You are on page 1of 22

Oleh: Warzukni (0807101010052)

Pembimbing: dr. Anidar, Sp.A

Bells palsy: Penyebab yang paling umum dari kelumpuhan wajah unilateral selain stroke Salah satu gangguan neurologis yang paling sering mempengaruhi saraf kranial Penyebab tersering kelumpuhan wajah di seluruh dunia yaitu sekitar 60-75% dari kasus kelumpuhan wajah akut unilateral.

Insiden tahunan tercatat sekitar 11,5-53,3 kasus per 100.000 orang pada populasi yang berbeda Kebanyakan studi populasi umumnya menunjukkan kejadian tahunan dari 15-30 kasus per 100.000 penduduk Laki-laki : Perempuan = 1 : 1 ,

perempuan usia 10-19 tahun >> Orang dewasa >> Insiden pada usia >65 tahun 59 kasus per 100.000 orang Anak-anak di bawah 13 tahun 13 kasus per 100.000 orang Insiden paling rendah : usia <10 tahun Puncak insiden terutama usia 15-45 tahun.

Etiologi dan pengobatan masih bersifat kontroversial

Gangguan neurologis berupa kelemahan atau kelumpuhan nervus VII (nervus fasialis) yang bersifat: Akut

Unilateral Tanpa adanya kelainan neurologik lain.

Di masa lalu, situasi yang menghasilkan paparan dingin misalnya angin dingin atau pendingin ruangan dianggap sebagai pemicu terjadinya Bells palsy.
Teori yang dipercaya sekarang: herpes simplex virus (HSV) HSV menyebabkan infeksi primer pada bibir virus berjalan sampai ke akson saraf sensorik dan tinggal di ganglion genikulatum Pada saat tertentu, virus aktif kembali dan menyebabkan kerusakan lokal pada myelin.

Studi otopsi telah menunjukkan HSV di ganglion genikulatum pasien dengan Bells palsy. Murakami et al melakukan PCR assay menguji cairan endoneural dari nervus facialis pada pasien Bells palsy yang menjalani operasi dan menemukan HSV dalam 11 dari 14 kasus

Bells palsy pernah dilaporkan terjadi pasca pemberian imunisasi dengan inactivated trivalent influenza vaccine (TIV) dan vaksin hepatitis B virus (HBV). Rowhani-Rahbar et al menemukan bahwa tidak ada hubungannya antara imunisasi TIV, HBV ataupun vaksin lainnya dengan kejadian Bells palsy dalam interval 1-14 hari, 1-28 hari dan 29-56 hari pasca imunisasi pada anak-anak berumur 18 tahun ke bawah
Etiologi lain yang mungkin: infeksi herpes zoster, Epstein-Barr virus, cytomegalovirus, human immunodeficiency virus [HIV], Mycoplasma dan penyakit mikrovaskuler (diabetes mellitus dan hipertensi). Bell palsy juga baru-baru ini ditemukan terjadi pasca infeksi saluran pernapasan atas.

Di US, insiden tahunan Bells palsy adalah 23 kasus per 100.000 orang. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan dalam sebuah penelitian di Seckori, Jepang, pada tahun 1986, dan kejadian terendah ditemukan di Swedia pada tahun 1971. Kebanyakan studi populasi umumnya menunjukkan kejadian tahunan dari 15-30 kasus per 100.000 penduduk.

Edema dan iskemik menyebabkan kompresi nervus fasialis dalam kanal di tulang temporal. Kompresi nervus tersebut dapat terlihat pada pemeriksaan MRI. Penyebab edema dan iskemik kemungkinan adalah vasospasme perifer pembuluh darah yang memperdarahi nervus fasialis, atau mononeuritis virus. Hal ini menimbulkan edema saraf, secara sekunder mengganggu aliran kapiler dan limfe ke saraf, sehingga terjadi gangguan fungsi yang parsial atau total. Dikarenakan batas-batas yang rapat dari kanalis fasialis, maka apabila ada proses inflamasi, demielinasi, iskemik, atau penekanan, dapat mengganggu konduksi saraf di wilayah ini.

kelumpuhan atau kelemahan otot-otot wajah unilateral secara tiba-tiba. Ketika pasien mengangkat alis, dahi di sisi yang mengalami kelumpuhan tetap datar. Ketika pasien tersenyum, wajah menjadi terdistorsi dan tertarik ke sisi yang sehat Hilangnya kerutan pada dahi dan lipatan nasolabial di sisi wajah yang mengalami kelumpuhan Nyeri postaurikular Hiperakusis (sensitif terhadap suara) Nyeri pada telinga atau mastoid maupun di bagian dalam telinga Kesemutan atau mati rasa dari pipi / mulut Sulit berkedip atau menutup kelopak mata Epiphora (aliran air mata yang berlebihan) Menurunnya produksi air mata (mata kering) Nyeri okular Penglihatan kabur Gangguan pengecapan dan salivasi yang berlebihan atau berkurang

Berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan otologi: Pneumatic otoscopy dan pemeriksaan garpu tala, terutama jika terdapat tanda-tanda otitis media akut atau kronis Pemeriksaan okular: Pasien sering tidak dapat benar-benar menutup mata pada sisi yang terkena Pemeriksaan oral: Pemeriksaan fungsi pengecapan dan kelenjar saliva Pemeriksaan neurologis: Semua saraf kranial terutama nervus fasialis, pemeriksaan sensorik dan motorik

Pemeriksaan fungsi n.fasialis:

fungsi motorik: m. frontalis: diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas m. sourcilier: diperiksa dengan cara mengerutkan alis m. piramidalis: diperiksa degan cara mengangkat dan mengerutkan hidung ke atas m. orbikularis okuli: diperiksa dengan cara memejamkan kedua mata dengan kuat m. zigomatikus: diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi m. relever komunis: diperiksa degan cara memoncongkan mulut ke depan sambil memperlihatkan gigi m. businator: diperiksa dengan cara menggembungkan kedua pipi m. orbikularis oris: diperiksa dengan cara menyuruh penderita bersiul m. triangularis: diperiksa dengan cara menarik kedua bibir ke bawah m. mentalis: diperiksa dengan cara memoncongkan mulut tertutup rapat ke depan.

Penetapan penurunan fungsi n.VII juga dapat dilakukan dengan metode pemeriksaan menurut House-Brackman. Sistem penilaian yang dikembangkan oleh House dan Brackmann mengkategorikan Bells palsy pada Grade I sampai VI Grade I : Fungsi wajah yang normal Grade II : Disfungsi ringan Grade III : Disfungsi moderat Grade IV : Disfungsi cukup parah Grade V : Disfungsi parah Grade VI : Paralisis total

Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik untuk mendiagnosa Bells palsy. Pemeriksaan penunjang terutama bertujuan untuk mengeksklusikan kelainan-kelainan ataupun diagnosis banding lain.
1.

Laboratorium Rapid plasma reagin (RPR) dan/atau venereal disease research laboratory (VDRL) test atau fluorescent treponemal antibody absorption (FTA-ABS) test Skrining HIV dengan ELISA dan/atau Western blot Hitung Sel darah lengkap (Complete Blood Cell count) Tingkat sedimentasi eritrosit Pemeriksaan fungsi tiroid Kadar glukosa darah dan HbA1c Analisis cairan serebrospinal titer serum untuk virus herpes simpleks (HSV) Di daerah endemis penyakit Lyme, sebaiknya diperiksa titer serum (immunoglobulin M [IgM] dan IgG) untuk Borrelia burgdorferi Titer serum (IgM dan IgA) untuk Mycoplasma pneumoniae

2. Radiologi Pencitraan dengan CT scan atau metode lain diindikasikan jika ada temuan fisik yang berhubungan atau jika terjadi paresis yang progresif. CT scan dapat menunjukkan arsitektur tulang temporal dan dapat digunakan jika dicurigai keadaan patologis lain

MRI berguna sebagai untuk menyingkirkan kemungkinan keadaan patologis lain sebagai penyebab kelumpuhan. MRI pada pasien dengan Bells palsy mungkin menunjukkan kompresi nervus facialis pada atau dekat ganglion genikulatum. MRI juga dapat menunjukkan neoplasma yang menekan saraf wajah. Tumor yang menekan atau melibatkan saraf wajah misalnya schwannoma (paling sering), hemangioma, meningioma, dan sclerosing hemangioma.

3. Uji kecepatan hantar saraf dan EMG untuk menilai fungsi saraf wajah. Paling berguna apabila dilakukan 3-10 hari setelah onset kelumpuhan

Karena orang-orang dengan Bells palsy umumnya memiliki prognosis yang sangat baik, dan karena penyembuhan secara spontan cukup sering terjadi, maka pengobatan Bells palsy masih kontroversial. Tujuan pengobatan adalah untuk mengembalikan fungsi saraf wajah (nervus VII) dan mengurangi kerusakan saraf. Pengobatan dapat dipertimbangkan untuk pasien yang datang berobat dalam waktu 1-4 hari dari onset kelumpuhan. Terapi a. Farmakoterapi Untuk mengurangi morbiditas dan mencegah komplikasi. Obat-obatan yang digunakan: kortikosteroid (prednisone) dan antiviral (acyclovir). b. Perawatan Mata Untuk mencegah terjadinya kekeringan pada kornea. Dapat dilakukan dengan menggunakan artificial tear solution pada waktu pagi dan siang hari dan salep mata pada waktu tidur. Pasien juga dianjurkan menggunakan kacamata bila keluar rumah.

c. Fisioterapi

Dilakukan pada stadium akut atau bersamaan dengan pemberian kortikosteroid. Tujuan fisioterapi adalah untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Caranya dengan memberikan radiasi sinar infra red pada sisi yang lumpuh dengan jarak 60 cm selama 10 menit. Terapi ini diberikan setiap hari sampai terdapat kontraksi aktif dari otot dan 2 kali seminggu sampai tercapainya penyembuhan yang komplit. Di samping itu juga dapat dilakukan massage pada otot wajah selama 5 menit pagi dan sore hari.

d. Pembedahan Terapi pembedahan pada kasus Bells palsy masih kontroversi. Terapi dekompresi saraf fasialis hanya dilakukan pada kelumpuhan yang komplit atau hasil pemeriksaan elektroneurography (ENoG) menunjukkan penurunan amplitudo lebih dari 90%.

Berdasarkan prognostiknya, penderita Bells palsy dapat terbagi ke dalam 3 kelompok: Kelompok 1 mengalami penyembuhan sempurna fungsi motorik wajah tanpa disertai gejala sisa Kelompok 2 mengalami pemulihan fungsi motorik wajah secara tidak sempurna, tetapi tidak ada cacat kosmetik yang jelas Kelompok 3 mengalami gejala sisa neurologis permanen yang tampak jelas, baik secara kosmetik maupun klinis.

Sekitar 80-90% pasien dengan Bells palsy sembuh tanpa cacat terlihat dalam waktu 6 minggu sampai 3 bulan. Faktor risiko yang dianggap berhubungan dengan outcome yang buruk pada pasien dengan Bells palsy, diantaranya (1) usia lebih dari 60 tahun, (2) paralisis komplit, dan (3) penurunan rasa atau aliran saliva pada sisi yang mengalami kelumpuhan (biasanya 10 25% dibandingkan dengan sisi yang normal pasien). Faktor lain yang diduga terkait dengan outcome yang buruk yakni rasa nyeri di daerah aurikularis posterior dan penurunan lakrimasi.

Semakin cepat terjadi penyembuhan, semakin kecil kemungkinan kemungkinan terjadinya gejala sisa, dengan rincian sebagai berikut: Jika pemulihan fungsi terlihat dalam waktu 3 minggu, maka kemungkinan besar pasien akan sembuh sempurna Jika pemulihan terlihat antara 3 minggu hingga 2 bulan, maka outcome biasanya memuaskan Jika pemulihan tidak juga terlihat sampai 2-4 bulan sejak onset, kemungkinan untuk terjadinya gejala sisa permanen lebih tinggi Jika pemulihan tidak terjadi dalam 4 bulan, maka pasien lebih mungkin untuk mengalami gejala sisa seperti synkinesis, crocodile tears, dan (jarang) kejang hemifasial.

Bells palsy adalah gangguan neurologis berupa kelemahan atau kelumpuhan nervus VII (nervus fasialis) jenis perifer yang timbul secara akut, tanpa adanya kelainan neurologik lain. Gangguan terjadi pada nervus VII dan umumnya tidak permanen. Sebagian besar pakar percaya bahwa herpes simplex virus (HSV) adalah penyebab umum Bells palsy.
Penanganan terhadap Bells Palsy masih bersifat kontroversial. Prinsip terapi adalah dengan pemberian kortikosteroid ataupun dikombinasi dengan antiviral, perawatan mata, fisioterapi dan terapi bedah. Pasien dengan Bells palsy dapat sembuh sempurna ataupun dengan gejala sisa.

You might also like