikan adanya hal-hal yang
berkaitan dengan kebutuhan fisik intelektual dan emosional dari publiknya. Tujuan
lain dari pameran adalah untuk memberikan informasi kepada pengunjung museum
79
bentuk tata pameran, selain memerlukan hal-hal yang berhubungan dengan estetika
1994a, 1).
teknik penyajian, antara lain ukuran, tata cahaya, tata letak, tata pengamanan, label,
dan foto penunjang. Apabila standar tersebut sudah terpenuhi, maka penataan
cara penyajian benda-benda koleksi yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat
pembagian ruang mengikuti standar adalah evokatif: 10% x ruang; edukatif: 20% x
ruang; artistik: 30% x ruang; dan kosong: 40% x ruang (Dwiyanto 1998b, 5).
dalam ruang pameran permanen. Namun rotasi koleksi pameran harus tetap
diagendakan secara tetap dan tidak terlalu lama sehingga menghindarkan museum
80
dari citra statis dan tanpa gairah. Di dalam pembagiannya, koleksi yang dipamerkan
maksimal adalah 2/3 dari seluruh koleksi dan sisanya (1/3) disimpan di ruang
penyimpanan koleksi.
pameran khusus dan pameran keliling. Pameran tetap merupakan usaha atau
kegiatan penyajian koleksi untuk jangka waktu lima tahun, berdasarkan sistem dan
adalah pameran dengan jangka waktu tertentu dan variasi waktu yang relatif singkat
dengan mengambil tema khusus mengenai suatu unsur kebudayaan dan atau
Pameran pameran keliling sebagai usaha untuk menyajikan koleksi dalam jangka
waktu tertentu dan variasi waktu yang relatif singkat dengan mengambil tema
khusus mengenai suatu unsur kebudayaan atau suatu kegiatan yang berhubungan
Sementara itu, pendapat Michael Belcher yang dikutip dalam artikel Herreman
Pameran jangka pendek untuk pameran dengan jangka waktu antara satu hingga
tiga bulan, pameran jangka menengah untuk pameran dengan jangka waktu antara
tiga hingga enam bulan, dan pameran jangka panjang untuk pameran dengan
81
jangka waktu diatas enam bulan hingga tak terbatas. Jenis displai yang disajikan
3. rekonstruksi,
baik yang berkaitan secara langsung dengan koleksi maupun dengan tema
antara lain:
gambar komik.
Foto 3.2: display dengan media panil pada Museum Bank Indonesia, Jakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
a. bendanya
82
b. penataan ruang
c. rekontruksi
d. diorama
3. Audio Visual
Foto 3.4: display audio visual pada Museum Bank Indonesia, Jakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
83
4. Virtual Display
Penggunaan teknologi dalam bidang pameran saat ini sudah sangat maju.
Beberapa museum sudah menyediakan layanan QTVR atau Quick Time Virtual
Reality yaitu sebuah fasilitas teknologi yang disediakan oleh museum berupa
luas melalui jaringan internet, seperti yang telah dilakukan oleh Museum Louvre,
memberikan informasi yang mendidik lewat koleksi yang dimilikinya sehingga akan
sekedar melihat koleksi dalam vitrin-vitrin museum. Dalam hal ini museum
84
imajinasi dan kepekaan. Pengembangan imajinasi dan kepekaan ini dapat dilakukan
melalui kegiatan:
2. Kegiatan ceramah,
Sebelumnya, museum hanya dikunjungi oleh para pelajar, itupun karena program
dari sekolah yang mewajibkan mereka untuk mengunjungi museum. Saat ini di
bangunan tua, dan suasana tempo dulu. Tujuan komunitas ini adalah sebagai
1. Registrasi
masuknya koleksi serta pendeskripsian koleksi tersebut secara singkat, jelas, dan
sesempurna mungkin.
85
lebih baik serta tertib sesuai ilmu permuseuman. Apabila koleksi dikelola dengan
baik, maka koleksi akan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk pengamanan
koleksi sesuai dengan tujuan awal didirikannya sebuah museum, yaitu sebagai
Awal penanganan benda setelah benda itu resmi menjadi milik koleksi adalah
suatu kegiatan pencatatan tentang koleksi meseum yang sangat diperlukan untuk
penelitian lebih lanjut karena merupakan sumber informasi awal dari benda koleksi
tersebut. Kegiatan ini harus dilakukan oleh petugas pencatat koleksi yang biasa
pengamanan dan mengetahui secara cepat seluruh kekayaan museum yang berupa
koleksi. Selain itu juga, registrasi merupakan pendataan yang pertama sebagai
Setiap museum hanya memiliki satu macam buku registrasi koleksi yang
mempunyai kedudukan sebagai buku induk dan dikelola oleh seorang registrar, di
bawah tanggung jawab bagian tata usaha, serta dua macam buku inventaris
koleksi. Buku inventaris koleksi terdapat dua macam, yaitu buku induk inventaris
koleksi dan buku inventaris koleksi. Buku induk inventaris koleksi dikelola oleh
kepala seksi koleksi, sedangkan buku inventaris koleksi dikelola oleh staff koleksi
1. 1. Standar Buku Registrasi, Buku Induk Inventaris, dan Buku Inventaris Koleksi.
koleksi museum. Buku ini memuat semua data awal setiap benda yang sudah resmi
86
menjadi milik museum. Hal ini tidak mempermasalahkan apakah koleksi tersebut
hasil pembelian, hibah, titipan, sitaan, hasil penelitian, dan hasil tukar menukar.
Tetapi yang perlu ditekankan adalah bahwa benda tersebut sudah diteliti dan
diseleksi sehingga menjadi koleksi museum dan benda itu resmi menjadi milik
museum.
Sedangkan fungsi dari buku induk inventaris koleksi dan buku inventaris koleksi
koleksi.
Agar mencapai hasil yang baik dalam pencatatan inventaris koleksi maka perlu
belakang koleksi.
2. Koleksi yang diterima registrar harus segera dicatat dalam buku induk
inventaris koleksi berdasarkan catatan pada kartu yang diterima dari registrar.
3. Isi catatan pada kolom buku inventaris harus lengkap pada saat pengisian
(nomor registrasi, nomor inventaris, dan catatan lain pada kolom yang
tersedia).
4. Jika semua data telah dicatat, kartu yang berasal dari registrar harus
Nomor inventaris itu akan dicatat dalam buku registrasi oleh registrar.
5. Catatan pada kolom uraian singkat dalam buku inventaris harus lengkap/
koleksi.
87
6. Nomor inventaris koleksi yang ditulis dalam buku inventaris harus sama
1. Penomoran
klasifikasi dan jumlah koleksi dalam satu jenis koleksi, kemudian diikuti oleh nomor
2. Klasifikasi
menurut disiplin ilmu, sub disiplin ilmu, serta berdasarkan jenis, bahan, asal daerah,
3. Katalogisasi Koleksi
maupun visual, serta menguraikan indentifikasi koleksi pada lembaran kerja yang
katalog koleksi yang berisi bahan informasi tentang koleksi dan latar belakang
secara lengkap serta dapat dijadikan sumber penelitian dan bahan publikasi.
4. Pengukuran Koleksi
Pengukuran koleksi dilakukan oleh petugas museum, baik pada saat benda akan
oleh petugas museum yang bertugas sebagai tim survei dan pengadaan koleksi,
5. Pemotretan Koleksi
pemotretan koleksi dilakukan mulai dari saat pengadaan koleksi (untuk laporan),
dokumentasi dalam pengelolaan koleksi, bahkan pada setiap koleksi yang akan dan
media film analog maupun digital, baik dalam hitam putih maupun berwarna.
6. Berita Acara
Berita acara adalah sebuah keterangan resmi tentang status atau keberadaan
sebuah koleksi yang ditandatangani dua pihak beserta saksi, atas sepengetahuan
penanggung jawab koleksi. Berita acara biasanya dibuat dengan pihak luar atau
antar penanggung jawab pengelola koleksi di museum. Berita acara dibuat oleh tim
12):
Buku registrasi dan buku inventaris koleksi bersifat dokumentar dan monumental
sehingga harus dicetak khusus dengan huruf judul buku yang besar dan
proposional. Tulisan judul buku dan logo pada sampul pertama dengan tinta emas.
atas sampul.
Penulisan judul buku hanya dilakukan pada sampul pertama dan kedua. Sampul
pertama dari kerta tebal berlapis kain linen berwarna biru tua, sedangkan sampul
Cara penulisan pada judul adalah pada sampul pertama hanya terdapat judul
dan logo. Kemudian pada sampul kedua, selain terdapat tulisan utama berupa judul
buku dan logo, pada bagian bawah terdapat tulisan Departemen Kebudayaan dan
menggunakan kertas HVS 80 gram. Pada lembar isinya terdapat kolom-kolom isian
dan tulisan kepala kolom yang sudah dicetak. Di luar kolom harus bersih, kecuali
tulisan nomor halaman di kanan atas. Luas halaman efektif setelah dikurangi
c. Kolom horizontal untuk tulisan kepala atau jarak garis horizontal pertama
d. Kolom halaman atau jarak garis isian adalah 0,7 cm. Garis isian jauh
e. Kolom vertikal
90
Harga 3 cm
Keterangan 4 cm +
Panjang halaman efektif horizontal 49 cm
Tabel 3.3: Ukuran kolom buku registrasi dan koleksi.
91
3. Harus dapat dijadikan dokumen, dalam arti sebagai bukti nyata dan
2. Unik, merupakan benda yang memiliki ciri khas tertentu karena dalam jangka
3. Hampir punah, merupakan benda yang sulit ditemukan karena dalam jangka
2. Dokumentasi
museum. Apabila objek museum tidak mempunyai keterangan tertulis perlu dicari
untuk melindungi data koleksi. Dokumentasi koleksi dibagi dalam dua kategori
objek pada tempat yang tepat dan penting di dalam kebudayaan dan
koleksi
↓
nomor registrasi
buku induk registrasi
nomor inventarisasi
kartu registrasi
label registrasi
↓
buku induk inventarisasi
kartu inventarisasi
↓
kartu katalog
↓
kartu simpan/ kartu kontrol
Tabel 3.6: Prosedur administrasi koleksi.
sebagai koleksi museum, calon koleksi tersebut akan diberikan nomor registrasi.
Selanjutnya calon koleksi akan diteliti oleh tim ahli yang terdiri dari seksi koleksi,
seksi edukasi, dan seksi preparasi. Apabila oleh tim ahli, calon koleksi tersebut
94
disetujui untuk menjadi koleksi museum, maka dicatat ke dalam buku induk
registrasi yang dikelola oleh registrar dan memperoleh nomor inventarisasi. Setelah
itu koleksi akan disertakan kartu registrasi dan label registrasi. Kemudian koleksi
Selanjutnya koleksi dicatat ke dalam buku induk inventaris yang dikelola oleh
koodinator koleksi. Kemudian data koleksi tersebut akan disalin secara singkat ke
dalam kartu inventarisasi. Apabila dikemudian hari koleksi tersebut diteliti secara
ilmiah, maka hasil penelitian koleksi tersebut akan disertakan pada kartu katalog.
Untuk memudahkan proses pencarian, maka pada tahap terakhir, koleksi akan
Awal penanganan benda setelah benda itu resmi menjadi milik koleksi adalah
suatu kegiatan pencatatan tentang koleksi meseum yang sangat diperlukan untuk
penelitian lebih lanjut karena merupakan sumber informasi awal dari benda koleksi
tersebut. Kegiatan ini harus dilakukan oleh petugas pencatat koleksi yang biasa
pengamanan dan mengetahui secara cepat seluruh kekayaan museum yang berupa
koleksi. Selain itu juga, registrasi merupakan pendataan yang pertama sebagai
buku yang disebut buku registrasi. Buku ini memuat semua data awal setiap benda
yang sudah resmi menjadi milik museum. Hal ini tidak mempermasalahkan apakah
koleksi tersebut hasil pembelian, hibah, titipan, sitaan, hasil penelitian, dan hasil
tukar menukar. Tetapi yang perlu ditekankan adalah bahwa benda tersebut sudah
diteliti dan diseleksi sehingga menjadi koleksi museum dan benda itu resmi menjadi
milik museum.
95
Buku inventaris terdiri dari buku induk inventaris koleksi dan buku inventaris
koleksi. Fungsi dari buku inventaris antara lain (Direktorat Permuseman 1994b, 10):
koleksi.
Agar mencapai hasil yang baik dalam pencatatan inventaris koleksi maka perlu
belakang koleksi.
2. Koleksi yang diterima registrar harus segera dicatat dalam buku induk
registrar.
3. Isi catatan pada kolom buku inventaris harus lengkap pada saat pengisian
(nomor registrasi, nomor inventaris dan catatan lain pada kolom yang
tersedia).
4. Jika semua data telah dicatat, kartu yang berasal dari registrar harus
Nomor inventaris itu akan dicatat dalam buku registrasi oleh registrar.
5. Catatan pada kolom uraian singkat dalam buku inventaris harus lengkap/
koleksi.
6. Nomor inventaris koleksi yang ditulis dalam buku inventaris harus sama
3. Label
7):
3. label harus membantu daya ingat pengunjung kepada sesuatu hal yang
5. label siap untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang ingin diketahui
oleh pengunjung,
Jenis label pada umumnya terdiri dari 6 jenis, yaitu (Direktorat Permuseuman
1993, 11-15):
1. Label Judul
pameran lebih menarik dan memberikan informasi awal tentang tema apa
yang dipamerkan.
3. Label Pendahuluan
Label ini berisi tentang penjelasan penting pada suatu pameran, dan
merupakan penjelasan awal dari apa yang dipamerkan atau dari tema
pelabuhan itu sendiri, sehingga menjadikan nusantara pada waktu itu sudah
4. Label Grup
3.8, label grup pada salah satu koleksi Museum Sonobudoyo ini memberikan
keterangan tujuh contoh pola geometris pada batik yang berasal dari
Yogyakarta.
98
5. Label Individual
Berisi informasi yang cukup sederhana. Pada foto 3.8, label yang diberikan oleh
Museum Sonobudoyo terhadap salah satu koleksinya yang berada di ruang batik
Berisi tentang keterangan mendasar dari fakta benda tersebut seperti nama
benda, tanggal didapat atau dibeli, nama penyumbang, dan sebagainya. Seperti
pada foto 3.9, label yang diberikan oleh pihak Museum Pusat TNI AU Dirgantara
Mandala terhadap koleksi pesawat P-51 Mustang adalah memuat data tentang
negara asal, buatan pabrik, jenis, berat, panjang badan pesawat, tinggi terbang
maksimum, persenjataan, dan jumlah awak pesawat. Data dari label tersebut
Foto 3.9: Label indentifikasi pada Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, Yogyakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
100
Hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan label antara lain adalah
faktual dengan rumusan baku who, when, where, how dan way tetapi juga harus
bisa menuangkan esensi dari label ke dalam bahasa dan gaya bahasa yang
dapat dipahami oleh para pengunjung museum yang beraneka ragam latar
menyusun label dengan baik sehingga diperlukan latihan terus menerus dari
pegawai museum.
Warna pada label pada umumnya berwarna pastel seperti krem sehingga
memberikan kesan luas. Pada koleksi yang mencirikan benda religius atau
1. Struktur Organisasi
Struktur organisasi museum dalam Museum Batik Yogyakarta saat ini masih
Kepala Museum
Pengelola Museum
Seksi Edukasi
dan pendanaan museum tersebut. Saat ini hanya terdapat 4 orang pegawai
museum. Dengan rincian kepala museum dijabat oleh Bapak Hadi Nugroho sebagai
pemilik museum, sedangkan kepala tata usaha dijabat oleh Ibu Sri Purwani, dan
pengelola museum dijabat oleh Bapak Bejo Haryono, dan satu orang lagi yaitu
Prosedur administrasi koleksi baru berjalan pada tahun 2003, sejak dikelola oleh
Koleksi
↓
Nomor inventarisasi
Buku induk
inventarisasi
Kartu inventarisasi
↓
Ruang pamer
Tabel 3.8: Prosedur administrasi koleksi Museum Batik Yogyakarta.
3. Buku Registrasi
Saat ini Museum Batik Yogyakarta belum memiliki buku registrasi, hal ini
inventaris 03 yang merupakan jenis koleksi etnografika digunakan pada koleksi kain
Buku induk yang dimiliki oleh Museum Batik Yogyakarta sedikit berbeda dengan
standar yang dikeluarkan oleh Direktorat Museum. Namun hal tersebut bukan
menjadi masalah yang berarti, karena perbedaan hanya terletak di ukuran kertas
yang dipakai sedangkan isi seluruh kolom sama. Saat ini buku induk inventaris
Buku inventaris koleksi Museum Batik Yogyakarta terdiri dari belum mengalami
proses penjilidan. Buku ini masih berupa lembaran kertas ukuran kuarto. Lembaran
ini dikumpulkan dalam map. Sebagian besar koleksi museum sudah tercatat dalam
buku ini
6. Kartu Registrasi
Kartu registrasi pada Museum Batik Yogyakarta saat ini baru mencakup pada
seluruh koleksi batik saja yang berjumlah 500, sedangkan kartu simpan untuk
koleksi lain sedang dalam tahap pengerjaan. Pada bagian belakang kartu simpan
terdapat kolom uraian singkat yang biasanya memuat data tentang teknik
7. Katalogisasi Koleksi
Pembuatan katalog pada Museum Batik Yogyakarta belum terlaksana, hal ini
pada koleksi tersebut. Sedangkan pada koleksi di Museum Batik Yogyakarta belum
dilakukan penelitian pada seluruh koleksinya, sehingga hal ini akan menjadi sia-sia
saja.
8. Label
Label yang digunakan dalam Museum Batik Yogyakarta menggunakan label jenis
individu karena semua koleksi berdiri sendiri. Label ini menggunakan warna dasar
putih dengan label yang berwana hitam, namun di beberapa label, warna label telah
memudar. Label ini memuat data nomor inventaris, objek, pola, warna, bahan,
teknik proses, daerah asal, ukuran, catatan, dan nama pembuat. Label ini dilengkapi
9. Pemotretan Koleksi
Perekaman data koleksi dalam bentuk visual di museum belum dapat terlaksana.
Tidak tersedianya fasilitas berupa kamera dan mahalnya biaya produksi foto
menjadikan salah satu alasan kenapa pemotretan koleksi hingga saat ini belum
dapat terlaksana, padahal foto koleksi yang tercantum dalam kartu simpan sangat
penting dan akan memudahkan proses pencarian koleksi bila sewaktu-waktu koleksi
tersebut hilang.
Untuk museum yang sudah siap untuk memiliki sistem manajemen koleksi
media foto, sebaiknya menggunakan foto dengan resolusi yang tinggi minimal 3
mega piksel dan menggunakan format foto terbaik seperti TIFF. Format foto TIFF
tidak mengalami penurunan kualiatas sehingga warna dan detail gambar yang
diperoleh tetap sebaik benda aslinya. Foto dengan format ini, disimpan pada pusat
data sistem manajemen koleksi museum dan diduplikat ke dalam VCD atau DVD
dan lokasi penyimpanan berada di luar museum, sebagai sebuah tindakan preventif
foto dengan format JPEG yang telah mengalami kompresi sehingga ukuran filenya
lebih kecil.
pengukuran koleksi hanya dilakukan oleh tim survei dan pengadaan alat, registrar,
dan kurator. Kendala internal adalah sedikitnya SDM museum ini sendiri.
106
Berita acara digunakan oleh pihak museum digunakan pada saat koleksi
museum dipinjam oleh pihak luar, sedang dilakukan perbaikan, atau sedang berada
pada Museum Batik Yogyakarta. Sampai sat ini museum masih menggunakan
mesin tik yang berjumlah 1 unit. Padahal jika museum ini memiliki komputer, akan
banyak sekali kegiatan di museum yang dapat dilakukan dengan teknologi ini, mulai
penyimpanan data dalam format digital, dan banyak lagi keunggulan bila
BAB IV
Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk mencari keserasian antara sistem registrasi
dan dokumentasi yang diterapkan Musem Batik Yogyakarta dengan standar yang
ini, dapat menjadi pijakan bagi pengelola museum untuk pengembangan museum di
evaluasi awal (pre-evaluasion), evaluasi proses, dan evaluasi akhir (2005, 224).
Evaluasi ini juga menggunakan pelaku dari luar program dalam hal ini dari luar
dokumen.
Variabel yang akan diuji berjumlah 12 buah meliputi buku registrasi, buku induk
No. Subjek Standar Direktorat Museum Penerapan di Museum Batik Yogyakarta Nilai
REGISTRASI
80 gram.
e. memuat data:
2. nomor inventaris
3. nama koleksi
4. uraian singkat
5. tempat pembuatan
6. tempat perolehan
7. cara perolehan
8. ukuran
10. harga
11. keterangan
INVENTARISASI
cm, isi 250 halaman dengan kertas 21.5 cm, isi 100 halaman dengan
9. ukuran 8. literatur
a. Memuat data:
3. nama koleksi
4. deskripsi
6. tempat asal
4. katalogisasi Koleksi Belum memiliki katalogisasi koleksi 1
7. kurun waktu/ zaman
8. cara pengadaaan
9. tanggal pengadaan
7. ukuran 7. ukuran
9. keterangan 9. keterangan
DOKUMENTASI
Koleksi Koleksi
Prosedur Administrasi ↓ ↓
6. 2
Koleksi Nomor registrasi Nomor inventarisasi
Kartu registrasi ↓
Kartu inventaris
Kartu katalog
a. Label harus memiliki “daya tarik”. a. Label sudah memiliki “daya tarik”.
b. Label harus memiliki “daya ikat”. b. Label sudah memiliki “daya ikat”.
c. Label harus membantu daya ingat c. Label sudah membantu daya ingat
7. Label pengunjung kepada sesuatu hal yang pengunjung kepada sesuatu hal 3
kurator.
dibuat oleh tim pengadaan koleksi dibuat oleh tim pengadaan koleksi
↓ ↓
↓ ↓
Disimpan
TOTAL 22
Alasan penilaian dalam matrik metode evaluatif sistem registrasi dan dokumentasi
Museum ini belum diterapkan pada Museum Batik Yogyakarta. Hal ini
terdapat perbedaan pada ukuran, berat, dan jumlah kertas, serta buku yang
Museum ini sudah diterapkan pada Museum Batik Yogyakarta. Namun masih
Museum ini sudah diterapkan dengan baik oleh Museum Batik Yogyakarta.
sumber daya manusia yang dimiliki, maka tidak semua tahapan dapat
terlaksana.
Museum ini belum diterapkan. Gambar dari koleksi sangat penting artinya,
visual dari koleksi ini, akan memudahkan tugas pihak yang berwajib untuk
10. Subjek Berita Acara mendapatkan nilai 3, karena standar Direktorat Museum
kekuatan secara hukum untuk menuntut kepada pihak berwajib bila terjadi
Yogyakarta.
119
Ketentuan Nilai:
Ketentuan Kategori:
Analisis data dinyatakan dalam sebuah predikat yang menunjuk pada pernyataan
keadaan, ukuran kualitas. Oleh karena itu, hasil penelitian yang berupa bilangan
tersebut harus diubah menjadi predikat, yaitu: kurang, cukup, baik, dan sangat baik.
Batik Yogyakarta dengan standar Direktorat Museum mendapatkan total nilai 22,
YOGYAKARTA
Untuk mencapai bentuk museum dapat menarik minat masyarakat luas, bukan
saja para pencinta sejarah dan budaya batik saja, museum ini memerlukan
1. Buku Registrasi.
fungsi buku ini yang sangat vital. Meskipun tidak sesuai dengan ukuran standar yang
dikeluarkan oleh pihak Direktorat Museum, minimal buku ini memiliki format yang
2. Katalogisasi Koleksi
koleksi, karena pada tahapan ini merupakan kegiatan ilmiah, berupa penelitian lebih
lanjut dari koleksi museum. Sebaiknya pihak museum bekerja sama dengan instansi
SDM.
3. Label
Label pada Museum Batik Yogyakarta sebaiknya dikemas dengan baik lagi, dan
tidak hanya disajikan seperti saat ini, karena akan menambah minat pengunjung
untuk membacanya.
4. Pemotretan Koleksi
5. Pengukuran Koleksi
dengan faktor lainnya seperti buku registrasi koleksi, buku induk inventaris koleksi,
buku inventaris koleksi, dan label. Sehingga dengan pembenahan di bidang ini, akan
6. Aplikasi Komputer
Saat ini, hampir sebagian besar kegiatan administrasi dilakukan dengan komputer
karena keunggulan yang dimilikinya, antara lain: kecepatan, ketelitian, dan ukuran
berjumlah 1.219 buah, akan sangat bijaksana bila Museum Batik Yogyakarta
Rekomendasi untuk bidang diluar sistem registrasi dan dokumentasi, antara lain:
Sumber daya manusia di Musem Batik saat ini hanya memiliki 4 orang tenaga
tetap, dan beberapa tenaga kerja honorer. Di antara 4 orang tersebut, hanya 1 orang
yang memiliki pengetahuan yang memadai dalam bidang Museum, yaitu Bapak bejo
Haryono, karena beliau adalah mantan Kepala Museum Sonobuyodo. Bila hanya
ada 1 orang saja yang ahli dibidangnya tentunya perkembangan museum ke arah
yang lebih baik tetap belum dapat maksimal, sehingga diperlukan beberapa tenaga
2. Organisasi Museum
kinerja yang optimal sebaiknya Museum Batik Yogyakarta menambah SDM dengan
3. Manajemen Pengelolaan
standar tersebut tentunya juga akan memberikan banyak kemudahan bagi pihak
pembuatan buku registrasi, buku induk inventaris koleksi, katalogisasi koleksi, dan
memadai, sehingga diharapkan kembali agar pihak Museum Batik Yogyakarta dapat
tetap terjamin
123
BAB V
PENUTUP
Museum Batik Yogyakarta yang berada di jalan Dr. Sutomo nomor 13 Yogyakarta
merupakan salah museum khusus yang menyimpan koleksi batik kuno hingga modern
dengan jenis batik keraton maupun pesisir. Koleksi yang tersimpan di museum ini
terdiri dari koleksi etnografi dan koleksi teknologika yang mencapai 1.219 buah. Koleksi
teknologika pada museum ini antara lain: canting, cap, talam, wajan, sarangan,
Koleksi yang mencapai ribuan untuk sebuah museum swasta dengan luas 400 m2
Museum sebagai instansi pemerintah yang mempunyai tugas dan wewenang di bidang
sehingga administrasi koleksi lebih baik dan tertib sesuai ilmu permuseuman.
yang harus diperhatikan, antara lain: buku registrasi, buku induk inventarisasi koleksi,
Direktorat Museum wajib melaksanakan sistem registrasi dan dokumetasi tersebut, agar
peran museum sebagai: pusat dokumentasi dan penelitian ilmiah, pusat penyaluran
ilmu untuk umum, pusat penikmatan karya seni, pusat perkenalan kebudayaan antar
daerah dan antar bangsa, objek wisata, media pembinaan pendidikan kesenian dan
ilmu pengetahuan, suaka alam dan suaka budaya, sarana untuk bertaqwa dan
sudah berjalan cukup baik walaupun masih terdapat kekurangan di beberapa bidang.
Beberapa standar dalam sistem registrasi dan dokumentasi belum dapat terlaksana di
museum ini, antara lain buku registrasi, katalogisasi koleksi, pemotretan koleksi dan
aplikasi komputer. Sistem lainnya seperti prosedur administrasi koleksi, dan pengukuran
koleksi sudah berjalan namun belum secara maksimal, hal ini dikarenakan beberapa hal
seperti kurangnya sumber daya manusia di museum dan keterbatasan dana untuk
Museum. Untuk penerapan buku inventaris koleksi, kartu registrasi, label, dan berita
Namun begitu diharapkan Museum Batik Yogyakarta tetap terus berbenah diri untuk
terus meningkatkan kualitasnya, baik dari segi fisik maupun non-fisik sehingga akan
meningkatkan jumlah pengunjung museum, selain tugas pemerintah dalam hal ini
masyarakat luas.
125
Allan, Douglas A. 1978. “The Museum And It’s Functions”. Dalam The Organization
Of Museums: Practical Advice. Paris: UNESCO, Hlm. 13.
Anas, Binarul dkk. 1997. Indonesia Indah – Batik. Jakarta: Yayasan Harapan Kita.
Baskara, Bima 2006. “Jelajah Hikayat Batik di Museum Batik dan Sulaman”. Dalam
surat kabar Kompas. Jakarta: Kompas Media Nusantara, Hlm. H.
Biro Pusat Statistik Kota Yogyakarta 2007. Kecamatan Danurejan Dalam Angka 2006.
Yogyakarta: Biro Pusat Statistik Kota Yogyakarta.
Daryanto 1981. Teknik Pembuatan Batik dan Sablon. Semarang: C.V Aneka.
Davis, Hester 1992. “Is An Archeological Site Important To Science Or To The Public,
An Is There A Difference”. Dalam Heritage Interpretation Vol.I, The Natural &
Built Environment. Eds. David Uzzell. London: Belhaven Press, Hlm. 97.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata 2007. Tugas Pokok dan Fungsi Eselon 2
2007. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Diperoleh dari
http://www.budpar.go.id/page.php?ic=572&id=1486. 12 November 2007.
____________ 1994b. Pedoman Buku Registrasi, Buku Induk Inventaris dan Buku
Inventaris Koleksi Museum di Indonesia. Jakarta: Proyek Pembinaan
Permuseuman.
Direktorat Museum 2007. Apakah itu Museum. Direktorat Museum. Diperoleh dari
http://www.museum-
indonesia.net/index.php?option=com_content&task=view&id=2&Itemid=69.
22 November 2007.
Djumena, Nian S. 1990. Ungkapan Sehelai Batik: It’s Mistery and Meaning.
Jakarta: Djambatan.
Djumena, Nian S.1990. Batik dan Mitra, Batik and it’s Kind. Jakarta: Djambatan.
Edleson, Marij dan Soedarmadji J.H Damais 1990. Sekaring Jagad Ngayogyakarta
Hadiningrat. Jakarta: himpunan WASTRAPENA.
Lewis, Geoffrey 2004. “The Role Of Museums And the Professional Code Of
Ethics”. Dalam Running a Museum: A Practical Handbook. Ed. Patrick J.
Boylan. Paris: ICOM, Hlm. 2.
Lombard, Denys 2000. Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu, Jaringan Asia,
bagian II. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Majalah Femina, nomor 28/XIII-23 Juli 1985. Simbolisme, Motif, dan Warna Batik.
Jakarta: PT. Gramedia.
128
Majalah Rumah, tanpa tahun. Edisi Lighting: Mempercantik Interior dan Eksterior .
Jakarta: PT. Gramedia.
Nurbiajanti, Siwi 2004. Meraih Kembali Masa Kejayaan Batik Lasem. Kompas Cyber
Media. Diperoleh dari http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0404/22/ekora/970856.htm.10 Oktober 2007.
Nurjanti, Nunung 1993. “Batik Yogyakarta Abad XX, Fungsi dan Perkembangannya”.
Tesis. Program Pasca Sarjana. Yogyakarta: UGM.
Pinardi, Slamet 1992. “Sektor Industri Pada Masa Majapahit” dalam 700 Tahun
Majapahit, (1293-1993) Suatu Bunga Rampai. Surabaya: CV. Wisnu Murti
Surabaya, Hlm. 211.
Setiawan, Adi Dian 2006. “Studi Etnoarkeologi Terhadap Pewarna Alami Batik di
Beberapa Industri Batik Tradisional di Yogyakarta”. Skripsi. Fakultas Ilmu
Budaya. Yogyakarta: UGM.
Sulistyo, Djoko Budhi 2002. Visi Misi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Makalah
disampaikan dalam Sarasehan Pengelolaan Museum Se-DIY oleh Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi DIY. 24 Agustus. Yogyakarta.
Susanto, Sewan 1980. Seni Kerajinan Batik di Indonesia. Yogyakarta: Balai Penelitian
Batik dan Kerajinan Pendidikan Industri.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia 2001. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Utomo, Rizon Pamardhi dan Indro Sulistyanto 2003. Peran Swasta dan Masyarakat
Dalam Pengembangan Museum di Provinsi DIY. Makalah disampaikan
dalam Sarasehan Permuseuman Provinsi DIY. Yogyakarta: 16 Desember
2003.
Wargatjie, S.N. 2003. Batik Lasem, Nasibnya Kini. Kompas Cyber Media. Diperoleh
dari http://www.kompas.com/kompascetak/0305/25/keluarga/295393.htm.
10 Oktober 2007.
Wibowo, H.J., dkk. 1996. Sistem Pengetahuan Tradisional Dalam Bidang Mata
Pencaharian di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional.
Yusuf, Achmad dkk. 1988. Ragam Hias Tradisional Dari Masa ke Masa. Yogyakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan,
Direktorat Permuseuman.
130
DAFTAR NARASUMBER
Usia : 59 tahun.
2. Nama : Hadisuwito.
Usia : 68 tahun.
KODE
SUB NAMA KOLEKSI TEMPAT TEMPAT CARA TGL/THN
NO. INVENTARIS NO. REGISTRASI URAIAN SINGKAT UKURAN PENEMPATAN KETERANGAN
JENIS PEMBUATAN PEROLEHAN PEROLEHAN MASUK
KOLEKSI UMUM KHUSUS
KARTU REGISTRASI 2 cm
7. Ukuran 1,5 cm
9. Keterangan
4 cm
14 cm
Skala
0 0,5 1 2 3 4
URAIAN SINGKAT
18 cm
14 cm
Skala
0 0,5 1 2 3 4
DAFTAR ISTILAH
Anulis : Membatik.
membatik.