You are on page 1of 45

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Birokrasi bukan lagi suatu yang asing dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam kehidupan sosial, setiap anggota masyarakat pasti akan bersentuhan dengan yang namanya birokrasi. Birokrasi pemerintah seharusnya menempatkan dirinya sebagai mediating agent, penjembatanan antara kepentingan-kepentingan masyarakat dengan kepentingan pemerintah. Namun, birokrasi sebagai alat pemerintah tidak mungkin netral dari pengaruh politik. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa birokrasi tidak memiliki kemandirian. Justru karena posisinya sebagai alat pemerintah yang bekerja untuk kepentingan masyarakat, maka diperlukan kemandirian birokrasi. Dalam ketidaknetralannya tersebut, birokrasi tetap memiliki kemandirian fungsional, yaitu melayani kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Ia menempatkan dirinya lebih sebagai abdi masyarakat daripada abdi negara atau setidak-tidaknya ada keseimbangan antara keduanya. Rancang bangun birokrasi dalam konteks hubungan kekuasaan, seharusnya apolitis, terbebas dari pengaruh interest tertentu dari pemerintah selaku pemberi tugas. Tidak mencitrakan dirinya sebagai new political power dalam peta politik yang sudah ada. Meskipun demikian, sampai saat ini birokrasi masih menjadi salah satu masalah terbesar bagi Negara-negara Asia, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Kentalnya intervensi politik di era Orde Baru telah membuat birokrasi terperosok ke dalam ranah politik. Sadar atau tidak, birokrasi kini telah dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan. Penggunaan birokrasi sebagai alat politik bukan saja di tingkat nasional, di tingkat lokal lebih nyata terlihat. Era desentralisasi politik yang menerapkan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung telah membuat birokrasi menjadi alat kekuasaan pemerintah daerah untuk mempertahankan kekuasaannya. Ini semakin menegaskan bahwa birokrasi, politik dan kekuasaan 2 merupakan hal yang sulit dilepaskan satu sama lain. Hal ini disebabkan oleh fungsi dan tugas atau pun secara lembaga, birokrasi adalah pelaksana kebijakan politik yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, sehingga menjadi alat yang sangat effektif dalam rangka sosialisasi pemenangan incumbent dalam setiap pemilihan kepala daerah (Chubay, 2008). Di Indonesia, intervensi politik dalam birokrasi pemerintahan mempunyai catatan panjang. Pada masa Orde Baru intervensi bersifat monolitik oleh Golongan Karya (Golkar). Pada zaman Orde Baru, antara pejabat politik dan pejabat karier tidak bisa dipisahkan. Artinya, mereka yang menduduki jabatan di birokrasi juga aktif dan berafiliasi ke Golkar. Setelah reformasi, dengan banyaknya partai, intervensi terhadap birokrasi bersifat polisentris, yang pada prinsipnya sama saja, yaitu memanfaatkan birokrasi untuk partai (Prasojo, 2005). Jadi, walaupun birokrasi ditempatkan dalam kedudukan yang netral, dalam prakteknya muncul birokrasi partisan karena mereka sangat loyal dan berafiliasi politik kepada parpol yang menduduki jabatan politik, padahal secara formal PNS tidak menjadi salah satu anggota partai politik. Berkembangnya birokrasi partisan, berakibat birokrasi tidak mandiri dan tidak memiliki kekuatan penyeimbang kekuasaan dengan kedudukan pejabat politik (Makhya, 2006). Dalam kaitannya dengan bidang kepegawaian Negara, Pegawai negeri sipil sebagai unsur aparatur Negara dan abdi masyarakat, idealnya Pegawai Negeri Sipil mempunyai peran yang amat penting dalam rangka menciptakan masyarakat madani

yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, makmur, adil, dan bermoral tinggi yang menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada pancasila dan Undang Undang Dasar Tahun 1945. Kesemuanya itu dalam rangka mencapai tujuan yang dicitacitakan oleh Bangsa Indonesia. Selanjutnya untuk kelancaran pelaksanaan manajemen Pegawai Negeri Sipil di Daerah juga dibentuk Badan Kepegawaian Daerah ( BKD ), sebagai pengejawantahan dari Badan Kepegawaian Negara ( BKN ). BKD merupakan 3 Perangkat Daerah yang dibentuk Oleh kepala Daerah ( Pasal 34 A UU Nomor 43 Tahun 1999), yang kemudian diatur dalam peraturan pelaksanan yaitu Keputusan presiden Nomor 159 Tahun 2000 tentang Pedoman Pembentukan Badan Kepegawaian Daerah. Keputusan presiden tersebut diamanatkan kepada seluruh Daerah Provinsi /Kabupaten/Kota untuk membentuk Badan Kepegawaian Daerah. Dengan Keluarnya PP Nomor 5 dan Nomor 12 Tahun 1999, yang membatasi PNS dalam berkiprah di dunia politik atau menjadi obat bagi kebuntuan proses demokratisasi yang telah berjalan puluhan tahun yang menarik di tengah sorotan masyarakat akan kinerja dan netralitas birokrasi menjelang pemilu, pemerintah yang diwakili Wapres Jusuf Kalla, 12 September 2008 , menganugerahkan birokrasi award kepada 8 orang birokrat yang dianggap kompeten di bidangnya masingmasing. Mereka adalah Massnellyarti Hilman deputi Konservasi Sumber Daya Alam Kementerian Lingkungan Hidup pada kategori kenegarawanan atau statesmanship. Kategori visionary atau berpikir ke depan diberikan kepada Basuki Yusuf Iskandar, Dirjen Pos dan Telekomunikasi Departemen Komunikasi dan Informatika. Kategori integrity diberikan kepada Herry Soetanto, Dirjen Kerja Sama Perdagangan Internasional Departemen Perdagangan. Kategori leadership diraih Herry Purnomo, Dirjen Perbendaharaan Departemen Keuangan. Dan, kategori followership diraih I Nyoman Kandun, Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan. Tiga kategori yang lain untuk birokrat dengan ciri kompetensi. Yaitu, kategori kompetensi teknis diraih Anwar Supriyadi, Dirjen Bea dan Cukai Departemen Keuangan. Kemudian, Agoes Widjanarko, Sekjen Departemen Pekerjaan Umum, untuk kategori kompetensi manajerial. Dan, yang terakhir, kategori kompetensi sosial diraih Benny Wachyudi, Dirjen Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian. Namun demikian, birokrasi di Indonesia dan di daerah pada khususnya hingga saat ini belum efektif, karena disebabkan antara lain oleh birokrasi sejak lama dijadikan alat mobilisasi politik bagi partai penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. Oleh karena itu, di era reformasi perubahan pejabat politik di level 4 nasional maupun daerah dimotori oleh partai politik. Pejabat politik yang menduduki kepemimpinan melakukan perombakan besar-besaran terhadap formasi birokrat, termasuk mutasi terhadap para aparat yang yang dianggap memiliki kinerja buruk. Selain itu, pejabat politik memasukkan kader-kader politik ke birokrasi dan tidak berusaha mencari pejabat-pejabat birokrat terbaik di lingkungan kerja yang ada. Karenanya, reformasi birokrasi kemudian tidak lebih dari sekadar menyingkirkan lawan-lawan politik untuk mengokohkan peran partai politik baru dalam birokrasi. Akibatnya birokrasi tidak akan pernah dapat bekerja secara optimal dan profesional (Mahmudi, 2007). Masalah birokrasi di Indonesia masih multidimensi, antara lain struktur yang tidak cocok dengan misi pelayanan, budaya pelayanan belum berkembang,

profesionalisme dan sumber daya manusia (SDM) buruk, dan lingkungan politik yang kurang sehat. Struktur birokrasi masih berorientasi pada kontrol dan kekuasaan daripada memberikan pelayanan. Distribusi kewenangan penyelenggaraan suatu urusan cenderung tidak dilakukan secara utuh, tetapi parsial. Subyektivitas masih lazim ditemui di birokrasi dengan rasionalitas dan profesionalisme yang jauh dari harapan (Dwiyanto, 2007). Kondisi birokrasi seperti ini antara lain disebabkan oleh adanya intervensi politik terhadap penyenggaraan birokrasi pemerintahan. Kecenderungan yang terjadi pada era orde baru yang menjadikan konsep monoloyalitas birokrasi sesuai PP Nomor 12 Tahun 1969, yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri waktu itu, telah menjadikan birokrasi sebagai alat yang ampuh untuk menjustifikasi kebijakan pemerintah dan melegitimasi kekuasaan. Jiwa dan semangat monoloyalitas telah tertanam di dalam diri setiap birokrat dan pada tingkat tertentu juga militer, terhadap keberadaan Golkar pada era itu, menyebabkan pola-pola yang terbentuk, semakin menampakkan warna dan gejala birokratik. Tentu, kita tidak ingin penyakit lama para birokrat termasuk di dalamnya PNS, yakni keberpihakan pada salah satu parpol akan kambuh kembali. Pemilu legislatif yang telah berlangsung 9 April 2009, ditengarai banyak mendapatkan gangguan dari parpol, terutama parpol pemenang pemilu 2004. Mereka 5 dewasa ini telah menanamkan pengaruhnya terhadap birokrasi lokal yang dikhawatirkan akan mempengaruhi sikap netral para birokrat lokal, menjelang pemilu 2009. Untuk itu upaya untuk menjaga netralitas harus senantiasa dilakukan sedini dan semaksimal mungkin. Memberikan pendidikan pemilih bagi para birokrat menjadi salah satu alternatif, melalui pendidikan tersebut diharapkan mereka akan bebas memilih sesuai hati nuraninya tanpa paksaan atau tekanan dari atasan. Sekaligus bisa menjadi rem bagi pejabat yang suka memobilisasi bawahannya secara tertutup menjelang Pemilu. Dari berbagai uraian sebelumnya, dapat dikatakan bahwa meskipun telah dilakukan reformasi pemerintahan, namun untuk melakukan suatu perubahan dalam birokrasi atau reformasi birokrasi adalah hal yang sangat sulit. Kepentingankepentingan partai politik masih saja mengintervensi birokrasi pemerintahan di Indonesia. Berdasarkan deskripsi masalah tersebut, maka fokus masalah dalam kajian ini adalah Intervensi politik terhadap birokrasi pemerintahan daerah. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana intervensi politik terhadap birokrasi pemerintahan daerah dalam bidang kepegawaian khususnya penentuan formasi, pengadaan pegawai dan mutasi? 2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan adanya intervensi politik terhadap birokrasi pemerintahan daerah dalam bidang kepegawaian khususnya penentuan formasi, pengadaan pegawai dan mutasi? 6 C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah seperti dijelaskan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Menganalisis intervensi politik terhadap birokrasi pemerintahan daerah dalam bidang kepegawaian khususnya penentuan formasi, pengadaan pegawai dan mutasi.

2. Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan adanya intervensi politik terhadap birokrasi pemerintahan daerah khususnya penentuan formasi, pengadaan pegawai dan mutasi. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Memahami pola intervensi politik terhadap penyelenggaraan birokrasi pemerintahan daerah dalam bidang kepegawaian khususnya penentuan formasi, pengadaan pegawai dan mutasi 2. Memberikan rekomendasi bagi perumusan kebijakan tentang penyelenggaraan birokrasi pemerintahan daerah khususnya di bidang kepegawaian. E. Lokus Kajian Kajian ini mengambil lokus pada 7 (tujuh) Kabupaten/Kota yaitu Kabupaten Soppeng (Provinsi Sulawesi Selatan), Kota Palu (Provinsi Sulawesi Tengah), Kota Biak (Provinsi Papua), Kota Kendari (Provinsi Sulawesi tenggara), Kota Ternate (Provinsi Maluku Utara), Kota Denpasar (Provinsi Bali), Kota Manado (Provinsi Sulawesi Utara). 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hubungan Politik dan Birokrasi Perdebatan tentang keterkaitan antara birokrasi dengan politik telah berlangsung sejak awal abad 20-an. Pemikiran yang lebih dominan pada periode 1900-1927 lebih mengarah kepada dikotomi politik dengan administrasi negara. Pelopor dari pemikiran-pemikiran itu di antaranya adalah Frank Goodnow, Leonard White dan Wodrow Wilson. Leonard White bahkan secara tegas menyatakan, politik seharusnya tidak boleh ikut campur tangan dalam proses administrasi negara (Ali Mufiz: 1986). Mereka berusaha membedakan fungsi politik dengan fungsi administrasi negara. Fungsi politik, adalah pembuatan policy (kebijakan) atau ekspresi dari kemauan negara, sedangkan fungsi administrasi negara adalah pelaksanaan kebijakan tersebut. Baru pada tahun 1980-an, upaya untuk mengaitkan politik dengan administrasi mulai menguat. Sampai sekarang pun, ternyata perbincangan itu belum selesai. Dalam konteks Indonesia, pembicaraan seputar politisasi birokrasi masih sangat menarik, terutama karena praktek penyelenggaraan pemerintahan negara di Indonesia masih sangat kental dengan nuansa politik. Praktek paling vulgar terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Birokrasi diposisikan sebagai salah satu instrumen untuk memobilisasi massa dengan didesakkannya monoloyalitas kepada pegawai negeri (birokrat). Bahkan birokrasi pada masa Orde Baru dianggap sebagai salah satu soko guru kekuasaan Soeharto bersama-sama dengan ABRI dan Golkar. Dalam setiap pemilihan umum, pegawai negeri dan keluarganya tidak sekadar diharuskan untuk memilih Golkar, melainkan juga diharuskan untuk menggalang dukungan dari masyarakat di wilayahnya masing8 masing. Cara ini memang sangat efektif untuk menjaga kelanggengan kekuasaan Orde Baru. Di akhir kekuasaan Orde Baru, politisasi birokrasi dikritik habis-habisan oleh gerakan proreformasi. Birokrasi berusaha untuk dikembalikan pada fungsi dan perannya sebagai pelayan masyarakat. Ide ini sejalan dengan pemikiran sarjanasarjana administrasi Barat yang berusaha melakukan reinventing government pada awal 1990-an. Salah satu gagasan penting dalam reinventing government adalah

bagaimana agar public service menjadi orientasi utama dari birokrasi pemerintahan. Upaya untuk menghentikan terjadinya politisasi birokrasi itu ternyata tidak mudah. Dengan berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah di era reformasi, politisasi birokrasi tidak hanya tetap terjadi, tetapi juga muncul politisasi birokrasi dengan varian yang baru. Kalau politisasi birokrasi di era Orde Baru terjadi secara terpusat dalam skala nasional di bawah kendali langsung Presiden Soeharto, di era otonomi daerah ini fokus politisasi birokrasi bergeser di Kabupaten/Kota. Sedangkan pengendali dari politisasi birokrasi di era otonomi daerah adalah Bupati atau Walikota di daerahnya masing-masing, sehingga partai politik yang mendapatkan keuntungan dari praktek politisasi birokrasi ini juga beragam, tergantung dari latar belakang politik Bupati/ Walikota. Pada pemilu 2004 ini, perbincangan tentang politisasi birokrasi kembali menguat, karena ada indikasi kuat kalau pada pemilu legislatif 5 April lalu, beberapa bupati di Jawa Tengah melakukan politisasi birokrasi. Namun demikian, satu hal yang harus dicatat adalah bahwa politisasi birokrasi tidak terjadi di semua Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini berarti bahwa terjadinya politisasi birokrasi tergantung pada good will dari Bupati/Walikota di daerahnya masing-masing. Perangkat pemerintahan di tingkat pusat tidak lagi mampu melakukan penetrasi terhadap pegawai negeri di tingkat Kabupaten/Kota, karena kewenangan untuk mengelola pegawai negeri sipil sudah dilimpahkan kepada Bupati/Walikota. Bupati/Walikota mampu menjadi pengendali dari politisasi birokrasi karena di era otonomi daerah ini Bupati /Walikota mempunyai seperangkat kewenangan yang 9 dapat membuat pegawai negeri sipil mau tidak mau harus tunduk kepada Bupati/ Walikota, kecuali bersedia menanggung risiko terhambat kariernya di birokrasi. Kewenangan itu antara lain dalam hal penentuan pejabat eselon, kewenangan Bupati/Walikota dalam membuat SK pengangkatan PNS dan kewenangan dalam membuat SK kenaikan pangkat bagi PNS. Tetapi bukankah di era reformasi ini telah terjadi pergeseran kekuasaan dari tangan eksekutif ke tangan legislatif yang pada akhirnya menimbulkan terjadinya legislatif heavy? Di mana peran lembaga legislatif di Kabupaten/Kota terhadap terjadinya politisasi birokrasi? Memang kalau melihat kewenangan lembaga legislatif dan eksekutif, seharusnya politisasi birokrasi hanya terjadi pada Kabupaten/Kota yang dikuasai secara mayoritas (lebih dari 50 %) oleh salah satu partai dan Bupati/Walikota hanya berasal dari partai mayoritas tersebut. Dalam kondisi yang demikian, kepentingan politik antara eksekutif dengan legislatif akan sejalan sehingga lembaga legislatif akan selalu mendukung langkah-langkah politik yang dilakukan oleh Bupati/Walikota yang menguntungkan partai pemegang suara mayoritas. Sedangkan kalau Bupati/Walikota tidak didukung oleh suara mayoritas di DPRD, maka akan sangat mudah digoyang oleh legislatif, bahkan tidak mustahil terjadi upaya pelengseran Bupati/Walikota oleh DPRD. Dalam kondisi yang demikian, Bupati/Walikota tidak akan berani melakukan politisasi birokrasi untuk kepentingan partainya, karena akan menjadi musuh bersama seluruh partai politik di daerah tersebut. Faktor yang paling mungkin menjadi penyebab dari terjadinya politisasi birokrasi secara leluasa oleh Bupati/Walikota tanpa adanya perlawanan dari lembaga legislatif yang partainya dirugikan adalah karena anggota Dewan tersebut telah membuat kesepakatan-kesepakatan yang saling menguntungkan dengan Bupati/Walikota di daerah tersebut. Dari kesepakatan itu, tentunya anggota Dewan tersebut akan mendapatkan kompensasi material yang tidak sedikit. Kompensasi

material itu yang dapat membuat seorang anggota Dewan tidak merasa dirugikan oleh terjadinya politisasi birokrasi, karena memang yang dirugikan hanya partainya. 10 Dalam kondisi demikian, anggota DPRD Kabupaten/Kota tidak dapat diharapkan untuk menghentikan terjadinya politisasi birokrasi. Pihak yang seharusnya berperan aktif setelah wakil partai yang duduk di lembaga legislatif tidak dapat diharapkan, tentunya adalah pimpinan partai politik di level yang lebih tinggi (baik di tingkat provinsi, maupun di tingkat pusat). Institusi partai di tingkat provinsi maupun di tingkat pusat ini dapat berperan dalam menghentikan terjadinya politisasi birokrasi dengan memberikan sanksi secara tegas kepada anggota legislatif dari partai tersebut yang terbukti membiarkan terjadinya politisasi birokrasi di daerah tersebut. Terlebih kepada wakil rakyat dari partai itu yang terbukti mendapatkan kompensasi material dari Bupati/Walikota. Partai harus tegas, tidak saja karena perilaku anggota Dewan tersebut merugikan partai, tetapi lebih dari itu, perilaku anggota Dewan yang membiarkan terjadinya politisasi birokrasi dengan menerima kompensasi material memperlihatkan anggota Dewan tersebut lebih mengutamakan kepentingan pribadinya dari pada kepentingan partai. Perilaku semacam ini tidak boleh dibiarkan. Sudah seharusnya anggota DPRD Kabupaten/Kota yang terbukti membiarkan terjadinya politisasi birokrasi diberhentikan secara tidak hormat dari keanggotaan partai. Ancaman sanksi tegas semacam ini tentunya akan membuat anggota Dewan dan suatu partai tidak berani "main mata" dengan Bupati/Walikota. Di tengah berbagai hambatan prosedural yang secara tidak langsung menjadi pelindung Bupati/Walikota dalam melakukan berbagai penyalahgunaan kekuasaan, terobosan ini merupakan satu-satunya cara yang paling mungkin dilakukan untuk menggugah kemauan dan meningkatkan nyali anggota Dewan dalam mengingatkan Bupati/Walikota sehingga peluang terjadinya politisasi birokrasi dapat diminimalisir. Partai politik tidak perlu merasa kesulitan dalam menghadirkan bukti ataupun saksi. Pimpinan partai dapat menggunakan informasi dari masyarakat, media, kader partai atau dari mana pun sebagai dasar untuk memanggil dan meminta keterangan lebih lanjut kepada anggota DPRD Kabupaten/Kota. Hal ini tidak sulit karena 11 indikasi dan praktek terjadinya politisasi birokrasi sangat mudah dilihat karena selalu melibatkan banyak orang dan tidak dapat dilepaskan dari masyarakat. B. Konsep Birokrasi Pemerintahan menurut Max weber dan Martin Albrow Max Weber, seorang ahli Sosiologi Jerman mengembangkan sebuah model struktural yang ia katakan sebagai alat yang paling efisien bagi organisasi-organisasi untuk mencapai tujuannya. Ia menyebut struktur ideal ini sebagai birokrasi. Struktur tersebut dicirikan dengan adanya pembagian kerja, hirarki wewenang yang jelas, prosedur seleksi yang formal, peraturan yang rinci, serta hubungan yang tidak didasarkan pribadi atau impersonal (Robbins, 1994). Konsep Max Weber tentang birokrasi berkaitan dengan organisasi rasional, inefisiensi organisasi, kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat, administrasi negara, administrasi yang dijalankan oleh pejabat, sebuah organisasi, dan masyarakat modern. Terdapat dua tipe birokrasi menurut M. Albrow dalam Surie (1987), yaitu tipe patrimoni dan tipe rasional. Birokrasi patrimoni adalah adanya sekelompok pejabat. Konsep pejabat (beamter) adalah fundamental bagi birokrasi. Weber menggunakan istilah Beamtentum (officialdom atau kepejabatan) sebagai alternatif bagi istilah birokrasi. Weber memandang birokrasi sebagai suatu istilah kolektif bagi suatu badan

yang terdiri atas pejabat-pejabat, suatu kelompok yang pasti dan jelas pekerjaan serta pengaruhnya dapat dilihat pada semua macam organisasi. Albrow juga mengemukakan penggolongan birokrasi sebagai berikut : a. Birokrasi sebagai organisasi rasional; b. Birokrasi sebagai inefesiensi organisasi; c. Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat; d. Birokrasi sebagai Administrasi Negara ( Publik ); e. Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan oleh pejabat; f. Birokrasi sebagai suatu organisasi; g. Birokrasi sebagai masyarakat Modern. 12 Konsep ini sejalan dengan pendapat Thoha (2003) yang mengatakan bahwa konsep birokrasi Max Weber yang dianut dalam organisasi pemerintahan (government) banyak memperlihatkan cara-cara officialdom (kerajaan pejabat). Pejabat birokrasi pemerintah adalah sentra dari penyelesaian urusan masyarakat. Rakyat sangat tergantung pada pejabat, bukannya pejabat tergantung pada rakyat. Adapun birokrasi rasional Weber menurut Blau dan Meyer (1987), dicirikan oleh tipe ideal birokrasi, seperti; (1) pejabat melakukan tugas-tugas secara impersonal, (2) Terdapat hirarki jabatan yang jelas, (3) fungsi-fungsi jabatan-jabatan itu dirinci dengan jelas, (4) para pejabat diangkat atas dasar kontrak, (5) mereka diseleksi atas dasar kualifikasi profesional, (6) gaji disusun sesuai kedudukan dalam hirarki, (7) pekerjaan pejabat ialah satu-satunya dan utama, (8) terdapat suatu struktur karier, dan kenaikan pangkat, (9) kedudukan pejabat tidak boleh dianggap milik pribadainya, dan (10) pejabat tunduk kepada pengendalian dan sistem disipliner. Dari berbagai uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa birokrasi sebagai salah satu bentuk organisasi terdiri atas beberapa orang yang berkumpul bersama baik dalam suatu hubungan yang resmi maupun tidak resmi. Organisasi tersebut dibutuhkan sebagai wadah bersama yang dilaksanakan melalui struktur, proses, dan aturan/norma untuk mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu, organisasi birokrasi dapat dikatakan suatu susunan terorganisasi untuk menciptakan pencapaian tugas administrasi (koordinasi sistematis terhadap banyak orang). Birokrasi juga dapat diartikan sebagai pejabat pemerintah, aparatur pemerintah/administrasi negara/korps pegawai negari sipil, dan atau prosedur kerja. C. Paradigma Baru Birokrasi Semua organisasi yang besar, pemerintah atau bukan dijalankan oleh birokrat. Birokrat merupakan bentuk karakteristik dari organisasi modern. Beberapa birokrasi pemerintah seperti birokrasi swasta berada pada keseimbangan yang tidak efisien. Mengapa kritik terhadap birokrat pada pemerintahan Amerika Serikat begitu keras dan berlanjut secara terus menerus. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat 13 Amerika Serikat memiliki kecemasan yang mendalam terhadap pemerintah yang besar, dan sebagian karena pejabat publik bekerja di bawah kendali anggota Kongres, dan sebagainya. Birokrasi penting karena merupakan inti dari pemerintahan yang besar. Pemerintahan tanpa pejabat dan pegawai, hanya merupakan kumpulan politisi yang membuat undang-undang (Burns and Peltason, 1966). Kecemasan masyarakat Amerika Serikat terhadap birokrasi pemerintahan antara lain bermula ketika Margareth Tatcher pertama kali memangku jabatan Perdana Menteri Inggris, dia menghadapi administrasi publik yang diterapkan dalam pemerintahan Inggris tidak lagi mampu melayani kebutuhan rakyat Inggris secara efisien. Ia melihat pemborosan di segala bidang praktek administrasi publik. Clinton

dan Al Gore menghadapi hal yang seperti yang dihadapi oleh Tatcher. Itulah sebabnya pada tahun 1980-an di Amerika Serikat majalah Time bertanya dalam tajuknya Sudah Matikah Pemerintahan. Di awal tahun 1990-an, jawaban yang muncul bagi kebanyakan orang Amerika adalah ya (Osborne dan Gaebler, 1995). Sehubungan dengan hal tersebut, maka pengamalan konsep birokrasi Max Weber yang cenderung menjadikan kerajaan pejabat banyak mendapatkan kritikan dari beberapa ahli seperti; Warren Bennis, Lawrence dan Lorch, serta Heckscher dan Donellon sebagaimana dikutip oleh Thoha (2003). Warren Bennis mengatakan bahwa bentuk hierarki piramidal yang dikenal sebagai birokrasi telah ketinggalan dari realita zaman sekarang. Demikian pula Lawrence dan Lorch menyatakan bahwa bentuk organik yang berupa birokrasi itu, hanya cocok untuk situasi lingkungan kompleks dan tidak menentu, bukannya hal-hal yang bersifat rutin dan stabil. Adapun Heckscher dan Donellon mengemukakan bahwa bentuk organisasi masa depan adalah apa yang mereka namakan Post Bureaucratic Organization. Organisasi masa depan tidak akan sama dengan birokrasi Weberian. Bentuk organisasi masa depan tidak hanya menempatkan diri pada kohirensi internal dan pemusatan kekuasaan, akan tetapi juga pada interaksi eksternal dan interaksi sosial yang berhubungan dengannya. 14 Dalam beberapa tahun terakhir ini berkembang paradigma baru dalam administrasi publik, antara lain pandangan yang mengarah pada suatu pembaruan administrasi publik yang difokuskan untuk menghasilkan high quality public goods and services. Pembaruan menurut Osborne dan Plastrik, (2000) adalah transformasi sistem dan organisasi pemerintah secara fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam efektivitas, efisiensi, dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi. Trasformasi ini dicapai dengan mengubah tujuan, sistem intensif, pertanggungjawaban, struktur kekuasaan, dan budaya sistem dan organisasi pemerintah. Selanjutnya, Osborne dan Plastrik menjelaskan bahwa pembaruan adalah penggantian sistem yang birokratis menjadi sistem yang bersifat wirausaha. Pembaruan adalah menciptakan organisasi dan sistem pemerintah yang terus menerus berinovasi, yang memperbaiki kualitas mereka, tanpa mendapat tekanan dari pihak luar. Pembaruan adalah penciptaan sektor pemerintah yang mempunyai dorongan dari dalam untuk melakukan perbaikan. Pembaruan tidak hanya memperbaiki efektivitas saat ini, tetapi pembaruan menciptakan organisasi-organisasi yang mampu memperbaiki efektivitasnya di masa mendatang, pada saat lingkungan mereka berubah. D. Politik dan Birokrasi di Indonesia Birokrasi di Indonesia menurut Karl D.Jackson merupakan bureaucratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan pemerintahan. Ada pula yang berpendapat bahwa birokrasi di Indonesia merupakan birokrasi Parkinson dan Orwel. Hal ini disampaikan oleh Hans Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk pada pertumbuhan jumlah anggota serta pemekaran struktural dalam birokrasi yang tidak terkendali. Birokrasi Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai pengontrol 15 kegiatan ekonomi, politik dan sosial dengan menggunakan regulasi yang bila perlu ada suatu pemaksaan. Birokrasi di Indonesia khususnya di zaman orde baru ditandai dengan

beberapa ciri-ciri seperti pegawai negeri yang menjadi pengurus partai selain Golkar, maka dia akan tersingkirkan dari jajaran birokrasi. Selain itu, orang atau sekelompok orang yang tidak berpihak pada Golkar, maka bisa dipastikan akan mendapat perlakuan diskriminatif dalam birokrasi. Jika suatu wilayah tidak merupakan basis Golkar, maka pembangunan akan sangat tertinggal karena pemerintah lebih mengutamakan daerah yang merupakan basis Golkar. Keberpihakan birokrasi terhadap suatu partai, tentu saja dalam hal ini Golkar, akan mengurangi profesionalisme dari birokrasi tersebut. Dalam zaman orde baru juga ada suatu kebijakan yang disebut zero growth. Adanya kebijakan zero growth yang menyebabkan jumlah anggota birokrasi makin membengkak. Hal ini menjadikan birokrasi tidak efisien karena jumlah pekerja dengan pekerjaannya tidak sebanding. Pada awal reformasi dan pada masa orde baru pemerintahan yang baik belum juga terlaksana. Misalnya saja dalam pelayanan dan pengurusan administrasi masih saja berbelit-belit dan memerlukan waktu yang lama, tidak jelas. Membutuhkan biaya tinggi karena ada pungutan-pungutan liar. Pembangunan fisik pun juga masih sering terbengkalai atau lamban dalam perbaikan. Masih banyak KKN yang terjadi dalam lingkungan birokrasi. Keterlibatan birokrasi dalam partai politik membuat pelayanan terhadap masyarakat menjadi diabaikan, karena mereka lebih mementingkan kepentingan partai politiknya (Thoha, 2003). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun telah dilakukan reformasi pemerintahan, namun perubahan dalam birokrasi atau reformasi birokrasi belum sesuai sebagaimana yang diharapkan. Kepentingan-kepentingan partai politik masih saja mengintervensi birokrasi pemerintahan di Indonesia. Antara aktivitas politik dengan aktivitas pemerintahan dalam praktek pemerintahan bisa ditelaah dalam dua bentuk. Pertama, dalam internal pemerintah daerah. Di lingkungan pemerintah daerah, dikenal ada yang namanya pejabat politik, 16 yaitu gubernur dan wakil gubernur yang dipilih rakyat/DPRD, dan pejabat birokrasi yaitu jabatan karier di birokrasi pemerintahan, seperti sekretaris daerah, kepala dinas, dsb. Kedua, aktivitas politik, secara kelembagaan lebih banyak diperankan Lembaga Perwakilan Rakyat (DPRD) karena lembaga ini adalah pencerminan kedaulatan rakyat. Pemahaman politik dalam konteks aktivitas politik di DPRD harus dipahami dalam politik kebijakan, yaitu sebatas melakukan fungsi formulasi kebijakan dan kontrol terhadap implementasi kebijakan (Makhya, 2006). UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 19 menyebutkan penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah dan DPRD. Pasal ini, secara jelas memposisikan kedudukan DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan. Implikasi pasal ini, aktivitas penyelenggaraan pemerintahan harus dilakukan bersama-sama antara DPRD dan kepala daerah. Aktivitas penyelenggaraan ini meliputi tugas-tugas desentralisasi dan tugas pembantuan. Ketentuan pasal ini menekankan baik kepala daerah maupun DPRD dalam aktivitas penyelenggaraan pemerintahan menekankan pada service sphere bukan pada political sphere. Pemahaman politik dalam perspektif UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak menjangkau pada penjatuhan kepala daerah karena dalam UU ini tidak dikenal dengan sistem parlementer. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 sama sekali tak dikenal pemakzulan (impeachment) terhadap kepala daerah melalui mosi tidak percaya. Sebab, tidak ada aturan yang memungkinkan masyarakat dapat secara langsung meng-impeach kepala daerah. Namun, DPRD bisa mengusulkan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada Presiden jika memenuhi ketentuan Pasal 29 atau diberhentikan sementara oleh Presiden apabila melakukan tindak pidana kejahatan (lihat Pasal 30

32). Kajian tersebut menunjukkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebenarnya ada pemisahan yang tegas antara sifat wewenang kepala daerah sebagai pejabat politik dan fungsi birokrasi. Artinya, spirit UU Nomor 32 Tahun 2004 menekankan pada terwujudnya tertib pemerintahan sehingga fungsi pelayanan pada masyarakat tidak terganggu. 17 E. Implikasi perubahan lingkungan bagi organisasi pemerintahan lokal Sejurus dengan perubahan iklim global menuju demokratisasi, perhatian terhadap pemerintahan lokalpun lebih banyak dipusatkan kepada upaya mendemokratiskan masyarakat di daerah. Pemerintah lokal dituntut merubah paradigma berpikir dari birokrasi tradisional menuju moderen. Perubahan tersebut tidaklah mudah, akan tetapi harus dilakukan mengingat tekanan dunia internasional memaksa pemerintah Indonesia mendesentralisasikan kewenangan pemerintah pusat ke daerah tidak dapat dihindarkan. Paradigma Lama Paradigma lama dalam pengelolaan ataupun manajemen pemerintahan di Indonesia terkait dengan pemahaman tentang konsep organisasi berdasarkan teori klasik. Beberapa teori klasik berumur sangat tua, setua peradaban Mesir Kuno, Kerajaan Romawi, dan Kekaisaran Cina. Namun demikian teori yang ada sekarang, merupakan hasil dari pemikiran para ahli dunia Barat tentang manajemen pemerintahan di abad ke-20. Teori-teori organisasi klasik 1. Birokrasi, teori mengenai birokrasi klasik diutarakan oleh Max Weber, seorang sosiolog dari Jerman. Teori Weber terkenal dengan sebutan Teori Ideal Organisasi yang dikenal juga sebagai teori Birokrasi. Weber menyebutkan bahwa birokrasi adalah bentuk organisasi yang dicirikan oleh pembagian kerja, hirarki yang didefinisikan dengan jelas, peraturan dan ketetapan yang rinci dan sejumlah hubungan impersonal. Ciri-ciri organisasi tipe Weber: a. Mempunyai tujuan, b. Tiap organisasi terdiri dari orang-orang, c. Semua menyusun struktur yang disengaja. 18 2. Teori manajemen administratif, merupakan teori organisasi klasik dipelopori oleh Mooney dan Reiley. Mereka mengemukakan bahwa organisasi dalam pengertian formal adalah tata tertib, sehingga membutuhkan pengorganisasian dan prosedur ketatatertiban. Tata tertib merupakan landasan organisasi formal. Ciri-ciri organisasi tipe manajemen administratif: a. Obyektifitas, b. Rasionalitas, c. Kepastian, d. Hirarki, e. Keahlian. Selain kedua penteori manajemen administratif, dikenal pula nama Henry Fayol, mengangap pentingnya manajemen administratif pada tingkat teratas. Menurut Fayol, segala sesuatu dapat berjalan baik di dalam organisasi bila para manajer dapat menggerakan organisasi sesuai prinsip-prinsip manajemen seperti di bawah ini: a. Spesialisasi/pembagian kerja b. Wewenang

c. Disiplin d. Kesatuan komando e. Kesatuan arah f. Kepentingan umum di atas kepentingan pribadi g. Pemberian upah h. Sentralisasi i. Rantai skala j. Ketertiban k. Keadilan l. Kestabilan organisasi m. Inisiatif n. Semangat kesatuan 19 3. Beberapa teori lainnya seperti Manajemen Ilmiah dikemukakan oleh Babbage yang diteruskan kemudian oleh Frederick W. Taylor, menekankan peran dari manajer pada tingkat bawah, karena letak hubungan mereka yang langsung dengan proses produksi. Taylor mengemukakan empat prinsip manajemen ilmiah: a. Melakukan pengembangan manajemen ilmiah yang sebenarnya, b. Menyeleksi dan melatih pekerja secara ilmiah, c. Kerjasama antara manajemen dan buruh menyelesaikan tujuan pekerjaan sesuai dengan metode ilmiah, d. Pembagian tanggung jawab merata antara manajer dan pekerja. Teori Organisasi Neo Klasik Di masa peralihan antara teori klasik dan teori moderen, terdapat teori organisasi neo- klasik dimana kemunculan teori ini diwarnai dengan sentimen ketidakpuasan dari para pekerja akibat penerapan teori organisasi dan manajemen klasik. Oleh karena itu, teori organisasi neo-klasik berusaha memanusiakan kembali manusia. Karena manusia bukanlah mesin sehingga perlakuan manajemen klasik tidak dapat dibenarkan. Teori neo klasik memiliki dua arus utama: 1. Aliran perilaku, tokohnya Mustenberg dan Barnard. Mustenberg menganggap bahwa manusia memiliki kesamaan secara psikologis akan bekerja dengan senang hati jika ada manfaat yang diperoleh dari pekerjaan tersebut dan tidak menemui kendala psikologis dalam pelaksanaan pekerjaan. Begitu pula Barnard mengungkapkan bahwa suatu perusahaan dapat bertahan bila tujuan organisasi dan individu dapat selaras (balance theory). Lain halnya dengan Herbert Simon berargumen bahwa keseimbangan terjadi bila ada inducement (pendorong) yang ditawarkan seimbang dengan kontribusi anggota terhadap organisasi, yaitu tujuan organisasi, insentif yang diterima pegawai, serta nilai yang ditawarkan organisasi. 20 2. Aliran perilaku dengan pendekatan empiris, pelopor aliran ini adalah Elton Mayo yang terkenal dengan percobaan Hawthorne. Study Mayo mengungkapkan bahwa tingkah laku manusia dalam situasi kerja sangat ditentukan oleh aspek lain seperti situasi kerja, norma kelompok, di samping imbalan ekonomi yang ditawarkan perusahaan semata. 3. Aliran kuantitatif, dipelopori oleh Miller dan Starr yang mengemukakan bahwa management science merupakan ilmu keputusan yang dapat diterapkan dengan menggunakan prinsip-prinsip matematika, logika, dan metode ilmiah lainnya sehingga dihasilkan pemecahan masalah sangat rasional. Teori ini diklaim dapat

meramal masa depan (forecasting) sehingga sangat sesuai ditempatkan pada masala perencanaan dan pengendalian. Paradigma Baru Seluruh organisasi yang ada di dunia seolah terbius dengan hadirnya manajemen organisasi pemerintahan gaya baru yang bernama public management. Ketika konsep public management diperkenalkan pertama kali, fokus utama dari organisasi ditekankan pada pencapain tujuan dengan menggunakan segala sarana dan prasarana yang ada termasuk dana dan sumber daya organisasi. Aplikasi paradigma baru dalam pemerintahan amat terasa dari mulai ditinggalkannya prinsip-prinsip birokrasi kaku menjadi organisasi modern dengan keluwesan para birokrat menerima kritikan untuk membangun diri. Birokrasi yang lemah karena tidak mampu merubah dirinya seiring perubahan jaman bergeliat memperbaiki diri sesuai dengan prinsipprinsip yang diungkapkan Pollitt dalam The New Public Management, aliran pertama: a. Usaha peningkatan efisiensi secara terus menerus, b. Peningkatan penggunaan teknologi canggih secara terus-menerus, c. Peningkatan disiplin pegawai untuk meningkatkan produktifitas, d. Implementasi yang jelas terhadap peran manajemen profesional. Aliran pertama tersebut banyak mengambil prinsip-prinsip dari Taylor. Tokoh-tokoh New Public Management antara lain: Stewart dan Walsh (1994) dan 21 Kooiman. Kooiman mengatakan bahwa pola hubungan masyarakat, pemerintah, dan swasta merupakan hubungan yang kompleks, dinamis, dan diverse (beragam). Aliran kedua memunculkan Manajemen Pelayanan Masyarakat (New Public Services), dikemukakan oleh David Osborne dan Ted Gaebler. Buku mereka, Reinventing Government (1992) mengungkapkan peran masyarakat ketimbang pemerintah dalam mengelola kebutuhan mereka dalam bermasyarakat. Pemerintah tidak dijadikan sentra atau pusat urusan, akan tetapi kewenangan telah dilimpahkan ke masyarakat. Tugas pemerintah adalah memberdayakan masyakarat yang dikenal juga dengan sebutkan mewirausahakan birokrasi. Beberapa prinsip manajemen pelayanan masyarakat adalah sebagai berikut: a. Pemerintahan katalis, b. Memberikan wewenang ketimbang melayani, c. Menyuntikan persaingan ke dalam pemberian pelayanan, d. Pemerintahan digerakkan oleh misi dengan mengubah organisasi yang digerakan oleh peraturan, e. Pemerintah berorientasi pada hasil bukan pemasukan, f. Pemerintah berorientasi pelanggan, g. Pemerintah wirausaha, h. Pemerintah antisipatif, i. Pemerintah desentralisasi, j. Pemerintah berorientasi pasar. F. Penyelenggaraan Birokrasi Pemerintahan Bidang Kepegawaian Negara Penyelengaraan Pemerintahan sudah diarahkan dalam arti luas sebagai manajemen/penyelengaraan pemerintahan ( Negara ) dan Pembangunan ( Masyarakat Bangsa ). Bagaimanapun juga dasarnya adalah manajemen , penyelenggaraan, pengelolaan yang baik dari suatu rangkaian kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. Manajemen yang baik sering juga disebut manajemen yang efektif dan efesien. Seluruh siklus manajemen meliputi perumusan kebijakan ( Policy Formulation ) dan 22 seterusnya adalah pelaksanaan kebijakan itu, perencanaan, koordinasi dan pembagian

kerja, kepemimpinan dan motivasi, pengendalian pelaksanaan, pengawasan dan koreksi. Manajemen dilakukan dalam manajemen kemampuan individu, keluarga, kegiatan usaha bisnis juga manajemen pemerintahan dan pembangunan adapun tujuan akhir yang ingin dicapai dalam penyelenggaraaan pemerintahan ini adalah terciptanya sinergitas Good governance yang meliputi tidak hanya pemerintah tetapi juga citizen, masyarakat dan terutama sektor usaha /swasta yang berperan dalam governance masyarakat bangsa Dalam kaitannya dengan bidang kepegawaian Negara, Pegawai negeri sipil sebagai unsur aparatur Negara dan abdi masyarakat, mempunyai peran yang amat penting dalam rangka menciptakan masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, makmur, adil, dan bermoral tinggi yang menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan Undang Undang Dasar Tahun 1945. Kesemuanya itu dalam rangka mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh Bangsa Indonesia. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang berkemampuan melaksanakan tugas secara professional dan bertanggung jawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, serta bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. 1. Pengertian Manajemen Kepegawaian Negara. Manajemen Kepegawaian Negara adalah proses dan prosedur tertentu di bidang kepegawaian yang mencakup kegiatan penerimaan, penempatan, penggajian, promosi, penilaian kinerja, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil di lingkungan instansi pemerintah. Dalam rangka menjamin kelancaran penyelenggaraan kebijaksanaan manajemen Pegawai Negeri Sipil, dibentuklah Badan Kepagawaian Negara ( BKN ), yang mencakup kegiatan perencanaan, pengembangan kualitas sumber daya pegawai 23 Negeri Sipil dan Administrasi Kepegawaian, pengawasan dan pengendalian, penyelenggaraan dan pemeliharaan informasi kepegawaian, perumusan kebijaksanaan kesejahteraan pegawai Negeri Sipil, Serta memberikan bimbingan teknis kepada unit organisasi yang menangani kepegawaian pada instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ( Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 43 Tahun 1999 ). Selanjutnya untuk kelancaran pelaksanaan manajemen pegawai Negeri Sipil di Daerah maka dibentuk Badan Kepegawaian Daerah (BKD), yang merupakan Perangkat Daerah yang dibentuk oleh Kepala Daerah (Pasal 34 A UU Nomor 43 Tahun 1999), yang kemudian diatur dalam peraturan pelaksanan yaitu Keputusan Presiden Nomor 159 Tahun 2000 tentang Pedoman Pembentukan Badan Kepegawaian Daerah. Keputusan Presiden tersebut diamanatkan kepada seluruh Daerah Provinsi Kabupaten/Kota untuk membentuk Badan Kepegawaian Daerah. Administrasi kepegawaian berkaitan dengan penggunaan sumber daya manusia dalam suatu organisasi. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam dikemukakan beberapa pendapat para ahli tentang pengertian, ruang lingkup, dan fungsi/aktivitas kepegawaian. 2. Sistem Administrasi Kepegawaian Sistem administrasi kepegawaian adalah bagian dari administrasi negara yang kebijaksanaannya ditentukan dari tujuan yang ingin dicapai. Pola kebijaksanaannya tergantung pada bentuk negara yang dianut suatu negara, apakah federal ataukah kesatuan. Kebijaksanaan dasar sistem administrasi kepegawaian di negara kita mengacu

pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dalam Undangundang tersebut dinyatakan bahwa dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional untuk mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, adil, dan bermoral tinggi, diperlukan pegawai negeri yang merupakan unsur aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat yang 24 menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 3. Fungsi Teknis Administrasi Kepegawaian Administrasi kepegawaian pada hakikatnya melakukan dua fungsi yaitu fungsi manajerial, dan fungsi operatif (teknis). Fungsi manajerial berkaitan dengan pekerjaan pikiran atau menggunakan pikiran (mental) meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian pegawai. Sedangkan fungsi operatif (teknis), berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan fisik, meliputi pengadaan, pengembangan, kompensasi, integrasi, pemeliharaan, dan proses pensiun pegawai. 4. Fungsi Umum Administrasi Kepegawaian ( Perencanaan Pegawai ) Perencanaan pegawai dapat didefinisikan sebagai proses penentuan kebutuhan pegawai pada masa yang akan datang berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi dan persediaan tenaga kerja yang ada. Perencanaan pegawai merupakan bagian penting dari dan sebagai kontributor pada proses perencanaan strategis karena membantu organisasi dalam menentukan sumber-sumber yang diperlukan dan membantu menentukan apa yang benar-benar dapat dicapai dengan sumber-sumber yang tersedia. Perencanaan pegawai yang baik akan memperbaiki pemanfaatan pegawai, menyesuaikan aktivitas pegawai dan kebutuhan di masa depan secara efisien, meningkatkan efisiensi dalam merekrut pegawai baru serta melengkapi informasi tentang kepegawaian yang dapat membantu kegiatan kepegawaian dan unit organisasi lainnya. Melalui perencanaan dapat diketahui kekurangan dibanding kebutuhan sehingga dapat dilakukan perekrutan pegawai baru, promosi, dan transfer secara proaktif sehingga tidak mengganggu kegiatan organisasi. 25 Dalam membuat perencanaan pegawai perlu diperhatikan faktor internal dan eksternal organisasi. Di samping itu, perlu pula diperhatikan langkah-langkah yang harus ditempuh sebagaimana dikemukakan Miller Burack dan Maryann. G. Pengorganisasian Kepegawaian Pengorganisasian adalah suatu langkah untuk menetapkan, menggolonggolongkan dan mengatur berbagai macam kegiatan yang dipandang perlu, penetapan tugas dan wewenang seseorang, pendelegasian wewenang dalam rangka untuk mencapai tujuan. Pengorganisasian mengantarkan semua sumber dasar (manusia dan nonmanusia) ke dalam suatu pola tertentu sedemikian rupa sehingga orang-orang yang bekerja di dalamnya dapat bekerja sama secara berdaya guna dan berhasil guna dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Salah satu akibat dari pengorganisasian adalah terbentuknya struktur organisasi dan dalam struktur organisasi akan nampak bagaimana hubungan antara satu unit dengan unit lain. Dengan kata lain, struktur organisasi akan mempengaruhi aliran kerja, delegasi wewenang dan tanggung jawab, sistem kontrol dan pengendalian, serta arus perintah dan pertanggungjawaban. Oleh karena itu, dalam mendesain struktur organisasi bagian kepegawaian perlu dipertimbangkan berbagai faktor sebagaimana telah diuraikan dalam kegiatan belajar

ini. 1. Pengarahan Pegawai Ada banyak teori dan keyakinan tentang apa yang memotivasi pegawai. Secara keseluruhan tidak ada kesepakatan tentang motivasi. Oleh karena itu, sangat sulit bagi organisasi untuk sampai pada kebijakan dan pendekatan yang akan memuaskan semua pegawai. Selain itu, bagi organisasi dengan skala apa pun, membuat analisis mendalam tentang apa yang memotivasi setiap pegawai adalah tidak praktis. Namun, ada aturan-aturan praktis yang dapat diikuti setidak-tidaknya untuk membantu memotivasi pegawai dan meningkatkan kepuasan kerja, yaitu sebagai berikut. 26 Jelaskan kepada para pegawai apa yang dimaksud dengan kinerja efektif dan pastikan bahwa mereka mengetahui apa yang diharapkan dari mereka; Pastikan bahwa ada hubungan jelas antara kinerja dan penghargaan (imbalan) dan bahwa setiap hubungan semacam itu dikomunikasikan kepada para pegawai; Pastikan bahwa semua pegawai diperlakukan secara adil dan penilaian tentang kinerja adalah objektif; Bilamana mungkin, kembangkan jenis-jenis penghargaan yang berbeda, tidak semua orang dapat dinaikkan pangkatnya (dipromosikan) atau perlu dinaikkan pangkatnya; Doronglah semangat seluwes mungkin di dalam lingkungan kerja dan kembangkan gaya manajemen yang mudah diserap dan mampu diubah-ubah untuk menyesuaikan orang dan lingkungan; Kembangkan sebuah sistem manajemen kinerja atau setidaknya tetapkan sasaran yang dapat dicapai tetapi dapat terus berkembang; Perhitungkan semua faktor lingkungan dan sosial, seperti kenyamanan dan sarana lingkungan kerja, interaksi sosial diantara pegawai, pokoknya semua faktor yang dapat menjadi sumber ketidakpuasan. 2. Pengendalian Pegawai Pengawasan sebagai bagian dari pengendalian merupakan proses pengukuran dan penilaian tingkat efektivitas kerja pegawai dan tingkat efisiensi penggunaan sarana kerja dalam memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan organisasi. Setiap kegiatan pengawasan memerlukan tolok ukur atau kriteria untuk mengukur tingkat keberhasilan dalam bekerja, yang dalam penilaian kinerja disebut standar pekerjaan. Standar adalah suatu kriteria atau model baku yang akan diperbandingkan dengan hasil nyata. Banyak jenis standar yang dapat dipergunakan dalam 27 pengendalian kegiatan-kegiatan kepegawaian. Dalam mengendalikan unit/bagian kepegawaian, pimpinan harus mampu menemukan butir-butir pengendalian strategis yang dapat dipantau berdasarkan penyimpangan. 3. Pengadaan Pegawai ( Perencanaan dan Rekrutmen ) Salah satu fungsi Kepegawaian adalah pengadaan pegawai. Dalam kegiatan pengadaan pegawai ini harus dilihat apakah ada formasi yang lowong, di samping itu perlu pula dilihat kebutuhan sumber daya manusia, banyaknya kebutuhan dan

jenisnya pekerjaan. Setelah pasti ada formasi yang lowong, maka baru diadakan serangkaian kegiatan untuk menjaring pegawai yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing unit beserta kualifikasinya. Sedangkan perekrutan merupakan proses penarikan sejumlah calon yang memiliki potensi untuk ditarik menjadi pegawai yang dilakukan melalui berbagai macam kegiatan. Perekrutan yang efektif secara konseptual memiliki beberapa hambatan yang dapat bersumber dari kebijakan organisasi maupun dari perencanaan sumber daya manusia. Dalam ketentuan perundang-undangan Kepegawaian Negara terdapat ketentuan yang mengatur formasi yaitu Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2003 tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil. Dalam rangka menentukan jumlah dan kualitas pegawai yang diperlukan oleh suatu unit organisasi, harus ditetapkan oleh seorang pejabat yang berwenang dalam jangka waktu tertentu berdasarkan jenis, sifat dan beban kerja yang harus dilaksanakan, dengan tujuan agar unit organisasi itu mampu melaksanakan tugasnya dengan baik dan tepat pada waktunya Pengadaan PNS adalah kegiatan untuk mengisi formasi yang lowong sebagaimana diatur dalam PP Nomor 98 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pengadaan PNS. Pengadaan PNS dimulai dari kegiatan perencanaan, pengumuman, pelamaran, penyaringan, pengangkatan menjadi CPNS sampai dengan pengangkatan menjadi PNS. Setiap Warga Negara Republik Indonesia mempunyai hak dan kesempatan yang sama 28 untuk melamar menjadi PNS tentunya setelah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam peraturan yang berlaku. Lowongan formasi PNS diumumkan secara luas oleh Pejabat Pembina Kepegawaian melalui media massa dan/atau dalam bentuk lain agar dapat memberikan kesempatan sebanyak mungkin kepada Warga Negara Indonesia untuk mengajukan lamaran, dan memberikan lebih banyak kemungkinan bagi instansi untuk memilih calon yang paling cakap dalam melaksanakan tugas yang akan dibebankan kepadanya. Kegiatan ini dilakukan paling lambat 15 (lima belas) hari sebelum tanggal penerimaan lamaran. Dalam pegumuman tersebut dicantumkan: 1. Jumlah dan jenis jabatan lowongan; 2. Syarat jabatan yang harus dipenuhi oleh setiap pelamar; 3. Alamat dan tempat lamaran ditujukan; 4. Batas waktu pengajuan lamaran, dan 5. Lain-lain yang dipandang perlu. Adapun beberapa hal yang harus diperhatikan dalam rekrutmen PNS adalah : 1. Syarat melamar sebagai Pegawai Negeri Sipil a. Berstatus sebagai Warga Negara Indonesia; b. Berusia serendah-rendahnya 18 (delapan belas) tahun dan setinggitinginya 35 (tiga puluh lima) tahun; c. Tidak pernah di hukum penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan; d. Tidak pernah diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil, atau diberhentikan tidak dengan hormat sebagai pegawai swasta; e. Tidak berkedudukan sebagai Calon Pegawai Negeri; f. Mempunyai pendidikan, kecakapan, keahlian dan keterampilan yang diperlukan;

29 g. Berkelakuan baik; h. Sehat jasmani dan rohani; i. Bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau Negara lain yang ditentukan oleh pemerintah, dan j. Syarat lain yang ditentukan dalam persyaratan jabatan. 2. Penyaringan Ujian penyaringan bagi pelamar yang memenuhi syarat dilaksanakan oleh suatu panitia yang di bentuk oleh Pejabat Pembina Kepegawaian. Panitia ini terdiri sekurang-kurangnya 3 (tiga) pejabat, yaitu seorang ketua merangkap anggota, sekretaris merangkap anggota, dan seorang anggota. Apabila jumlah anggota panitia lebih dari 3 (tiga) orang, maka jumlahnya harus merupakan bilangan ganjil. Tugas panitia tersebut adalah sebagai berikut : a. Menyiapkan bahan ujian; b. Menentukan pedoman pemeriksaan dan penilaian ujian; c. Menentukan tempat dan jadwal ujian d. Menyelenggarakan ujian; e. Memeriksa dan menentukan hasil ujian. Sebagai catatan, lembar jawaban ujian diperiksa oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota. Materi ujian penyaringan ini meliputi tes kompetensi dan psikotes. Materi tes kompetensi diseuaikan dengan kebutuhan persyaratan jabatan, sedangkan penyelenggaraan psikotes disesuaikan dengan kebutuhan persyaratan jabatan dan kemampuan instansi masing-masing. Materi tes kompetensi tersebut disesuaikan dengan kebutuhan persyaratan jabatan, yang antara lain meliputi Pengetahuan Umum, Bahasa Indonesia, kebijakan pemerintah pengetahuan teknis, dan pengetahuan lainnya. Sedangkan psikotes dilakukan untuk mengetahui kepribadian, minat dan bakat pelamar. 30 Selanjutnya, bagi yang lulus ujian penyaringan akan ditetapkan dan diumumkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian. Untuk itu, bagi pelamar yang dinyatakan lulus ujian penyaringan diwajibkan untuk menyerahkan kelengkapan administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3. Proses pengangkatan menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil Daftar pelamar yang dinyatakan lulus ujian penyaringan yang akan di angkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tersebut, oleh Pejabat Pembina Kepegawaian disampaikan kepada Kepala Badan Kepegawaian Negara untuk mendapatkan Nomor Identitas Pegawai Negeri Sipil atau yang lebih dikenal dengan singkatan NIP. Pelamar yang sudah diberi NIP selanjutnya di angkat sebagai CPNS melalui keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian. Pengangkatan ini dilakukan dalam tahun anggaran belanja, dan penetapannya tidak boleh berlaku surut. Namun perlu pula diperhatikan bahwa terdapat kemungkinan adanya pelamar yang secara administratif tidak memenuhi syarat sehingga oleh BKN tidak diberi NIP dan berkasnya dikembalikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian yang bersangkutan. Golongan ruang yang ditetapkan untuk pengangkatan sebagai CPNS tersebut adalah: a. Golongan ruang I/a untuk yang memiliki STTB Sekolah Dasar atau setingkat; b. Golongan ruang I/c untuk yang memiliki STTB SLTP atau setingkat; c. Golongan ruang II/a untuk yang memiliki STTB SLTA atau setingkat;

d. Golongan ruang II/b untuk yang memiliki STTB Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa atau Diploma III; e. Golongan ruang II/c untuk yang memiliki ijazah Sarjana Muda, Akademi, atau Diploma; 31 f. Golongan ruang III/a untuk yang memiliki ijazah Sarjana, atau Diploma IV; g. Golongan ruang III/b untuk yang memiliki ijazah Dokter, Apoteker, dan ijazah lainnya yang setara, Magister (S2),atau ijazah Spesial I; dan h. Golongan ruang III/c untuk yang memiliki ijazah Doktor (S3), atau ijazah Spesialis II. 4. Pengangkatan CPNS menjadi Pegawai Negeri Sipil CPNS yang telah menjalankan masa percobaan sekurang-kurangnya 1(satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun di angkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) oleh Pejabat Pembina kepegawaian dalam jabatan dan pangkat tertentu, apabila: a. Setiap unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik; b. Telah memenuhi syarat kesehatan jasmani dan rohani untuk di angkat menjadi Pegawai Negeri Sipil, dan c. Telah lulus Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan. Syarat penilaian prestasi kerja/DP-3 dinyatakan secara tertulis oleh atasan yang berwenang membuat penilaian prestasi kerja, sedangkan syarat kesehatan jasmani di maksud dinyatakan oleh Dokter Penguji Tersendiri atau Tim Penguji Kesehatan yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan, sedangkan untuk Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian. Sementara itu tanggal mulai berlakunya pengangkatan menjadi PNS tidak boleh berlaku surut. Untuk CPNS yang telah menjalankan masa percobaan lebih dari 2 (dua) tahun dan telah memenuhi syarat pengangkatan menjadi PNS hanya dapat ditetapkan apabila alasannya bukan karena kesalahan yang bersangkutan. CPNS yang telah di angkat menjadi PNS, kemudian diberikan pangkat tertentu. Pengertian pangkat sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan pasal 32 17 ayat (1) adalah kedudukan yang menunjukkan tingkat seseorang Pegawai Negeri Sipil berdasarkan jabatannya dalam rangkaian susunan kepegawaian dan digunakan sebagai dasar penggajian. Pangkat yang diberikan kepada CPNS tersebut adalah sebagai berikut: a. Golongan ruang I/a pangkat Juru Muda; b. Golongan ruang I/c pangkat Juru; c. Golongan ruang II/a pangkat Pengatur Muda; d. Golongan ruang II/b pangkat Pengatur Muda Tk. I; e. Golongan ruang II/c pangkat Pengatur; f. Golongan ruang III/a pangkat Penata Muda; g. Golongan ruang III/b pangkat Penata Muda Tingkat I; h. Golongan ruang III/c pangkat Penata. 5. Pemberhentian Calon Pegawai Negeri Sipil Dengan keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian, CPNS diberhentikan apabila: a. Mengajukan permohonan berhenti; b. Tidak memenuhi syarat kesehatan;

c. Tidak lulus pendidikan dan pelatihan prajabatan; d. Tidak menunjukkan kecakapan dalam melaksanakan tugas; e. Menunjukkan sikap dan budi pekerti yang tidak baik yang dapat mengganggu lingkungan pekerjaan; f. Dijatuhi hukuman disiplin tingkat sedang atau berat; g. Pada waktu melamar dengan sengaja memberikan keterangan atau bukti yang tidak benar; h. Di hukum penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena dengan sengaja melakukan sesuatu tindak pidana kejahatan yang ada 33 hubungannya dengan jabatan atau tugasnya, atau menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. 3.1. Seleksi, Orientasi, dan Pengangkatan Kegiatan seleksi tidak hanya merupakan proses pemilihan pegawai dari sekian banyak pelamar yang dijaring melalui proses perekrutan, tetapi juga proses pemilihan calon pegawai terhadap organisasi yang akan dimasuki. Pegawai yang telah lolos seleksi akan diprioritaskan untuk mengikuti kegiatan orientasi sebelum yang bersangkutan ditempatkan dan mulai bekerja. Orientasi sangat penting terutama bagi pegawai baru. Hal ini dikarenakan apa yang diperoleh pertama kali seseorang memasuki dunia kerja akan berkesan lama, yang akan mempengaruhi pegawai tersebut. Orientasi merupakan upaya untuk mensosialisasikan nilai-nilai organisasi, pekerjaan, dan rekan-rekan pada pegawai baru, yang dilakukan melalui sebuah program formal maupun informal. Bagi pegawai lama yang akan menduduki jabatan baru, orientasi juga perlu. Mereka dapat belajar terlebih dahulu tanggung jawab yang akan dikerjakannya. 1. Sistem Rekrutmen Pegawai Negeri Sipil ( PNS ) 1. Formasi Pegawai Negeri Sipil a. Analisa Kebutuhan Pegawai Sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000, pengertian Formasi Pegawai Negeri Sipil adalah jumlah dan susunan pangkat Pegawai Negeri Sipil yang diperlukan dalam suatu satuan organisasi dalam jangkan waktu tertentu. Formasi tersebut terbagi dalam dua hal, yaitu Formasi PNS Pusat dan Formasi PNS Daerah. Formasi PNS Pusat untuk masing-masing satuan organisasi Pemerintah Pusat setiap tahun anggaran ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang Pendayagunaan Aparatur 34 Negara, setelah mendapat pertimbangan dari Kepala Badan Kepegawaian Negara berdasarkan usulan dari Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat. Sedangkan Formasi Pegawai Negeri Sipil Daerah untuk masing-masing satuan organisasi Pemerintah Daerah setiap tahun anggaran ditetapkan oleh Kepala Daerah. Selanjutnya dalam Keputusan Kepala BKN Nomor 09 Tahun 2001 tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil ditegaskan bahwa dalam rangkan perencanaan kepegawaian secara nasional dan pengendalian jumlah pegawai, maka Gubernur, Bupati/Walikota, sebelum menetapkan formasi harus terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari Kepala Badan Kepegawaian Negara. Formasi masing-masing satuan organisasi

Negara di susun berdasarkan analisa kebutuhan dan penyediaan pegawai sesuai dengan jabatan yang trersedia, dengan memperhatikan norma, standar, dan prosedur yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Analisa kebutuhan tersebut dilakukan berdasarkan : a. Jenis pekerjaan b. Sifat pekerjaan c. Analisa beban kerja dan perkiraan kapasitas seseorang Pegawai Negeri Sipil dalam jangka waktu tertentu. d. Prinsip pelaksanaan pekerjaan, e. Peralatan yang tersedia. b. Uraian Jabatan Uraian jabatan adalah uraian tentang hasil analisa jabatan yang berisi tentang nama jabatan yang berisi tentang nama jabatan, kode jabatan, unit organisasi, ikhtisar jabatan, uraian tugas, bahan kerja, perangkat kerja, hasil kerja, tanggung jawab, wewenang, nama jabatan yang 35 barada dibawahnya, koreksi jabatan, kondisi lingkungan kerja, resiko bahaya, syarat jabatan, dan informasi jabatan lainnya. c. Peta jabatan Peta jabatan adalah susunan nama dan tingkat jabatan struktural dan fungsional yang tergambar dalam suatu struktur organisasi dari tingkat yang paling rendah sampai dengan yang paling tinggi. 2. Maksud Dan Tujuan Rekrutmen Setelah diadakan perencanaan SDM, dan analisis dan klasifikasi pekerjaan, maka langkah berikutnya adalah melaksanakan rekrutmen. Rekrutmen merupakan proses mencari, menemukan, dan menarik para pelamar untuk dipekerjakan dalam dan oleh suatu organisasi. Maksud rekrutmen adalah untuk mendapatkan persediaan sebanyak mungkin calon-calon pelamar sehingga organisasi akan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk melakukan pilihan terhadap calon pekerja yang di anggap memenuhi standar kualifikasi organisasi. Proses rekrutmen berlangsung mulai dari saat mencari pelamar hingga pengajuan lamaran oleh pelamar. 3. Alasan-alasan Dasar Rekrutmen Rekruitmen dilaksanakan dalam suatu organisasi karena kemungkinan adanya lowongan (vacancy) dengan beraneka ragam alasan, antara lain: - Berdirinya organisasi baru; - Adanya perluasan kegiatan organisasi; - Terciptanya pekerjaan-pekerjaan dan kegiatan-kegiatan baru; - Adanya pekerja yang pindah ke organisasi lain; - Adanya pekeja yang berhenti,baik dengan hormat maupun tidak dengan hormat sebagai tindakan punitif; - Adanya pekerja yang berhenti karena memasuki usia pensiun; 36 - Adanya pekerja yang meninggal dunia. 4. Rekruitmen dan Pengaruh Nilai Rekrutmen berkaitan dengan lingkungan, tidak hanya nilai-nilai, tetapi juga kondisi ekonomi, sosial, dan politik. Permintaan dan penawaran tenaga kerja sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan ini. Di sektor publik, rekruitmen juga dipengaruhi oleh hukum.

Rekrutmen merupakan fungsi manajemen sumber daya manusia yang penting dan menarik karena dalam prakteknya sangat dipengaruhi oleh tiga nilai utama, yang saling berbeda dan bahkan saling berlawanan satu sama lain, yang meliputi: (1) keadilan sosial (social equity), termasuk Affirmative Action (AA); (2) efisiensi manajemen (managerial efficiency); dan (3) daya tanggap politik (political responsiveness). Pendukung masing-masing dari ketiga nilai utama tersebut biasanya mempunyai tujuan dan cara yang saling berbeda dalam memandang dan mendekati proses rekrutmen. Merupakan hal penting untuk memperhatikan nilai-nilai ini dalam praktek rekruitmen dari suatu lembaga tertentu, terutama di sektor publik. Tidak hanya nilai efisiensi manajemen dan daya tanggap politik saja yang mesti dipenuhi, tetapi proses rekruitmen juga harus dikaitkan dengan Affirmatif Action, yang sangat menekankan pentingnya perwakilan yang proporsional sebagai manifestasi dari nilai keadilan sosial. Dari perspektif nilai, terdapat perbedaan pandangan dari para pendukung nilai itu masing-masing terhadap recruitmen. Para pendukung nilai keadilan sosial memandang rekruitmen sebagai langkah awal dalam menempatkan lebih banyak pekerja yang berasal dari berbagai kelmpok pada pekerjaan pemerintah. Para pendukung nilai efisiensi administrasi memandang rekruitmen sebagai proses melalui apa para pekerja yang berkualitas ditarik ke pekerjaan-pekerjaan pemerintah, 37 atau sering digambarkan dengan ungkapan The right man in the right place. Sedangkan para pendukung nilai daya tanggap politis memandang rekrutmen para eksekutif politik sebagai sarana melalui mana para pejabat terpilih dapat memperoleh dan memelihara pengendalian atas kaum birokrat yang berpengalaman di instansi-instansi pemerintah. Para pendukung AA melihat rekrutmen sebagai alat periklanan atau pamasaran untuk meningkatkan pool dari para pelamar yang tersedia, dan pool tersebut dapat digunakan sebagai alat penekan atas instansi-instansi pemerintah untuk mempekerjakan lebih banyak kaum minoritas, wanita, orang cacat, dan sebagainya. Dengan menempati posisi-posisi pemerintahan tersebut maka mereka bisa memperoleh kesempatan untuk meningkatakan kemampuan dan pengalaman, yang ada gilirannya meningkatkan kemampuan saingnya di pasar lapangan kerja. Hal ini tentu bertentangan dengan para pendukung nilai efisiensi. Para manajer sumber daya manusia di sector publik berhubungan dengan rekrutmen pekerja-pekerja yang akan menempati posisi-posisi di instansiinstansi pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal. Tujuan mereka adalah terutama untuk mencaapi atau meningkatkan produktivitas dan mengurangi biaya rekrutmen. Para manajer ini melihat rekrutmen sebagai suatu proses yang memberi akses kepada mereka untuk mendapat pekerja-pekerja yang potensial. Mereka menginginkan system pool, tetapi keinginan ini dikekang oleh biaya rekrutmen, karena semakin banyak kelompok-kelompok pelamar maka semakin banyak pula biaya yang diperlukan untuk proses seleksi. Lagi pula, dengan terlalu banyaknya kelompok pelamar akan meningkatkan tekanan pelamar dalam proses seleksi, dan hal ini hanya melahirkan harapan kosong di antara para pelamar dan menciptakan persoalan hubungan publik bagi instansi publik

tersebut. 38 5. Rekruitmen Orang-orang yang Diangkat Secara Politik Rekrutmen tidak hanya dilakukan unuk mendapatkan tenaga-tenaga operatif, tetapi juga bagi tenaga pimpinan (eksekutif), atau ahli-ahli khusus. Ada tenaga-tenaga yang direkrut karena pertimbangan politik. Sebelumnya perlu dibedakan antara classified Positions dan Exempt Positions. Classified Positions biasanya diisi malaui mekanisme birokrasi, atau Sistem Pelayanan Sipil. Oleh karena itu rekrutmen jenis ini sebenarnya lebih merupakan pemilihan berdasarkan karier/pengalaman kerja. Sedangkan Exempt Positions berada di luar dari mekanisme birokrasi, atau Sistem Pelayanan Sipil tadi. Oleh karena itu, posisi-posisi tipe ini biasanya diisi melalui apa yang dinamakan pemilihan secara politik. Jadi ada semacam pertimbangan politik bagi posisi-posisi tipe ini, sehingga dinamakan exempt (pengecualian). Mereka yang menduduki kedua jenis posisi ini biasanya mempunyai persepsi yang saling berbeda. Orang-orang yang ditunjuk secara politik melihat pekerjaan pemerintah dengan berbagai perspektif dibandingkan dengan para administrator karier, antara lain: a. Orang-orang yang dipilih secara politik biasanya orientasi dan kesetiaannya ke atas kepada pejabat terpilih yang memilihnya. Mereka diperkenalkan kepada jabatan-jabatannya dikarenakan kesetiaan politik dan psikologis yang telah mereka berikan kepada pejabat yang terpilih; b. Mereka biasanya tidak banyak mengetahui tentang struktur dan fungsi dari instansi pemerintahan yang mereka jalankan,walaupun mungkin penunjukan mereka didasarkan kepada latar belakang pengalaman yang di anggap berkaitan dengan posisi yang mereka duduki; 39 c. Mereka kebanyakan adalah orang-orang yang juga dianggap berhasil dalam usaha-usahanya di sektor swasta; d. Orang-orang yang dipilih secara politik ini, dalam hal-hal tertentu, mungkin melihat para birokrat karir sebagai orang-orang yang tidak mempunyai daya tanggap secara politik, termasuk loyalitas mereka terhadap program-program atau kebijaksanaan-kebijaksanaan dari pemerintahan terdahulu. Oleh karena itu para pejabat terpilih memandang proteksi-proteksi pelayanan sipil sebagai red tape (berbelit-belit) yang memelihara pegawai-pagawai yang tidak produktif pada pekerjaan-pekerjaan mereka. Sebaiknya, secara mendasar, para birokrat karir dalam birokrasi memandang kelangsungan kebijaksanaan publik tergantung kepada mereka, dan melihat orang-orang yang dipilih secara politik tidak profesional. Perbedaan-perbedaan dalam persepsi dan tujuan-tujuan dari para birokrat karir dan orang-orang yang dipilih secara politik itu memperlihatkan salah satu ketegangan atau konflik yang terus berlangsung di dalam pekerjaan sektor publik, yaitu konflik antara nilainilai efisiensi manajemen dengan nilai-nilai daya tangap politik. Bahkan yang lebih menarik lagi, persaingan-persaingan itu terjadi di dalam

kegiatan perorangan rekrutmen di mana nilai yang paling mendasar mempengaruhi proses tersebut adalah keadilan sosial, seperti yang dirumuskan oleh hukum-hukum AA dan di dukung oleh instansi-instansi pemerintah dan keputusan- keputusan yudikatif. 6. Pengaruh Eksternal terhadap Rekrutmen Jalannya suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Terdapat tiga faktor lingkungan yang mempengaruhi kebijaksanaan40 kebijaksanaan dan praktek-praktek rekrutmen, terutama di sektor publik, yakni: (1) economic conditions, (2) political factors, dan (3) peraturanperaturan AA dan keputusan-keputusan pengadilan. Faktor ekonomi sangat mempengaruhi rekrutmen karena akan menentukan penawaran para pelamar bagi pekerjaan-pekerjaan pemerintah. Perekonomian yang stabil akan mengurangi pemberhentian-pemberhentian dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan di sektor swasta. Pada keadaan resesi ekonomi biasanya jumlah pelamar akan meningkat, siap untuk memasuki lapangan kerja sektor public karena lapangan kerja di sektor pemerintah di anggap lebih aman, dan tidak banyak resiko. Pada waktu yang sama akan mengurangi jumlah orang yang berminat keluar dari pekerjaan-pekerjaan di sektor pemerintah untuk kemudian memasuki sektor swasta. Proses anggaran mendorong perencanaan sumber daya manusia di instansi-instansi pemerintah, dan perkiraan-perkiraan mengenai kebutuhankebutuhan sumber daya manusia, dikembangkan dalam batas-batas yang ditetapkan oleh proyeksi pendapatan. Resesi ekonomi akan mengurangi pendapatan pendapatan yang diproyeksikan, khususnya bagi pemerintahan-pemerintahan yang terlalu mengandalkan pada pajak yang longgar dan progresif, atau atas keparawisataan. Proyeksi-proyeksi pendapatan yang rendah akan menyebabkan usaha-usaha rekrutmen rendah karena rendahnya permintaan akan pekerja-pekerja baru. Faktor-faktor politik mempengaruhi rekrutmen karena adanya kemungkinan terjadinya perubahan dalam prioritas-prioritas program pembangunan, yang pada gilirannya akan mempengaruhi permintaan dan penawaran relatif bagi berbagai pekerjaan. Peraturan-peraturan Affirmative Action dan keputusan-keputusan pengadilan juga mempengaruhi proses rekrutmen. Peraturan-peraturan itu menuntut agar instansi-instansi pemerintah untuk lebih terbuka perihal 41 bagaimana mengiklankan lowongan-lowongan kerja. Mereka harus merekrut supaya bisa memberikan kesempatan yang sama kepada para calon pelamar kerja tentang informasi mengenai lowongan kerja yang tersedia dan kesempatan untuk mengajukan lamaran. Jika kelompokkelompok tertentu tidak terwakilkan dalam instansi, usaha-uasha rekrutmen harus ditargetkan untuk kelompok-kelompok itu. 7. Teknik-teknik Rekrutmen Teknik-teknik rekrutmen, baik di sektor publik maupun swasta, dapat dilakukan melalui asas disentralisasikan atau didesentralisasikan, tergantung kepada keadaan (besarnya) organisasi, kebutuhan dan jumlah calon pekerja yang hendak direkrut. a. Teknik Rekrutmen yang Disentralisasikan Jika instansi tersebut mempunyai beberapa ribu pekerja, dan jika

departemen-departemen yang berbeda merekrut sejumlah besar pekerja juru ketik atau teknis bagi tipe kedudukan yang sama, rekrutmen yang disentralisasikan akan lebih sering di pakai karena lebih efisien biaya. Jika rekrutmen disentralisasikan, instansi yang mengelola sumber daya manusia itu akan bertanggungjawab untuk meminta dari para manajer akan perkiraan-perkiraan periodik mengenai jumlah dan tipe pekerja-pekerja baru yang dibutuhkan di waktu akan datang. Dalam kenyataannya, proyeksi yang tepat mengenai kebutuhan-kebutuhan pembayaran baru tidak mudah karena beberapa hal, seperti: 1. Krisis politik atau pemotongan anggaran yang dapat secara drastis mempengaruhi kebutuhan-kebutuhan rekrutmen, dan karenanya berpengaruh terhadap kualitas dari pada perkiraan; 2. Para manager cenderung memperkirakan terlalu tinggi jumlah pekerja yang mereka butuhkan, hanya karena menurut pandangan mereka lebih 42 baik mempunyai banyak pelamar dari pada terlalu sedikit. Hal ini tentu bertentangan dengan keinginan dari instansi-instansi yang menangani manajemen sumber daya manusia di tingkat pusat untuk mengurangi biaya seleksi dengan cara mengurangi jumlah pelamar pada jumlah minimum yang dibutuhkan untuk menjamin bahwa semua posisi yang tersedia di isi dengan pelamar-pelamar yang berkualitas; 3. Posisi-posisi yang spesial membutuhkan sejumlah besar pelamar karena suatu presentase yang tinggi dari para pelamar mungkin ditolak oleh instansi yang menyeleksi karena tidak memenuhi persyaratanpersyaratan spesialisasi dari posisi tersebut, walaupun mereka memenuhi semua persyaratan masuk yang umum. Atas pertimbangan-pertimbangan itu, instansi manajemen sumber daya manusia tingkat pusat akan mengeluarkan pengumuman perihal lowongan kerja yang tersedia. Untuk memenuhi peraturan perundangan Affirmative Action yang menghendaki perwakilan proporsional maka setiap pengumuman pekerjaan harus memasukkan informasi seperti: a. Jenis pekerja, klasifikasi, dan besarnya gaji; b. Lokasi tugas (unit geografis dan organisasi); c. Gambaran dari kewajiban-kewajiban kerja; d. Kualifikasi minimal; e. Tanggal mulai kerja; f. Prosedur-prosedur pelamaran; g. Tanggal penutup bagi penerimaan pelamaran-pelamaran. Waktu pengumuman antara pekerjaan yang sifatnya teknis dan juru tulis, dan pekerjaan yang sifatnya manajerial tidak sama. Umumnya lowongan-lowongan kerja yang bersifat manajerial, yang membutuhkan keahlian-keahlian tertentu, biasanya lebih lama waktunya, supaya para pelamar bisa mempelajari lowongan kerja tersebut dan punya waktu yang 43 cukup untuk mempertimbangkan dan menyerahkan lamarannya. Juga karena instansi instansi jauh lebih mampu untuk memprediksikan lowongan-lowongan manajerial ketimbang lowongan-lowongan untuk juru tulis dan teknis. Jika terdapat kelompok-kelompok anggota masyarakat yang tidak

terwakilkan dalam suatu instansi tertentu, seperti kaum wanita, kaum minoritas, atau kelompok-kelompok lainnya, seperti ras, suku bangsa, daerah, maka rekrutmen membutuhkan waktu yang agak lama kalau memang rekrutmen itu ditargetkan untuk kelompok-kelompok tersebut. b. Teknik Rekrutmen yang Didesentralisasikan Rekrutmen yang didesentralisasikan terjadi di instansi-instansi yang relative kecil, kebutuhan-kebutuhan rekrutmen terbatas, dan dalam mana setiap instansi mempekerjakan berbagai tipe pekerja. Rekrutmen dengan cara ini selalu di pakai untuk posisi-posisi khas profesional, ilmiah, atau administratif bagi suatu instansi tertentu. Selama masa resesi, di mana permintaan akan pekerjaan-pekerjaan pemerintah meningkat tetapi lowongannya terbatas, maka penggunaan rekrutmen dengan cara ini lebih efektif. Instansi-instansi secara sendiri-sendiri biasanya lebih memilih rekrutmen yang didesentralisasikan karena mereka akan secara langsung mengendalikan proses rekrutmennya. Hanya saja, kelemahannya, para pimpinan tingkat pusat akan kehilangan kendali mengenai apakah proses reckutmen itu dijalankan sesuai dengan peraturan perundanganperundangan, dan memperhatikan nilai yang hendak di utamakan oleh AA atau tidak. Beberapa instansi menggunakan kombinasi dari kedua jenis Rekrutmen, baik yang disentralisasikan maupun yang didesentralisasikan. Berarti pengendaliannya menjadi lebih ketat, dan pada waktu bersamaan 44 akan memberikan kepada instansi instansi kesempatan melakukan rekrutmen yang lebih tepat waktu dan lebih fleksibel. c. Name Request : Gabungan Politik dan pelayanan Sipil Name Request merupakan suatu praktek dalam proses rekrutmen yang berusaha menggabungkan Nilai-nilai political responsiveness dan managerial efficiency. Berdasarkan sistem ini, para manajer dalam bidang manajemen sumber daya manusia dari instansi, dan para supervisi, secara aktif merekrut orang orang yang mereka ingin pekerjakan diinstansinya. Atau para pejabat terpilih meminta kepada para birokrat yang berpengalaman untuk dipekerjakan dijabatan pelayanan publik dalam suatu instansi. Selanjutnya, manajer yang selanjutnya akan menasehati pelamar yang diinginkan untuk mengajukan lamaran ke instansi manajemen sumber daya manusia di pusat. Setelah pelamar menerima surat tanda penerimaannya dari instansi pusat, instansi dibawahnya akan mengajukan permintaan ke instansi pusat agar pelamar tersebut, jika tercantum dalam daftar eligibilitas, diberikan kepada mereka untuk dipekerjakan pada instansi bawahan tadi. Khususnya untuk lowongan-lowongan professional dan administrative tingkat atas, system name request lebih banyak digunakan dibanding system open request instansi meminta sertifikasi, yang hanya meminta pelamar yang paling berkualifikasi, tanpa menguraikan seorang pelamar tertentu melalui nama. Sistem Name Request juga mempunyai kelemahan kelemahan antara lain : a. Karena dapat mengarah kepada system cronyism dalam mempekerjakan seseorang dan bisa bertentangan dengan tujuan- tujuan social equity

atau administrative efficiency dari instansi. b. Karena bisa membatasi hak - hak pekerja. 45 c. Dapat secara tidak adil mengeluarkan nama- nama dari para pelamar yang telah ada lebih dulu dalam daftar. 3.2. Mutasi 1. Pengertian Mutasi Salah satu tindak lanjut yang dilakukan dari hasil penilaian prestasi pegawai adalah mutasi pegawai. Melalui penilaian prestasi pegawai akan diketahui kecakapan pegawai dalam menyelesaikan uraian pekerjaan (job description) yang dibebankan kepadanya. Mutasi harus didasarkan atas indeks prestasi yang dapat dicapai oleh pegawai bersangkutan. Dengan adanya mutasi diharapkan dapat memberikan uraian pekerjaan, sifat pekerjaan, lingkungan pekerjaan, dan alat-alat kerja yang cocok bagi Pegawai bersangkutan sehingga dapat bekerja secara efisien dan efektif pada jabatan itu. Istilah-istilah yang sama pengertiannya dengan mutasi adalah pemindahan, transfers, dan job rotation pegawai. Penulis mendefinisikan mutasi pegawai adalah suatu perubahan posisi/jabatan/tempat/pekerjaan yang dilakukan baik secara horizontal maupun vertical (promosi/demosi) di dalam satu organisasi. Pada dasarnya mutasi termasuk dalam fungsi pengembangan pegawai, karena tujuannya adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja dalam perusahaan/instansi bersangkutan. 2. Tujuan Mutasi Tujuan dilakukannya mutasi adalah : 1. Untuk meningkatkan produktivitas kerja pegawai. 2. Untuk menciptakan keseimbangan antara tenaga kerja dengan komposisi pekerjaan atau jabatan. 46 3. Untuk memperluas atau menambah pengetahuan Pegawai. 4. Untuk menghilangkan rasa bosan/jemu terhadap pekerjaannya. 5. Untuk memberikan perangsang agar Pegawai mau berupaya meningkatkan karier yang lebih tinggi. 6. Untuk pelaksanaan hukum/sanksi atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya. 7. Untuk memberikan pengakuan dan imbalan terhadap prestasinya. 8. Untuk alat pendorong agar spirit kerja meningkat melalui persaingan terbuka. 9. Untuk tindakan pengamanan yang lebih baik. 10. Untuk menyesuaikan pekerjaan dengan kondisi fisik Pegawai. 11. Untuk mengatasi perselisihan antara sesama pegawai. 3. Prinsip Mutasi Prinsip mutasi adalah memutasikan pegawai kepada posisi yang tepat dan pekerjaan yang sesuai, agar semangat dan produktivitas kerjanya meningkat. 4. Dasar Mutasi Ada tiga dasar/landasan pelaksanaan mutasi pegawai yang kita kenal merit system, seniority system, dan spoiled system. 1) Merit System

Merit system adalah mutasi pegawai yang didasarkan atas landasan yang bersifat ilmiah, objektif, dan hasil prestasi kerjanya. Merit system merupakan dasar mutasi yang baik karena : a. Output dan produktivitas kerja meningkat; b. Semangat kerja meningkat; c. Jumlah kesalahan yang diperbuat menurun; d. Absensi dan disiplin Pegawai semakin baik; 47 e. Jumlah kecelakaan akan menurun. Merit System ( Sistem Kecakapan ), pengangkatan berdasarkan sistem ini bersifat lain dengan spoil system maupun Nepotisme sistem. Sebab sistem penyeleksian yang dilakukan terhadap seorang pegawai berdasarkan : 1) Kecakapan, 2) Bakat, 3) Pengalaman dan 4) Kesehatan yang sesuai dengan Kriteria yang telah digariskan. Dalam menentukan kualitas ini harus dibuktikan dengan ujian, ijazah yang dimiliki dan keteranganketerangan yang diperlukan untuk itu.
2) Carrier System

Sistem pembinaan karier pegawai harus disusun sedemikian rupa, sehingga menjamin terciptanya kondisi objektif yang dapat mendorong peningkatan prestasi pegawai. Hal tersebut dapat dimungkinkan apabila penempatan pegawai negeri sipil didasarkan atas tingkat keserasian antara persyaratan jabatan dengan kinerja pegawai yang bersangkutan. Definisi 1 Sistem pembinan karier pegawai pada hakekatnya adalah suatu upaya sistematik, terencana yang mengcangkup struktur dan proses yang menghasilkan keselarasan kompetensi pegawai dengan kebutuhan organisasi kompenen yang terkait dengan sistem pembinaan karier pegawai meliputi : 1. Misi, Sasaran dan Prosedur Organisasi, yang merupakan indikator umum kinerja, kebutuhan prasarana dan sarana termasuk kebutuhan kualitatif dan kuantitatif sumber daya manusia yang mengawakinya. 2. Peta jabatan, yang merupakan refleksi komposisi jabatan, yang secara vertikal menggambarkan struktur kewenangan tugas dan tanggung 48 jawab jabatan dan secara horisontal menggambarkan pengelompokan jenis dan spesifikasi tugas dalam organisasi. 3. Standar kompetensi, yaitu tingkat kebolehan, lingkup tugas dan syarat jabatan yang harus dipenuhi untuk menduduki suatu jabatan agar dapat tercapai sasaran organisasi yang menjadi tugas, hak, kewajiban dan tanggungjawab dari pemangku jabatan. 4. Alur karier, yaitu pola alternatif lintasan perkembangan dan kemajuan pegawai negari sepanjang pengabdiannya dalam organisasi. Sesuai dengan filosofi bahwa perkembangan karier pegawai harus mendorong peningkatan prestasi pegawai. Definisi 2 Alur karier adalah pola gerakan posisi pegawai baik secara horisontal maupun vertikal selalu mengarah pada tingkat posisi yang lebih tinggi. 1. Standar penilaian kinerja pegawai, yaitu instrumen untuk mengukur tingkat kinerja pegawai di bandingkan dengan standar kompetensi jabatan yang sedang dan akan ditempati pegawai yang bersangkutan.

2. Pendidikan dan Pelatihan Pegawai, yaitu upaya untuk menyelaraskan kinerja pegawai dan atau orang dari luar organisasi yang akan menduduki suatu jabatan dengan standar kompetensi yang ditetapkan. Upaya ini di lakukan melalui jalur pendidikan, pelatihan pra jabatan, dan atau pelatihan di dalam jabatan. 3. Rencana Suksesi (Succession Plan), yaitu rencana mutasi jabatan yang di susun berdasarkan tingkat potensi pegawai, dikaitkan dengan pola jabatan dan standar kompetensi. Rencana suksesi di susun dengan memperhatikan perkiraan kebutuhan organisasi mendatang dikaitkan dengan perencanaan pegawai dan hasil pengkajian potensi pegawai. 49 Untuk dapat menciptakan sistem pembinaan karier pegawai, perlu dirancang suatu pola karier pegawai yang sesuai dengan misi organisasi, budaya organisasi dan kondisi perangkat pendukung sistem kepegawaian yang berlaku bagi organisasi, sesuai dengan Peraturan Perundangan Pegawai Negeri Sipil yang berlaku. Definisi 3 Pola Karier Pegawai Negeri Sipil adalah pola pembinaan Pegawai Negeri Sipil yang menggambarkan alur pengembangan karier yang menunjukan keterkaitan dan keserasian antara jabatan, pangkat, pendidikan dan pelatihan jabatan, kompetensi, serta masa jabatan seseorang Pegawai Negeri Sipil sejak pengangkatan pertama dalam jabatan tertentu sampai dengan pensiun (PP Nomor 100 Tahun 2000 jo PP Nomor 13 Tahun 2002). Memperhatikan defenisi di atas, tampak bahwa bagaiamanapun bentuknya pola karier cenderung divsusun untuk kepentingan pegawai, walaupun harus tetap diarahkan agar pola karier tersebut di titik beratkan pada optimalisasi kontribusi pegawai kepada organisasi. Pola karier pada umumnya mempunyai satu atau lebih dari beberapa tujuan di bawah ini : 1. Untuk lebih mendayagunakan setiap jenis kemampuan profesional yang disesuaikan dengan kedudukan yang dibutuhkan dalam setiap unit organisasi; 2. Pemanfaatan seoptimal mungkin sumber daya manusia pada setiap satuan organisasi sesuai dengan kompetensinya dan terarah pada misi organisasi; 3. Membina kemampuan, kecakapan, keterampilan secara efesien dan rasional, sehingga potensi, energi, bakat dan motivasi pegawai tersalur secara obyektif kearah tercapainya tujuan organisasi; 50 4. Dengan spesifikasi tugas yang jelas dan tegas serta tanggung jawab, hak dan wewenang yang telah terdistribusikan secara seimbang dari seluruh jenjang organisasi, diharapkan setiap pemangku jabatan dapat mencapai tingkat hasil yang maksimal; 5. Dengan tersusunnya Pola Karier Pegawai dan telah teraturnya pengembangan karier, maka setiap pegawai akan mendapatkan gambaran mengenai jabatan-jabatan, kedudukan dan jalur yang mungkin dapat dilalui dan dicapai, serta persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi guna mencapai jabatan dimaksud. Dengan tersusunnya pola karier pegawai, maka setiap pegawai dapat

diperhatikan perkembangannya, demikian pula bagi mereka dimungkinkan peningkatan jabatan mulai dari jabatan yang paling rendah sampai ke tingkat yang lebih tinggi secara obyektif dan berkeadilan; 6. Pola karier pegawai merupakan dasar bagi setiap pimpinan organisasi dalam rangka pengambilan keputusan yang berkait dengan sistem manajemen kepegawaian; 7. Bila terdapat perpaduan yang serasi antara kemampuan, kecakapan/keterampilan dan motivasi dengan jenjang penugasan, maka jabatan yang tersedia akan menghasilkan manfaat dan kapasitas kerja yang optimal. Carrier System lazim juga disebut sistem meningkat, yaitu bagi pegawaipegawai diberi kesempatan untuk mengembangkan bakat serta kecakapannya selama ia mampu bekerja dengan harapan secara bertahap dapat naik pangkat sampai mencapai tingkat kedudukan setinggi mungkin berdasarkan batas-batas kemampuan bagi yang bersangkutan, sebab bila hanya menggunakan merit system saja, masih kurang memuaskan para pegawai dan tidak mendapatkan kesempatan lebih maju lagi. System 51 Carrier adalah suatu sistem kepegawaian, dimana untuk pengangkatan pertama didasarkan atas kecakapan yang bersangkutan, sedang dalam pengembangannnya lebih lanjut, didasarkan atas masa kerja, kesetiaan, pengabdian dan syarat-syarat obyektif lainnya juga menentukan. Adapun prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam penyusunan carier system tersebut antara lain mengusahakan adanya syarat-syarat kerja yang dapat menarik dan menahan orang-orang untuk bekerja terus menerus selama masa hidup dalam suatu organisasi dengan pemilihan yang teliti dari tenaga-tenaga muda dan memberikan kemungkinan-kemungkinan akan kemajuan yang memuaskan. 3) Spoil system Spoil system adalah mutasi yang didasarkan atas landasan kekeluargaan. Sistem mutasi seperti ini kurang baik karena didasarkan atas pertimbangan suka atau tidak suka (like or dislike) atau Spoils System merupakan suatu sistem pengangkatan yang berdasarkan atas hasil pemilihan umum, sedangkan untuk jabatan yang penting dan strategis hampir seluruhnya diduduki oleh anggota yang menang dalam pemilihan umum.
4) Patronage System

Menurut Patronage System (kawan), maka pengangkatan pegawai didasarkan atas adanya hubungan subyektif yaitu : hubungan yang diperhitungkan antara subyek-subyeknya. Dalam sistem ini pada dasarnya terdapat beberapa hubungan subyektif antara lain: 1) Hubungan yang bersifat politik. Pengangkatan pegawai berdasarkan hubungan politik, ini didasari oleh hubungan-hubungan kawan dalam partai yang sama. 2) Hubungan yang non-politik ( nepotisme ). Hubungan yang bukan karena kawan, Partai atau non-Politik disebut Nepotisme Sistem 52 5. Cara-Cara Mutasi Ada dua cara mutasi yang dilakukan di dalam suatu organisasi: a. Cara tidak ilmiah;

Mutasi dengan cara tidak ilmiah dilakukan: Tidak didasarkan kepada norma/standar kriteria tertentu; Berorientasi semata-mata kepada masa kerja dan ijazah, bukan atas prestasi atau faktor-faktor riil; Berorientasi kepada banyaknya anggaran yang tersedia, bukan atas kebutuhan riil Pegawai; Berdasarkan spoil system. b. Cara ilmiah Mutasi dengan cara ilmiah dilakukan: Berdasarkan norma atau standar kriteria tertentu, seperti analisis pekerjaan; Berorientasi pada kebutuhan yang riil/nyata; Berorientasi pada formasi riil kepegawaian; Berorientasi kepada tujuan yang beraneka ragam; Berdasarkan objektivitas yang dapat dipertanggungjawabkan. 6. Ruang Lingkup Mutasi Ruang likup mutasi mencakup semua perubahan posisi/pekerjaan/tampat kartyawan, baik secara horizontal maupun vertikal (promosi atau demosi) yang dilakukan karena alasan personal transfer ataupun production transfer di dalam suatu organisasi Mutasi merupakan penempatan kembali (replacement) pegawai ke posisi tempat yang baru sehingga kemampuan dan kecakapan kerjanya semakin baik. Mencakup mutasi secara horizontal dan vertikal. 53 a. Mutasi horizontal (job rotation/transfer) artinya perubahan tempat atau jabatan Pegawai tetapi masih pada ranking yang sama di dalam organisasi itu. Mutasi horizontal mencakup mutasi tempat dan mutasi jabatan. 1. Mutasi tempat (tour of area) adalah perubahan tempat kerja, tetapi tanpa perubahan jabatan/posisi/golongan. Hal ini disebabkan oleh rasa bosan atau tidak cocok pada suatu tempat baik karena kesehatan maupun pergaulan yang kurang baik. 2. Mutasi jabatan (tour of duty) adalah perubahan jabatan atau penempatan pada posisi semula. b. Mutasi cara vertikal adalah perubahan posisi/jabatan/pekerjan, promosi atau demosi, sehingga kewajiban dan kekuasaannya juga berubah. Promosi memperbesar authority dan responsibility sedangkan demosi mengurangi authority dan responsibility seorang pegawai. Jadi promosi berarti menaikkan pangkat/jabatan, sedang demosi adalah penurunan pangkat/jabatan seseorang. 7. Sebab dan Alasan Mutasi Sebab-sebab pelaksanaan mutasi digolongkan atas permintaan sendiri (personnel transfers) dan alih tugas produktif (production transfers). a. Permintaan sendiri Mutasi atas permintaan sendiri adalah mutasi yang dilakukan atas keinginan sendiri dari Pegawai yang bersangkutan dan dengan mendapat

persetujuan pimpinan organisasi. Mutasi permintaan sendiri pada umumnya hanya perpindahan kepada jabatan yang peringkatnya sama baik, antar bagian maupun pindah ke tempat lain. Peringkatnya sama artinya kekuasaan dan tanggung jawab maupun besarnya balas jasa tetap sama. Caranya Pegawai mengajukan permohonan dengan mengemukakan alasan-alasannya kepada pimpinan organisasi tersebut. Alasan-alasannya adalah sebagai berikut. 54 1. Kesehatan: misalnya fisik pegawai kurang mendukung untuk melaksanakan pekerjaan. Misalnya dinas luar, mohon di mutasi menjadi dinas dalam. 2. Keluarga: misalnya untuk merawat orang tua yang sudah lanjut usianya. 3. Kerja sama: misalnya tidak dapat bekerja sama dengan pegawai lainnya karena terjadi pertengkaran atau perselisihan. b. Alih Tugas Produktif (ATP) Alih tugas produktif (ATP) adalah mutasi karena kehendak pimpinan perusahaan untuk meningkatkan produksi dengan menempatkan pegawai bersangkutan ke jabatan atau pekerjaan yang sesuai dengan kecakapannya. ATP didasarkan pada hasil penilaian prestasi kerja pegawai. Pegawai yang berprestasi baik dipromosikan, sedangkan pegawai yang yang tidak berprestasi dan tidak disiplin didemosikan. Alasan lain tugas produktif (production transfer) didasarkan kepada kecakapan, kemampuan, sikap, dan disiplin pegawai. Jadi ATP ini biasanya bersifat mutasi vertikal (promosi atau demosi). Paul Pigors dan Charles Mayers mengemukakan 5 macam transfer yaitu production transfer, replacement transfer, versatility transfer, shift transfer, dan remedial transfer. 1. Production transfer Production transfer adalah mengalihtugaskan Pegawai dari satu bagian kebagian lain secara horizontal, karena pada bagian lain kekurangan tenaga kerja padahal produksi akan ditingkatkan. Misalnya, mengalihtugaskan dari bagian Toyota Kijang ke bagian Toyota Corolla, karena produksi Toyota Corolla akan diperbesar. 55 2. Replacement transfer Replacement transfer adalah mengalihtugaskan Pegawai yang sudah lama dinasnya ke jabatan lain secara horizontal untuk menggantikan Pegawai yang masa dinasnya sedikit atau diberhentikan. Replacement transfer terjadi karena aktivitas perusahaan di perkecil sehingga sebagian pegawai harus diberhentikan dan hanya pegawai yang mempunyai masa dinas yang lama tetap dipekerjakan. 3. Versatility transfer Versatility transfer adalah mengalihtugaskan pegawai ke jabatan/pekerjaan lainnya secara horizontal agar pegawai yang bersangkutan dapat melakukan pekerjaan atau ahli dalam berbagai lapangan pekerjaan. Misalnya Mustika, dosen manajemen, dialihtugaskan menjadi dosen pemasaran.

4. Shift transfer Shift transfer adalah mengalihtugaskan pegawai yang sifatnya horizontal dari satu regu ke regu lain sedang pekerjaan tetap sama. Misalnya Elvijn May dari regu sore dipindahkan ke regu pagi . 5. Remedial transfer Remedial transfer adalah mengalihtugaskan seorang pegawai ke jabatan/pekerjaan lain, baik pekerjaannya sama atau tidak atas permintaan pegawai bersangkutan karena tidak dapat bekerja sama dengan rekan-rekannya. Misalnya, Ali juru ketik pada bagian pendataan karena tidak dapat bekerja sama dengan pegawai lainnya dia mengajukan permohonan pindah kepada dekan. Dekan memindahkan Ali menjadi juru ketik di bagian keuangan. 56 c. Pendekatan mutasi dari segi waktu Jika pendekatannya dari waktu dikenal atas temporary transfer dan permanent transfer. 1. Temporary transfer Temporary transfer adalah mengalihtugaskan pegawai ke jabatan/pekerjaan lainnya baik horizontal maupun vertikal yang sifatnya sementara. Pegawai yang bersangkutan akan ditempatkan kembali pada jabatan /pekerjaannya dipindahkan ke pegawai lain. 2. Permanent transfer Permanent transfer adalah mengalihtugaskan pegawai ke jabatan/pekerjaan baru dalam waktu lama sampai dia dipindahkan /pension. Jadi pegawai tersebut menjadi pemangku jabatan itu bukan sebagai pejabat sementara. Permanent transfer dilaksanakan atas kehendak pimpinan perusahaan memutasikan Pegawai ke jabatan atau pekerjaan yang baru. d. Masalah Merit Rating dan Mutasi Merit rating artinya penilaian prestasi kerja yang telah dilaksanakan apakah sesuai dengan rencana semula. Dalam hal ini, penilaian dilakukan apabila pekerjaan telah selesai dikerjakan atau pekerjaan sedang dikerjakan. Bedanya dengan evaluasi jabatan (Job Evaluation), yang dinilai ialah berat ringannya suatu jabatan (sebelum dilaksanakan) untuk penentuan besarnya balas jasa. Merit rating terdiri atas initial appraisal (Penilaian Awal) dan periodical appraisal (Penilaian Akhir) 8. Kendala- kendala pelaksanaan Mutasi Adapun kendala- kendala yang biasa terjadi dalam proses mutasi adalah sebagai berikut: 57 a. Formasi jabatan tidak (belum) memungkinkan b. Pengaruh senioritas. c. Soal etis (Etika) d. Kesulitan menetapkan standarstandar sebagai kriteria untuk pelaksanaan. 3.3. Promosi 3.3.1 Pengertian Promosi Untuk mencapai tujuan organisasi atau perusahaan, diperlukan pegawai yang mempunyai rasa tanggung jawab, keterampilan dan kemampuan

untuk melaksanakan kewajiban serta pekerjaannya dengan baik dan efesien. Untuk memperoleh pegawai demikian, diperlukan adanya suatu ketentuan yang mengatur kedudukan, kewajiban, hak dan pembinaan pegawai yang dilaksanakan berdasarkan suatu sistem kepegawaian obyektif, yaitu sistem karier dan sistem prestasi kerja. Kedudukan seorang pegawai pada umumnya ditentukan dalam surat keputusan pimpinan organisasi atau instansi tentang pengangkatannya, baik yang menyangkut tingkat jabatan atau kedudukan, maupun tingkat sistem upah yang berlaku baginya. Sedangkan kewajiban dan hak pegawai merupakan dua hal yang timbul karena jabatan itu dan keduanya harus seimbang, yang satu tidak boleh diutamakan dari yang lainnya. Kewajiban seorang pegawai negeri pada umumnya meliputi unsur unsur kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab, kejujuran, ketaatan, kerjasama dan prakarsa. Kewajiban yang telah dilaksanakan oleh seorang pegawai dengan sebaik-baiknya merupakan pertimbangan bagi pimpinan organisasi untuk memberikan promosi bagi yang bersangkutan tanpa mengabaikan ketentuan formasi yang ada. Pelaksanaan promosi dimaksudkan untuk memberikan peluang terhadap setiap pegawai agar tuiuan hidupnya akan lebih baik. Agar dapat 58 menghasilkan pegawai yang bermutu tinggi dan dapat diandalkan promosi yang dilaksanakan haruslah berdasarkan atau berpedoman pada ketentuan - ketentuan yang telah ditetapkan dan berdasarkan standar - standar dan kriteria-kriteria tertentu. Siagian ( 2002 : 35 ) mengemukakan bahwa banyak organisasi yang menempuh cara promosi karena dilandasi tiga pertimbangan yakni : 1. Sebagai penghargaan atas jasa jasa seseorang paling sedikit dilihat dari segi loyalitas kepada organisasi. 2. Penilaian biasanya bersifat obyektif karena cukup dengan membandingkan masa kerja orang orang tertentu yang dipertimbangkan untuk dipromosikan. 3. Mendorong organisasi mengembangkan para pegawainya karena pegawai yang paling lama berkarya akhirnya akan mendapatkan promosi. Berbagai pengertian tentang promosi antara lain dikemukakan oleh Nitisemito (1983 : 26 ) sebagai berikut : " Promosi adalah proses kegiatan pemindahan Pegawai dari satu jabatan ke jabatan yang lain yang lebih tinggi dari jabatan sebelumnya" Pendapat tentang promosi yang dikemukakan oleh Sikula (2002 :108) Secara teknik promosi adalah suatu perpindahan didalam suatu organisasi dari suatu posisi keposisi yang lainnya yang melibatkan baik peningkatan upah maupun status . Sedangkan pengertian Promosi yang dikemukakan oleh Wursanto (1989 : 68 ) sebagai berikut : " Promosi adalah perubahan jabatan baru dari jabatan semula ke jabatan yang lebih tinggi yang mengandung tanggung jawab dan kekuasaan yang lebih besar kadang-kadang diikuti dengan kenaikan pangkat ". 59 Siswanto (2001 : 257), kemudian juga mengemukakan promosi sebagai berikut :

" Proses perubahan dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain dalam hieraki wewenang dan tanggung jawab yang lebih tinggi daripada dengan wewenang dan tanggung jawab yang telah diberikan kepada tenaga kerja pada waktu yang sebelumnya ". Dari beberapa pengertian di atas jelas bahwa promosi pada hakekatnya adalah kenaikan tingkat jabatan seorang pegawai ke suatu jenjang jabatan tinggi nilai atau derajatnya dari tugas atau jabatan terdahulu, dan biasanya diikuti dengan kenaikan penghasilan. Berarti yang telah melaksanakan tugas dengan sebaik - baiknya mempunyai hak untuk memperoleh imbalan dari pihak pimpinan pada suatu organisasi atau instansi, antara lain dalam bentuk kenaikan pangkat, penghargaan atau yang lainnya. Promosi perlu dilaksanakan untuk menjamin dan memelihara kestabilan jalannya organisasi juga untuk mengurangi rasa jenuh atau kebosanan karena terlalu lama memegang suatu jabatan tertentu. Dalam kaitan inilah, maka dalam instansi atau organisasi selalu diupayakan mengarah pada pengembangan manusia terutama pada pengembangan managerial pada semua tingkatan. Promosi dimaksudkan oleh pihak pimpinan untuk memajukan bawahannya. Ini disebabkan karena promosi adalah untuk mewujudkan penempatan pada jabatan yang tepat, sehingga yang bersangkutan mendapat kepuasan kerja yang akhirnya dapat membangkitkan semangat dan kegairahan kerja serta dapat menambah pengalaman. Kesempatan promosi dalam suatu organisasi dapat terjadi karena adanya lowongan, baik lowongan dari segi jabatan maupun dari segi kepangkatan. Lowongan dari segi kepangkatan timbul dalam sistem kepegawaian yang menggunakan sistem pengurutan kepangkatan, Misalnya di lingkungan 60 Pegawai Negeri Sipil, sedangkan lowongan dari segi jabatan timbul dalam sistem kepegawaian yang menggunakan sistem klasifikasi jabatan atau pekerjaan ini banyak dianut dalam lingkungan perusahaan. Namun demikian, di lingkungan organisasi pemerintah juga, terdapat lowongan dari segi jabatan baik secara struktural, maupun non struktural. Dengan demikian, kesempatan mendapatkan promosi bagi pegawai dapat tercipta karena adanya lowongan tersebut di atas yang timbul karena adanya, beberapa alasan, yaitu : Karena adanya tambahan volume kerja, yang mengakibatkan penambahan tenaga kerja. Adanya perluasan organisasi sebagai akibat dari pertambahan Volume kerja Pemberhentian karena berbagai alasan (pensiun, meninggal dunia, pindah kerja, dan lain -lain ) Perubahan susunan kepangkatan. Terhadap beberapa jenis lowongan seperti di atas dapat diadakan perencanaan atau program - program promosi yang baik akan sangat menguntungkan tidak hanya bagi pegawai yang bersangkutan tetapi juga bagi instansi. 1. Pentingnya Promosi Tinjauan dari segi terminologi promosi dapat diartikan sebagai kenaikan kedudukan atau pangkat. Menurut pengertian sehari-hari umumnya kata promosi berarti sebagai kenaikan pangkat atau jabatan dalam susunan

pangkat dan jabatan yang telah ditentukan, baik dalam dinas atau instansi pemerintah maupun swasta. Jadi yang dimaksud dengan promosi adalah perubahan penugasan dari suatu pekerjaan yang tingkatannya lebih rendah kepekerjaan lain yang tingkatannya lebih tinggi dari jabatan semula dalam organisasi. 61 Promosi merupakan titik tolak dari kemajuan seseorang dalam melaksanakan tugas pekerjaannya, sehingga hal ini merupakan salah satu masalah dari setiap pimpinan pada suatu instansi yang harus dijalankan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Setiap promosi merupakan motivasi, dan harus mampu membuktikan kecakapan, kemampuan, dan prestasi kerjanya. Di samping itu, kemampuan dan prestasi kerja harus menunjukkan tanda-tanda bahwa pegawai tersebut sanggup memegang jabatan yang lebih tinggi yang kelak akan didudukinya. Untuk mengejar kedudukan tersebut, maka para pegawai sering bersaing dalam mengejar prestasi dan kemampuan keria yang tinggi terhadap instansi. Dengan memperhatikan rumusan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kegiatan promosi pada suatu instansi sangat penting artinya, hal ini disebabkan karena : Promosi bertujuan untuk menjamin stabilitas kepegawaian yaitu dengan adanya promosi akan mengurangi permintaan untuk pindah kerja, sehingga proses pekerjaan dalam suatu instansi dapat berjalan dengan lancar. Tidak adanya stabilitas berarti selalu diadakan penarikan, untuk memilih pegawai baru sesuai dengan jabatan yang lowong untuk menghindari ketidakstabilan tersebut, maka pimpinan perlu memperhatikan kebutuhan-kebutuhan baik kebutuhan material maupun non material. Salah satu cara untuk menjamin stabilitas tersebut adalah dengan mempromosikan pegawai - pegawai yang memperlihatkan prestasi kerjanya dengan baik serta telah memenuhi syarat syarat yang telah ditentukan. Pemberian promosi pada pegawai harus dilakukan dengan penilaian yang obyektif. Promosi bertujuan untuk mempertinggi semangat kerja bagi pegawai, karena dengan adanya promosi maka akan merangsang pegawai lainnya untuk berusaha mempertinggi daya dan semangat kerja serta kecakapannya yang akan menjadi pertimbangan untuk promosi selanjutnya. 62 Promosi bertujuan untuk memajukan pegawai sesuai dengan kecakapannya. Karena dengan pemberian promosi akan memberikan tanggung jawab yang lebih besar dari pada jabatan yang diduduki sebelumnya. Dengan demikian akan dapat memberikan dorongan untuk mengembangkan kecakapan serta menambah kemajuan yang dicapai oleh pegawai dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Selain dapat memberi kepuasan bagi yang bersangkutan, instansi juga dapat merasakan hasil-hasil yang diperoleh dari pegawai. Pelaksanaan promosi apabila dikelola dengan baik, maka dapat meningkatkan efesiensi dan moral pegawai . Promosi bagi pegawai pada suatu instansi diperlukan dalam rangka pembinaan pegawai guna meningkatkan prestasi kerja, sehingga tujuan suatu instansi dapat tercapai. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa promosi itu membawa manfaat bagi pegawai itu sendiri maupun bagi kepentingan instansi antara lain :

Mendorong dan memberi semangat bagi para pegawai untuk kerja lebih giat serta dapat menunjukkan prestasi kerjanya. Memberikan pandangan bagi para pegawai untuk terus melanjutkan hubungan kerjanya dengan instansi dimana ia bekerja. Memberi kesempatan bagi para pegawai untuk terus mengembangkan bakat dan karirnya. Merupakan alat pemuasan materi dan non materi. 2. Kriteria Promosi Dalam rangka pelaksanaan promosi terlebih dahulu harus ditetapkan kriteria - kriterianya. Perlu diketahui bahwa suatu jabatan yang berlainan kriteria yang diperlukan tidak selalu sama, meskipun hal itu untuk jabatan yang sejenis. Menurut siswanto (2003:261) ada beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam rangka untuk promosi jabatan, antara lain: 63 1. Senioritas Tingkat senioritas tenaga kerja sering sekali digunakan sebagai salah satu standar untuk kegiatan promosi. Dengan alasan lebih senior, pengalaman yang dimiliki pun dianggap lebih banyak dari pada yunior. Dengan demikian, diharapkan tenaga kerja yang bersangkutan memiliki kemampuan lebih tinggi, gagasan lebih banyak, dan kemampuan manajerial lebih baik. 2. Kualifikasi pendidikan Kualifikasi pendidikan juga turut menentukan dalam rangka pelaksanaan promosi sebab dengan pendidikan yang lebih tinggi diharapkan setiap pegawai mempunyai pemikiran yang lebih baik. 3. Kejujuran Masalah kejujuran merupakan salah satu persyaratan yang cukup penting untuk promosi. Dalam rangka promosi untuk jabatan tertentu masalah kejujuran sangat diperlukan. 4. Loyalitas Dengan adanya kesetiaan yang lebih tinggi dari setiap pegawai diharapkan akan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar. 5. Prestasi Kerja Prestasi kerja dari setiap pegawai cukup penting dalam pelaksanaan promosi karena merupakan hasil kerja yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. 6. Inisiatif dan Kreatif Inisiatif dari setiap pegawai diperlukan untuk suatu jabatan tertentu, karena dengan adanya inisiatif dan kreatif diharapkan dapat tumbuh ide-ide baru yang berguna untuk kepentingan organisasi atau instansi. 7. Supelitas Pada jenis pekerjaan tertentu barangkali diperlukan kepandaian bergaul, sehingga kemampuan bergaul dengan orang lain dapat dijadikan salah satu standar untuk promosi pada pekerjaan tersebut. Kriteria tersebut hanya 64 merupakan sebagian kecil saja dari sekian kriteria yang sering terdapat dalam perusahaan. Sudah barang tentu masih banyak kriteria lain yang biasanya dianut perusahaan tertentu dengan bobot kecenderungan pada pekerjaan/jabatan yang bersangkutan. Makin tinggi jabatan makin banyak

kriteria yang diperlukan, demikian pula sebaiknya. Dalam proses pelaksanaan promosi selain kriteria tersebut diatas juga haruslah diperhatikan tentang daftar penilaian pelaksanaan pekeriaan serta evaluasi yang harus dilakukan secara rutin, lengkap dan obyektif serta tidak terlepas dari faktor senioritas karena hal itu dapat berperan dalam pelaksanaan promosi . Dalam pasal 20 UU/Nomor 43 Tahun 1999 menyebutkan bahwa Untuk menjamin obyektivitas dalam mempertimbangkan pengangkatan dalam jabatan dan kenaikan pangkat diadakan penilaian prestasi kerja . Penilaian yang dilakukan secara rutin, berarti evaluasi yang dimulai sejak pegawai itu diterima bekeria. Evaluasi yang dilakukan secara terus-menerus akan dapat memberikan gambaran yang seharusnya. Penilaian ini akan menimbulkan rasa puas di kalangan pegawai, karena hasil kerjanya dapat diketahui serta kelemahan - kelemahan dan kekurangannya dapat diperbaiki. Di samping itu nilai baik dari hasil pekerjaan dapat dipertahankan atau ditingkatkan. Sedangkan penilaian secara lengkap berarti evaluasi yang dilakukan terhadap semua hal yang telah disyaratkan untuk mendapatkan promosi. Evaluasi ini dimulai dari tingkat dan jenis pendidikan, keahlian, kejujuran, tanggung jawab, kondisi, penampilan, kemampuan manajemen, administrasi, kondite serta senioritas. Dengan adanya beberapa hal yang terkait dalam pelaksanaan promosi seperti yang telah diuraikan di atas apabila dilaksanakan secara keseluruhan, maka akan menjamin produktifitas organisasi. Sedangkan menurut Moekijat ( 1999 : 35 ) setiap organisasi mempunyai dasar kriteria yang berbeda dalam menentukan promosi ini. Namun pada umumnya promosi didasarkan pada kriteria : 65 Prestasi kerja Senioritas Promosi berdasarkan prestasi dan senioritas ( sistem gabungan ) Senada dengan yang dikemukakan oleh Saydam ( 1996 : 29 ) bahwa dasar kriteria promosi dapat dilihat pada : Mempunyai masa kerja yang lama Mempunyai pengalaman kerja yang begitu banyak Mempunyai tingkat loyalitas yang tinggi terhadap perusahaan Memiliki tingkat kejujuran yang tinggi dibandingkan dengan aparat yang masih junior. Syarat yang lain juga dikemukakan oleh Hasibuan ( 2002 : 111-113 ) yang terdiri dari : - Kejujuran - Kecakapan - Loyalitas - Kepemimpinan - Komunikatif - Disiplin - Prestasi kerja - Kerja sama - Pendidikan 3. Jenis jenis Promosi Menurut Hasibuan (2002 : 113-114 ) Promosi ada beberapa jenis antara lain :

1. Promosi sementara ( Temporary promotion ) Seseorang Pegawai dinaikkan jabatannya untuk sementara karena adanya jabatan yang lowong yang harus diisi, seperti pejabat dekan. 2. Promosi Tetap ( Permanent promotion ) Seorang Pegawai dipromosikan dari suatu jabatan kejabatan yang lebih tinggi karena Pegawai tersebut telah memenuhi syarat untuk dipromosikan. 66 Sifat promosi ini adalah tetap. Misalnya seorang dosen dipromosikan menjadi dekan, wewenang, tanggung jawab, serta gajinya akan naik. 3. Promosi kecil ( Small Scale Promotion ) Menaikan jabatan seseorang Pegawai dari jabatan yang tidak sulit dipindahkan kejabatan yang sulit yang meminta keterampilan tertentu, tetapi tidak disertai dengan kenaikan gaji atau upah. 4. Promosi kering ( Dry promotion ) Semua Pegawai dinaikkan jabatannya kejabatan yang lebih tinggi disertai dengan peningkatan pangkat, wewenang, dan tanggung jawab tetapi tidak disertai dengan kenaikan gaji dan upah. 4. Prosedur Pelaksanaan Promosi Peran promosi sebagai suatu motivasi penting sekali dan berperan vital untuk memprediksi mutu penyeliaan suatu perusahaan. Meskipun banyak yang dapat dilakukan untuk membina bakat yang ada usaha untuk mewujudkannya memang agak mubazir. Oleh karena itu, harus dianalisis berbagai cara bagaimana promosi tenaga kerja dapat dilaksanakan dalam perusahaan. Menurut Siswanto (2003 : 263) prosedur pelaksanaan promosi terbagi tiga, antara lain : 1. Promosi dari dalam Hampir merupakan suatu tradisi untuk mencari calon yang akan menduduki jabatan manejer pada suatu hierarkhi perusahaan diantara jajaran tenaga kerja yang ada merupakan kebiasaan umum yang tampaknya hampir membudaya. Setiap perusahaan seolah-olah mengikuti konsep tersebut, dan kebanyakan mereka berusaha menggunakannya dengan kesungguhan. 2. Promosi Melalui Pencalonan Pencalonan oleh manajemen adalah proses penunjang guna mengajukan bawahan tertentu untuk dipromosikan. Tidak dapat disangsikan 67 bahwa prosedur ini tidak sistematis dan mudah keliru, tetapi bagaimanapun juga proses inilah yang paling luas digunakan dalam perusahaan untuk menyelidiki tenaga kerja yang akan dipromosikan. Pencalonan dalam promosi diliputi oleh mitologi. Cerita lama yang sering dibicarakan sehingga kekalahannya hanya dapat dihubungkan dengan kebutuhan untuk mempercayainya. Bahwa manajemen lini sebagai manajer, dianugerahi kemampuan untuk menentukan potensi seorang nonmanajer bagi manajemen. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar manajer sama tidak tahunya tentang potensi para tenaga kerja seperti orang lain. Artinya , mereka hanya tahu tentang apa yang mereka sukai dan tidak mereka sukai, tidak lebih dari itu. Suatu versi yang agak lebih canggih tentang cerita yang sama adalah karena manajer berada dalam kedudukan yang terbaik untuk mengenali pekerjaan bawahan mereka, apakah memenuhi syarat untuk menilai implikasi pekerjaan tersebut bagi promosi. Dasar pemikiran tersebut sebagian besar

tetap, tetapi konklusinya kurang logis. Memiliki informan saja bukanlah jaminan orang dapat membedakan yang relevan dari yang tidak relevan. 3. Promosi melalui prosedur seleksi Prosedur lain yang ditempuh dalam rangka promosi tenaga kerja adalah melalui proses seleksi. Biasanya proses seleksi bagi perusahaan besar menggunakan berbagai jenis ujian psikologis untuk tujuan ini. Para Calon yang akan dipromosikan dihimpun lalu dipilih sesuai dengan kualifikasi yang telah ditetapkan. Cara ini sebenarnya kurang mendapatkan tanggapan positif dari para tenaga kerja karena prosedur dianggap terlalu berbelit-belit yang harus dilalui oleh seseorang yang akan dipromosikan, dan belum tentu peserta seleksi akan lulus. Akibatnya, banyak waktu dan tenaga yang terbuang dengan sia sia. Dengan adanya prosedur pelaksanaan promosi yang digunakan, diharapkan dalam proses promosi dapat berjalan lancar, teratur dan terencana. 68 sehingga para semakin bertambah kemampuan dan pengetahuannya, Meningkatkan semangat, kegairahan kerja serta tanggung jawab. Adanya kesempatan promosi mampu membangkitkan kemampuan untuk maju pada pegawai itu sendiri dan mendatangkan keuntungan dalam organisasi. H. Intervesi Politik terhadap Birokrasi Pemerintahan Bidang Kepegawaian Istilah intervensi politik adalah ungkapan yang sering terbaca dalam tulisan jurnalis, diadopsi langsung dari Bahasa Inggris "Intervention" yang diartikan campur tangan. Dalam konteks kebijakan publik yang berinteraksi di dalamnya adalah komponen sistem kepublikan yang seharusnya bersinerji dalam menghasilkan formulasi kebijakan publik. Komponen sistem kepublikan itu adalah interaksi antara pelaku eksekutif dan legislatif. Aktor atau pelaku formulasi kebijakan publik itu adalah pewakil dari berbagai komponen sistem kepemerintahan yang melaksanakan fungsi sosialisasi politik, rekruitmen politik dari komunikasi politik (Nasrun. 2009). Politik pada hakekatnya seharusnya berperan menentukan atau berkontribusi positif dalam proses formulasi kebijakan publik namun dalam prakteknya banyak diwarnai oleh kepentingankepentingan politik yang mengakibatkan birokrasi pemerintahan tidak netral. Birokrasi dan politik bagai dua mata uang yang tidak akan pernah terpisahkan satu sama lain. Birokrasi dan politik memang merupakan dua buah institusi yang memiliki karakater yang sangat berbeda, namun harus selalu saling mengisi. Dua karakter yang berbeda antara dua institusi ini pada satu sisi memberikan sebuah ruang yang positif bagi apa yang disebut dengan sinergi, namun acapkali juga tidak dapat dipisahkan dengan aroma perselingkuhan. Birokrasi adalah organisasi hirarkis pemerintah yang ditunjuk untuk menjalankan tugas melayani kepentingan umum. Ciri khas yang melekat dalam tubuh birokrasi adalah bentuk organisasi yang berjenjang, rekrutmen berdasarkan keahlian, dan bersifat impersonal. Birokrasi juga merupakan unit yang secara 69 perlahan mengalami penguatan, independen, dan kuat. Penguasaan berbagai sumber daya oleh birokrasi menjadikan birokrasi menjadi kekuatan besar yang dimiliki oleh negara. Sedangkan politik merupakan institusi yang disebut juga dengan pusat kekuasaan. Kekuasaan yang dimiliki oleh politik berlangsung dalam berbagai arena, seperti pembuatan, penerapan, dan evaluasi kebijakan publik. Dalam arti yang lebih luas, segala sesuatu yang berkaitan dengan partai, demokrasi, dan kebijakan disebut juga dengan politik.

Sementara birokrasi adalah sebuah institusi yang mapan dengan segala sumber dayanya, namun pada lain sisi sistem kenegaraan mensyaratkan politik masuk sebagai aktor yang mengepalai birokrasi melalui mekanisme politik formal. Oleh karena itu, birokrasi pemerintah tidak bisa dilepaskan dari kegiatan politik. Pada setiap gugusan masyarakat yang membentuk tata pemerintahan formal, tidak bisa dilepaskan dari aspek politik. Pada gilirannya, birokrasi mau tidak mau harus rela dikepalai oleh mereka yang umumnya bukan berasal dari kalangan birokrasi. Artinya, kepentingan politik dengan sendirnya akan turut bermain dalam sistem penyelenggaraan pemerintah. Persoalan yang mengemuka adalah mampukah Kepala Daerah memberikan peluang kepada birokrasi yang dipimpinya dengan arif untuk tetap mengikuti kaidah demokrasi yang normatif. Dalam berbagai macam pola hubungan antara birokrasi dan politik, institusi politik -sebagaimana diketahui bersama- terdiri atas orang-orang yang berprilaku politik yang diorganisasikan secara politik oleh kelompok-kelompok kepentingan dan berusaha untuk mempengaruhi pemerintah untuk mengambil dan melaksanakan suatu kebijakan. Oleh karena itu, birokrasi pemerintah secara langsung ataupun tidak langsung selalu berhubungan dengan kelompok kepentingan politik tersebut. Seorang pemimpin eksekutif dalam relasinya dengan bawahannya yang merupakan unit mapan bernama birokrasi memiliki setidaknya beberapa kepentingan, pertama adalah current survival, mereka harus bisa bertahan diposisinya sampai 70 jabatannya berakhir, kedua effective goverment dimana mereka harus memerintah dengan efektif, menciptakan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan prestasi yang dapat membuat para pemilih memilih mereka kembali pada pemilihan berikutnya, dan ketiga adalah creation of loyal machine dimana eksekutif perlu membuat organisasi politik dengan kesetiaan personal yang tinggi (Etzioni-Havely dalam Savirani:2005). Dalam praktiknya, birokrasi justru kerap digunakan sebagai alat politik kepala eksekutif yang berasal dari institusi politik untuk kepentingan konstituennya sehingga bisa ditebak kemudian bahwa kemapanan birokrasi tidak bisa lepas dari intervensi politik yang akhirnya menjadikan birokrasi tidak netral. Selanjutnya yang terjadi adalah penempatan jabatan yang tidak bisa lepas dari berbagai kalkulasi politik pemimpin eksekutif dengan pertimbangan tiga aspek di atas: survival, effective government, dan creation of loyal political machine. Kondisi empiris banyak menunjukkan bahwa justru kepala daerah sangat sulit mempertahankan citra netralitasnya dalam menjalankan roda pemerintahan, termasuk di dalamnya proses rekrutmen elit di bawah kepala daerah. Bahkan tak jarang ada mobilisasi massa secara terselubung yang bermotif agenda kerja kepala daerah. Fenomena ini akan semakin menggejala manakala momen pemilihan kepala daerah memasuki tahapan pertarungan. Di sisi lain, birokrasi sebagai sebuah sistem justru masih kental dengan nuansa patron-client. Kecenderungan menunjukkan bahwa pejabat yang meniti karir birokrasi, tidak memiliki kuasa berhadapan dengan jabatan politis yang notabene memang dikuasai oleh nuansa politik. Ironis terlihat dalam sistem penyelenggaran pemerintahan, utamanya dalam sistem rekrutmen jabatan, masih diwarnai oleh pengaruh asal bapak senang; tendensius; dan lebih mementingkan kepentingan kedekatan. Artinya, falsafah kapabilitas dan komptensi seseorang akan dikesampingkan dengan sendirinya. Kondisi ini misalnya dapat terlihat dalam

berbagai segmen. Salah satunya adalah dalam sistem rekrutmen jabatan strategis (eselon II) di lingkungan Pemerintah Daerah, baik pada level Propinsi maupun level 71 Kabupaten/Kota. Terkadang Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) hanya memandang sebelah mata analisis jabatan yang sudah dilaksanakan oleh Badan Kepegawaian Daerah dan Badan Pertimbangan Jabatan, sehingga penempatan jabatan lebih didominasi oleh kekuasannya, terutama untuk menempatkan pejabat pada jenjang jabatan kepala biro, dinas dan ketua badan di lingkungan pemda setempat. Dampaknya sangat jelas terlihat, yakni aroma kepentingan dan tendensius Kepala Daerah dalam mengambil keputusan. Tidak mengherankan jika kemudian banyak dijumpai munculnya kasus adanya sifat serampangan dalam penempatan jabatan strategis. Dalam dimensi ini, kualitas akan dikalahkan oleh faktor kedekatan, primordialisme dan faktor-faktor lainnya, yang pada akhirnya pejabat ditempatkan tidak sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Inilah konsekuensi logis adanya pertautan antara birokrasi dan politik. Dalam konteks lokal, momentum pemilihan kepala daerah (pilkada) menjadi semacam taruhan bagi hubungan birokrasi dan politik. Dalam banyak kasus, Kepala Daerah acapkali menggunakan birokrasi sebagai alat politik yang sangat efektif. Berbagai fenomena biasanya mewarnai proses kolaborasi antara birokrasi dan politik. Birokrasi dalam sistem ketatanegaraan mempunyai peranan yang sangat penting karena fungsinya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat (public service). Peran birokrasi yang demikian strategis ini membuat birokrasi rentan terhadap pengaruh kekuasaan atau politik. Birokrasi idealnya harus tetap mengedepankan fungsi utamanya sebagai pelayan masyarakat, namun dapat menjaga hubungan dan sinergi dengan kekuatan politik yang ada. Pertautan antara birokrasi dan politik telah menjadi isu penting, baik dalam studi ilmu administrasi negara maupun secara aktual dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan. Sesungguhnya birokrasi dan politik merupakan institusi dengan karakter masing-masing yang berbeda, namun keduanya saling melengkapi. Bahkan dapat dikatakan bahwa birokrasi dan politik bagaikan dua 72 sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pertautan antara keduanya dapat menciptakan suatu sinergi yang luar biasa apabila kolaborasi berkembang dalam kerangka yang positif. Sebaliknya, implikasi hubungan keduanya dapat pula menjadi bencana yang luar biasa apabila ada perselingkuhan antara birokrasi dan politik. Implikasi negatif itulah yang menjadi dasar pertimbangan utama munculnya konsep netralitas birokrasi. Hal ini untuk menjamin profesionalitas birokrasi agar terhindar dari kepentingan politik dalam menjalankan tugasnya melayani kepentingan umum (public service). Demikian pula, dalam studi administrasi negara, paradigma dikotomi politik administrasi yang diprakarsai Woodrow Wilson pernah sangat populer. Paradigma dikotomi politik administrasi beranggapan bahwa harus ada pemisahan yang jelas antara politik dan administrasi, antara pembuatan kebijakan (policy) dan tugas-tugas administratif untuk melaksanakan kebijakan (Hughes, 2003). Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, terdapat beberapa kasus yang terkait dengan hubungan institusi politik dan birokrasi, baik pada Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Rekruitmen kepemimpinan

birokrasi menjadi arena yang sarat dengan dinamika hubungan politik dan birokrasi, bahkan kerapkali terjadi pertarungan kepentingan antara kedua institusi tersebut. Sesuai dengan judul, tulisan ini secara khusus akan membahas mengenai intervensi politik terhadap rekruitmen kepemimpinan pemerintahan di daerah. Sejalan dengan dinamika dan perkembangan demokrasi, Indonesia mengalami proses transisi yng melibatkan pelembagaan politik sebagai upaya konsolidasi demokrasi dan desentralisasi pemerintahan. Proses transisi ini telah menghasilkan beberapa hal positif bagi bangsa Indonesia, seperti meningkatnya ruang partisipasi politik rakyat, termasuk dalam menentukan kepemimpinan di daerah melalui Pilkada secara langsung. Kepala Daerah sebagai kepala pemerintahan di daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui serangkaian proses politik. Dengan demikian Kepala 73 Daerah pada hakekatnya merupakan pejabat politis, meskipun posisinya lebih merupakan muara yang mempertemukan antara wilayah politik dan wilayah administrasi/birokrasi. Oleh karena itu, dapat dimaklumi apabila rekruitmen kepemimpinan Kepala Daerah lebih didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan politis, meskipun aspek kompetensi dan kualitas leadership juga semestinya tidak dikesampingkan. Dengan demikian, Pilkada dapat menghasilkan pemimpin daerah yang berkualitas. Namun demikian, faktanya adalah bahwa Pilkada yang dinilai sebagai media pemilihan pemimpin yang sangat demokratis melalui pemilihan umum yang diikuti oleh partai politik, tetapi seringkali terdistorsi oleh kepentingan-kepentingan politik sesaat dan money politic. Proses Pilkada yang secara formal prosedural tampak demokratis tersebut, sebetulnya belum menyentuh inti demokrasi (substantive democracy). Akibatnya, idealisme rekrutmen pemimpin tidak terwujud dan Pilkada tidak mampu memunculkan pemimpin yang betul-betul berkualitas. Pola rekruitmen kepemimpinan pemerintahan di daerah melalui proses politik adalah hanya untuk jabatan yang bersifat politis, yaitu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Adapun jabatan-jabatan kepemimpinan lainnya, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan jabatan karir birokrasi. Dengan demikian, pola rekruitmen untuk jabatan-jabatan tersebut sepenuhnya tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil. Jabatan-jabatan seperti Sekretaris Daerah, Kepala Biro, Kepala Dinas, Kepala LTD, serta jabatan kepemimpinan pemerintahan di daerah lainnya merupakan jabatan profesional birokrasi yang bercirikan keahlian, impersonal, dan non partisan, terlepas dari kepentingan politik manapun. Namun demikian, pemimpin puncak birokrasi di daerah adalah pejabat politis sehingga birokrasi harus rela dipimpin oleh mereka yang umumnya bukan berasal dari kalangan birokrasi. Dalam kaitan ini, kepentingan politik dengan sendirnya akan turut bermain dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Idealnya, Kepala 74 Daerah dengan arif memberikan peluang kepada birokrasi yang dipimpinya untuk tetap mengikuti kaidah normative, termasuk dalam rekruitmen kepemimpinan birokrasi di daerah. Faktanya, kepentingan-kepentingan politik acapkali bermain dalam proses rekruitmen kepemimpinan birokrasi tersebut. I. Intervensi Politik dan Implikasinya Perubahan sistem pemerintahan pasca gerakan reformasi 1998 telah menggeser kekuasaan yang semula sangat terpusat di tangan eksekutif (executive

heavy) ke arah kekuasaan yang lebih terbagi dan saat ini perkembangannya cenderung terpusat di parlemen/partai politik (legislative heavy). Pergeseran pusat kekuasaan ini lebih jauh telah berimplikasi pada terbukanya celah pengaruh politik yang sangat besar dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bahkan banyak terjadi pengaruh politik itu sudah eksesif dan tidak proporsional lagi sehingga menjadi intervensi politik dalam wilayah yang bukan menjadi domain institusi politik. Proses demokrasi di daerah saat ini harus diakui masih dalam taraf permulaan, sehingga diliputi oleh berbagai kelemahan, terutama kelemahan dari lembaga-lembaga demokrasi, seperti sistem partai dan sistem pemilu yang berpeluang mencederai nilai-nilai inti demokrasi (substantive democracy). Birokrasi sebagai organisasi publik yang strategis dalam public service, rawan untuk dimanfaatkan oleh kekuatan politik tertentu untuk tujuan pragmatis. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, saat ini cenderung mengarah pada berkembangnya sistem birokrasi klientelistik, yaitu birokrasi yang postur kekuasaannya ditentukan oleh hukum pertukaran jasa politik antara patron politik dan birokrasi sebagai klien. Patronase antara birokrasi dengan kekuatan politik dapat menggeruskan nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai birokrasi sekaligus, seperti keadilan untuk mendapat perlakuan yang sama dan 75 kompetisi sehat berdasarkan asas no pain, no gain, siapa yang tidak cerdas, kreatif dan bekerja keras, tidak dipromosikan dalam alokasi jabatan. Sebagai akibatnya, alokasi jabatan kepemimpinan pemerintahan di daerah lebih didasarkan pada sentimen primordialisme dan balas jasa politik. Prinsip ini secara vulgar dipertontonkan kepada publik dan kerap mengesampingkan ketentuan-ketentuan normatif dalam administrasi kepegawaian. Misalnya, daftar urut kepangkatan bisa dikalahkan oleh daftar urut kepentingan, kompetensi bisa dikalahkan oleh kedekatan, asalkan hubungan patron-client terjaga. Implikasinya, mutasi dan promosi berubah fungsi sebagai arena politik dagang sapi. Jabatan tinggi atau rendah, strategis atau biasa, basah atau kering, ditentukan oleh kontribusi dan kedekatan secara politis dengan kekuatan politik yang berkuasa. Mental rent seekers atau perburuan rente kekuasaan ramai-ramai dispekulasi oleh banyak aparat birokrasi, tanpa peduli risikonya. Tak heran sangat marak sistem makelar jabatan dan 'ijon jabatan' dalam janji-janji politik terselubung sebelumnya. Mutasi dan promosi pada hakekatnya merupakan kebijakan administratif dalam rangka menyegarkan dan memperbaharui organisasi birokrasi, guna meningkatkan efisiensi serta efektivitas organisasi dan sebagai wahana pengembangan karier pegawai, kini berubah menjadi wahana intervensi politik terhadap birokrasi. Para pejabat yang diuntungkan secara politik kemudian seringkali berperilaku sebagai tyranny of the winners, pemenang yang mendominasi jabatanjabatan vital birokrasi. Di pihak lain, bagi mereka yang berseberangan dengan arus politik penguasa, impian dan masa depan kariernya ditenggelamkan. Resikonya adalah birokrasi menjadi terpolarisasi. Para pejabat akhirnya terobsesi untuk memperoleh kekuasaan secara cepat dengan menjadi tangan-tangan politik penguasa. Berikut disajikan implikasi intervensi politik terhadap rekruitmen pimpinan birokrasi dalam membangun pemerintahan daerah. Pertama, bahwa 76

mutasi dan promosi jabatan birokrasi tidak lagi menjadi alat untuk meningkatkan kinerja, tetapi dijadikan alat untuk kepentingan politik balas jasa atau transaksi politik lainnya. Hal ini akan melahirkan birokrasi askriptif yang ditandai favoritisme yang sangat kuat dalam hubungan kepala daerah/pejabat politik dan pejabat birokrasi. Pejabat birokrasi sebagai appointed official akhirnya hanya bekerja demi untuk kepentingan diri dan kelompoknya, serta mengabaikan peran sejatinya sebagai pelayan masyarakat. Kedua, birokrasi menjadi tidak kompetitif dan kinerjanya rendah. Hal ini disebabkan lunturnya semangat kompetisi dalam birokrasi karena alokasi jabatan tidak dijadikan sebagai alat untuk memberikan reward kepada mereka yang berprestasi. Etos kerja dan dedikasi tak mungkin dapat digenjot secara optimal, apalagi jabatan-jabatan kepemimpinan penting yang ada diduduki oleh orang-orang yang kapasitasnya diragukan. Ketiga, birokrasi dapat dengan mudah bersikap tidak adil, dan diskriminatif, dan permisif melakukan pelanggaran terhadap 'hak-hak pegawai' karena birokrasi terjebak dalam primordialisme dan kepentingan kelompok yang eksklusif. Intervensi politik dapat menentukan siapa yang dipromosikan dan didemosikan atau yang menjadi korban dari suatu pilihan pengangkatan dalam jabatan birokrasi. Keempat, intervensi politik dapat mengakibatkan terganggunya upaya dalam membangun profesionalisme birokrasi dan good governance di lingkungan pemerintahan daerah. Patologi birokrasi akibat perselingkuhannya dengan kepentingan politik sesaat dan menyesatkan akan semakin menghambat upaya untuk menciptakan sosok birokrasi di daerah yang profesional, bersih, dan berwibawa. Adalah tidak pada tempatnya praktek intervensi politik ini dibiarkan karena secara keseluruhan sangat kontradiktif dengan upaya untuk melakukan reformasi birokrasi. Pencederaan birokrasi dan demokrasi perlu diatasi dengan mencegah terjadinya intervensi politik, termasuk dalam rekruitmen 77 kepemimpinan di daerah. Oleh karena itu, netralitas politik birokrasi perlu terus di bangun dan mengembalikan posisi birokrasi pada segmen yang apolitik dan netral. Birokrasi perlu diselamatkan untuk lebih fokus pada misi mulianya sebagai institusi pelayan publik menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat secara profesional, efisien, efektif dan adil. Untuk itu, peran antara pejabat politik dan pejabat karir birokrasi perlu direkonstruksi sesuai dengan filosofi dasar yang menyangkut tugas ranah politik maupun birokrasi. Setiap institusi birokrasi pemerintahan yang dipimpin oleh pejabat politik perlu pembatasan apa yang menjadi kewenangan pejabat politk dan kewenangan pejabat birokrasi. Pejabat politik perlu dibatasi kewenangannya untuk tidak sampai pada kewenangan bongkar-pasang pada struktur birokrasi. Oleh karena itu, pengubahan pengaturan mengenai Pejabat Pembina Kepegawaian pada lembaga-lembaga pemerintahan perlu dipertimbangkan untuk diatur kembali, karena salah satu kewenangannya adalah mengangkat dan memberhentikan pegawai dalam jabatan birokrasi. Pejabat Pembina Kepegawaian yang saat ini dijabat oleh pejabat politik semestinya dijabat oleh pejabat karier birokrasi tertinggi pada lembaga yang bersangkutan, yang diperankan sebagai chief executive officer atau semacam permanent secretary di Inggris dan head of department di Australia. Untuk tataran pemerintah daerah, Pejabat Pembina Kepegawaian semestinya tidak

dijabat oleh Gubernur/Bupati/ Walikota, tetapi dijabat oleh Sekretaris Daerah. Dengan demikian, intervensi politik dalam rekruitmen kepemimpinan birokrasi dapat dieliminasi. Fenomena intervensi politik terhadap rekruitmen kepemimpinan birokrasi pada pemerintahan di daerah telah menjadi bagian dari catatan buram dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, pasca penerapan kebijakan desentralisasi. Hal ini telah menyebabkan implikasi negatif dan kontradiktif dengan upaya reformasi birokrasi pemerintahan daerah. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan di daerah untuk memperbaiki birokrasi dan membangun 78 demokrasi yang lebih berkualitas sehingga dapat menghasilkan kepemimpinan birokrasi daerah yang berkualitas pula.

You might also like