You are on page 1of 46

(G)LOKALISASI VERSUS GLOBALISASI

Achmad Charris Zubair


Dosen Fakultas Filsafat UGM Ketua Umum Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta

MENGAPA ADA WACANA MEMBANGKITKAN (G)LOKALISASI?

ANALOGI: Kita mendapat undangan, dress code: PSL, berarti jas lengkap dengan dasi. Kita merasa sumuk, tapi memakai kain sorjan lengkappun sudah tidak mungkin lagi. Akhirnya diputuskan memakai hem batik lengan panjang. Lumayan cocok dan sudah cukup resmi.

ZAMAN MODERN
Manusia sekarang hidup pada zaman modern ditandai dengan penggunaan hasil teknologi tinggi. Terutama pada teknologi transportasi dan komunikasi. Teknologi mempengaruhi seluruh bidang kehidupan manusia yang bertempat tinggal di belahan manapun di dunia ini.

MASYARAKAT GLOBAL YANG INDIVIDUALISTIK


Oleh Marshall McLuhan disebut sebagai masyarakat global. Selain hidup di era teknologis, manusia modern juga hidup dalam suasana individualistik, yang cenderung mementingkan individu daripada sosial

LIBERALISTIK DAN HUMANISTIK

Bersifat liberalistik, mengembangkan kebebasan mengambil keputusan tindakan dalam bidang apapun, serta humanistik, menghargai manusia lebih dari segalanya

SISTEM KAPITALISME EKONOMI

Di bidang ekonomi, manusia modern mengembangkan sistem kapitalisme, prinsipnya menghargai kebebasan berusaha, tanpa campur tangan di luar mekanisme pasar itu sendiri.

KOSMOPOLITANISME VERSUS NASIONALISME

Di bidang gaya hidup, manusia bersikap lebih merasa sebagai anggota masyarakat dunia (kosmopolitanisme) daripada sebagai anggota masyarakat bangsa (nasionalisme).

PILAR DUNIA MODERN

Pertama, ilmu pengetahuan mendorong teknologi tinggi yang menyebabkan manusia bersifat sekuler; lebih mementingkan dunia. Kedua, pandangan yang berpaham liberalisme-humanisme, Ketiga, sistem kapitalisme dalam ekonomi.

ABAD KEGELAPAN

Masa abad tengah gereja menguasai wilayah akal budi manusia, otoriter, mematahkan setiap argumen baru di bidang ilmu yang bertentangan dengan pandangan gereja. Dikuasai juga sistem perekonomian. Bekerjasama dengan raja-raja, Dikembangkan sistem merkantilisme sebagai sistem ekonomi yang sepenuhnya dikendalikan negara atau raja. Hirarkhi dalam gereja Katholik pada masa itu, juga sangat ketat dalam pengaturan seluruh sistem kehidupan manusia. Abad pertengahan dikenal dengan sebutan abad kegelapan, karena dianggap sebagai masa yang sangat menghambat kemajuan manusia.

ANTROPOSENTRISME

Munculnya era globalisasi yang berasal dari barat tidak lepas dari perkembangan antroposentrisme dan positivisme. Disusul gerakan renaisans, humanisme, dan rasionalisme, bahkan ateisme-materialisme yang mencapai puncak pada abad 18 yang dikenal dengan sebutan zaman Aufklarung atau Enlightenment. Agama dianggap menjadi penghambat otonomi manusia, muncul paham sekularisme sebagai sumber moral manusia modern.

LOKALISASI VERSUS GLOBALISASI

Muncul term Kebudayaan tradisional yang bersifat lokal sebagai penanding Globalisasi dan Globalisme. Secara denotatif term lokal menunjukkan ketidakuniversalan, partikularitas dan bahkan temporal. Term global menunjukkan adanya universalitas, holistik dan teruji. Secara konotatif globalisme menunjukkan pada stantardisasi gaya hidup bahkan nilai, degradasi moral, bahkan penindasan. Lokalisme tradisional hendak diangkat kembali sebagai alternatif nilai yang mampu membantu pemecahan masalah kemanusiaan.

kebudayaan sebuah keutuhan sistemik:

nilai budaya, pandangan hidup, norma, moral, adat istiadat, hukum, perilaku dan ekspresi kebudayaan.

KEUNIKAN MANUSIA
Setiap manusia, secara individual dan sosial, memiliki kondisi dan pengalaman yang berbeda, sehingga nilai, norma, perilaku serta ekspresi kebudayaannya akan berbeda pula. Konsekuensi kemajemukan budaya pada dasarnya merupakan bagian tak terelakkan dari keniscayaan kehidupan manusia

KEBUDAYAAN SEBAGAI SOLUSI

Kebudayaan berkembang sebagai jawaban yang tepat atas persoalan hidup manusia. disadari bahwa seluruh sub-sistem kebudayaan merupakan syarat dinamikanya. Masing-masing masyarakat memiliki persoalan dan pengalaman yang berbeda, tidak bisa saling memaksakan kehendak untuk menyamakan norma, perilaku dan ekspresi kebudayaan. Tidak ada standar baku bagi kebudayaan, tidak boleh ada klaim politik, kekuasaan, ekonomi atas kebudayaan. Kebudayaan memiliki kedaulatan berdasarkan kesinambungan historis dari internal masyarakat itu sendiri, bukan dari yang lain.

TRADISIONAL VS MODERN

Berdasarkan penjelasan di atas dikotomi antara tradisional dengan modern menjadi kurang relevan. Apalagi kalau tradisional diartikan sebagai mundur atau jelek, sementara modern berarti maju atau baik-benar. Perbedaan antara tradisional dengan modern hanyalah perbedaan dalam cara mengatasi masalah bukan ukuran majumundur, benar-salah, atau baik-buruk.

HOMINISASI DAN HUMANISASI

Kebudayaan memungkinkan manusia memperoleh gerak hominisasi, pemanusiaan manusia, di lain pihak kebudayaan merupakan proses humanisasi, peningkatan martabat manusia. Keduanya bermakna spiritual bukan fisikal.

KEBUDAYAAN SEBAGAI PROSES

Manusia menjalankan kegiatannya untuk mencapai sesuatu yang bernilai baginya dan dengan demikian tugas kemanusiannya menjadi lebih nyata. Masyarakat tradisional maupun masyarakat modern pada dasarnya telah melewati perjalanan kulturalnya melalui proses panjang, bukan loncatan-loncatan yang menyimpang dari logika budayanya.

PERBEDAAN PRINSIP

Pengertian tradisional didasarkan atas cara menjawab persoalan yang menjaga harmoni hubungan dengan alam, sesama dan dzat yang bersifat transenden, waktu mengalir secara siklus, pada dasarnya tidak membutuhkan teknologi canggih untuk hidupnya. Sementara modern adalah masyarakat bersifat otonom, perhitungan waktu ketat dan membutuhkan teknologi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.

GEGAR BUDAYA

Persoalan serius adalah perubahan mendadak dan tidak disiapkan oleh masyarakat yang bersangkutan. Misalnya, masyarakat tradisional mempunyai pandangan kosmologis yang tiba-tiba saja harus berubah, karena arus teknologi dan gaya hidup masyarakat lain, menimpa mereka. Perubahan mendadak tersebut telah membuat masyarakat seperti di langit tak bergantung, di tanah tak berpijak.

DINAMIKA ZAMAN

Kini manusia hidup dalam zaman yang berubah dan berkembang cepat, karena kemampuan manusia itu sendiri telah jauh melampaui batas dari yang dapat terkontrol oleh perhitungan kemanusiaan itu sendiri. Perubahan dan perkembangan yang di satu pihak membawa kemajuan, tetapi di pihak lain membawa kegelisahan, serta kekhawatiran manusia sendiri.

KETERASINGAN MANUSIA

Melebarnya jarak dirinya dengan sesama dan alam lingkungannya, manusia tidak lagi merasa sebagai bagian dari sosialitas dan alam semesta, tetapi telah berdiri sendiri dengan angkuh selaku individu yang mengatasi sesama dan alam lingkungan. Terjadi jarak dengan Tuhan, karena pemahaman realitas transenden yang gaib makin tak terbayang oleh rasionalitas manusia yang telah membuktikan kemandiriannya dan telah mulai merambah pada perubahan alam.

MASALAH INDONESIA

Indonesia sebagai negara dan bangsa tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh dunia tersebut di atas. Pembangunan, mengacu pada konsep modernitas yang merupakan reaksi atas sistem masyarakat abad tengah. Ukuran maju masyarakat diukur dari pertumbuhan ekonomi, penguasaan teknologi tinggi, disertai dengan ukuranukuran yang melulu bersifat kuantitatif.

BUKAN ANTI MODERNITAS

Tentu, apa yang kita konstatasikan bukan sikap anti modernitas. Diperlukan satu strategi kebudayaan sebagai upaya untuk membangun kehidupan manusia secara utuh.

JATI DIRI

Persoalannya bagaimana kita sebagai bangsa, menguasai ilmu dan teknologi tetapi dengan tidak kehilangan akarbudaya, nilainilai luhur dari agama dan moral, dengan demikian nilai-nilai kebangsaanpun tidak terpengaruh oleh dampak negatif dari modernisasi dan globalisasi. Untuk membangun masyarakat masa depan ideal dan memiliki kemampuan proaktif terhadap era ilmu pengetahuan dan globalisasi, pendidikan dasar yang matang menjadi institusi yang cukup strategis.

Indonesia bangsa dan negara dengan kemajemukan paling tinggi


Secara geografis, terdiri atas 13.667 pulau baik yang dihuni maupun yang tidak. Secara etnik, Indonesia terdapat 358 suku bangsa dan 200 sub suku bangsa. Terdapat beberapa agama (yang diakui pemerintah) dan dipeluk oleh penduduk Indonesia yakni: Islam 88,1%, Kristen dan Katolik 7,89%, Hindu 2,5%, Budha 1% dan yang lain 1%. ada pula penduduk yang menganut agama tertentu dan diyakini oleh penganutnya, kendatipun tidak ada pengakuan dari pemerintah, misalnya Konghucu, yang baru saja diakui sebagai agama. Secara latar belakang sosial, Indonesia dibangun atas dasar kultur Nusantara asli, Hindu, Islam, Kristen dan juga barat modern (lihat Soetapa 1991:1-2).

BHINEKA TUNGGAL IKA

Indonesia sendiri sejak permulaan sejarahnya telah bercorak majemuk. Oleh karena itu semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu, tepat untuk menggambarkan realitas ke Indonesiaan.

Ungkapan itu mengisyaratkan kemauan yang kuat, baik di kalangan para pendiri negara, pemimpin maupun di kalangan rakyat, untuk mencapai suatu bangsa dan negara Indonesia yang bersatu. Sekalipun terdapat unsur-unsur yang berbeda namun kemauan untuk mempersatukan bangsa mengatasi keanekaragaman itu dengan tanpa menghapuskannya atau mengingkarinya.

Keinginan bersama untuk tetap menghargai perbedaan dan memahaminya sebagai realitas kehidupan dapat menjadi potensi kesadaran etika pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia. Hal tersebut dapat membentuk kebudayaan Indonesia masa depan yang bertumpu pada kesadaran akan kemajemukan bangsa Indonesia.

Indonesia merupakan tempat bertemunya bermacam suku bangsa, latar belakang agama, latar belakang sosial, yang secara fisik dipisahkan oleh geografis yang berbeda, bahkan, kondisi geografis tersebut secara eksklusif diakui oleh etnik, agama maupun latar belakang sosial tertentu sebagai wilayah syahnya.

Keanekaragaman atau kemajemukan menjadi realitas yang harus dikembangkan menjadi potensi bangsa dan mengantisipasi agar kemajemukan atau keanekaragaman tersebut tidak menjadi masalah sosial bagi terdorongnya perpecahan bangsa.

Belajar dari Yogyakarta

Yogyakarta merupakan kota dengan historisitas yang unik. Sejak dibangun 2,5 abad yang lalu sebagai kota keraton, Yogyakarta dibangun dengan konsep filosofi Jawa-Hindu-Islam yang tercermin dalam penataan ruang fisik tata kota, serta simbol yang diembannya. Konsekuensi logisnya terbentuk ruang-ruang tertentu, klaster pemukiman tertentu, serta nilai budaya dan kesadaran kultural masyarakatnya yang berbeda dengan kota-kota lain.

YOGYAKARTA: ANTARA JAWA DAN KOLONIAL

Yogyakarta, kota dengan perkembangan serta dinamika yang menarik untuk disimak. Karena pada awalnya merupakan kota keraton Jawa di pedalaman yang diawasi oleh pemerintah kolonial. Sehingga dinamikanya bertumpu atas dua kepentingan, yaitu: kekuatan tradisional keraton dan kekuatan kolonial yang mewakili modern ala barat.

Sejak awal pertumbuhan Yogyakarta sebagai kota, sesungguhnya tidak lagi merupakan kota keraton semata-mata. Setelah keraton berdiri, rumah residen Belandapun mulai dibangun dikenal sebagai loji kebon yang di kemudian hari menjadi Gedung Agung, sebagai salah satu istana kepresidenan Republik Indonesia. Markas Reksabaya sebagai tempat prajurit keraton disaingi dengan munculnya Fort Vredeburg yang dikenal dengan loji gedhe (besar).

Orang-orang Eropa pada waktu itu bertempat tinggal di antara keraton dan beteng Vredeburg. Sebagian lagi terutama para perwira tinggal di sebelah timur beteng yang disebut dengan loji cilik (kecil). Mereka mempunyai gedung pertemuan societet yang sering diplesetkan sebagai kamar bola atau de kamer bilyard kelak dikenal sebagai gedung Seni Sono. Pernah menjadi gedung bioskop ditahun 60an, gedung pentas teater dan pameran di tahun 70an, dan sekarang menjadi bagian dari kompleks Gedung Agung, yang barangkali malah tidak fungsional.

Pecinan terletak di sebelah utara Fort Vredeburg dan Pasar sekarang disebut Ketandan, mereka sebagai penarik pajak pasar atau Tandan Pasar. Di sebelah utaranya ada kediaman dan kantor KGPAA Danuredja, Pepatih Dalem ing Karaton Ngayogyakarta. Untuk mengawasi kediaman dan aktivitas Danuredja, dibangun gedung Marlborough yang sekarang menjadi gedung DPRD Prop. DIY. Sering diduga menjadi asal nama Malioboro. Walaupun ada pendapat lain dari Peter Carey yang menyebutkan bahwa Malioboro berasal dari Malya dan Bhara berarti jalan penuh untaian bunga (Garland Bearing Street).

Ketika Yogyakarta dengan tata kota tradisional mulai nampak. Pemerintah kolonial membangun Kota Baru yang sangat Belanda. Dibangun pula prasarana fisik kota, berupa gedunggedung perkantoran, rumah kediaman pejabat, sekolah sekolah. Dirancang pula pembuatan saluran air mum tekanan tinggi, pembuatan pasar Kranggan menyaingi Beringharjo sebagai bagian tata kota tradisional.

Pengerasan jalan raya dari Tugu ke gedung Pertemuan di Malioboro. Dilakukan pembangunan stasiun dan pemasangan jalur kereta api oleh

Nederlandsch Indische Spoorweg Maatshappij (NISM) dan Staatspoor (SS). Dibangun pula jalan

penghubung antara Malioboro dengan Kotabaru yang melintasi Kali Code, yang kemudian dikenal sebagai Kerk Weg atau jalan (menuju) gereja. Perumahan gaya Eropa dibangun juga di Jetis dan Gondokusuman, di samping pemasangan jaringan listrik serta beberapa villa Belanda di Kaliurang.

Yogyakarta mengalami dinamika yang pada gilirannya lebih memperkuat identitas kota. Tumbuh berkembangnya gerakan-gerakan sosial, gerakan politik kebangsaan serta gerakan budaya, dilengkapi dengan peristiwa penting yang lain, menjadikan kota ini sebagai penyandang predikat kota perjuangan.

Tumbuh kembangnya tempat-tempat menuntut ilmu, sejak jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Juga lembaga pendidikan non-formal bahkan informal. Membuat Yogyakarta memiliki identitas sebagai kota pelajar. Tempat menuntut ilmu yang menjadi dambaan para putra terbaik dari seluruh Nusantara

Keunikan Yogyakarta sebagai kota, didukung oleh objek yang menarik di sekitarnya, baik berupa keindahan alam maupun yang bernilai kebudayaan, membuat Yogyakarta menjadi tempat yang menarik untuk dikunjungi baik oleh wisatawan domestik maupun mancanegara.

Historisitas seperti itu, yang melahirkan identitas dan predikat, membawa konsekuensi pada imej yang hendak dibangun. Kesemuanya menjadi kisi-kisi atau normatifitas bagi dinamika Yogyakarta yang terjadi.

Diperlukan sebuah gerakan budaya, yang berupa program penyadaran yang secara pro-aktif memberikan jawaban atas persoalan-persoalan yang muncul akibat perkembangan kebudayaan manusia. Kebudayaan manusia sebagai suatu proses mengadanya manusia, menunjukkan adanya dinamika dalam kehidupan manusia.

Perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia dewasa ini, yang cenderung pada dimensi materialitas, membutuhkan antisipasi kultural yang bersifat mendudukkan permasalahan pada jalur yang benar, sesuai dengan fitrah manusia yang bertransendensi.

Ada peluang untuk kembali merefleksikan perkembangan dewasa ini, dengan cara kembali ke aspirasi fundamental diri manusia, yakni pemahaman atas kesatuan antara kebenaran Tuhan, Kebajikan moral, dan keindahan.

Proses kebudayaan pada dasarnya merupakan proses yang menjaga keseimbangan alam dunia dan akhirat, lahir dan batin, jasmani dan ruhani, individu dan sosialitas. Sudah sewajarnya kebudayaan tradisional yang sarat dengan nilai-nilai luhur dapat dilindungi dan dilestarikan, tentu tanpa melupakan adanya dinamika manusia pendukungnya.

Terimakasih

You might also like